Dilema Pajak UMKM: Antara Kesederhanaan Tarif Final dan Keadilan Tarif Berbasis Laba

Dalam upaya memperluas basis perpajakan dan mendorong kepatuhan pajak secara sukarela, Pemerintah Indonesia menerapkan skema tarif pajak final sebesar 0,5% dari omzet untuk pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022. Kebijakan ini bertujuan untuk mempermudah administrasi perpajakan bagi UMKM yang umumnya tidak memiliki pencatatan keuangan yang memadai. Dengan tarif ini, pemerintah berharap dapat mendorong partisipasi UMKM dalam sistem perpajakan nasional tanpa membebani mereka dengan kompleksitas perhitungan pajak konvensional yang mensyaratkan pembukuan. Namun, pendekatan ini berbeda dengan prinsip perpajakan umum yang mengukur beban pajak yang efektif atau Effective Tax Rate (ETR).

ETR merupakan suatu tingkat pajak efektif perusahaan yang dapat dihitung dari beban pajak penghasilan yang kemudian dibagi dengan laba sebelum pajak, di mana semakin rendah nilai ETR maka semakin baik suatu perusahaan dalam melakukan manajemen pajak. ETR bertujuan untuk mengetahui seberapa besar persentase perusahaan membayar pajak sebenarnya terhadap laba komersial yang diperoleh perusahaan.

Dengan tarif efektif ini, perusahaan dapat melihat apakah jumlah pajak yang mereka bayar lebih rendah atau lebih tinggi dibandingkan dengan tarif pajak yang ditetapkan. Sebaliknya, kebijakan tarif final UMKM dihitung berdasarkan omzet bruto yakni Pajak Terutang ÷ Omzet yang menghasilkan angka tetap sebesar 0,5% tanpa mempertimbangkan margin keuntungan. PPh final merupakan pajak penghasilan yang langsung dikenakan atas objek penghasilan tertentu saja dihitung dengan tarif yang telah ditetapkan atas objek terkait, tujuannya adalah untuk memberikan kemudahan dan kesederhanaan dalam menghitung pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) sehingga tidak menambah beban administrasi Wajib Pajak dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), serta memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak. Dengan demikian, berdasarkan kedua teori tersebut dapat dikatakan bahwa dua pelaku UMKM dengan omzet yang sama tetapi margin laba yang berbeda tetap membayar jumlah pajak yang identik secara nominal, walaupun secara substansi beban fiskalnya berbeda secara signifikan.

Perbedaan ini memperlihatkan ketegangan antara tujuan administratif dan praktis dari kebijakan tarif final dengan asas keadilan dan proporsionalitas yang menjadi dasar teori perpajakan modern. Di satu sisi, tarif 0,5% memberikan insentif kepatuhan dan menyederhanakan proses pelaporan pajak. Namun di sisi lain, kebijakan ini berpotensi menciptakan distorsi keadilan fiskal terutama bagi wajib pajak dengan margin laba tipis. Hal ini juga menimbulkan tantangan metodologis dalam analisis beban pajak sektoral dan kontribusi UMKM terhadap penerimaan negara, karena pendekatan berbasis omzet tidak mencerminkan kemampuan ekonomis yang sesungguhnya.

Dengan demikian, Kebijakan tarif 0,5% yang bersifat final perlu ditinjau dari segi efektivitas administrasi, keadilan fiskal, dan akurasi pengukuran beban pajak. Penelitian ini penting untuk menjembatani perbedaan, baik melalui penyusunan model ETR yang mencerminkan realitas profitabilitas UMKM, maupun mengevaluasi keberlanjutan tarif final dalam konteks perubahan ekonomi dan digitalisasi sektor usaha. Pemahaman mendalam terhadap ketidaksesuaian antara teori dan praktik ini menjadi dasar yang penting dalam merumuskan kebijakan perpajakan yang adil dan efisien.

Dalam konteks kepatuhan pajak, tarif final mendorong kepatuhan sukarela karena praktis dan mudah dipahami, namun tidak membangun kebiasaan pembukuan yang dibutuhkan untuk transisi menuju sistem pajak berbasis laba. ETR, meskipun lebih kompleks, justru berpotensi meningkatkan transparansi fiskal dan kualitas pelaporan dalam jangka panjang, serta dapat mendorong optimalisasi penerimaan negara, terutama bagi sektor usaha dengan margin keuntungan yang tinggi.

Oleh karena itu, jika dilihat dari aspek keberlanjutan fiskal dan prinsip keadilan dalam jangka panjang, ETR merupakan pendekatan yang lebih baik dan ideal untuk menciptakan sistem perpajakan yang adil, akuntabel, dan berkelanjutan. Pendekatan terbaik adalah menjadikan tarif final 0,5% sebagai skema transisi, sambil mendorong pelaku usaha untuk naik kelas ke sistem perpajakan reguler berbasis ETR.

Peran UMKM sangat besar untuk pertumbuhan perekonomian Indonesia, dengan jumlahnya mencapai 99% dari keseluruhan unit usaha (Direktorat Jenderal Pajak, 2023). Pada tahun 2023 pelaku usaha UMKM mencapai sekitar 66 juta (KADIN, 2023). Kontribusi UMKM mencapai 61% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia, setara Rp9.580 triliun dan menyerap sekitar 117 juta pekerja (97%) dari total tenaga kerja (KADIN, 2023).

Berdasarkan data KADIN Indonesia pertumbuhan UMKM Indonesia dari tahun 2018 hingga 2023, terlihat adanya dinamika yang cukup signifikan. Pada tahun 2018, jumlah UMKM tercatat sebanyak 64,19 juta dan meningkat menjadi 65,47 juta pada tahun 2019, menunjukkan pertumbuhan sebesar 1,98%. Namun, pada tahun 2020 terjadi penurunan tajam sebesar -2,24% menjadi 64 juta, yang disebabkan oleh dampak pandemi COVID-19. Memasuki tahun 2021, sektor UMKM menunjukkan tanda-tanda pemulihan dengan pertumbuhan sebesar 2,28% dan jumlah UMKM naik kembali menjadi 65,46 juta.

Namun, pada tahun 2022 terjadi sedikit penurunan sebesar -0,70% menjadi 65 juta, mencerminkan tantangan pascapandemi seperti inflasi, ketidakpastian ekonomi global, atau kendala adaptasi terhadap transformasi digital. Pada tahun 2023, UMKM kembali tumbuh positif sebesar 1,52% dengan total jumlah mencapai 66 juta. Secara keseluruhan, data ini mencerminkan bahwa sektor UMKM Indonesia cukup resilien, mampu bangkit dari tekanan krisis, dan menunjukkan potensi pertumbuhan berkelanjutan dengan dukungan kebijakan yang tepat.

Indonesia saat ini menerapkan skema pemajakan final untuk UMKM sebagaimana diatur dalam PP No. 55 Tahun 2022. Skema ini menggunakan tarif tetap sebesar 0,5% dari omzet bruto dengan masa berlaku tertentu. Pendekatan ini bertujuan menyederhanakan administrasi perpajakan, mendorong kepatuhan formal, serta memperluas basis pajak UMKM. Namun demikian, keberlanjutan dan keadilan dari pendekatan ini mulai dipertanyakan, terutama dalam konteks efisiensi fiskal jangka panjang dan integrasi sistem pelaporan keuangan yang akuntabel.

Sebagai pembanding, sejumlah negara ASEAN seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand yang telah mengadopsi skema pengenaan pajak penghasilan yang didasarkan pada laba kena pajak. Negara-negara tersebut tidak lagi mengandalkan sistem berbasis omzet, melainkan menggunakan tarif progresif atau insentif khusus terhadap laba yang dilaporkan oleh wajib pajak.

Misalnya, Malaysia menetapkan tarif 17%-24% untuk laba UMKM sampai RM 600.000 (Thirosha, 2025). Dalam sistem perpajakan Singapura, entitas usaha baik yang berstatus residen maupun nonresiden dikenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari dalam negeri pada saat penghasilan tersebut timbul, serta atas penghasilan luar negeri pada saat diterima di Singapura dengan tarif flat sebesar 17%.

Namun, pemerintah menyediakan fasilitas insentif berupa pembebasan sebagian pajak, serta insentif pembebasan pajak selama tiga tahun pertama bagi perusahaan rintisan yang memenuhi kriteria tertentu (PwC, 2025). Kebijakan ini bertujuan mendukung pertumbuhan usaha rintisan dan mendorong kewirausahaan lokal.

Dalam sistem perpajakan Thailand, usaha kecil dan menengah (UKM) memperoleh keringanan tarif pajak penghasilan badan (CIT) yang bersifat progresif. Perusahaan dengan laba bersih hingga 300.000 baht dibebaskan dari pajak, sementara laba antara 300.001 hingga 3.000.000 baht dikenai tarif 15%, dan laba di atas 3.000.000 baht dikenai tarif 20% di mana insentif ini hanya berlaku bagi perusahaan dengan total pendapatan tidak melebihi 30 juta baht per tahun dan modal disetor maksimum 5 juta baht (Ayman Falak, 2023). Skema ini bertujuan mendukung keberlanjutan dan pertumbuhan UKM melalui beban pajak yang lebih ringan.

Dari sisi keadilan pajak, skema tarif berdasarkan laba lebih merepresentasikan prinsip ability to pay dibandingkan tarif final. Hal ini karena pajak dikenakan atas laba bersih yang mencerminkan kapasitas ekonomi riil pelaku usaha. Dalam sistem final, UMKM yang mengalami kerugian tetap dikenakan pajak selama masih memiliki omzet, sedangkan dalam sistem berbasis laba, hanya yang memperoleh keuntungan yang dikenakan pajak. Pendekatan ini mendorong pembukuan dan laporan keuangan yang lebih akuntabel serta memperkuat basis data fiskal pemerintah.

Dengan mempertimbangkan arah reformasi perpajakan, sistem tarif berdasarkan laba tampak lebih unggul dalam jangka panjang dibandingkan tarif final. Meskipun memerlukan kesiapan administratif dan peningkatan literasi akuntansi di kalangan UMKM, transisi ke skema ini dapat dilakukan secara bertahap melalui model hibrida atau simplified accounting scheme. Negara-negara ASEAN yang telah menerapkan sistem ini dapat diadaptasi sesuai kapasitas pelaku UMKM.

Oleh karena itu, dapat ditegaskan bahwa skema tarif berdasarkan laba memiliki keunggulan lebih signifikan dibandingkan skema tarif final, khususnya dalam hal keadilan fiskal, transparansi, dan kepatuhan yang berkelanjutan. Indonesia perlu menyiapkan transisi menuju sistem tersebut untuk memperkuat fondasi fiskal yang lebih adil dan berkelanjutan dalam jangka panjang.

Keadilan merupakan fondasi utama dalam sistem perpajakan yang berkelanjutan. Teori oleh Reinhold Zippelius, seorang filsuf hukum menjadi acuan penting dalam merumuskan dan mengevaluasi tata cara perpajakan. Zippelius membagi keadilan ke dalam lima bentuk utama yakni keadilan komutatif, distributif, legal, moral, dan sosial (Direktorat Jendral Pajak, 2023). Keadilan komutatif menekankan perlakuan setara dalam hubungan timbal balik, misalnya antara negara dan wajib pajak. Dalam konteks ini, penerbitan Surat Ketetapan Pajak oleh DJP setelah proses pemeriksaan merupakan cerminan dari keadilan komutatif, di mana setiap wajib pajak dikenai kewajiban sesuai dengan kondisi riil dan ketentuan yang berlaku.

Namun, realitanya tidak selalu mencerminkan keadilan secara sempurna, karena kerap ditemukan kesalahan administratif atau interpretasi aturan. Untuk mengatasi hal tersebut, sistem perpajakan Indonesia memberikan ruang bagi wajib pajak untuk mengajukan pembetulan atau permohonan pengurangan sanksi administratif. Prosedur ini memungkinkan koreksi atas kesalahan penulisan, perhitungan, atau penerapan aturan dalam surat ketetapan pajak, sekaligus memberi peluang kepada wajib pajak yang merasa diperlakukan tidak adil untuk mendapatkan keadilan.

Hal ini mencerminkan penerapan keadilan komutatif sekaligus distributif, karena mempertimbangkan proporsi beban pajak berdasarkan kondisi wajib pajak. Di sisi lain, keadilan distributif terlihat dalam penerapan pajak progresif yang mengatur kontribusi sesuai kemampuan ekonomi masing-masing individu atau kelompok.

Sementara itu, keadilan legal menurut Zippelius menuntut adanya kepatuhan terhadap hukum yang berlaku. Dalam konteks perpajakan, hal ini berarti seluruh proses perpajakan harus dilakukan berdasarkan dasar hukum yang jelas dan diterapkan secara konsisten.

Selain itu, diperlukan juga keadilan moral, yaitu prinsip-prinsip etika seperti kejujuran, integritas, dan tanggung jawab sosial, baik dari pihak wajib pajak maupun otoritas pajak, yang menjadi dasar kepercayaan dan legitimasi sistem perpajakan. Selain itu, keadilan sosial juga penting, dengan pajak yang berfungsi untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi kesenjangan sosial, terutama di daerah tertinggal. Teori Kemudahan Administrasi Publik (Ease of Administration) merupakan kemudahan dalam administrasi yang menjadi prinsip penting dalam sistem pemungutan pajak (Rosdiana, 2011).

Menurut Rosdiana, ada beberapa indikator dalam prinsip ease of administration ini yaitu, Certainty yang menyatakan bahwa harus ada kepastian dari Wajib Pajak maupun Fiskus mengenai Subjek Pajak, Objek Pajak, Dasar Pengenaan Pajak, Tarif, serta bagaimana prosedur perpajakannya. Efficiency, bagi fiskus adalah biaya untuk melakukan pengawasan dan administrasi terhadap Wajib Pajak relatif rendah, sedangkan bagi Wajib Pajak, biaya untuk melaksanakan kewajiban perpajakan relatif rendah. Convenience of Payment, Pajak dipungut pada saat yang tepat (Pay As You Earn).

Prosedur pembayaran Simplicity, mudah dilaksanakan dan tidak berbelit-belit. Dengan demikian, meskipun kebijakan pengenaan PPh final sebesar 0,5% atas omzet UMKM sejalan dengan prinsip Ease of Administration, terdapat ketimpangan dalam keadilan fiskal. Dalam konteks teori perpajakan modern, khususnya pendekatan ETR, pajak idealnya mencerminkan kemampuan ekonomi riil dari wajib pajak, bukan sekadar angka omzet bruto.

Ketika dua pelaku usaha dengan margin keuntungan berbeda membayar pajak dalam jumlah yang sama karena omzet yang setara, prinsip keadilan distributif tidak terpenuhi. Oleh karena itu, penting untuk merancang kebijakan pajak yang sederhana dan adil, mengaitkan kemudahan administrasi dengan proporsionalitas beban fiskal untuk efektivitas sistem perpajakan berkelanjutan.

Penerapan tarif PPh Final sebesar 0,5% dari omzet dinilai sederhana dan praktis untuk administrasi pajak. Namun, dari segi kaidah keadilan dan prinsip ability to pay (kemampuan membayar), kebijakan ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Dari aspek keadilan horizontal, kebijakan ini dianggap adil untuk semua UMKM dengan omzet di bawah Rp 4,8 miliar dan memberi perlindungan pada usaha kecil dengan adanya pengecualian pajak bagi wajib pajak orang pribadi dengan omzet hingga Rp 500 juta per.

Namun, dari sisi keadilan vertikal, kebijakan ini dinilai kurang tepat karena pajak tetap dikenakan berdasarkan omzet, meskipun pelaku usaha sedang merugi atau memiliki margin keuntungan yang sangat kecil, sehingga berpotensi membebani wajib pajak yang sebenarnya belum memiliki kemampuan ekonomis untuk membayar pajak. Hal ini juga menyiratkan ketidaksesuaian terhadap prinsip ability to pay, karena kemampuan membayar seharusnya dihitung dari laba, bukan dari omzet kotor. Dengan demikian, meskipun tarif PPh Final 0,5% ini memberikan kemudahan bagi UMKM dari sisi kepatuhan dan pengawasan, namun secara prinsip ideal, sistem perpajakan yang berbasis laba akan lebih mencerminkan keadilan dan kemampuan membayar wajib pajak secara lebih tepat.

Lebih jauh, pendekatan tarif PPh final 0,5% menyebabkan penyimpangan terhadap pengukuran ETR secara teoritis. Akibatnya, secara administratif tidak merefleksikan beban pajak riil yang ditanggung wajib pajak berdasarkan efisiensi dan profitabilitas usahanya.

Hal ini dapat menyebabkan ketidakadilan antar pelaku usaha dan stagnasi kepatuhan jangka panjang. Karena tarif final ini tidak mewajibkan pembukuan atau pelaporan laba, banyak UMKM menjadi nyaman dalam sistem pajak yang sederhana ini dan enggan beralih ke sistem yang lebih formal. Hal ini berisiko memperluas zona abu-abu ekonomi yang sulit dipantau secara fiskal. Selain itu, pendekatan tarif tunggal juga tidak mempertimbangkan perbedaan karakteristik sektor usaha. Sektor perdagangan dengan margin tipis dapat terdampak lebih besar daripada sektor jasa yang memiliki margin lebih tinggi.

Dalam rangka memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak, khususnya pelaku UMKM yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan secara formal, pemerintah menyediakan alternatif metode penghitungan penghasilan kena pajak melalui pendekatan norma. Norma penghitungan adalah pedoman yang dipakai untuk menentukan besarnya penghasilan neto yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak (Direktorat Jenderal Pajak, 2025).

Norma ini ditetapkan berdasarkan jenis usaha dan wilayah, serta rata-rata profitabilitas. Penggunaan norma memberikan solusi praktis bagi UMKM yang belum memiliki kapasitas sumber daya yang memadai dalam menyusun laporan keuangan. Dengan demikian, penghitungan pajak menjadi lebih sederhana dan tetap memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak. Namun demikian, penerapan norma penghasilan neto memiliki tantangan terkait keadilan fiskal karena tarifnya bersifat umum dan tidak selalu mencerminkan realitas ekonomi masing-masing pelaku usaha.

Kebijakan pajak final untuk UMKM perlu dievaluasi dan disesuaikan agar mendorong UMKM masuk ke sistem perpajakan reguler yang lebih mencerminkan kapasitas ekonominya secara proporsional. Secara umum, kebijakan pajak final UMKM dengan tarif 0,5% atas omzet memang berhasil mencapai sebagian dari tujuannya, khususnya dalam aspek penyederhanaan administrasi pajak dan peningkatan kepatuhan formal di kalangan pelaku UMKM. Hal ini mencerminkan keberhasilan kebijakan dari sisi perluasan basis pajak dan reduksi beban kepatuhan (compliance cost), yang sebelumnya menjadi hambatan utama bagi UMKM untuk masuk dalam sistem perpajakan.

Namun demikian, jika ditinjau dari sisi substansi fiskal, kebijakan ini belum sepenuhnya mencapai tujuan jangka panjangnya, seperti keadilan perpajakan, peningkatan transparansi usaha, dan kesinambungan penerimaan negara. Sifat final dan flat dari tarif 0,5% tidak membedakan antara UMKM berkeuntungan tinggi atau rendah, sehingga kurang mendorong perbaikan tata kelola keuangan dalam jangka panjang.

Selain itu, kebijakan ini belum cukup berhasil mendorong transformasi struktural UMKM ke level usaha menengah yang lebih mapan Banyak pelaku UMKM bertahan pada skema tarif final karena praktis dan mudah sehingga terjadi “stagnasi kepatuhan.” Padahal, tujuan strategis dari kebijakan seharusnya menarik dan membina UMKM agar siap pada sistem perpajakan berbasis laba yang lebih akuntabel.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa meskipun kebijakan ini efektif secara administratif, efektivitas substansialnya masih terbatas. Tujuan jangka pendek mungkin tercapai, tetapi tujuan jangka panjang seperti keadilan fiskal, peningkatan tata kelola usaha, dan pertumbuhan sektor formal masih membutuhkan pendekatan kebijakan yang lebih komprehensif dan bertahap.

Berdasarkan uraian kebijakan tarif pajak final 0,5% bagi UMKM dan data-data terkait, dapat disimpulkan bahwa Indonesia Indonesia belum mencapai tujuan idealnya terutama dari segi keadilan fiskal dan efektivitas jangka panjang. Di satu sisi, kebijakan ini telah mempermudah administrasi, meningkatkan kepastian hukum, dan mendorong partisipasi UMKM dalam perpajakan, yang terlihat dari pertumbuhan UMKM pascapandemi dan peningkatan penerimaan pajak yang terus menunjukkan tren positif selama tiga tahun terakhir. Peningkatan tersebut juga didorong oleh reformasi di DJP dan berbagai insentif yang memperkuat kepatuhan sukarela. Namun, dari sisi substansi keadilan pajak, kebijakan ini menyisakan sejumlah tantangan mendasar. Tarif pajak final berbasis omzet mengabaikan variasi margin keuntungan UMKM, sehingga merugikan UMKM yang memiliki margin kecil.

Hal ini bertentangan dengan prinsip equity dalam teori perpajakan, termasuk teori keadilan distributif dan komutatif menurut Zippelius, yang menekankan perlakuan fiskal yang proporsional terhadap kapasitas ekonomi masing-masing wajib pajak. Dengan demikian, walaupun kebijakan ini sukses dalam aspek administrative feasibility dan simplicity, namun keberhasilan dari sisi justice dan economic accuracy masih terbatas.

Indonesia masih perlu mengembangkan kebijakan yang lebih adaptif, seperti pendekatan hybrid antara omzet dan laba bersih atau dengan memberikan opsi pembukuan sederhana bagi UMKM yang mulai berkembang untuk dapat mencapai sistem perpajakan yang adil, efisien, sederhana, dan mampu mencerminkan kemampuan ekonomi riil wajib pajak dalam jangka panjang.

Terdapat sejumlah dampak tak terduga (unintended impact) dari penerapan kebijakan tarif pajak final sebesar 0,5% atas omzet UMKM yang perlu dikaji secara kritis. Pertama, kebijakan ini menyebabkan beban pajak yang tidak proporsional terhadap margin keuntungan. Karena dasar pengenaan pajaknya adalah omzet, bukan laba bersih, UMKM dengan margin keuntungan rendah dikenakan jumlah pajak yang sama dengan UMKM yang memiliki margin besar.

Hal ini menimbulkan tekanan fiskal bagi pelaku usaha yang berada pada sektor dengan biaya tinggi dan persaingan harga yang ketat. Kedua, terdapat disinsentif bagi pelaku usaha untuk berkembang (growth disincentive), karena cenderung menjaga skala usaha agar tidak terkena kewajiban pajak yang lebih kompleks. Ketiga, kebijakan ini dapat menciptakan distorsi kompetisi antar UMKM. UMKM yang efisien dengan margin tinggi mampu menanggung beban pajak dengan lebih ringan dibandingkan UMKM dengan margin kecil, sehingga kompetisi menjadi tidak setara secara struktural.

Selain itu, minimnya persyaratan administrasi seperti pembukuan atau pelaporan laba-rugi membuat pengelolaan keuangan menjadi kurang transparan dan menyulitkan akses ke lembaga keuangan karena tidak tersedianya dokumen keuangan yang diperlukan. Penggunaan basis omzet sebagai dasar pajak membuka peluang terjadinya pelaporan yang tidak akurat atau manipulatif. Pelaku usaha mungkin tergoda untuk melaporkan omzet yang lebih rendah dari realita guna menekan kewajiban pajak, yang pada gilirannya menyulitkan otoritas pajak dalam pengawasan dan validasi data.

Penerapan kebijakan tarif pajak final sebesar 0,5% bagi pelaku UMKM pada dasarnya mencerminkan prinsip Ease of Administration dalam administrasi perpajakan. Kebijakan ini memberikan kemudahan pelaporan dan pembayaran pajak, terutama bagi pelaku usaha dengan kapasitas administrasi terbatas. Dari perspektif final income tax, pendekatan ini menghilangkan kewajiban pembukuan dan pelaporan komprehensif, sehingga memperkecil beban kepatuhan pajak (compliance cost) pada sektor UMKM.

Namun demikian, bila dikaitkan dengan ETR, kebijakan ini menimbulkan distorsi, karena tarif tunggal yang dikenakan tanpa mempertimbangkan tingkat laba atau kapasitas riil masing-masing pelaku usaha dapat menyebabkan ketidakadilan horizontal. Terakhir, sistem ini menyulitkan pemerintah dalam melakukan analisis fiskal berbasis kapasitas riil UMKM karena tidak tersedia data informasi keuangan yang representatif.

Ketiadaan informasi ini dapat mengaburkan evaluasi kontributif sektor UMKM terhadap penerimaan negara serta menghambat perumusan kebijakan fiskal berbasis bukti (evidence-based policy). Dengan demikian, meskipun tarif final 0,5% memberikan simplifikasi prosedural, berbagai dampak negatif yang menyertainya menuntut peninjauan ulang untuk memastikan kesesuaian dengan prinsip keadilan, efisiensi, dan keberlanjutan fiskal.

Kebijakan pengenaan tarif pajak final sebesar 0,5% dari omzet bagi pelaku UMKM telah memberikan kemudahan administratif dan meningkatkan partisipasi UMKM dalam sistem perpajakan nasional. Namun, untuk meningkatkan keadilan fiskal dan kontribusi UMKM terhadap pertumbuhan ekonomi, kebijakan ini perlu perlu disempurnakan di masa mendatang.

Salah satu arah perbaikannya adalah dengan menerapkan pajak progresif yang lebih adil, di mana tarif disesuaikan berdasarkan keuntungan agar UMKM dengan margin rendah tidak menanggung beban yang sama seperti yang bermargin tinggi, sejalan dengan prinsip ability to pay. Kebijakan tarif pajak final sebesar 0,5% dirancang untuk menyederhanakan kewajiban administrasi perpajakan, terutama bagi pelaku usaha dengan keterbatasan kapasitas pencatatan dan pelaporan.

Namun, dalam pelaksanaannya, sistem ini menimbulkan isu ketidakadilan karena tidak mempertimbangkan variasi margin keuntungan antar pelaku usaha. Dalam konteks ETR, skema ini menghasilkan beban pajak efektif yang tidak proporsional. Sebagai alternatif, pendekatan berbasis norma dapat diintegrasikan kembali dalam skema pengenaan pajak final. Meskipun norma ini telah lama diberlakukan sebelum kemunculan tarif final 0,5%, secara hukum ia tetap berlaku dan dapat dimanfaatkan untuk memperkirakan penghasilan neto wajib pajak berdasarkan omzet dan karakteristik sektoral. Dalam skema ini, perhitungan dilakukan dengan mengalikan omzet dengan tarif norma untuk menghasilkan estimasi penghasilan neto, yang kemudian dikalikan dengan tarif final.

Skema ini tetap sederhana, namun lebih adil karena mempertimbangkan estimasi laba usaha sebagai dasar pengenaan pajak, sekaligus menurunkan beban pajak secara signifikan dibanding skema 0,5%. Pendekatan ini membawa nuansa baru dalam Final Income Tax, dengan mengombinasikan prinsip kemudahan dan keadilan, selain memberikan simplifikasi prosedural, model ini juga menjawab kritik terhadap ketimpangan beban pajak antar pelaku UMKM. Oleh karena itu, peninjauan ulang terhadap kebijakan tarif final perlu dipertimbangkan.

Dalam rangka menciptakan sistem perpajakan yang tidak hanya sederhana tetapi juga adil, pendekatan berbasis Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) dapat diadaptasi dan dikombinasikan ke dalam skema tarif final. Meskipun selama ini NPPN digunakan dalam kerangka perhitungan pajak dengan tarif progresif dalam konteks reformasi kebijakan UMKM, NPPN dapat dikombinasikan dengan tarif final untuk menghasilkan sistem yang sederhana dan lebih adil dibanding sistem final 0,5% langsung atas omzet. Dalam usulan ini, perhitungan dilakukan dengan rumus: Omzet × Tarif Norma × Tarif Final, di mana tarif final yang digunakan bukan lagi 0,5%, tetapi sebesar 0,1%.

Artinya, norma digunakan untuk memperkirakan laba usaha, namun tidak dikalikan tarif progresif seperti pada skema pelaporan penuh, melainkan tetap menggunakan tarif final. Tujuannya adalah mempertahankan kesederhanaan administratif, sekaligus menghadirkan dimensi keadilan melalui pengenaan pajak atas estimasi laba.

Skema ini tetap memberikan kemudahan bagi pelaku UMKM yang belum mampu menyusun pembukuan, namun memberikan pengurangan beban pajak (tax reduction) yang lebih proporsional karena tidak semua omzet dianggap sebagai dasar pengenaan pajak. Jika dibandingkan dengan sistem final 0,5% langsung atas omzet, penggunaan norma terlebih dahulu untuk memperkirakan neto kemudian dikenakan tarif final 0,1% akan memberikan beban pajak yang lebih adil, terutama bagi pelaku UMKM dengan margin laba rendah.

Dengan demikian, pendekatan ini secara tidak langsung menjawab kritik terhadap sistem final yang dianggap “lump-sum” dan tidak memperhatikan kemampuan membayar (ability to pay). Meskipun bersifat normatif dan bukan berbasis laporan keuangan aktual, penggunaan norma tetap mewakili profit sebagai dasar keadilan vertikal dan horizontal dalam perpajakan.

Maka, kombinasi ini bukan sekadar teknis fiskal, tetapi juga mencerminkan kompromi antara prinsip keadilan dan prinsip ease of administration. Usulan tarif final sebesar 0,1% didasarkan pada prinsip kompetitivitas dan benchmark global, terutama merujuk pada yurisdiksi seperti Bahama dan Kepulauan Cayman yang hingga saat ini memberlakukan tarif PPh badan sebesar 0%. Sebagai negara dengan struktur pajak yang sangat rendah (bahkan nihil), kedua negara tersebut menarik perhatian dunia usaha karena memberikan kemudahan dan insentif fiskal yang kuat. Dalam kerangka ini, Indonesia sebagai negara berkembang perlu merancang skema yang tetap memberikan kontribusi fiskal dari sektor informal dan UMKM, namun tidak membebani secara berlebihan.

Tarif 0,1% atas laba estimasi menjadi titik temu antara asas keadilan, kemudahan, dan penerimaan negara, juga menjadi bentuk signal bahwa negara memberikan dukungan penuh terhadap sektor UMKM sebagai tulang punggung ekonomi nasional. Dibanding skema flat 0,5% atas omzet, pendekatan berbasis laba estimasi lebih representatif dan adil, khususnya bagi UMKM yang beroperasi di sektor dengan margin tipis.

Dalam kesimpulannya, skema kombinasi norma penghasilan neto dan tarif final 0,1% ini dapat dikembangkan sebagai model Tarif Final Alternatif yang sederhana dan adil. Hal ini sekaligus menjawab kebutuhan akan sistem perpajakan yang berlandaskan pada simplifikasi, efisiensi, dan keadilan fiskal yang lebih inklusif terhadap keragaman kondisi usaha di sektor UMKM.

Dari sisi keadilan fiskal, tarif 0,1% menjadi bentuk kompromi yang adil karena pajak dikenakan atas laba estimatif, bukan atas omzet kotor. Artinya, walaupun skema ini tetap bersifat final dan sederhana, ia mengandung elemen ability to pay karena estimasi profit menjadi dasar pengenaan pajak. Secara fiskal makro, penurunan tarif dari 0,5% ke 0,1% dapat dikompensasi dengan perluasan basis pajak yang lebih adil dan realistis.

Penerapan skema ini juga menghindari “over-taxation” terhadap UMKM yang operasionalnya efisien tetapi profitabilitasnya rendah. Pemilihan tarif 0,1% juga mempertimbangkan bahwa dalam sistem final berbasis norma, beban pajak tidak bisa disamakan dengan tarif final atas omzet kotor. Oleh sebab itu, 0,1% dinilai optimal karena secara praktis setara atau bahkan lebih rendah dari ETR riil pelaku UMKM di banyak sektor, sekaligus menjaga daya saing, arus kas, dan insentif untuk patuh. Dengan demikian, tarif final 0,1% atas omzet setelah dikalikan norma penghasilan neto dapat dikembangkan sebagai skema Tarif Final II, yaitu tarif final berbasis estimasi laba, bukan omzet bruto.

Skema ini tetap mempertahankan kesederhanaan prosedural, namun lebih akurat merefleksikan kemampuan ekonomis wajib pajak, sehingga memberikan keseimbangan antara efisiensi sistem dan prinsip keadilan fiskal yang inklusif. Selanjutnya, penting juga untuk mendorong penggunaan aplikasi pembukuan digital untuk meningkatkan literasi keuangan dan transisi ke sistem pajak berbasis laba. Kebijakan yang fleksibel juga diperlukan dengan memberi opsi pilihan skema pajak kepada pelaku UMKM, baik tetap menggunakan skema final maupun beralih ke pembukuan biasa, sesuai dengan kapasitas administratif dan skala usaha masing-masing.

Dalam mendukung hal tersebut, pemerintah juga perlu memperkuat literasi perpajakan dan pendampingan UMKM, terutama melalui kolaborasi dengan perguruan tinggi, dinas koperasi usaha kecil dan menengah (DINKOP UKM), konsultan pajak, dan komunitas bisnis lokal, agar kepatuhan pajak yang dibangun bersifat sukarela dan berbasis pemahaman yang kuat.

Untuk menjaga keberlangsungan usaha kecil yang memiliki margin laba rendah atau yang terdampak krisis seperti pandemi, disarankan adanya perluasan insentif atau pengurangan tarif sementara sebagai bentuk perlindungan fiskal. Terakhir, skema pajak final dapat diharmonisasikan dengan tujuan pembangunan sosial dan lingkungan melalui insentif tambahan, seperti tarif lebih rendah bagi UMKM yang ramah lingkungan dan berorientasi ekspor.

Dengan berbagai perbaikan tersebut, kebijakan perpajakan terhadap UMKM tidak hanya menjadi alat penghimpunan penerimaan negara, tetapi juga menjadi instrumen strategis dalam mendukung pembangunan ekonomi yang adil, inklusif, dan berkelanjutan.

Penulis adalah anggota IKPI Cabang Kota Bandung

Juan Kasma, Alvi Diani Khoirunissa

Email: alvidianikhoirunissa@gmail.com

 

DAFTAR PUSTAKA

Ayman Falak , M. (2023). “A guide to taxation in thailand. ASEAN Business News”. https://www.aseanbriefing.com/news/a-guide-to-taxation-in-thailand.

Direktorat Jenderal Pajak (2023). “Keadilan dalam tata cara perpajakan indonesia: Tantangan dan harapan”. http://pajak.go.id/id/artikel/keadilan-dalam-tata-cara-perpajakan-indonesia-tantangan-dan-harapan

Direktorat Jenderal Pajak (2023). “UMKM marak, ekonomi bergerak, dan peran pajak”. http://pajak.go.id/id/artikel/umkm-marak-ekonomi-bergerak-dan-peran-pajak

Direktorat Jenderal Pajak (2025).”Jangan Sampai Terlewat Pemberitahuan Penggunaan Norma (NPPN)”. https://pajak.go.id/id/artikel/jangan-sampai-terlewat-pemberitahuan-penggunaan-norma-nppn

Kadin Indonesia (2023). “Umkm indonesia”. https://kadin.id/data-dan-statistik/umkm-indonesia/

Thirosha (2025). “Malaysian SME Tax Incentives Guide 2025”, Incorp Malaysia. https://malaysia.incorp.asia/guides/malaysian-sme-tax-incentives-guide/

PwC (2025), “Singapore CorporateTaxes on Corporate Income”. 2025, https://taxsummaries.pwc.com/singapore/corporate/taxes-on-corporate-income

Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 Tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan.

Rosdiana, Edi Slamet Irianto & Titi Muswati Putranti, Teori Pajak Pertambahan Nilai: Kebijakan Dan Implementasinya di indonesia (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011, 82)

 

 

 

 

Menyongsong Enam Dekade IKPI

Tanggal 27 Agustus 2025 menjadi tonggak bersejarah bagi Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), yang genap berusia 60 tahun. Sebuah perjalanan panjang yang penuh arti, menghadirkan momen refleksi, syukur, sekaligus semangat baru untuk terus maju. Sebagai organisasi profesi yang konsisten berkontribusi dalam bidang perpajakan, IKPI menyambut hari jadinya dengan rangkaian kegiatan inspiratif yang menggambarkan semangat kebersamaan, profesionalisme, dan dedikasi terhadap bangsa.

Rangkaian perayaan dimulai dengan Lomba Cerdas Cermat Mahasiswa, yang dirancang sebagai ruang aktualisasi generasi muda dalam memahami dunia perpajakan secara komprehensif. Kompetisi ini tak hanya menjadi ajang adu pengetahuan, tetapi juga sebagai upaya membangun budaya literasi pajak sejak dini. IKPI berharap, kegiatan ini bisa mempererat hubungan dunia akademik dengan praktik profesional, sekaligus mengenalkan lebih luas peran strategis konsultan pajak kepada calon-calon profesional masa depan.

Berikutnya, semangat sportivitas dan solidaritas diwujudkan melalui Turnamen Golf IKPI 60 Tahun. Turnamen ini terbuka untuk seluruh anggota IKPI dari berbagai daerah serta masyarakat umum yang memiliki minat terhadap olahraga golf. Lebih dari sekadar pertandingan, ajang ini menjadi wahana kolaborasi dan komunikasi yang menyenangkan dalam suasana penuh keakraban, sekaligus simbol semangat kebugaran dan keseimbangan hidup di kalangan profesional pajak.

Tak kalah menarik, kegiatan Gowes Bersama turut digelar sebagai bentuk kepedulian terhadap gaya hidup sehat dan kebersamaan. Rute yang dilalui mencerminkan perjalanan panjang IKPI yang ditempuh dengan semangat, kesatuan, dan komitmen. Ini bukan sekadar kegiatan fisik, tetapi juga sarana mempererat tali persaudaraan antaranggota dan komunitas.

IKPI juga menunjukkan kepeduliannya terhadap kemanusiaan melalui aksi Donor Darah. Sebuah bentuk kontribusi sosial yang nyata, di mana setetes darah menjadi simbol kasih dan pengabdian. Di usia yang ke-60 ini, IKPI ingin terus menebar manfaat tidak hanya melalui peran profesional, tetapi juga melalui aksi-aksi yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat.

Sebagai organisasi berbasis keilmuan, IKPI menyelenggarakan Seminar Nasional yang menjadi panggung berbagi gagasan dan memperdalam pemahaman isu strategis di bidang perpajakan dan kebijakan fiskal. Para pakar, praktisi, akademisi, serta anggota IKPI hadir dan berkontribusi aktif, membahas dinamika terbaru dan menawarkan solusi atas tantangan perpajakan nasional. Seminar ini memperkuat posisi IKPI sebagai mitra strategis dalam pembangunan nasional yang berpijak pada pemikiran kritis dan konstruktif.

Puncak perayaan digelar dalam Perayaan HUT ke-60 di Pullman Hotel Jakarta, sebagai bentuk syukur atas perjalanan panjang yang telah ditempuh. Momentum ini menjadi ajang silaturahmi, refleksi sejarah, serta peneguhan komitmen bersama untuk terus melangkah lebih maju demi profesi konsultan pajak yang makin kuat, bermartabat, dan relevan bagi pembangunan Indonesia.

Kehadiran dan partisipasi seluruh anggota menjadi bagian penting dalam menyemarakkan perayaan ini. Mari kita rayakan enam dekade IKPI dengan penuh kebanggaan, semangat kebersamaan, dan tekad untuk terus berkarya bagi Nusa dan Bangsa.

IKPI untuk Nusa Bangsa.

Penulis adalah anggota Departemen Pendidikan, Pengurus Pusat IKPI

Tintje Beby S.E, Ak, A-CPA, BKP 

Email: tibeb.sugandi@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

Mengenal Dua Model  Jenis Perjanjian Jasa Konsultan Pajak

Hubungan antara Konsultan Pajak dengan Kliennya adalah hubungan yang bersifat keperdataan. Keperdataan disini berarti adanya kesetaraan posisi antara Konsultan Pajak dengan Klien, sekalipun Konsultan Pajak menerima honorarium / fee dari Kliennya tersebut. Dalam memberikan jasanya, Konsultan Pajak tidak dibawah perintah atau disupervisi oleh Kliennya. Konsultan Pajak murni memberikan jasanya secara independen dan patuh terhadap standar profesi, kode etik Konsultan Pajak, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dimana Konsultan Pajak tersebut bernaung serta peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Konsultan Pajak perlu senantiasa menjaga independensi dan kesetaraannya ini agar terhindar dari risiko-risiko yang mungkin terjadi di kemudian hari. Salah satu risiko yang mungkin terjadi adalah gugatan ganti rugi dari Kliennya atau bahkan Konsultan Pajak dapat terjerat pidana, baik sebagai pelaku maupun pasal pidana penyertaan. Guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan tersebut, Konsultan Pajak perlu membentengi hubungan dengan Kliennya melalui suatu Surat Ikatan Tugas atau disingkat SIT (Engagement Letter) yang biasanya berbentuk perjanjian jasa Konsultan Pajak.

Perjanjian jasa Konsultan Pajak berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang merupakan aturan main yang wajib dipatuhi baik oleh Konsultan Pajak maupun Kliennya. Hak dan kewajiban yang tercantum tersebut merupakan hasil negosiasi yang disepakati, yang biasanya Konsultan Pajak menyanggupi memberikan jasa untuk melaksanakan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan Klien dan sebaliknya Klien menyanggupi membayar honorarium / fee atas jasa yang telah dilakukan oleh Konsultan Pajak tersebut.

Kemampuan bernegosiasi sangatlah menentukan isi dari perjanjian ini, tak jarang Konsultan Pajak tergiring untuk memenuhi target / hasil tertentu yang diinginkan oleh Kliennya. Isi perjanjian dengan target / hasil tertentu inilah yang perlu dihindari agar Konsultan Pajak terlepas dari risiko-risiko yang tidak diinginkan.

Dalam suatu perjanjian untuk memberikan jasa, setidaknya dikenal dua model / jenis yang kerap ditemui. Model / jenis yang pertama adalah perjanjian dengan hasil tertentu (result oriented obligation) dan model / jenis yang kedua adalah perjanjian dengan upaya terbaik (duty to exert best efforts).

Sebagaimana yang telah disampaikan pada akhir paragraf ketiga di atas, perjanjian dengan hasil tertentu (result oriented obligation) merupakan perjanjian yang harus dihindari oleh Konsultan Pajak ketika bernegosiasi maupun dalam penandatanganan perjanjian jasa Konsultan Pajak. Salah satu ciri dari perjanjian dengan hasil tertentu (result oriented obligation) ini adalah adanya klausula-klausula yang mewajibkan Konsultan Pajak menjamin bahwa pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban pajak klien selesai sesuai keinginan kliennya. Secara lebih konkrit, misalnya: Konsultan Pajak menyanggupi bahwa keberatan / banding yang diajukan pasti diterima / dimenangkan sesuai dengan keinginan Kliennya.

Model / jenis perjanjian dengan upaya terbaik (duty to exert best efforts) merupakan perjanjian yang ideal dalam suatu pemberian jasa Konsultan Pajak. Pada model / jenis perjanjian ini tidak ada kewajiban atau bahkan jaminan pencapaian target / hasil tertentu sesuai keinginan Klien.

Konsultan Pajak melaksanakan hak dan pemenuhan kewajiban pajak kliennya secara independen dan profesional sesuai dengan daya, upaya serta kehati-hatian yang maksimal dari Konsultan Pajak tersebut. Pada model / jenis perjanjian ini, Konsultan Pajak bertanggung jawab terhadap proses pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan klien tetapi tidak terhadap hasil akhir tertentu yang diinginkan kliennya.

Adanya Perjanjian dengan model / jenis upaya terbaik (duty to exert best efforts) yang dibuat oleh Konsultan Pajak dengan Kliennya, merupakan pengejawantahan dari Standar Profesi dan Kode Etik IKPI. Dalam Standar Profesi IKPI, khususnya Bagian II angka 3.2.2. disebutkan bahwa:

“Anggota sangat dianjurkan untuk membuat Surat Ikatan Tugas atau disingkat SIT (Engagement Letter / EL) kepada klien berkaitan dengan persyaratan penugasan yang merupakan ikatan perjanjian dengan klien. Ikatan tugas merupakan ruang lingkup penugasan yang harus dilaksanakan, yang dapat digunakan untuk penyelesaian sengketa jika timbul perselisihan di kemudian hari.”

dan Kode Etik IKPI, khususnya pada Bab III dibawah judul Hubungan dengan Klien Pasal 4 tercantum bahwa:

“Konsultan Pajak dilarang memberikan jaminan kepastian kepada klien atas penyelesaian pekerjaan.”

Demikian tulisan singkat mengenai dua model / jenis perjanjian jasa yang kerap penulis temui di lapangan, semoga tulisan ini dapat sedikit memberikan gambaran untuk rekan-rekan Konsultan Pajak seprofesi dalam menyusun engagement letter-nya.

Penulis adalah anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Bandung

Hari Yanto

Email: hari_yanto_sh@yahoo.co.id

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Pinjaman Tanpa Bunga dan Berbunga antar Pihak-Pihak yg Mempunyai Hububgan Istimewa Bagi WPDN/BUT

Timbulnya transaksi pinjaman dana dalam pihak-pihak yang mempunyai hubungan Istimewa yang diberikan kepada pemegang saham kepada anak perusahaan baik tanpa bunga maupun berbunga. Kemudian dari otoritas pajak atas pinjaman tanpa bunga dapat dikoreksi terutang bunga (deemed bunga) sesuai ayat (1) huruf a nomor 2 Pasal 23 UU PPh, sedangkan atas pinjaman berbunga, biaya bunganya dapat dikoreksi positif menjadi tidak dapat dikurangkan (non deductible) dalam menghitung penghasilan kena pajak sesuai sesuai Pasal 18 ayat (3) UU PPh.

Pinjaman Tanpa Bunga

Biasanya pinjaman tanpa bunga tidak terikat dengan perjanjian tertulis dan jaminan dan dilakukan antar para pihak yang mempunyai hubungan Istimewa (Pasal 18 ayat (4) UU PPh)

Dasar hukum :

Pasal 12 ayat (1), ayat (2) PP Nomor 94 Tahun 2010 jo PP Nomor 45 Tahun 2019 jo PP Nomor 18 Tahun 2021 dan s.t.d.d. PP Nomor 55 Tahun 2022.

Pasal 18 ayat (3), ayat (4) dan Pasal 23 ayat (1) huruf a poin nomor 2 UU PPh

Dalam Pasal 12 ayat (1) , ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010, disebutkan :

(1)

Pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk perseroan terbatas diperkenankan apabila:

pinjaman tersebut berasal dari dana milik pemegang saham itu sendiri dan bukan berasal dari pihak lain;

modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman telah disetor seluruhnya;

pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan merugi; dan

perseroan terbatas penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan keuangan untuk kelangsungan usahanya.

(2)

Apabila pinjaman yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk perseroan terbatas dari pemegang sahamnya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas pinjaman tersebut terutang bunga dengan tingkat suku bunga wajar.

Penjelasan ayat (2)

“Yang dimaksud dengan “tingkat suku bunga wajar” adalah tingkat suku bunga yang berlaku yang ditetapkan sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman (best practice) jika transaksi dilakukan di antara pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan”.

Dalam hal terjadi sebaliknya sebagaimana yang dimaksud Pasal 12 ayat (1) PP No.94 Tahun 2010 , dimana pinjaman diterima dari anak usaha (bukan pemegang saham) ataupun diterima dari pihak terafiliasi (bukan pemegang saham) maka akan dianggap tidak memenuhi ke-empat unsur diatas sehingga dapat dikoreksi menjadi terutang bunga dengan tingkat bunga wajar.

Dilihat bahwa dari ke-4 (empat) unsur diatas, pemenuhan persyaratan lebih ditekankan pada sisi kreditur yaitu sebanyak 3 poin (huruf a,b, c) sedangkan syarat dari sisi debitur hanya 1 poin (huruf d). Persyaratan yang berlaku bersifat kumulatif, apabila salah satu dari ke-4 (empat) syarat tersebut tidak terpenuhi maka akan dilakukan dikoreksi menjadi terutang bunga dengan tingkat bunga wajar.

Maksud dari Pasal 12 ayat (1) huruf a (sisi kreditur) adalah pemberi pinjaman (pemegang saham) dapat membuktikan hartanya lebih besar dari utang, dimaknai pemberi pinjaman mempunyai kemampuan finansial untuk memberikan pinjaman dari dana milik pemegang saham itu sendiri. Selain itu pemenuhan syarat Pasal 12 ayat (1) huruf a tidak terpenuhi dalam hal hutang/pinjaman tidak tercatat dalam SPT Tahunan PPh Badan penerima pinjaman.

Maksud dari Pasal 12 ayat (1) huruf b (sisi kreditur) adalah pemberi pinjaman (pemegang saham) dapat membuktikan modal pemegang saham pemberi pinjaman sebagaimana yang tertera sebagai paid-in capital di akta perusahaan , sudah disetor seluruhnya.

Maksud dari Pasal 12 ayat (1) huruf c (sisi kreditur), dibuktikan/ didukung beberapa fakta dimana pemberi pinjaman (pemegang saham) :

Tidak melaporkan rugi dalam SPT Tahunan PPh Badan dan Laporan Keuangan yang telah diaudit (jika ada).

Dalam hal pihak otoritas pajak menyatakan pemberi pinjaman dalam kondisi rugi yang dilihat dari saldo laba ditahan (ekuitas) menyatakan masih minus, perlu dipahami bahwa karena Pasal 12 ayat (1) huruf c tidak mengatur secara jelas yang dimaksud kondisi merugi maka untuk mengambil pilihan hukum dapat diterapkan asas in dubio contra fiscum maka kondisi rugi ditentukan berdasarkan laba (rugi) di tahun berjalan, bukan dari akumulasi rugi (retained earning).

Maksud dari Pasal 12 ayat (1) huruf d (sisi debitur) , kesulitan keuangan dimaknai perusahaan tidak dapat memenuhi kewajiban lancarnya demi kelangsungan usaha. Keadaan merugi yang ditunjukkan dalam Laporan Keuangan Fiskal dalam SPT Tahunan PPh Badan dan Laporan Audit secar komersial komersial tidak serta merta menunjukkan perusahaan dalam kesulitan keuangan.

Salah satu pembuktian dapat melalui :

Analisa Laporan Keuangan seperti rasio likuiditas yaitu cash ratio, quick ratio, current ratio dari perusahaan sejenis (sektor/subsektor, industri dan bidang usaha) ditahun yang dimaksud dengan mengambil beberapa perusahaan pembanding sehingga didapatkan perhitungan benchmarking, apakah rasio likuiditas perusahaan penerima pinjaman berada diatas atau dibawah rata-rata rasio industrinya. Rasio likuiditas kurang dari 1 mengindikasikan kapasitas perusahaan untuk tetap beroperasi dan bertahan dalam kondisi keuangan yang buruk sehingga dianggap memiliki masalah /kesulitan keuangan (financial distress)

Metote Altman Z Score untuk memprediksi kebangkrutan perusahaann non-go public (badan usaha non bursa). Apabila Z Score dibawah angka 1 dikategorikan sebagai Perusahaan yang memiliki kesulitan keuangan

Analisis rasio modal kerja bersih, dimana aset lancer perusahaan tidak melebihi kewajiban lancer sebagai indikasi perusahan mengalami kesulitan keuangan, yaitu kesulitan untuk tumbuh dalam membayar kembali hutang kepada kreditur jangka pendek.

PINJAMAN BERBUNGA

Pasal 18 (3) UU PPh, menyebutkan :

“Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan Istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan Istimewa…….”

Penjelasan Pasal 18(3) UU PPh, menyebutkan :

Pada Alinea 1

“Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak, yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang dari semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal demikian, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya di antara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan Istimewa”…

Pada Alinea 2

“Demikian pula kemungkinan terdapat penyertaan modal secara terselubung, dengan menyatakan penyertaan modal tersebut sebagai utang, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan utang tersebut sebagai modal Perusahaan”….

Pada Alinea 3

Dengan demikian bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang yang dianggap sebagai penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk dikurangkan, sedangkan bagi pemegang saham yang menerima atau memperolehnya dianggap sebagai dividen yang dikenakan pajak.

Besaran bunga dapat dianggap tidak wajar apabila menggunakan suku bunga yang lebih rendah dari nilai wajar berdasarkan rata-rata suku bunga kredit Bank Indonesia/ 7 Day-Repo Rate (BI Rate).

Apabila pemegang saham memberikan pinjaman berupa penundaan pembayaran hutang dagang dari pemegang saham sehingga menimbulkan biaya bunga yang mengakibatkan pengurangan pembayaran pajak penghasilan maka pemberian (dapat dianggap sebagai penyertaan) modal dengan pemberian pinjaman oleh pemegang saham seperti ini dikenal dengan thin capitalization sehingga dapat diklasifikasi sebagai dividen (terselubung).

Dalam hal diketahui biaya bunga berasal dari pinjaman dengan pihak yang mempunyai hubungan Istimewa yang kemudian dikoreksi dianggap penyertaan modal maka biaya tersebut tidak dapat dikurangkan (non deductible) dalam menghitung penghasilan kena pajak , sedangkan bagi penerima penghasilan bunga dianggap sebagai dividen yang terutang PPh.

Hal ini sesuai Pasal 9 ayat (1) huruf f UU PPh yang menyebutkan…. “Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan : jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan…..”

Selanjutnya dalam hal transaksi antara pemberi pinjaman selaku pemegang saham dan penerima pinjaman selaku anak Perusahaan (afiliasi) yang ke-duanya merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri bisa diterapkan Pasal 18 ayat (3) UU PPh. Dampak selanjutnya terhadap lawan transaksi juga harus dilakukan Correlative Adjustment untuk menghindari Double Taxation dan menciptakan keadilan dan kepastian hukum. Faktanya sering ditemukan , pihak otoritas pajak hanya melakukan koreksi negatif biaya bunga pada penerima pinjaman tanpa melakukan koreksi positif penghasilan bunga dan koreksi negatif kredit pajak pada pihak pemberi pinjaman. Pihak otoritas pajak yang tidak melakukan Correlative Adjustment terhadap lawan transaksi akan menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum bagi kedua belah pihak.

Disisi lain, apabila kemudian dilakukan Correlative Adjustment di pihak lawan transaksi maka perlu dipertanyakan ke-efektifitas koreksi ini karena tidak terdapat tax benefit bagi otoritas pajak sehubungan tidak adanya perbedaan tarif PPh atas transaksi antar WPDN/BUT yang pengenaan pajaknya sama-sama dikenakan PPh tidak final.

Penulis adalah anggota Departemen Keanggotaan dan Pembinaan IKPI

Eddy Christian, SE., M.Ak., BKP

Email : eddychris1090@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

Perlukah Pengenaan PPh 22 Untuk Penjualan Online ?

Pemerintah baru-baru ini mengumumkan akan mengenakan pajak atas transaksi melalui e-commerse dimana setiap penjual akan dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 0,5% dari peredaran usaha, pengenaan PPh ini akan dikenakan bagi penjual yang mempunyai omzet antara 500 juta sd 4,8 Milyar setahun, sehingga bagi penjualan yang omzetnya kurang dari 500 juta per tahun tidak akan dikenakan PPh. Di satu sisi wacana pengenaan PPh tersebut merupakan terobosan dan memberikan keadilan antara penjual bagi yang melakukan penjualan online maupun offline, selain itu untuk mencegah terjadinya shadow economy, namun disisi lain banyak juga yang mengecam rencana pengenaan PPh tersebut, apalagi di tengah kondisi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja.

Berdasarkan data transaksi selama 6 tahun terakhir, terjadi peningkatan nilai transaksi melalui e-commerse tersebut sebagaimana data berikut ini :

Penulis berpendapat pentingnya perluasan basis pajak yang menjunjung keadilan, kepastian hukum, dan kesederhanaan. Metode withholding tax (pengenaan PPh Pasal 22) mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan system pembayaran pajak lainnya. Keunggulan system withholding tax tersebut antara lain :

1. Meningkatkan efektifitas dan kepastian penerimaan pajak;

2. Mengurangi resiko penghindaran dan penggelapan pajak;

3.Biaya administrasi lebih efisien;

4.Mendorong kepatuhan sukarela;

5. Penerimaan pajak lebih stabil.

Namun upaya Pemerintah mengatasi shortfall penerimaan pajak dengan pengenaan PPh 22 bagi pelaku usaha yang mempunyai peredaran usaha lebih dari 500 juta per tahun sd 4,8 Milyar per tahun masih menyisakan banyak pertanyaan seperti berikut :

  1. Sifat PPh Pasal 22 adalah pajak tidak final, artinya bagi pelaku usaha yang telah dipungut PPh Pasal 22 oleh pengusaha marketplace, namun masih mempunyai kewajiban membayar PPh Final UMKM sebesar 0,5%. Memang kelebihan pembayaran pajak bisa dilakukan restitusi (pengembalian) namun prosesnya harus melalui pemeriksaan dan sangat rumit.
  2. Bagaimana bagi pengusaha yang mempunyai omzet lebih dari 4,8 Milyar setahun, jika tidak dipungut PPh Pasal 22, maka dimana keadilannya ?
  3. Pemilik marketplace akan dibebani untuk memungut, membayar, dan melaporkan PPh Pasal 22 tersebut, dan mempunyai kewajiban untuk memberikan bukti pemungutan PPh 22 kepada penjual di marketplace, apakah pemilik marketplace sudah siap secara administrasinya ?
  4. Bagaimana jika pelaku usaha memiliki omzet dibawah 500 jt setahun hanya untuk 1 marketplace, sedangkan jika digabung dengan omzet di marketplace lain omzetnya bisa lebih dari 500 juta?
  5. Penerapan pajak yang mendadak tanpa ada waktu sosialisasi yang cukup bagi pelaku usaha, disamping menimbulkan penolakan, juga akan menyulitkan para pihak.

Ada hal yang perlu dicermati, sampai saat ini Pemerintah hanya meningkatkan basis pajaknya hanya ditujukan kepada WP dalam Negeri, namun hal yang tidak lupa dilakukan ialah meningkatkan juga basis pajak bagi pengusaha luar negeri yang sekian lama menerima penghasilan dari Indonesia, seperti youtube, facebook, instragram, netflik, dsbnya.

Walaupun telah ada dasar hukumnya yaitu Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2019, di Pasal 7 ayat

  1. Pelaku Usaha Luar Negeri yang secara aktif melakukan penawaran dan/atau melakukan PMSE kepada Konsumen yang berkedudukan di wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memenuhi kriteria tertentu dianggap memenuhi kehadiran secara fisik di Indonesia dan melakukan kegiatan usaha secara tetap di wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  2. Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a. jumlah transaksi;

b.nilai transaksi;

c.jumlah paket pengiriman; dan/atau

d. jumlah traffic atau pengakses.

Sampai saat ini Pelaku usaha PMSE luar negeri belum ada yang ditetapkan sebagai bentuk usaha tetap (BUT) sehingga atas penghasilan nya dapat dipajaki oleh Pemerintah, memang sekarang Pemerintah telah banyak menetapkan PSME tersebut sebagai pemungut PPN, namun PPN yang dipungut itu beban konsumen Indonesia, dan bukan penghasilan dari pelaku usaha luar negeri tersebut. Walaupun penetapan PMSE luar negeri sebagai BUT Indonesia tentunya tidak mudah, karena akan mendapatkan tentangan dari negara lain. Namun itulah yang harus terus diperjuangkan oleh Pemerintah, agar penghasilan yang berasal dari Indonesia dapat dikenakan pajak juga oleh Indonesia.

Penulis adalah Ketua Departemen PPKF IKPI

Pino Siddharta

Email: pinosiddharta@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

Dimensi Hukum PPN DTP atas Rumah Tapak dan Rusun

Insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) atas penyerahan Rumah Tapak dan Satuan Rumah Susun merupakan kebijakan ekonomi yang ditujukan untuk menstimulasi daya beli masyarakat pada sektor perumahan. Pemanfaatan insentif PPN DTP ini, terkait erat dengan makna kata “penyerahan” dan kata “pemindahtanganan” yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13 Tahun 2025 (PMK 13/2025). Bagaimana memaknai kata “penyerahan” dan kata “pemindahtanganan” yang tercantum dalam PMK 13/2025 tersebut ..?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, tidak cukup hanya sebatas mengartikan kedua kata tersebut secara tekstual. Pemahaman konteks atas penggunaan kata “penyerahan” dan kata “pemindahtanganan” dalam PMK 13/2025 lebih memperjelas serta mempertegas makna dan tujuan digunakannya 2 (dua) kata tersebut. Walaupun sekilas secara tekstual tampak memiliki makna yang sama, namun kedua kata tersebut digunakan dalam konteks yang berbeda.

Pemahaman kontekstual terhadap kata “penyerahan” dalam PMK 13/2025, setidaknya memunculkan 2 (dua) makna. Makna kata “penyerahan” yang pertama adalah penyerahan dalam arti yuridis (Penyerahan Yuridis). Penyerahan Yuridis yang tercantum dalam Pasal 3 ayat 1 huruf a dan huruf b PMK 13/2025 dapat dilaksanakan melalui salah satu cara berikut:

• Penandatanganan Akta Jual Beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah; atau

• Penandatanganan Perjanjian Pengikatan Jual Beli lunas dihadapan Notaris.

Makna Penyerahan Yuridis di atas adalah penyerahan hak kepemilikan atas Barang Kena Pajak berupa rumah tapak atau satuan rumah susun dari Pengusaha Kena Pajak Penjual kepada Pembeli.

Makna kata “penyerahan” yang kedua adalah penyerahan dalam arti penguasaan fisik (Penyerahan Penguasaan Fisik). Penyerahan Penguasaan Fisik ini dalam Pasal 3 PMK 13/2025 dilaksanakan melalui penandatanganan Berita Acara Serah Terima. Makna Penyerahan Penguasaan Fisik ini adalah penyerahan hak penguasaan fisik atau hak penggunaan atas Barang Kena Pajak berupa rumah tapak siap huni atau satuan rumah susun siap huni secara nyata dari Pengusaha Kena Pajak Penjual kepada Pembeli.

Dengan demikian, terhitung sejak tanggal penandatanganan Berita Acara Serah Terima, fisik rumah tapak siap huni atau satuan rumah susun siap huni sudah beralih penguasaan atau penggunaannya dari Pengusaha Kena Pajak Penjual kepada pembeli. Kedua makna yang terkandung dalam kata “penyerahan” tersebut merupakan syarat kumulatif yang wajib dipenuhi untuk dapat memanfaatkan fasilitas PPN DTP, disamping persyaratan lainnya yang tercantum dalam PMK 13/2025. Kedua makna penyerahan tersebut merupakan perbuatan menyerahkan rumah tapak atau satuan rumah susun yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual kepada Pembeli.

Lebih lanjut, kedua makna kata “penyerahan” tersebut merupakan perincian/penjabaran dari pengertian penyerahan hak atas barang kena pajak karena suatu perjanjian, khususnya perjanjian jual beli dan jual beli dengan angsuran yang tercantum dalam Pasal 1A ayat 1 huruf a Undang – Undang Pajak Pertambahan Nilai Atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah (“UU PPN”).

Sama halnya dengan cara memahami konteks kata “penyerahan” di atas, kata “pemindahtanganan” dalam PMK 13/2025 tidak dapat dipahami sebatas hanya secara tekstual. Bahkan kata “pemindahtanganan” dalam PMK 13/2025 tidak dapat diartikan terpisah dari kata “penyerahan”. Terdapat 3 (tiga) makna kata “pemindahtanganan” dalam PMK 13/2025. Makna kata “pemindahtangan” yang pertama adalah penyerahan pertama kali rumah tapak atau satuan rumah susun baru siap huni oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual yang menyelenggarakan pembangunan kepada pembeli. Makna kata “pemindahtanganan” yang pertama ini, dapat ditemui dalam Pasal 4 ayat 1 huruf b juncto Pasal 4 ayat 2 huruf b PMK 13/2025.

Makna yang pertama ini penting sekali dipahami guna membedakan pemindahtanganan rumah tapak atau satuan rumah susun siap huni yang bukan baru atau pernah dipindahtangankan (atau yang sering disebut dengan rumah tapak atau satuan rumah susun second hand).

Makna kata “pemindahtanganan” yang kedua adalah pemindahtanganan yang merupakan kelanjutan dari pemindahtanganan yang pertama, pemindahtanganan ini dilakukan oleh pihak yang semula merupakan pembeli rumah tapak atau satuan rumah susun baru kepada pihak lain/pembeli selanjutnya.

Pemindahtanganan ini dilakukan dalam rentan waktu 1 (satu) tahun sejak penyerahan oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual kepada Pembeli. Makna kata “pemindahtanganan” yang kedua ini dapat ditemui dalam Pasal 9 ayat 1 huruf e juncto Pasal 10 huruf g PMK 13/2025. Pemindahtanganan dalam makna yang kedua ini akan mengakibatkan insentif PPN DTP yang telah diterima menjadi terutang dan dapat ditagih oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak.

Makna kata “pemindahtanganan” yang ketiga adalah pemindahtanganan yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual atas rumah tapak atau satuan rumah susun second hand kepada pembeli.

Benang merah dari makna kata “pemindahtanganan” yang ketiga ini adalah rumah tapak atau satuan rumah susun yang sebelumnya pernah dipindahtangankan (bukan baru / second hand). Kata “pemindahtanganan” dalam makna yang ketiga dan kedua di atas adalah pemindahtanganan rumah tapak atau satuan rumah susun yang tidak mendapatkan fasilitas PPN DTP.

Demikian makna – makna dari kata “penyerahan” dan kata “pemindahtanganan” yang secara kontekstual penulis temukan dalam PMK 13/2025. Semoga tulisan yang jauh dari sempurna dan singkat ini dapat bermanfaat bagi rekan-rekan Konsultan Pajak seprofesi, khususnya bagi rekan-rekan Konsultan Pajak yang memiliki klien perusahaan real estat atau klien yang bermaksud memanfaatkan fasilitas PPN DTP.

Penulis adalah anggota IKPI Cabang Bandung

Hari Yanto

Email: hari_yanto_sh@yahoo.co.id

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

Wajib Pajak Berhak atas Imbalan Bunga

Sebagai wajib pajak, penting untuk memahami hak-hak kita dalam sistem perpajakan. Salah satu hak krusial adalah imbalan bunga, yaitu kompensasi dari pemerintah atas kelebihan pembayaran pajak. Kelebihan ini bisa muncul karena berbagai kondisi, termasuk keputusan atas keberatan, banding, atau bahkan putusan gugatan yang dikabulkan, baik sebagian maupun seluruhnya.

Imbalan bunga ini menegaskan prinsip keadilan, memastikan wajib pajak tidak dirugikan karena dananya tertahan negara akibat suatu ketetapan pajak yang kemudian dibatalkan atau dikoreksi oleh otoritas atau putusan pengadilan.

Apa Itu Imbalan Bunga?

Menurut Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga adalah surat keputusan yang menentukan jumlah imbalan bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak. Secara umum, imbalan bunga adalah sejumlah uang yang diberikan pemerintah kepada wajib pajak sebagai kompensasi atas keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.

Kapan Wajib Pajak Berhak Mendapatkan Imbalan Bunga?

Wajib Pajak dapat diberikan imbalan bunga apabila dalam kondisi seperti ini:

  1. Keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
  2. Keterlambatan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB).
  3. Kelebihan pembayaran pajak karena:

Pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan Peninjauan Kembali (PK) dikabulkan sebagian atau seluruhnya.

Surat Keputusan Pembetulan, surat keputusan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak, atau surat keputusan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak (STP) yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak.

Skenario Pengabulan Permohonan:

1. Dikabulkan Seluruhnya

Jika upaya hukum Anda (keberatan, banding, atau gugatan) dikabulkan seluruhnya, artinya seluruh koreksi atau penetapan pajak yang Anda persoalkan dibatalkan atau disetujui. Jika Anda telah membayar pajak berdasarkan SKP/STP yang kini dibatalkan, maka muncullah kelebihan pembayaran. Imbalan bunga akan dihitung atas seluruh kelebihan pembayaran ini.

Contoh: Anda membayar Pajak Penghasilan (PPh) sebesar Rp100 juta berdasarkan surat ketetapan pajak. Anda mengajukan keberatan karena merasa PPh yang seharusnya hanya Rp60 juta. Jika keberatan Anda dikabulkan seluruhnya, berarti PPh yang benar adalah Rp60 juta. Maka, ada kelebihan pembayaran Rp40 juta (Rp100 juta – Rp60 juta), dan Anda berhak atas imbalan bunga atas Rp40 juta tersebut.

2. Dikabulkan Sebagian

Apabila upaya hukum Anda hanya dikabulkan sebagian, itu berarti hanya sebagian dari koreksi atau penetapan pajak yang Anda persoalkan yang disetujui. Meskipun tidak seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak tetap timbul akibat koreksi parsial ini. Imbalan bunga akan dihitung atas jumlah kelebihan pembayaran yang terjadi karena dikabulkannya sebagian permohonan Anda.

Contoh: Sama seperti contoh di atas, Anda membayar PPh sebesar Rp100 juta. Anda mengajukan keberatan karena merasa PPh yang seharusnya hanya Rp60 juta. Jika keberatan Anda hanya dikabulkan sebagian, misalnya diputuskan PPh yang benar adalah Rp80 juta. Maka, ada kelebihan pembayaran Rp20 juta (Rp100 juta – Rp80 juta), dan Anda berhak atas imbalan bunga atas Rp20 juta tersebut.

Imbalan Bunga Atas Putusan Gugatan yang Dikabulkan: Hak yang Tidak Boleh Diabaikan!

Seringkali muncul kesalahpahaman di lapangan bahwa putusan gugatan yang dikabulkan (baik sebagian atau seluruhnya) tidak termasuk dalam ruang lingkup pemberian imbalan bunga. Ini tidak benar. Wajib pajak yang memenangkan gugatan atas Surat Ketetapan Pajak (SKP) atau Surat Tagihan Pajak (STP) dan dikabulkan, tetap berhak atas imbalan bunga.

Mengapa Demikian?

Esensi Pembatalan/Pengurangan Ketetapan Pajak:

Sebagaimana dijelaskan DJP, imbalan bunga diberikan atas kelebihan pembayaran pajak karena Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Tagihan Pajak yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak. Putusan gugatan oleh Pengadilan Pajak yang mengabulkan (baik sebagian atau seluruhnya) dan membatalkan atau mengurangi nilai SKP atau STP secara substansial sama dengan Surat Keputusan Pembatalan/Pengurangan Ketetapan Pajak.

Artinya, jika SKP/STP dinyatakan tidak sah atau dikurangi nilainya oleh pengadilan dan wajib pajak sudah membayar, maka terjadi kelebihan pembayaran yang wajib dikembalikan beserta imbalan bunga. Hal ini sejalan dengan Pasal 27A ayat (1) huruf d Undang-Undang KUP.

Kepatuhan Terhadap Putusan Pengadilan:

Pasal 80 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak secara tegas menyatakan bahwa putusan Pengadilan Pajak harus dilaksanakan oleh pejabat yang berwenang.

Putusan Pengadilan Pajak bersifat final dan mengikat. Ketika sebuah putusan gugatan membatalkan atau mengurangi suatu ketetapan pajak yang sudah dibayar, maka kewajiban mengembalikan kelebihan pembayaran pajak, termasuk imbalan bunganya, menjadi mutlak untuk dipatuhi. Mengabaikan imbalan bunga hanya akan mencederai asas kepatuhan terhadap putusan pengadilan.

Asas Keadilan dan Konsistensi Hukum:

Imbalan bunga diberikan sebagai kompensasi atas dana wajib pajak yang “tertahan” di negara akibat ketetapan pajak yang pada akhirnya terbukti keliru atau tidak sah. Tidak ada perbedaan fundamental secara keadilan antara kelebihan pembayaran yang timbul dari putusan keberatan atau banding dengan yang timbul dari putusan gugatan. Menolak imbalan bunga hanya karena sumbernya dari putusan gugatan akan menciptakan inkonsistensi dan ketidakadilan dalam sistem perpajakan.

Perhitungan dan Batas Waktu Pemberian Imbalan Bunga

  1. Berdasarkan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sesuai suku bunga acuan dibagi 12. Tarif yang berlaku adalah tarif pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga.
  2. Paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

Imbalan bunga dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak (atau tanggal pembayaran, jika lebih akhir) sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.

 

Skenario Khusus Perhitungan:

  • Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan Peninjauan Kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya, selama pajak yang masih harus dibayar dalam SKPKB dan SKPKBT yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran tersebut dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga untuk paling lama 24 bulan.
  • Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan Peninjauan Kembali sehubungan dengan SKPN dan SKPLB dikabulkan sebagian atau seluruhnya dan menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran tersebut dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga untuk paling lama 24 bulan.
  • Dalam hal SKPN yang tidak disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang diterbitkan atas Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar, kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang mengabulkan sebagian atau seluruhnya dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga untuk paling lama 24 bulan yang dihitung dari jumlah kelebihan pembayaran pajak tersebut.
  • Apabila terdapat Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak yang mengabulkan sebagian atau seluruhnya sehingga menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran tersebut dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga untuk paling lama 24 bulan.

Imbalan bunga juga diberikan atas pembayaran lebih sanksi administrasi (denda/bunga) yang dibatalkan/dikurangi berdasarkan Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak.

Catatan: Perhitungan imbalan bunga mulai 2 November 2020 diatur setelah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang kemudian diturunkan dalam berbagai PMK terkait.

Imbalan Bunga Tidak Diberikan Terhadap:

  1. Kelebihan pembayaran akibat Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas SKPKB atau SKPKBT yang disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi, dan telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
  2. Kelebihan pembayaran akibat Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas jumlah pajak yang tercantum dalam SKPKB atau SKPKBT yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi, namun dibayar sebelum pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan Peninjauan Kembali, atau sebelum diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali.

Pelaksanaan Pemberian Imbalan Bunga:

  • Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, imbalan bunga diberikan apabila terhadap Surat Keputusan Keberatan tidak diajukan permohonan banding ke Pengadilan Pajak.
  • Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, imbalan bunga diberikan jika terhadap Putusan Banding telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak dari Pengadilan Pajak.
  • Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan Peninjauan Kembali, imbalan bunga sebagai akibat terbitnya Putusan Peninjauan Kembali diberikan jika terhadap Putusan Peninjauan Kembali telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak dari Mahkamah Agung.

Dasar Hukum Imbalan Bunga

Hak wajib pajak atas imbalan bunga ini dijamin kuat oleh peraturan perundang-undangan:

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
  2. Pasal 27A UU KUP adalah landasan utama yang menjelaskan kondisi-kondisi pemberian imbalan bunga, termasuk tarif dan jangka waktunya. Penjelasan Pasal ini adalah kunci untuk mengaitkan putusan gugatan yang membatalkan ketetapan pajak.
  3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak).
  4. Pasal 77 ayat (1): Mengatur jenis putusan Pengadilan Pajak (termasuk membatalkan), yang berimplikasi pada timbulnya kelebihan pembayaran.
  5. Pasal 80: Menegaskan kewajiban bagi pejabat yang berwenang untuk melaksanakan putusan Pengadilan Pajak, yang berarti termasuk konsekuensi pengembalian kelebihan pembayaran pajak beserta imbalan bunganya.
  6. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Terkait Tata Cara Penghitungan dan Pemberian Imbalan Bunga serta Pelaksanaan UU Cipta Kerja.

Peraturan pelaksana ini mengatur lebih detail mengenai tata cara pengajuan, perhitungan, dan pembayaran imbalan bunga. Penting untuk selalu merujuk pada regulasi terbaru. Beberapa yang relevan adalah:

  1. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65/PMK.03/2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 226/PMK.03/2013 TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN DAN PEMBERIAN IMBALAN BUNGA.
  2. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18/PMK.03/2021 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA DI BIDANG PAJAK PENGHASILAN, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH, SERTA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN.

Kedua PMK ini, dan peraturan pelaksana lainnya yang mungkin diperbarui, memberikan detail teknis mengenai perhitungan, prosedur, dan tarif imbalan bunga, termasuk penerapannya dalam konteks perubahan undang-undang terbaru.

Lindungi Hak Anda Sebagai Wajib Pajak!

Memahami secara mendalam ketentuan imbalan bunga sangat krusial bagi setiap wajib pajak. Jika Anda telah memenangkan upaya hukum (keberatan, banding, atau gugatan) dan putusan tersebut menyebabkan kelebihan pembayaran pajak (baik sebagian maupun seluruhnya), jangan ragu untuk menuntut hak Anda atas imbalan bunga.

Ajukan permohonan secara tertulis kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dengan melampirkan salinan putusan Pengadilan Pajak (atau surat keputusan terkait lainnya) dan semua dokumen pendukung yang relevan. Dengan pengetahuan ini, Anda dapat memastikan hak-hak Anda terpenuhi dan berkontribusi pada sistem perpajakan yang lebih adil dan transparan.

Sumber Informasi:

  •  Direktorat Jenderal Pajak (pajak.go.id)
  •  Undang-Undang terkait dan Peraturan Menteri Keuangan yang berlaku.

Penulis adalah Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Lampung

Teten Dharmawan

Email: tetendharmawan@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Aspek Perpajakan Transaksi Debt to Equity Swap 

Secara umum, sumber permodalan suatu perusahaan berasal dari dua instrumen utama, yaitu setoran modal dari pemegang saham dan pinjaman dari kreditur. Untuk memahami kedua sumber permodalan tersebut secara lebih mendalam, penting untuk mengidentifikasi persamaan dan perbedaannya.

Pemahaman ini akan membantu dalam menentukan posisi masing-masing instrumen dalam laporan posisi keuangan (neraca), yang pada gilirannya berimplikasi pada kewajiban perpajakan yang timbul dari transaksinya.

Perbedaan Modal dan Utang dalam Perspektif Akuntansi:

• Setoran Modal Pemegang Saham

Dalam laporan posisi keuangan, setoran modal diklasifikasikan dalam kelompok ekuitas dengan akun seperti “modal saham disetor” (paid-in capital). Pemegang saham umumnya memiliki dua tujuan utama dari perspektif motif keuntungan finansial:

• Dividen, yaitu bagian laba perusahaan yang dibagikan kepada pemegang saham. Jumlah dividen biasanya ditentukan dalam satuan Rupiah per lembar saham, dan nilainya sangat tergantung pada kinerja keuangan perusahaan setiap tahunnya.

• Capital gain, yaitu keuntungan yang diperoleh ketika harga pasar saham perusahaan lebih tinggi dari nilai bukunya.

• Pinjaman dari Kreditur

Pinjaman dicatat sebagai kewajiban pada neraca dengan nama akun seperti “utang jangka panjang” (long-term payables). Sebagai kewajiban, perusahaan berkewajiban membayar kembali pokok pinjaman disertai bunga dalam jumlah dan jangka waktu yang telah disepakati. Imbalan ini dikenal sebagai bunga pinjaman.

Persamaan antara Modal dan Utang:

Kedua instrumen memiliki kesamaan utama, yaitu sama-sama meningkatkan kas perusahaan. Dana tersebut dapat digunakan untuk mendanai kegiatan operasional maupun ekspansi usaha.

Dengan demikian, perusahaan dapat menciptakan nilai tambah yang pada akhirnya akan tercermin dalam bentuk laba perusahaan di laporan keuangan.

Dividen dan Capital Gain

Pemegang saham yang menyetorkan tambahan modal ke dalam perusahaan umumnya mengharapkan imbal hasil dalam bentuk dividen dan capital gain. Kedua jenis imbal hasil ini memiliki perlakuan perpajakan yang berbeda, dengan rincian sebagai berikut:

• Pajak atas Dividen

• Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOP DN), Dividen yang diterima dari perusahaan dalam negeri dikenakan PPh Final sebesar 10%. Namun, dividen tersebut dapat dikecualikan sebagai objek pajak apabila seluruhnya diinvestasikan kembali di Indonesia, sesuai ketentuan PP No. 9 Tahun 2021 dan PMK No. 18/PMK.03/2021.

• Wajib Pajak Badan Dalam Negeri, Dividen yang diterima dari dalam negeri tidak dikenakan PPh dan termasuk kategori non-objek pajak, tanpa kewajiban reinvestasi.

• Wajib Pajak Luar Negeri, Dividen dikenai PPh Pasal 26 sebesar 20% yang bersifat final. Tarif ini dapat lebih rendah apabila terdapat perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) antara Indonesia dan negara domisili penerima dividen.

• Pajak atas Capital Gain

Ketentuan perpajakan atas capital gain dibedakan berdasarkan jenis perusahaan:

• Capital Gain dari Perusahaan Privat, Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi: dikenakan tarif pajak progresif sesuai lapisan penghasilan & Untuk Wajib Pajak Badan: dikenakan tarif tunggal (single tariff) sesuai tarif umum PPh Badan.

• Capital Gain dari Perusahaan Publik, Tidak dibedakan antara wajib pajak orang pribadi dan badan. Capital gain atas transaksi saham di bursa dikenai PPh Final sebesar 0,01% dari harga jual saham (bukan dari selisih capital gain-nya).

Imbalan atas Investasi Kreditur dan Aspek Perpajakannya

Kreditur yang menyalurkan dananya kepada perusahaan dalam bentuk pinjaman tentu mengharapkan imbal hasil berupa bunga. Secara sederhana, bunga atas pinjaman dapat dianalogikan sebagai “ongkos” yang harus dibayar oleh pihak peminjam atas pemanfaatan dana milik pihak lain—mirip seperti penumpang yang membayar tarif taksi untuk mencapai tujuannya.

Dalam analogi ini, kendaraan taksi hanya dapat digunakan oleh penumpang yang membayar ongkos; demikian pula, perusahaan sebagai peminjam memperoleh manfaat eksklusif dari dana pinjaman, dan karena itu berkewajiban memberikan imbalan kepada kreditur dalam bentuk bunga.

Dari sisi perpajakan, perlakuan atas bunga pinjaman dibedakan menjadi dua kategori berdasarkan asal pemberi pinjaman:

• Pinjaman dari Lembaga Perbankan, Bunga yang dibayarkan oleh perusahaan kepada bank tidak dikenakan PPh Pasal 23. Hal ini diatur dalam Pasal 23 ayat (4) huruf a UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

• Pinjaman dari Non-Perbankan, Bunga atas pinjaman yang berasal dari pihak selain bank dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto bunga yang dibayarkan, dan bersifat dipotong di sumber oleh pihak peminjam.

Transaksi Debt to Equity Swap:

Transaksi Debt to Equity Swap merupakan mekanisme konversi utang menjadi saham, yang umumnya dilakukan ketika perusahaan mengalami kesulitan likuiditas dan tidak mampu memenuhi kewajiban pembayaran pokok dan bunga pinjaman.

Dalam kondisi ini, perusahaan dapat menawarkan kepada kreditur untuk mengubah statusnya dari pemberi pinjaman menjadi pemegang saham.

Dengan perubahan status tersebut, kewajiban perusahaan untuk membayar pokok dan bunga pinjaman dianggap selesai. Sebagai gantinya, kreditur memperoleh hak sebagai pemegang saham, termasuk potensi imbal hasil berupa dividen dan capital gain.

Langkah-Langkah Pelaksanaan Debt to Equity Swap:

• Penilaian Kembali Kewajiban, Menghitung ulang nilai utang perusahaan kepada kreditur, termasuk denda atas keterlambatan pembayaran pokok dan bunga, guna memperoleh nilai kewajiban yang akurat.

• Penilaian Nilai Saham Perusahaan, Untuk perusahaan publik: merujuk pada harga pasar saham di bursa dan Untuk perusahaan privat: menggunakan pendekatan seperti discounted free cash flow atau metode penilaian lainnya yang lazim digunakan.

• Penentuan Rasio Konversi, Setelah nilai utang dan harga saham disepakati, dilakukan konversi dengan membagi total nilai utang dengan harga per lembar saham untuk menentukan jumlah saham yang akan diterbitkan kepada kreditur.

• Pencatatan Akuntansi, Secara akuntansi, transaksi ini mengubah klasifikasi utang menjadi bagian dari ekuitas dalam laporan posisi keuangan.

Aspek Perpajakan dalam Transaksi Debt to Equity Swap

Transaksi debt to equity swap berpotensi menimbulkan konsekuensi perpajakan, baik bagi debitur maupun kreditur. Berikut penjabaran atas potensi kewajiban pajak yang dapat timbul:

• Penilaian Jumlah Utang

Dalam proses konversi utang menjadi saham, terdapat dua kemungkinan perubahan nilai utang:

• Penambahan Nilai Utang, jikalau hasil penilaian menunjukkan bahwa nilai utang yang dikonversi lebih besar dari nilai sebelumnya, maka terdapat tambahan piutang bagi kreditur. Tambahan ini dianggap sebagai penghasilan bagi kreditur dan dapat dikenakan PPh sesuai ketentuan yang berlaku.

Sebaliknya, bagi debitur, selisih tersebut dapat dianggap sebagai kerugian yang dapat dibebankan secara fiskal, sehingga berpotensi mengurangi PPh terutang pada tahun berjalan.

• Pengurangan Nilai Utang, jikalau nilai utang yang dikonversi lebih rendah dari nilai tercatat sebelumnya, maka debitur memperoleh keuntungan dari penghapusan utang. Keuntungan ini merupakan objek PPh sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k UU PPh, dan wajib dilaporkan serta dikenakan pajak penghasilan.

• Penilaian Nilai Saham

Dalam proses konversi, saham yang diterbitkan kepada kreditur juga harus dinilai secara wajar:

• Nilai Saham Lebih Tinggi dari Nilai Buku, jikalau hasil valuasi menunjukkan bahwa nilai saham lebih tinggi dari nilai buku, maka terdapat capital gain bagi pemegang saham. Capital gain ini merupakan objek PPh Final sebesar 10%, sesuai ketentuan yang berlaku untuk perusahaan privat.

• Nilai Saham Lebih Rendah dari Nilai Buku, jika nilai saham lebih rendah dari nilai buku, maka selisih tersebut dianggap sebagai disagio dan dicatat langsung sebagai pengurang ekuitas. Karena tidak memengaruhi laporan laba rugi, maka tidak menimbulkan implikasi perpajakan.

Contoh Kasus:

Sebuah perusahaan memiliki utang kepada kreditur sebesar Rp1.000.000.000. Setelah dilakukan negosiasi dan penilaian, disepakati bahwa utang akan dikonversi menjadi saham perusahaan privat. Harga saham hasil valuasi ditetapkan Rp10.000 per lembar, sehingga perusahaan akan menerbitkan 100.000 lembar saham kepada kreditur. Tidak terdapat selisih nilai utang dan nilai saham yang dikonversi.

Jurnal Akuntansi

• Saat penghapusan utang

Dr. Utang – Kreditur ABC Rp.1.000.000.000

Cr. Modal Saham – Kreditur ABC Rp.1.000.000.000

[Penghapusan utang karena dikonversi menjadi saham, mengubah klasifikasi dari liabilitas menjadi ekuitas]

• Jikalau nilai valuasi saham lebih rendah dari nilai buku, misalnya menjadi Rp.900 Juta, sehingga terdapat keuntungan sebesar Rp.100 Juta bagi debitur

Dr. Utang – Kreditur ABC Rp.1.000.000.000

Cr. Modal Saham – Kreditur ABC Rp.   900.000.000

Cr. Pendapatan Lain-lain Rp.   100.000.000

[Keuntungan dari penghapusan sebagian utang dicatat sebagai pendapatan lain-lain dan menjadi objek PPh]

• Jikalau nilai valuasi saham lebih tinggi dair nilai buku, misalnya menjadi Rp.1.100.000.000, sehingga kreditur memberikan tambahan investasi sebesar Rp.100.000.000

Dr. Utang – Kreditur ABC Rp.1.000.000.000

Dr. Kas Rp.   100.000.000

Cr. Modal Saham – Kreditur ABC Rp.1.100.000.000

Penulis adalah anggota IKPI Cabang Kota Bekasi

Dr. Subur Harahap, SE, Ak, MM, CA, CMA, CFP, CPA, BKP, FPM, MT.BNSP

Email: www.suhaconsulting.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Bersama IKPI, Teguh Mengawal Masa Depan Perpajakan Indonesia

IKPI, Jakarta: Catur Rini Widosari, sosok perempuan tangguh, cerdas dan ramah yang telah menuntaskan pengabdiannya di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), kini memasuki babak baru sebagai anggota kehormatan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI). Meski telah purnabakti dari jabatan struktural, komitmen Catur untuk memperkuat sistem perpajakan Indonesia tidak surut, bahkan justru semakin matang dan strategis.

Dengan pengalaman lebih dari 30 tahun di DJP, Catur adalah contoh nyata dari aparatur yang tidak hanya menyelesaikan tugas administratif, tapi juga aktif membentuk arah dan fondasi kebijakan perpajakan modern di Indonesia. Dalam berbagai penugasannya, ia konsisten menempatkan kepatuhan sukarela, keadilan fiskal, dan kualitas pelayanan publik sebagai prioritas utama.

Rekam Jejak dan Kepemimpinan Strategis

Catur menapaki jenjang karier birokrasi fiskal dari level teknis hingga pucuk pimpinan regional. Ia pernah menjabat sebagai:

  • Kepala Subdirektorat Dampak Kebijakan pada Direktorat Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan
  • Kepala Kanwil DJP Sumatera Utara II
  • Kepala Kanwil DJP Sumatera Selatan dan Kepulauan Bangka Belitung
  • Kepala Kanwil DJP Banten
  • Direktur Keberatan dan Banding
  • Kepala Kanwil DJP Jawa Barat III (jabatan terakhir sebelum pensiun)

Dalam perjalanannya, Catur dikenal sebagai pemimpin yang menekankan penguatan basis data, efektivitas pengawasan, dan sinergi fiskal pusat-daerah. Ia mendorong penggunaan compliance risk management (CRM) dalam sistem pengawasan pajak, serta turut menyusun kebijakan berbasis dampak (policy impact-based) guna memastikan regulasi perpajakan tetap kontekstual dan adil.

Di bawah kepemimpinannya, berbagai wilayah kerja DJP mengalami peningkatan dalam hal kepatuhan pajak, perluasan basis pajak (ekstensifikasi), serta perbaikan hubungan dengan stakeholder lokal seperti pemerintah daerah, pengusaha, dan akademisi.

Dari Otoritas ke Mitra Strategis

Keputusan Catur untuk bergabung dengan IKPI sebagai anggota kehormatan bukanlah sekadar bentuk penghargaan simbolik, melainkan bagian dari kelanjutan pengabdiannya untuk negeri. Dengan bergabung di IKPI, ia kini memiliki ruang yang lebih fleksibel untuk:

  • Mendorong profesionalisme dan etika konsultan pajak, terutama dalam menghadapi tantangan interpretasi aturan yang semakin kompleks
  • Menjadi penghubung strategis antara otoritas pajak dan profesi konsultan dalam semangat kolaborasi, bukan oposisi
  • Memberikan masukan kebijakan berdasarkan pengalaman empiris dan pemahaman mendalam terhadap sistem fiskal nasional
  • Membimbing generasi baru konsultan pajak melalui mentoring, pelatihan, dan peningkatan kapasitas yang berkelanjutan

Ia percaya, konsultan pajak adalah garda terdepan dalam membangun jembatan antara wajib pajak dan negara.

Menurutnya, Indonesia butuh profesi yang kuat, kredibel, dan beretika untuk menjaga kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan.

Komitmen Tanpa Seragam

Melepas jabatan struktural di DJP bukan berarti melepas tanggung jawab moral. Justru, dalam perannya saat ini, Catur melihat peluang yang lebih luas untuk menyuarakan nilai-nilai reformasi perpajakan secara independen dan lebih strategis.

Ia kini rutin berdiskusi dengan para pemangku kepentingan di luar pemerintahan: akademisi, pengusaha, asosiasi profesi, hingga media, untuk memastikan arah kebijakan fiskal tetap berpihak pada kepentingan jangka panjang bangsa.

Pajak adalah instrumen pembangunan, tapi juga alat keadilan. Walaupun sudah tidak menjabat sebagai birokrat, ia ingin tetap terlibat dalam memastikan sistem perpajakan Indonesia tidak kehilangan arah, tetap kuat secara administrasi, dan adil secara sosial.

Tentang Catur Rini Widosari

• Tanggal Lahir: 12 Desember 1967

• Pendidikan: Magister Ekonomi – Keuangan Publik & Kebijakan Pajak

• Penghargaan: Satyalancana Karya Satya

• Jabatan Terakhir: Kepala Kanwil DJP Jawa Barat III

• Posisi Saat Ini: Anggota Kehormatan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)

Kini, bersama IKPI, Catur Rini Widosari melanjutkan kiprah panjangnya sebagai penjaga integritas, penggerak profesionalisme, dan suara moral dalam sistem perpajakan Indonesia. Dari dalam maupun luar struktur birokrasi, api perjuangannya tetap menyala teguh mengawal masa depan perpajakan Indonesia. (bl)

Kenaikan PTKP Akan Meningkatkan Tax Rasio  

Terhitung sudah sembilan bulan sejak Prabowo Subianto dan Gibran Rakabumi dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, banyak program-program populis yang sudah direalisasikan misal penurunan tarif efektif PPN dari 12 menjadi tetap 11% untuk BKP dan JKP Non Mewah, pemberantasan korupsi, penghapusan kredit macet bagi UMKM, dan juga program makan bergizi gratis (MBG). Visi Misi dan Program Kerja Presiden Prabowo tersebut dituangkan dalam 8 Misi Asta Cita, 17 Program Prioritas, dan 8 Program Hasil Terbaik Cepat.

Di dalam Asta Cita No 7 Tentang Memperkuat Reformasi Politik Hukum dan Birokrasi serta Memperkuat Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi dan Narkoba. Dalam penjelasan detail sub reformasi tata Kelola pemerintah no 28 Presiden Prabowo akan “menaikkan batas penghasilan tidak kena pajak dan menurunkan tarif PPh Pasal 21 untuk mendorong aktifitas ekonomi dalam rangka menaikkan rasio pajak (tax ratio)”.

Presiden dan Tim Ekonominya memandang bahwa peningkatan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) akan mendorong nilai konsumsi masyarakat karena para pekerja dapat membelanjakan uangnya lebih banyak dari kondisi saat ini, sehingga daya beli dan konsumsi domestik juga meningkat sehingga roda-roda ekonomi semakin kencang berputar, walaupun disisi lain peningkatan PTKP akan menggerus penerimaan pajak Pasal 21, namun akan meningkatkan penerimaan pajak dari PPN dan PPh Badan. Tentunya program Presiden Prabowo tersebut dilandasi fakta bahwa kondisi perekonomian Indonesia disokong oleh konsumsi domestic sebesar 54,04% pada tahun 2024 menurut data BPS.

Pendapat tersebut sejalan dengan Teori John Maynard Keynes dalam bukunya The General Theory of Employment, Interest, and Money. Yang prinsipnya permintaan agregat akan berdampak langsung, jika permintaan agregart naik maka produksi akan meningkat dan pengangguran akan berkurang. Rumus permintaan agregat tersebut adalah : Z =  C + I + G, dengan rincian sbb : C =  Consumption (rumah tangga), I = Investasi oleh Perusahaan, G = Pengeluaran Pemerintah. Dalam Teori Keynesian Peran Pemerintah sangat penting, Pemerintah harus aktif dalam mengelola permintaan agregat agar perekonomian stabil dengan cara menerbitkan Kebijakan Fiskal dan Moneter.

Lalu apa yang dimaksud Penghasilan Tidak Kena Pajak?, PTKP adalah nilai batasan penghasilan orang pribadi yang tidak dikenakan pajak, artinya jika seorang pekerja/buruh mendapatkan gaji/penghasilan, maka nilai penghasilan tersebut akan dikurangi PTKP terlebih dahulu, jika ada nilai lebih maka nilai lebih tersebut yang dikenakan pajak.

Ketentuan tentang PTKP diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 101/PMK.010/2016 Tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak, jadi pengaturan Tentang PTKP sudah berlaku hampir 10 tahun jika dihitung pada saat ini. Adapun besarnya PTKP yang berlaku sampai saat ini adalah sbb :

Jika dibandingkan dengan Upah Minimum Regional (UMR) khususnya untuk daerah sekitar jabotabek, nilai PTKP tersebut diatas rasanya sudah tidak pas lagi, sebagai contoh nilai UMR untuk daerah Jakarta, Kota Bogor, Kota Tanggerang, Kota Bekasi dalam 6 tahun terakhir  sebagai berikut :

Berdasarkan perbandingan tabel di atas, maka sampai dengan tahun 2022 nilai UMR sudah melebihi PTKP (kecuali kota Bogor dan kota Tanggerang), artinya bagi pekerja yang memperoleh gaji UMR tahun 2022 sudah wajib dipotong PPh Pasal 21, tentunya pengenaan PPh Pasal 21 bagi para pekerja yang mendapatkan penghasilan sebesar UMR akan mengurangi penghasilan yang bisa dikomsumsi oleh ybs dan keluarganya. Padahal disisi lain setiap tahun biaya hidup terus bertambah yang bisa dilihat dari kenaikan inflasi setiap tahunnya. Sebagai contoh perbandingan jika seorang Pekerja di kota Bekasi dengan status tidak kawin tanggungan 0 (TK/0) yang mendapatkan Gaji UMR tahun 2023, 2024 dan 2025 tanpa memperhitungkan THR maka perhitungannya sbb :

Dalam periode 2020 sd 2021 (masa pandemi covid) Pemerintah pernah memberikan fasilitas PPh 21 Ditanggung Pemerintah (PPh 21 DTP), begitu juga pada awal tahun 2025 Pemerintah memberikan fasilitas PPh 21 DTP kepada para Pekerja namun dengan cakupan yang lebih sempit, karena fasilitas PPh 21 DTP hanya untuk bidang industry tertentu dan dalam jangka waktu tertentu.  Rasanya program DTP PPh 21 tersebut tidak cukup untuk meningkatkan tingkat konsumsi masyarakat secara simultan, diperlukan kebijaksanaan baru yang komprehensif yaitu menaikkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), apalagi dalam kurun waktu 10 tahun terjadi peningkatan angka inflasi yang tentunya akan menggerus daya beli masyarakat utamanya masyarakat kecil dan menengah.

Di Tengah melesunya perekonomian dunia termasuk Indonesia maka Pemerintah perlu melakukan terobosan untuk menghidupkan roda perekonomian dengan meningkatkan daya beli masyarakat, yang salah satunya menerbitkan kebijakan fiskal dengan menaikkan batas PTKP, semoga hal ini menjadi perhatian Pemerintah.

Penulis adalah Ketua Departemen PPKF IKPI

Pino Siddharta

Email: pinosiddharta@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

en_US