Pemerintah Siapkan Skema Pajak E-Commerce, Wamenkeu: Fokus Pendataan dan Keadilan Usaha

IKPI, Jakarta: Wacana pemerintah untuk memberlakukan kewajiban pemungutan pajak oleh platform e-commerce kembali mencuat. Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu akhirnya angkat bicara, menegaskan bahwa kebijakan tersebut saat ini masih dalam tahap rancangan dan belum memiliki kekuatan hukum.

“Jadi yang pertama, itu kan kebijakannya belum diterbitkan ya, jadi tunggu dulu ya. Makanya saya belum bisa jawab, karena itu belum dikeluarkan,” ujar Anggito kepada wartawan di lingkungan Kementerian Perdagangan, Jakarta, Senin (30/6/2025).

Meski belum resmi diberlakukan, Anggito menjelaskan arah kebijakan ini adalah untuk menciptakan kesetaraan perlakuan perpajakan antara pelaku usaha online dan offline. Pemerintah ingin memastikan bahwa transaksi melalui sistem elektronik atau digital turut tercatat dalam sistem perpajakan nasional.

“Kalau non-elektronik kan enggak ada masalah ya, semua pakai faktur, terdata. Yang PMSE ini belum ada datanya. Jadi kita menugaskan kepada platform untuk mendata siapa saja yang melakukan perdagangan melalui sistem itu,” ujarnya.

Menurut Anggito, pemerintah tidak bermaksud menciptakan beban pajak baru, melainkan membangun sistem pencatatan yang lebih baik agar pelaku usaha digital tidak luput dari kewajiban pajak. Ia juga membantah anggapan bahwa kebijakan ini bersifat baru.

Wacana serupa sempat muncul pada 2018 lewat PMK Nomor 210 Tahun 2018, namun dibatalkan pada 2019.

“Jadi tidak ada hal yang baru, tidak ada tarif pajak baru. Itu kan ketentuan mengenai tarifnya nantinya akan disampaikan pada waktunya,” jelasnya.

Salah satu hal yang ditekankan Anggito adalah bahwa tidak akan ada pajak berganda bagi pelaku usaha yang berjualan secara online dan offline sekaligus. Skema ini, menurutnya, lebih menitikberatkan pada aspek pendataan dan kesetaraan perlakuan pajak.

“Kan kita ingin melakukan dua hal. Satu, pendataan. Yang kedua adalah perlakuan yang sama antara yang online sama offline,” kata dia.

Rencana ini sebelumnya dilaporkan oleh Reuters, yang menyebut bahwa platform e-commerce nantinya akan diwajibkan memotong dan menyetorkan pajak sebesar 0,5% dari omzet penjualan pedagang yang bertransaksi melalui mereka, dengan kisaran omzet tahunan antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar.

Angka tersebut merujuk pada skema Pajak Penghasilan Final UMKM sesuai PP No. 23 Tahun 2018. Namun hingga kini, pemerintah belum mengonfirmasi besaran tarif atau skema pelaksanaannya secara resmi. Anggito memastikan, semua detail akan disampaikan setelah kebijakan itu disahkan. (alf)

 

 

idEA Minta Penerapan Pajak E-Commerce Dilakukan Bertahap dan Inklusif

IKPI, Jakarta: Rencana pemerintah menunjuk platform e-commerce sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 menuai tanggapan dari Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA). Sekretaris Jenderal idEA, Budi Primawan, mengingatkan agar kebijakan tersebut diterapkan secara hati-hati dan bertahap mengingat dampaknya yang besar terhadap jutaan penjual, khususnya pelaku UMKM digital.

“Jika nantinya platform memang ditunjuk sebagai pemotong pajak untuk penjual orang pribadi dengan omzet tertentu, tentu implementasinya akan berdampak langsung pada jutaan seller, khususnya pelaku UMKM digital,” ujar Budi dalam keterangan tertulisnya diterima, Minggu (29/6/2025).

Budi menyampaikan bahwa kesiapan pelaku usaha menjadi kunci utama agar kebijakan ini berjalan lancar. Ia menekankan perlunya sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan penyedia platform dalam mempersiapkan infrastruktur yang mendukung, termasuk dari sisi edukasi dan sosialisasi.

Menurut Budi, beberapa marketplace memang telah mulai menerima sosialisasi terbatas dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Namun demikian, pihaknya belum bisa memberikan tanggapan lebih dalam karena regulasi teknis belum resmi diterbitkan.

“Keberhasilan implementasi kebijakan ini sangat bergantung pada pendekatan yang kolaboratif, terencana, dan inklusif, agar tidak menimbulkan disrupsi pada pertumbuhan ekosistem digital nasional,” ujarnya.

Sementara itu, DJP memastikan bahwa kebijakan ini bukanlah bentuk pajak baru, melainkan peralihan mekanisme pemungutan. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, menjelaskan bahwa regulasi terkait saat ini sedang difinalisasi di internal pemerintah.

“UMKM orang pribadi dengan omzet di bawah Rp 500 juta tetap tidak dipungut pajak, sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” tegas Rosmauli dalam keterangannya, Kamis (26/6/2025).

Ia menambahkan, penunjukan platform sebagai pemungut PPh Pasal 22 bertujuan menyederhanakan administrasi perpajakan serta menciptakan perlakuan yang setara di antara pelaku usaha digital. Kebijakan ini juga diharapkan dapat memperkuat pengawasan terhadap aktivitas ekonomi digital dan mempersempit ruang bagi praktik shadow economy.

Dengan proses finalisasi yang masih berlangsung, seluruh mata kini tertuju pada regulasi akhir yang akan diterbitkan pemerintah. idEA sendiri menegaskan komitmennya untuk mematuhi dan menjalankan kebijakan yang ditetapkan, selama implementasinya mempertimbangkan kesiapan seluruh pihak yang terdampak. (alf)

 

PER-12/2025 Wajibkan PMSE Laporkan SPT PPN Setiap Masa Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi memperbarui kewajiban pelaporan bagi pemungut Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPN PMSE) melalui terbitnya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-12/PJ/2025.

Aturan ini menandai perubahan signifikan dalam tata cara pelaporan pajak digital. Jika sebelumnya laporan pemungutan PPN PMSE cukup dilakukan setiap triwulan, kini pemungut diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN untuk setiap masa pajak. Batas waktu pelaporan ditetapkan paling lambat akhir masa berikutnya setelah masa pajak berakhir.

Kewajiban ini berlaku bagi seluruh pemungut, baik yang berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP) maupun pihak lain yang bukan PKP. Mereka wajib menggunakan format pelaporan yang diatur dalam PER-11/PJ/2025.

Khusus untuk pelaku PMSE luar negeri, pelaporan dilakukan melalui SPT Masa PPN PMSE Pihak Lain Luar Negeri. Format dan ketentuannya tercantum dalam Lampiran J PER-12/2025. Dokumen ini memuat detail transaksi seperti:

  1. Nomor dan tanggal bukti pungut PPN,
  2. Nilai pembayaran transaksi (tidak termasuk PPN),
  3. Jumlah PPN yang dipungut,
  4. Identitas pengguna (nama, NPWP atau NIK, dan nomor telepon),
  5. Serta alamat email pengguna barang atau jasa digital.

Dirjen Pajak memberi kelonggaran masa transisi. Apabila pemungut mengalami kendala teknis akibat perbedaan sistem dengan Portal DJP, mereka dapat menyampaikan laporan dalam bentuk total (digunggung) hingga 31 Juli 2025. Setelahnya, pemungut wajib melakukan pembetulan SPT dengan melengkapi rincian transaksi.

Perubahan ini menjadi bagian dari langkah DJP memperkuat kepatuhan dan transparansi perpajakan di sektor ekonomi digital yang terus berkembang. (alf)

 

 

 

 

Kanwil DJP Jaksel II Lelang Empat Ruko Sitaan Senilai Rp3,52 Miliar

IKPI, Jakarta: Dalam rangka memulihkan penerimaan negara dan menegakkan kepatuhan perpajakan, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jakarta Selatan II ambil bagian dalam lelang eksekusi serentak se-Jakarta Raya.

Pada kegiatan tersebut, Kanwil DJP Jakarta Selatan II melelang empat aset berupa rumah toko (ruko) yang sebelumnya telah disita oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Jakarta Kebayoran Lama. Total nilai keempat aset tersebut ditaksir mencapai Rp3,52 miliar.

“Lelang ini merupakan bagian dari tindakan penagihan aktif atas utang pajak, sebagai upaya konkret untuk mendukung penerimaan negara,” ujar Kanwil DJP Jakarta Selatan II dalam keterangan resminya dikutip, Minggu (29/6/2025).

Lelang dilakukan secara elektronik melalui laman resmi Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) di www.lelang.go.id.

Lebih lanjut, Kanwil DJP Jakarta Selatan II menegaskan bahwa aksi lelang ini tidak hanya bertujuan mengamankan piutang pajak, tetapi juga sebagai bentuk komitmen dalam memberikan efek jera kepada wajib pajak yang tidak patuh.

“Penegakan hukum perpajakan seperti ini penting untuk menjaga kredibilitas sistem pajak dan mendorong kesadaran masyarakat akan pentingnya memenuhi kewajiban perpajakan secara tepat waktu,” tegas Kanwil DJP.

Lelang eksekusi serentak ini merupakan hasil kolaborasi antar-Kanwil DJP di wilayah Jakarta Raya dan menjadi langkah lanjutan dari strategi penegakan hukum yang lebih terintegrasi dan transparan. (alf)

 

 

Pelaku Usaha PMSE Wajib Setor PPN Pakai Rupiah, Ini Aturan Barunya!

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen) Nomor PER-12/PJ/2025 yang membawa sejumlah penyesuaian penting dalam tata cara penyetoran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).

Salah satu poin aturan ini menegaskan mengenai penggunaan mata uang rupiah untuk pelaku usaha PMSE dalam negeri yang telah ditunjuk sebagai pihak lain. “Pihak Lain Dalam Negeri yang ditunjuk sebagai Pihak Lain melakukan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut dengan menggunakan mata uang rupiah,” demikian kutipan dari Pasal 12 ayat (3) PER-12/PJ/2025.

Sementara itu, pelaku usaha luar negeri diberi fleksibilitas lebih besar. Mereka dapat memilih melakukan penyetoran dalam mata uang rupiah, dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan pada tanggal setor, atau mata uang dolar Amerika Serikat. Penyetoran dalam dolar dilakukan melalui collecting agent yang ditunjuk dan mampu menerima penyetoran dalam mata uang tersebut.

Kebijakan baru ini mempertegas diferensiasi antara pelaku usaha dalam negeri dan luar negeri, berbeda dengan ketentuan sebelumnya di bawah PER-12/PJ/2020. Pada aturan lama, tidak ada pembedaan penggunaan mata uang, dan bahkan dibuka opsi penggunaan mata uang asing lain yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak.

Penyesuaian tersebut selaras dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 yang mendukung implementasi sistem administrasi perpajakan terbaru, Coretax.

Selain soal mata uang, PER-12/PJ/2025 juga memperjelas aspek administratif penyetoran PPN. Setoran dinyatakan sah sesuai dengan tanggal setor yang tercantum dalam bukti penerimaan negara. Jika jatuh tempo penyetoran bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu, Minggu, libur nasional, pemilu, atau cuti bersama — maka penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

Aturan juga memberi kejelasan dalam kasus pencabutan status pihak lain. Bila penunjukan suatu pelaku usaha PMSE sebagai pihak lain telah dicabut, namun PPN sudah dipungut dan belum disetor, maka pajak tersebut tetap wajib disetorkan ke kas negara.

“PPN yang telah dipungut oleh Pelaku Usaha PMSE yang telah dicabut penunjukannya sebagai Pihak Lain tetapi belum disetorkan, wajib disetorkan ke kas negara,” tertulis dalam Pasal 12 ayat (8).

Sebagai informasi, pelaku usaha PMSE merupakan individu atau badan usaha yang menjalankan transaksi secara elektronik, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Mereka yang memenuhi batasan kriteria tertentu seperti nilai transaksi tahunan melebihi Rp600 juta atau pengunjung situs lebih dari 12.000 dalam setahun akan ditunjuk sebagai pihak lain yang wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud (BKP-TB) atau Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar negeri melalui sistem elektronik. (alf)

Kanwil DJP Kalselteng Ingatkan Wajib Pajak: Lunasi Tunggakan atau Hadapi Penyitaan Aset

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah (Kanwil DJP Kalselteng) kembali mengingatkan para wajib pajak untuk tidak menunda kewajiban pembayaran pajak. Imbauan ini disampaikan sebagai bentuk upaya preventif agar masyarakat tidak mengalami penyitaan aset karena tunggakan pajak.

Kepala Kanwil DJP Kalselteng, Syamsinar, menegaskan bahwa penegakan hukum atas piutang pajak dilakukan secara tegas dan terukur. “Bagi wajib pajak yang menunggak dan tidak menunjukkan itikad baik, kami terpaksa melakukan penyitaan aset milik yang bersangkutan. Penyitaan ini hanya dilakukan setelah seluruh prosedur hukum terpenuhi,” ujar Syamsinar di Banjarbaru, Rabu (18/6/2025).

Ia menambahkan, barang-barang yang telah disita akan masuk dalam proses lelang eksekusi sebagai bagian dari penagihan aktif oleh negara. “Lelang bukan semata proses jual beli, tetapi juga merupakan langkah hukum yang sah dan transparan, serta bisa diawasi oleh publik,” lanjutnya.

Menurut Syamsinar, lelang eksekusi dari barang sitaan ini menjadi salah satu sarana penting dalam penyelesaian piutang negara, sekaligus alat pengingat akan pentingnya kepatuhan fiskal. Hasil penjualannya akan masuk ke kas negara sebagai penerimaan perpajakan dan turut menyumbang terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

“Ini menunjukkan bahwa kepatuhan pajak memiliki dampak luas, tidak hanya bagi pelaku usaha tetapi juga dalam menjaga stabilitas keuangan negara. Maka dari itu, kami mendorong wajib pajak untuk segera menyelesaikan kewajibannya sebelum proses hukum berjalan,” tegas Syamsinar.

Kanwil DJP Kalselteng berkomitmen untuk terus mengedepankan pendekatan persuasif dan edukatif, namun tidak ragu bertindak tegas jika terjadi pelanggaran. Penegakan hukum perpajakan, termasuk melalui lelang, menjadi bagian dari upaya mewujudkan keadilan fiskal dan optimalisasi anggaran negara. (alf)

 

PER-11/2025: Faktur Pajak Pedagang Eceran Tak Lagi Bergantung pada KLU, Ini Penjelasannya!

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali menegaskan fleksibilitas bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) pedagang eceran dalam pembuatan faktur pajak. Hal itu tercantum dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 (PER-11/2025), yang menjadi penyempurnaan dari regulasi sebelumnya, PER-03/PJ/2022.

Poin krusial dalam regulasi terbaru ini adalah ketentuan bahwa status sebagai PKP pedagang eceran tidak lagi ditentukan berdasarkan Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU). Sebaliknya, kriteria utama mengacu pada karakteristik transaksi yang dilakukan oleh wajib pajak.

Menurut Pasal 51 ayat (4) PER-11/2025, PKP pedagang eceran ditentukan dari aktivitas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) kepada pembeli atau penerima yang merupakan konsumen akhir. Artinya, meski suatu usaha tidak secara eksplisit diklasifikasikan sebagai pedagang eceran berdasarkan KLU, selama memenuhi karakteristik transaksi kepada konsumen akhir, tetap dapat dianggap sebagai PKP pedagang eceran.

Siapa yang Disebut Konsumen Akhir?

Merujuk Pasal 52 ayat (2), konsumen akhir adalah pihak yang membeli atau menerima barang/jasa untuk dikonsumsi langsung, bukan untuk digunakan kembali dalam kegiatan usaha. Dengan demikian, aspek konsumsi menjadi indikator utama dalam pengenaan perlakuan khusus terhadap faktur pajak yang dibuat.

Kemudahan dalam Faktur Pajak

Sebagai bentuk kemudahan administrasi, PKP pedagang eceran diperkenankan membuat faktur pajak tanpa mencantumkan identitas pembeli, serta tanpa mencantumkan nama dan tanda tangan pejabat yang berwenang. Namun, faktur tetap wajib memuat informasi minimal sebagai berikut:

• Identitas PKP penjual: nama, alamat, dan NPWP;

• Rincian transaksi: jenis barang/jasa, jumlah, harga jual, penggantian, dan potongan harga;

• Pajak: besaran PPN atau PPN dan PPnBM yang dipungut;

• Nomor faktur: kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan faktur.

Menariknya, kode dan nomor seri faktur tak perlu lagi mengikuti sistem DJP, karena bisa ditetapkan sendiri oleh PKP sesuai kebiasaan usaha masing-masing.

Konsistensi Kebijakan

Ketentuan ini mempertegas konsistensi DJP dalam memberikan kemudahan administrasi bagi PKP yang melayani konsumen akhir. Dengan melanjutkan prinsip yang telah ada dalam PER-03/PJ/2022, regulasi ini diharapkan memberikan kepastian hukum sekaligus efisiensi administrasi perpajakan, khususnya bagi pelaku usaha ritel dan sektor layanan yang langsung berinteraksi dengan masyarakat umum.

PER-11/2025 membawa angin segar bagi pelaku usaha yang sebelumnya tidak dikategorikan sebagai pedagang eceran secara KLU, namun dalam praktiknya melayani konsumen akhir. Inilah bentuk adaptasi regulasi perpajakan terhadap dinamika pola konsumsi dan model bisnis modern. (alf)

 

Kemenkeu Bebaskan Bea Masuk dan Pajak Barang Jemaah Haji Senilai Rp2,4 M di Hari Pertama Kepulangan

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan memberikan angin segar bagi para jemaah haji Indonesia yang baru pulang dari Tanah Suci. Sebanyak 1.800 barang milik jemaah dengan total nilai sekitar US\$149 ribu atau setara Rp2,4 miliar (asumsi kurs Rp16.270/US\$) dibebaskan dari bea masuk dan pajak pada hari pertama kedatangan di Tanah Air.

Kepulangan perdana jemaah haji tahun ini berlangsung pada Kamis dini hari (12/6/2025), pukul 02.00 WIB, dan akan terus berlanjut selama 30 hari ke depan hingga seluruh kloter tiba di Indonesia.

Wakil Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu memastikan bahwa fasilitas pembebasan bea masuk dan pajak tidak hanya berlaku untuk barang bawaan, tetapi juga untuk barang kiriman dari Arab Saudi yang dikirim terpisah.

“Kita sudah menerima 1.800 notifikasi barang dari jemaah yang mendapat fasilitas bebas bea masuk dan pajak,” ujar Anggito dalam konferensi pers di Terminal 2F Bandara Soekarno-Hatta, Rabu (11/6/2025).

“Barang seperti kurma, sajadah, dan lainnya meskipun nilainya tinggi, tidak akan dikenakan bea masuk maupun pajak dalam rangka impor,” tegasnya.

Sementara itu, Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea Cukai Soekarno-Hatta, Gatot Sugeng Wibowo, menekankan bahwa tidak ada proses penjemputan jemaah di bandara. Seluruh penumpang dan bagasi akan langsung diarahkan menuju lokasi **debarkasi, yang tersebar di beberapa titik seperti Pondok Gede (Jakarta Timur), Bekasi, dan Cipondoh (Tangerang).

“Semua barang bawaan akan langsung dibawa ke lokasi debarkasi. Tidak ada pengambilan bagasi di bandara. Penjemputan juga dilakukan di sana, bukan di Soekarno-Hatta,” jelas Gatot.

Dasar Hukum Pembebasan Pajak

Kebijakan ini merujuk pada dua regulasi anyar yang baru diterbitkan oleh Kemenkeu:

  • PMK Nomor 4 Tahun 2025, yang mengubah PMK Nomor 96 Tahun 2023 tentang Ketentuan Kepabeanan dan Pajak atas Barang Kiriman.
  • PMK Nomor 34 Tahun 2025, revisi atas PMK Nomor 203/PMK.04/2017 tentang Barang Penumpang dan Awak Sarana Pengangkut.

(alf)

DJP Tancap Gas, Siapkan 5 Jurus Jitu Capai Target Pajak 2025

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bersiap menghindari jebakan shortfall penerimaan pada 2025 dengan menggelar lima strategi utama yang dinilai mampu menjaga kinerja penerimaan tetap berada di jalur yang diharapkan.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, Dwi Astuti, mengungkapkan bahwa pemerintah serius ingin menghindari terulangnya kekurangan penerimaan seperti tahun lalu. Langkah-langkah strategis pun telah dirancang demi mengamankan target pajak yang ambisius.

“Untuk mencapai target penerimaan pajak tahun 2025, pemerintah akan melaksanakan upaya strategis,” ujar Dwi, baru-baru ini.

Lima Strategi Utama

Pertama, DJP akan memperluas basis perpajakan dengan memadukan intensifikasi dan ekstensifikasi. Artinya, bukan hanya memperdalam kepatuhan wajib pajak yang sudah ada, tetapi juga menjaring potensi pajak baru dari sektor yang belum tergarap optimal.

Kedua, peningkatan kepatuhan akan ditopang oleh pemanfaatan teknologi, penguatan kerja sama antarinstansi (joint program), hingga tindakan penegakan hukum terhadap pelanggar pajak.

Ketiga, DJP akan terus memastikan efektivitas reformasi perpajakan, termasuk harmonisasi dengan kebijakan internasional. Keempat, insentif perpajakan akan diarahkan secara lebih selektif dan terukur demi mendorong aktivitas ekonomi.

Terakhir, penguatan organisasi dan kualitas SDM menjadi fokus agar DJP mampu menjawab tantangan fiskal di tengah dinamika ekonomi nasional dan global.

“Dengan lima strategi ini, kami yakin penerimaan pajak bisa tetap on track dan shortfall bisa dicegah,” kata Dwi. (alf)

Ingin Dapat Bantuan Gaji? Simak Syarat dan Rinciannya!

IKPI, Jakarta: Pemerintah kembali menggulirkan Bantuan Subsidi Upah (BSU) bagi para pekerja berpenghasilan rendah. Skema bantuan ini dipastikan mulai berjalan pada Juni 2025, sebagaimana ditegaskan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.

BSU ditujukan bagi karyawan dengan gaji di bawah Rp3,5 juta per bulan. Dalam skema baru ini, setiap pekerja yang memenuhi syarat akan menerima subsidi sebesar Rp150 ribu per bulan selama dua bulan. Artinya, total bantuan yang diterima mencapai Rp300 ribu.

“Bantuan subsidi upah ini sedang dimatangkan bersama Kementerian Ketenagakerjaan. Nilainya sekitar Rp150 ribu per bulan,” ujar Airlangga saat menghadiri agenda resmi di Kuala Lumpur, Malaysia, Selasa (27/5/2025).

Meskipun nominalnya lebih kecil dibanding bantuan serupa saat masa pandemi Covid-19 yang saat itu mencapai Rp600 ribu dalam sekali pencairan pemerintah menilai kebijakan ini tetap mampu membantu menjaga daya beli masyarakat pekerja.

Tak hanya BSU, pemerintah juga memperluas perlindungan sosial melalui perpanjangan diskon iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), khususnya bagi sektor padat karya.

Di sisi lain, untuk meringankan beban rumah tangga menjelang masa liburan sekolah, pemerintah menyiapkan serangkaian insentif. Mulai dari potongan harga untuk transportasi umum seperti kapal laut, kereta api, dan pesawat, hingga diskon tarif tol selama akhir Mei dan awal Juni.

Diskon tarif listrik juga kembali diberlakukan. Selama Juni hingga Juli 2025, rumah tangga dengan daya listrik di bawah 1.300 VA akan menikmati potongan tarif sebesar 50%. Program ini menyasar hingga 79,3 juta pelanggan.

Lebih lanjut, bantuan sosial dalam bentuk kartu sembako dan bantuan pangan juga akan diperluas. Setidaknya 18,3 juta keluarga penerima manfaat (KPM) tercatat akan mendapat tambahan alokasi bantuan tersebut.

Kebijakan terpadu ini diharapkan mampu menjaga kestabilan konsumsi masyarakat sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah dinamika global dan domestik yang belum sepenuhnya pulih. (alf)

 

 

id_ID