Dimensi Hukum PPN DTP atas Rumah Tapak dan Rusun

Insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) atas penyerahan Rumah Tapak dan Satuan Rumah Susun merupakan kebijakan ekonomi yang ditujukan untuk menstimulasi daya beli masyarakat pada sektor perumahan. Pemanfaatan insentif PPN DTP ini, terkait erat dengan makna kata “penyerahan” dan kata “pemindahtanganan” yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13 Tahun 2025 (PMK 13/2025). Bagaimana memaknai kata “penyerahan” dan kata “pemindahtanganan” yang tercantum dalam PMK 13/2025 tersebut ..?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, tidak cukup hanya sebatas mengartikan kedua kata tersebut secara tekstual. Pemahaman konteks atas penggunaan kata “penyerahan” dan kata “pemindahtanganan” dalam PMK 13/2025 lebih memperjelas serta mempertegas makna dan tujuan digunakannya 2 (dua) kata tersebut. Walaupun sekilas secara tekstual tampak memiliki makna yang sama, namun kedua kata tersebut digunakan dalam konteks yang berbeda.

Pemahaman kontekstual terhadap kata “penyerahan” dalam PMK 13/2025, setidaknya memunculkan 2 (dua) makna. Makna kata “penyerahan” yang pertama adalah penyerahan dalam arti yuridis (Penyerahan Yuridis). Penyerahan Yuridis yang tercantum dalam Pasal 3 ayat 1 huruf a dan huruf b PMK 13/2025 dapat dilaksanakan melalui salah satu cara berikut:

• Penandatanganan Akta Jual Beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah; atau

• Penandatanganan Perjanjian Pengikatan Jual Beli lunas dihadapan Notaris.

Makna Penyerahan Yuridis di atas adalah penyerahan hak kepemilikan atas Barang Kena Pajak berupa rumah tapak atau satuan rumah susun dari Pengusaha Kena Pajak Penjual kepada Pembeli.

Makna kata “penyerahan” yang kedua adalah penyerahan dalam arti penguasaan fisik (Penyerahan Penguasaan Fisik). Penyerahan Penguasaan Fisik ini dalam Pasal 3 PMK 13/2025 dilaksanakan melalui penandatanganan Berita Acara Serah Terima. Makna Penyerahan Penguasaan Fisik ini adalah penyerahan hak penguasaan fisik atau hak penggunaan atas Barang Kena Pajak berupa rumah tapak siap huni atau satuan rumah susun siap huni secara nyata dari Pengusaha Kena Pajak Penjual kepada Pembeli.

Dengan demikian, terhitung sejak tanggal penandatanganan Berita Acara Serah Terima, fisik rumah tapak siap huni atau satuan rumah susun siap huni sudah beralih penguasaan atau penggunaannya dari Pengusaha Kena Pajak Penjual kepada pembeli. Kedua makna yang terkandung dalam kata “penyerahan” tersebut merupakan syarat kumulatif yang wajib dipenuhi untuk dapat memanfaatkan fasilitas PPN DTP, disamping persyaratan lainnya yang tercantum dalam PMK 13/2025. Kedua makna penyerahan tersebut merupakan perbuatan menyerahkan rumah tapak atau satuan rumah susun yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual kepada Pembeli.

Lebih lanjut, kedua makna kata “penyerahan” tersebut merupakan perincian/penjabaran dari pengertian penyerahan hak atas barang kena pajak karena suatu perjanjian, khususnya perjanjian jual beli dan jual beli dengan angsuran yang tercantum dalam Pasal 1A ayat 1 huruf a Undang – Undang Pajak Pertambahan Nilai Atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah (“UU PPN”).

Sama halnya dengan cara memahami konteks kata “penyerahan” di atas, kata “pemindahtanganan” dalam PMK 13/2025 tidak dapat dipahami sebatas hanya secara tekstual. Bahkan kata “pemindahtanganan” dalam PMK 13/2025 tidak dapat diartikan terpisah dari kata “penyerahan”. Terdapat 3 (tiga) makna kata “pemindahtanganan” dalam PMK 13/2025. Makna kata “pemindahtangan” yang pertama adalah penyerahan pertama kali rumah tapak atau satuan rumah susun baru siap huni oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual yang menyelenggarakan pembangunan kepada pembeli. Makna kata “pemindahtanganan” yang pertama ini, dapat ditemui dalam Pasal 4 ayat 1 huruf b juncto Pasal 4 ayat 2 huruf b PMK 13/2025.

Makna yang pertama ini penting sekali dipahami guna membedakan pemindahtanganan rumah tapak atau satuan rumah susun siap huni yang bukan baru atau pernah dipindahtangankan (atau yang sering disebut dengan rumah tapak atau satuan rumah susun second hand).

Makna kata “pemindahtanganan” yang kedua adalah pemindahtanganan yang merupakan kelanjutan dari pemindahtanganan yang pertama, pemindahtanganan ini dilakukan oleh pihak yang semula merupakan pembeli rumah tapak atau satuan rumah susun baru kepada pihak lain/pembeli selanjutnya.

Pemindahtanganan ini dilakukan dalam rentan waktu 1 (satu) tahun sejak penyerahan oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual kepada Pembeli. Makna kata “pemindahtanganan” yang kedua ini dapat ditemui dalam Pasal 9 ayat 1 huruf e juncto Pasal 10 huruf g PMK 13/2025. Pemindahtanganan dalam makna yang kedua ini akan mengakibatkan insentif PPN DTP yang telah diterima menjadi terutang dan dapat ditagih oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak.

Makna kata “pemindahtanganan” yang ketiga adalah pemindahtanganan yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual atas rumah tapak atau satuan rumah susun second hand kepada pembeli.

Benang merah dari makna kata “pemindahtanganan” yang ketiga ini adalah rumah tapak atau satuan rumah susun yang sebelumnya pernah dipindahtangankan (bukan baru / second hand). Kata “pemindahtanganan” dalam makna yang ketiga dan kedua di atas adalah pemindahtanganan rumah tapak atau satuan rumah susun yang tidak mendapatkan fasilitas PPN DTP.

Demikian makna – makna dari kata “penyerahan” dan kata “pemindahtanganan” yang secara kontekstual penulis temukan dalam PMK 13/2025. Semoga tulisan yang jauh dari sempurna dan singkat ini dapat bermanfaat bagi rekan-rekan Konsultan Pajak seprofesi, khususnya bagi rekan-rekan Konsultan Pajak yang memiliki klien perusahaan real estat atau klien yang bermaksud memanfaatkan fasilitas PPN DTP.

Penulis adalah anggota IKPI Cabang Bandung

Hari Yanto

Email: hari_yanto_sh@yahoo.co.id

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

Wajib Pajak Berhak atas Imbalan Bunga

Sebagai wajib pajak, penting untuk memahami hak-hak kita dalam sistem perpajakan. Salah satu hak krusial adalah imbalan bunga, yaitu kompensasi dari pemerintah atas kelebihan pembayaran pajak. Kelebihan ini bisa muncul karena berbagai kondisi, termasuk keputusan atas keberatan, banding, atau bahkan putusan gugatan yang dikabulkan, baik sebagian maupun seluruhnya.

Imbalan bunga ini menegaskan prinsip keadilan, memastikan wajib pajak tidak dirugikan karena dananya tertahan negara akibat suatu ketetapan pajak yang kemudian dibatalkan atau dikoreksi oleh otoritas atau putusan pengadilan.

Apa Itu Imbalan Bunga?

Menurut Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga adalah surat keputusan yang menentukan jumlah imbalan bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak. Secara umum, imbalan bunga adalah sejumlah uang yang diberikan pemerintah kepada wajib pajak sebagai kompensasi atas keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.

Kapan Wajib Pajak Berhak Mendapatkan Imbalan Bunga?

Wajib Pajak dapat diberikan imbalan bunga apabila dalam kondisi seperti ini:

  1. Keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
  2. Keterlambatan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB).
  3. Kelebihan pembayaran pajak karena:

Pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan Peninjauan Kembali (PK) dikabulkan sebagian atau seluruhnya.

Surat Keputusan Pembetulan, surat keputusan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak, atau surat keputusan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak (STP) yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak.

Skenario Pengabulan Permohonan:

1. Dikabulkan Seluruhnya

Jika upaya hukum Anda (keberatan, banding, atau gugatan) dikabulkan seluruhnya, artinya seluruh koreksi atau penetapan pajak yang Anda persoalkan dibatalkan atau disetujui. Jika Anda telah membayar pajak berdasarkan SKP/STP yang kini dibatalkan, maka muncullah kelebihan pembayaran. Imbalan bunga akan dihitung atas seluruh kelebihan pembayaran ini.

Contoh: Anda membayar Pajak Penghasilan (PPh) sebesar Rp100 juta berdasarkan surat ketetapan pajak. Anda mengajukan keberatan karena merasa PPh yang seharusnya hanya Rp60 juta. Jika keberatan Anda dikabulkan seluruhnya, berarti PPh yang benar adalah Rp60 juta. Maka, ada kelebihan pembayaran Rp40 juta (Rp100 juta – Rp60 juta), dan Anda berhak atas imbalan bunga atas Rp40 juta tersebut.

2. Dikabulkan Sebagian

Apabila upaya hukum Anda hanya dikabulkan sebagian, itu berarti hanya sebagian dari koreksi atau penetapan pajak yang Anda persoalkan yang disetujui. Meskipun tidak seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak tetap timbul akibat koreksi parsial ini. Imbalan bunga akan dihitung atas jumlah kelebihan pembayaran yang terjadi karena dikabulkannya sebagian permohonan Anda.

Contoh: Sama seperti contoh di atas, Anda membayar PPh sebesar Rp100 juta. Anda mengajukan keberatan karena merasa PPh yang seharusnya hanya Rp60 juta. Jika keberatan Anda hanya dikabulkan sebagian, misalnya diputuskan PPh yang benar adalah Rp80 juta. Maka, ada kelebihan pembayaran Rp20 juta (Rp100 juta – Rp80 juta), dan Anda berhak atas imbalan bunga atas Rp20 juta tersebut.

Imbalan Bunga Atas Putusan Gugatan yang Dikabulkan: Hak yang Tidak Boleh Diabaikan!

Seringkali muncul kesalahpahaman di lapangan bahwa putusan gugatan yang dikabulkan (baik sebagian atau seluruhnya) tidak termasuk dalam ruang lingkup pemberian imbalan bunga. Ini tidak benar. Wajib pajak yang memenangkan gugatan atas Surat Ketetapan Pajak (SKP) atau Surat Tagihan Pajak (STP) dan dikabulkan, tetap berhak atas imbalan bunga.

Mengapa Demikian?

Esensi Pembatalan/Pengurangan Ketetapan Pajak:

Sebagaimana dijelaskan DJP, imbalan bunga diberikan atas kelebihan pembayaran pajak karena Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Tagihan Pajak yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak. Putusan gugatan oleh Pengadilan Pajak yang mengabulkan (baik sebagian atau seluruhnya) dan membatalkan atau mengurangi nilai SKP atau STP secara substansial sama dengan Surat Keputusan Pembatalan/Pengurangan Ketetapan Pajak.

Artinya, jika SKP/STP dinyatakan tidak sah atau dikurangi nilainya oleh pengadilan dan wajib pajak sudah membayar, maka terjadi kelebihan pembayaran yang wajib dikembalikan beserta imbalan bunga. Hal ini sejalan dengan Pasal 27A ayat (1) huruf d Undang-Undang KUP.

Kepatuhan Terhadap Putusan Pengadilan:

Pasal 80 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak secara tegas menyatakan bahwa putusan Pengadilan Pajak harus dilaksanakan oleh pejabat yang berwenang.

Putusan Pengadilan Pajak bersifat final dan mengikat. Ketika sebuah putusan gugatan membatalkan atau mengurangi suatu ketetapan pajak yang sudah dibayar, maka kewajiban mengembalikan kelebihan pembayaran pajak, termasuk imbalan bunganya, menjadi mutlak untuk dipatuhi. Mengabaikan imbalan bunga hanya akan mencederai asas kepatuhan terhadap putusan pengadilan.

Asas Keadilan dan Konsistensi Hukum:

Imbalan bunga diberikan sebagai kompensasi atas dana wajib pajak yang “tertahan” di negara akibat ketetapan pajak yang pada akhirnya terbukti keliru atau tidak sah. Tidak ada perbedaan fundamental secara keadilan antara kelebihan pembayaran yang timbul dari putusan keberatan atau banding dengan yang timbul dari putusan gugatan. Menolak imbalan bunga hanya karena sumbernya dari putusan gugatan akan menciptakan inkonsistensi dan ketidakadilan dalam sistem perpajakan.

Perhitungan dan Batas Waktu Pemberian Imbalan Bunga

  1. Berdasarkan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sesuai suku bunga acuan dibagi 12. Tarif yang berlaku adalah tarif pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga.
  2. Paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

Imbalan bunga dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak (atau tanggal pembayaran, jika lebih akhir) sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.

 

Skenario Khusus Perhitungan:

  • Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan Peninjauan Kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya, selama pajak yang masih harus dibayar dalam SKPKB dan SKPKBT yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran tersebut dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga untuk paling lama 24 bulan.
  • Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan Peninjauan Kembali sehubungan dengan SKPN dan SKPLB dikabulkan sebagian atau seluruhnya dan menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran tersebut dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga untuk paling lama 24 bulan.
  • Dalam hal SKPN yang tidak disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang diterbitkan atas Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar, kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang mengabulkan sebagian atau seluruhnya dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga untuk paling lama 24 bulan yang dihitung dari jumlah kelebihan pembayaran pajak tersebut.
  • Apabila terdapat Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak yang mengabulkan sebagian atau seluruhnya sehingga menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran tersebut dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga untuk paling lama 24 bulan.

Imbalan bunga juga diberikan atas pembayaran lebih sanksi administrasi (denda/bunga) yang dibatalkan/dikurangi berdasarkan Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak.

Catatan: Perhitungan imbalan bunga mulai 2 November 2020 diatur setelah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang kemudian diturunkan dalam berbagai PMK terkait.

Imbalan Bunga Tidak Diberikan Terhadap:

  1. Kelebihan pembayaran akibat Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas SKPKB atau SKPKBT yang disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi, dan telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
  2. Kelebihan pembayaran akibat Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas jumlah pajak yang tercantum dalam SKPKB atau SKPKBT yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi, namun dibayar sebelum pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan Peninjauan Kembali, atau sebelum diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali.

Pelaksanaan Pemberian Imbalan Bunga:

  • Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, imbalan bunga diberikan apabila terhadap Surat Keputusan Keberatan tidak diajukan permohonan banding ke Pengadilan Pajak.
  • Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, imbalan bunga diberikan jika terhadap Putusan Banding telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak dari Pengadilan Pajak.
  • Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan Peninjauan Kembali, imbalan bunga sebagai akibat terbitnya Putusan Peninjauan Kembali diberikan jika terhadap Putusan Peninjauan Kembali telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak dari Mahkamah Agung.

Dasar Hukum Imbalan Bunga

Hak wajib pajak atas imbalan bunga ini dijamin kuat oleh peraturan perundang-undangan:

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
  2. Pasal 27A UU KUP adalah landasan utama yang menjelaskan kondisi-kondisi pemberian imbalan bunga, termasuk tarif dan jangka waktunya. Penjelasan Pasal ini adalah kunci untuk mengaitkan putusan gugatan yang membatalkan ketetapan pajak.
  3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak).
  4. Pasal 77 ayat (1): Mengatur jenis putusan Pengadilan Pajak (termasuk membatalkan), yang berimplikasi pada timbulnya kelebihan pembayaran.
  5. Pasal 80: Menegaskan kewajiban bagi pejabat yang berwenang untuk melaksanakan putusan Pengadilan Pajak, yang berarti termasuk konsekuensi pengembalian kelebihan pembayaran pajak beserta imbalan bunganya.
  6. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Terkait Tata Cara Penghitungan dan Pemberian Imbalan Bunga serta Pelaksanaan UU Cipta Kerja.

Peraturan pelaksana ini mengatur lebih detail mengenai tata cara pengajuan, perhitungan, dan pembayaran imbalan bunga. Penting untuk selalu merujuk pada regulasi terbaru. Beberapa yang relevan adalah:

  1. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65/PMK.03/2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 226/PMK.03/2013 TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN DAN PEMBERIAN IMBALAN BUNGA.
  2. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18/PMK.03/2021 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA DI BIDANG PAJAK PENGHASILAN, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH, SERTA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN.

Kedua PMK ini, dan peraturan pelaksana lainnya yang mungkin diperbarui, memberikan detail teknis mengenai perhitungan, prosedur, dan tarif imbalan bunga, termasuk penerapannya dalam konteks perubahan undang-undang terbaru.

Lindungi Hak Anda Sebagai Wajib Pajak!

Memahami secara mendalam ketentuan imbalan bunga sangat krusial bagi setiap wajib pajak. Jika Anda telah memenangkan upaya hukum (keberatan, banding, atau gugatan) dan putusan tersebut menyebabkan kelebihan pembayaran pajak (baik sebagian maupun seluruhnya), jangan ragu untuk menuntut hak Anda atas imbalan bunga.

Ajukan permohonan secara tertulis kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dengan melampirkan salinan putusan Pengadilan Pajak (atau surat keputusan terkait lainnya) dan semua dokumen pendukung yang relevan. Dengan pengetahuan ini, Anda dapat memastikan hak-hak Anda terpenuhi dan berkontribusi pada sistem perpajakan yang lebih adil dan transparan.

Sumber Informasi:

  •  Direktorat Jenderal Pajak (pajak.go.id)
  •  Undang-Undang terkait dan Peraturan Menteri Keuangan yang berlaku.

Penulis adalah Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Lampung

Teten Dharmawan

Email: tetendharmawan@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Aspek Perpajakan Transaksi Debt to Equity Swap 

Secara umum, sumber permodalan suatu perusahaan berasal dari dua instrumen utama, yaitu setoran modal dari pemegang saham dan pinjaman dari kreditur. Untuk memahami kedua sumber permodalan tersebut secara lebih mendalam, penting untuk mengidentifikasi persamaan dan perbedaannya.

Pemahaman ini akan membantu dalam menentukan posisi masing-masing instrumen dalam laporan posisi keuangan (neraca), yang pada gilirannya berimplikasi pada kewajiban perpajakan yang timbul dari transaksinya.

Perbedaan Modal dan Utang dalam Perspektif Akuntansi:

• Setoran Modal Pemegang Saham

Dalam laporan posisi keuangan, setoran modal diklasifikasikan dalam kelompok ekuitas dengan akun seperti “modal saham disetor” (paid-in capital). Pemegang saham umumnya memiliki dua tujuan utama dari perspektif motif keuntungan finansial:

• Dividen, yaitu bagian laba perusahaan yang dibagikan kepada pemegang saham. Jumlah dividen biasanya ditentukan dalam satuan Rupiah per lembar saham, dan nilainya sangat tergantung pada kinerja keuangan perusahaan setiap tahunnya.

• Capital gain, yaitu keuntungan yang diperoleh ketika harga pasar saham perusahaan lebih tinggi dari nilai bukunya.

• Pinjaman dari Kreditur

Pinjaman dicatat sebagai kewajiban pada neraca dengan nama akun seperti “utang jangka panjang” (long-term payables). Sebagai kewajiban, perusahaan berkewajiban membayar kembali pokok pinjaman disertai bunga dalam jumlah dan jangka waktu yang telah disepakati. Imbalan ini dikenal sebagai bunga pinjaman.

Persamaan antara Modal dan Utang:

Kedua instrumen memiliki kesamaan utama, yaitu sama-sama meningkatkan kas perusahaan. Dana tersebut dapat digunakan untuk mendanai kegiatan operasional maupun ekspansi usaha.

Dengan demikian, perusahaan dapat menciptakan nilai tambah yang pada akhirnya akan tercermin dalam bentuk laba perusahaan di laporan keuangan.

Dividen dan Capital Gain

Pemegang saham yang menyetorkan tambahan modal ke dalam perusahaan umumnya mengharapkan imbal hasil dalam bentuk dividen dan capital gain. Kedua jenis imbal hasil ini memiliki perlakuan perpajakan yang berbeda, dengan rincian sebagai berikut:

• Pajak atas Dividen

• Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOP DN), Dividen yang diterima dari perusahaan dalam negeri dikenakan PPh Final sebesar 10%. Namun, dividen tersebut dapat dikecualikan sebagai objek pajak apabila seluruhnya diinvestasikan kembali di Indonesia, sesuai ketentuan PP No. 9 Tahun 2021 dan PMK No. 18/PMK.03/2021.

• Wajib Pajak Badan Dalam Negeri, Dividen yang diterima dari dalam negeri tidak dikenakan PPh dan termasuk kategori non-objek pajak, tanpa kewajiban reinvestasi.

• Wajib Pajak Luar Negeri, Dividen dikenai PPh Pasal 26 sebesar 20% yang bersifat final. Tarif ini dapat lebih rendah apabila terdapat perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) antara Indonesia dan negara domisili penerima dividen.

• Pajak atas Capital Gain

Ketentuan perpajakan atas capital gain dibedakan berdasarkan jenis perusahaan:

• Capital Gain dari Perusahaan Privat, Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi: dikenakan tarif pajak progresif sesuai lapisan penghasilan & Untuk Wajib Pajak Badan: dikenakan tarif tunggal (single tariff) sesuai tarif umum PPh Badan.

• Capital Gain dari Perusahaan Publik, Tidak dibedakan antara wajib pajak orang pribadi dan badan. Capital gain atas transaksi saham di bursa dikenai PPh Final sebesar 0,01% dari harga jual saham (bukan dari selisih capital gain-nya).

Imbalan atas Investasi Kreditur dan Aspek Perpajakannya

Kreditur yang menyalurkan dananya kepada perusahaan dalam bentuk pinjaman tentu mengharapkan imbal hasil berupa bunga. Secara sederhana, bunga atas pinjaman dapat dianalogikan sebagai “ongkos” yang harus dibayar oleh pihak peminjam atas pemanfaatan dana milik pihak lain—mirip seperti penumpang yang membayar tarif taksi untuk mencapai tujuannya.

Dalam analogi ini, kendaraan taksi hanya dapat digunakan oleh penumpang yang membayar ongkos; demikian pula, perusahaan sebagai peminjam memperoleh manfaat eksklusif dari dana pinjaman, dan karena itu berkewajiban memberikan imbalan kepada kreditur dalam bentuk bunga.

Dari sisi perpajakan, perlakuan atas bunga pinjaman dibedakan menjadi dua kategori berdasarkan asal pemberi pinjaman:

• Pinjaman dari Lembaga Perbankan, Bunga yang dibayarkan oleh perusahaan kepada bank tidak dikenakan PPh Pasal 23. Hal ini diatur dalam Pasal 23 ayat (4) huruf a UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

• Pinjaman dari Non-Perbankan, Bunga atas pinjaman yang berasal dari pihak selain bank dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto bunga yang dibayarkan, dan bersifat dipotong di sumber oleh pihak peminjam.

Transaksi Debt to Equity Swap:

Transaksi Debt to Equity Swap merupakan mekanisme konversi utang menjadi saham, yang umumnya dilakukan ketika perusahaan mengalami kesulitan likuiditas dan tidak mampu memenuhi kewajiban pembayaran pokok dan bunga pinjaman.

Dalam kondisi ini, perusahaan dapat menawarkan kepada kreditur untuk mengubah statusnya dari pemberi pinjaman menjadi pemegang saham.

Dengan perubahan status tersebut, kewajiban perusahaan untuk membayar pokok dan bunga pinjaman dianggap selesai. Sebagai gantinya, kreditur memperoleh hak sebagai pemegang saham, termasuk potensi imbal hasil berupa dividen dan capital gain.

Langkah-Langkah Pelaksanaan Debt to Equity Swap:

• Penilaian Kembali Kewajiban, Menghitung ulang nilai utang perusahaan kepada kreditur, termasuk denda atas keterlambatan pembayaran pokok dan bunga, guna memperoleh nilai kewajiban yang akurat.

• Penilaian Nilai Saham Perusahaan, Untuk perusahaan publik: merujuk pada harga pasar saham di bursa dan Untuk perusahaan privat: menggunakan pendekatan seperti discounted free cash flow atau metode penilaian lainnya yang lazim digunakan.

• Penentuan Rasio Konversi, Setelah nilai utang dan harga saham disepakati, dilakukan konversi dengan membagi total nilai utang dengan harga per lembar saham untuk menentukan jumlah saham yang akan diterbitkan kepada kreditur.

• Pencatatan Akuntansi, Secara akuntansi, transaksi ini mengubah klasifikasi utang menjadi bagian dari ekuitas dalam laporan posisi keuangan.

Aspek Perpajakan dalam Transaksi Debt to Equity Swap

Transaksi debt to equity swap berpotensi menimbulkan konsekuensi perpajakan, baik bagi debitur maupun kreditur. Berikut penjabaran atas potensi kewajiban pajak yang dapat timbul:

• Penilaian Jumlah Utang

Dalam proses konversi utang menjadi saham, terdapat dua kemungkinan perubahan nilai utang:

• Penambahan Nilai Utang, jikalau hasil penilaian menunjukkan bahwa nilai utang yang dikonversi lebih besar dari nilai sebelumnya, maka terdapat tambahan piutang bagi kreditur. Tambahan ini dianggap sebagai penghasilan bagi kreditur dan dapat dikenakan PPh sesuai ketentuan yang berlaku.

Sebaliknya, bagi debitur, selisih tersebut dapat dianggap sebagai kerugian yang dapat dibebankan secara fiskal, sehingga berpotensi mengurangi PPh terutang pada tahun berjalan.

• Pengurangan Nilai Utang, jikalau nilai utang yang dikonversi lebih rendah dari nilai tercatat sebelumnya, maka debitur memperoleh keuntungan dari penghapusan utang. Keuntungan ini merupakan objek PPh sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k UU PPh, dan wajib dilaporkan serta dikenakan pajak penghasilan.

• Penilaian Nilai Saham

Dalam proses konversi, saham yang diterbitkan kepada kreditur juga harus dinilai secara wajar:

• Nilai Saham Lebih Tinggi dari Nilai Buku, jikalau hasil valuasi menunjukkan bahwa nilai saham lebih tinggi dari nilai buku, maka terdapat capital gain bagi pemegang saham. Capital gain ini merupakan objek PPh Final sebesar 10%, sesuai ketentuan yang berlaku untuk perusahaan privat.

• Nilai Saham Lebih Rendah dari Nilai Buku, jika nilai saham lebih rendah dari nilai buku, maka selisih tersebut dianggap sebagai disagio dan dicatat langsung sebagai pengurang ekuitas. Karena tidak memengaruhi laporan laba rugi, maka tidak menimbulkan implikasi perpajakan.

Contoh Kasus:

Sebuah perusahaan memiliki utang kepada kreditur sebesar Rp1.000.000.000. Setelah dilakukan negosiasi dan penilaian, disepakati bahwa utang akan dikonversi menjadi saham perusahaan privat. Harga saham hasil valuasi ditetapkan Rp10.000 per lembar, sehingga perusahaan akan menerbitkan 100.000 lembar saham kepada kreditur. Tidak terdapat selisih nilai utang dan nilai saham yang dikonversi.

Jurnal Akuntansi

• Saat penghapusan utang

Dr. Utang – Kreditur ABC Rp.1.000.000.000

Cr. Modal Saham – Kreditur ABC Rp.1.000.000.000

[Penghapusan utang karena dikonversi menjadi saham, mengubah klasifikasi dari liabilitas menjadi ekuitas]

• Jikalau nilai valuasi saham lebih rendah dari nilai buku, misalnya menjadi Rp.900 Juta, sehingga terdapat keuntungan sebesar Rp.100 Juta bagi debitur

Dr. Utang – Kreditur ABC Rp.1.000.000.000

Cr. Modal Saham – Kreditur ABC Rp.   900.000.000

Cr. Pendapatan Lain-lain Rp.   100.000.000

[Keuntungan dari penghapusan sebagian utang dicatat sebagai pendapatan lain-lain dan menjadi objek PPh]

• Jikalau nilai valuasi saham lebih tinggi dair nilai buku, misalnya menjadi Rp.1.100.000.000, sehingga kreditur memberikan tambahan investasi sebesar Rp.100.000.000

Dr. Utang – Kreditur ABC Rp.1.000.000.000

Dr. Kas Rp.   100.000.000

Cr. Modal Saham – Kreditur ABC Rp.1.100.000.000

Penulis adalah anggota IKPI Cabang Kota Bekasi

Dr. Subur Harahap, SE, Ak, MM, CA, CMA, CFP, CPA, BKP, FPM, MT.BNSP

Email: www.suhaconsulting.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Bersama IKPI, Teguh Mengawal Masa Depan Perpajakan Indonesia

IKPI, Jakarta: Catur Rini Widosari, sosok perempuan tangguh, cerdas dan ramah yang telah menuntaskan pengabdiannya di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), kini memasuki babak baru sebagai anggota kehormatan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI). Meski telah purnabakti dari jabatan struktural, komitmen Catur untuk memperkuat sistem perpajakan Indonesia tidak surut, bahkan justru semakin matang dan strategis.

Dengan pengalaman lebih dari 30 tahun di DJP, Catur adalah contoh nyata dari aparatur yang tidak hanya menyelesaikan tugas administratif, tapi juga aktif membentuk arah dan fondasi kebijakan perpajakan modern di Indonesia. Dalam berbagai penugasannya, ia konsisten menempatkan kepatuhan sukarela, keadilan fiskal, dan kualitas pelayanan publik sebagai prioritas utama.

Rekam Jejak dan Kepemimpinan Strategis

Catur menapaki jenjang karier birokrasi fiskal dari level teknis hingga pucuk pimpinan regional. Ia pernah menjabat sebagai:

  • Kepala Subdirektorat Dampak Kebijakan pada Direktorat Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan
  • Kepala Kanwil DJP Sumatera Utara II
  • Kepala Kanwil DJP Sumatera Selatan dan Kepulauan Bangka Belitung
  • Kepala Kanwil DJP Banten
  • Direktur Keberatan dan Banding
  • Kepala Kanwil DJP Jawa Barat III (jabatan terakhir sebelum pensiun)

Dalam perjalanannya, Catur dikenal sebagai pemimpin yang menekankan penguatan basis data, efektivitas pengawasan, dan sinergi fiskal pusat-daerah. Ia mendorong penggunaan compliance risk management (CRM) dalam sistem pengawasan pajak, serta turut menyusun kebijakan berbasis dampak (policy impact-based) guna memastikan regulasi perpajakan tetap kontekstual dan adil.

Di bawah kepemimpinannya, berbagai wilayah kerja DJP mengalami peningkatan dalam hal kepatuhan pajak, perluasan basis pajak (ekstensifikasi), serta perbaikan hubungan dengan stakeholder lokal seperti pemerintah daerah, pengusaha, dan akademisi.

Dari Otoritas ke Mitra Strategis

Keputusan Catur untuk bergabung dengan IKPI sebagai anggota kehormatan bukanlah sekadar bentuk penghargaan simbolik, melainkan bagian dari kelanjutan pengabdiannya untuk negeri. Dengan bergabung di IKPI, ia kini memiliki ruang yang lebih fleksibel untuk:

  • Mendorong profesionalisme dan etika konsultan pajak, terutama dalam menghadapi tantangan interpretasi aturan yang semakin kompleks
  • Menjadi penghubung strategis antara otoritas pajak dan profesi konsultan dalam semangat kolaborasi, bukan oposisi
  • Memberikan masukan kebijakan berdasarkan pengalaman empiris dan pemahaman mendalam terhadap sistem fiskal nasional
  • Membimbing generasi baru konsultan pajak melalui mentoring, pelatihan, dan peningkatan kapasitas yang berkelanjutan

Ia percaya, konsultan pajak adalah garda terdepan dalam membangun jembatan antara wajib pajak dan negara.

Menurutnya, Indonesia butuh profesi yang kuat, kredibel, dan beretika untuk menjaga kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan.

Komitmen Tanpa Seragam

Melepas jabatan struktural di DJP bukan berarti melepas tanggung jawab moral. Justru, dalam perannya saat ini, Catur melihat peluang yang lebih luas untuk menyuarakan nilai-nilai reformasi perpajakan secara independen dan lebih strategis.

Ia kini rutin berdiskusi dengan para pemangku kepentingan di luar pemerintahan: akademisi, pengusaha, asosiasi profesi, hingga media, untuk memastikan arah kebijakan fiskal tetap berpihak pada kepentingan jangka panjang bangsa.

Pajak adalah instrumen pembangunan, tapi juga alat keadilan. Walaupun sudah tidak menjabat sebagai birokrat, ia ingin tetap terlibat dalam memastikan sistem perpajakan Indonesia tidak kehilangan arah, tetap kuat secara administrasi, dan adil secara sosial.

Tentang Catur Rini Widosari

• Tanggal Lahir: 12 Desember 1967

• Pendidikan: Magister Ekonomi – Keuangan Publik & Kebijakan Pajak

• Penghargaan: Satyalancana Karya Satya

• Jabatan Terakhir: Kepala Kanwil DJP Jawa Barat III

• Posisi Saat Ini: Anggota Kehormatan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)

Kini, bersama IKPI, Catur Rini Widosari melanjutkan kiprah panjangnya sebagai penjaga integritas, penggerak profesionalisme, dan suara moral dalam sistem perpajakan Indonesia. Dari dalam maupun luar struktur birokrasi, api perjuangannya tetap menyala teguh mengawal masa depan perpajakan Indonesia. (bl)

Kenaikan PTKP Akan Meningkatkan Tax Rasio  

Terhitung sudah sembilan bulan sejak Prabowo Subianto dan Gibran Rakabumi dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, banyak program-program populis yang sudah direalisasikan misal penurunan tarif efektif PPN dari 12 menjadi tetap 11% untuk BKP dan JKP Non Mewah, pemberantasan korupsi, penghapusan kredit macet bagi UMKM, dan juga program makan bergizi gratis (MBG). Visi Misi dan Program Kerja Presiden Prabowo tersebut dituangkan dalam 8 Misi Asta Cita, 17 Program Prioritas, dan 8 Program Hasil Terbaik Cepat.

Di dalam Asta Cita No 7 Tentang Memperkuat Reformasi Politik Hukum dan Birokrasi serta Memperkuat Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi dan Narkoba. Dalam penjelasan detail sub reformasi tata Kelola pemerintah no 28 Presiden Prabowo akan “menaikkan batas penghasilan tidak kena pajak dan menurunkan tarif PPh Pasal 21 untuk mendorong aktifitas ekonomi dalam rangka menaikkan rasio pajak (tax ratio)”.

Presiden dan Tim Ekonominya memandang bahwa peningkatan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) akan mendorong nilai konsumsi masyarakat karena para pekerja dapat membelanjakan uangnya lebih banyak dari kondisi saat ini, sehingga daya beli dan konsumsi domestik juga meningkat sehingga roda-roda ekonomi semakin kencang berputar, walaupun disisi lain peningkatan PTKP akan menggerus penerimaan pajak Pasal 21, namun akan meningkatkan penerimaan pajak dari PPN dan PPh Badan. Tentunya program Presiden Prabowo tersebut dilandasi fakta bahwa kondisi perekonomian Indonesia disokong oleh konsumsi domestic sebesar 54,04% pada tahun 2024 menurut data BPS.

Pendapat tersebut sejalan dengan Teori John Maynard Keynes dalam bukunya The General Theory of Employment, Interest, and Money. Yang prinsipnya permintaan agregat akan berdampak langsung, jika permintaan agregart naik maka produksi akan meningkat dan pengangguran akan berkurang. Rumus permintaan agregat tersebut adalah : Z =  C + I + G, dengan rincian sbb : C =  Consumption (rumah tangga), I = Investasi oleh Perusahaan, G = Pengeluaran Pemerintah. Dalam Teori Keynesian Peran Pemerintah sangat penting, Pemerintah harus aktif dalam mengelola permintaan agregat agar perekonomian stabil dengan cara menerbitkan Kebijakan Fiskal dan Moneter.

Lalu apa yang dimaksud Penghasilan Tidak Kena Pajak?, PTKP adalah nilai batasan penghasilan orang pribadi yang tidak dikenakan pajak, artinya jika seorang pekerja/buruh mendapatkan gaji/penghasilan, maka nilai penghasilan tersebut akan dikurangi PTKP terlebih dahulu, jika ada nilai lebih maka nilai lebih tersebut yang dikenakan pajak.

Ketentuan tentang PTKP diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 101/PMK.010/2016 Tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak, jadi pengaturan Tentang PTKP sudah berlaku hampir 10 tahun jika dihitung pada saat ini. Adapun besarnya PTKP yang berlaku sampai saat ini adalah sbb :

Jika dibandingkan dengan Upah Minimum Regional (UMR) khususnya untuk daerah sekitar jabotabek, nilai PTKP tersebut diatas rasanya sudah tidak pas lagi, sebagai contoh nilai UMR untuk daerah Jakarta, Kota Bogor, Kota Tanggerang, Kota Bekasi dalam 6 tahun terakhir  sebagai berikut :

Berdasarkan perbandingan tabel di atas, maka sampai dengan tahun 2022 nilai UMR sudah melebihi PTKP (kecuali kota Bogor dan kota Tanggerang), artinya bagi pekerja yang memperoleh gaji UMR tahun 2022 sudah wajib dipotong PPh Pasal 21, tentunya pengenaan PPh Pasal 21 bagi para pekerja yang mendapatkan penghasilan sebesar UMR akan mengurangi penghasilan yang bisa dikomsumsi oleh ybs dan keluarganya. Padahal disisi lain setiap tahun biaya hidup terus bertambah yang bisa dilihat dari kenaikan inflasi setiap tahunnya. Sebagai contoh perbandingan jika seorang Pekerja di kota Bekasi dengan status tidak kawin tanggungan 0 (TK/0) yang mendapatkan Gaji UMR tahun 2023, 2024 dan 2025 tanpa memperhitungkan THR maka perhitungannya sbb :

Dalam periode 2020 sd 2021 (masa pandemi covid) Pemerintah pernah memberikan fasilitas PPh 21 Ditanggung Pemerintah (PPh 21 DTP), begitu juga pada awal tahun 2025 Pemerintah memberikan fasilitas PPh 21 DTP kepada para Pekerja namun dengan cakupan yang lebih sempit, karena fasilitas PPh 21 DTP hanya untuk bidang industry tertentu dan dalam jangka waktu tertentu.  Rasanya program DTP PPh 21 tersebut tidak cukup untuk meningkatkan tingkat konsumsi masyarakat secara simultan, diperlukan kebijaksanaan baru yang komprehensif yaitu menaikkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), apalagi dalam kurun waktu 10 tahun terjadi peningkatan angka inflasi yang tentunya akan menggerus daya beli masyarakat utamanya masyarakat kecil dan menengah.

Di Tengah melesunya perekonomian dunia termasuk Indonesia maka Pemerintah perlu melakukan terobosan untuk menghidupkan roda perekonomian dengan meningkatkan daya beli masyarakat, yang salah satunya menerbitkan kebijakan fiskal dengan menaikkan batas PTKP, semoga hal ini menjadi perhatian Pemerintah.

Penulis adalah Ketua Departemen PPKF IKPI

Pino Siddharta

Email: pinosiddharta@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

Flat Tax Vs Progressive Tax Mana Lebih Adil?

Dalam kunjungannya ke Indonesia baru-baru ini Arthur Laffer, seorang ekonom asal Amerika bertemu dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Ia terkenal dengan Kurva Laffer-nya di era tahun 1970-an yaitu konsep bahwa ada batas maksimal besaran tarif Pajak Penghasilan dalam upaya memperoleh penerimaan negara yang optimal. Laffer melontarkan usulan agar pemerintah Indonesia mempertimbangkan penerapan Flat Tax dalam kebijakan penetapan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak Orang Pribadi.

Kemudian pada saat acara Economy Update 2025 yang diselenggarakan oleh CNBC Indonesia, Laffer menyampaikan bahwa ia yakin Indonesia mampu mencapai pertumbuhan ekonomi 8%. Salah satu langkah penting yang dapat dilakukan dari sisi pajak adalah dengan menerapkan struktur pajak “Low Rate, Broad-Based, and Flat Tax”. Dengan struktur ini diharapkan bahwa tarif pajak rendah (low rate) akan memberi stimulus bagi individu serta badan usaha untuk lebih giat melakukan aktivitas ekonomi dan investasi.

Kemudian dengan basis pemajakan yang luas (broad based) yang dibarengi dengan pengurangan sejumlah pengecualian penghasilan yang tidak dikenakan pajak PPh, dan kebijakan lainnya yang mereduksi dasar pengenaan pajak, serta selektif dalam pemberian berbagai insentif pajak, maka pemerintah akan lebih leluasa menurunkan tarif pajak tanpa berdampak pada menurunnya penerimaan negara secara signifikan. Selain itu dengan tarif pajak tunggal (flat tax), perhitungan pajak akan lebih sederhana (simplicity).

Sementara itu Menteri Keuangan Sri Mulyani yang dikutip oleh berbagai media menyatakan penolakannya dengan usulan Laffer untuk penerapan Flat Tax. Selain tidak selaras dengan kebutuhan dan kondisi di Indonesia, menurutnya Flat Tax kurang mencerminkan keadilan karena tidak memperhitungkan kemampuan membayar. Sistim tarif atau progresif untuk PPh Orang Pribadi dari 5% hingga 35% atas jenjang atau lapisan penghasilan kena pajak dinilai lebih adil.

Flat Tax Vs Progressive Tax

Secara singkat Flat Tax adalah tarif pajak tunggal yang dikenakan terhadap penghasilan tanpa memperhatikan jumlahnya. Misalnya dua orang masing-masing memperoleh penghasilan kena pajak setahun yaitu Ary sebesar Rp. 120 juta setahun dan Sony Rp.24 miliar. Apabila dikenakan misalnya dengan tarif tunggal 20% PPh untuk orang pribadi, maka Ary akan membayar PPh pajak sebesar Rp. 24 juta dan Sony membayar PPh Rp. 4.8 miliar. Saat ini tarif tunggal PPh diberlakukan di Indonesia hanya untuk Wajib Pajak Badan yaitu 22%, tidak untuk Wajib Pajak Orang Pribadi.

Sementara itu Progressive Tax merupakan konsep tarif pajak yang memperhatikan besarnya penghasilan kena pajak. Tarifnya akan semakin tinggi seiring dengan jenjang lapisan penghasilan.

Contohnya, berdasarkan UU PPh yang berlaku saat ini di Indonesia, terdapat 5 (lima) lapisan tarif untuk PPh Orang Pribadi, yaitu mulai dari tarif terendah 5% untuk lapisan penghasilan kena pajak Rp. 0 sampai dengan Rp.60 juta, 15% untuk lapisan di atas Rp.60 juta sd Rp.250 juta, 25% untuk lapisan di atas Rp. 250 juta sd Rp. 500 juta, 30% untuk lapisan diatas Rp. 500 juta sd Rp. 5 miliar dan tarif tertinggi sebesar 35% untuk penghasilan kena pajak di atas Rp. 5 miliar rupiah.

Dengan menerapkan tarif progresif tersebut, maka Ary akan membayar PPh sebesar Rp. 12 juta dan Sony membayar Rp. 8.094.000.000. Tarif pajak efektif yang dibayar oleh Ary adalah 10% (Rp.12 juta/ Rp.120 juta) sedangkan tarif pajak efektif yang dibayar oleh Sony adalah 33% (Rp.8.094.000.000/Rp.24 miliar).

Keadilan Dalam Pajak Penghasilan

Richard A. Musgrave dan Peggy B. Musgrave (1989) mengemukakan adanya 2 (dua) macam prinsip keadilan. Pertama, Benefit Principle yaitu setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak sesuai dengan manfaat yang dinikmatinya dari pemerintah. Dalam praktiknya prinsip ini sulit diterapkan karena tidak mudah mengukur manfaat yang dinikmati seorang Wajib Pajak atas pelayanan publik. Prinsip ini lebih tepat untuk pemungutan retribusi (non pajak) yang manfaatnya dirasakan langsung oleh pembayarnya. Prinsip yang kedua adalah Ability to Pay Principle yang menekankan bahwa pembebanan pajak kepada para Wajib Pajak didasarkan pada kemampuan masing-masing dalam membayar pajak. Prinsip ini dikenal sebagai Teori Daya Pikul.

Selanjutnya Musgrave membedakan keadilan pemungutan pajak berdasarkan kemampuan membayar (ability to pay) menjadi dua, yaitu keadilan horizontal (horizontal equity) dan keadilan vertikal (vertical equity). Keadilan horizontal terpenuhi apabila orang-orang yang mempunyai penghasilan kena pajak yang sama dibebani pajak dalam jumlah yang sama, sedangkan keadilan vertikal mengandung makna bahwa besaran pajak yang akan dikenakan terhadap Wajib Pajak adalah sebanding dengan penghasilannya. Semakin besar penghasilan seseorang maka semakin besar pula pajak yang akan dibayar.

Mana Lebih Adil?

Merujuk kembali pada ilustrasi sebelumnya, dengan Flat Tax, Sony membayar PPh lebih besar dari Ary. Dengan asumsi tarif tunggal (flat tax rate) yang berlaku sama untuk Ary dan Sony, secara nominal jumlah PPh yang dibayar oleh Sony (Rp. 4.8 miliar) adalah 200 kali lipat lebih besar dari pajak yang dibayarkan oleh Ary (Rp. 24 juta). Beban pajak tersebut proporsional dengan penghasilan Sony (Rp. 24 miliar) yang jumlahnya juga 200 kali lebih besar dibandingkan dengan penghasilan Ary (Rp.120 juta).

Ditinjau dari prinsip keadilan dalam Pajak Penghasilan, penerapan Flat Tax memenuhi prinsip Vertical Equity karena orang yang memperoleh penghasilan lebih besar membayar pajak lebih besar. Namun demikian Vertical Equity dalam hal ini sifatnya proporsional karena tarifnya flat atau tunggal dan dampaknya terhadap kedua Wajib Pajak sangat berbeda.

Bagi Ary, membayar PPh sebesar Rp. 24 juta dari penghasilannya sejumlah Rp. 120 juta mungkin cukup terasa terbebani dan akan mengurangi kemampuannya untuk membiayai kebutuhan dasarnya, misalnya biaya sewa kontrakan atau cicilan rumah dan biaya sekolah anak.

Namun sebaliknya bagi Sony, membayar pajak sejumlah Rp. 4.8 miliar dari penghasilannya sebesar Rp. 24 miliar tidak berdampak pada kebutuhan dasarnya yang sudah jelas dapat terpenuhi, bahkan masih tersisa banyak.

Selanjutnya dengan Progressive Tax, mengambil contoh tarif progresif yang berlaku saat ini di Indonesia, Sony membayar PPh dengan tarif pajak efektif 33% yaitu 3.3 kali lipat lebih tinggi dari tarif pajak efektif 10% yang dibayarkan oleh Ary. Kondisi ini tampak lebih memenuhi prinsip Vertical Equity dan selaras dengan Ability to Pay Principle karena tarif PPh berjenjang naik sesuai dengan lapisan penghasilan kena pajak (brackets).

Progressive Tax menjadi pilihan bagi negara yang membutuhkan keadilan distributif dalam mengalokasikan beban pajak sebagaimana disampaikan oleh Sri Mulyani.

Sementara itu, meskipun dipandang kurang adil, Flat Tax (tarif tunggal) yang rendah akan menjadi insentif bagi orang atau perusahaan untuk lebih produktif berusaha dan ujungnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebagaimana menurut Arthur Laffer. Jadi, ini sebuah pilihan, tergantung dari kondisi dan tujuan ekonomi, serta prioritas pemerintah suatu negara.

Penulis adalah Presiden Asia Oceania Tax Consultants’ Association (AOTCA)

Ruston Tambunan

Email: ruston@citasco.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

 

Jejak Tegas Mantan Direktur Pemeriksaan DJP yang Kini Menjembatani Fiskus dan Konsultan

IKPI, Jakarta: Dalam arsitektur perpajakan Indonesia, nama Dodik Samsu Hidayat tercatat sebagai salah satu tokoh yang telah mewarnai transformasi besar dalam proses pemeriksaan dan penagihan pajak. Selama menjabat sebagai Direktur Pemeriksaan dan Penagihan di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), ia dikenal luas sebagai sosok yang konsisten memperjuangkan prinsip keadilan fiskal, integritas penegakan hukum, dan transformasi digital sistem pemeriksaan.

Kini, meskipun telah purna dari jabatannya di DJP, Dodik tetap berada di tengah denyut nadi perpajakan Indonesia. Ia baru saja diangkat sebagai anggota kehormatan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), satu langkah simbolik sekaligus strategis yang menegaskan komitmennya untuk terus berkontribusi, khususnya dalam memperkuat sinergi antara otoritas pajak dan kalangan profesional perpajakan.

Perjalanan karier Dodik dimulai dari berbagai posisi teknis hingga strategis dalam struktur DJP. Ia pernah menjabat sebagai Kepala Subdirektorat Peraturan KUP & PPSP, kemudian sebagai Kepala Kanwil DJP Sulawesi Utara, Tengah, Gorontalo, dan Maluku Utara (Suluttenggomalut), sebelum akhirnya dipercaya menjadi Direktur Pemeriksaan dan Penagihan.

Selama menjabat di pusat, Dodik memimpin berbagai inisiatif reformasi, termasuk perancangan ulang indikator kinerja pemeriksa pajak, penguatan fungsi pengawasan berbasis risiko, dan pembenahan sistem penagihan piutang pajak negara. Di bawah kepemimpinannya, DJP mengintensifkan implementasi sistem Coretax serta mendorong pemanfaatan big data untuk profiling wajib pajak secara lebih cerdas dan akurat.

Menjadi Anggota Kehormatan IKPI

Setelah tidak lagi menjabat sebagai direktur, Dodik tidak lantas meninggalkan dunia perpajakan. Ia justru mengambil posisi strategis baru sebagai anggota kehormatan di Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), asosiasi profesi yang selama ini menjadi mitra sekaligus pengkritik kebijakan fiskus.

Kehadiran Dodik di dalam IKPI membawa harapan akan terciptanya jembatan komunikasi yang lebih kuat antara otoritas dan konsultan. Sebagai mantan direktur yang pernah berada di “kursi regulator”, ia dinilai mampu menjadi suara penengah yang memahami tantangan dari dua sisi, pemerintah dan praktisi.

Fokus dan Gagasan untuk Masa Depan Pajak Indonesia

Di masa kini, Dodik terus menyuarakan pentingnya transformasi budaya fiskal, tidak hanya reformasi sistem. Ia percaya bahwa digitalisasi harus dibarengi dengan peningkatan literasi, transparansi proses, dan kesetaraan perlakuan bagi semua jenis wajib pajak.

Beberapa fokus pemikiran Dodik yang kini mulai digaungkan di kalangan profesional antara lain:

• Penguatan pemeriksaan berbasis risiko untuk menghindari pemeriksaan yang tidak efisien dan mengganggu iklim usaha.

• Penagihan berbasis pendekatan preventif, di mana edukasi lebih diutamakan sebelum sanksi diterapkan.

• Keadilan vertikal dan horizontal, yaitu memastikan wajib pajak besar dan kecil mendapat perlakuan proporsional sesuai kontribusinya.

• Kemitraan strategis antara otoritas dan profesi, untuk menjamin keberlangsungan sistem perpajakan yang adaptif dan inklusif.

Dari Regulasi ke Refleksi

Meski tak lagi menjabat dalam struktur birokrasi, Dodik Samsu Hidayat tetap menjadi salah satu sosok berpengaruh dalam lanskap perpajakan nasional. Pengalaman panjang, rekam jejak bersih, dan komitmennya terhadap integritas menjadikannya referensi bagi generasi baru aparatur pajak dan praktisi perpajakan.

Kini sebagai anggota kehormatan IKPI, Dodik tidak hanya memperluas kiprahnya, tapi juga memperdalam kontribusinya dari sekadar penegak kebijakan menjadi pemersatu visi antara fiskus dan konsultan. Ia adalah contoh bahwa reformasi perpajakan bukan hanya soal angka dan target, tetapi juga soal integritas, inklusivitas, dan kepercayaan. (bl)

Mantan Sesditjen Pajak yang Konsisten Dorong Legalitas Profesi Konsultan

IKPI, Jakarta: Nama Arfan bukanlah sosok asing dalam jagat perpajakan nasional. Mantan Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak (Sesditjen Pajak) Kementerian Keuangan RI periode 2015–2019 ini kini kembali mencatatkan kiprah penting. Ia baru saja dikukuhkan sebagai Anggota Kehormatan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), sebuah pengakuan atas kontribusi dan kepeduliannya terhadap penguatan profesi konsultan pajak di Indonesia.

Pria kelahiran Jakarta, 26 Mei 1961 ini, dikenal luas sebagai birokrat senior yang reformis dan komunikatif. Dengan latar belakang pendidikan dari STAN dan gelar MBA dari Saint Mary’s University, Kanada, Arfan telah menduduki berbagai jabatan strategis di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, mulai dari Kepala Kanwil hingga posisi puncak sebagai Sesditjen Pajak.

Dalam berbagai kesempatan, Arfan menegaskan pentingnya konsultan pajak sebagai salah satu pilar dalam sistem perpajakan nasional.

Menurutnya, konsultan pajak adalah elemen vital. Mereka tidak hanya membantu wajib pajak, tapi juga meringankan beban petugas pajak. Atas dasar itu, ia menegaskan sudah waktunya profesi ini memiliki landasan hukum yang kuat.

Dorong Undang-Undang Konsultan Pajak

Arfan mengingat kembali perjuangan bersama tokoh-tokoh senior IKPI, seperti Mochamad Soebakir dan Nono Hanafi, dalam mendorong lahirnya undang-undang khusus tentang konsultan pajak. Ia menyayangkan stagnasi legislasi di sektor ini, padahal peran konsultan kian dibutuhkan seiring kompleksitas sistem perpajakan modern.

Menurutnya, legalitas formal penting agar peran strategis konsultan bisa dijalankan secara aman dan profesional.

Dengan jumlah anggota IKPI yang kini menembus lebih dari 7.100, Arfan menilai momentum reformasi profesi konsultan harus dijaga dan ditingkatkan.

Ia bahkan menyarankan pembentukan Taxpayer Community, sebuah wadah kolaborasi wajib pajak, untuk melengkapi ekosistem perpajakan bersama DJP dan IKPI. Tiga pilar itu diyakini akan saling menguatkan, maka sistem perpajakan RI akan lebih sehat dan berkeadilan.

Visi Budaya & Aksi Kolektif

Tidak hanya berbicara soal regulasi, Arfan juga menekankan pentingnya pendekatan budaya dalam meningkatkan kesadaran pajak di masyarakat multietnis seperti Indonesia.

Kesadaran pajak akan sulit dibangun kalau hanya lewat aturan. Perlu pendekatan sosial budaya, melibatkan tokoh masyarakat dalam struktur kehormatan organisasi, agar lebih berwarna dan inklusif.

Dengan demikian, IKPI harus terus menjadi suara kolektif dalam isu-isu perpajakan nasional dan menyusun rencana aksi yang konkret. Untuk mewujudkan cita-cita itu, Arfan menyatakan siap membantu. IKPI juga harus lebih dikenal, lebih solid, dan lebih berpengaruh.

Karier & Integritas

Karier panjang Arfan di Kementerian Keuangan mencerminkan dedikasi dan integritas tinggi. Dari Kepala Kanwil DJP Sulawesi hingga Sesditjen Pajak. Ia konsisten mendorong pembaruan sistem perpajakan berbasis integritas dan kolaborasi.

Tak hanya dalam pekerjaan, Arfan juga dikenal memiliki gaya hidup sehat. Ia hobi bersepeda, jalan kaki, hingga catur. Aktivitas yang juga ia tularkan dalam budaya kerja DJP saat itu.

Dengan status baru sebagai Anggota Kehormatan IKPI, Arfan tak sekadar menjadi simbol kehormatan, tapi juga motor penggerak perubahan.

Sosoknya membuktikan bahwa reformasi perpajakan tidak hanya bisa lahir dari dalam institusi negara, tapi juga dari kemitraan yang sehat dengan para profesional pajak di luar pemerintahan. (bl)

 

 

Menyoal Legitimasi PMK dalam Kasus PKP Gagal Produksi

Pengaturan mengenai kewajiban Pengusaha Kena Pajak (PKP) untuk membayar kembali Pajak Masukan (PM) dalam hal gagal berproduksi telah menimbulkan perdebatan sejak pertama kali diatur dalam Undang-Undang PPN. Meskipun ketentuan pokoknya tercantum dalam Pasal 9 ayat (6a) UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Namun, implementasinya melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) justru memunculkan persoalan hukum.

Salah satu isu utama adalah apakah ketentuan dalam PMK tersebut telah sesuai dengan prinsip hierarki peraturan perundang-undangan, khususnya dalam hal batasan waktu pengkreditan dan pengembalian PM yang tidak secara eksplisit diatur dalam undang-undang.

Artikel ini mengulas ketidaksesuaian tersebut serta menelusuri bagaimana perubahan melalui UU Cipta Kerja berupaya memperbaiki kekosongan dan potensi penyimpangan norma hukum di masa sebelumnya.

Pasal 9 ayat (6a) UU Nomor 42 Tahun 2009

“Pajak Masukan yang telah dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) dan telah diberikan pengembalian wajib dibayar kembali oleh Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pengusaha Kena Pajak tersebut mengalami keadaan gagal berproduksi dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Masa Pajak pengkreditan Pajak Masukan dimulai”.

Pasal 9 ayat (6b) UU Nomor 42 Tahun 2009

“Ketentuan mengenai penentuan waktu, penghitungan, dan tata cara pembayaran kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan”

Peraturan pelaksana tidak sesuai dengan hirarki peraturan perundang-undangan.

Tanggal 1 April 2010 diberlakukan peraturan pelaksana Pasal 9 ayat (6b) UU No.42/2009 yaitu PMK No. 81/PMK.03/2010 tentang Saat Penghitugan Dan Tata Cara Pembayaran Kembali Pajak Masukan Yang Telah Dikreditkan Dan Telah Diberikan Pengembalian Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Mengalami Keadaan Gagal Berproduksi ,  kemudian dicabut dan digantikan PMK No.31/PMK.03/2014 mulai berlaku 10 Febuari 2014.

Bunyi pasal-pasal dalam PMK No. 81/PMK.03/2010 terkait pokok (substansi) penetapan PKP gagal berproduksi sebagai berikut :

Pasal 2

  • Pengusaha Kena Pajak yang mengalami gagal berproduksi wajib membayar kembali Pajak Masukan atas impor dan/atau perolehan Barang Modal yang telah dikreditkan dan telah diberikan pengembalian.
  • Gagal berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:
    1. Suatu keadaan dari Pengusaha Kena Pajak dengan kegiatan usaha utama sebagai produsen yang menghasilkan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak pertama kali mengkreditkan Pajak Masukan tidak melakukan kegiatan:

1) penyerahan Barang Kena Pajak;

2) penyerahan Jasa Kena Pajak;

3) ekspor Barang Kena Pajak; dan/atau

4) ekspor Jasa Kena Pajak,

yang berasal dari hasil produksinya sendiri

  1. Suatu keadaan dari Pengusaha Kena Pajak dengan kegiatan usaha utama Pengusaha Kena Pajak selain produsen sebagaimana dimaksud pada huruf a, apabila dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak pertama kali mengkreditkan Pajak Masukan tidak melakukan kegiatan:

1) penyerahan Barang Kena Pajak;

2) penyerahan Jasa Kena Pajak;

3) ekspor Barang Kena Pajak; dan/atau

4) ekspor Jasa Kena Pajak.

  • Besarnya Pajak Masukan yang wajib dibayar kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar Pajak Masukan yang telah dikreditkan dan telah diberikan pengembalian.
  • Pajak Masukan yang wajib dibayar kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disetorkan paling lama akhir bulan berikutnya setelah saat gagal berproduksi.
  • Saat gagal berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir dalam jangka waktu:
    1. 3 (tiga) tahun untuk suatu keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a; dan
    2. 1 (satu) tahun untuk keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b.
  • Pembayaran kembali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak dengan mencantumkan keterangan “Pembayaran kembali Pajak Masukan atas impor dan/atau perolehan Barang Modal yang telah dikreditkan dan telah diberikan pengembalian”.
  • Pembayaran kembali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaporkan pada Masa Pajak dilakukan pembayaran.

Sedangkan bunyi pasal-pasal dalam PMK No. 31/PMK.03/2014 terkait pokok (substansi) penetapan PKP gagal berproduksi sebagai berikut :

Pasal 4

Pajak Masukan yang telah dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan telah diberikan pengembalian wajib dibayar kembali oleh Pengusaha Kena Pajak, dalam hal Pengusaha Kena Pajak tersebut mengalami keadaan gagal berproduksi dalam jangka waktu tertentu sejak masa pajak pengkreditan Pajak Masukan dimulai.

Pasal 5

Keadaan gagal berproduksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 adalah:

  1. Suatu keadaan bagi Pengusaha Kena Pajak yang kegiatan usaha utamanya sebagai produsen yang menghasilkan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, apabila dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak pertama kali mengkreditkan Pajak Masukan tidak melakukan kegiatan:
  2. penyerahan Barang Kena Pajak;
  3. penyerahan Jasa Kena Pajak;
  4. ekspor Barang Kena Pajak; atau
  5. ekspor Jasa Kena Pajak.

yang berasal dari hasil produksinya sendiri.

  1. Suatu keadaan bagi Pengusaha Kena Pajak yang kegiatan usaha utamanya selain sebagai produsen yang menghasilkan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, apabila dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak pertama kali mengkreditkan Pajak Masukan tidak melakukan kegiatan:
  2. penyerahan Barang Kena Pajak;
  3. penyerahan Jasa Kena Pajak;
  4. ekspor Barang Kena Pajak; atau
  5. ekspor Jasa Kena Pajak,

Pasal 6

  • Pajak Masukan yang wajib dibayar kembali oleh Pengusaha Kena Pajak yang mengalami keadaan gagal berproduksi sebesar Pajak Masukan yang telah dikreditkan dan telah diberikan pengembalian.
  • Pajak Masukan yang wajib dibayar kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disetorkan paling lambat akhir bulan berikutnya setelah keadaan gagal berproduksi.

Pasal 7

  • Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor Barang Modal setelah batas waktu keadaan gagal berproduksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a terlewati, dapat dikreditkan.
  • Pajak Masukan yang dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya atau dimintakan pengembalian.
  • Apabila batas waktu keadaan gagal berproduksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a terlewati, atas Pajak Masukan yang telah dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan belum dimintakan pengembalian, dapat dikompensasikan atau dimintakan pengembalian pada masa pajak berikutnya.
  • Kompensasi atau permohonan pengembalian kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) hanya dapat dilakukan sampai dengan jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun setelah masa pajak keadaan gagal produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a telah terlewati.
  • Kelebihan Pajak Masukan yang telah diberikan pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), wajib dibayar kembali apabila sampai dengan batas waktu 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Pengusaha Kena Pajak tidak melakukan penyerahan dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berasal dari hasil produksinya sendiri.
  • Kelebihan Pajak Masukan tidak dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya atau dimintakan pengembalian dalam hal:
    1. setelah berakhirnya jangka waktu 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) masih terdapat kelebihan Pajak Masukan; dan
    2. Pengusaha Kena Pajak tidak melakukan penyerahan dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berasal dari hasil produksinya sendiri sampai batas waktu 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir.
  • Pajak Masukan yang wajib dibayar kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sebesar Pajak Masukan yang telah dikreditkan dan telah diberikan pengembalian.
  • Pajak Masukan yang wajib dibayar kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (7) disetorkan paling lambat akhir bulan berikutnya setelah keadaan gagal berproduksi.

Tampak jelas perbedaan sangat mencolok antara PMK 81 dengan PMK 31, dimana  salah satu dari peraturan pelaksana tersebut isi materi muatanya tidak diperintahkan Pasal 9 ayat (6a) UU PPN,  dirangkum dalam tabel dibawah ini :

Materi Pasal 7 ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) PMK No.31/PMK.03/2014, diduga terdapat ketidaksesuaian  hierarki dimana materi muatan pasal tersebut tidak selaras dengan delegasi dari Pasal 9 ayat (6a) UU Nomor 42 Tahun 2009, sehingga sesuai Pasal 7 ayat (2), Pasal 8 ayat (2) UU No.12 Tahun 2011 jo UU No.15 Tahun 2019 jo UU No.13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3), pasal tersebut dapat dikatakan tidak mempunyai kekuatan hukum karena tidak sesuai hierarki, tidak diakui keberadaannya dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Perubahan pengaturan PKP gagal berproduksi di UU No.11 Tahun 2020 tentang Ciptaker  jo Perpu No.2 Tahun 2022 jo UU No.6 Tahun 2023

Kemudian Pasal 9 ayat (6a) UU No 42 Tahun 2009 diubah dan ditambakan beberapa ayat yaitu ayat(6a),(6c), (6d), (6e), (6f) di Pasal 112 UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja berbunyi sebagai berikut :

Pasal 9

(6a) Apabila sampai dengan jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak Masa Pajak pengkreditan pertama kali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2al Pengusaha Kena Pajak belum melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak terkait dengan Pajak Masukan tersebut, Pajak Masukan yang telah dikreditkan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan.

(6b) Dihapus.

(6c) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) bagi sektor usaha tertentu dapat ditetapkan lebih dari 3 (tiga) tahun.

(6d) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) berlaku juga bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pembubaran (pengakhiran) usaha, melakukan pencabutan Pengusaha Kena Pajak, atau dilakukan pencabutan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak Masa Pajak pengkreditan pertama kali Pajak Masukan.

(6e)  Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat (6a):

  1. wajib dibayar kembali ke kas negara oleh Pengusaha Kena Pajak, dalam hal PengusahaKena Pajak:
  2. telah menerima pengembalian kelebihan pembayaran pajak atas Pajak Masukan dimaksud; dan/atau
  3. telah mengkreditkan Pajak Masukan dimaksud dengan Pajak Keluaran yang terutang dalam suatu Masa Pajak; dan/atau
  4. tidak dapat dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya dan tidak dapat diajukan permohonan pengembalian, setelah jangka waktu 3 (tiga) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) berakhir atau pada saat pembubaran (pengakhiran) usaha, atau pencabutan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6d) oleh Pengusaha Kena Pajak, dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan kompensasi atas kelebihan pembayaran pajak dimaksud.

(6f) Pembayaran kembali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (6e) huruf a dilakukan paling lambat:

  1. akhir bulan berikutnya setelah tanggal berakhirnya jangka waktu 3 (tiga) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (6a);
  2. akhir bulan berikutnya setelah tanggal berakhirnya jangka waktu bagi sektor usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (6c); atau
  3. akhir bulan berikutnya setelah tanggal pembubaran (pengakhiran) usaha atau

pencabutan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6d).

Selanjutnya di ikuti pencabutan peraturan pelaksana terdahulu PMK No.31/2014 melalui PMK No.18/PMK.03/2021 yang merupakan pelaksanaan Pasal-Pasal 111, 112, 113 UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang PPh, PPN dan PPnBM serta KUP . Pasal-pasal pengaturan PKP gagal berproduksi tersebut terdapat pada Bab III, bagian Kesatu, Pasal 54 sampai dengan Pasal 61 PMK No.18/PMK.03/2021.

Terdapat perubahan yang sangat signifikan terkhusus isi/materi pengaturan PKP gagal berproduksi antara Pasal 9 ayat (6a) UU Nomor 42 Tahun 2009 terdahulu dengan Pasal 9 ayat (6a) di Pasal 112 UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Pasal demi pasal dalam UU No.11 Tahun 2020  secara terperinci menyebutkan jangka waktu pengkreditan PM bagi PKP yg mengalami keadaan gagal berproduksi, berbeda dgn pasal 9 ayat (6a) UU No.42 Tahun 2009 sebelumnya

Dapat ditemukan adanya kesesuaian hierarki/materi muatan pasal terkait di PMK No.18 Tahun 2021 dengan Pasal 9 ayat (6a), (6c), (6d), (6e), (6f) di Pasal 112 UU No.11 Tahun 2020

Dapat ditarik kesimpulan :

  1. Pengaturan materi PKP gagal berproduksi di Pasal 9 ayat (6a) UU No.42 Tahun 2009 memang cukup minim, di sisi lain peraturan pelaksananya di Pasal 7 ayat (4), (5), (6) PMK No.31/PMK.03/2014 telah menambahkan pembatasan jangka waktu pengkreditan PM dimana materi ini tidak diperintahkan Peraturan perundang-undagan yang lebih tinggi.
  2. Sedangkan pada perubahannya Pasal 9 ayat (6a) yang terdapat di Pasal 112 UU No.11 Tahun 2020, terdapat penambahan beberapa ayat yang sebelumnya cukup minim diatur selevel Undang-Undang sehingga perubahan ini telah lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum.

Penulis pernah mengajukan uji materi atas Pasal 7 ayat (4), (5), (6) PMK No.31/PMK.03/2014 dengan nomor register 11 P/HUM/2021 namun di saat proses pengujian menjelang dimulai,   PMK No.31 sudah keburu dicabut dan digantikan PMK No.18/PMK.03/2021 sebagai pelaksanaan dari UU No.11 Tahun 2020 , otomatis pemohon kehilangan obyek hukum yang akan di uji, selanjutnya  permohonan tidak diterima.

Apabila PKP mengalami gagal berproduksi untuk tahun pajak sebelum tahun 2020 (sebelum diberlakukannya UU No.11 Tahun 2020 Ciptakerja tangal 2 November 2020) maka dasar penepatan PPN terutang menggunakan  PMK No.31/PMK.03//2014 adalah cacat hukum.

Penulis adalah Anggota Departemen Keanggotaan dan Pembinaan IKPI

Eddy Christian, SE., M.Ak., BKP

Email : eddychris1090@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

Ken Dwijugiasteadi: Dari Birokrat Pajak hingga Anggota Kehormatan IKPI

IKPI, Jakarta: Nama Ken Dwijugiasteadi tentu tidak asing di kalangan profesional perpajakan Indonesia. Pria kelahiran 8 November 1957 ini merupakan sosok penting di balik sejumlah transformasi besar Direktorat Jenderal Pajak (DJP), terutama saat menjabat sebagai Direktur Jenderal Pajak ke-16 pada periode 2015 hingga 30 November 2017.

Kini, Ken masih aktif berkiprah di dunia perpajakan, meski tak lagi menjabat di pemerintahan. Ia dipercaya sebagai anggota kehormatan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), asosiasi konsultan pajak tertua dan terbesar di Indonesia.

Kehadiran Ken sebagai anggota kehormatan sekaligus menjadi simbol sinergi antara otoritas pajak dan komunitas profesional perpajakan.

Dari Pegawai Rendahan Hingga Pucuk Pimpinan

Karier Ken dimulai lebih dari empat dekade silam, tepatnya pada tahun 1983, saat ia bergabung sebagai Pegawai Negeri Sipil di Kementerian Keuangan setelah meraih gelar Sarjana Ekonomi dari Universitas Brawijaya. Perjalanannya pun tak sebentar. Dari posisi staf di Sekretariat DJP, ia secara bertahap meniti tangga birokrasi, mulai dari Kepala Sub Bagian Kepegawaian (1989), Kepala Seksi Wajib Pajak Perseorangan (1992), hingga menjabat berbagai kepala kantor di lingkungan DJP.

Tahun 2003 menandai babak baru saat ia diangkat menjadi Direktur Informasi Perpajakan, yang kemudian diikuti dengan penugasan strategis sebagai Kepala Kantor Wilayah DJP Kalimantan Timur (2006–2008) dan wilayah Jawa Timur (2008–2015).

Tak hanya mengandalkan pengalaman lapangan, Ken juga memperkuat kapasitas akademiknya dengan meraih gelar Master of Science in Tax Auditing dari Opleidings Institute Financien, Den Haag, Belanda pada 1991.

Dirjen Pajak dan Pengampunan Pajak

Meski sempat tersisih dalam seleksi terbuka Direktur Jenderal Pajak pada 2015, takdir membawa Ken ke posisi itu juga. Ia ditunjuk menjadi Pelaksana Tugas Dirjen Pajak pada Desember 2015, menggantikan Sigit Priadi Pramudito yang mengundurkan diri. Hanya tiga bulan berselang, Ken dilantik secara resmi sebagai Dirjen Pajak pada 1 Maret 2016.

Salah satu warisan kebijakan paling bersejarah dari era kepemimpinan Ken adalah disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty).

Program ini membuka jalan bagi Wajib Pajak untuk mendeklarasikan dan merepatriasi harta yang belum dilaporkan dengan tarif tebusan ringan. Kebijakan ini tidak hanya berdampak pada penerimaan negara, tetapi juga meningkatkan kepatuhan pajak jangka panjang.

Melanjutkan Pengabdian

Selepas pensiun dari DJP, Ken tetap aktif memberikan kontribusi bagi dunia perpajakan nasional. Bergabung sebagai anggota kehormatan di IKPI menjadi wujud komitmennya untuk terus terlibat dalam pembangunan sistem perpajakan yang adil dan berintegritas. Kehadirannya di tengah komunitas konsultan pajak memberikan inspirasi sekaligus menjadi jembatan antara praktik birokrasi dan dunia profesional.

Ken Dwijugiasteadi adalah contoh nyata bahwa dedikasi dan integritas dalam pelayanan publik dapat meninggalkan jejak yang panjang, bahkan setelah masa jabatan berakhir. (bl)

id_ID