Telaah atas Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 Tentang Pajak Penghasilan atas Imbalan Natura/Kenikmatan

oleh : Bambang Pratiknyo

Aturan pelaksanaan tentang perlakuan PPh atas Imbalan Natura/Kenikmatan akhirnya  diterbitkan, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 (selanjutnya disingkat dengan PP No.5 Tahun 2022). Dari segi waktu penerbitannya yang di penghujung tahun 2022 memang agak disayangkan mengingat berdasarkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) ketentuan pemajakan atas natura/kenikmatan sudah berlaku sejak 1 Januari 2022. Namun demikian setidaknya pemenuhan kewajiban perpajakan tahun 2022 masih ada waktu 3 sampai 4 bulan ke depan.

Sudah tentu aturan ini sangat ditunggu-tunggu oleh Wajib Pajak, baik Pemberi Imbalan (Pemberi Kerja) maupun Penerima Imbalan (Pegawai), karena jika hanya mendasarkan pada ketentuan UU HPP, pemajakan atas natura/kenikmatan masih diliputi ketidak-jelasan. 

Pemahaman atas kejelasan yang diberikan oleh PP No. 5 Tahun 2022 sangat penting. Untuk itu di bawah ini diuraikan telaah atas perlakuan pemajakan atas imbalan natura/kenikmatan berdasarkan PP tersebut. Telaah dilakukan meliputi aspek Obyek Pajak, Penilaian dan Implikasi bagi Pemberi Kerja.

A. Objek Pajak Imbalan Natura/Kenikmatan

Seperti diketahui, objek pajak atas imbalan natura/kenikmatan dibuat dengan pendekatan negative list yang mana objek pajaknya adalah yang tidak dikecualikan. Imbalan natura/kenikmatan yang dikecualikan diperjelas oleh PP No. 55 tahun 2022 yang penulis sajikan dengan tabel :

Penjelasan atas natura/kenikmatan yang dikecualikan dari huruf a sampai c pada dasarnya tidak berbeda dengan penegasan yang pernah diberikan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebelum UU HPP, yaitu PMK No.167/PMK.03/2018.

Terkait dengan makanan dan/atau minuman bagi seluruh pegawai terdapat persoalan mengenai perlakuan atas makanan/minuman yang dikonsumsi dari kupon yang dikonsumsi bukan di tempat kerja oleh Pegawai selain bagian pemasaran, transportasi dan dinas luar lainnya? Berdasarkan ketentuan tekstual, maka atas kasus tersebut tetap tidak dikecualikan, alias kena pajak.

Jika benar demikian, dapat dinyatakan bahwa ketentuan ini kurang adil, dan karenanya hal ini merupakan persoalan yang harus dituntaskan. Khusus tentang bahan makanan/minuman dengan batasan nilai tertentu yang dikecualikan sebagai objek pajak akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Berkenaan dengan ketentuan natura/kenikmatan di daerah tertentu tidak terdapat persoalan, malahan khusus tentang pengangkutan pegawai tidak lagi dibatasi hanya untuk penugasan pertama dan pada saat berakhirnya penugasan. Dengan demikian kenikmatan berupa fasilitas pengangkutan sehari-hari ke dan dari tempat kerja di daerah tertentu menjadi objek pajak yang dikecualikan. 

Pengecualian objek pajak atas natura/kenikmatan yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan juga pada umumnya mengacu kepada penegasan dalam PMK No.167/PMK.03/2018. Hal yang membedakan dalam PP No.55 Tahun 2022 adalah ditambahkannya kata “Kesehatan” selain keamanan dan keselamatan kerja. Untuk itu PP No. 55 tahun 2022 mengecualikan natura dan/atau kenikmatan yang diterima dalam rangka penanganan endemi, pandemi, atau bencana nasional.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “natura dan/atau kenikmatan yang diterima dalam rangka penanganan endemi, pandemi, atau bencana nasional” meliputi natura dan/atau kenikmatan yang diterima Pegawai beserta anggota keluarganya berdasarkan ketentuan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan antara lain berupa alat pendeteksi virus pandemi dan/atau vaksin beserta sarana penunjangnya.

Namun demikian terkait dengan Pengecualian objek pajak atas natura/kenikmatan yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan ini masih menyisakan persoalan, yaitu kalimat “yang diwajibkan oleh kementerian atau lembaga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Bagaimana Wajib Pajak mengetahui tentang “yang diwajibkan oleh kementerian atau lembaga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan”? Akibatnya jika ternyata ada natura/kenikmatan yang diberikan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan yang tidak diwajibkan oleh kementerian/Lembaga, maka pengecualiannya menjadi gugur. Termasuk dalam hal ini adalah fasilitas antar jemput pegawai yang mana sesungguhnya berdasarkan Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-220/PJ/2002 bukan merupakan objek pajak tanpa mengaitkan dengan kewajiban dari kementerian/lembaga.

Selain itu, pakaian seragam bagi pekerja di Bank atau perusahaan lainnya yang tidak terkait dengan keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja tentu saja masih menjadi persoalan tersendiri apabila tidak diwajibkan oleh kementerian/lembaga. Oleh karena itu hal ini merupakan persoalan yang harus dituntaskan melalui penegasan oleh Pemerintah.

Hal utama dan yang terpenting terkait dengan ketentuan objek pajak atas imbalan natura/kenikmatan adalah ketentuan huruf e, yaitu natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan/atau batasan tertentu. Sangat pentingnya ketentuan ini karena selain berimplikasi kepada ketentuan huruf a, b dan c di atas juga menentukan tercapai atau tidaknya tujuan awal pemajakan atas imbalan natura/kenikmatan, yaitu mencegah kurangnya penerimaan negara dari pilihan pemberian natura/kenikmatan kepada pegawai yang terkena tarif PPh yang lebih tinggi dari tarif PPh Pemberi Kerja.

Dengan PP No. 55 Tahun 2022 ternyata persoalan ini belum dituntaskan dan masih harus menunggu PMK. Meski demikian dalam PP No. 55 tahun 2022 arahnya sudah terindikasi, yaitu dengan adanya kriteria penerima penggantian. Dengan adanya kriteria penerima penggantian diharapkan penerima penggantian yang masih terkena tarif rendah tidak perlu dikenakan pajak atas penerimaan natura/kenikmatannya. Selain itu, kenikmatan berupa fasilitas kesehatan (contoh klinik buat pekerja) sebaiknya juga dikecualikan sebagaimana telah dikemukakan penulis pada artikel sebelumnya.  

B. Penilaian imbalan natura/kenikmatan

Dengan PP No.55 tahun 2022 masalah nilai imbalan natura/kenikmatan menjadi lebih jelas, yaitu bahwa untuk natura harus dinilai dengan nilai pasar, sedangkan untuk kenikmatan dinilai berdasarkan jumlah biaya yang dikeluarkan atau seharusnya dikeluarkan. Walaupun lebih jelas, namun tentu saja ketentuan nilai pasar menimbulkan ketidakpastian, sebab nilai pasar menurut siapa yang akan dipakai. Apakah harus berdasarkan Penilai professional (valuer/appraisal) ? 

Oleh karena itu sudah tepat ketentuan yang terdapat dalam Pasal 31 huruf c PP No. 55 Tahun 2022 yang mana mengatur bahwa masalah penilaian akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri. Dengan nantinya penilaian diatur dalam Peraturan Menteri, maka seharusnya akan tercipta kepastian. Termasuk dalam hal ini adalah penilaian atas kenikmatan fasilitas klinik perusahaan yang apabila tidak dikecualikan (meski Penulis berharap dikecualikan) seharusnya dapat ditentukan secara adil, walau cenderung akan sulit ditentukan.

Demikian pula penilaian kenikmatan pemakaian kendaraan yang dimiliki perusahaan atau kendaraan yang disewa oleh perusahaan boleh jadi berbeda nilainya yang mana biaya atas kendaraan yang dimiliki perusahaan akan terdiri dari unsur depresiasi, Pajak Kendaraan Bermotor, asuransi, dan pemeliharaannya, sedangkan kendaraan yang disewa biayanya hanya sebesar nilai sewanya. Oleh karena itu sebaiknya dalam PMK nanti kasus seperti ini juga diatur.

C. Hubungan dengan PPh Pemberi Kerja

Aspek perlakuan pemajakan atas natura/kenikmatan tentu terkait dengan perlakuan biayanya bagi Pemberi kerja dan pemotongan pajaknya. Oleh karena itu pada bagian ini akan diuraikan perlakuannya menurut PP No.55 Tahun 2022 dan persoalan yang mungkin terjadi.

Meskipun pada Pasal 9 UU HPP biaya natura/kenikmatan bagi pekerja tidak lagi eksis, namun berdasarkan Pasal 32 C UU HPP, perlakuannya diatur lebih lanjut oleh PP No. 55 Tahun 2022 pada Pasal 23 ayat (2) yaitu bahwa biaya tersebut akan diperkenankan sebagai pengurang penghasilan bruto (deductible) jika berkaitan dengan upaya mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan (3M).

Sebelumnya, perlakuan pemajakan atas imbalan natura/kenikmatan adalah deductible jika taxable pada pegawai (sesuai dengan kaidah deductibility-taxability), begitu pula sebaliknya jika non-taxable pada pegawai maka non-deductible pada Pemberi kerja.

Dengan adanya tambahan batasan 3M di atas, apakah dimungkinkan terjadi imbalannya taxable tapi non-deductible bagi Pemberi Kerja karena bukan dalam rangka 3M?  Jika terjadi maka Negara dapat dua penerimaan pajak, yaitu dari Pemberi Kerja dan dari Pegawai. Hal ini menarik mengingat bingkisan hari raya dan fasilitas peribadatan dapat dinyatakan sebagai bukan biaya 3M. Lebih lanjut, tentu akan muncul pertanyaan apakah pemberian hadiah pernikahan, kelahiran atau santunan duka kematian kepada pekerja merupakan biaya 3M ?  

Terakhir, terkait dengan ketentuan tahun pajak atas natura/kenikmatan  bagi Pemberi kerja, objek pajak pada pegawai dan pemotongan PPh Pasal 21-nya dalam masa peralihan diatur perlakuannya diatur dalam Pasal 73 yaitu bahwa ketentuan pemajakan atas imbalan natura/kenikmatan sesuai UU HPP adalah :

a. bagi pemberi kerja atau pemberi penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang menyelenggarakan pembukuan tahun buku 2022 dimulai sebelum tanggal 1 Januari 2022, mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2022; dan

b. bagi pemberi kerja atau pemberi penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang menyelenggarakan pembukuan tahun buku 2022 dimulai tanggal 1 Januari 2022 atau setelahnya, mulai berlaku pada saat tahun buku 2022 dimaksud dimulai.

Hal ini berarti bahwa pegawai yang bekerja pada Pemberi kerja dalam tahun pajak 2021 yang di dalamnya termasuk bulan-bulan tahun 2022 (contoh tahun buku Juli 2021 s.d. Juni 2022, Juni 2021 s.d. Mei 2022, Mei 2021 s.d. April 2022, April 2021 s.d. Maret 2022, Maret 2021 s.d. Februari 2022, atau Februari 2021 s.d. Januari 2022.) belum berlaku ketentuan pemajakan atas imbalan natura/kenikmatan  yang baru (masih berlaku ketentuan lama). Dengan kata lain atas penghasilan natura/kenikmatan dari Pemberi kerja pada tahun pajak 2021 yang di dalamnya terdapat bulan-bulan tahun 2022 belum merupakan objek pajak, meski diterima dalam bulan-bulan tahun 2022.

Konsekuensi logisnya, pada Januari 2022 s.d. Juni 2022 biaya natura/kenikmatan masih non-deductible bagi Pemberi kerja. Sejak dimulainya tahun pajak 2022 barulah perlakuan pemajakan yang baru berlaku. Jadi jika tahun bukunya Juli s.d. Juni tahun berikutnya, maka untuk tahun pajak 2022 yang dimulai sejak Juli 2022 s.d. Juni 2023 mulai berlaku ketentuan baru, yaitu bahwa natura/kenikmatan menjadi objek pajak mulai Juli 2022. 

Berbeda halnya pada kasus pegawai yang bekerja pada Pemberi kerja dalam tahun pajak 2022 yang di dalamnya terdapat bulan-bulan tahun 2021 (Agustus 2021 s.d. July 2022, September 2021 s.d. Agustus 2022, Oktober 2021 s.d. September 2022, November 2021 s.d. Oktober 2022, dan December 2021 s.d. Nopember 2022) yang mana ketentuan pemajakan baru berlaku mulai 1 Januari 2022. Sebagai konsekuensi logisnya, maka atas bulan-bulan tahun 2021 masih belum taxable pada pegawai dan belum deductible bagi Pemberi kerja.

Suatu hal yang menarik lainnya adalah bahwa ketentuan Pasal 73 juga mengatur bahwa kewajiban melakukan pemotongan Pajak Penghasilan atas natura/kenikmatan bagi pemberi kerja mulai berlaku untuk penghasilan yang diterima atau diperoleh sejak tanggal 1 Januari 2023, sekalipun atas natura/kenikmatan tersebut sudah menjadi objek pajak sejak 1 Januari 2022.

Dengan demikian atas penghasilan natura/kenikmatan yang sudah menjadi objek pajak sebelum 1 Januari 2023 harus dilaporkan/diperhitungkan dalam perhitungan PPh Orang Pribadi (OP) Pegawai yang bersangkutan.

Hal ini secara administratif menimbulkan persoalan tersendiri, karena Pemberi kerja harus bisa menilai natura/kenikmatan yang diberikan untuk diinformasikan kepada pegawainya. Tentu saja persoalan ini tidak akan terpecahkan jika PMK-PMK terkait penilaian dan batasan serta jenis natura/kenikmatan yang dikecualikan belum diterbitkan. 

Selain itu, dikarenakan selama tahun 2022 Pemberi kerja belum melakukan pemotongan, maka sudah pasti bagi Pegawai penerima natura/kenikmatan akan mengalami kurang bayar dalam penghitungan PPh OP tahun 2022.

Selanjutnya akan juga muncul persoalan berikutnya, yaitu apakah dengan demikian akan muncul kewajiban angsuran PPh Pasal 25 setelah SPT OP tahun 2022 disampaikan? Masalahnya penghasilan natura/kenikmatan tersebut tidak dapat diklasifikasikan sebagai penghasilan tidak teratur, dan apabila dibayar PPh Pasal 25 maka akan terjadi lebih bayar pada SPT OP tahun 2023 (sebab sejak tahun 2023 atas natura tersebut sudah dilakukan pemotongan pajak oleh Pemberi kerja).

Persoalan ini tentu harus dicarikan jalan keluarnya melalui penegasan oleh Pemerintah bahwa atas penghasilan natura/kenikmatan tahun 2022 tidak perlu diperhitungkan dalam penghitungan PPh Pasal 25.

D. Simpulan dan Saran

PP No. 55 tahun 2022 sudah memperjelas hal-hal yang belum jelas sebelumnya, namun penjelasannya belum tuntas dan membutuhkan penuntasan melalui penerbitan PMK-PMK sebagaimana diamanatkan oleh PP tersebut.

Mengingat batas penyampaian SPT OP kian mendekat, maka penerbitan PMK sebelum batas waktu penyampaian SPT OP amat sangat disarankan. Tentu akan sangat lebih baik jika penerbitannya jauh sebelum batas waktu penyampaian SPT OP guna memberikan kecukupan waktu bagi Pemberi kerja melakukan penilaian dan bagi OP yang bersangkutan memperhitungkannya.

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap asosiasi tempat penulis bernaung.

*) Penulis adalah konsultan pajak terdaftar yang tergabung dalam asosiasi Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) NRA 003244

 

Tinjauan atas Penerapan Prinsip “Substance-Over-Form” Sebagai Aturan Umum Pencegahan Penghindaran Pajak

Oleh: Nalphian Seotang 

A. Kondisi saat ini mengenai aturan pencegahan penghindaran pajak di Indonesia 

Sejak Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1984, Menteri Keuangan dan Direktur Jenderal Pajak telah dilengkapi dengan seperangkat aturan yang memberikan mereka kewenangan untuk memberantas praktik-praktik penghindaran pajak. Seperangkat aturan tersebut tertuang di dalam Pasal 18 UU PPh. 

Seiring dengan perubahan UU PPh yang sudah dilakukan sebanyak tujuh kali sejak tahun 1983 hingga sekarang, ketentuan di dalam Pasal 18 pun turut berkembang. Ini berarti bahwa aturan penghindaran pajak berganda di Indonesia juga turut berkembang. Pada awalnya, Pasal 18 hanya terdiri dari 4 ayat. Sekarang, berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Pasal 18 terdiri dari 8 ayat. 

Mayoritas dari ketentuan di Pasal 18 UU PPh pun telah diatur lebih lanjut di dalam beberapa Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Seperti contohnya:

(i) Ketentuan Pasal 18 ayat (1) telah diatur lebih lanjut dalam PMK 169 Tahun 2015 tentang debt-to-equity ratio untuk keperluan perpajakan ;

(ii) Ketentuan Pasal 18 ayat (2) telah diatur lebih lanjut dalam PMK 17 Tahun 2017 tentang deemed dividends dari controlled foreign corporations ; dan

(iii) Ketentuan Pasal 18 ayat (3) telah diatur lebih lanjut dalam seperangkat Peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Dirjen Pajak terkait dengan transfer pricing.

Dengan demikian, Direktur Jenderal Pajak sudah bisa mengimplementasikan aturan-aturan tersebut di lapangan untuk memberantas praktik-praktik penghindaran pajak karena telah ada aturan pelaksananya.

Namun, menarik untuk dicatat bahwa semua aturan di dalam ketentuan Pasal 18 UU PPh merupakan aturan-aturan pencegahan penghindaran pajak yang bersifat spesifik, atau biasanya dikenal dengan sebutan specific anti-avoidance rule. Sebelum Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Aturan Pajak Penghasilan (PP No. 55 Tahun 2022) berlaku, sepanjang pengetahuan penulis, Indonesia belum pernah memiliki aturan pencegahan penghindaran pajak yang bersifat umum (general anti-avoidance rule). 

Aturan-aturan yang sudah dimiliki Indonesia tersebut dikatakan bersifat spesifik, karena mereka hanya ditujukan untuk memberantas praktik penghindaran pajak spesifik yang dilakukan oleh wajib pajak tertentu atau melalui skema transaksi tertentu. 

Terdapat rambu-rambu yang jelas di dalam aturan tersebut seperti mengenai apa saja yang dapat dianggap sebagai praktik penghindaran pajak yang tidak diperbolehkan.  

Namun sayangnya, dalam beberapa kesempatan, aturan yang bersifat spesifik tidaklah efektif untuk memberantas atau mencegah praktik penghindaran pajak yang cenderung selalu berkembang. Direktur jJenderal pPajak tidak dapat mencegah praktik-praktik penghindaran pajak tersebut, karena mereka tidak dapat dijaring oleh unsur-unsur dalam aturan-aturan spesifik yang sudah ada. 

Perlunya aturan umum pencegahan penghindaran pajak 

Para penghindar pajak cenderung akan selalu mencoba mencari cara yang kreatif untuk mengakali aturan-aturan yang spesifik tersebut. Ironis, semakin jelas rambu-rambu itu disebutkan di dalam suatu aturan, maka semakin jelas juga bagi para penghindar pajak untuk menggambarkan mengenai kondisi-kondisi di mana perbuatan mereka nantinya tidak akan dianggap sebagai praktik penghindaran pajak karena telah melaksanakan sesuai konteks aturan yang ada.

Kondisi ini tentunya sangat dimanfaatkan para penghindar pajak, khususnya untuk terus menemukan cara bagaimana mereka harus mengakalinya. 

Mengingat kelemahan yang dimiliki oleh aturan-aturan spesifik pencegahan penghindaran pajak, maka diperlukan suatu aturan pencegahan penghindaran pajak yang bersifat umum. Dalam hal ini, “umum” memiliki arti bahwa unsur-unsur yang menjadi pembentuk aturan tersebut tidaklah dirumuskan secara spesifik sehingga keberlakuannya lebih bisa luwes. Oleh sebab itu, melalui Pasal 32 ayat (4) PP No. 55 Tahun 2022, pemerintah memberikan wewenang tambahan kepada Direktur Jenderal Pajak sejak 20 Desember 2022.

Dalam ketentuan tersebut, Direktur jJenderal Pajak diberikan wewenang untuk menentukan kembali besarnya pajak yang seharusnya terutang dengan berpedoman pada prinsip pengakuan substansi ekonomi di atas bentuk formalnya (substance-over-form). Wewenang ini dapat diterapkan ketika semua aturan spesifik penghindaran pajak tidak efektif untuk mencegah suatu praktik penghindaran pajak. 

Berikut ini adalah kutipan bunyi ketentuan di dalam Pasal 32 ayat (4) PP No. 55 Tahun 2022:

“Dalam hal terdapat praktik penghindaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak dapat dicegah menggunakan mekanisme yang diatur pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan kembali besarnya pajak yang seharusnya terutang dengan berpedoman pada prinsip pengakuan substansi ekonomi di atas bentuk formalnya.”

Karena ketentuan di dalam Pasal 32 ayat (4) PP No. 55 Tahun 2022 ini berpedoman hanya pada suatu prinsip dan berfungsi sebagai upaya terakhir (last resort) untuk mencegah penghindaran pajak ketika aturan-aturan yang bersifat spesifik tidak lagi efektif, ketentuan ini dapat disebut sebagai aturan umum pencegahan penghindaran pajak. 

Kemudian, penerapan prinsip substance-over-form menjadi suatu norma tertulis di dalam peraturan perundang-undangan perpajakan di Indonesia sebagai aturan umum pencegahan, atau penghindaran pajak adalah hal yang menarik untuk ditinjau lebih lanjut. 

Perlu dicatat bahwa sebelum PP No. 55 Tahun 2022 berlaku, prinsip tersebut pernah diterapkan sebagai dasar penerapan manfaat yang diberikan oleh Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) sebagaimana diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak No. 25 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Dalam peraturan itu disebutkan bahwa dalam hal substansi ekonomi suatu transaksi berbeda dengan bentuk hukumnya, maka penerapan P3B harus didasarkan pada substansi ekonominya. Namun, ketentuan tersebut khusus diberlakukan spesifik untuk penerapan P3B saja dan tidak dalam hal lainnya.  

Berikut ini adalah uraian tinjauan umum dari sudut pandang hukum atas penerapan prinsip substance-over-form sebagai aturan umum pencegahan penghindaran pajak.

  1. Tinjauan dari perspektif penegakan hukum 

Berdasarkan ketentuan Pasal 8 huruf a PMK 17 Tahun 2013, diatur bahwa temuan hasil pemeriksaan pajak harus didasarkan pada bukti kompeten yang cukup dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 

Pada dasarnya, ketentuan di atas bertujuan untuk menjamin agar temuan-temuan pemeriksaan yang dikenakan oleh Direktur Jenderal Pajak harus didasarkan pada ketentuan yang jelas diatur secara tertulis di dalam peraturan perundang-undangan, sehingga hak-hak wajib pajak dapat dijamin. 

Kemudian, Direktur Jenderal Pajak dilarang untuk membuat temuan hasil pemeriksaan berdasarkan subjektivitas pemeriksa, termasuk berdasarkan prinsip-prinsip yang tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan.

Jadi, dengan berlakunya PP No. 55 Tahun 2022, prinsip substance-over-form tidak lagi merupakan prinsip yang bersifat tidak tertulis yang bisa dipertanyakan legalitasnya, jika digunakan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai dasar hukum dalam membuat temuan pemeriksaan. 

Dengan demikian, PP No. 55 Tahun 2022 memberikan landasan hukum yang tegas di dalam peraturan perundang-undangan, sehingga prinsip substance-over-form dapat digunakan sebagai aturan umum pencegahan penghindaran pajak oleh Direktur Jenderal Pajak. 

Dari sudut pandang penegakan hukum pajak, dengan diterapkannya prinsip substance-over-form menjadi norma tertulis di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Direktur Jjenderal pPajak seakan-akan diberikan “senjata terakhir” untuk bisa memberantas praktik penghindaran pajak yang dapat digunakan, khususnya mana kala aturan-aturan spesifik pencegahan penghindaran pajak tidak lagi efektif untuk digunakan. 

Diharapkan dengan diberikannya kewenangan tambahan ini, Direktur Jenderal Pajak dapat menciptakan level playing field untuk semua wajib pajak. Sehingga setiap wajib pajak nantinya akan membayar kewajibannya sesuai dengan proporsi yang adil dan sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan. 

Jadi, idealnya tidak ada lagi wajib pajak yang membayar pajak lebih kecil dari yang seharusnya, karena memang itu yang berlaku menurut peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, bukan karena mereka (wajib pajak) mampu merekrut ahli-ahli perpajakan dan itu bisa membantu untuk menghindar dari kewajibannya dan bahkan mengakali peraturan yang berlaku.

  1. Tinjauan dari perspektif kepastian hukum

Selain dari aspek penegakan hukum, terdapat juga aspek kepastian hukum yang layak untuk ditinjau terkait penerapan prinsip ini.

Di satu sisi, kejelasan perumusan unsur-unsur di dalam suatu norma tertulis adalah penting demi tercapainya kepastian hukum terkait penerapan norma tersebut. Karakteristik dari aturan spesifik pencegahan penghindaran pajak, yang menguraikan dengan rinci kondisi-kondisi seperti apa yang dapat dianggap sebagai praktik penghindaran pajak yang dilarang, cenderung lebih bisa memenuhi tujuan kepastian hukum daripada aturan yang bersifat umum. 

Namun di sisi lain, dengan semakin jelas dirumuskannya unsur-unsur suatu norma tertulis, maka norma tersebut akan semakin kaku dan sulit untuk mengikuti perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Dalam hal penghindaran pajak, aturan itu semakin kaku dan sulit untuk mencegah praktik penghindaran pajak yang akan terus berkembang. 

Di sinilah letak diperlukannya aturan umum pencegahan penghindaran pajak, yang seharusnya lebih luwes untuk mengikuti perkembangan yang terjadi di masyarakat.  

Sayangnya, sifat “umum” dan “luwes” dari aturan umum dapat menyebabkan ketidakpastian hukum. Penerapan prinsip substance-over-form sebagai aturan umum pencegahan penghindaran pajak patut diduga akan bervariasi nantinya ketika diimplementasikan. Terdapat kemungkinan bahwa (i) antara wajib pajak yang satu dengan wajib pajak yang lain, (ii) antara wajib pajak dengan petugas pajak, atau (iii) antara petugas pajak yang satu dengan petugas pajak yang lain akan memiliki pemahaman yang berbeda-beda apakah suatu transaksi dapat dikatakan sebagai praktik penghindaran pajak berdasarkan prinsip substance-over-form. 

Oleh karena hal di atas, peraturan yang akan diterbitkan Menteri Keuangan untuk mengatur tata cara penerapan prinsip substance-over-form sebagai aturan pencegahan penghindaran pajak adalah sangat penting. Peraturan tersebutlah yang seharusnya menjamin kepastian hukum bagi wajib pajak dan mencegah Direktur Jenderal Pajak menyalahgunakan kewenangannya. 

Sebagaimana diatur oleh Pasal 44 PP No. 55 Tahun 2022, penerapan prinsip substance-over-form sebagai aturan pencegahan penghindaran pajak harus dilakukan dengan memperhatikan:

  1. Batasan kewenangan dan prosedur pelaksanaan;
  2. Kegiatan yang dilakukan wajib pajak masuk dalam cakupan penghindaran pajak;
  3. Tahap pengujian formil dan materiil;
  4. Mekanisme penjaminan kualitas; dan/atau
  5. Perlindungan hak wajib pajak, serta penerapannya harus dilaksanakan dengan tata kelola pemerintahan yang baik. 

Ketentuan-ketentuan tersebut akan dicakup dalam peraturan menteri keuangan. Diharapkan menteri keuangan dapat menerbitkan peraturan yang di satu sisi dapat menjamin kepastian hukum untuk wajib pajak, namun di sisi lain tidak menghilangkan sifat “umum” dari aturan ini agar efektif untuk mencegah praktik-praktik penghindaran pajak yang cenderung terus berevolusi. 

  1. Tinjauan dari perspektif pembentukan peraturan perundang-undangan

Poin terakhir yang layak untuk ditinjau adalah dari sudut pandang pembentukan peraturan perundang-undangan. 

Menarik untuk dicatat bahwa batang tubuh UU PPh sama sekali tidak menyebutkan mengenai pemberlakuan prinsip substance-over-form sebagai aturan pencegahan penghindaran pajak. 

Frasa “prinsip substance-over-form” hanya muncul pada penjelasan Pasal 18 UU PPh, dan penjelasan tersebut juga tidak menyebutkan penggunaan prinsip substance-over-form sebagai aturan pencegahan penghindaran pajak. 

Berikut ini adalah kutipan dari penjelasan Pasal 18:

“Pemerintah berwenang mencegah praktik penghindaran pajak sebagai upaya yang dilakukan wajib pajak untuk mengurangi, menghindari, atau menunda pembayaran pajak yang seharusnya terutang yang bertentangan dengan maksud dan tujuan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Salah satu cara penghindaran pajak adalah dengan melakukan transaksi yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya yang bertentangan dengan prinsip substance over form, yaitu pengakuan substansi ekonomi di atas bentuk formalnya”.

Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan  (UU P3), hierarki suatu undang-undang adalah lebih tinggi daripada hierarki suatu peraturan pemerintah. Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki tersebut. 

Ini artinya materi muatan dari peraturan pemerintah tidak boleh bertentangan dari undang-undang yang menaunginya. 

Pasal 9 ayat (2) UU P3 mengatur lebih lanjut bahwa dalam hal suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Jadi jika diduga ada peraturan yang bertentangan dengan undang-undang, maka pengujiannya harus dilakukan oleh Mahkamah Agung. 

Berdasarkan hal di atas, patut untuk diteliti lebih lanjut apakah penerapan prinsip substance-over-form sebagai aturan pencegahan penghindaran pajak di dalam PP No. 55 Tahun 2022 dapat dianggap bertentangan dengan UU PPh karena memuat norma yang lebih luas dari yang diatur dalam UU PPh, sehingga ketentuan itu seharusnya tidak memiliki daya keberlakuan. 

Jika memang demikian, terdapat risiko ketentuan tersebut akan dinyatakan tidak berlaku jika ketentuan itu diuji materikan di Mahkamah Agung. 

  1. Kesimpulan

Dengan demikian, penerapan prinsip substance-over-form sebagai aturan umum pencegahan penghindaran pajak membuka babak baru di dunia perpajakan Indonesia. Sepanjang pengetahuan penulis, sebelumnya Indonesia belum pernah memiliki aturan umum pencegahan penghindaran pajak. 

Maka, dengan diberlakukannya prinsip ini sebagai norma tertulis untuk mengecah praktik penghindaran pajak, Direktur jJenderal Pajak semakin diperkuat dengan diberikan landasan hukum yang jelas untuk menegakkan peraturan perpajakan. 

Namun demikian, kepastian hukum dari penerapan prinsip ini perlu juga dijaga. Peraturan yang nantinya akan diterbitkan oleh menteri keuangan menjadi krusial karena di dalam peraturan tersebut menteri keuangan harus menjaga keseimbangan atara wewenang Direktur Jenderal Pajak dan hak-hak wajib pajak. 

Di satu sisi, peraturan tersebut diharapkan dapat menjaga agar wajib pajak mendapatkan kepastian hukum, dan di sisi lain peraturan ini diharapkan dapat merealisasikan agar pencegahan atau penghindaran pajak menjadi efektif tanpa adanya penyalahgunaan wewenang oleh Direktur Jenderal Pajak.

Terakhir, terdapat aspek pembentukan peraturan perundang-undangan yang perlu diteliti lebih lanjut terkait penerapan prinsip substance-over-form tersebut di dalam PP No. 55 Tahun 2022, yakni apakah penerapan tersebut bertentangan dengan UU PPh. 

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap asosiasi tempat penulis bernaung.

*) Penulis adalah konsultan pajak terdaftar yang tergabung dalam asosiasi Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) NRA 002902.

Potensi Multitafsir Keberlakuan UU Cipta Kerja Klaster Perpajakan di UU HPP

Potensi Multitafsir Keberlakuan UU Cipta Kerja Klaster Perpajakan di UU HPP

Jakarta: Kamis 29 September 2022

Pada tanggal 29 Oktober 2021 pemerintah telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang selanjutnya disebut UU HPP. Dalam UU HPP mengatur: pertama, perubahan UU KUP; kedua, perubahan UU PPh; ketiga, perubahan UU PPN; keempat, mengatur tentang Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak; kelima, mengatur mengenai Pajak Karbon; dan keenam, mengatur perubahan UU Cukai.

Dalam UU HPP, judul untuk perubahan UU KUP, UU PPh, dan UU PPN secara substansi menyatakan bahwa “UU KUP, UU PPh, dan UU PPN yang diubah adalah UU KUP, UU PPh, dan UU PPN yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang sebelum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja”. Dimana menyebutkan:  UU Nomor 16 Tahun 2009 sebagai perubahan terakhir untuk UU KUP, UU  Nomor 36 Tahun 2008 sebagai perubahan terakhir untuk UU PPh, dan menyebutkan UU Nomor 42 Tahun 2009 sebagai perubahan terakhir untuk UU PPN. Padahal sebelum lahirnya UU HPP, UU Cipta Kerja adalah perubahan terakhir untuk UU KUP, UU PPh, dan UU PPN.

Judul dalam Pasal 2 UU HPP ini sama persis dengan judul yang dicantumkan dalam Pasal 113 UU Cipta Kerja. Oleh karena itu timbul pertanyaan, bagaimana keberlakuan atas Pasal UU KUP yang telah diubah di UU Cipta Kerja, namun tidak diubah oleh UU HPP?

Dalam penafsiran hukum, judul dalam materi muatan Pasal 2 UU HPP akan bermakna bahwa “UU HPP mengubah UU KUP yang telah mengalami beberapa kali perubahan dan yang terakhir diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2009”, sehingga tidak termasuk UU KUP yang telah diubah dengan Pasal 113 UU Cipta Kerja.

Sesuai asas Lex Posterior Derogat Legi Priori, maka undang-undang yang terakhir membatalkan undang-undang sebelumnya dalam hal mengatur hal yang sama. Karena Pasal 2 UU HPP dan Pasal 113 UU Cipta Kerja sama-sama “mengubah UU KUP dan perubahannya, yang perubahan terakhir diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2009”, maka sesuai dengan asas Lex Posterior Derogat Legi Priori dapat ditafsirkan bahwa “Pasal 2 UU HPP yang diundangkan pada tanggal 29 Oktober 2021 membatalkan Pasal 113 UU Cipta Kerja yang diundangkan pada tanggal 2 November 2020”. Pasal 2 UU HPP berpotensi ditafsirkan membatalkan keberlakuan perubahan UU KUP dalam Pasal 113 UU Cipta Kerja. Oleh karena itu, rumusan judul dalam materi muatan Pasal 2 UU HPP telah menimbulkan kekaburan hukum dan ketidakpastian hukum yang dapat memberikan pengaruh negatif terhadap iklim investasi dalam negeri.

Kekaburan hukum yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum juga dialami oleh UU PPh dalam Pasal 3 UU HPP, karena judul perubahan UU PPh dalam Pasal 3 UU HPP sama persis dengan yang dicantumkan dalam Pasal 111 UU Cipta Kerja. Kekaburan hukum dan ketidakpastian hukum juga dialami oleh UU PPN dalam Pasal 4 UU HPP, karena judulnya sama persis dengan yang dicantumkan dalam Pasal 112 UU Cipta Kerja.

Kekaburan hukum yang terjadi dalam UU HPP untuk klaster perpajakan sedikit mendapat koreksi dengan adanya pengaturan dalam ketentuan penutup di Pasal 16 huruf f UU HPP yang mengatur bahwa UU Cipta Kerja dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU HPP atau belum diganti berdasarkan UU HPP.

Dunia usaha tentu sangat membutuhkan kepastian hukum yang tidak menimbulkan multitafsir atas keberlakuan perubahan terhadap UU KUP, UU PPh, dan UU PPN yang terdapat dalam UU Cipta Kerja yang tidak diubah oleh UU HPP. Oleh karena itu guna memberikan kepastian hukum dan mencegah potensi multitafsir, dipandang perlu pemerintah mempertimbangkan untuk “membuat perubahan terhadap Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 UU HPP” dengan mengubah judul dalam ketiga pasal tersebut dengan mencantumkan UU Cipta Kerja sebagai UU perubahan terakhir terhadap UU KUP, UU PPh, dan UU PPN yang diubah oleh UU HPP. Secara pararel, perbaikan perubahan juga perlu dilakukan terhadap Pasal 1 ayat (3) UU HPP karena materi muatannya sama persis dengan judul dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 UU HPP.

Pemerintah dapat mempertimbangkan cara tercepat untuk melakukan perbaikan dengan cara pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Baru kemudian Perppu tersebut disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang.


(Disclaimer: Artikel ini bukan dasar hukum)

Penulis : Dr. Arifin Halim, S.E., S.H., M.H.

Penulis lulus Program Doktor Ilmu Hukum Angkatan 2018 Universitas Brawijaya.

Anggota Litbang IKPI Pusat Kepengurusan Periode 2019 – 2024.

Konsultan Pajak, Kuasa Hukum Pengadilan Pajak, dan Advokat.

“International Tax Law Class” dengan topik “Tax Transparancy; A Collaboration between Indonesia (IKPI), Japan, China And Korea”

Press Release Pengurus Pusat IKPI
5 Agustus 2022

Tentang : International tax law class dengan topik Tax Transparancy; A Collaboration between Indonesia (IKPI), Japan, China And Korea

Akses terhadap informasi keuangan sangat dibutuhkan oleh otoritas perpajakan suatu negara untuk mengetahui sekaligus mengawasi tingkat kepatuhan Wajib Pajak. Namun upaya memperoleh informasi keuangan tersebut terhambat oleh undang-undang kerahasiaan perbankan (bank secrecy) yang diberlakukan untuk melindungi data nasabah di lembaga-lembaga keuangan. Perlindungan kerahasiaan bank memberi peluang besar bagi orang-orang super kaya untuk menghindari pajak secara illegal, karena mereka sangat mudah memobilisasi dana mereka di berbagai insitusi keuangan di luar negeri khususnya di negara-negara dengan tarif pajak rendah atau negara yang tidak mengenakan pajak sama sekali. Orang-orang kaya tersebut menggerus basis pengenaan pajak di negara mereka berdomisili dengan cara menggesernya ke luar negeri dengan tarif pajak rendah.

Penghindaran pajak yang dilindungi oleh undang-undang domestik tentang kerahasiaan bank menjadi perhatian serius berbagai negara di dunia terutama negara-negara yang terdampak berat terhadap penerimaan pajak di negara mereka. Pada tahun 2009, pimpinan negara-negara yang tergabung dalam G20 bersepakat untuk bersama-sama mengakhiri dan tidak lagi memberi toleransi terhadap kerahasiaan bank dan bertekad untuk mengambil tindakan kepada negara-negara yang menolak bekerjasama, termasuk negara-negara sorga pajak.

Pada bulan September 2009, Indonesia menjadi anggota Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes (Global Forum). Forum ini merupakan badan internasional dengan anggota terdiri dari 165 negara yang dibentuk untuk penerapan standar internasional atas transparansi pajak dan  pertukaran informasi keuangan secara otomatis antar negara.

Selanjutnya pada tanggal 15 Juni 2015, Indonesia menandatangani Multilateral Competent Authority Agreement (MCAA) di Kantor Pusat OECD di Paris, Perancis, yang mulai membuka lembaran baru era keterbukaan informasi untuk perpajakan di Indonesia. Hal ini juga menjadi pembuka bagi Indonesia untuk masuk kedalam skema AEOI (Automatic Exchange of Information) dengan lebih dari 50 negara Dunia.

Memasuki era keterbukaan informasi ini, pemerintah Indonesia telah menerbitkan peraturan-peraturan untuk mendukung hal tersebut yaitu dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan, lalu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 19/PMK.03/2018.

Penerapan keterbukaan informasi ini sangat penting bagi Indonesia karena apabila tidak menerapkannya, maka Indonesia dapat dianggap sebagai negara yang “Non-Cooperative Jurisdictions”. Dengan bergabung AEOI, Indonesia dapat mencegah dan mendeteksi terjadinya praktik penghindaran dan pengelakan Pajak, Indonesia dapat memperoleh informasi keuangan milik Wajib Pajak Indonesia yang akurat dari lebih dari 50 negara di dunia.

Edukasi dari era keterbukaan informasi dan pertukaran data antar negara ini perlu dan harus terus disosialisasikan dan diinformasikan kepada masyarakat luas agar pemahaman menyeluruh atas adanya skema ini dapat diterima dengan baik tanpa ada resistensi dari masyarakat dan dengan penuh kesadaran agar dapat patuh dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Harapan kedepan dengan semakin terbukanya informasi, Direktorat Jenderal Pajak dapat bersinergi secara positif dengan Wajib Pajak, dan tingkat kepatuhan sukarela dari Wajib Pajak dapat meningkat dengan sendirinya. Jika Pemerintah benar-benar dapat memberikan rasa aman dan nyaman dengan menerbitkan peraturan-peraturan yang melindungi hak dari Wajib Pajak, serta pemanfaatan dari data yang terbuka tersebut dapat dimaksimalkan untuk mengedukasi, mendidik, serta meningkatkan pengetahuan wajib pajak atas implikasi-implikasi yang dapat terjadi apabila tidak patuh.

Sebagai Asosiasi konsultan pajak pertama dan terbesar/terbanyak anggotanya di tanah air, IKPI (“Ikatan Konsultan Pajak Indonesia”) memiliki kewajiban moral untuk meningkatkan kemampuan dan wawasan anggota (pada khususnya) dan masyarakat (pada umumnya) untuk memahami latar belakang, perkembangan dan penerapan global minimum taxation baik dari perspective nasional maupun internasional.

Bahwa IKPI melalui Departemen Hubungan Internasional dengan dukungan dari Asosiasi Perpajakan Jepang, China dan Korea mengundang perwakilannya untuk menjadi narasumber pada “International Tax Law Class” dengan topik “Tax Transparency; A Collaboration between Indonesia (IKPI), Japan, China And Korea”. Tujuan seminar ini adalah untuk saling bertukar informasi bagaimana penerapan Tax Transparency and Automatic Exchange of Information di masing-masing negara.

Seminar kali ini adalah semacam pemanasan sebelum nanti bertempat di Bali bulan November 2022 akan diadakan seminar perpajakan internasional yang akan melibatkan lebih banyak lagi narasumber dari negara-negara  yang tergabung dalam Asia Oceania Tax Consultant’s Association (AOTCA). Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) akan menjadi tuan rumah penyelenggaraan AOTCA 2022 General Meeting and International Tax Conference yang kedua kalinya setelah yang pertama pada tahun 2011.

Kegiatan seperti ini menjadi salah satu program berkelanjutan yang dilaksanakan oleh Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) untuk menjalin komunikasi serta pertukaran pengalaman dengan negara-negara lain. Kerjasama dengan universitas-universitas terkemuka di dunia akan terus dibangun, sekaligus sebagai upaya mewujudkan salah satu misi IKPI menjadi asosiasi konsultan pajak terkemuka di dunia.

 

Tentang IKPI

IKPI (Ikatan Konsultan Pajak Indonesia) merupakan wadah asosiasi profesi Konsultan pajak di seluruh Indonesia yang berbentuk Perkumpulan berbadan hukum. Sejak berdiri pada 27 Agustus 1965 lalu, IKPI saat ini sudah memiliki 12 Pengurus Daerah dan 42 Cabang di seluruh Indonesia, dengan Anggota Aktif Perkumpulan sebanyak 6.000 orang.

 

Humas PP IKPI

 

MENUNGGU JUKLAK BKP/JKP TERTENTU YANG MENDAPAT FASILITAS PPN TIDAK DIPUNGUT ATAU PPN DIBEBASKAN

Kejelasan BKP dan JKP yang Mendapat Fasilitas PPN Tidak Dipungut atau Dibebaskan

Tak terasa dua hari lagi kita memasuki tanggal 1 April 2022. Tanggal 1 April 2022 menjadi spesial, karena beberapa perubahan UU PPN sebagaimana yang diubah dengan UU HPP akan berlaku efektif mulai 1 April 2022, seperti tarif PPN yang semula 10% berubah menjadi 11%, juga beberapa barang dan jasa yang semula masuk kategori “bukan Barang Kena Pajak (Non BKP)” dan “bukan Jasa Kena Pajak (Non-JKP)” berubah menjadi “Barang Kena Pajak (BKP)” dan “Jasa Kena Pajak (JKP)”, namun mendapat fasilitas “PPN Tidak Dipungut” atau “PPN Dibebaskan” yang diatur dalam Pasal 16B UU PPN sebagaimana yang telah beberapakali diubah terakhir dengan UU HPP, yang selanjutnya disebut Pasal 16B UU HPP.

Dalam Web News.DDTC.co.id tanggal 29 Maret 2022 menyampaikan informasi kebijakan pajak tentang PPN Tidak Dipunggut dengan judul “DJP Sebut Empat Barang/Jasa Ini Dapat Fasilitas PPN Tidak Dipunggut”. Dalam artikel tersebut disampaikan bahwa: “Otoritas pajak menyatakan empat barang/jasa yang mendapatkan fasilitas tersebut antara lain pertama, alat angkut laut, udara, dan kereta api. Kedua, jasa terkait dengan alat angkut. Ketiga, emas granula dan anode slime. Keempat, barang yang atas impornya dibebaskan dari bea masuk, seperti barang untuk keperluan penyandang disbilitas, peti yang berisi jenazah, barang pindahan, barang pribadi penumpang, dan barang impor sementara.” Hal ini perlu pengaturan yang jelas agar tidak menimbulkan disharmonis dengan UU HPP, khususnya untuk bagian kedua di atas yaitu jasa terkait dengan alat angkut. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam memori penjelasan Pasal 16B ayat (1a) huruf j UU HPP, beberapa BKP dan JKP telah disebutkan dengan jelas mendapat fasilitas “PPN Dibebaskan” diantaranya adalah “Jasa angkutan umum di darat dan di air serta di udara”.

Dalam batang tubuh Pasal 16B UU HPP tidak dipisahkan kelompok BKP/JKP yang mendapat fasilitas “PPN Tidak Dipungut” dengan yang mendapat fasilitas “PPN Dibebaskan”. Dalam Pasal 16B ayat (1a) huruf a sampai dengan huruf i UU HPP tidak diatur dengan tegas apakah diberikan fasilitas “PPN Tidak Dipungut” atau diberikan fasilitas “PPN Dibebaskan”, namun di Pasal 16B ayat (1a) huruf j diatur dengan tegas BKP dan JKP tertentu yang bersifat strategis.

Sebagaimana yang kita ketahui bersama, berdasarkan kelaziman selama ini, untuk BKP yang bersifat strategis mendapatkan fasilitas “PPN Dibebaskan”. Hal ini juga terkonfirmasi melalui memori penjelasan dalam Pasal 16B ayat (1a) huruf j UU HPP yang menjelaskan “antara lain” BKP kebutuhan pokok dan JKP yang diberikan fasilitas ‘PPN Dibebaskan”.

Ketentuan Pasal 16B UU HPP memberi ruang kepada Pemerintah untuk menetapkan BKP dan JKP apa saja yang diberikan fasilitas “PPN Tidak Dipunggut” atau “PPN Dibebaskan” selain yang telah diatur dalam Pasal 16B ayat (1a) huruf j. Dapat saja suatu BKP yang menunjang suatu JKP mendapat fasilitas “PPN Tidak Dipungut”, seperti BKP untuk alat angkutan umum, BKP untuk kesehatan, BKP untuk pendidikan. Di sisi yang lain, atas JKP tersebut juga mendapat fasilitas “PPN Dibebaskan”.

Pemerintah masih dapat menambah BKP dan JKP yang diberikan fasilitas “PPN Dibebaskan” sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 16B ayat (1a) huruf j, karena prase yang digunakan UU HPP adalah “antara lain”, sehingga pemerintah diberi ruang yang fleksibel oleh UU HPP untuk mengatur lebih lanjut sesuai dengan kebijakan dari pemerintah. Untuk mendapatkan kejelasan ini semua, tentu kita harus menunggu peraturan pelaksananya dari pemerintah.

Oleh karena itu, peraturan pelaksana yang dibuat oleh pemerintah kelak seyogyanya akan memperjelas BKP mana saja yang mendapatkan fasilitas “PPN tidak Dipungut” dan BKP mana saja yang mendapat fasilitas “PPN Dibebaskan”, serta harmonis dengan UU HPP. Juga JKP mana saja yang mendapat fasilitas “PPN Dibebaskan” selain yang telah dijelaskan dalam memori penjelasan Pasal 16B ayat (1a) huruf j UU HPP.

PPN Dibebaskan atas Jasa Pendidikan

Untuk fasilitas “PPN Dibebaskan”, tidak kalah penting untuk membahas tentang jasa pendidikan yang selanjutnya disebut JKP Pendidikan. Sesuai dengan Pasal 16B ayat (1a) huruf j angka 6, JKP pendidikan mendapat fasilitas “PPN Dibebaskan”. Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan PPN yang baru ini, hal ini akan berimplikasi kepada bertambahnya kewajiban administrasi pajak bagi penyelenggaran pendidikan yang telah memenuhi kewajiban menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) untuk menerbitkan Faktur Pajak atas jasa pendidikan yang diberikan. Dengan ketentuan perpajajakan yang berlaku saat ini, berimplikasi penyelenggara pendidikan perlu mendaftarkan diri terlebih dahulu menjadi PKP, kemudian penyelenggaran pendidikan berkewajiban untuk menerbitkan faktur pajak.

Di satu sisi penerima JKP Pendidikan adalah konsumen akhir (siswa/mahasiswa), yang sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku secara umum saat ini, dapat diterbitkan Faktur Pajak gunggungan bila terdapat PPN yang dipungut. Namun karena “jasa pendidikan” mendapat fasilitas “PPN Dibebaskan” ruang untuk menerbitkan Faktur Pajak gunggungan belum ada.

Kewajiban menerbitkan Faktur Pajak bagi penyelenggara pendidikan tentu merupakan hal yang baru baginya. Hal ini tentu perlu sosialisasi lebih lanjut dari Direktorat Jenderal Pajak kepada penyelenggara pendidikan agar terhindar dari pengenaan sanksi administrasi 1% yang diakibatkan penyelenggara pendidikan belum atau terlambat menerbitkan Faktur Pajak. Bila sampai terjadi pengenaan sanksi administrasi denda ini dikemudian hari, tentu akan sangat memberatkan penyelenggara pendidikan dan dapat berimplikasi kepada penurunan kualitas pendidikan di negara kita.

Kita ketahui bersama, betapa pentingnya pendidikan bagi kemajuan suatu bangsa. Jangan sampai kelak timbulnya beban sanksi denda administrasi 1% bagi penyelenggara pendidikan mengakibatkan kontraproduktif bagi kemajuan bangsa khususnya mencerdaskan kehidupan bangsa.

Suatu bangsa akan kuat bila masyarakatnya mendapat pendidikan yang berkualitas dan memiliki kesehatan jasmani yang baik. Hal ini akan meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagaimana yang diamanahkan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu diperlukan regulasi perpajakan khusus untuk pendidikan.

 

Penutup

Kita segera menyambut sebagian perubahan UU PPN yang akan berlaku efektif 1 April 2022. Diperlukan peraturan pelaksana untuk memperjelas dan memperlancar pelaksanaannya serta yang harmonis dengan UU HPP.

Perlu pengaturan khusus administrasi pajak untuk JKP Pendidikan atau diberikan fasilitas khusus guna menghindari penyelenggara pendidikan dikenai sanksi administrasi 1% karena terlambat atau belum menerbitkan Faktur Pajak. Pengenaan sanksi denda administrasi ini dapat berimplikasi pada menurunnya kualitas pendidikan di negara kita. Pendidikan memegang peran sangat penting untuk kemajuan bangsa kita di masa depan.

Menjadi harapan kita semua, impian Indonesia menjadi negara 5 terbaik di dunia di tahun 2045 menjadi kenyataan yang kita wujudkan bersama. Mari kita bersama-sama mewujudkan Indonesia yang maju, sejahtera, adil dan makmur.


 

Penulis : Dr. Arifin Halim, S.E., S.H., M.H.

Penulis lulus Program Doktor Ilmu Hukum Angkatan 2018 Universitas Brawijaya.

Anggota Litbang IKPI Pusat Kepengurusan Periode 2019 – 2024.

Konsultan Pajak, Kuasa Hukum Pengadilan Pajak, dan Advokat.

Bagikan Berita Ini

Mengkaji Kembali Ketentuan Pengenaan Pajak Penghasilan Final

5

Artikel

Penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) di Indonesia saat ini memberlakukan 2 (dua) cara dalam menghitung PPh yaitu dari penghasilan neto dikalikan dengan tarif umum berdasarkan Pasal 17 ayat (1) UU PPh dan dari penghasilan bruto dikalikan dengan tarif khusus serta bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah tersendiri sesuai delegasi Pasal 4 ayat (2) UU PPh. Disebut dengan PPh Final karena setelah pelunasannya, baik melalui pemotongan oleh pihak lawan transaksi maupun penyetoran sendiri oleh Wajib Pajak, penghasilan dimaksud tidak digabungkan lagi dengan penghasilan-penghasilan lainnya yang dikenakan PPh dengan tarif umum pada akhir tahun pajak pada waktu pelaporan SPT Tahunan. PPh Final diberlakukan terhadap beberapa jenis penghasilan dari usaha tertentu termasuk antara lain perusahaan pengembang perumahan (real estate), persewaan tanah dan bangunan (property), dan jasa konstruksi (construction). Selain itu PPh Final juga diterapkan terhadap Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp.4,8 milyar dalam 1 (satu) tahun pajak. Pertimbangan Pemerintah dalam pengenaan PPh Final umumnya adalah untuk kemudahan dan kesederhanaan dalam menghitung pajak.

PPh Final tidak mencerminkan keadilan

Menurut John Stuart Mill (1930), prinsip daya pikul atau kemampuan membayar (ability to pay principle) adalah formulasi keadilan yang paling realistis dalam pemajakan. Ability to pay dicerminkan dengan basis pemajakan penghasilan neto yaitu penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh penghasilan tersebut. Dengan menjadikan penghasilan bruto sebagai dasar pengenaan PPh Final, maka tanpa melihat besar kecilnya penghasilan neto, bahkan dalam kondisi penghasilan neto minus atau rugi, Wajib Pajak tetap harus membayar pajak. Kondisi ini tentu tidak adil. Contohnya, bagi perusahaan-perusahaan yang penghasilannya terkena PPh Final dan terdampak Covid-19 berakibat berpotensi  mengalami kerugian  secara neto dalam tahun 2020, perusahaan-perusahaan tersebut tetap wajib membayar PPh yang dikenakan atas setiap penjualan atau penghasilan bruto.

Dengan pengenaan PPh Final dari penghasilan bruto, Wajib Pajak yang mampu menghasilkan persentase laba atau penghasilan neto besar akan diuntungkan dari sisi penghematan membayar PPh dibandingkan dengan Wajb Pajak yang hanya mampu menghasilkan persentase laba neto kecil, apalagi terhadap perusahaan rugi yang seharusnya tidak wajib membayar pajak. Hal ini menyimpang dari prinsip keadilan horizontal (horizontal equity) yang menghendaki bahwa Wajib Pajak yang mempunyai kemampuan ekonomis yang sama membayar pajak dalam jumah yang sama dan juga tidak sesuai dengan prinsip keadilan vertikal (vertical equity) yang menghendaki pembayaran pajak semakin besar seiring dengan semakin besarnya penghasilan (Musgrave and Musgrave, 1989).

Diskriminasi Pemajakan Terhadap Jenis-jenis Penghasilan Tertentu

Pengaturan PPh Final yang berbasis penghasilan bruto dan dikenakan tarif pajak tersendiri berbeda dengan tarif umum bertentangan dengan asas equality yang dikemukakan oleh Adam Smith dan melanggar prinsip non-diskriminasi dalam hukum (Santoso Brotodihardjo, 1982). Hal tersebut juga merupakan penyimpangan dari prinsip keadilan bahwa penghasilan seyogianya dipajaki dengan cara yang sama tanpa membeda-bedakan sumber, jenis dan cara memperolehnya (John G.Head, dkk, 2014).

Pengenaan PPh Final akan mengakibatkan Wajib Pajak kehilangan beberapa hak perpajakan yang diberikan oleh UU PPh. Misalnya Wajib Pajak Orang Pribadi kehilangan hak untuk mengurangkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Demikian pula Wajib Pajak Badan dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang telah memenuhi kriteria wajib menyelenggarakan pembukuan kehilangan hak untuk mengompensasikan kerugian selama 5 (lima) tahun bertutut-turut mulai tahun pajak berikutnya. Selain itu, perusahaan masuk bursa (go public) tetapi seluruh penghasilannya terkena PPh Final yang memperdagangkan saham sedikitnya  40%

dari jumlah modal disetor dan memenuhi persyaratan lainnya, tidak mendapat fasilitas pengurangan tarif lebih rendah dari tarif umum yang diberikan oleh Undang-undang. Hal ini tentu merupakan perlakuan diskriminatif yang menyebabkan ketidakadilan di antara perusahaan masuk bursa yang memenuhi syarat untuk mendapatkan pengurangan tarif. Selanjutnya terdapat diskriminasi perlakuan di mana imbalan kepada pegawai dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang diberikan oleh perusahaan yang dikenakan pajak secara final merupakan objek PPh bagi pegawai yang menerimanya, sedangkan hal tersebut tidak berlaku bagi karyawan  perusahaan di berbagai industri yang penghasilannya tidak dikenai PPh Final.

Diskriminasi juga terjadi dalam kaitannya dengan kebijakan pemerintah menurunkan PPh Badan dari 25% menjadi 22% untuk tahun pajak 2020 dan 2021 serta 20% pada tahun 2020. Penurunan tarif tersebut tidak dinikmati oleh perusahaan-perusahaan yang terkena PPh Final. Demikian pula beberapa fasilitas PPh Dalam Rangka Penanganan Covid-19 antara lain pembelian kembali (buy back) saham yang diperjualbelikan di Bursa Efek Indonesia terkait dengan pemenuhan persyaratan dalam rangka memperoleh tarif PPh Badan sebesar 3% lebih rendah tidak berlaku dan tidak dapat dimanfaatkan oleh perusahaan go public yang penghasilannya dikenakan PPh Final.

Ketentuan Pengenaan PPh Final Perlu Ditinjau Kembali

Pemerintah perlu mengkaji kembali pengenaan PPh Final berbasis penghasilan bruto dengan tarif tersendiri menjadi PPh berbasis penghasilan neto dengan tarif umum, khususnya bagi Wajib Pajak yang berdasarkan ketentuan perpajakan wajib   menyelenggarakan pembukuan tanpa melihat sektor usaha. Dengan perusahaan mampu dan wajib menyelenggarakan pembukuan seyogianya PPh dapat dihitung dari penghasilan neto, tidak lagi dari penghasilan bruto.

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 yang masih menerapkan pengenaan PPh Final bagi usaha dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp. 4,8 milyar dalam 1 (satu) tahun pajak tetapi dibatasi hingga beberapa tahun pajak mencerminkan pemerintah menyadari realita bahwa belum semua Wajib Pajak Orang Pribadi mampu menyelenggarakan pembukuan yang menghasilkan laporan keuangan berupa neraca dan perhitungan laba/rugi. Kebijakan tersebut dapat dipandang tepat untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang belum wajib pembukuan karena diberikan semacam masa tenggang untuk mereka belajar memahami pembukuan. Namun demikian, pemerintah maupun organisasi profesi akuntan perlu memikirkan pedoman atau standar akuntansi sederhana agar Wajib Pajak Orang Pribadi tidak terlalu sulit untuk memenuhi kewajiban penyelenggaraan pembukuan.

Terakhir, pemerintah seyogianya tidak lagi memberlakukan pengenaan PPh Final bagi Wajib Pajak Badan yang berdasarkan ketentuan perpajakan telah diwajibkan menyelenggarakan pembukuan tanpa melihat jumlah peredaran bruto dan tanpa membedakan jenis dan sektor usaha.

5

Nama                                    :    Dr. Ruston Tambunan, Ak., CA., S.H., M.Si., M.Int.Tax

NRA                                  :   001250

Anggota IKPI Cabang          :    Jakarta Selatan

Sekilas tentang Penulis         :  Wakil Ketua Umum IKPI, Dosen Prasetiya Mulya Business School, dan Managing Partner CITASCO

 

Bagikan Berita Ini

PERSOALAN-PERSOALAN HUKUM DALAM PENGENAAN PPN ATAS PEMAKAIAN SENDIRI

3x4 (2)

Artikel

Bambang Pratiknyo, NRA: 3244

A. Pendahuluan

Pemakaian sendiri atau private use pada umumnya diklasifikasikan sebagai penyerahan yang dikenakan PPN dalam mekanisme pemungutan PPN. Alan Tait juga mendefinisikan penyerahan yang salah satunya adalah pemakaian sendiri. Diklasifikasikannya pemakaian sendiri sebagai penyerahan sesungguhnya suatu hal yang logis dalam rangka memelihara tercapainya tujuan PPN sebagai pemajakan atas konsumsi yang menggunakan mekanisme kredit pajak. Dengan diperkenankannya PPN yang dibayar kepada Pemasok sebagai kredit pajak atau Pajak Masukan (selanjutnya disingkat dengan PM), maka pemakaian sendiri mau tidak mau harus dikenakan PPN. Jika tidak dikenakan PPN, terjadilah konsumsi barang/jasa tanpa membayar PPN yang mana hal tersebut diakibatkan oleh terjadinya PM-nya sudah dikreditkan (atau bahkan sudah direstitusi) namun tidak ada Pajak Keluarannya.

Meskipun pencegahan konsumsi (berupa pemakaian sendiri) tanpa membayar PPN dapat juga ditempuh dengan cara tidak boleh dikredirkannya PM terkait dengan pemakaian sendiri, namun dalam prakteknya alternatif memilah PM yang terkait dan yang tidak terkait dengan pemakaian sendiri lebih sulit ketimbang alternatif mengenakan PPN atas pemakaian sendiri.. Demikianlah, negara-negara yang menerapkan PPN sebagai Pajak Konsumsinya pada umumnya menjadikan pemakaian sendiri sebagai salah satu obyek PPN, seperti juga Indonesia. Sejak awal (sejak UU No. 8 Tahun 1983) sampai dengan UU terbaru (UU No. 11 Tahun 2020) pemakaian sendiri merupakan salah satu hal yang dianggap sebagai penyerahan, sehingga pemakaian sendiri atas Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan (merupakan obyek) PPN.

Isu PPN atas pemakaian sendiri meliputi definisi pemakaian sendiri, Dasar Pengenaan Pajaknya (DPP) dan tentang Faktur Pajaknya . Isu-isu tersebut akan diuraikan dalam tulisan di bawah ini dengan mengacu kepada ketentuan peraturan perundang-undangan PPN di Indonesia. Di samping itu tentu akan diuraikan persoalan-persoalan yang terkandung pada isu-isu tersebut. Penulis berharap sedikitnya tulisan ini akan memperkaya  pengetahuan Pembaca tentang perlakuan PPN atas pemakaian sendiri dan persoalan-persoalannya.

B. Isi

Definisi pemakaian sendiri menurut UU PPN yang pertama dan kedua (UU No. 8 Tahun 1983 dan UU No. 11 Tahun 1994) adalah pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawan. Selanjutnya menurut UU PPN ketiga sampai UU kelima (UU No. 11 Tahun 2020) definisi pemakaian sendiri menjadi pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawan baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri. Kedua definisi tersebut pada hakekatnya tidak berbeda, yang mana yang terakhir hanya lebih mempertegas bahwa walaupun bukan hasil produk sendiri, ,tetap atas pemakaian sendirinya merupakan obyek PPN. Pemakaian sendiri pada kegiatan usaha yang berbentuk perdagangan barang akan mudah

menjustifikasi telah terjadinya konsumsi barang. Sebaliknya, pada kegiatan usaha berbentuk produksi yang terdiri lebih dari satu tahapan akan dijumpai kemungkinan terjadinya pemakaian sendiri atas hasil dari kegiatan pada suatu tahap untuk kegiatan tahap berikutnya. Atas pemakaian sendiri seperti ini memunculkan pertanyaan, apakah sudah harus dikenakan PPN atau belum?

Pada awal berlakunya UU PPN pernah diterbitkan SE-09/1985 yang menegaskan bahwa pemakaian sendiri terutang PPN dengan DPP Harga Jual, namun diperkenankan untuk mengurangkan bagian labanya. Selain itu, atas pemakaian sendiri tidak perlu dibuat Faktur Pajak dan sebagai gantinya cukup dibuatkan catatan “pemakaian sendiri” pada Buku Penjualannya. Selanjutnya pada tahun 1990 diterbitkan SE-12/1990 yang menegaskan bahwa pemakaian sendiri untuk keperluan tahapan produksi berikutnya tidak perlu dipungut PPN. Akhirnya pada tahun 1991 diterbitkanlah SE-01/1991 yang secara tegas membuat pembedaan pemakaian sendiri menjadi pemakaian sendiri untuk tujuan konsumtif (contoh: Pabrikan Minuman menggunakan minuman hasil produksinya untuk karyawannya) dan pemakaian sendiri untuk tujuan produktif (contoh: Pabrikan Truck menggunakan Truck hasil produksinya untuk mengangkut spare part dari suatu tempat ke pabriknya atau ke tempat pembeli).  Atas pemakaian sendiri untuk tujuan konsumtif dikenakan PPN (dibayar Pajak keluaran) namun tidak dapat dikreditkan. Sebaliknya, atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif dibayar Pajak Keluaran, namun sekaligus dapat dikreditkan.

Pada era UU PPN yang kedua (UU PPN Tahun 1994) dan ketiga (UU PPN Tahun 2000) diterbitkan Kep. Dirjen. No.87/2002 yang diedarkan dengan SE-04/2002 yang mempertegas definisi pemakaian sendiri untuk tujuan produktif, DPP-nya serta tentang Faktur Pajaknya. Menurut Kep. Dirjen. tersebut, definisi pemakaian sendiri untuk tujuan produktif adalah pemakaian Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pengusaha yang bersangkutan. Atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif belum merupakan penyerahan sehingga tidak terutang PPN. DPP-nya adalah Harga Jual/Nilai Penggantian dikurangi Laba Kotor. Faktur Pajaknya tetap harus dibuat, tanpa membedakan pemakaian sendiri untuk tujuan produktif atau bukan.


 1. Alan A. Tait, Value Added Tax: International Practice and Problems (Washington DC: International Monetary Fund, 1988), 87.

 2. OECD Report, Taxing Consumption (Paris: OECD, 1988), 170

 3. Definisi Pemakaian Sendiri dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 1A pada semua UU PPN

Pada era UU PPN yang keempat (UU PPN tahun 2009) ketentuan tentang PPN atas pemakaian sendiri diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Merujuk kepada Pasal 19 UU PPN tahun 2009, hal ini nampaknya lebih tertib hukum dibanding sebelumnya yang langsung diatur oleh Kep. Dirjen Pajak atau Surat Edaran Dirjen Pajak. Ketentuannya diatur dalam PP No. 1 Tahun 2012 Pasal 5 ayat (1), (2), (3) dan (4) dan Pasal 19 ayat (2) beserta penjelasannya. Aturannya dinyatakan serta diberikan contoh secara jelas, dan kusus untuk pemakaian sendiri untuk tujuan produktif lebih dirinci perlakuannya sebagai berikut:

Contoh Pemakaian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pengusaha yang bersangkutan:

1)

Pabrikan truk mempergunakan sendiri truk yang diproduksinya untuk kegiatan usaha mengangkut suku cadang.

2)

Pabrikan minyak kelapa sawit menggunakan limbahnya berupa kulit dari inti sawit sebagai pengeras jalan di lingkungan pabrik.

3)

Perusahaan telekomunikasi menggunakan saluran teleponnya untuk kegiatan operasional perusahaan dalam berkomunikasi dengan mitra bisnisnya.

Contoh Pemakaian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya:

1)

Pabrikan minyak kelapa sawit menggunakan limbahnya berupa kulit dari inti sawit sebagai bahan pembakaran boiler dalam proses pabrikasi.

2)

Pabrikan kayu lapis (plywood) menggunakan hasil produksinya berupa kayu lapis (plywood) untuk membungkus kayu lapis (plywood) yang akan dipasarkan agar tidak rusak.

3)

Perusahaan telekomunikasi menggunakan sambungan saluran teleponnya untuk melakukan penyerahan jasa provider internet kepada konsumennya.

Contoh Pemakaiaan sendiri untuk tujuan produktif namun untuk penyerahan yang tidak terutang PPN adalah Pabrikan ban menggunakan produksi ban sendiri untuk kendaraan angkutan umumnya atau untuk kendaraan ambulance klinik di perusahaan.

Ketentuan tentang tidak diperlukannya pembuatan Faktur Pajak atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang diperuntukan pada kegiatan terutang PPN diatur dalam Pasal 19 ayat (2). Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa maksud ketentuan tersebut adalah untuk memberikan kemudahan administrasi Pengusaha yang bersangkutan, mengingat sekiranya dipungut PPN,  tetap saja menjadi Pajak Masukan (PM) yang dapat dikreditkan. Secara teori dan administrasi pemungutan pajak, ketentuan tersebut patut diapresiasi, karena teori pengkreditan PPN tetap dilaksanakan dengan benar dan ketentuan administrasinya memenuhi asas kesederhanaan yang memberikan kenyamanan Pengusaha (convenience dan ease administration).

Sungguhpun demikian, ditinjau dari segi tertib hukum, ternyata ketentuan pemakaian sendiri sebagaimana diatur dalam PP No. 1 Tahun 2012 (yang pada dasarnya hanya merupakan penegasan dan perincian dari ketentuan Kep. Dirjen No. 87/2002 yang “bibit”-nya adalah SE-12/1990) mengandung persoalan-persoalan.

Persoalan hukum dari perlakuan PPN atas pemakaian sendiri sebagaimana diatur dalam PP No. 1 Tahun 2012 adalah sebagaimana diuraikan dalam Uji Materiil oleh KADIN kepada Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2013 yang dikabulkan oleh MA dengan Putusan Nomor 64 P/HUM/2013. Secara ringkas Uji Materiil KADIN dapat diuraikan bahwa persoalan hukum yang pertama adalah bahwa pembedaan pemakaian sendiri untuk tujuan konsumtif dan produktif tidak diatur dalam Pasal 1A UU PPN. Pembedaan tersebut dianggap menyimpang dari materi yang diatur dalam UU PPN, sehingga tidak sesuai dengan kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU No.12 Tahun 2011 dan karenanya ketentuan PPN atas pemakaian sendiri dalam PP No. 1 Tahun 2012 cacat hukum. Persoalan Hukum yang kedua adalah bahwa alasan tidak dipungutnya PPN atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang terkait dengan kegiatan proses produksi atau kegiatan produksi selanjutnya tidak sesuai dengan ketentuan fasilitas PPN yang diatur dalam Pasal 16B UU PPN. Dinyatakan oleh KADIN bahwa alasan kemudahan administrasi Pengusaha pada ketentuan tersebut tidak disebutkan dalam Pasal 16B UU PPN. Persoalan hukum yang ketiga adalah tidak diharuskannya membuat Faktur Pajak atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang terkait dengan kegiatan proses produksi atau kegiatan produksi selanjutnya sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (2) PP No. 1 Tahun 2012. Menurut KADIN ketentuan ini tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 13 UU PPN yang mengharuskan atas setiap penyerahan BKP/JKP dibuatkan Faktur Pajak. Putusan MA atas Uji Materiil oleh KADIN tentang persoalan-persoalan tersebut dikabulkan dengan pernyataan bahwa ketentuan PPN atas pemakaian sendiri yang diatur dalam PP No. 1 Tahun 2012 tidak berlaku umum.

Dengan adanya Putusan MA tersebut seharusnya ketentuan PPN atas pemakaian sendiri yang diatur dalam PP No. 1 Tahun 2012 menjadi tidak berlaku. Biasanya apabila ada Putusan MA yang membatalkan Peraturan yang diterbitkan Pemerintah, Pemerintah menerbitkan aturan yang menyesuaikan dengan Putusan tersebut. Faktanya sampai saat ini aturan PPN atas pemakaian sendiri yang diatur dalam PP No. 1 Tahun 2012 tetap belum diubah, bahkan dengan terbitnya PP No. 9 Tahun 2021 (yang sebagian mengubah PP No. 1 Tahun 2012) ada satu hal yang menarik, yaitu ketentuan Pasal 19 ayat (2) PP No. 1 Tahun 2012 dihapuskan. Dengan dihapuskannya ketentuan tersebut (tentang tidak perlu dibuatnya faktur pajak atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang terkait dengan kegiatan proses produksi atau kegiatan produksi selanjutnya), berarti walaupun tidak dipungut PPN, PKP yang melakukan pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang terkait dengan kegiatan proses produksi atau kegiatan produksi selanjutnya tetap harus buat Faktur Pajak. Akibatnya kemudahan administrasi yang sebelumnya dituju, menjadi tidak tercapai.

Satu persoalan hukum lainnya terkait dengan PPN atas pemakaian sendiri adalah ketentuan belum dianggapnya pemakaian sendiri sebagai penyerahan oleh Peraturan Menteri Keuangan No. 18 Tahun 2021 mengenai ketentuan PKP yang belum melakukan penyerahan dalam hubungannya dengan kewajiban membayar Kembali PPN yang telah dikreditkan/dikembalikan.  Ketentuan ini menimbulkan persoalan, karena pemakaian sendiri menurut UU PPN terutang PPN sehingga harus dibayar Pajak Keluarannya (kecuali atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang terkait dengan kegiatan proses produksi atau kegiatan produksi selanjutnya sebagaimana diatur dalam PP No. 1 Tahun 2012 jo PP No. 9 Tahun 2021). Dengan belum dianggapnya sebagai penyerahan, maka dalam hal terjadi pemakaian sendiri dan PKP tersebut tidak melakukan penyerahan sampai batas waktu yang ditentukan, maka terjadilah konsumsi yang dibayar PPN-nya dua kali, yaitu pertama dari Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan, dan kedua dari Pajak Keluaran yang harus diperhitungkan/dibayar.

C. Simpulan dan Saran

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peraturan perundang-undangan PPN memberlakukan PPN atas pemakaian sendiri secara hati-hati dan terukur, meskipun pada awalnya belum terpola.  Hal ini ditunjukan dengan adaanya pembedaan perlakuan atas pemakaian sendiri untuk tujuan konsumtif dan produktif, bahkan untuk yang bertujuan produktifpun dibedakan lagi dari sifat penyerahannya (terutang PPN atau tidak). Walaupun demikian perlakuan PPN atas kegiatan pemakaian sendiri ternyata masih menyisakan persoalan-persoalan hukum sebagaimana dikemukakan oleh KADIN dan Uji Materiil ke MA.

Untuk itu dengan ini disarankan Pemerintah dan DPR segera membuat aturan baru yang lebih memenuhi kaidah hukum tanpa terlepas dari pemenuhan teori PPN yang tepat, serta pemenuhan asas kemudahan administrasi. Sesungguhnya saat ini ada satu kesempatan terbuka luas untuk melakukan hal tersebut yaitu pada saat pembentukan UU KUP baru dalam waktu dekat nanti. Caranya adalah memindahkan ketentuan PPN atas pemakaian sendiri sesuai dengan ketentuan PP No. 1 Tahun 2012 ke Undang-Undang. Dengan cara itulah maka persoalan-persoalan hukum seperti yang diuraikan di atas menjadi sirna.

Khusus tentang ketentuan belum diakuinya pemakaian sendiri sebagai penyerahan pada kasus PKP belum melakukan penyerahan yang diatur dalam PMK No.18 Tahun 2021, kiranya dapat diubah PMK-nya dengan tidak diwajibkannya membayar kembali Pajak Masukan terkait dengan pemakaian sendiri.


 

3x4 (2)

Nama                                    :    Bambang Pratiknyo

NRA                                    :   003244

Anggota IKPI Cabang         :    Bekasi

Sekilas tentang Penulis       :    Tax Manager DSH Tax Consulting

 

Bagikan Berita Ini

Asas Lex Favor Reo/Transitoir Meningkatkan Kepastian Hukum Pajak

Pendahuluan

Pandemi Covid-19 telah menimbulkan banyak kesulitan bagi negara kita, seperti banyaknya korban yang meninggal dunia, naiknya biaya untuk menjaga kesehatan, kesulitan dalam mencari nafkah, dan perubahan dalam pola beraktifitas dan bersosialisasi dalam masyarakat. Kesulitan ini tidak hanya melanda Indonesia, namun hampir seluruh dunia mengalaminya, termasuk negara maju juga tidak luput dari badai kesulitan akibat Covid-19. Kita harus mengapresiasi semua kerja keras yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam berupaya mengatasi semua kesulitan akibat pandemi Covid-19 ini.

Kesulitan ekonomi nasional yang timbul dari pandemi Covid-19 kita harapkan akan segera berakhir. Oleh karena itu kita perlu meningkatkan apa saja yang dapat mendukung ekonomi nasional kembali bangkit. Kita harapkan investor tertarik berinvestasi di Indonesia. Salah satu faktor yang sangat diperhitungkan investor adalah kepastian hukum. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh Indonesia untuk meningkatkan kepastian hukum pajak adalah dengan cara mengadopsi dengan tegas Asas Lex Favor Reo/Transitoir dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Indonesia, tepatnya di Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang telah diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 11 Tahun 2020, yang selanjutnya disebut UU KUP.

Asas Lex Favor Reo/Transitoir

Eddy O.S. Hiariej menjelaskan Asas Lex Favor Reo/Transitoir adalah sebuah asas yang menganut prinsip pengenaan sanksi berdasarkan hukuman yang teringan bila terjadi perubahan perundang-undangan. Dalam hukum perpajakan dapat dimaknai sebagai prinsip penerapan sanksi pajak kepada Wajib Pajak berdasarkan sanksi yang teringan dalam hal terjadi perubahan peraturan perundang-undangan perpajakan Indonesia. Sebagai contoh, bila peraturan perundang-undangan yang lama mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% atas setiap bulan keterlambatan pembayaran pajak, tetapi kemudian diundangkan dan diberlakukan peraturan perundang-undangan yang baru yang mengatur sanksi administrasi berupa bunga menjadi 1% atas setiap bulan keterlambatan pembayaran pajak, maka sesuai Asas Lex Favor Reo/Transitoir, yang berlaku adalah sanksi yang lebih ringan, yaitu sanksi bunga yang sebesar 1%. Pengenaan sanksi ini diberlakukan, walaupun keterlambatan pembayaran pajak terjadi sebelum berlakunya peraturan perundang-undangan yang baru.

Dalam peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja, dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2021 tentang “Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha” yang merupakan ketentuan peralihan, telah mengatur pengenaan sanksi pajak yang dihitung berdasarkan UU Cipta Kerja untuk Surat Ketetapan Pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan sejak 2 November 2020. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa sanksi pajak yang diatur dalam UU Cipta Kerja lebih ringan dibandingkan UU KUP yang terdapat dalam UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 16 Tahun 2009. Dalam UU Cipta Kerja klaster perpajakan tidak diatur aturan peralihan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 PP Nomor 9 Tahun 2021. Tujuan Pasal 9 PP Nomor 9 Tahun 2021 adalah “untuk mendukung kemudahan dalam berusaha” yang selaras dengan tujuan lahirnya UU Cipta Kerja. Penerapan pengenaan sanksi pajak yang lebih ringan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 PP Nomor 9 Tahun 2021 adalah bentuk penerapan Asas Lex Favor Reo/Transitoir. Sanksi pajak ini sifatnya hanya terbatas antara ketentuan sanksi pajak yang diatur dalam UU KUP sebelum diberlakukannya UU Cipta Kerja dibandingkan dengan sanksi pajak yang diatur dalam UU Cipta Kerja, namun ini tidak berlaku terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan secara keseluruhan.

 

Makna Terjadinya Perubahan Perundang-Undangan

Menurut Wirjono Prodjodikoro, makna perubahan perundang-undangan adalah jika dalam suatu perundang-undangan terdapat pasal yang telah berubah sedemikian rupa, atau pasal tersebut telah dihapus, atau jumlah ancaman hukumannya berubah. Dalam penerapan Asas Lex Favor Reo/Transitoir, jika terjadi perubahan perundang-undangan, maka sanksi yang akan dikenakan adalah sanksi yang teringan dari peraturan yang lama dibandingkan dengan peraturan yang baru atas peristiwa kesalahan yang terjadi pada masa lampau sebelum perundang-undangan baru diberlakukan. Bila sanksi yang lebih ringan terdapat dalam peraturan yang baru, maka yang berlaku adalah peraturan yang baru. Sebaliknya, bila sanksi dalam peraturan perundang-undangan yang baru ternyata lebih berat dibandingkan dengan sanksi yang diatur dalam perundang-undangan yang lama, maka sanksi yang dapat dikenai adalah tetap berdasarkan peraturan perundang-undangan yang lama.

Wirjono Prodjodikoro berpendapat, bahwa Asas Lex Favor Reo/Transitoir tidak berlaku untuk suatu perundang-undangan yang diberlakukan hanya untuk suatu periode tertentu, maka sanksi tetap dikenakan (temporaire strafbepalingen) kepada orang yang melakukan pelanggaran selama periode tertentu tersebut berlaku, walaupun pelanggarnya baru diadili setelah periode tertentu tersebut, karena tidak terjadi perubahan peraturan perundang-undangan dalam kondisi seperti ini. Sanksi yang berlaku dalam suatu peraturan perundang-undangan yang diberlakukan untuk suatu periode tertentu tetap dapat dikenakan kepada pelanggarnya, walaupun terdapat Asas Lex Favor Reo/Transitoir dalam perundang-undangan yang berlaku.

Manfaat Asas Lex Favor Reo/Transitoir

Pemerintah yang menerapkan Asas Lex Favor Reo/Transitoir akan memberikan jaminan kepastian hukum yang tinggi dalam hukum perpajakan kita. Bila dikemudian hari terjadi perubahan peraturan perundang-undangan perpajakan yang menerapkan sanksi yang lebih berat dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan yang lama, maka secara otomatis Asas Lex Favor Reo/Transitoir berfungsi sebagai benteng yang mencegah diberlakukannya sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang baru, sehingga pasal yang memberikan sanksi yang lebih berat dalam perundang-undangan yang baru menjadi tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat atas kesalahan di masa yang lampau. Jaminan ini tentu dapat meningkatkan kepastian hukum perpajakan Indonesia. Investor akan mengetahui dengan pasti bahwa mereka telah mendapat jaminan dari UU KUP akan kepastian hukum atas sanksi yang dapat dikenakan kepada mereka jika terjadi kesalahan tidak akan lebih berat bila terjadi perubahan perundang-undangan perpajakan dikemudian hari.

Asas Lex Favor Reo/Transitoir juga akan mencegah multitafsir dalam penerapan pengenaan sanksi pajak di lapangan. Hal ini menjadi sederhana karena Fiskus dan Wajib Pajak cukup melihat ketentuan sanksi pajak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lama saat terjadinya pelanggaran dibandingkan dengan ketentuan sanksi pajak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku. Sanksi yang diterapkan adalah peraturan yang pengenaan sanksinya yang lebih ringan. Dalam hal ini, asas Lex Favor Reo/Transitoir juga memberikan keadilan dalam pengenaan sanksi pajak. Ini tentu akan mengurangi sengketa pajak di tingkat keberatan dan tingkat banding, bahkan sampai ke tingkat peninjauan kembali. Oleh karena itu asas Lex Favor Reo/Transitoir juga membantu mengurangi beban sengketa pajak di pengadilan pajak.

Penerapan secara tegas asas Lex Favor Reo/Transitoir dalam UU KUP dapat menjadi andalan pemerintah dalam mempromosikan kepastian hukum perpajakan di Indonesia kepada investor asing. Diharapkan Asas Lex Favor Reo/Transitoir yang memberikan kepastian hukum ini dapat menjadi iklan yang sangat produktif bagi Indonesia dalam menarik investor asing untuk berinvestasi di Indonesia. Jika investasi di Indonesia dapat meningkat, tentu multiplier effect ekonomi yang timbul akan sangat mendukung pertumbuhan ekonomi nasional dan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Hal ini pada akhirnya akan menaikkan penerimaan negara dari Pajak.

Penerapan Asas Lex Favor Reo/Transitoir dalam Hukum Nasional dan Hukum Internasional

Asas Lex Favor Reo/Transitoir telah diterapkan dalam hukum nasional sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UU KUHP. Adapun ketentuan Pasal 1 ayat (2) UU KUHP adalah sebagai berikut: “Apabila ada perubahan perundang-undangan sesudah perbuatan itu terjadi, maka haruslah dipakai ketentuan yang teringan bagi terdakwa”.

Asas Lex Favor Reo/Transitoir juga telah diterapkan dalam hukum internasional, diantaranya diatur dalam Pasal 11 ayat (2) International Institute of Human Right. Menurut Eddy O.S. Hiariej, secara implisit Pasal 11 ayat (2) International Institute of Human Right mengatur penerapan hukum yang teringan antara hukum saat perbuatan dilakukan dengan hukuman yang berlaku saat hukuman akan dijatuhkan dalam hal terjadi perubahan peraturan. Lebih lanjut Eddy O.S. Hiariej menyampaikan isi ketentuan Pasal 11 ayat (2) International Institute of Human Right adalah sebagai berikut: “No one shall be had guilty of any penal offence on account of any act or omission which did not constitute a penal offence, under national or international law, at the time when it was committed. Nor shall a heavier penalty be imposed than the one that was applicable at the time the penal offence was committed”.

Kesimpulan

Kondisi pandemi Covid-19 telah menyebabkan kesulitan ekonomi nasional dan melemahkan sebagian besar daya beli masyarakat kita. Oleh karena itu perlu dukungan dari semua pihak agar perekonomian Indonesia betul-betul dapat bertumbuh secara signifikan guna memberikan kesejahteraan bagi masyarakat kita. Salah satu cara yang dapat kita lakukan adalah meningkatkan kepastian hukum pajak di negara kita yang dapat kita promosikan kepada investor asing untuk mau berinvestasi di Indonesia. Cara yang paling praktis dan tidak banyak mengeluarkan biaya dalam meningkatkan kepastian hukum pajak Indonesia adalah melalui penerapan dengan tegas Asas Lex Favor Reo/Transitoir dalam UU KUP. Asas Lex Favor Reo/Transitoir juga telah diterapkan di UU KUHP dalam hukum nasional dan juga telah diterapkan dalam hukum internasional. Manfaat lain Asas Lex Favor Reo/Transitoir adalah dapat memberikan kontribusi dalam mengurangi beban sengketa pajak yang semakin hari semakin menumpuk di pengadilan pajak.

Semoga pemerintah dapat mempertimbangkan penerapan Asas Lex Favor Reo/Transitoir secara tegas dalam UU KUP. Bila penerapan Asas Lex Favor Reo/Transitoir dalam UU KUP dapat dilakukan, tentu akan memberikan kenyamanan bagi investor dalam berinvestasi di Indonesia. Penerapan Asas Lex Favor Reo/Transitoir dalam UU KUP sangat mungkin akan menjadikan Indonesia  menjadi negara favorit tujuan investasi. Salam Indonesia Maju, Jaya, dan Sejahtera


Penulis : Dr. Arifin Halim, S.E., S.H., M.H.

Penulis lulus Program Doktor Ilmu Hukum Angkatan 2018 Universitas Brawijaya.

Anggota Litbang IKPI Pusat Kepengurusan Periode 2019 – 2024.

Konsultan Pajak, Kuasa Hukum Pengadilan Pajak, dan Advokat.

Kepastian Hukum dan Kesederhanaan Administrasi Perpajakan Meningkatkan Investor Berinvestasi di Indonesia

Pentingnya Kepastian Hukum Bagi Investor

Kepastian hukum pajak perlu dijaga dan ditingkatkan. Kepastian hukum menjadi salah satu faktor utama bagi investor dalam menentukan negara tujuan investasinya. Kepastian hukum tidak hanya menjadi perhatian dari investor asing, namun juga menjadi perhatian bagi investor domestik. Kepastian hukum pajak yang diterapkan dengan baik, diharapkan investor mau menanamkan investasinya di Indonesia. Investor asing akan bergairah berinvestasi di Indonesia dan investor lokal tetap nyaman berinvestasi di dalam negeri dan tidak menanamkan modalnya di luar negeri.

 

Kurangnya minat investor asing berinvestasi di Indonesia terlihat dari fenomena investor asing yang tidak memilih Indonesia sebagai negara tujuan investasinya, namun memilih negara tetangga kita. Pasca perang dagang Amerika Serikat dengan China, pada periode Juni sampai dengan Agustus 2019 ada 33 perusahaan dari China yang memutuskan melakukan relokasi pabriknya keluar China, tidak satu pun yang merelokasi pabriknya ke Indonesia, yang memilih Vietnam ada 23 perusahaan, 10 perusahaan memilih Thailand, Malaysia, Kamboja, India, Mexico, dan Serbia (World Bank, 2019). Awal tahun 2020 Nissan Motor Co., Ltd. mengumumkan secara resmi penutupan pabriknya di Purwakarta, Jawa Barat (Dadan Kuswaraharja/detikOto, 2020). Pada tanggal 23 Oktober 2020, Nissan dalam laman resminya di asia.nissannews mengumumkan merekrut karyawan baru sebanyak 2.000 orang untuk pabriknya di Samut Prakan, Thailand (detikOto, 2020). Fenomena relokasi perusahaan dari China yang tidak memilih Indonesia dan Nissan Motor yang meninggalkan Indonesia pada tahun 2020 dan berkonsentrasi di Thailand, tentu harus menjadi perhatian kita semua dan menjadi tantangan bagi bangsa kita untuk meraih kembali kepercayaan dari Investor. Menurut penulis, salah satu faktor yang mengurangi minat investor asing berinvestasi di Indonesia adalah ketidakpastian hukum di Indonesia.

Pajak dan Sanksi Pajak yang Dikhawatirkan Investor

Bagi investor, pengenaan pajak penghasilan dari keuntungan yang diperoleh adalah hal yang wajar dan praktek yang lazim di dunia. Keuntungan yang diperoleh investor dikenai pajak sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku tentu sudah dipahami sewaktu investor akan melakukan investasi di suatu negara. Investor akan kapok berinvestasi di suatu negara jika investor tersebut mengalami pengenaan pajak dan/atau sanksi pajak yang terjadi karena administrasi. Berita peristiwa seperti ini tentu akan dengan cepat menyebar di kalangan investor baik di negara asalnya maupun negara lain. Berita ini akan menjadi iklan yang kontraproduktif bagi iklim investasi di negara terjadinya peristiwa itu. Ada adagium bahwa pajak itu mengambil sebagian dari telur yang ditelurkan oleh ayam dan tidak mengambil ayamnya. Bila ayamnya diambil, maka sudah tidak ada lagi telur yang dapat diambil dikemudian hari. Ayam harus diberikan kondisi yang nyaman, sehingga ayamnya semakin produktif bertelur dan sebagian telurnya dapat diambil sebagai pajak.

 

Peraturan Harus Sinkron dan Harmonis

Peraturan akan memberikan kepastian hukum jika peraturan yang berlaku sinkron dengan peraturan di atasnya dan harmonis dengan peraturan lainnya yang sederajat. Di Indonesia, sinkron dan harmonisnya suatu peraturan harus sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 yang mengatur jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Peraturan yang bertentangan dengan peraturan di atasnya mengakibatkan peraturan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Adapun peraturan yang tidak harmonis dengan peraturan lainnya akan menimbulkan konflik hukum yang melahirkan ketidakpastian hukum.

 

 

Kesederhanaan Administrasi Pajak Menjadi Daya Tarik Investasi

Disamping kepastian hukum yang dibutuhkan oleh investor, kesederhanaan administrasi perpajakan juga akan menjadi daya tarik investasi bagi investor. Kesederhanaan administrasi perpajakan akan memberikan iklim yang kondusif bagi dunia usaha, karena pengusaha dapat lebih fokus untuk memajukan pertumbuhan usahanya dan dapat bersaing dalam menjalankan usahanya. Waktu pengusaha tidak terbuang untuk mengurusi administrasi yang rumit. Ini akan mendukung perusahaan di Indonesia lebih efisien dan mampu bersaing di dunia, sehingga ekspor dapat ditingkatkan. Pertumbuhan yang terjadi di dunia usaha, tentu pada akhirnya juga memberikan kontribusi yang positif bagi meningkatnya penerimaan negara dari sisi pajak.

 

Kesederhanaan Administrasi Pajak yang Dapat Dipertimbangkan

Kesederhanaan administrasi dalam pemungutan pajak akan meringankan beban administrasi Wajib Pajak. Hal ini akan membuat Wajib Pajak lebih mudah dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Kesederhanaan administrasi ini tentu dilakukan dengan tidak mengorbankan penerimaan negara. Adapun kesederhanaan administrasi perpajakan yang dapat dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

1. Jangka waktu penerbitan Faktur Pajak dapat disederhanakan menjadi dilakukan paling lambat pada akhir bulan dilakukannya penyerahan. Seperti kita ketahui bersama, sesuai dengan Pasal 13 ayat (1a) huruf a UU PPN, Faktur Pajak harus dibuat pada saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak. Penyederhanaan administrasi pajak dengan memberikan fleksibelitas waktu penerbitan Faktur Pajak menjadi paling lambat pada akhir bulan dilakukannya penyerahan akan sangat mendukung dunia usaha, sehingga pengusaha dapat menagih lebih cepat kepada customer-nya. Disisi yang lain, tidak ada kerugian negara dengan diberikannya fleksibelitas penerbitan Faktur Pajak ini. Hal ini juga telah didukung dengan sistem penerbitan Faktur Pajak dengan cara e-Faktur melalui aplikasi yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak yang sudah sangat bagus dalam pelaksanaannya.

2. Memberikan fleksibelitas atas penerbitan Faktur Pajak Gabungan sesuai kebutuhan PKP yang melakukan penyerahan dalam Masa Pajak yang sama. Saat ini sesuai dengan Pasal 13 ayat (2) UU PPN, penerbitan Faktur Pajak Gabungan hanya dapat diberikan untuk menerbitkan 1 (satu) Faktur Pajak yang meliputi seluruh penyerahan selama 1 (satu) bulan kalender. Perlu diberikan keleluasaan bagi PKP untuk menerbitkan Faktur Pajak Gabungan atas beberapa penyerahan dalam 1 (satu) Faktur Pajak, atau untuk penyerahan yang telah dilakukan untuk beberapa hari dalam 1 (satu) Faktur Pajak Gabungan. Fleksibelitas ini akan sangat membantu PKP dalam menjalankan usahanya. Pembatasan menerbitkan 1 (satu) Faktur Pajak untuk seluruh penyerahan dalam satu bulan kalender tentu tidak memberikan banyak manfaat bagi PKP.

3. Dokumen ekspor berupa Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang saat ini telah diterbitkan dengan sistem elektronik melalui aplikasi dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, sehingga sudah sangat baik dan bagus dalam pelaksanaannya. Guna mendorong ekspor, investor perlu mendapat kenyamanan dengan tidak ada sanksi administrasi yang dapat dikenakan dari dokumen PEB. Pengenaan sanksi administrasi yang dapat dikenakan berdasarkan Pasal 14 ayat (4) UU KUP tentu sangat memberatkan Wajib Pajak yang dapat diibaratkan mereka akan mengalami kehilangan ayam bila dikenakan sanksi ini.

4. Penyederhanaan sistem withholding tax, yaitu hanya menunjuk Wajib Pajak Badan saja sebagai pemotong pajak dan hanya memotong pajak penghasilan dari Wajib Pajak yang memberikan jasa dan statusnya Bukan Pengusaha Kena Pajak. Bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang memberikan Jasa Kena Pajak (JKP) yang saat ini masuk dalam objek pemotongan PPh Pasal 23, dapat disederhanakan dengan melakukan pembayaran yang dilakukan sendiri oleh PKP yang bersangkutan berdasarkan Nilai Penyerahan JKP yang tercantum dalam Faktur Pajak yang diterbitkan. Ini sekaligus dapat dijadikan model angsuran PPh Pasal 25. Bila cara ini dapat diadopsi oleh peraturan perpajakan kita, akan sangat banyak efisiensi administrasi pemotongan PPh yang akan terjadi.

5. Surat Ketetapan Pajak (SKP) berdasarkan hasil pemeriksaan yang diterbitkan untuk setiap Masa Pajak perlu disederhanakan menjadi diterbitkan SKP atas satu Tahun Pajak atas Tahun Pajak yang diperiksa. Sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku saat ini, satu surat permohonan keberatan atau permohonan banding hanya untuk satu SKP dan tidak dapat digabungkan dengan SKP yang lain, walaupun jenis pajaknya sama dan tahun pajaknya sama. Penyederhanaan ini guna memberikan jaminan keadilan bagi Wajib Pajak yang mencari keadilan. Hal ini juga akan mengurangi beban sengketa pajak di pengadilan pajak yang semakin hari semakin menumpuk.

6. Guna memberikan keadilan, perlu ditinjau kembali pengenaan sanksi administrasi berupa denda 50% bila permohonan banding Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 25 ayat (10) UU KUP. Demikian juga dengan denda 100% bila permohonan keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27 ayat (5d) UU KUP. Bila denda ini tetap ingin dipertahankan, maka Wajib Pajak juga perlu diberikan imbalan yang persentasenya minimal sama dengan yang dapat dikenakan kepada Wajib Pajak. Sehingga kelak denda akan dikenakan kepada Wajib Pajak hanya terhadap netto yang ditolak setelah di-offset dengan yang dikabulkan sebagian, dalam hal nilai yang ditolak lebih besar dari yang dikabulkan. Atau imbalan diberikan kepada Wajib Pajak bila atas netto yang dikabulkan setelah dioffset dengan sebagian nilai yang ditolak, hal ini bila nilai yang dikabulkan lebih besar dari nilai yang ditolak.

 

Kesimpulan

Peraturan Perpajakan yang memberikan kepastian hukum, memberikan keadilan dan penyederhanaan administrasi perpajakan dengan tetap mempertahankan tingkat penerimaan negera, akan memberikan iklim usaha yang kondusif di Indonesia. Hal ini diharapkan akan menarik minat investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia, sehingga banyak lapangan pekerjaan yang akan dibuka, pertumbuhan ekonomi yang semakin baik, multiplier effect yang positif dalam perekonomian nasional, yang pada akhirnya akan menaikkan penerimaan negara dari Pajak.

 

Semoga dengan regulasi pajak yang semakin kondusif, Indonesia menjadi negara yang menarik bagi investor dan investor mau menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini akan mendorong membaiknya dan pulihnya perekonomian nasional, sehingga kesejahteraan rakyat semakin cepat dapat dicapai. Salam Indonesia Maju, Jaya, dan Sejahtera.

_____________________________________________________________________________________________________________________

Penulis : Dr. Arifin Halim, S.E., S.H., M.H.

Penulis lulus Program Doktor Ilmu Hukum Angkatan 2018 Universitas Brawijaya.

Anggota Litbang IKPI Pusat Kepengurusan Periode 2019 – 2024.

Konsultan Pajak, Kuasa Hukum Pengadilan Pajak, dan Advokat.

Menyoal Kewajiban PPh Badan Atas Nama Kerja Sama Operasi (Joint Operation)

Artikel

Pendahuluan

Tulisan saya dengan judul Ketidakpastian Atas Perlakuan Perpajakan Joint Operation (JO) Dalam Bidang Usaha Konstruksi yang dimuat di media ORTax ini tiga belas tahun tahun lalu, tepatnya 27 Juli 2007 menyimpulkan bahwa perlakuan perpajakan JO melalui beberapa surat penegasan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak tidak konsisten satu sama lain. Ketidakpastian terjadi dalam hal penentuan wajib tidaknya suatu bentuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation) mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP), apakah berpatokan pada hakekat atau keadaan nyata dari transaksi (substance) atau pada isi (form) dari kontrak perjanjian antara JO dengan pihak pemberi kerja (pemilik proyek) atau sebaliknya.

Lima tahun kemudian sejak penulisan artikel tersebut, terbit Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 sebagai peraturan pelaksanaan UU PPN sehingga lebih memberi kepastian di mana dalam hal apakah JO diwajibkan sebagai PKP atau tidak, yang utama dilihat adalah hakekat atau substansi siapa pihak yang nyata-nyata melakukan penyerahan Barang Kena Pajak/ Jasa Kena Pajak kepada Pemberi Kerja atau Pemilik Proyek, apakah atas nama JO atau atas nama masing-masing anggota JO, bukan pada isi atau bentuk formal kontrak/perjanjian kerja. Dengan kata lain dalam kaitannya dengan Pengukuhan PKP, PP 1 Tahun 2012 pada dasarnya menerapkan asas materiil (substance over form).

Pengertian Joint Operation selama ini masih mengacu pada surat penegasan Dirjen Pajak No.                             S-323/PJ.42/1989 di mana bentuk JO adalah merupakan bentuk kerjasama operasi, yaitu perkumpulan dua badan atau lebih yang bergabung untuk menyelesaikan suatu proyek dan penggabungan bersifat sementara hingga proyek selesai. Surat ini juga menegaskan bahwa bentuk penggabungan atau kerja sama operasi tersebut bukan merupakan subjek dari pengenaan PPh Badan, namun pengenaan PPh Badan tetap dikenakan atas penghasilan yang diperoleh pada masing-masing badan yang bergabung tersebut sesuai dengan porsi/bagian pekerjaan atau penghasilan yang diterimanya. Oleh karena itu pemberian NPWP terhadap suatu joint operation adalah semata-mata untuk keperluan pemungutan PPN dan pemotongan Pajak Penghasilan antara lain PPh Pasal 21, Pasal 23/26 dan Pasal 4 ayat (2).  

Bahwa JO bukan merupakan subjek pengenaan PPh Badan terindikasi dari terbitnya Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-44/PJ./1994 yang mengatur mekanisme pemecahan bukti potong PPh pasal 23. Selanjutnya berdasarkan S-251/PJ.313/1999 ditegaskan bahwa SE-44/PJ./1994 tersebut juga dapat diberlakukan untuk pemecahan bukti pemotongan PPh Final bagi anggota JO.

Selain itu, SE-30/PJ/2013 yang mencabut SE-80/PJ./2009 menyatakan bahwa dalam hal terdapat Kerja Sama Operasi (KSO)/Joint Operation (JO) melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan maka PPh Final atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dibayar oleh masing-masing anggota KSO sesuai dengan bagian penghasilan yang diterima masing-masing anggota KSO. SE ini jelas membuktikan bahwa ketentuan yang diberlakukan adalah JO tidak mempunyai kewajiban PPh Badan.

Selanjutnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 261/PMK.03/2016 memberikan contoh bahwa dalam hal terdapat perjanjian kerja sama antara perusahaan pengembang dengan pemilik tanah, penyetoran PPh Final merupakan kewajiban masing-masing, bukan kewajiban JO.

Pengenaan PPh pada anggota JO, bukan pada JO itu sendiri, juga diterapkan di negara lain seperti Filipina untuk JO yang melaksanakan pekerjaan jasa konstruksi. Dalam hal ini JO diperlakukan seperti halnya partnership di Amerika Serikat yaitu sebagai “pass- through entity”.

PER-04/PJ/2020 terkait JO

Terdapat ketentuan baru yang terbit tanggal 13 Maret 2020 yaitu Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ/2020 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Administrasi Nomor Pokok Wajib Pajak, Sertifikat Elektronik, Dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, yang mencabut PER-20/PJ/2013 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PER-02/PJ/2018, serta mencabut juga beberapa Perdirjen lainnya yang terkait.

Meskipun tujuan penerbitan PER-04/PJ/2020 tersebut sebagaimana tercantum dalam konsideransnya adalah untuk memberikan kepastian hukum dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak terkait petunjuk teknis pelaksanaan administrasi NPWP, sertifikat elektronik, dan pengukuhan PKP, ternyata Peraturan Dirjen Pajak ini juga mengatur (regeling) kewajiban PPh Badan atas nama JO.

Secara ringkas, terkait dengan kewajiban PPh Badan JO,  PER-04/PJ/2020 mengatur sebagai berikut:

1. JO termasuk dalam pengertian Badan

PER-04/PJ/2020 ini memperluas definisi Badan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 3 UU KUP, Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) huruf b UU PPh dan Pasal 1 angka 13 UU PPN di mana Peraturan Dirjen Pajak tersebut secara eksplisit menambahkan Kerja Sama Operasi (joint operation) termasuk dalam pengertian Badan. Definisi Badan menurut PER-04/PJ/2020 selengkapnya adalah sebagai berikut:

Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif, bentuk usaha tetap, kerja sama operasi (joint operation), serta kantor perwakilan perusahaan asing dan kontrak investasi bersama.

Definisi tersebut juga berbeda dengan definisi Badan menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak Dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak Serta Pengukuhan Dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak yang merupakan salah satu dasar hukum terbitnya PER-04/PJ/2020 di mana dalam PMK tersebut kerja sama operasi (joint operation) sama sekali tidak disebut sebagai yang termasuk dalam bentuk badan lainnya. JO termasuk sebagai bentuk badan lainnya dari pengertian Badan hanya terkait dengan kewajiban untuk pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak sesuai Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 sebagai peraturan pelaksanaan UU PPN, tidak dalam konteks PPh Badan.

Pertanyaan muncul dari perspektif ketentuan peraturan perundang-undangan, apakah peraturan setingkat Peraturan Direktur Jenderal Pajak mempunyai kewenangan untuk memperluas atau menafsirkan sendiri definisi Badan yang tercantum dalam UU?

Berdasarkan Bab II A Lampiran II Angka 198 dari Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2019 diatur bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah. Namun Angka 213 dari Lampiran II UU tersebut menegaskan bahwa pendelegasian kewenangan mengatur dari suatu peraturan perundang-undangan tidak boleh didelegasikan kepada direktur jenderal, sekretaris jenderal, atau pejabat yang setingkat. Selanjutnya Angka 214 Lampiran II UU 12 Tahun 2011 mengatur bahwa pendelegasian langsung kepada direktur jenderal atau pejabat yang setingkat hanya dapat diberikan oleh Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah daripada Undang-Undang. Faktanya tidak terdapat pendelegasian dimaksud ke Perdirjen baik dari peraturan setingkat Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri Keuangan.

JO sendiri terbentuk dari adanya perjanjian diantara para anggotanya dalam rangka melaksanakan kegiatan bersama untuk mendapatkan keuntungan dan bukan merupakan badan hukum tersendiri (rechtspersoon) sebagaimana halnya ventura bersama (joint venture) yang berbentuk Peseroan Terbatas (PT). Bagaimana bentuk dari sebuah JO sesungguhnya tidak jelas diatur dalam KUH Perdata maupun KUH Dagang di Indonesia sehingga sering menimbulkan masalah dalam persoalan hubungan hukum dengan pihak ketiga. Jika JO diartikan sebagai perkumpulan yang tidak berbadan hukum, maka seyogianya termasuk dalam salah satu perkumpulan yang tidak berbadan hukum yaitu: persekutuan perdata, persekutuan firma  atau persekutuan komanditer (Chidir Ali, 2005).

Mahkamah Agung pada kasasi satu perkara kepailitan Nomor 01 K/N/1999 dalam pertimbangan hukumnya mengatakan bahwa dengan penggunaan nama bersama dua badan hukum dalam suatu Joint Operation, maka kerja sama operasi tersebut dapat dikategorikan sebagai perseroan firma sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 KUH Dagang. Sementara itu dalam perkara kepailitan No. 42/Pailit/PN.Niaga Jakarta Pusat, mantan Hakim Agung M.Yahya Harahap sebagai Ahli dalam persidangan berpendapat bahwa Joint Operation dapat dikategorikan sebagai Persekutuan Perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 1618 – 1652 KUH Perdata (Christian Frank Sinatra, 2012).

Pengkategorian JO baik sebagai Firma maupun Persekutuan Perdata adalah sebatas pertimbangan hukum Hakim Agung dan pendapat Ahli dalam perkara tersebut, tidak dengan sendirinya dapat mengikat publik, kecuali jika hal tersebut diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan.

2. Definisi JO mengadopsi PSAK 66

PER-04/PJ/2020 memberikan definisi baru terhadap Kerja Sama Operasi (Joint Operation) yaitu pengaturan bersama antar para pihak yang mengatur bahwa para pihak yang disebut operator bersama memiliki pengendalian bersama atau memiliki hak atas aset, dan kewajiban terhadap liabilitas, yang melakukan penyerahan dan/atau jasa atas nama Kerja Sama Operasi (Joint Operation).

Definisi tersebut tampaknya merujuk pada definisi Operasi Bersama dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 66 Pengaturan Bersama yang mengadopsi IFRS 11 Joint Arrangement tentang Operasi Bersama dan Ventura Bersama menggantikan PSAK 39 (Akuntansi Kerjasama Operasi) serta PSAK 12 (Bagian Partisipasi Dalam Ventura Bersama). PSAK 66 mengatur pencatatan Aset, Liabilitas, Pendapatan dan Biaya dilakukan oleh anggota JO masing-masing berdasarkan porsinya. JO sendiri tidak menyelenggarakan pembukuan tersendiri terpisah dari pembukuan anggotanya.

Sementara itu Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-214/PJ./2001 (belum dicabut hingga saat ini) mengatur bahwa pada saat menyampaikan SPT Tahunan PPh pasal 21 (sekarang tidak ada lagi SPT Tahunan PPh Pasal 21 melainkan hanya SPT Masa), JO wajib melampirkan Laporan Keuangan atas kegiatan JO. Dengan pemahaman bahwa Laporan Keuangan adalah merupakan hasil akhir dari suatu proses pembukuan maka dapat diambil kesimpulan bahwa JO wajib menyelenggarakan pembukuan, meskipun bukan untuk tujuan penghitungan dan pelaporan PPh Badan atas nama JO. JO yang diwajibkan pembukuan dalam hal ini adalah JO yang melakukan penyerahan BKP/JKP atas nama JO, sering disebut dengan JO Administratif, sehingga JO wajib memotong dan memungut PPh (potput) serta wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak untuk memungut PPN.

3. Pemenuhan kewajiban PPh Badan atas JO

Pasal 6 ayat (1) PER-04/PJ/2020 mengatur bahwa NPWP merupakan nomor identitas yang digunakan Wajib Pajak dalam administrasi pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan.

Selanjutnya dalam Pasal 6 ayat (3) diatur bahwa kewajiban perpajakan untuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation), meliputi:

a. pemenuhan kewajiban Pajak Penghasilan Badan atas nama Kerja Sama Operasi (Joint Operation) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan;

b. pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan; dan/atau

c. pemungutan Pajak Pertambahan Nilai, dalam hal Kerja Sama Operasi (Joint Operation) melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak atas nama Kerja Sama Operasi (Joint Operation) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Pertambahan Nilai.

Ketentuan Pasal 6 ayat (3) huruf a dari PER-04/PJ/2020 cukup mengagetkan karena mengacu pada surat-surat penegasan dari DJP sebelumnya, Surat Edaran, maupun Peraturan Menteri Keuangan terkait dengan usaha kerja sama, JO bukan merupakan subjek pengenaan PPh Badan tetapi hanya mempunyai kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh serta pemungutan PPN dalam hal JO melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak atas nama JO (administratif JO). Apakah memperluas definisi Badan dengan mencantumkan Kerja Sama Operasi (joint operation) termasuk sebagai badan lainnya dan memberi definisi baru terhadap JO dengan mengadopsi definisi Operasi Bersama dalam PSAK 66 lalu dengan sendirinya mengakibatkan JO menjadi wajib PPh Badan?

Berhubung butir a Pasal 6 ayat (3) PER-04/PJ/2020 di atas menyebutkan bahwa pemenuhan kewajiban Pajak Penghasilan Badan atas nama Kerja Sama Operasi (Joint Operation) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan maka rujukannya tentu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan dan peraturan-peraturan pelaksanaannya. Namun, selama ini satu-satunya ketentuan terkait Pajak Penghasilan yang pernah diterbitkan sehubungan dengan JO adalah SE-44/PJ./1994 tentang mekanisme pemecahan bukti potong PPh pasal 23. Selebihnya hanya berupa surat-surat penegasan sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Wajib Pajak, termasuk  S-323/PJ.42/1989 yang  menegaskan bahwa JO bukan merupakan subjek pengenaan PPh Badan.

Sebagaimana yang berlaku di dalam praktik, baik oleh Wajib Pajak, Direktorat Jenderal Pajak maupun oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak, joint operation bukan merupakan subjek PPh Badan. Jika seandainya JO dianggap sebagai subjek PPh Badan, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana perlakuan bukti potong PPh yang oleh SE-44/PJ./1994 harus atas nama anggota JO atau dipecah menjadi atas nama anggota JO jika bukti potongnya masih atas nama JO? Pertanyaan lain juga timbul dikaitkan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 261/PMK.03/2016 yang mengatur bahwa dalam hal ada kerja sama antara perusahaan  pengembang dengan pemilik tanah, maka penyetoran PPh Final merupakan kewajiban masing-masing pihak yang terlibat dalam kerjasama, bukan kewajiban JO. Apakah ketentuan-ketentuan tersebut menjadi batal? Tentu tidaklah sesuai dengan hierarki perundang-undangan jika ada Peraturan Direktur Jenderal Pajak mengatur lain dari apa yang sudah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. Mengacu pada asas preferensi dalam hukum lex superior derogat legi inferiori, seharusnya peraturan yang tingkatannya secara hierarki lebih tinggi mengenyampingkan peraturan yang lebih rendah.

Kesimpulan

PER-04/PJ/2020 tidak hanya mengatur petunjuk teknis pelaksanaan administrasi NPWP, sertifikat elektronik, dan pengukuhan PKP namun juga mengatur pemenuhan kewajiban Pajak Penghasilan Badan atas nama Kerja Sama Operasi (Joint Operation). Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut perlu ditinjau kembali karena tidak sinkron dengan ketentuan lainnya terkait pemajakan penghasilan yang diperoleh dari bentuk JO sehingga menimbulkan ketidakpastian.

Ketentuan pemajakan penghasilan yang diperoleh melalui bentuk Kerja Sama Operasi hendaknya dituangkan secara tegas dan pasti dalam bentuk peraturan yang sesuai dengan ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan hierarki sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2019. Selain menyangkut objek dan tarif, pembebanan pajak kepada masyarakat Wajib Pajak juga terkait erat dengan penentuan subjek sehingga seyogianya diatur dengan peraturan setingkat Undang-undang. Hal ini sesuai amanat Pasal 23A UUD Negara RI 1945 bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-undang.

Nama Penulis                  :    Dr. Ruston Tambunan, Ak., CA., S.H., M.Si., M.Int.Tax

Anggota IKPI Cabang     :    Jakarta Selatan

Tentang Penulis               :    Wakil Ketua Umum IKPI, Dosen Prasetiya Mulya Business School, dan Managing Partner CITASCO

Bagikan Berita Ini
id_ID