Suryo Utomo Pimpin Badan Teknologi, Informasi dan Intelijen Keuangan: Garda Depan Baru Kemenkeu Hadapi Kejahatan Finansial Digital

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati resmi melantik Suryo Utomo sebagai Kepala Badan Teknologi, Informasi, dan Intelijen Keuangan. Lembaga baru di bawah Kementerian Keuangan yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 158 Tahun 2024. Pelantikan berlangsung pada Jumat (23/5/2025), bersamaan dengan pelantikan pejabat eselon I lainnya.

Penunjukan Suryo Utomo yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Jenderal Pajak menandai langkah strategis Kemenkeu dalam memperkuat pertahanan keuangan negara di era digital.

“Itu adalah janji kontrak secara spiritual maupun secara kemanusiaan bahwa anda melakukan sesuai sumpah jabatan pada tanggung jawab baru yang diberikan oleh negara,” kata Sri Mulyani saat pelantikan di Gedung Djuanda Kemenkeu, Jumat (23/5/2025)

Lembaga Intelijen Keuangan Pertama di Kemenkeu

Lembaga ini merupakan unit baru yang dibentuk untuk menghadirkan pendekatan intelijen dalam pengelolaan keuangan negara. Lembaga ini memiliki mandat utama di lima bidang strategis: intelijen keuangan, pengembangan teknologi informasi dan komunikasi, pengelolaan data keuangan, monitoring dan evaluasi kinerja fiskal, serta pelaksanaan administrasi pendukung.

Menurut keterangan resmi Kemenkeu, lembaga ini akan menjadi motor penggerak dalam menganalisis risiko, mendeteksi potensi kejahatan keuangan, dan merancang kebijakan berbasis data yang presisi. Lebaga ini juga akan berperan penting dalam mengantisipasi ancaman siber terhadap sistem keuangan negara.

Transformasi Digital Keuangan Negara

Pembentukan ini tak lepas dari komitmen pemerintah untuk menjawab tantangan digitalisasi global. Melalui lebaga di bawah Kemenkeu kini memiliki organ khusus yang tidak hanya mengumpulkan dan mengelola data keuangan, tetapi juga mengolahnya menjadi informasi strategis untuk mendukung pengambilan keputusan cepat dan tepat.

Di tengah kompleksitas transaksi keuangan dan ancaman kejahatan siber, kita memerlukan unit kerja yang tanggap, analitis, dan berbasis teknologi. Lembaga ini akan menjadi garda depan.

Dari Pajak ke Intelijen Keuangan

Suryo Utomo dikenal sebagai arsitek sejumlah transformasi digital di Direktorat Jenderal Pajak, termasuk implementasi sistem perpajakan berbasis data yang memperkuat kepatuhan dan transparansi. Dengan pengalaman itu, ia dinilai tepat memimpin BIK dalam menjalankan fungsi barunya.

Langkah Awal, Sorotan Besar

Sebagai lembaga yang baru terbentuk pada 2024, keberadaan Badan Teknologi, Informasi, dan Intelijen Keuangan. menjadi sorotan penting. Banyak pihak menanti gebrakan pertamanya, mulai dari penanganan data fiskal strategis hingga pelaporan intelijen keuangan yang mendalam.

Dengan dilantiknya Suryo Utomo, publik berharap lembaga tersebut segera menunjukkan peran signifikan dalam ekosistem kebijakan fiskal Indonesia. (bl)

 

Guru Besar UI Desak Presiden Segera Bentuk Badan Penerimaan Negara

IKPI, Jakarta: Stagnasi rasio pajak Indonesia kembali menjadi perbincangan hangat di tengah publik. Dalam Diskusi Panel yang diselenggarakan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) bertajuk “Membedah Stagnasi Tax Ratio Indonesia: Masalah Struktural, Teknis, atau Ekonomi?”, Senin (19/5/2025), Guru Besar Kebijakan Publik Perpajakan FIA UI, Prof. Haula Rosdiana, menyampaikan desakan kepada Presiden Prabowo Subianto agar segera merealisasikan pembentukan Badan Penerimaan Negara.

“Sudah saatnya kita jujur melihat persoalan tata kelola perpajakan. Teman-teman di Direktorat Jenderal Pajak terus didorong berada di garis depan, padahal secara struktural dan kelembagaan mereka belum diberi ruang gerak yang cukup. Kita butuh lembaga yang benar-benar agile, mampu beradaptasi dengan cepat di tengah perubahan,” ujar Haula dalam paparannya.

Haula menekankan bahwa pembentukan Badan Penerimaan Negara bukan sekadar janji kampanye, melainkan kebutuhan strategis untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan pendapatan negara.

Menurutnya, lembaga ini tidak hanya menyatukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), melainkan menjadi bagian dari transformasi kelembagaan secara menyeluruh.

Ia menyoroti bahwa reformasi perpajakan yang sudah berjalan sejak 1983 dan proyek modernisasi sistem seperti Coretax belum menunjukkan hasil signifikan terhadap peningkatan tax ratio. “IT itu hanya komponen kecil. Transformasi kelembagaan jauh lebih mendasar,” tegasnya.

Lebih lanjut, Haula menjelaskan bahwa Badan Penerimaan Negara nantinya akan mengintegrasikan seluruh sumber penerimaan, termasuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang selama ini berada di bawah kendali Direktorat Jenderal Anggaran. (bl)

 

RUU Pemotongan Pajak Trump Lolos Komite, DPR AS Bersiap Gelar Pemungutan Suara Penuh

IKPI, Jakarta: Rancangan Undang-Undang (RUU) pemotongan pajak yang didorong oleh mantan Presiden Donald Trump berhasil melewati tahap penting setelah disetujui oleh komite anggaran utama di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Amerika Serikat. Keputusan ini membuka jalan bagi pembahasan dan pemungutan suara di tingkat majelis penuh.

RUU tersebut disahkan melalui pemungutan suara tipis 17-16, dengan dukungan mayoritas dari Partai Republik. Menariknya, empat anggota konservatif dari Partai Republik yang sebelumnya menolak RUU tersebut kini mengubah haluan dan memilih untuk meloloskannya dalam tahap “voice vote” atau penyampaian pendapat secara lisan.

Mengutip laporan Xinhua, Kamis (21/5/2025) RUU ini memuat sejumlah kebijakan yang kontroversial. Di antaranya adalah peningkatan anggaran besar-besaran untuk penegakan hukum imigrasi dan belanja pertahanan, serta perpanjangan pemotongan pajak yang pertama kali diberlakukan pada era Trump tahun 2017 dan akan segera berakhir pada akhir tahun ini.

Namun, tidak semua pihak menyambut positif isi RUU tersebut. Dokumen ini juga mencakup pemangkasan dana untuk program Medicaid, bantuan pangan, serta pengurangan dukungan terhadap energi bersih langkah yang diperkirakan akan memicu perdebatan sengit di Kongres.

Sejumlah analis memperkirakan RUU ini masih harus mengalami revisi signifikan untuk mendapatkan restu dari seluruh anggota DPR. Senat yang dikuasai oleh Partai Republik bahkan telah memberi sinyal bahwa mereka tidak akan menyetujui versi saat ini tanpa perubahan besar.

Langkah berikutnya menjadi krusial, karena hasil akhir RUU ini berpotensi memengaruhi kebijakan fiskal, sosial, dan lingkungan Amerika Serikat untuk beberapa tahun ke depan. (alf)

 

 

Tegas! Prabowo Perintahkan Bimo Wijayanto Jadikan Sistem Pajak Lebih Akuntabel dan Independen

IKPI, Jakarta: Presiden Prabowo Subianto memberikan sinyal tegas bahwa reformasi perpajakan akan menjadi prioritas utama pemerintahannya. Dalam pertemuan tertutup di Istana Negara, Selasa (20/5/2025), Prabowo memanggil dua sosok kunci: Bimo Wijayanto dan Letjen Djaka Budi Utama, yang disebut-sebut bakal menempati posisi strategis sebagai Dirjen Pajak dan Dirjen Bea Cukai.

Pertemuan yang berlangsung selama tiga jam itu berisi arahan langsung dari Presiden. Usai pertemuan, hanya Bimo yang menemui awak media, membagikan pesan penting dari Prabowo.

“Bapak Presiden menegaskan agar sistem perpajakan ke depan lebih akuntabel, lebih berintegritas, dan lebih independen. Tujuannya jelas mengamankan pendanaan program-program strategis nasional,” kata Bimo.

Meski belum mengonfirmasi secara resmi penunjukannya sebagai Direktur Jenderal Pajak, Bimo menyiratkan bahwa ia sedang bersiap untuk tanggung jawab besar itu. Salah satu langkah awalnya adalah mempercepat perbaikan sistem Coretax yang hingga kini masih menyimpan banyak persoalan.

“Masih ada 18 isu teknis dalam Coretax yang harus segera kami benahi. Tiga sudah selesai, dan sisanya kami target rampung dalam tiga bulan,” ungkapnya.

Masalah pada Coretax bukan hal sepele. Sistem ini sempat mengganggu arus likuiditas pelaku usaha karena hambatan dalam penerbitan faktur pajak. Menurut data Apindo, sebelum Coretax, sistem e-faktur bisa menerbitkan hingga 60 juta faktur per bulan. Namun setelah Coretax diberlakukan, angka itu anjlok menjadi hanya 30–40 juta.

Ajib Hamdani dari Apindo menyebut kondisi ini telah memperlambat aktivitas ekonomi nasional. “Cash flow pengusaha terganggu karena penerbitan invoice tersendat. Ini membuat perputaran ekonomi melambat di kuartal pertama 2025,” jelasnya.

Di sisi lain, kinerja penerimaan pajak juga masih jauh dari target. Hingga akhir Maret 2025, total penerimaan baru mencapai Rp 322,6 triliun atau 14,7% dari target tahunan. Hal ini turut dipengaruhi implementasi kebijakan Tarif Efektif Rata-Rata (TER) untuk PPh 21 sejak Januari 2024, yang disebut masih menyisakan tantangan adaptasi.

Dengan sorotan yang tajam dari Presiden, reformasi di tubuh Direktorat Jenderal Pajak tampaknya tak lagi bisa ditunda. Jika resmi menjabat, Bimo diharapkan mampu menghadirkan transformasi yang membawa sistem pajak Indonesia menuju era baru: transparan, tangguh, dan berwibawa. (alf)

 

 

Penerimaan Pajak Merosot, Sri Mulyani Optimistis APBN 2025 Tetap Jadi Penyangga Ekonomi

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan melaporkan bahwa realisasi penerimaan pajak hingga 30 April 2025 mencapai Rp557,1 triliun. Angka tersebut mencatat penurunan 10,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yang mencapai Rp624,2 triliun. Meski begitu, capaian ini menunjukkan tren pemulihan dibandingkan realisasi Maret 2025 yang hanya sebesar Rp322,6 triliun.

Dengan capaian tersebut, penerimaan pajak baru mencapai 25,4% dari target tahun ini yang dipatok dalam APBN sebesar Rp2.189,3 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam paparannya menyebutkan bahwa total pendapatan negara hingga akhir April 2025 adalah Rp810,5 triliun, turun 12,4% secara tahunan dari Rp925,2 triliun tahun sebelumnya.

“Penerimaan negara, khususnya dari sektor perpajakan, memang mengalami tekanan. Namun, kita tetap melihat adanya sinyal pemulihan ekonomi yang mulai menguat,” ungkap Sri Mulyani dalam rapat paripurna DPR, Rabu (21/5/2025).

Secara lebih rinci, penerimaan perpajakan tercatat sebesar Rp657 triliun termasuk di dalamnya penerimaan pajak sebesar Rp557,1 triliun dan kepabeanan serta cukai sebesar Rp100 triliun. Menariknya, sektor kepabeanan dan cukai justru tumbuh 4,4% dibandingkan tahun lalu yang sebesar Rp95,7 triliun.

Sementara itu, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mengalami penurunan tajam sebesar 24,7% menjadi Rp153,3 triliun, dibandingkan dengan Rp203,6 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Dari sisi pengeluaran, belanja negara hingga April 2025 mencapai Rp806,2 triliun terkontraksi 5,1% secara tahunan. Angka ini terdiri atas belanja pemerintah pusat sebesar Rp546,8 triliun, turun 7,6%, dan transfer ke daerah sebesar Rp259,4 triliun yang tumbuh tipis 0,7%.

Kendati demikian, APBN 2025 mencatatkan kejutan positif. Setelah tiga bulan berturut-turut defisit, kini APBN mencatatkan surplus sebesar Rp4,3 triliun per April. Bahkan, keseimbangan primer mencatatkan surplus Rp173,9 triliun, dan posisi kas negara menguat dengan SILPA sebesar Rp283,6 triliun.

“Ini menandakan APBN tetap menjadi instrumen yang efektif sebagai shock absorber. Ia menjaga stabilitas ekonomi, melindungi rakyat, dan mendukung dunia usaha dalam menghadapi tekanan global,” tegas Sri Mulyani.

Kinerja APBN yang menunjukkan ketahanan fiskal di tengah tekanan global ini menjadi sinyal positif bahwa pemerintah masih memiliki ruang gerak untuk menjalankan program prioritas nasional tanpa mengorbankan stabilitas makroekonomi. (alf)

 

Strategi Penagihan Pajak Daerah Menjadi Penghambat Pertumbuhan Ekonomi

Beberapa waktu lalu, klien saya melakukan pembelian sebuah Bangunan melalui laman yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) atas Bangunan sitaan salah satu Bank di Jakarta. Pada saat proses pelelangan tersebut menimbulkan hak dan kewajiban perpajakan yang harus diselesaikan masing-masing pihak, antara lain Pajak Penjualan (PPh Final 2,5%) yang harus dilunasi oleh Penjual dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB 5%) yang harus dilunasi oleh Pembeli.

Namun, kewajiban BPHTB yang hendak dilunasi oleh Pembeli terhambat oleh salah satu syarat yaitu atas tunggakan yang belum dibayar selama lima tahun terakhir atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang merupakan kewajiban dari yang memanfaatkan dan/atau menguasai bangunan tersebut pada saat terutang.

Hambatan tersebut tertuang dalam Pasal 3 Ayat (1) Peraturan Gubernur (Per-Gub) Provinsi DKI Jakarta No. 34 Tahun 2022 yang menyatakan sebagai berikut:
“Wajib Pajak atau Kuasa Wajib Pajak yang sudah melunasi ketetapan PBB-P2 atas objek perolehan untuk 5 (tahun) pajak terakhir membuat akun pajak online dan melakukan pengisian data SSPD BPHTB secara elektronik, dst…”

Sementara dalam Pasal 2 Per-Gub yang sama juga disebutkan:
“Wajib Pajak wajib membayar dan melaporkan sendiri BPHTB yang terutang melalui sistem e-BPHTB”.

Dua pasal ini menimbulkan kontradiksi: Siapa yang seharusnya dianggap sebagai Wajib Pajak dalam konteks pelunasan tunggakan PBB? Penjual sebagai pihak yang sebelumnya menguasai aset, atau Pembeli yang akan mencatat perolehan hak?
Definisi dalam Pasal 1 Angka 1 Per-Gub menegaskan bahwa Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang memiliki hak dan kewajiban sesuai peraturan perpajakan.

Maka jelas, dalam konteks BPHTB, Pembeli adalah Wajib Pajak. Namun dalam konteks pelunasan PBB lima tahun ke belakang, seharusnya yang bertanggung jawab adalah Penjual. Inilah yang menunjukkan bagaimana strategi penagihan pajak daerah, khususnya lewat syarat administratif yang tidak fleksibel, justru dapat menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi.

Pembeli yang telah siap menginvestasikan dana dan mengaktifkan kembali aset yang dibeli nya, terkendala karena harus menanggung kewajiban yang bukan menjadi tanggung jawabnya.

Dampaknya? Aset tidak dapat segera dimanfaatkan. Jika bangunan tersebut hendak dijadikan hotel, maka hilanglah kesempatan untuk menyerap tenaga kerja lokal, menghasilkan Pajak Hotel 10%, Pajak Restoran 10%, PPh pusat 22%, PPh Pasal 21 atas penghasilan karyawan, dan berbagai retribusi lainnya. Potensi Pendapatan Asli Daerah pun melayang.

Pemerintah daerah perlu menyadari bahwa penagihan pajak seharusnya tidak mematikan potensi ekonomi. Ketika peraturan daerah justru menempatkan investor baru dalam posisi serba salah, maka strategi fiskal yang dimaksudkan untuk mendorong pendapatan daerah malah menjadi kontra-produktif.

Revisi kebijakan diperlukan. Idealnya, penetapan subjek pajak harus jelas dan tidak membebani pihak yang tidak semestinya. Selain itu, perlunya mekanisme khusus untuk objek hasil sitaan atau lelang DJKN, agar proses transaksinya tidak tersandera masalah historis perpajakan yang tidak relevan dengan pihak baru.

Tanpa pembenahan semacam ini, strategi penagihan pajak daerah hanya akan menjadi lingkaran birokrasi yang mengorbankan momentum investasi dan memupus harapan terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi, baik di tingkat lokal maupun nasional.

Penulis adalah Anggota Departemen Pengembangan Organisasi, IKPI

Muhammad Fadhil, S.Ak., S.AP., Ak., BKP

Email: fadhilalhinduan@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

Pemerintah Siapkan RAPBN 2026: Menkeu Sebut Penyusunan di Tengah Ketidakpastian Global

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi menetapkan asumsi dasar makroekonomi sebagai pijakan awal penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2026. Penetapan ini tertuang dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2026 yang dipaparkan dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-18 Masa Persidangan III Tahun Sidang 2024–2025.

Dalam pidato pengantarnya, Menteri Keuangan Sri (Menkeu) Mulyani Indrawati menegaskan bahwa penyusunan RAPBN 2026 tidak dilakukan dalam kondisi normal. Ia menyebut bahwa dunia tengah mengalami transformasi global yang bersifat drastis, fundamental, bahkan dramatis.

“Dalam lanskap tatanan dunia saat ini, globalisasi yang dulu menjadi fondasi kerja sama antarnegara kini bergeser menjadi fragmentasi dan persaingan yang sangat tajam di berbagai lini,” ungkap Sri Mulyani di hadapan anggota dewan, Selasa (20/5/2025)

Ia menjelaskan bahwa tren proteksionisme dan kebijakan ekonomi yang berfokus ke dalam negeri (inward-looking) telah menggantikan semangat kolaborasi global yang dibangun pasca Perang Dunia II. Blok-blok dagang dan investasi internasional yang sebelumnya dijunjung tinggi, kini ditinggalkan dan diabaikan.

“Akibatnya, rantai pasok global mengalami gangguan serius. Ini tidak hanya menghambat distribusi barang, tetapi juga menambah biaya transaksi internasional secara signifikan,” paparnya.

Sri Mulyani juga menyoroti dampak lanjutan dari gejolak global tersebut, mulai dari pelemahan aktivitas ekspor-impor, hingga tekanan terhadap stabilitas keuangan dalam negeri.

“Volatilitas global telah mendorong arus modal keluar dan memberikan tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Ini memicu risiko inflasi, sementara suku bunga global tetap berada pada level tinggi,” ujar dia.

KEM-PPKF 2026 menjadi fondasi penting dalam menyusun RAPBN tahun depan, yang diharapkan mampu menjaga stabilitas ekonomi nasional di tengah gelombang tantangan internasional yang terus berkembang. (alf)

 

Penerimaan Pajak Turun, Sri Mulyani Pede APBN Masih Tangguh

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan mengungkapkan penerimaan pajak negara hingga April 2025 mencapai Rp 557,1 triliun. Angka ini baru memenuhi 25,4% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, sekaligus menunjukkan penurunan signifikan sebesar 10,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang menyentuh Rp 624,2 triliun.

Data tersebut disampaikan langsung oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Sidang Paripurna DPR RI saat memaparkan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2026, Selasa (20/5/2025).

Meski tekanan penerimaan masih terasa, APBN hingga April 2025 tetap mencatatkan surplus sebesar Rp 4,3 triliun atau setara 0,02% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Surplus ini didorong oleh pendapatan negara yang mencapai Rp 810,5 triliun, sedikit lebih tinggi dibanding belanja negara yang berada di angka Rp 806,2 triliun.

“Hal ini menunjukkan bahwa di tengah masa transisi pemerintahan, APBN 2025 tetap mampu menjalankan peran strategisnya dalam mendukung program-program prioritas yang manfaatnya dirasakan langsung oleh masyarakat,” ujar Sri Mulyani di hadapan anggota dewan.

Namun demikian, pendapatan negara secara keseluruhan tetap mengalami penurunan tahunan sebesar 12,4%, dari Rp 719,9 triliun menjadi Rp 810,5 triliun.

Penurunan ini disebut sebagai cerminan dari tantangan global dan domestik yang turut menekan aktivitas ekonomi nasional.

Pemerintah menyatakan akan terus memperkuat strategi pengelolaan fiskal dan menjaga keseimbangan belanja agar tetap produktif, serta responsif terhadap dinamika perekonomian yang terus berkembang. (alf)

 

 

Jangan Kejar Tax Ratio dengan Bebani Rakyat, Ekonom Kritik Rencana BMAD Benang Tekstil

IKPI, Jakarta: Pengamat ekonomi senior Ichsanuddin Noorsy menyoroti rencana pemerintah mengenakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk benang Partially Oriented Yarn (POY) dan Drawn Textured Yarn (DTY) yang dianggapnya bisa menjadi pukulan telak bagi industri tekstil nasional. Menurut Ichsanuddin, kebijakan tersebut berpotensi mendorong restrukturisasi biaya besar-besaran di sektor tekstil, yang pada akhirnya bisa memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Kalau BMAD diterapkan, jalan keluar satu-satunya adalah restrukturisasi biaya. Dan langkah paling cepat adalah PHK,” ujarnya kepada wartawan, Selasa (20/5/2025).

Ia menyebut kebijakan fiskal semacam itu tidak adil. Industri tekstil, katanya, tidak bisa disamakan dengan sektor lain karena menyangkut kebutuhan pokok masyarakat, yakni sandang. “Industri tekstil tidak bisa sepenuhnya dilepas ke mekanisme pasar. Ini soal hajat hidup orang banyak,” tegasnya.

Kebijakan Pajak Dinilai Usang

Ichsanuddin juga menilai sistem perpajakan Indonesia saat ini sudah tertinggal jauh dibandingkan negara-negara lain. Ia mencontohkan negara seperti Jepang, India, Bangladesh, dan Vietnam yang masih memberikan insentif fiskal untuk melindungi industri tekstil mereka.

“Di banyak negara, industri tekstil diperlakukan sebagai sektor strategis. Pemerintah mereka memberi berbagai bentuk keringanan pajak untuk menjaga daya saing,” jelasnya.

Ia mengingatkan pemerintah agar tidak menjadikan BMAD sebagai solusi tunggal untuk meningkatkan rasio pajak nasional. Menurutnya, peningkatan penerimaan negara seharusnya difokuskan pada pembenahan sistem pengawasan dan penegakan hukum pajak, terutama terhadap korporasi besar yang kerap menghindari kewajiban mereka.

“Masalah utamanya adalah lemahnya penindakan terhadap kejahatan perpajakan oleh korporasi, baik dalam maupun luar negeri. Jangan sampai rakyat terus dibebani, sementara korporasi besar dibiarkan lolos,” pungkasnya. (alf)

 

 

Penjualan Mobil Menurun, Industri Otomotif Desak Evaluasi Pajak dan Insentif Baru

IKPI, Jakarta: Industri otomotif nasional menghadapi tantangan berat untuk kembali menembus angka penjualan 1 juta unit mobil per tahun. Setelah sempat bangkit usai pandemi, tren penjualan kembali menurun, mendorong pelaku industri mendesak pemerintah agar meninjau ulang kebijakan insentif dan perpajakan kendaraan bermotor.

Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Kukuh Kumara, menyatakan insentif terbukti menjadi penyelamat industri saat terjadi krisis. Ia mengingatkan bagaimana pada masa pandemi COVID-19, insentif pemerintah berhasil mendongkrak penjualan dari 532.000 unit pada 2020 menjadi lebih dari 1 juta unit pada 2022 dan 2023. Namun, tren itu tak bertahan lama. Penjualan kembali turun ke 865.000 unit pada 2024 dan diperkirakan hanya mencapai 850.000 unit pada 2025.

“Insentif jangka pendek memang sangat membantu, tapi daya beli masyarakat dan kondisi ekonomi tetap menjadi penentu utama,” ujar Kukuh dalam diskusi Forum Wartawan Industri, Senin (19/5/2025).

Ia juga menyoroti ketimpangan regulasi perpajakan Indonesia dibanding negara tetangga. Menurut Kukuh, pajak kendaraan di Indonesia tergolong paling tinggi di kawasan, bahkan mencapai 50% dari harga kendaraan. Hal ini membuat harga mobil melonjak tajam dari harga pabrik ke konsumen.

Sebagai perbandingan, ia menyebut di Malaysia, pajak kendaraan seperti PKB dan BBN hanya sekitar Rp 1 juta untuk mobil sekelas Avanza, jauh di bawah Indonesia yang bisa mencapai Rp 6 juta. Malaysia, lanjutnya, masih mempertahankan insentif era pandemi, membuat pasar domestik mereka mampu menjual lebih dari 816 ribu unit mobil tahun lalu, meski jumlah penduduknya jauh lebih sedikit.

Senada dengan Kukuh, Peneliti LPEM FEB UI Riyanto menyatakan industri otomotif nasional telah mengalami stagnasi sejak 2013 dan kini cenderung menurun. Penjualan periode Januari-April 2025 tercatat hanya 256.368 unit, turun hampir 3% dibanding tahun lalu. Bila tren ini berlanjut, total penjualan mobil tahun ini diproyeksikan hanya sekitar 769 ribu unit penurunan lebih dari 11% dari tahun sebelumnya.

“Secara teknikal, industri otomotif kita ini sedang resesi,” ujar Riyanto.

Ia memperingatkan bahwa struktur pajak kendaraan yang terlalu tinggi menjadi beban berat, di mana sekitar 42% dari harga mobil adalah pajak. “Jika harga mobil Rp 300 juta, maka sekitar Rp 126 juta adalah pajak. Ini tidak sehat dalam jangka panjang,” tambahnya.

Riyanto menekankan pentingnya keseimbangan baru dalam kebijakan pajak dan insentif. Ia menyebutkan simulasi yang menunjukkan bahwa insentif PPnBM 0% dapat berkontribusi hingga 0,793% terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Dari sisi pemerintah, Mahardi Tunggul Wicaksono, Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Kementerian Perindustrian, menyampaikan bahwa pemerintah terbuka untuk mengevaluasi berbagai masukan dari pelaku industri. Baik insentif fiskal maupun non-fiskal akan dipertimbangkan, dengan tetap memperhitungkan kondisi keuangan negara.

“Kami juga tidak akan hanya fokus pada satu teknologi saja. Pemerintah sedang mengkaji pemberian insentif bagi semua jenis kendaraan, termasuk mobil berbahan bakar hidrogen,” ungkap Mahardi.

Indonesia saat ini memiliki 32 produsen mobil dan 73 produsen motor, dengan kapasitas produksi tahunan mencapai 2,35 juta unit mobil dan 10,72 juta unit motor. Total investasi sektor ini mencapai Rp 174,31 triliun. Dengan potensi sebesar itu, pelaku industri berharap pemerintah dapat segera merespons dengan kebijakan yang pro-pertumbuhan. (alf)

 

id_ID