Ingin Dapat Bantuan Gaji? Simak Syarat dan Rinciannya!

IKPI, Jakarta: Pemerintah kembali menggulirkan Bantuan Subsidi Upah (BSU) bagi para pekerja berpenghasilan rendah. Skema bantuan ini dipastikan mulai berjalan pada Juni 2025, sebagaimana ditegaskan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.

BSU ditujukan bagi karyawan dengan gaji di bawah Rp3,5 juta per bulan. Dalam skema baru ini, setiap pekerja yang memenuhi syarat akan menerima subsidi sebesar Rp150 ribu per bulan selama dua bulan. Artinya, total bantuan yang diterima mencapai Rp300 ribu.

“Bantuan subsidi upah ini sedang dimatangkan bersama Kementerian Ketenagakerjaan. Nilainya sekitar Rp150 ribu per bulan,” ujar Airlangga saat menghadiri agenda resmi di Kuala Lumpur, Malaysia, Selasa (27/5/2025).

Meskipun nominalnya lebih kecil dibanding bantuan serupa saat masa pandemi Covid-19 yang saat itu mencapai Rp600 ribu dalam sekali pencairan pemerintah menilai kebijakan ini tetap mampu membantu menjaga daya beli masyarakat pekerja.

Tak hanya BSU, pemerintah juga memperluas perlindungan sosial melalui perpanjangan diskon iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), khususnya bagi sektor padat karya.

Di sisi lain, untuk meringankan beban rumah tangga menjelang masa liburan sekolah, pemerintah menyiapkan serangkaian insentif. Mulai dari potongan harga untuk transportasi umum seperti kapal laut, kereta api, dan pesawat, hingga diskon tarif tol selama akhir Mei dan awal Juni.

Diskon tarif listrik juga kembali diberlakukan. Selama Juni hingga Juli 2025, rumah tangga dengan daya listrik di bawah 1.300 VA akan menikmati potongan tarif sebesar 50%. Program ini menyasar hingga 79,3 juta pelanggan.

Lebih lanjut, bantuan sosial dalam bentuk kartu sembako dan bantuan pangan juga akan diperluas. Setidaknya 18,3 juta keluarga penerima manfaat (KPM) tercatat akan mendapat tambahan alokasi bantuan tersebut.

Kebijakan terpadu ini diharapkan mampu menjaga kestabilan konsumsi masyarakat sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah dinamika global dan domestik yang belum sepenuhnya pulih. (alf)

 

 

Pemerintah Luncurkan 6 Paket Stimulus Konsumsi Domestik

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian resmi mengumumkan rencana peluncuran enam paket stimulus ekonomi berbasis konsumsi domestik yang dirancang untuk memperkuat daya beli masyarakat selama periode liburan sekolah Juni–Juli 2025. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyampaikan bahwa stimulus ini difokuskan pada sektor-sektor strategis seperti transportasi, energi, serta perlindungan sosial, dengan tujuan utama menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional di tengah tantangan global.

“Paket stimulus ini sedang difinalisasi dan dijadwalkan akan diluncurkan pada tanggal 5 Juni 2025. Pemerintah melihat momentum libur sekolah sebagai peluang strategis untuk mendorong perputaran ekonomi dari bawah, melalui peningkatan konsumsi masyarakat,” ujar Airlangga dalam konferensi pers usai rapat koordinasi ekonomi nasional, Jumat (23/5/2025).

Stimulus pertama berupa diskon transportasi publik meliputi potongan harga tiket kereta api, pesawat, dan angkutan laut. Diskon ini akan diberlakukan selama periode libur sekolah, dan ditujukan untuk mendorong mobilitas masyarakat, pariwisata domestik, serta mempercepat pemulihan sektor transportasi yang masih terdampak pandemi dan tekanan ekonomi global.

Stimulus kedua berupa diskon tarif tol yang ditargetkan dapat dinikmati oleh sekitar 110 juta pengendara di seluruh Indonesia. Kebijakan ini diyakini akan mengurangi beban biaya perjalanan darat dan meningkatkan arus logistik serta wisata antardaerah.

Pada sektor energi, pemerintah juga menggelontorkan stimulus ketiga berupa diskon tarif listrik sebesar 50% untuk 79,3 juta rumah tangga dengan daya listrik hingga 1.300 VA, yang akan diberlakukan selama dua bulan penuh, yakni Juni dan Juli 2025. “Keringanan ini diharapkan langsung mengurangi beban pengeluaran rumah tangga kecil dan menengah,” tambah Airlangga.

Selanjutnya, stimulus keempat menyasar keluarga prasejahtera melalui peningkatan alokasi bantuan sosial, seperti kartu sembako dan bantuan pangan yang akan diberikan kepada 18,3 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Tambahan bantuan ini dimaksudkan agar masyarakat tetap memiliki akses terhadap kebutuhan pokok selama masa liburan.

Stimulus kelima adalah Bantuan Subsidi Upah (BSU) bagi pekerja dengan gaji di bawah Rp3,5 juta atau di bawah UMP, serta bagi guru honorer. Pemerintah menargetkan program ini dapat memperkuat daya beli kelompok pekerja berpendapatan rendah yang sangat terdampak oleh inflasi.

Terakhir, stimulus keenam berupa perpanjangan program diskon iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), khusus bagi sektor padat karya, untuk membantu dunia usaha tetap menjaga produktivitas tenaga kerja mereka.

Airlangga juga menyampaikan bahwa pelaksanaan stimulus ini memerlukan kerja sama erat antara pemerintah pusat dan daerah, khususnya dalam mendorong penciptaan kegiatan pariwisata dan hiburan lokal, agar terjadi pergerakan ekonomi yang merata di seluruh wilayah Indonesia.

“Pemerintah Daerah harus menjadi motor penggerak dalam mengisi liburan dengan event dan program lokal yang mampu menarik minat masyarakat. Dengan begitu, belanja domestik bisa meningkat dan pertumbuhan ekonomi tetap stabil,” ujarnya. (alf)

Mengapa Pemerintah Belum Memberi Gelar Kepada Konsultan Pajak?

Dalam UU No. 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan pasal 259 menyebutkan salah satu profesi penunjang sektor keuangan adalah konsultan pajak. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan sebelumnya telah memberi payung hukum untuk membantu para konsultan pajak dalam existensinya dalam membantu pemerintah untuk mendukung pencapaian penerimaan negara dengan walaupun baru sebatas Peraturan Menteri, mengingat keberadaan jumlah para Konsultan Pajak dari dulu sangat banyak memberi bantuan kepada Masyarakat, seperti anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) yang memiliki ribuan anggota, namun belum memiliki landasan hukum perundang-undangan sebagai payung hukum seperti profesi lainnya selain izin, sertifikasi, juga pemberian gelar pada nama.

Sangat disayangkan tentang masih ada celah lemahnya indikator bagi masyrakaat untuk mengetahui tentang keberadaan profesi konsultan pajak. Untuk membedakan sebagai tenaga ahli dibidang konsultan pajak yang berizin, tidak sedikit konsultan pajak menyematkan gelar “BKP” di belakang penulisan namanya, walaupun tidak memiliki landasan hukum, namun tujuannya dibuat sebagai memperkenalkan diri yang memiliki rasa tanggung jawab sosial dengan menunjukkan jati diri identitas yang jelas memiliki jiwa integritas serta independensi dalam membantu hak dan kewajiban Wajib Pajak sebagaimana peraturan yang berlaku, sehingga WP dapat terhindar dari masalah pajak, yang merugikan berbagai pihak pemangku kepentingan.

Sebutan Gelar “BKP” untuk profesi konsultan pajak berizin sebagai yang memiliki kompetensi keahlian dibidang perpajakan menjadi fenomena atau fakta keadaan yang menurut penulis mungkin kurang atau luput perhatian dari pemerintah untuk memberi landasan hukum/aturan yang lebih jelas dan tegas sebagai identitas profesi yang resmi. Hal ini juga telah membawa pengaruh dan dampak kerugian bagi wajib pajak, Pemerintah, asosiasi konsultan pajak dan masyarakat secara keseluruhan.

Ketidak tahuan WP membedakan konsultan pajak yang berizin dan tidak berizin sangat kurang sehingga sering ditemukan wp menggunakan oknum konsultan Pajak yang menimbulkan masalah adalam pemenuhan hak dan kewajiban para wajib pajak. Informasi malalui pemberitaan lwat media social yang menyebutkan ada beberapa kasus pidana perpajakan yang melibatkan par oknum konsultan pajak baik yang memiliki izin maupun yang tidak memiliki izin resmi sebagaimana mestinya menjadi bukti betapa pentingnya pengawasan/monitoring terhadap para konsutan pajak melalui identitas diri lewat penggunaan gelar ahli khusus kepada konsultan pajak yang diberi izin oleh Kementerian Keuangan.

Sebagaimana pertimbangan Kementerian Keuangan bahwa untuk mewujudkan profesionalisme dan indenpensi pembinaan dan pengawasan profesi keuangan di Lingkungan Kementerian Keuangan, perlu dilakukan pengaturan tentang keberadaan para konsulta pajak yang lebih jelas, yang dari jaman dahulu secara nyata telah terlibat ikut bersama-sama membantu Kementerian Keuangan dalam pencapaian penerimaan negara dari pajak.

Untuk menghindari kerugian atau resiko pajak maupun resiko pidana bagi masyarakat atau wajib pajak yang telah diwajibkan melakukan pemenuhan hak dan kewajiban pajak sebagaimana dalam UU Pajak, maka masyarakat maupun wajib pajak (WP) sangat perlu mengetahui dan memahami betapa pentingnya membedakan “konsultan pajak” yang resmi dengan seorang konsultan yang mengaku-ngaku sebagai konsutlan pajak namun tidak memiliki izin secara resmi.

Seseorang yang telah lulus Ujian Kompetensi Sertifikasi Konsultan Pajak (USKP) yang diselenggarakan penyelengara USKP adalah merupakan pengakuan kelulusan resmi oleh pemerintah sebagai yang memiliki keahlian kompetensi dibidang pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan.

Dalam pasal 1 PMK No. 175 tahun 2022 menyebutkan konsultan pajak adalah orang yang memberikan jasa konsultasi perpajakan kepada wajib pajak dalam rangka melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Para konsultan pajak yang dimaksud secara resmi diberikan izin praktek oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan atau pejabat yang ditunjuk, dimana diberi kartu izin praktek sebagai tanda pengenal diri atau identitas sebagai konsultan pajak untuk memberikan jasa konsultasi perpajakan. Identitas dengan kartu izin praktek sebagaimana dalam PMK no. 175/2022 tersebut menurut pendapat penulis dan masyarakat beranggapan kurang efektif dan efisien serta penuh keterbatasan untuk pelaksanaan memonitoring / mengawasi para konsultan pajak dilapangan, termasuk menyulitkan para wajib pajak membedakan atau mengidentifikasi konsultan pajak yang resmi, dan sekaligus juga seakan tetap membuka ruang pintu bagi pihak oknum yang ingin membantu pemenuhan Hak dan Kewajiban Perpajakan para WP, karena kurangnya ketidak tahuan cara membedakannya.

Ada beberapa yang perlu dicatat dan menjadi pertimbangan pentinghya identitas Gelar/sebutan profesi bagi Konsultan Pajak yang sudah lulus USKP yang dilakukan oleh Panitia Penyelenggara USKP sebagaimana diatur dalam PMK No. 175/PMK/2022 tentang Konsultan Pajak, bahwa sebutan Gelar keahlian kompetensi sebagai tenaga ahli profesi bidang keilmuan perpajakan untuk Profesi konsultan pajak sangat diperlukan di atur resmi oleh peraturan dalam rangka mengatur administrasi tentang profesi Konsultan pajak yang lebih baik antara lain bahwa: sebutan Gelar keahlian kompetensi profesi bidang Konsultan pajak (BKP) akan dapat berdampak positif untuk membantu Pemerintah dalam mengawasi atau memonitor pihak konsultan pajak yang diberi izin mapun pihak-pihak ketiga (pihak oknum) yang membantu Wajib Pajak dalam pemenuhan Hak dan Kewajiban Perpajakan WP. Keberadaan Konsultan Pajak resmi, akan memberikan lebih keyakinan bagi pihak pemerintah dan juga wajib pajak itu sendiri bahwa pelaksanaan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakannya lebih baik karena sudah memiliki standar kompetensi yang diakui oleh pemerintah.

Dengan adanya Identias gelar Konsultan pajak maka diyakini berdampak langsung meminimalkan kasus pidana perpajakan karena sudah jelas kewajiban dan fungsi seorang konsultan pajak yang menjaga integritas dan independensinya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

Sebutan gelar keahlian kompetensi profesi bidang Konsultan pajak (BKP) dapat menjadi motivasi dan kebanggaan bagi seseorang untuk menjaga integritas profesinya sebagai tenaga profesi keuangan, sebagaiaman yang diatur dalam Undang-undang profesi lain seperti dokter, pengacara, akuntan dan lainnya.

Untuk itu sangat tepat jika seseorang yang lulus USKP yang diselenggarakan oleh panitia USKP, berhak mendapat menyandang gelar penyebutan profesi seperti gelar seperti yang dicantumkan oleh para konsultan pajak dengan menuliskan “BKP” atau “KP”atau penyebuatan gelar lain sebagai bukti telah lulus kompetensi seritifikasi keahlian profesi dibidang konsultan pajak yang diakui oleh Pemerintah. Dengan adanya identitas gelar bagi Konsultan Pajak akan berdampak positif bagi pihak WP/pengguna jasa konsultan pajak berizin serta ada rasa memiliki kenyamanan dan keamanan tari sisi tanggung jawab dan kualitas mendapatkan pelayanan, dan juga sebagai bukti bentuk dukungan dari pemerintah sebagai pihak resmi yang memberikan perizinan kepada konsultan pajak.

Adanya udentitas gelar bagi konsultan pajak, sudah pasti dapat membantu Pemerintah mengawasi para profesi konsultan pajak secara tidak langsung.

Dalam Pasal 1 angka 1 PMK No. 175/2022 menyebutkan Konsultan Pajak adalah orang yang memberikan jasa konsultasi perapjakan kepada wajib pajak dalam rangka melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Definisi konsultan pajak dalam PMK menurut pendapat penulis memiliki kelemahan dengan membuat ruang pintu bagi para oknum konsultan yang tidak memiliki izin praktek dengan memanfaatkan tafsiran atas penggunaan kata “ORANG” mengandung makna dapat diartikan tertuju kepada orang siapa saja dapat mnjadi konsultan pajak, sehingga penegasan ruang lingkup dalam peraturan ini menurut pendapat penulis kurang tegas menggunakan kata “SESEORANG”, karena keahlian sesorang konsultan pajak melekat pada diri sendiri yang sifatnya individual/pribadi.

Walaupun penjelasan tersebut didukung melalui pasal 2 ayat (1) huruf g PMK No. 175/2022 yang menyebutkan setiap orang perseorangan yag akan menjadi Konsultan Pajak harus memenuhi persyaratan antara lain huruf g menyebutkan kalimat “memiliki sertifikasi konsultan pajak”. Hal ini didukung Pasal 1 angka 4 PMK No. 175/2022 menjelaskan: “Sertifikasi Konsultan pajak adalah Surat Keterangan Tingkat keahlian sebagai Konsultan Pajak”.

Sangat disayangkan dalam PMK ini masih kurang jelas dan tegas memberikan indikator bagi masyarakat/WP yang memiliki keterbatasan pengetahuan untuk membedakan yang mana konsultan pajak berizin atau tidak berizin.

Untuk menutupi kelemahan indikator untuk identitas ini, maka dengan pengakuan sebagai tenaga ahli yang memiliki profesi kompetensi dibidang pajak, maka dengan identitas gelar tersebut sangat wajar diberi pemerintah atau asosiasi profesi yang membidangi konsultan pajak untuk membantu masyarakat/WP mengetahui apakah sesorang yang menawarkan jasa konsultan pajak adalah benar-benar memilii izin resmi yang diakui oleh Kementerian Keuangan.

Mengingat pentingya indikator pemberian gelar keahlian bidang pajak secara hukum untuk yang menunjukkan sebagai tenaga ahli konsultan pajak, maka penulis berpendapat bahwa pemberian identitas gelar kepada para ahli bidang konsultan pajak yang sudah memiliki sertifikasi kompetensi pengetahuan tentang pajak wajib diberi sebagai bentuk penghargaan dan penolong pengawasan bagi pemerintah.

Pemerintah bisa juga mendelegasikan pemberian gelar keahlian bidang pajak ini kepada panitia penyelengara USKP di mana saat seseorang sudah lulus ujian. Tujuannya sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya serta untuk menghindari kerugian bagi pemerintah, masyarakat, wajib pajak, konsultan pajak serta pemangku kepentigna lainnya contohnya kerugian bagi lembaga asosiasi bidang konsultan pajak, seperti Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) yang memiliki ribuan anggota yang tersebar di seluruh Indonesia, dimana hanya karena WP kurang mengetahui beda konsultan pajak yang diakui dan diberi izin oleh negara telah menimbulkan kasus pidana pajak yang secara otomatis dapat memengaruhi bahkan mengurangi penerimaan negara.

Penulis adalah anggota IKPI dan Dosen Universitas Mercu Buana

Dr. Feber Sormin, S.E., M.Ak., Ak., CA., ASEAN CPA 

Email: minsor2002@yahoo.com

Disclaimer: Tulisan merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

Coretax dan PMK 15/2025 Masih Jadi Topik Menarik, 106 Peserta Padati PPL IKPI Kota Malang

IKPI, Malang: Pelaksanaan Program Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) yang digelar oleh Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Kota Malang berjalan sukses dan lancar. Kegiatan yang berlangsung pada Sabtu (24/5/2025) di HARRIS Hotel and Conventions Malang ini diikuti oleh 106 peserta secara luring, termasuk 11 peserta dari kalangan perguruan tinggi dan sisanya dari anggota aktif IKPI, khususnya dari Cabang Kota Malang.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Kota Malang)

Ketua IKPI Cabang Kota Malang, Ahmad Dahlan, menyampaikan apresiasinya atas antusiasme peserta dalam mengikuti kegiatan ini. Ia menyebut, topik yang diangkat kali ini sangat relevan dan aktual, terutama bagi para konsultan pajak dan lembaga pendidikan yang kini menghadapi tantangan baru dalam pemenuhan kewajiban perpajakan.

“Pelaksanaan PPL kali ini sangat menggembirakan, antusiasme peserta tinggi, dan materi yang dibahas sangat aplikatif, terutama terkait aspek perpajakan dan implementasi Coretax,” ujar Ahmad Dahlan, Selasa (27/5/2025).

(Foto: DOK. IKPI Cabang Kota Malang)

Kegiatan ini menghadirkan narasumber ahli, Anwar Hidayat, yang memaparkan berbagai aspek penting dalam dunia perpajakan. Pokok bahasan yang diangkat antara lain proses pemeriksaan pajak berdasarkan PMK Nomor 15 Tahun 2025, strategi menghadapi pemeriksaan pajak, hingga rincian kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi oleh lembaga pendidikan.

Selain itu, peserta juga mendapatkan wawasan mendalam mengenai serba-serbi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 15/2025 dan implementasi sistem Coretax yang menjadi salah satu terobosan digital dalam sistem perpajakan nasional.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Kota Malang)

Dengan kegiatan ini, IKPI Cabang Kota Malang berharap para konsultan pajak dan pelaku lembaga pendidikan dapat lebih siap dan cermat dalam menghadapi pemeriksaan serta memenuhi kewajiban perpajakan sesuai regulasi terbaru. (bl)

PNBP April 2025 Turun Tajam, Kemenkeu Ungkap Perubahan Kebijakan Pelaporan

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan melaporkan realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) hingga akhir April 2025 mencapai Rp153,3 triliun. Meski sudah memenuhi 29,8 persen dari target APBN tahun ini, angka tersebut mengalami penurunan signifikan sebesar 24,59 persen dibanding periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp203,3 triliun.

Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menjelaskan bahwa perbedaan tersebut salah satunya disebabkan oleh perubahan metode pelaporan. Mulai tahun ini, PNBP tidak lagi mencantumkan penerimaan dari kekayaan negara yang dipisahkan, termasuk dividen dari BUMN. Komponen tersebut kini dikelola oleh Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara, sehingga tidak tercermin dalam PNBP.

“PNBP dari kekayaan negara dipisahkan (KND) tidak lagi masuk dalam perhitungan penerimaan negara nonpajak,” ujar Anggito dalam konferensi pers, dikutip Senin (26/5/20225).

Meski secara tahunan mencatat kontraksi, beberapa komponen PNBP justru menunjukkan pemulihan bulanan. PNBP dari sektor sumber daya alam (SDA) migas, misalnya, tumbuh 23,4 persen menjadi Rp9,1 triliun dibandingkan Maret. Hal ini dipengaruhi oleh kenaikan volume lifting minyak dan fluktuasi nilai tukar rupiah.

PNBP dari SDA nonmigas juga membukukan kenaikan signifikan, naik 16,8 persen dari bulan sebelumnya, dengan nilai mencapai Rp11 triliun. Kinerja positif ini didorong oleh meningkatnya produksi dan harga batu bara, seiring dengan tren penguatan harga komoditas global.

Namun demikian, tidak semua pos PNBP mencatatkan kinerja baik. Kategori PNBP lainnya justru turun drastis sebesar 22,5 persen, dari Rp13,9 triliun pada Maret menjadi Rp10,8 triliun di April. Pelemahan ini disebabkan oleh berkurangnya pendapatan jasa bersifat musiman. Pendapatan dari Badan Layanan Umum (BLU) pun anjlok 25,3 persen menjadi Rp6,5 triliun, imbas dari penyesuaian setoran beberapa instansi BLU.

Rata-rata bulanan realisasi PNBP tahun ini pun mencerminkan tekanan tersebut. Hingga April 2025, rata-rata penerimaan bulanan tercatat Rp40,9 triliun—lebih rendah dari rata-rata April 2024 sebesar Rp44,4 triliun dan April 2023 sebesar Rp49,1 triliun.

Faktor eksternal seperti fluktuasi harga komoditas, dinamika pasar global, serta berkurangnya penerimaan nonrutin dari kementerian/lembaga disebut turut menekan kinerja PNBP tahun ini. (alf)

 

Industri Jalan Tol Terjepit Beban Pajak, BUJT Mengeluh Tak Dapat Insentif

IKPI, Jakarta: Industri jalan tol di Indonesia kembali menyuarakan keprihatinan atas berbagai kebijakan fiskal yang dinilai menyulitkan kelangsungan usaha Badan Usaha Jalan Tol (BUJT). Dalam rapat dengar pendapat di Komisi V DPR RI, Senin (26/5/2025), Sekretaris Asosiasi Jalan Tol Indonesia (ATI), Kris Ade Sudiyono, memaparkan sederet beban pajak yang dinilai tak proporsional.

Salah satu sorotan utama adalah pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11 persen atas jasa konstruksi jalan tol. Ironisnya, pungutan tarif dari pengguna jalan tol tidak dikenakan PPN, sehingga BUJT tidak bisa mengkreditkan pajak masukannya. “Misalnya dari proyek senilai Rp 110 miliar, hanya Rp 100 miliar yang menjadi infrastruktur. Sisanya Rp 10 miliar, langsung menjadi beban pajak yang tak bisa dikompensasi,” ujar Kris.

Tak hanya itu, lonjakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) juga dinilai memberatkan. Menurutnya, terdapat kasus kenaikan PBB hingga 200–300 persen hanya dalam kurun dua tahun, tanpa dasar kenaikan nilai tanah yang sepadan. Kris mencontohkan proyek jalan tol Semarang-Demak yang juga berfungsi sebagai tanggul laut, namun tetap dibebankan PBB secara penuh.

“Padahal, fungsi tanggul laut itu bukan tujuan utama tol,” tambahnya.

Beban lain yang turut disoroti adalah keterbatasan dalam pengakuan kerugian usaha. Aturan fiskal saat ini hanya mengizinkan akumulasi kerugian selama lima tahun, sementara proyek jalan tol umumnya baru mencapai titik impas setelah 10 hingga 15 tahun. Akibatnya, BUJT tidak bisa menikmati manfaat loss carry forward secara optimal.

Kris juga menyesalkan absennya industri jalan tol dari daftar sektor penerima insentif fiskal seperti tax holiday atau tax allowance. “Padahal, tiap ruas jalan tol biasanya melibatkan investasi lebih dari Rp 5 triliun dan jelas berkontribusi pada pembangunan ekonomi dan infrastruktur daerah,” ujarnya.

Dengan berbagai tekanan fiskal tersebut, Kris menyimpulkan bahwa mayoritas BUJT saat ini masih mencatatkan kerugian. “Banyak yang masih berdarah-darah. Ini menjadi tantangan besar bagi keberlanjutan investasi jalan tol ke depan,” tutupnya. (alf)

 

Pelaku Industri Kripto Minta Pemerintah Hapus PPN

IKPI, Jakarta: Diskusi mengenai regulasi perpajakan aset kripto di Indonesia kembali mencuat ke permukaan. Dalam perayaan Bitcoin Pizza Day bertajuk Bitcoin Bites Back, pelaku industri kripto mendesak pemerintah agar segera merevisi skema pajak yang dinilai sudah tidak relevan dengan perkembangan ekosistem aset digital saat ini.

Oscar Darmawan, Co-founder Indodax, mengungkapkan bahwa persoalan pajak kripto sudah kerap menjadi topik utama dalam forum diskusi bersama Kementerian Keuangan. Menurutnya, sejak kripto dialihkan ke bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan dikategorikan sebagai aset keuangan, maka seharusnya PPN tidak lagi berlaku atas transaksinya.

“Sebelumnya kripto dianggap komoditas, sehingga ada PPN 0,1% dan PPh 0,1%. Tapi sekarang statusnya sudah berubah. Seperti saham, harusnya tidak kena PPN lagi,” ujar Oscar.

Pernyataan serupa juga datang dari Hamdi Hassarbaini, CEO Bitwewe. Ia menekankan pentingnya konsistensi kebijakan pajak terhadap produk keuangan. “Sekarang kripto adalah aset keuangan, bukan barang. Maka perlakuannya juga harus seperti produk keuangan lain yang tidak dikenakan PPN,” katanya.

Aturan perpajakan kripto saat ini masih mengacu pada PMK No. 68 dan PMK No. 81 Tahun 2024. Pasal 359 ayat 2(a) dalam PMK tersebut menetapkan tarif 0,1% atas transaksi aset kripto yang dilakukan melalui platform resmi, di luar komponen PPN dan pajak barang mewah. Namun, dengan perubahan otoritas pengawasan ke OJK, pelaku industri berharap beleid ini segera direvisi agar lebih selaras dengan lanskap regulasi terkini.

Dibanding Negara Lain, Pajak Kripto RI Masih Ramah

Meski demikian, Oscar mengakui bahwa secara umum, rezim pajak kripto Indonesia masih dalam taraf wajar jika dibandingkan dengan negara lain. “Setidaknya, Indonesia bukan negara dengan pajak kripto paling tinggi,” ujarnya.

Andy Lynn dari Crypstocks juga menilai Indonesia cukup kompetitif. “Kalau dibandingkan negara-negara seperti AS, Kanada, atau Jepang, tarif di sini jauh lebih ringan,” kata Andy.

Di Amerika Serikat, misalnya, aset kripto dikenakan pajak penghasilan antara 10% hingga 37% untuk keuntungan jangka pendek, dan 15% hingga 20% untuk jangka panjang. NFT bahkan bisa dikenai tarif khusus sebesar 28%.

Sementara di Kanada, kripto dikategorikan sebagai komoditas dan bisa dikenai pajak federal hingga 33%, belum termasuk pajak provinsi. Di Australia, pajak atas kripto bisa menembus 45%, sedangkan Jepang menerapkan tarif progresif hingga 55%.

Denmark juga menerapkan tarif pajak tinggi, antara 37% dan 52%, tergantung pendapatan individu. Jerman relatif lebih lunak, tetapi hanya jika aset disimpan lebih dari satu tahun—jika dijual lebih cepat, pajaknya bisa mencapai 45%. (alf)

 

 

 

 

IKPI Dorong Kepengurusan Cabang Kabupaten Bekasi Segera Aktif dan Produktif Usai Pemilihan Ketua

IKPI, Kabupaten Bekasi: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menaruh harapan besar pada pengurus baru Cabang Kabupaten Bekasi untuk segera membentuk struktur organisasi lengkap dan melaksanakan program kerja yang selaras dengan arah kebijakan pusat. Hal ini ditegaskan oleh Ketua Departemen Pengembangan Organisasi IKPI, Nuryadin Rahman, saat menghadiri acara pemilihan Ketua Cabang IKPI Kabupaten Bekasi yang digelar pada Senin (26/5/2025).

Dalam forum tersebut, Nuryadin menyampaikan pentingnya kesinambungan organisasi di tingkat cabang sebagai ujung tombak pelaksanaan program dan misi IKPI di lapangan. Ia menegaskan bahwa setelah ketua cabang terpilih, langkah selanjutnya yang paling mendesak adalah pembentukan kepengurusan inti dan pendukung.

“Harapan saya sebagai pengurus pusat dan Ketua Departemen Pengembangan Organisasi, setelah terpilih ketua cabang, segera dibentuk kepengurusannya. Dalam AD/ART IKPI, disebutkan bahwa sekurang-kurangnya harus ada Sekretaris dan Bendahara. Tapi karena kebutuhan cabang yang beragam, tentu bisa ditambahkan seksi-seksi sesuai prioritas kerja masing-masing,” ungkap Nuryadin.

Ia juga menekankan pentingnya pengurus baru untuk langsung ‘bergerak’, menyusun agenda kegiatan, dan melibatkan anggota secara aktif dalam kegiatan yang mendukung eksistensi dan kontribusi IKPI, baik di bidang edukasi, pelayanan profesi, hingga penguatan kapasitas konsultan pajak.

“Kalau bisa, kepengurusan baru ini segera melaksanakan kegiatan-kegiatan yang mendukung organisasi. Gerak cepat ini penting agar keberadaan cabang terasa manfaatnya, tidak hanya bagi anggota, tapi juga masyarakat dan mitra strategis lainnya,” ujar Nuryadin.

Dalam acara tersebut, turut hadir Ketua Pengurus Daerah (Pengda) IKPI Jawa Barat, Heru, dan Sekretaris Pengda, Ferdian, yang memberikan dukungan langsung terhadap proses pemilihan dan konsolidasi internal di Cabang Bekasi.

Hadir pula Pengurus Pusat IKPI, Suwardi Hasan, yang juga merupakan anggota cabang Kabupaten Bekasi dan berdomisili di Cikarang. Ketua Departemen Pengembangan Organisasi, Nuryadin Rahman dan Plh Sekretaris Umum Novalina Magdalena.

Nuryadin mengakui bahwa kehadiran anggota dalam acara ini belum maksimal. Dari total sekitar 80 anggota cabang, hanya sekitar 15 orang yang hadir secara langsung. Menurutnya, semua anggota sudah diundang secara resmi melalui email, namun kemungkinan besar kesibukan pribadi menjadi kendala kehadiran.

Meski demikian, ia tetap optimistis bahwa dengan komunikasi yang baik dan pelibatan aktif dalam program kerja ke depan, partisipasi anggota akan meningkat. Ia juga mendorong ketua cabang terpilih untuk tidak menunda pembentukan program kerja dan dapat memanfaatkan dukungan dari pusat maupun daerah dalam menjalankan mandat organisasi.

Acara ini menandai babak baru bagi IKPI Cabang Kabupaten Bekasi dalam memperkuat eksistensinya di tingkat daerah, sekaligus menjadi momentum konsolidasi yang diharapkan dapat membawa energi baru bagi penguatan profesi konsultan pajak di wilayah yang berkembang pesat ini.

Sekadar informasi, pada pemilihan ini, Asep Ardiansyah terpilih sebagai Ketua IKPI Cabang Kabupaten Bekasi secara aklamasi, dan kemudian ketua terpilih harus segera membentuk jajaran kepengurusan agar roda organisasi cepat berjalan. (bl)

IKPI Mendukung Regulasi Tentang Kuasa Wajib Pajak Sesuai Amanat UU HPP

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld mendukung pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu), agar segera menyusun dan menerbitkan regulasi yang mengatur dengan jelas keberadaan serta kewenangan pihak-pihak yang menerima kuasa dari wajib pajak, baik yang merupakan konsultan pajak maupun pihak lain. Regulasi tersebut dinilai krusial untuk menciptakan kepastian hukum dan menjaga integritas profesi konsultan pajak di Indonesia maupun kuasa wajib pajak dari pihak lain dalam membantu wajib pajak memenuhi hak dan/atau kewajiban di bidang perpajakan sebagaimana diatur pada UU HPP.

Menurut Vaudy, hingga saat ini belum ada aturan tegas yang mengatur mengenai pengertian “kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan” sebagaimana dimaksud pada Pasal 32 ayat (3a) UU HPP. Hal ini sangat penting di atur untuk membedakan secara formal antara kuasa wajib yang diberikan kepada konsultan pajak dan yang diberikan kepada pihak lain (non-konsultan pajak). Akibatnya, banyak wajib pajak menganggap profesi yang berhubungan dengan perpajakan adalah hanya konsultan pajak.

“Ini celah hukum yang sangat serius. Tidak hanya membahayakan kepentingan wajib pajak, tapi juga merusak kredibilitas sistem perpajakan secara keseluruhan bahkan profesi konsultan pajak sendiri,” tegasnya.

IKPI mengusulkan agar pemerintah tidak hanya membedakan secara administratif antara dua kelompok ini, tapi juga memberikan perlakuan yang setara dari sisi pengawasan dan kewajiban. Ia menekankan bahwa siapa pun yang menerima kuasa dari wajib pajak dalam urusan perpajakan, baik konsultan pajak maupun pihak lain (non-konsultan pajak) harus tunduk pada persyaratan dan standar profesional yang sama.

“Kalau pemerintah mengizinkan non-konsultan untuk bertindak sebagai kuasa wajib pajak, maka mereka juga harus dikenai kewajiban dan hak yang sama seperti konsultan pajak. Mereka harus diwajibkan ujian sertifikasi, menyampaikan laporan tahunan kepada pemerintah, serta mengikuti Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) sesuai ketentuan yang berlaku, bahkan mempunyai kode etik,” ujarnya.

IKPI menilai bahwa perlakuan berbeda antara konsultan pajak dan pihak lain yang bekerja di bidang perpajakan ini justru menciptakan ketimpangan dan ketidakadilan dalam praktik perpajakan. Aturan tentang Konsultan Pajak sudah jelas yaitu pada PMK 175/PMK.03/2022, pada PMK ini membebankan konsultan pajak dari berbagai kewajiban profesional, mulai dari pelaporan, kode etik, hingga pengembangan kapasitas secara berkelanjutan, sementara pihak lain non-konsultan tidak ada pengaturan yang jelas pada hal keduanya bekerja pada bidang yang sama yaitu membantu wajib pajak untuk memenuhi hak dan/atau kewajiban perpajakannya.

“Jika dibiarkan seperti ini, konsultan pajak akan selalu berada di posisi tidak seimbang bahkan cenderung menjadikan profesi konsultan pajak sebagai profesi yang tidak menarik dibandingkan kuasa wajib pajak dari pihak lain. Kami kami harus ujian sertifikasi, diawasi, kami dikenai PPL, kami tunduk pada kode etik dan sanksi, kami di atur melalui peraturan Menteri keuangan sedangkan kuasa wajib pajak dari pihak lain tidak ada pengaturannya. Padahal mereka juga terlibat langsung dalam kegiatan perpajakan melalui kuasa wajib pajak. Ini sangat tidak adil. Untuk itu IKPI sangat mendukung pengaturan mengenai kuasa wajib pajak sesuai amanat UU HPP,” katanya.

Sebagai organisasi profesi yang menaungi lebih dari 7.000 konsultan pajak bersertifikat di seluruh Indonesia, IKPI meminta agar Kemenkeu segera menyusun regulasi yang memuat:

• Definisi dan kriteria kuasa wajib pajak,

• Kewajiban pelaporan dan pengembangan profesional berkelanjutan bagi seluruh penerima kuasa,

• Sanksi administratif dan pidana bagi pihak yang mengaku sebagai kuasa wajib pajak tanpa legitimasi,

• ⁠Kewajiban registrasi dalam sistem informasi resmi Kemenkeu seperti SIKoP bagi konsultan pajak.

“Regulasi ini bukan hanya untuk melindungi profesi wajib pajak, tapi lebih penting lagi untuk melindungi wajib pajak dan menjaga wibawa hukum sistem perpajakan kita. Semua pihak yang menjalankan fungsi strategis dalam sistem perpajakan harus tunduk pada aturan yang adil dan setara,” kata Vaudy.

Diketahui, pernyataan Vaudy ini mengacu kepada Pasal 32 ayat (3a) UU KUP dalam UU HPP yang berbunyi “Seorang kuasa yang ditunjuk harus mempunyai kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan, kecuali kuasa yang ditunjuk merupakan suami, istri, atau keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua,”

Lebih lanjut ia menyebutkan, pada Pasal 32 ayat (3) UU HPP mengatur bahwa orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pada penjelasan Pasal 32 ayat (3) UU HPP menjelaskan mengenai seorang kuasa, yaitu orang yang menerima kuasa khusus dari Wajib Pajak untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022 khususnya Pasal 51, pemerintah memperjelas ketentuan mengenai Kuasa Wajib Pajak. Yaitu membedakan Kuasa Wajib Pajak yang terdiri dari Konsultan Pajak, Pihak Lain, atau Keluarga. Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah ini pemerintah memperjelas ketentuan mengenai Kuasa Wajib Pajak.

Namun, pada prakteknya Wajib Pajak tidak dapat membedakan antara Kuasa Wajib Pajak dari Konsultan Pajak maupun Pihak Lain. Wajib Pajak menganggap profesi yang berhubungan dengan perpajakan adalah konsultan pajak saja, namun UU HPP telah membedakan antara profesi Konsultan Pajak maupun Pihak Lain dalam membantu Wajib Pajak untuk memenuhi hak da/atau kewajibannya. (bl)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

IKPI Tegaskan Idrus Efendi Bukan Konsultan Pajak Resmi: Masyarakat Diimbau Cek Lewat SIKoP Sebelum Gunakan Jasa KP

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menanggapi pemberitaan Kompas.com berjudul “Produsernya Ditangkap, Film Ini Ternyata Dibiayai dari Hasil Penggelapan Rp 2,2 Miliar” yang tayang pada Minggu, 25 Mei 2025. Dalam laporan tersebut, tersangka Idrus Efendi disebut sebagai “konsultan pajak” yang menggelapkan dana kliennya hingga Rp2,2 miliar untuk membiayai produksi film.

Menanggapi hal itu, Ketua Departemen Humas IKPI Jemmi Sutiono menegaskan bahwa Idrus Efendi bukan Konsultan Pajak (KP) resmi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang berlaku. “Kami ingin meluruskan bahwa berdasarkan data yang kami miliki, yang bersumber dari Sistem Informasi Konsultan Pajak (SIKoP), nama yang bersangkutan tidak terdaftar sebagai konsultan pajak. Ia bukan anggota IKPI dan tidak memiliki izin praktik yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan,” kata Jemmi, Senin (26/5/2025).

Jemmi mengimbau masyarakat, khususnya para Wajib Pajak (WP), untuk tidak sembarangan menggunakan jasa pihak yang mengaku sebagai konsultan pajak. Menurutnya, hanya konsultan pajak resmi yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab profesional untuk mewakili, mendampingi, atau memberi nasihat kepada WP dalam urusan perpajakan.

“Jasa konsultan pajak adalah jasa kepercayaan. Konsultan pajak resmi harus melalui proses sertifikasi, memiliki izin praktik, dan wajib mengikuti pelatihan serta pembinaan secara berkala. Setiap pelanggaran kode etik bisa dikenai sanksi. Ini berbeda jauh dengan pihak-pihak yang hanya mengaku-ngaku,” jelasnya.

Untuk itu, Jemmi menekankan pentingnya melakukan pengecekan status KP melalui SIKoP (Sistem Informasi Konsultan Pajak) yang dikelola oleh Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK), Kementerian Keuangan. “Wajib Pajak bisa dengan mudah mengecek status seorang konsultan pajak melalui laman resmi https://sikop.pajak.go.id. Di sana tersedia data lengkap, termasuk tingkat sertifikasi dan nomor izin praktik,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Jemmi menjelaskan bahwa konsultan pajak terdaftar bukan hanya tunduk pada regulasi perpajakan, tetapi juga diawasi oleh organisasi profesi seperti IKPI. Setiap anggota wajib mematuhi kode etik, menjalani pembaruan pengetahuan secara berkala (continuous professional development), serta menjaga integritas dan profesionalisme dalam melayani klien.

“Profesi konsultan pajak bukan sekadar soal menghitung pajak atau mengisi formulir SPT. Ini menyangkut nasihat hukum dan kepatuhan pajak yang dapat berdampak signifikan pada risiko hukum maupun keuangan klien. Maka dari itu, menggunakan jasa konsultan pajak ilegal sama saja menaruh risiko besar atas nama pribadi atau perusahaan,” ujarnya.

IKPI juga mengingatkan media massa agar lebih berhati-hati dalam menyebut status hukum seseorang sebagai konsultan pajak. “Sebutan ‘konsultan pajak’ tidak boleh digunakan sembarangan. Ada standar profesional dan perizinan yang melekat. Memberi label kepada tersangka yang bukan KP bisa merugikan profesi secara keseluruhan,” kata Jemmi. (bl)

id_ID