Hadirkan 91 Peserta Umum: IKPI Pengda Sumbagteng Berhasil Tunjukan Komitmen Edukasi Perpajakan Inklusif

IKPI, Pekanbaru: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada Pengurus Daerah (Pengda) Sumatera Bagian Tengah (Sumbagteng) atas suksesnya pelaksanaan Seminar Perpajakan bertajuk “Memahami Peraturan Pajak PER-11/PJ/2025 tentang Ketentuan Pelaporan PPh dan PPN dalam Rangka Pelaksanaan Coretax System” yang digelar pada Sabtu, (5/7/2025) di Angkasa Garden Hotel, Pekanbaru. Hadir sebagai narasumber pada kegiatan ini Sapto Windi Argo, ahli perpajakan yang juga anggota anggota IKPI.

Dalam sambutannya, Vaudy menyebut seminar ini sebagai contoh nyata pelaksanaan fungsi edukasi oleh Pengda kepada para wajib pajak, yang merupakan bagian dari tanggung jawab penting dalam struktur organisasi IKPI saat ini.

“Pengda Sumbagteng yang dipimpin Ibu Lilisen patut mendapat apresiasi karena berhasil menghadirkan 108 peserta, di mana 91 orang di antaranya adalah peserta umum. Ini menunjukkan komitmen luar biasa dalam memberikan edukasi perpajakan yang inklusif,” ujar Vaudy.

(Foto: Istimewa)

Lebih lanjut, ia mendorong agar 13 Pengda IKPI di seluruh Indonesia dapat mengikuti jejak Pengda Sumbagteng, tidak hanya dengan menggelar seminar tatap muka, namun juga aktif menyelenggarakan edukasi daring bagi wajib pajak. “Kami ingin setiap Pengda turut serta memberikan penyuluhan online maksimal dua jam, agar cakupan edukasi semakin luas dan dapat menjangkau masyarakat yang tidak bisa hadir secara fisik,” tambahnya.

Vaudy juga menyoroti bahwa topik seminar yang diangkat sangat relevan dan aktual, seiring dengan implementasi CoreTax System yang sedang berlangsung. Ia memuji pemilihan tema serta kualitas narasumber yang dinilai menguasai materi secara mendalam.

“Seminar seperti ini bukan hanya meningkatkan kapasitas profesional konsultan pajak, tapi juga memperkuat literasi perpajakan masyarakat. Ini adalah kontribusi nyata IKPI dalam mendukung sistem perpajakan nasional yang lebih modern dan transparan,” ujarnya.(bl)

Berobat ke Malaysia Tak Lagi Murah, Pemerintah Setempat Kenakan Pajak 6%

IKPI, Jakarta: Kebijakan terbaru Pemerintah Malaysia yang mengenakan pajak layanan kesehatan sebesar 6% bagi warga negara asing mendapat sorotan dari Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI). Menurut PERSI, langkah tersebut berpotensi mengurangi jumlah pasien asal Indonesia yang selama ini menjadi salah satu penyumbang terbesar wisata medis ke negeri jiran itu.

Anggota Kompartemen Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan PERSI, dr. Daniel Budi Wibowo, M.Kes, menyebut penurunan pasien Indonesia kemungkinan terjadi, terutama dari kalangan yang sensitif terhadap harga layanan.

“Bagi kelompok yang mempertimbangkan biaya secara serius, kebijakan ini bisa membuat mereka berpikir dua kali sebelum berobat ke Malaysia,” ujar Daniel kepada Bloomberg Technoz, Jumat (4/7/2025).

Namun demikian, ia menilai dampak pajak tersebut tidak signifikan bagi pasien dari kelompok menengah atas yang cenderung tidak terlalu mempermasalahkan biaya pengobatan. “Kelompok ini tetap akan mencari layanan kesehatan terbaik di luar negeri meski ada tambahan pajak,” tambahnya.

Daniel juga menegaskan bahwa meskipun dikenakan pajak 6%, tarif layanan kesehatan di Malaysia masih lebih terjangkau dibandingkan dengan negara tujuan medis lain seperti Singapura.

Ia menguraikan bahwa pasien Indonesia yang berobat ke Malaysia umumnya berasal dari dua kelompok utama. Pertama, mereka yang kurang percaya pada mutu layanan kesehatan dalam negeri. Kedua, mereka yang mencari pengobatan berkualitas dengan harga yang relatif lebih murah dibandingkan rumah sakit swasta di Indonesia.

“Kelompok pertama tetap akan berangkat karena didorong oleh faktor kepercayaan. Sementara kelompok kedua akan lebih rasional, mereka akan berhitung secara cermat sebelum mengambil keputusan,” jelasnya.

Seperti diketahui, Malaysia mulai menerapkan perluasan pajak penjualan dan jasa (Sales and Service Tax/SST) pada 1 Juli 2025. Salah satu yang terdampak adalah layanan kesehatan untuk warga negara non-Malaysia.

Berdasarkan keterangan Kementerian Keuangan Malaysia, kebijakan ini ditujukan untuk memperkuat posisi fiskal negara, meningkatkan pendapatan, serta memperluas basis pajak. Pendapatan dari pajak tersebut juga akan digunakan untuk memperbaiki sistem perlindungan sosial tanpa membebani warga negara sendiri.

Pengenaan pajak 6% mencakup seluruh layanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas swasta di bawah Private Healthcare Facilities and Services Act 1998, termasuk pengobatan tradisional dan komplementer, serta layanan kesehatan sekutu. Pajak hanya berlaku bagi penyedia layanan dengan nilai transaksi kena pajak mencapai RM1,5 juta dalam periode 12 bulan.

Sementara itu, warga negara Malaysia tetap dibebaskan dari pajak ini untuk layanan kesehatan swasta maupun pengobatan alternatif. (alf)

 

 

 

 

Main Padel Kena Pajak? Ini Penjelasan DJP 

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memberikan klarifikasi terkait pengenaan pajak terhadap aktivitas olahraga padel yang tengah naik daun di kalangan masyarakat urban. Melalui akun resmi X (dulu Twitter) @DitjenPajakRI, DJP menegaskan bahwa pajak atas penyewaan lapangan padel merupakan Pajak Daerah, bukan Pajak Pusat yang dikelola oleh DJP.

“Main padel kena pajak? Iya, tapi pajak daerah,” tulis DJP dalam unggahannya yang dikutip Jumat (4/7/2025).

Fasilitas padel, termasuk penyewaan lapangan, kini dikenai Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) sebesar 10%. Ketentuan ini tertuang dalam Keputusan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Nomor 257 Tahun 2025, yang merupakan perubahan kedua atas Keputusan Bapenda Nomor 854 Tahun 2024.

Menurut DJP, PBJT atas fasilitas padel dipungut oleh penyedia jasa sewa lapangan dan wajib disetorkan ke Kas Daerah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD).

Pembedaan Pajak Pusat dan Pajak Daerah

DJP juga memanfaatkan momentum ini untuk mengedukasi masyarakat terkait perbedaan antara pajak pusat dan pajak daerah. Pajak pusat, yang dikelola oleh DJP di bawah Kementerian Keuangan, mencakup:

  1. Pajak Penghasilan (PPh)
  2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
  3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
  4. Bea Meterai
  5. Pajak Bumi dan Bangunan sektor P5L (Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan, Migas, Minerba)
  6. Pajak Karbon (dalam tahap implementasi)

Sementara itu, pajak daerah terbagi menjadi dua lingkup: provinsi dan kabupaten/kota. Beberapa pajak provinsi antara lain:

  • Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)
  • Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB)
  • Pajak Alat Berat
  • Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB)
  • Pajak Air Permukaan (PAP)
  • Pajak Rokok
  • Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
  • Adapun pajak kabupaten/kota mencakup:
  • Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2)
  • Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
  • Pajak Reklame
  • Pajak Air Tanah
  • Pajak Sarang Burung Walet
  • PBJT
  • Opsen PKB dan BBNKB

Sebagai ilustrasi, DJP mencontohkan bahwa pelaku UMKM dengan omzet hingga Rp500 juta per tahun tidak dikenai PPh. Sebaliknya, untuk pajak daerah, PBJT dikenakan atas jasa hiburan dan fasilitas olahraga seperti lapangan padel.

“Penyewa lapangan padel sebagai konsumen dikenai PBJT sebesar 10%, meliputi tiket masuk, sewa lapangan, dan jasa lainnya. Pajak ini dipungut oleh penyedia jasa dan disetor ke Kas Daerah,” jelas DJP. (alf)

 

 

 

 

Kinerja Pajak Jabar III Moncer, Industri Mamin dan Komunikasi Jadi Andalan

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jawa Barat III menunjukkan performa solid dalam menghimpun penerimaan pajak hingga akhir Mei 2025. Total penerimaan pajak yang dibukukan mencapai Rp10,61 triliun atau setara dengan 32,9% dari target tahunan. Capaian ini mencerminkan pertumbuhan 4,2% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, meskipun kondisi ekonomi masih menghadapi sejumlah tantangan.

Kepala Kanwil DJP Jabar III, Romadhaniah atau yang akrab disapa Nia, menjelaskan bahwa pertumbuhan penerimaan tersebut didorong oleh peningkatan sejumlah jenis pajak utama. “PPN dalam negeri tumbuh 2,1%, PPh Pasal 25/29 Badan meningkat 10,2%, dan PPh final naik 9,4% secara tahunan. Ini mencerminkan stabilitas ekonomi di wilayah kami serta dampak positif dari optimalisasi sistem Coretax,” ujar Nia dalam keterangan tertulis yang diterima, Kamis (3/7/2025).

Dari sisi pengembalian pajak, Kanwil DJP Jabar III mencatat realisasi restitusi sebesar Rp1,1 triliun, mengalami penurunan signifikan sebesar 17,1% secara year-on-year (yoy). Hal ini turut berkontribusi pada neto penerimaan yang lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya.

Secara sektoral, kontribusi terbesar terhadap penerimaan berasal dari sektor industri pengolahan yang tumbuh 12,5%, diikuti oleh jasa perusahaan (3,2%), serta sektor informasi dan komunikasi yang mencatatkan lonjakan pertumbuhan hingga 24,9%. Pada level subsektor, perdagangan besar mencatat pertumbuhan 2,1%, industri makanan dan minuman naik tajam 20,8%, dan industri kertas, karet, serta plastik tumbuh 3,4%.

Paparan kinerja ini disampaikan dalam Konferensi Pers Asset Liabilities Committee (ALCo) Regional Jabar yang juga mengungkapkan gambaran fiskal wilayah tersebut. Hingga 31 Mei 2025, pendapatan APBN regional Jawa Barat mencapai Rp56,16 triliun atau 34,63% dari target, sementara belanja negara terserap Rp44,37 triliun atau 37,59%. Dengan demikian, regional Jabar mencatat surplus fiskal sebesar Rp11,79 triliun.

Secara keseluruhan, pendapatan negara regional Jabar meningkat 2,87% (yoy), didorong oleh pertumbuhan penerimaan perpajakan sebesar 2,50% dan PNBP yang melonjak 9,59%. Selain itu, dukungan terhadap pelaku usaha mikro dan kecil juga terus mengalir. Penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) tercatat sebesar Rp11,55 triliun kepada lebih dari 217 ribu debitur, sementara pembiayaan Ultra Mikro (UMi) telah menjangkau 72 ribu lebih debitur dengan total dana Rp349,09 miliar.

“Kami percaya bahwa kinerja positif ini merupakan hasil dari sinergi kebijakan fiskal yang responsif dan adaptif. Kanwil DJP Jabar III akan terus memperkuat fondasi ekonomi melalui penerimaan yang optimal, layanan yang membaik, serta transformasi kelembagaan yang berkelanjutan dan berintegritas,” pungkas Nia. (alf)

 

 

 

Pemerintah Siapkan Skema Pajak E-Commerce, Wamenkeu: Fokus Pendataan dan Keadilan Usaha

IKPI, Jakarta: Wacana pemerintah untuk memberlakukan kewajiban pemungutan pajak oleh platform e-commerce kembali mencuat. Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu akhirnya angkat bicara, menegaskan bahwa kebijakan tersebut saat ini masih dalam tahap rancangan dan belum memiliki kekuatan hukum.

“Jadi yang pertama, itu kan kebijakannya belum diterbitkan ya, jadi tunggu dulu ya. Makanya saya belum bisa jawab, karena itu belum dikeluarkan,” ujar Anggito kepada wartawan di lingkungan Kementerian Perdagangan, Jakarta, Senin (30/6/2025).

Meski belum resmi diberlakukan, Anggito menjelaskan arah kebijakan ini adalah untuk menciptakan kesetaraan perlakuan perpajakan antara pelaku usaha online dan offline. Pemerintah ingin memastikan bahwa transaksi melalui sistem elektronik atau digital turut tercatat dalam sistem perpajakan nasional.

“Kalau non-elektronik kan enggak ada masalah ya, semua pakai faktur, terdata. Yang PMSE ini belum ada datanya. Jadi kita menugaskan kepada platform untuk mendata siapa saja yang melakukan perdagangan melalui sistem itu,” ujarnya.

Menurut Anggito, pemerintah tidak bermaksud menciptakan beban pajak baru, melainkan membangun sistem pencatatan yang lebih baik agar pelaku usaha digital tidak luput dari kewajiban pajak. Ia juga membantah anggapan bahwa kebijakan ini bersifat baru.

Wacana serupa sempat muncul pada 2018 lewat PMK Nomor 210 Tahun 2018, namun dibatalkan pada 2019.

“Jadi tidak ada hal yang baru, tidak ada tarif pajak baru. Itu kan ketentuan mengenai tarifnya nantinya akan disampaikan pada waktunya,” jelasnya.

Salah satu hal yang ditekankan Anggito adalah bahwa tidak akan ada pajak berganda bagi pelaku usaha yang berjualan secara online dan offline sekaligus. Skema ini, menurutnya, lebih menitikberatkan pada aspek pendataan dan kesetaraan perlakuan pajak.

“Kan kita ingin melakukan dua hal. Satu, pendataan. Yang kedua adalah perlakuan yang sama antara yang online sama offline,” kata dia.

Rencana ini sebelumnya dilaporkan oleh Reuters, yang menyebut bahwa platform e-commerce nantinya akan diwajibkan memotong dan menyetorkan pajak sebesar 0,5% dari omzet penjualan pedagang yang bertransaksi melalui mereka, dengan kisaran omzet tahunan antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar.

Angka tersebut merujuk pada skema Pajak Penghasilan Final UMKM sesuai PP No. 23 Tahun 2018. Namun hingga kini, pemerintah belum mengonfirmasi besaran tarif atau skema pelaksanaannya secara resmi. Anggito memastikan, semua detail akan disampaikan setelah kebijakan itu disahkan. (alf)

 

 

idEA Minta Penerapan Pajak E-Commerce Dilakukan Bertahap dan Inklusif

IKPI, Jakarta: Rencana pemerintah menunjuk platform e-commerce sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 menuai tanggapan dari Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA). Sekretaris Jenderal idEA, Budi Primawan, mengingatkan agar kebijakan tersebut diterapkan secara hati-hati dan bertahap mengingat dampaknya yang besar terhadap jutaan penjual, khususnya pelaku UMKM digital.

“Jika nantinya platform memang ditunjuk sebagai pemotong pajak untuk penjual orang pribadi dengan omzet tertentu, tentu implementasinya akan berdampak langsung pada jutaan seller, khususnya pelaku UMKM digital,” ujar Budi dalam keterangan tertulisnya diterima, Minggu (29/6/2025).

Budi menyampaikan bahwa kesiapan pelaku usaha menjadi kunci utama agar kebijakan ini berjalan lancar. Ia menekankan perlunya sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan penyedia platform dalam mempersiapkan infrastruktur yang mendukung, termasuk dari sisi edukasi dan sosialisasi.

Menurut Budi, beberapa marketplace memang telah mulai menerima sosialisasi terbatas dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Namun demikian, pihaknya belum bisa memberikan tanggapan lebih dalam karena regulasi teknis belum resmi diterbitkan.

“Keberhasilan implementasi kebijakan ini sangat bergantung pada pendekatan yang kolaboratif, terencana, dan inklusif, agar tidak menimbulkan disrupsi pada pertumbuhan ekosistem digital nasional,” ujarnya.

Sementara itu, DJP memastikan bahwa kebijakan ini bukanlah bentuk pajak baru, melainkan peralihan mekanisme pemungutan. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, menjelaskan bahwa regulasi terkait saat ini sedang difinalisasi di internal pemerintah.

“UMKM orang pribadi dengan omzet di bawah Rp 500 juta tetap tidak dipungut pajak, sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” tegas Rosmauli dalam keterangannya, Kamis (26/6/2025).

Ia menambahkan, penunjukan platform sebagai pemungut PPh Pasal 22 bertujuan menyederhanakan administrasi perpajakan serta menciptakan perlakuan yang setara di antara pelaku usaha digital. Kebijakan ini juga diharapkan dapat memperkuat pengawasan terhadap aktivitas ekonomi digital dan mempersempit ruang bagi praktik shadow economy.

Dengan proses finalisasi yang masih berlangsung, seluruh mata kini tertuju pada regulasi akhir yang akan diterbitkan pemerintah. idEA sendiri menegaskan komitmennya untuk mematuhi dan menjalankan kebijakan yang ditetapkan, selama implementasinya mempertimbangkan kesiapan seluruh pihak yang terdampak. (alf)

 

PER-12/2025 Wajibkan PMSE Laporkan SPT PPN Setiap Masa Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi memperbarui kewajiban pelaporan bagi pemungut Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPN PMSE) melalui terbitnya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-12/PJ/2025.

Aturan ini menandai perubahan signifikan dalam tata cara pelaporan pajak digital. Jika sebelumnya laporan pemungutan PPN PMSE cukup dilakukan setiap triwulan, kini pemungut diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN untuk setiap masa pajak. Batas waktu pelaporan ditetapkan paling lambat akhir masa berikutnya setelah masa pajak berakhir.

Kewajiban ini berlaku bagi seluruh pemungut, baik yang berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP) maupun pihak lain yang bukan PKP. Mereka wajib menggunakan format pelaporan yang diatur dalam PER-11/PJ/2025.

Khusus untuk pelaku PMSE luar negeri, pelaporan dilakukan melalui SPT Masa PPN PMSE Pihak Lain Luar Negeri. Format dan ketentuannya tercantum dalam Lampiran J PER-12/2025. Dokumen ini memuat detail transaksi seperti:

  1. Nomor dan tanggal bukti pungut PPN,
  2. Nilai pembayaran transaksi (tidak termasuk PPN),
  3. Jumlah PPN yang dipungut,
  4. Identitas pengguna (nama, NPWP atau NIK, dan nomor telepon),
  5. Serta alamat email pengguna barang atau jasa digital.

Dirjen Pajak memberi kelonggaran masa transisi. Apabila pemungut mengalami kendala teknis akibat perbedaan sistem dengan Portal DJP, mereka dapat menyampaikan laporan dalam bentuk total (digunggung) hingga 31 Juli 2025. Setelahnya, pemungut wajib melakukan pembetulan SPT dengan melengkapi rincian transaksi.

Perubahan ini menjadi bagian dari langkah DJP memperkuat kepatuhan dan transparansi perpajakan di sektor ekonomi digital yang terus berkembang. (alf)

 

 

 

 

Kanwil DJP Jaksel II Lelang Empat Ruko Sitaan Senilai Rp3,52 Miliar

IKPI, Jakarta: Dalam rangka memulihkan penerimaan negara dan menegakkan kepatuhan perpajakan, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jakarta Selatan II ambil bagian dalam lelang eksekusi serentak se-Jakarta Raya.

Pada kegiatan tersebut, Kanwil DJP Jakarta Selatan II melelang empat aset berupa rumah toko (ruko) yang sebelumnya telah disita oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Jakarta Kebayoran Lama. Total nilai keempat aset tersebut ditaksir mencapai Rp3,52 miliar.

“Lelang ini merupakan bagian dari tindakan penagihan aktif atas utang pajak, sebagai upaya konkret untuk mendukung penerimaan negara,” ujar Kanwil DJP Jakarta Selatan II dalam keterangan resminya dikutip, Minggu (29/6/2025).

Lelang dilakukan secara elektronik melalui laman resmi Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) di www.lelang.go.id.

Lebih lanjut, Kanwil DJP Jakarta Selatan II menegaskan bahwa aksi lelang ini tidak hanya bertujuan mengamankan piutang pajak, tetapi juga sebagai bentuk komitmen dalam memberikan efek jera kepada wajib pajak yang tidak patuh.

“Penegakan hukum perpajakan seperti ini penting untuk menjaga kredibilitas sistem pajak dan mendorong kesadaran masyarakat akan pentingnya memenuhi kewajiban perpajakan secara tepat waktu,” tegas Kanwil DJP.

Lelang eksekusi serentak ini merupakan hasil kolaborasi antar-Kanwil DJP di wilayah Jakarta Raya dan menjadi langkah lanjutan dari strategi penegakan hukum yang lebih terintegrasi dan transparan. (alf)

 

 

Pelaku Usaha PMSE Wajib Setor PPN Pakai Rupiah, Ini Aturan Barunya!

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen) Nomor PER-12/PJ/2025 yang membawa sejumlah penyesuaian penting dalam tata cara penyetoran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).

Salah satu poin aturan ini menegaskan mengenai penggunaan mata uang rupiah untuk pelaku usaha PMSE dalam negeri yang telah ditunjuk sebagai pihak lain. “Pihak Lain Dalam Negeri yang ditunjuk sebagai Pihak Lain melakukan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut dengan menggunakan mata uang rupiah,” demikian kutipan dari Pasal 12 ayat (3) PER-12/PJ/2025.

Sementara itu, pelaku usaha luar negeri diberi fleksibilitas lebih besar. Mereka dapat memilih melakukan penyetoran dalam mata uang rupiah, dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan pada tanggal setor, atau mata uang dolar Amerika Serikat. Penyetoran dalam dolar dilakukan melalui collecting agent yang ditunjuk dan mampu menerima penyetoran dalam mata uang tersebut.

Kebijakan baru ini mempertegas diferensiasi antara pelaku usaha dalam negeri dan luar negeri, berbeda dengan ketentuan sebelumnya di bawah PER-12/PJ/2020. Pada aturan lama, tidak ada pembedaan penggunaan mata uang, dan bahkan dibuka opsi penggunaan mata uang asing lain yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak.

Penyesuaian tersebut selaras dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 yang mendukung implementasi sistem administrasi perpajakan terbaru, Coretax.

Selain soal mata uang, PER-12/PJ/2025 juga memperjelas aspek administratif penyetoran PPN. Setoran dinyatakan sah sesuai dengan tanggal setor yang tercantum dalam bukti penerimaan negara. Jika jatuh tempo penyetoran bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu, Minggu, libur nasional, pemilu, atau cuti bersama — maka penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

Aturan juga memberi kejelasan dalam kasus pencabutan status pihak lain. Bila penunjukan suatu pelaku usaha PMSE sebagai pihak lain telah dicabut, namun PPN sudah dipungut dan belum disetor, maka pajak tersebut tetap wajib disetorkan ke kas negara.

“PPN yang telah dipungut oleh Pelaku Usaha PMSE yang telah dicabut penunjukannya sebagai Pihak Lain tetapi belum disetorkan, wajib disetorkan ke kas negara,” tertulis dalam Pasal 12 ayat (8).

Sebagai informasi, pelaku usaha PMSE merupakan individu atau badan usaha yang menjalankan transaksi secara elektronik, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Mereka yang memenuhi batasan kriteria tertentu seperti nilai transaksi tahunan melebihi Rp600 juta atau pengunjung situs lebih dari 12.000 dalam setahun akan ditunjuk sebagai pihak lain yang wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud (BKP-TB) atau Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar negeri melalui sistem elektronik. (alf)

Kanwil DJP Kalselteng Ingatkan Wajib Pajak: Lunasi Tunggakan atau Hadapi Penyitaan Aset

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah (Kanwil DJP Kalselteng) kembali mengingatkan para wajib pajak untuk tidak menunda kewajiban pembayaran pajak. Imbauan ini disampaikan sebagai bentuk upaya preventif agar masyarakat tidak mengalami penyitaan aset karena tunggakan pajak.

Kepala Kanwil DJP Kalselteng, Syamsinar, menegaskan bahwa penegakan hukum atas piutang pajak dilakukan secara tegas dan terukur. “Bagi wajib pajak yang menunggak dan tidak menunjukkan itikad baik, kami terpaksa melakukan penyitaan aset milik yang bersangkutan. Penyitaan ini hanya dilakukan setelah seluruh prosedur hukum terpenuhi,” ujar Syamsinar di Banjarbaru, Rabu (18/6/2025).

Ia menambahkan, barang-barang yang telah disita akan masuk dalam proses lelang eksekusi sebagai bagian dari penagihan aktif oleh negara. “Lelang bukan semata proses jual beli, tetapi juga merupakan langkah hukum yang sah dan transparan, serta bisa diawasi oleh publik,” lanjutnya.

Menurut Syamsinar, lelang eksekusi dari barang sitaan ini menjadi salah satu sarana penting dalam penyelesaian piutang negara, sekaligus alat pengingat akan pentingnya kepatuhan fiskal. Hasil penjualannya akan masuk ke kas negara sebagai penerimaan perpajakan dan turut menyumbang terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

“Ini menunjukkan bahwa kepatuhan pajak memiliki dampak luas, tidak hanya bagi pelaku usaha tetapi juga dalam menjaga stabilitas keuangan negara. Maka dari itu, kami mendorong wajib pajak untuk segera menyelesaikan kewajibannya sebelum proses hukum berjalan,” tegas Syamsinar.

Kanwil DJP Kalselteng berkomitmen untuk terus mengedepankan pendekatan persuasif dan edukatif, namun tidak ragu bertindak tegas jika terjadi pelanggaran. Penegakan hukum perpajakan, termasuk melalui lelang, menjadi bagian dari upaya mewujudkan keadilan fiskal dan optimalisasi anggaran negara. (alf)

 

en_US