Bukan Lagi Profesi Sunyi, Konsultan Pajak Kini Jadi Primadona

IKPI, Jakarta: Dunia perpajakan Indonesia tengah mengalami pergeseran menarik. Profesi konsultan pajak bukan lagi pilihan alternatif, tapi telah menjadi primadona. Hal ini ditegaskan oleh Ketua Departemen Keanggotaan dan Etika Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Robert Hutapea, dalam gelaran Focus Group Discussion bertajuk “Profesi Konsultan Pajak: Bagaimana Menjadi Konsultan Pajak dan Prospek Profesi Konsultan Pajak” yang digelar secara daring dari studio podcast IKPI, Fatmawati, Jakarta Selatan, Kamis (26/6/2025).

“Profesi ini seperti gula, semua tertarik. Akuntan mau jadi konsultan pajak. Pengacara juga. Bahkan notaris ikut melirik,” ujar Robert di hadapan ratusan peserta yang tergabung melalui Zoom Meeting.

Menurut Robert, meningkatnya kebutuhan akan profesional pajak tidak lepas dari fakta bahwa penerimaan negara saat ini sangat bergantung pada pajak. Dengan lebih dari 80 juta wajib pajak terdaftar dan hanya sekitar 7.500 konsultan pajak yang ada, kesenjangan yang lebar menunjukkan bahwa peluang di bidang ini masih sangat terbuka.

“Artinya, kita belum cukup. Jumlah konsultan yang ada belum sebanding dengan kebutuhan. Di sinilah peran IKPI dan profesi ini menjadi sangat penting untuk masa depan Indonesia,” ujarnya.

Robert menjelaskan bahwa lulusan dari berbagai latar belakang bisa menjadi konsultan pajak, asalkan memenuhi syarat formal dan menjalani proses yang ditetapkan pemerintah. Bahkan, banyak anggota IKPI saat ini merupakan profesional ganda, konsultan pajak yang juga berprofesi sebagai akuntan publik, advokat, atau pengajar (Dosen).

Robert mengajak peserta menyadari bahwa menjadi konsultan pajak bukan hanya profesi teknis melainkan pilihan hidup yang membawa pengaruh nyata bagi bangsa. (bl)

Dimensi Hukum PPN DTP atas Rumah Tapak dan Rusun

Insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) atas penyerahan Rumah Tapak dan Satuan Rumah Susun merupakan kebijakan ekonomi yang ditujukan untuk menstimulasi daya beli masyarakat pada sektor perumahan. Pemanfaatan insentif PPN DTP ini, terkait erat dengan makna kata “penyerahan” dan kata “pemindahtanganan” yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13 Tahun 2025 (PMK 13/2025). Bagaimana memaknai kata “penyerahan” dan kata “pemindahtanganan” yang tercantum dalam PMK 13/2025 tersebut ..?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, tidak cukup hanya sebatas mengartikan kedua kata tersebut secara tekstual. Pemahaman konteks atas penggunaan kata “penyerahan” dan kata “pemindahtanganan” dalam PMK 13/2025 lebih memperjelas serta mempertegas makna dan tujuan digunakannya 2 (dua) kata tersebut. Walaupun sekilas secara tekstual tampak memiliki makna yang sama, namun kedua kata tersebut digunakan dalam konteks yang berbeda.

Pemahaman kontekstual terhadap kata “penyerahan” dalam PMK 13/2025, setidaknya memunculkan 2 (dua) makna. Makna kata “penyerahan” yang pertama adalah penyerahan dalam arti yuridis (Penyerahan Yuridis). Penyerahan Yuridis yang tercantum dalam Pasal 3 ayat 1 huruf a dan huruf b PMK 13/2025 dapat dilaksanakan melalui salah satu cara berikut:

• Penandatanganan Akta Jual Beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah; atau

• Penandatanganan Perjanjian Pengikatan Jual Beli lunas dihadapan Notaris.

Makna Penyerahan Yuridis di atas adalah penyerahan hak kepemilikan atas Barang Kena Pajak berupa rumah tapak atau satuan rumah susun dari Pengusaha Kena Pajak Penjual kepada Pembeli.

Makna kata “penyerahan” yang kedua adalah penyerahan dalam arti penguasaan fisik (Penyerahan Penguasaan Fisik). Penyerahan Penguasaan Fisik ini dalam Pasal 3 PMK 13/2025 dilaksanakan melalui penandatanganan Berita Acara Serah Terima. Makna Penyerahan Penguasaan Fisik ini adalah penyerahan hak penguasaan fisik atau hak penggunaan atas Barang Kena Pajak berupa rumah tapak siap huni atau satuan rumah susun siap huni secara nyata dari Pengusaha Kena Pajak Penjual kepada Pembeli.

Dengan demikian, terhitung sejak tanggal penandatanganan Berita Acara Serah Terima, fisik rumah tapak siap huni atau satuan rumah susun siap huni sudah beralih penguasaan atau penggunaannya dari Pengusaha Kena Pajak Penjual kepada pembeli. Kedua makna yang terkandung dalam kata “penyerahan” tersebut merupakan syarat kumulatif yang wajib dipenuhi untuk dapat memanfaatkan fasilitas PPN DTP, disamping persyaratan lainnya yang tercantum dalam PMK 13/2025. Kedua makna penyerahan tersebut merupakan perbuatan menyerahkan rumah tapak atau satuan rumah susun yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual kepada Pembeli.

Lebih lanjut, kedua makna kata “penyerahan” tersebut merupakan perincian/penjabaran dari pengertian penyerahan hak atas barang kena pajak karena suatu perjanjian, khususnya perjanjian jual beli dan jual beli dengan angsuran yang tercantum dalam Pasal 1A ayat 1 huruf a Undang – Undang Pajak Pertambahan Nilai Atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah (“UU PPN”).

Sama halnya dengan cara memahami konteks kata “penyerahan” di atas, kata “pemindahtanganan” dalam PMK 13/2025 tidak dapat dipahami sebatas hanya secara tekstual. Bahkan kata “pemindahtanganan” dalam PMK 13/2025 tidak dapat diartikan terpisah dari kata “penyerahan”. Terdapat 3 (tiga) makna kata “pemindahtanganan” dalam PMK 13/2025. Makna kata “pemindahtangan” yang pertama adalah penyerahan pertama kali rumah tapak atau satuan rumah susun baru siap huni oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual yang menyelenggarakan pembangunan kepada pembeli. Makna kata “pemindahtanganan” yang pertama ini, dapat ditemui dalam Pasal 4 ayat 1 huruf b juncto Pasal 4 ayat 2 huruf b PMK 13/2025.

Makna yang pertama ini penting sekali dipahami guna membedakan pemindahtanganan rumah tapak atau satuan rumah susun siap huni yang bukan baru atau pernah dipindahtangankan (atau yang sering disebut dengan rumah tapak atau satuan rumah susun second hand).

Makna kata “pemindahtanganan” yang kedua adalah pemindahtanganan yang merupakan kelanjutan dari pemindahtanganan yang pertama, pemindahtanganan ini dilakukan oleh pihak yang semula merupakan pembeli rumah tapak atau satuan rumah susun baru kepada pihak lain/pembeli selanjutnya.

Pemindahtanganan ini dilakukan dalam rentan waktu 1 (satu) tahun sejak penyerahan oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual kepada Pembeli. Makna kata “pemindahtanganan” yang kedua ini dapat ditemui dalam Pasal 9 ayat 1 huruf e juncto Pasal 10 huruf g PMK 13/2025. Pemindahtanganan dalam makna yang kedua ini akan mengakibatkan insentif PPN DTP yang telah diterima menjadi terutang dan dapat ditagih oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak.

Makna kata “pemindahtanganan” yang ketiga adalah pemindahtanganan yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual atas rumah tapak atau satuan rumah susun second hand kepada pembeli.

Benang merah dari makna kata “pemindahtanganan” yang ketiga ini adalah rumah tapak atau satuan rumah susun yang sebelumnya pernah dipindahtangankan (bukan baru / second hand). Kata “pemindahtanganan” dalam makna yang ketiga dan kedua di atas adalah pemindahtanganan rumah tapak atau satuan rumah susun yang tidak mendapatkan fasilitas PPN DTP.

Demikian makna – makna dari kata “penyerahan” dan kata “pemindahtanganan” yang secara kontekstual penulis temukan dalam PMK 13/2025. Semoga tulisan yang jauh dari sempurna dan singkat ini dapat bermanfaat bagi rekan-rekan Konsultan Pajak seprofesi, khususnya bagi rekan-rekan Konsultan Pajak yang memiliki klien perusahaan real estat atau klien yang bermaksud memanfaatkan fasilitas PPN DTP.

Penulis adalah anggota IKPI Cabang Bandung

Hari Yanto

Email: hari_yanto_sh@yahoo.co.id

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

Cek Status Pembayaran Pajak Kini Semudah Sentuhan Jari, Ini Panduannya

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus meningkatkan kemudahan layanan bagi wajib pajak di era digital. Salah satu fitur yang kini makin diandalkan adalah layanan daring untuk memantau status pembayaran pajak secara real-time.

Lewat platform DJP Online, wajib pajak kini tak perlu lagi repot datang ke kantor pajak atau menunggu lama hanya untuk memastikan transaksi perpajakannya berhasil. Cukup dengan koneksi internet, proses pengecekan bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja.

Berikut langkah-langkah mudah yang dapat diikuti, bahkan oleh pengguna pemula:

1. Akses DJP Online

Buka situs resmi di https://djponline.pajak.go.id. Pastikan Anda telah memiliki akun terdaftar. Jika belum, registrasi bisa dilakukan dengan memasukkan NPWP, alamat email aktif, dan membuat kata sandi.

2. Login ke Sistem

Masukkan NPWP, password, dan kode captcha yang diminta. Bila lupa kata sandi, tersedia opsi pemulihan yang mudah diikuti.

3. Buka Menu “Histori Pembayaran”

Setelah berhasil masuk, cari dan klik menu Histori Pembayaran atau Laporan Pembayaran untuk melihat riwayat transaksi perpajakan Anda.

4. Pilih Periode Pajak

Tentukan periode bulan dan tahun yang ingin diperiksa. Sistem akan menyajikan seluruh data transaksi pada periode tersebut secara otomatis.

5. Cek Status Pembayaran

Status pembayaran yang tampil di sistem meliputi:

Sudah Diterima: Pembayaran telah dikonfirmasi DJP.

Dalam Proses: Pembayaran sedang diverifikasi.

Belum Dibayar: Tidak ditemukan transaksi pembayaran.

6. Simpan Bukti Pembayaran

Jika status pembayaran sudah “Diterima”, Anda bisa langsung mencetak atau mengunduh bukti pembayaran sebagai dokumentasi atau bahan pelaporan SPT Tahunan.

Sebagai alternatif, DJP juga menyediakan aplikasi versi mobile yang tersedia di Google Play dan App Store. Fungsinya serupa dan memudahkan akses layanan DJP kapan saja dari ponsel Anda. (alf)

 

 

 

 

PER-12/2025 Wajibkan PMSE Laporkan SPT PPN Setiap Masa Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi memperbarui kewajiban pelaporan bagi pemungut Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPN PMSE) melalui terbitnya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-12/PJ/2025.

Aturan ini menandai perubahan signifikan dalam tata cara pelaporan pajak digital. Jika sebelumnya laporan pemungutan PPN PMSE cukup dilakukan setiap triwulan, kini pemungut diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN untuk setiap masa pajak. Batas waktu pelaporan ditetapkan paling lambat akhir masa berikutnya setelah masa pajak berakhir.

Kewajiban ini berlaku bagi seluruh pemungut, baik yang berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP) maupun pihak lain yang bukan PKP. Mereka wajib menggunakan format pelaporan yang diatur dalam PER-11/PJ/2025.

Khusus untuk pelaku PMSE luar negeri, pelaporan dilakukan melalui SPT Masa PPN PMSE Pihak Lain Luar Negeri. Format dan ketentuannya tercantum dalam Lampiran J PER-12/2025. Dokumen ini memuat detail transaksi seperti:

  1. Nomor dan tanggal bukti pungut PPN,
  2. Nilai pembayaran transaksi (tidak termasuk PPN),
  3. Jumlah PPN yang dipungut,
  4. Identitas pengguna (nama, NPWP atau NIK, dan nomor telepon),
  5. Serta alamat email pengguna barang atau jasa digital.

Dirjen Pajak memberi kelonggaran masa transisi. Apabila pemungut mengalami kendala teknis akibat perbedaan sistem dengan Portal DJP, mereka dapat menyampaikan laporan dalam bentuk total (digunggung) hingga 31 Juli 2025. Setelahnya, pemungut wajib melakukan pembetulan SPT dengan melengkapi rincian transaksi.

Perubahan ini menjadi bagian dari langkah DJP memperkuat kepatuhan dan transparansi perpajakan di sektor ekonomi digital yang terus berkembang. (alf)

 

 

 

 

Kanwil DJP Jaksel II Lelang Empat Ruko Sitaan Senilai Rp3,52 Miliar

IKPI, Jakarta: Dalam rangka memulihkan penerimaan negara dan menegakkan kepatuhan perpajakan, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jakarta Selatan II ambil bagian dalam lelang eksekusi serentak se-Jakarta Raya.

Pada kegiatan tersebut, Kanwil DJP Jakarta Selatan II melelang empat aset berupa rumah toko (ruko) yang sebelumnya telah disita oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Jakarta Kebayoran Lama. Total nilai keempat aset tersebut ditaksir mencapai Rp3,52 miliar.

“Lelang ini merupakan bagian dari tindakan penagihan aktif atas utang pajak, sebagai upaya konkret untuk mendukung penerimaan negara,” ujar Kanwil DJP Jakarta Selatan II dalam keterangan resminya dikutip, Minggu (29/6/2025).

Lelang dilakukan secara elektronik melalui laman resmi Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) di www.lelang.go.id.

Lebih lanjut, Kanwil DJP Jakarta Selatan II menegaskan bahwa aksi lelang ini tidak hanya bertujuan mengamankan piutang pajak, tetapi juga sebagai bentuk komitmen dalam memberikan efek jera kepada wajib pajak yang tidak patuh.

“Penegakan hukum perpajakan seperti ini penting untuk menjaga kredibilitas sistem pajak dan mendorong kesadaran masyarakat akan pentingnya memenuhi kewajiban perpajakan secara tepat waktu,” tegas Kanwil DJP.

Lelang eksekusi serentak ini merupakan hasil kolaborasi antar-Kanwil DJP di wilayah Jakarta Raya dan menjadi langkah lanjutan dari strategi penegakan hukum yang lebih terintegrasi dan transparan. (alf)

 

 

Pelaku Usaha PMSE Wajib Setor PPN Pakai Rupiah, Ini Aturan Barunya!

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen) Nomor PER-12/PJ/2025 yang membawa sejumlah penyesuaian penting dalam tata cara penyetoran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).

Salah satu poin aturan ini menegaskan mengenai penggunaan mata uang rupiah untuk pelaku usaha PMSE dalam negeri yang telah ditunjuk sebagai pihak lain. “Pihak Lain Dalam Negeri yang ditunjuk sebagai Pihak Lain melakukan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut dengan menggunakan mata uang rupiah,” demikian kutipan dari Pasal 12 ayat (3) PER-12/PJ/2025.

Sementara itu, pelaku usaha luar negeri diberi fleksibilitas lebih besar. Mereka dapat memilih melakukan penyetoran dalam mata uang rupiah, dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan pada tanggal setor, atau mata uang dolar Amerika Serikat. Penyetoran dalam dolar dilakukan melalui collecting agent yang ditunjuk dan mampu menerima penyetoran dalam mata uang tersebut.

Kebijakan baru ini mempertegas diferensiasi antara pelaku usaha dalam negeri dan luar negeri, berbeda dengan ketentuan sebelumnya di bawah PER-12/PJ/2020. Pada aturan lama, tidak ada pembedaan penggunaan mata uang, dan bahkan dibuka opsi penggunaan mata uang asing lain yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak.

Penyesuaian tersebut selaras dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 yang mendukung implementasi sistem administrasi perpajakan terbaru, Coretax.

Selain soal mata uang, PER-12/PJ/2025 juga memperjelas aspek administratif penyetoran PPN. Setoran dinyatakan sah sesuai dengan tanggal setor yang tercantum dalam bukti penerimaan negara. Jika jatuh tempo penyetoran bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu, Minggu, libur nasional, pemilu, atau cuti bersama — maka penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

Aturan juga memberi kejelasan dalam kasus pencabutan status pihak lain. Bila penunjukan suatu pelaku usaha PMSE sebagai pihak lain telah dicabut, namun PPN sudah dipungut dan belum disetor, maka pajak tersebut tetap wajib disetorkan ke kas negara.

“PPN yang telah dipungut oleh Pelaku Usaha PMSE yang telah dicabut penunjukannya sebagai Pihak Lain tetapi belum disetorkan, wajib disetorkan ke kas negara,” tertulis dalam Pasal 12 ayat (8).

Sebagai informasi, pelaku usaha PMSE merupakan individu atau badan usaha yang menjalankan transaksi secara elektronik, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Mereka yang memenuhi batasan kriteria tertentu seperti nilai transaksi tahunan melebihi Rp600 juta atau pengunjung situs lebih dari 12.000 dalam setahun akan ditunjuk sebagai pihak lain yang wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud (BKP-TB) atau Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar negeri melalui sistem elektronik. (alf)

Pemerintah Siap Sesuaikan Penerbitan SBN Jika Defisit APBN Melebar

IKPI, Jakarta: Pemerintah menyatakan siap mengubah strategi pembiayaan jika defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 melebar dari target semula. Hal itu ditegaskan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam wawancara eksklusif dengan Bloomberg TV, Kamis (26/6/2025).

Sri Mulyani menjelaskan bahwa target defisit APBN tahun ini masih berada pada kisaran 2,53% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, ruang penyesuaian tetap disiapkan apabila kondisi ekonomi global dan domestik mendorong pelebaran defisit, seperti yang terjadi tahun lalu.

“Terkait penerbitan obligasi, kami sudah sampaikan kepada pasar bahwa defisit masih dibiayai sebesar 2,53% dari PDB. Artinya, volume penerbitan surat berharga negara (SBN) masih sesuai rencana,” ujar Menkeu.

Namun, ia menambahkan, jika dalam laporan resmi ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) nanti terjadi pelebaran defisit, maka pemerintah akan menyesuaikan jumlah penerbitan obligasi.

“Jika defisit naik menjadi 2,7% seperti tahun lalu, maka jumlah penerbitan SBN akan disesuaikan,” tambahnya.

Sri Mulyani juga menyoroti pentingnya manajemen kas negara yang kuat, terutama di tengah dinamika eksternal yang tidak menentu. Menurutnya, pemerintah telah menyiapkan cadangan kas sebagai bagian dari strategi menjaga stabilitas fiskal.

“Kami tidak ingin berada dalam posisi tertekan oleh pasar. Karena itu, peran treasury sangat vital dalam merespons volatilitas nilai tukar, pergerakan yield, hingga aliran kas negara,” tegasnya.

Hingga 31 Mei 2025, Kementerian Keuangan mencatat defisit APBN mencapai Rp 21 triliun atau setara 0,09% terhadap PDB. Defisit ini muncul karena pendapatan negara yang belum mengimbangi lonjakan kebutuhan belanja.

Tercatat, pendapatan negara hingga akhir Mei mencapai Rp 995,3 triliun atau 33,1% dari target tahunan. Sementara itu, belanja negara telah terealisasi Rp 1.016,3 triliun atau 28,1% dari target.

Meski begitu, posisi keseimbangan primer masih menunjukkan tren positif dengan surplus sebesar Rp 192,1 triliun. Adapun realisasi pembiayaan anggaran telah mencapai Rp 324,8 triliun atau 52,7% dari target tahun 2025.

Kesiapan pemerintah dalam mengelola defisit ini dinilai sebagai sinyal positif bagi pasar keuangan, khususnya investor dalam negeri maupun global yang selama ini menjadi pemegang utama surat utang negara. (alf)

 

Kebijakan Pajak e-Commerce Dikritik: UMKM Dikejar, Raksasa Digital Global Dibiarkan?

IKPI, Jakarta: Rencana pemerintah Indonesia memungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dari pedagang e-commerce menuai sorotan tajam dari kalangan akademisi dan ekonom. Kebijakan yang akan menjadikan marketplace sebagai pemungut pajak otomatis atas transaksi pedagang beromzet di atas Rp500 juta per tahun itu dinilai menyasar pelaku lokal tanpa menyentuh perusahaan teknologi global yang menguasai pangsa pasar digital nasional.

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai bahwa meskipun tujuan pemerintah untuk menyederhanakan administrasi pajak dan menertibkan shadow economy patut diapresiasi, namun arah kebijakannya belum mencerminkan prinsip keadilan fiskal.

“Tujuannya bagus, meningkatkan kepatuhan dan menutup celah ekonomi gelap. Tapi pertanyaannya, kenapa hanya marketplace lokal yang dikejar? Padahal, sebagian besar pendapatan digital di Indonesia justru dinikmati oleh raksasa global seperti Google, Meta, Apple, Amazon, dan Netflix,” ujar Achmad, Sabtu (28/6/2025).

Ia menegaskan bahwa keadilan fiskal di era digital menuntut perlakuan setara terhadap semua pelaku, baik lokal maupun asing. Hingga kini, Indonesia hanya berhasil menarik PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebesar 11 persen dari perusahaan teknologi global, tanpa menyentuh laba bersih yang mereka tarik ke luar negeri.

Kanada Jadi Contoh Keberanian Fiskal

Achmad mencontohkan keberanian fiskal Kanada yang pada Juni 2024 resmi menerapkan Digital Services Tax (DST) sebesar 3 persen atas pendapatan digital perusahaan asing dengan omzet global di atas 750 juta euro dan pendapatan domestik minimal 20 juta dolar AS. DST ini berlaku surut sejak Januari 2022, menyasar pendapatan dari iklan digital, penggunaan data, dan aktivitas marketplace.

Kebijakan ini langsung memicu kemarahan Amerika Serikat. Presiden Donald Trump bahkan membekukan negosiasi dagang dengan Kanada dan menyebut DST sebagai bentuk diskriminasi terhadap perusahaan AS. Google pun menanggapi dengan mengenakan surcharge tambahan kepada pengiklan Kanada untuk menutupi beban pajaknya.

Namun, menurut Achmad, keberanian Kanada dalam menegakkan kedaulatan fiskal perlu menjadi inspirasi bagi Indonesia. “Mereka siap menanggung risiko diplomatik demi memastikan setiap sen dari revenue digital global yang berasal dari Kanada ikut berkontribusi secara adil,” ujarnya.

Indonesia Masih Main Aman

Berbeda dengan Kanada, Indonesia hingga kini masih memilih jalur aman: menunggu konsensus multilateral melalui forum OECD. Sementara itu, reformasi domestik difokuskan pada PPN PMSE dan skema PPh 22 untuk pelaku marketplace lokal.

Achmad menilai pendekatan ini terlalu berhati-hati. “Tanpa kebijakan unilateral seperti DST, Indonesia akan terus berada di posisi lemah. Kita hanya jadi pasar, tapi tak mendapatkan kontribusi fiskal yang proporsional,” jelasnya.

Ia menambahkan, pendapatan iklan digital yang dominan dinikmati oleh Google dan Meta, penjualan aplikasi dan layanan Apple, serta cloud computing milik Amazon, semuanya mengalir deras ke luar negeri tanpa dipotong pajak penghasilan.

Perlu Kerangka DST Nasional

Achmad mengakui bahwa skema PPh 22 e-commerce merupakan langkah awal yang baik untuk mengatasi shadow economy domestik. Namun, jika tidak dibarengi dengan strategi fiskal yang menyasar raksasa global, maka pelaku UMKM lokal justru akan merasa menjadi korban ketimpangan.

“Jika ini terus berlangsung, UMKM lokal akan merasa diperas oleh negaranya sendiri, sementara perusahaan asing bisa bebas mengekstraksi nilai ekonomi Indonesia tanpa kewajiban pajak,” ujarnya tegas.

Ia mendorong pemerintah untuk mulai merancang kerangka DST nasional jika pembahasan OECD terus mandek. “Keberanian fiskal harus seimbang dengan diplomasi fiskal. Kalau tidak, kita hanya akan menonton kekayaan digital menguap tanpa bekas ke luar negeri,” pungkas Achmad. (alf)

 

 

 

 

 

Penantian 10 Tahun Terbayar Lunas, Ketua Umum dan Jajaran Pengurus Pusat IKPI Kunjungi Cabang Cirebon

IKPI, Cirebon: Kunjungan Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, bersama jajaran pengurus pusat ke Cabang IKPI Cirebon menghadirkan suasana haru dan penuh kehangatan. Bukan sekadar pertemuan formal, momen ini menjadi jembatan yang menyambungkan kembali tali silaturahmi yang telah lama tidak tersambung secara langsung.

Disambut langsung oleh Ketua IKPI Cabang Cirebon, Petrus Hery, serta jajaran pengurus dan anggota cabang, kunjungan ini disebut sebagai momen yang sangat istimewa. Betapa tidak, selama 10 tahun terakhir, belum pernah ada kunjungan langsung dari Ketua Umum dan pengurus pusat ke wilayah Cirebon. Kehadiran tersebut pun terasa membangun kembali kedekatan emosional yang selama ini terasa berjarak.

“Kami atas nama seluruh anggota IKPI Cabang Cirebon mengucapkan terima kasih yang tulus atas kehadiran Ketum Bapak Vaudy Starworld dan jajaran pengurus pusat yang telah mewujudkan kebersamaan sebagai keluarga besar IKPI,” ujar Petrus Hery, Minggu (29/6/2025).

Ia menambahkan, sapaan langsung dan cerita-cerita yang dibagikan oleh Ketum kepada para anggota menciptakan suasana kekeluargaan yang sangat hangat dan akrab.

“Seolah tidak ada jarak antara Ketum dengan anggota di daerah. Ini sapaan yang sangat kami rindukan, dan setelah 10 tahun, akhirnya kami bisa merasakannya kembali,” tuturnya.

Petrus juga menyampaikan harapannya agar kunjungan seperti ini bisa terus dilakukan secara rutin, agar hubungan antara pengurus pusat dan daerah tetap terjalin erat.

“Sekali lagi, kami mengucapkan terima kasih. Semoga Ketum dan seluruh pengurus pusat senantiasa diberi kesehatan, kekuatan, dan keberkahan dalam menjalankan amanah organisasi. Berkah Dalem,” ucapnya.

Kunjungan ini merupakan bagian dari komitmen pengurus pusat IKPI untuk memperkuat komunikasi, mendengarkan aspirasi daerah, serta memastikan bahwa seluruh cabang merasa menjadi bagian penting dari tubuh organisasi. Di Cirebon, hal tersebut benar-benar terasa bukan sekadar kunjungan, tetapi pulang ke rumah sendiri. (bl)

Andreas Budiman Serap Aspirasi Pengcab IKPI Yogyakarta dan Sleman

IKPI, Yogyakarta: Ketua Departemen Advokasi dan Bantuan Hukum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Andreas Budiman, melakukan kunjungan pribadi ke wilayah Yogyakarta dan Sleman dalam rangka menyambung silaturahmi sekaligus menyerap aspirasi dari pengurus cabang.

Dalam momen itu, Andreas memanfaatkannya untuk menggali masukan langsung dari lapangan terkait tantangan yang dihadapi konsultan pajak di daerah.

“Sebagai bagian dari pengurus pusat, saya ingin memastikan bahwa suara dari cabang-cabang tetap didengar. Obrolan santai seperti ini justru banyak memberikan perspektif berharga yang sering tidak tertangkap dalam forum formal,” ungkap Andreas, Minggu (29/6/2025).

Dalam pertemuan tersebut, Ketua IKPI Cabang Sleman, Hersona Bangun, menyampaikan pentingnya kehadiran aktif pengurus pusat di daerah.

“Pengurus pusat harus sering-sering turun ke cabang, mendengarkan aspirasi anggota. Dengan begitu, akan tercipta keselarasan antara pusat dan daerah,” ujar Hersona saat berbincang santai dengan Andreas.

Sementara itu, pada pertemuan itu, Ketua IKPI Cabang Yogyakarta, Wahyandono, juga menyoroti kekhawatiran para konsultan pajak terhadap potensi jeratan hukum dalam menjalankan profesinya.

Menanggapi hal tersebut, Andreas menekankan pentingnya perlindungan hukum dan kepatuhan prosedural.

“Sebagai konsultan pajak, kita wajib mengarahkan klien untuk taat pada peraturan. Namun di sisi lain, kita juga harus melindungi diri kita sendiri, misalnya dengan membuat Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam penyusunan SPT Masa maupun Tahunan,” jelas Andreas.

Ia menambahkan, penyusunan SOP tersebut merupakan bagian dari tugas utama Departemen Advokasi dan Bantuan Hukum IKPI, guna memastikan para konsultan pajak memiliki landasan yang kuat dalam praktik profesionalnya.

Kunjungan ini menegaskan komitmen pengurus pusat IKPI untuk mempererat hubungan dengan cabang-cabang serta membangun sistem perlindungan yang kokoh bagi anggotanya. (bl)

en_US