IKPI, Jakarta: Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 (PP 55/2022) tentang Pelaksanaan Pajak Penghasilan (PPh) rupanya masih menjadi pembahasan seksi bagi para konsultan pajak. Dengan segala plus minus dari setiap pasal/poin yang tertuang dalam aturan tersebut, para konsultan yang tergabung dalam Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Bogor, membedah aturan ini melalui diskusi perpajakan yang diselenggarakan pekan lalu di Awal Mula Cafe, Bogor, Jawa Barat.
Ketua IKPI Cabang Bogor Pino Siddharta menjelaskan, tema PP 55/2022 tentang pelaksanaan Pajak Penghasilan sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, dalam peraturan tersebut diatur poin-poin :
a. Terkait dengan objek PPh dan Pengecualian dari objek PPh.
b. Biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
c. Penyusutan harta berwujud dan amortisasi harta tak berwujud
d. Perlakuan Perpajakan atas penggantian atau imbalan dalam bentuk natura
e. Instrumen pencegahan pajak berganda
f. Bantuan atau sumbangan termasuk zakat, infak, sedekah dan sumbangan yang dikecualikan dari objek PPh
g. PPh atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh WP yang memiliki peredaran bruto tertentu
h. Penurunan tarif PPH bagi WP dalam negeri yang berbentuk Perseroan Terbuka.
Dikatakan Pino, ada beberapa poin menarik dari diskusi kali ini, seperti terkait filosofi dan latar belakang dari PP 55/2022 yang terkesan terburu-buru. Apalagi terbitnya peraturan ini juga relatif terlambat, walaupun UU HPP menyatakan terkait pajak penghasilan berlaku mulai tahun pajak 2022.
Selain itu, terkait dengan perlakukan perpajakan atas imbalan dalam bentuk natura, konsultan pajak sepakat bahwa prinsip taxable deductible untaxable undeductible merupakan suatu hal yang menjadi pedoman dalam memberikan advice kepada klien.
Dalam diskusi ini kata dia, peserta juga mengungkapkan adanya kesan diskriminasi antara wajib pajak dalam negeri (WNI) yang dikenakan world wide income sedangkan wajib pajak dalam negeri (WNA) hanya atas penghasilan yang diterima di dalam negeri (walaupun dibatasi waktu selama 4 tahun), sehingga ada perbedaan perlakukan terkait dengan penghasilan yang dipajaki.
Namun demikian kata Pino lagi, para konsultan pajak beranggapan belum diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebagai pelaksanaan PP 55/2022 akan membebani wajib pajak. Karena, nantinya saat PMK ini diterbitkan, mungkin saja wajib pajak diharuskan melakukan pembetulan SPT sehingga menambah kewajiban wajib pajak.
Lebih jauh Pino mengungkapkan. Selain membahas PP 55/2022, pada kegiatan tersebut juga dilakukan sosialisasi pemadanan atau validasi NIK untuk wajib pajak orang pribadi, karena sesuai amanah efektif 1 Januari 2024 NPWP akan digantikan dengan NIK.
“Sosialisasi dilakukan oleh tim dari Kantor Wilayah DJP Jawa Barat III. Setelah sosiliasasi kemudian dilanjutkan dengan forum tanya jawab antara peserta dan tim sosialisasi,” ujarnya.
Pernyataan senada juga disampaikan Bendahara IKPI Cabang Bogor Andi Deswanta, hal yang menarik dalam perbincangan adalah adanya ketentuan yang berlaku surut (asas retroaktif) dari salah satu ketentuan perpajakan tersebut, tepatnya adalah ketentuan PPh atas natura/kenikmatan yang berlaku mulai 1 Januari 2022.
“Ini mengikuti tahun buku pemberi naturan/kenikmatan dan kewajiban bagi wajib pajak yang menerima natura/kenikmatan yang tidak dipotong PPh, wajib di hitung dan dibayar sendiri PPh terutangnya serta dilaporkan di SPT PPh penerima,” kata Andi.
Dijelaskannya, PP 55 Tahun 2022 di tetapkan dan di undangkan pada 20 Desember 2020. Hal ini dipandang oleh sebagian konsultan pajak tidak memenuhi rasa keadilan.
Karena lanjut dia, sebagaimana diketahui bersama tujuan penerbitan peraturan itu di latar belakangi oleh prinsip kepastian hukum, kemudahan dan keadilan bagi Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Dia mengungkapkan, ada poin menarik dari hasil diskusi tersebut seperti adanya masukan dari salah satu anggota IKPI Bogor yang menyoroti masalah kesiapan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam mengaplikasikan peraturan yang telah terbit.
“Kesiapan yang dimaksud adalah, proses sosialiasi dari peraturan yang telah di terbitkan dan kesiapan penerbitan aturan pelaksananya, atau tepatnya untuk mendukung pelaksanaan dari peraturan tersebut,” kata Andi.
Lebih lanjut dia mengungkapkan, permasalahan tersebut sebenarnya hanya masalah komunikasi di mana sebagai konsultan pajak, mereka sangat memahami bahwa prinsip di bentuknya ketentuan peraturan perpajakan adalah untuk kemudahan dan keadilan bagi wajib pajak.
“Seperti ini yang disinggung di awal, contoh nya adalah keberlakuan peraturan yang bersifat surut yang di anggap tidak memenuhi unsur rasa keadilan bagi wajib pajak,” ujarnya.
Dengan demikian kata dia, jalan keluarnya adalah antisipasi ke depan saat dilakukan perencanaan, penyusunan rancangan, penetapan sampai dengan pengundangan peraturan lebih mendengarkan serta melibatkan masukan dari berbagai pihak, termasuk asosiasi konsultan pajak.
Namun demikian lanjut Andi, apa pun konsekuensi dari terbitnya peraturan tersebut, IKPI wajib mendukung karena mereka meyakini peraturan tersebut di bentuk mempunyai tujuan akhir yang mulia, yakni untuk mengisi kas negara.
Dia juga menyoroti adanya pasal yang memberatkan pada PP 55/2022 ini yakni pasal 73 mengenai perlakuan perpajakan atas penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan. Pasal ini mengatur tentang keberlakuan dari pemungutan PPh, mewajibkan pemberi kerja atau pemberi penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang menyelenggarakan pembukuan tahun buku 2022 dimulai sebelum 1 Januari 2022.
“Jadi aturan ini mulai berlaku pada 1 Januari 2022, dan bagi pemberi kerja atau pemberi penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang menyelenggarakan pembukuan tahun buku 2022 dimulai tanggal 1 Januari 2022 atau setelahnya,” katanya.
Dengan demikian berdasarkan pengalaman kata Andi, sampai saat ini dirinya belum menemui kendala yang berkaitan secara langsung, mengingat peraturan ini di tetapkan dan di undangankan pada Desember 2022.
“Kita masih perlu mempelajari aturan pelaksananya berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Seiring waktu tentunya kendala-kendala bisa saja muncul,” ujarnya.
Andi mengimbau kepada para konsultan pajak, walau pun peraturan tersebut penuh dengan warna warni, dinamika dan bahkan dapat menjadi bahan perdebatan, hendaknya dinamika tersebut jangan menjadi penghambat dari tujuan mulia diterbitkan peraturan pajak tersebut, yakni mengisi kas negara.
Tentunya sebagai praktisi perpajakan kata dia, seluruh konsultan wajib memberikan masukan dan bahkan kritik yang membangun atas peraturan perpajakan yang diterbitkan. Dengan demikian, ke depan proses pemungutan pajak dapat dilakukan dengan cara dan mekanisme yang mengusung konsep berkeadilan, kepastian hukum, kemudahan dan penyederhanaan administrasi perpajakan.
Sekadar informasi, bincang pajak ini dihadiri 50 peserta yang berasala dari IKPI Bogor, Bekasi dan masyarakat umum. Semua peserta terlihat sangat antusias mengikuti diskusi ini, dan itu bisa disaksikan dengan keaktifan peserta untuk terus melemparkan pertanyaan demi pertanyaan kepada narasumber. (bl)