Bank Kini Wajib Hitung Pajak Berdasarkan Laporan ke OJK, Bukan Lagi Perkiraan

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 menghadirkan terobosan penting dalam mekanisme penghitungan angsuran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 khusus untuk Wajib Pajak bank. Aturan baru ini bertujuan meningkatkan akurasi dan transparansi pembayaran pajak sektor perbankan dengan mengacu langsung pada laporan keuangan resmi yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Mengacu Pasal 227 PMK tersebut, dasar penghitungan angsuran PPh 25 adalah laporan posisi keuangan dan laporan laba rugi bank sejak awal tahun hingga masa pajak berjalan. Dengan demikian, pemerintah menekankan pentingnya data keuangan terkini dalam menentukan besaran pajak yang harus dibayar secara berkala.

Penghasilan neto bank akan dikenakan tarif sesuai Pasal 17 UU PPh, setelah dikurangi sejumlah elemen seperti pajak yang telah dipotong (Pasal 22) serta angsuran PPh 25 sebelumnya. Namun demikian, penghasilan dari luar negeri serta penghasilan yang bersifat final atau bukan objek pajak dikecualikan dari penghitungan.

Menariknya, aturan ini juga memberi ruang bagi bank yang mengalami kerugian fiskal. Kerugian tersebut dapat dikompensasikan terhadap penghasilan neto sebelum menentukan angsuran pajak yang harus dibayar.

Langkah ini dipandang sebagai bentuk modernisasi administrasi perpajakan yang sejalan dengan praktik good governance di sektor keuangan. (alf)

 

 

 

PPPK Kemenkeu Dukung Penuh Kolaborasi IKPI dan KACTAE: Perkuat Posisi Konsultan Pajak 

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK) menyatakan dukungan penuh terhadap langkah strategis Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) yang menjalin kerja sama dengan Korean Association of Certified Tax Accountants Examination (KACTAE). Nota kesepahaman (MoU) antara kedua asosiasi ini resmi ditandatangani di kantor sekretariat pusat IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, Jumat (9/5/2025),

Perwakilan PPPK, Lury Sofyan, yang hadir pada kegiatan itu memberikan apresiasi atas terselenggaranya kolaborasi lintas negara ini. Dalam sambutannya, ia menekankan bahwa profesi konsultan pajak kini memiliki posisi strategis di tengah upaya reformasi sistem perpajakan nasional.

“Kami dari Kementerian Keuangan, khususnya PPPK, memberikan dukungan sangat positif terhadap kegiatan seperti ini. Dengan diakuinya konsultan pajak sebagai profesi resmi dalam Undang-Undang P2SK, peran mereka tidak lagi sekadar membantu kepatuhan pajak, tapi juga menjadi bagian penting dari tata kelola keuangan negara,” ujar Lury.

Ia juga mengungkapkan bahwa pertukaran pengetahuan dan pengalaman dengan asosiasi profesi dari negara lain sangat diperlukan dalam membangun ekosistem perpajakan yang sehat dan adaptif.

“Beberapa bulan lalu kami berdiskusi dengan rekan-rekan dari Australia, dan kini kolaborasi dengan Korea Selatan memberikan dimensi baru yang sangat positif. Korea adalah salah satu investor asing terbesar di Indonesia, dan tentu kerja sama ini bisa memperkuat hubungan strategis, tidak hanya antarprofesi, tetapi juga antarpemerintah,” tambahnya.

Lury juga menyoroti pentingnya peran asosiasi dalam memperkuat komunikasi dan pemahaman antarnegara di bidang perpajakan. “Saya yakin kerja sama ini bisa membuka jalan bagi kolaborasi G2G antara Kementerian Keuangan Indonesia dan Kementerian Keuangan Korea Selatan di masa mendatang.” katanya.

Sebelum mengakhiri sambutannya, Lury menyampaikan ucapan selamat datang kepada Direktur Kerja Sama Internasional KACTAE, Mr. Park Dong-ho, yang akan membagikan wawasan dan pengalaman perpajakan dari Korea Selatan dalam sesi selanjutnya.

“Pertemuan seperti ini adalah bentuk nyata dari knowledge exchange yang bermanfaat, bukan hanya bagi konsultan pajak, tapi juga bagi pengembangan sistem perpajakan nasional secara keseluruhan.” ujarnya.

Menurut Lury, penandatanganan MoU ini menjadi tonggak penting dalam memperkuat standar profesionalisme konsultan pajak Indonesia, sekaligus membuka peluang baru dalam kerja sama internasional di bidang perpajakan. (bl)

Jumlah Pelapor SPT di Sulsel Menurun, DJP Luncurkan Operasi Patuh Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat penurunan signifikan jumlah wajib pajak yang melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) di Sulawesi Selatan (Sulsel) per 31 Maret 2025. Berdasarkan data Kanwil DJP Sulawesi Selatan, Barat, dan Tenggara (Sulselbartra), hanya 609.646 wajib pajak yang menyampaikan SPT turun 8,43% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Mayoritas penurunan terjadi pada wajib pajak orang pribadi, yang hanya mencatatkan 595.364 pelapor, berkurang 8,24%. Sementara itu, SPT dari badan usaha hanya berjumlah 14.282, anjlok hingga 15,7%.

Kepala Kanwil DJP Sulselbartra, Heri Kuswanto, menyebut momentum libur Lebaran yang bertepatan dengan batas akhir pelaporan SPT menjadi salah satu penyebab turunnya kepatuhan.

Meski DJP sempat memberikan perpanjangan waktu, banyak masyarakat diduga tidak mengetahui informasi tersebut. “Ini menjadi keprihatinan kami dan tentu akan menjadi bahan evaluasi ke depan,” ujar Heri dalam keterangannya, Kamis (8/5/2025).

Meski pelaporan SPT menurun, penerimaan pajak Sulsel pada kuartal I/2025 masih menunjukkan angka yang cukup kuat, mencapai Rp2,03 triliun. Namun, kontribusinya sangat timpang. Dari total itu, Rp1,38 triliun disumbang oleh 63.370 wajib pajak badan. Sedangkan 713.836 wajib pajak orang pribadi hanya menyetor Rp202 miliar.

“Kontribusi wajib pajak orang pribadi masih sangat kecil. Kami menduga masih banyak yang belum melaporkan omzet secara jujur,” tegas Heri.

Menanggapi hal tersebut, DJP Sulselbartra akan meluncurkan program Operasi Layanan Patuh Pajak yang menurunkan petugas langsung ke lapangan untuk memberikan edukasi dan konsultasi perpajakan. Petugas akan dilengkapi surat tugas, identitas resmi, dan seragam khusus. Operasi ini juga akan melibatkan aparat hukum serta pemangku wilayah demi menjaga integritas pelaksanaan.

“Para petugas sudah menandatangani pakta integritas. Kami pastikan tidak akan ada ruang bagi penyimpangan,” kata Heri. (alf)

 

 

Penerimaan Pajak Maret Tembus Rp467 T, DJP Klaim Penerimaan Masuk Tren Positif

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo menyampaikan kabar menggembirakan terkait kinerja penerimaan negara saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR pada Rabu (7/5/2025). Ia mengungkapkan bahwa penerimaan pajak bruto hingga akhir Maret 2025 telah mencapai Rp467 triliun, dengan pertumbuhan positif pada bulan Maret setelah dua bulan sebelumnya mengalami kontraksi.

“Postur APBN 2025 tetap mengacu pada UU No. 62 Tahun 2024, dan realisasi penerimaan negara hingga 31 Maret telah menunjukkan arah pemulihan yang baik,” ujar Suryo.

Ia menjelaskan bahwa pada bulan Januari dan Februari, penerimaan pajak sempat tertekan akibat penurunan PPh 21 karena dampak implementasi Tarif Efektif Rata-rata (TER) serta peningkatan restitusi.

Namun, kondisi mulai berbalik arah pada Maret. Penerimaan pajak di bulan tersebut naik signifikan, sejalan dengan pola musiman yang biasa terjadi tiap tahun, di mana penerimaan meningkat setelah pelemahan di awal tahun.

Data yang disampaikan menunjukkan, penerimaan perpajakan secara keseluruhan telah mencapai Rp516,1 triliun atau sekitar 17,2% dari target APBN 2025 sebesar Rp3.005,1 triliun. Dari jumlah itu, penerimaan pajak mencapai Rp400,1 triliun dan cukai serta kepabeanan sebesar Rp116,0 triliun. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga berkontribusi Rp104,2 triliun.

Sementara itu, belanja negara hingga akhir Maret tercatat sebesar Rp620,3 triliun, yang terdiri dari belanja pemerintah pusat Rp413,2 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp207,1 triliun.

Dengan komposisi ini, APBN mencatat defisit sebesar Rp104,2 triliun atau 0,43% terhadap PDB, dan keseimbangan primer negatif Rp17,5 triliun. Meski demikian, pemerintah tetap optimis pengelolaan fiskal tetap terjaga, ditopang oleh tren penerimaan yang kembali positif serta belanja negara yang mulai meningkat seiring dengan program-program prioritas nasional.

“Kami akan terus mengawasi tren ini dengan ketat dan menjaga momentum pertumbuhan penerimaan di tengah tantangan ekonomi global dan domestik,” kata Suryo. (bl)

 

 

Kanwil DJP Kalselteng Blokir 68 Rekening Penunggak Pajak 

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Kalimantan Selatan dan Tengah (Kanwil DJP Kalselteng) kembali menunjukkan sikap tegas terhadap para penunggak pajak. Dalam langkah serentak yang mencerminkan ketegasan hukum fiskal, sebanyak 68 rekening milik Wajib Pajak (WP) diblokir pada Rabu (23/4/2025), dengan nilai tunggakan yang mencapai Rp32,8 miliar.

Aksi ini dilakukan oleh sembilan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di bawah naungan Kanwil DJP Kalselteng. Rinciannya, lima KPP di wilayah Kalimantan Selatan memblokir 14 rekening dengan total tunggakan Rp7,6 miliar, sementara empat KPP di Kalimantan Tengah menindak 54 rekening senilai Rp25,2 miliar.

Kepala Kanwil DJP Kalselteng, Syamsinar, menegaskan bahwa langkah ini diambil setelah berbagai upaya persuasif tidak membuahkan hasil. “Sebelum pemblokiran dilakukan, kami telah mengirimkan Surat Teguran hingga Surat Paksa melalui Jurusita Pajak. Kami juga memberikan waktu dan kesempatan agar WP melunasi kewajibannya secara sukarela,” ujarnya.

Syamsinar menambahkan bahwa pemblokiran rekening ditujukan agar tidak terjadi pengalihan aset yang bisa menghambat proses penagihan. “Tindakan ini berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61 Tahun 2023. Kami ingin memastikan bahwa aset para penunggak tetap utuh dan bisa digunakan untuk melunasi utang pajaknya,” jelasnya.

Meskipun rekening telah diblokir, WP masih memiliki kesempatan untuk menyelesaikan tunggakannya agar pemblokiran tidak berlanjut ke tahap penyitaan aset. “Tindakan ini bukan hanya soal penegakan aturan, tetapi juga memberi keadilan bagi WP yang selama ini taat membayar pajak,” pungkas Syamsinar.

Aksi pemblokiran massal ini menjadi sinyal kuat bahwa DJP tidak akan mentolerir penunggakan pajak yang merugikan negara, sekaligus menjadi pengingat bahwa kepatuhan pajak adalah tanggung jawab bersama demi pembangunan yang berkelanjutan. (alf)

 

IKPI Apresiasi Perbaikan Signifikan Sistem Coretax DJP, Namun Ingatkan Masih Ada Kendala Registrasi NIK-NPWP

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) mengapresiasi langkah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam memperbaiki performa Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax) yang kini menunjukkan peningkatan signifikan. Dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi XI DPR RI, Rabu (7/5/2025), Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo mengungkapkan bahwa waktu akses login ke sistem kini hanya memerlukan 0,001 detik.

“Alhamdulillah, dari sebelumnya 4,1 detik untuk akses login, kini sekitar 0,001 detik. Jadi, cukup cepat,” ujar Suryo.

Tak hanya kecepatan akses, DJP juga telah melakukan pembenahan terhadap sistem basis data dan perbaikan error terkait perubahan data. Berdasarkan laporan internal, jumlah kasus error menurun drastis dari 397 kasus pada 10 Februari menjadi hanya 18 kasus selama periode 1–6 Mei 2025.

Perbaikan juga menyentuh pengiriman kode otorisasi dan OTP yang sebelumnya mengalami keterlambatan lebih dari 5 menit, menyebabkan timeout dan menghambat akses wajib pajak. Kini, masalah tersebut disebut telah teratasi.

Meski demikian, IKPI melalui Ketua Departemen Humas, Jemmi Sutiono, menyoroti masih adanya kendala terkait registrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Hal ini dinilai menghambat proses pelaporan dan perhitungan PPh Pasal 21, khususnya dalam pembuatan e-Bukti Potong (e-Bupot).

“Dari sisi pemberi kerja, masih ada kendala saat impor data menggunakan file XML ke dalam sistem Coretax karena sensitivitas variabel data. Ini membuat pengguna merasa tidak nyaman. Kami menghimbau pemberi kerja agar mendorong karyawan segera memadankan atau mengaktifkan NIK menjadi NPWP,” tegas Jemmi.

IKPI juga mendorong agar tim IT DJP segera memformulasikan solusi agar proses impor data lebih stabil dan tidak berubah-ubah, demi mendukung efisiensi pelaporan perpajakan secara elektronik. (bl)

Tax Amnesty Kembali Dibahas: Akademisi dan Praktisi UI Soroti Risiko Penurunan Kepatuhan Pajak

IKPI, Jakarta: Pemerintah kembali menggulirkan wacana tax amnesty lewat Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak yang resmi masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025. Menanggapi hal itu, Departemen Ilmu Administrasi Fiskal Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI) menggelar webinar, Kamis (8/5/2025) yang mempertemukan akademisi dan praktisi perpajakan untuk mengkaji urgensi dan risiko kebijakan tersebut.

Webinar bertajuk “Urgensi Tax Amnesty dalam Perspektif Teoritis dan International Best Practice” itu diikuti sekitar 300 peserta dari berbagai kalangan. Pimpinan FIA UI, Teguh Kurniawan, mengingatkan bahwa kebijakan tax amnesty harus dipertimbangkan secara matang karena dapat menimbulkan ketidakadilan bagi Wajib Pajak yang selama ini patuh. Ia menegaskan pentingnya transparansi, komunikasi publik, dan penegakan hukum yang berkelanjutan sebagai fondasi keberhasilan kebijakan ini.

“Tax amnesty bukan sekadar strategi jangka pendek untuk menggenjot penerimaan negara. Jika tidak disertai pembenahan sistem, kebijakan ini bisa melemahkan kepercayaan dan kepatuhan jangka panjang,” ujar Teguh.

Senada dengan Teguh, Ketua Departemen Ilmu Administrasi Fiskal FIA UI Inayati menekankan perlunya evaluasi menyeluruh sebelum kebijakan serupa kembali digulirkan. “Pertanyaannya bukan hanya perlu atau tidak, tapi apa yang harus disiapkan agar kebijakan ini tidak kontra produktif terhadap kepatuhan pajak,” tegasnya.

Machfud Sidik, Dosen FIA UI, turut menyoroti efek negatif tax amnesty dari perspektif teori rational expectations. Ia memperingatkan bahwa pengulangan kebijakan tanpa reformasi nyata dapat mengikis insentif kepatuhan. “Jika masyarakat menganggap pemerintah akan terus memberi pengampunan, maka kepatuhan bisa turun drastis,” jelasnya.

Sementara itu, Guru Besar FIA UI Haula Rosdiana menggarisbawahi pentingnya roadmap pasca-tax amnesty. “Kepatuhan tidak bisa dibeli lewat kebijakan sesaat. Pemerintah harus membangun sistem data, pengawasan, dan penegakan hukum yang konsisten,” kata Haula. Ia menambahkan bahwa pengalaman sebelumnya menunjukkan penurunan kepatuhan setelah kebijakan pengampunan dilaksanakan.

Direktur DDTC Fiscal Research and Advisory, Bawono Kristiaji, bahkan menyebut bahwa perluasan basis pajak bisa dilakukan tanpa tax amnesty. Ia menilai, dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, keputusan untuk kembali memberikan pengampunan pajak perlu dipertimbangkan dengan sangat hati-hati.

Sebagai catatan, Indonesia telah beberapa kali menerapkan tax amnesty, mulai dari era Presiden Sukarno pada 1964, era Presiden Soeharto pada 1984, hingga kebijakan besar pada 2016 yang berhasil mengungkap harta sebesar Rp4.884 triliun. Namun, partisipasi dalam program serupa pada 2021–2022 jauh lebih rendah. (alf)

 

Dirjen Pajak Optimis Tren Positif Penerimaan Berlanjut

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat kinerja penerimaan pajak yang impresif sepanjang 2020 hingga 2024. Dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi XI DPR RI pada Rabu (7/5/2025), Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo memaparkan bagaimana penerimaan pajak berhasil pulih dan tumbuh konsisten meski diwarnai tantangan global dan domestik.

“Pada 2020, penerimaan pajak sempat terkontraksi hingga 19,6% akibat pandemi COVID-19. Namun berkat reformasi perpajakan dan pemulihan ekonomi, kita bisa bangkit,” ujar Suryo.

(Sumber: Direktorat Jenderal Pajak)

Tahun 2021 menjadi titik balik penting dengan pertumbuhan tajam 19,3%, didorong oleh efek pemulihan ekonomi dan lonjakan harga komoditas.

Tren positif ini berlanjut pada 2022 yang mencatatkan pertumbuhan spektakuler sebesar 34,3%, ditopang oleh commodity boom, kebijakan Program Pengungkapan Sukarela (PPS), dan penyesuaian tarif PPN sesuai Undang-Undang HPP.

Namun, pada 2023 laju pertumbuhan melambat menjadi 8,8% karena penurunan harga komoditas dan menurunnya nilai impor. Meski demikian, DJP tetap berhasil mencapai target penerimaan hingga 102,7% dari APBN.

Tahun 2024 mencatatkan pertumbuhan moderat sebesar 3,5%. Suryo menekankan bahwa capaian ini tetap positif mengingat basis tinggi di tahun-tahun sebelumnya serta adanya tantangan eksternal.

“Selama empat tahun terakhir, penerimaan pajak tidak hanya tumbuh secara nominal tetapi juga berhasil melampaui target APBN, menunjukkan bauran kebijakan yang efektif dan kelanjutan reformasi perpajakan yang konsisten,” kata Suryo.

Untuk 2025, DJP menargetkan penerimaan sebesar Rp 2.016 triliun, atau tumbuh 13,3% dari realisasi 2024. Pemerintah optimistis, meski harga komoditas tidak lagi setinggi sebelumnya, implementasi penuh UU HPP dan sistem administrasi perpajakan yang semakin digital diyakini akan menjadi tulang punggung pencapaian target. (bl)

 

Menkeu Sri Mulyani Bahas Zakat, Pajak, dan Bea Cukai dalam Konferensi Internasional di Riyadh

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, menghadiri konferensi internasional yang diselenggarakan di Riyadh, Arab Saudi pada 4-5 Desember 2024. Dalam kesempatan tersebut, Sri Mulyani berbicara tentang reformasi keuangan negara, kebijakan fiskal, serta pentingnya pengelolaan pajak, bea cukai, dan zakat dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Konferensi tersebut diadakan atas undangan Menteri Keuangan Arab Saudi, Mohammed Al-Jadaan, dan dihadiri oleh sejumlah pembicara penting, termasuk Menteri Keuangan Bahrain, Shaikh Salman bin Khalifa Al Khalifa, serta Menteri Negara Keuangan India, Shri Pankaj Chaudhary.

Sri Mulyani menyampaikan bahwa negara-negara Teluk, khususnya di Timur Tengah, tengah melakukan berbagai reformasi dalam sektor keuangan negara dan kebijakan fiskal.

Reformasi ini bertujuan untuk memodernisasi ekonomi, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara merata.

“Negara-negara Teluk di Timur Tengah tengah banyak melakukan reformasi Keuangan Negara, Fiskal Policy dan Perpajakan (Pajak, Bea Cukai dan Zakat) untuk memodernisasi ekonomi, mendorong dan mendukung pertumbuhan ekonomi serta kesejahteraan merata,” ujar Sri Mulyani melalui unggahan di akun Instagram resminya pada Minggu (8/12/2024).

Dalam sesi yang bertajuk “Memastikan Kemakmuran Melalui Penciptaan Pendapatan Ekonomi yang Berkelanjutan,” Sri Mulyani berbagi pengalaman Indonesia dalam memulihkan ekonomi pasca-pandemi COVID-19, tantangan kebijakan fiskal, serta pentingnya reformasi perpajakan dan tata kelola fiskal global.

Menurutnya, kebijakan fiskal yang efektif menjadi kunci dalam pemulihan dan pertumbuhan ekonomi global yang inklusif.

“Saya diminta untuk berbicara mengenai pengalaman Indonesia dalam memulihkan ekonomi pasca COVID-19, tantangan kebijakan fiskal, dan tata kelola fiskal global yang sangat menantang, namun sangat penting bagi semua negara,” kata Sri Mulyani.

Ia juga menekankan pentingnya belajar dari negara-negara lain, termasuk Arab Saudi dan negara-negara Teluk lainnya, tentang kebijakan ekonomi dan fiskal yang dapat mendiversifikasi dan mentransformasi ekonomi.

Menurutnya, konferensi internasional ini menjadi wadah penting untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam memajukan perekonomian global, terutama dalam menghadapi tantangan fiskal dan memaksimalkan potensi ekonomi berkelanjutan. (alf)

Menkeu Sebut Penerimaan Pajak Awal 2023 Tumbuh 40,35%

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, penerimaan pajak sampai dengan Februari 2023 masih sangat kuat dengan realisasinya Rp279,98 triliun atau 16,3% dari target APBN 2023, tumbuh 40,35%. Jumlah ini berasal dari PPh Non Migas sebesar Rp137,09 triliun, PPN dan PPnBM sebesar Rp128,27 triliun, PBB dan pajak lainnya sebesar Rp1,95 triliun, dan PPh Migas sebesar Rp12,67 triliun.

Dikutip dari Kemenkeu.go.id, kinerja penerimaan pajak yang sangat baik pada dua bulan pertama tahun 2023 ini dipengaruhi oleh harga komoditas yang masih lebih tinggi dibandingkan Januari-Februari 2022, aktivitas ekonomi yang terus membaik, dan dampak dari implementasi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

“Ketiganya adalah yang memberikan pertumbuhan penerimaan pajak yang sangat baik. Kita tentu tetap waspada meskipun sampai dengan Februari ini sangat bagus karena tadi situasi dunia tidak dalam kondisi yang stabil dan baik. Jadi kita harus mewaspadai,” ungkap Menkeu pada Konferensi Pers APBN Kita di Aula Djuanda Kementerian Keuangan Jakarta, Selasa (14/03/2023).

Pertumbuhan Neto untuk Jenis Pajak dominan positif. PPh 21 masih kuat didukung utilisasi dan upah tenaga kerja yang menunjukkan kemampuan perusahaan memberikan tambahan pendapatan kepada pekerjanya dengan pertumbuhan penerimaannya 21,4%. PPh OP meningkat 22,3% disebabkan pembayaran PPh Tahunan. PPh Badan tumbuh 33,8% ditopang tingginya pertumbuhan setoran masa terutama Jasa Keuangan dan Asuransi. PPN dalam negeri tumbuh baik seiring dengan peningkatan konsumsi dalam negeri dan implementasi UU HPP.

Sementara itu, PPh Final terkontraksi pada bulan Februari karena adanya kebijakan Program Pengungkapan Sukarela pada tahun lalu yang tidak terulang kembali pada tahun ini, serta PPh 22 dan PPN impor melambat pada bulan Februari sejalan dengan aktivitas impor yang menurun dibandingkan Januari.

Selain itu, pertumbuhan neto untuk seluruh sektor utama juga tumbuh positif. Sektor industri pengolahan tumbuh dengan kontribusi terbesar dari industri kendaraan bermotor dan pengilangan minyak bumi. Sektor perdagangan tumbuh dengan kontribusi terbesar perdagangan mesin, peralatan, dan perlengkapan lainnya. Sektor jasa keuangan tumbuh kuat didorong peningkatan suku bunga dan penyaluran kredit perbankan. Sektor pertambangan berkinerja baik karena masih terjaganya harga komoditas terutama batu bara.

Sektor konstruksi dan real estat mengalami pertumbuhan lonjakan yang tinggi sebesar 37,5% yang menggambarkan kegiatan yang punya multiplier efek paling besar dari sisi penciptaan kesempatan kerja. Sektor transportasi dan pergudangan dengan kegiatan masyarakat yang mulai menggeliat, lonjakannya sangat tinggi mencapai 60,5%.

“Jadi ini sektor yang tadinya kena scarring effect, sekarang menggeliat pulih luar biasa,” pungkas Menkeu. (bl)

id_ID