IKPI Soroti Rancangan PERMA Tindak Pidana Perpajakan

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld, mengkritisi rancangan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. Dalam Konsultasi Publik yang digelar di Hotel Grand Mercure Kemayoran, ia menyoroti sejumlah pasal yang dinilai bermasalah dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum bagi wajib pajak serta pelaku usaha.

Salah satu pasal yang dikritisi adalah Pasal 3, yang menurut Vaudy melampaui kewenangan Mahkamah Agung (MA). “Seharusnya PERMA hanya mengatur lingkup peradilan di lingkungan MA, tetapi dalam rancangan ini justru mengatur kewenangan penyidik dari institusi lain. Ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan,” ujarnya di Jakarta, Selasa (11/2/2025).

(Foto: Istimewa)

Selain itu, Pasal 6 yang mengatur perlakuan terhadap perusahaan dalam kondisi pailit dinilai bertentangan dengan UU Kepailitan. Vaudy menyoroti bahwa dalam kepailitan, aset perusahaan diprioritaskan untuk kreditor, sedangkan negara bukan kreditur. “Perusahaan yang sedang dipailitkan tidak memiliki kuasa untuk melepaskan hartanya karena semua sudah berada di bawah kendali kurator,” jelasnya.

Pasal 8, yang mengatur praperadilan, juga menjadi perhatian. Dalam rancangan PERMA ini, praperadilan mencakup pemeriksaan alat bukti, yang menurut Vaudy bertentangan dengan UU Nomor 8 Tahun 1981. “Seharusnya, praperadilan hanya memeriksa sah atau tidaknya penetapan tersangka, bukan alat bukti. Jika dibiarkan, ini bisa menimbulkan penyimpangan dalam proses hukum,” tegasnya.

Sementara itu, Pasal 14 terkait ultimum remedium atau penyelesaian pajak tanpa pemenjaraan juga dipertanyakan. Ia menyoroti ketidakjelasan perlakuan terhadap dua pihak dalam kasus faktur pajak, yakni penerbit dan pengguna. “Jika penerbit faktur pajak sudah membayar pokok pajak dan dendanya, apakah pengguna faktur pajak juga otomatis terbebas dari hukuman? Begitu pula sebaliknya. Hal ini harus diperjelas,” katanya.

Selain itu, Vaudy menyoroti kewenangan MA dalam memeriksa bukti permulaan. Menurutnya, hal ini seharusnya menjadi ranah administratif, bukan kewenangan Mahkamah Agung. “Jika MA ikut campur dalam ranah administratif, ini bisa menimbulkan ketidakjelasan dalam proses penegakan hukum perpajakan,” tambahnya.

Namun, Vaudy menekankan bahwa aturan yang dibuat harus benar-benar proporsional dan sesuai dengan hukum yang berlaku, agar tidak merugikan dunia usaha serta tetap menjamin kepastian hukum bagi wajib pajak.

“Kami berharap Mahkamah Agung benar-benar mempertimbangkan seluruh masukan dari pemangku kepentingan sebelum PERMA ini disahkan, agar tidak ada celah yang bisa merugikan wajib pajak maupun negara,” katanya.

Sementara itu, dalam keterangan resminya dikutip, Selasa (11/2/2025) Mahkamah Agung (MA) menggelar Konsultasi Publik Rancangan Peraturan Mahkamah Agung (RANPERMA) tentang Pedoman Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Perpajakan di Hotel Grand Mercure, Kemayoran, Jakarta, Senin (10/2/2025).

Acara tersebut, dihadiri oleh sejumlah pejabat tinggi dari MA, di antaranya Ketua Kamar Pembinaan dan Ketua Kamar Pidana. Hadir pula pejabat pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP), akademisi, serta perwakilan dari berbagai lembaga hukum dan organisasi profesi, termasuk IKPI yang diwakili Associate Professor Edy Gunawan, Donny Rindorindo, Heru, Hendro dan Prof. Agus dari Universitas Pelita Harapan (UPH).

Dalam konsultasi publik ini, Ketua Kamar Pembinaan MA Syamsul Ma’arif, yang mewakili Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non Yudisial Suharto, menyatakan bahwa setelah tahap ini, mereka akan meninjau kembali masukan yang diberikan sebelum menerbitkan PERMA secara resmi. Aturan ini diharapkan menjadi payung hukum utama dalam penanganan tindak pidana perpajakan, dengan tujuan mengoptimalkan pemulihan kerugian negara dan mencegah kebocoran penerimaan pajak.

Ia berharap dengan adanya PERMA ini, perkara perpajakan dapat ditangani lebih efisien, adil, dan transparan, serta memberikan efek jera bagi pelanggar pajak. (bl)

Fitur Prepopulated Dalam Coretax Permudah Pelaporan PEB, PIB hingga Cukai

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus berinovasi dalam mempermudah wajib pajak dalam pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Mulai Masa Pajak Januari 2025, DJP menghadirkan mekanisme prepopulated dalam sistem Coretax DJP untuk pelaporan dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), Pemberitahuan Impor Barang (PIB), dan Cukai (CK-1).

Dikutip dari Instagram @pajakjakartapusat, Selasa (11/2/2025) dengan fitur ini, wajib pajak yang memiliki transaksi ekspor, impor, atau cukai dapat langsung menarik data dari sistem Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) tanpa perlu menginput secara manual. Fitur ini tersedia dalam menu Dokumen Lain di sub-menu Pajak Masukan untuk PIB dan Pajak Keluaran untuk PEB serta CK-1.

Tata Cara Penggunaan Fitur Prepopulated

• Prepopulated Data PIB (Pajak Masukan)

• Masuk ke Menu Dokumen Lain → Pajak Masukan.

• Pilih Tindakan Lainnya → Prepopulated Data.

• Pilih Masa Pajak dan Tahun Pajak sesuai dengan Masa Pajak SSP atas PIB.

• Pilih Prepopulated PIB, lalu klik Membuat.

• Sistem akan menarik data PIB sesuai dengan yang tercatat di DJBC.

• Prepopulated Data PEB & CK-1 (Pajak Keluaran)

• Masuk ke Menu Dokumen Lain → Pajak Keluaran.

• Pilih Tindakan Lainnya → Prepopulated Data.

• Pilih Masa Pajak dan Tahun Pajak yang sesuai.

• Pilih Prepopulated PEB untuk ekspor atau Prepopulated CK-1 untuk cukai.

• Klik Membuat, lalu tunggu sistem mengambil data dari DJBC.

Kemudahan dan Manfaat Prepopulated Data

• Mengurangi Kesalahan Input

Data langsung diambil dari DJBC sehingga lebih akurat.

• Menghemat Waktu

Wajib pajak tidak perlu menginput satu per satu secara manual.

• Tercatat Secara Otomatis

Semua dokumen yang berhasil diproses akan tercatat di kolom Perekam sebagai DJBC.

Wajib pajak disarankan untuk melakukan penarikan data secara berkala, misalnya setiap minggu, untuk memastikan kelengkapan dokumen dalam sistem Coretax DJP. Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi www.pajak.go.id. (alf)

Tetap Lapor Pajak Meski Terlambat, Ini Alasannya!

IKPI, Jakarta: Pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan merupakan kewajiban setiap wajib pajak, baik individu maupun badan usaha. Namun, terkadang berbagai alasan menyebabkan keterlambatan dalam pelaporan.

Meski demikian, melaporkan pajak walau terlambat tetap lebih baik daripada tidak melaporkannya sama sekali. Berikut beberapa alasan mengapa tetap melaporkan pajak meski melewati batas waktu:

1. Patuh Terhadap Hukum yang Berlaku

Sebagai warga negara yang taat aturan, melaporkan SPT Tahunan merupakan bentuk kepatuhan terhadap peraturan perpajakan. SPT Tahunan berfungsi sebagai bentuk pertanggungjawaban wajib pajak atas kewajiban pajak yang telah dijalankan selama setahun penuh.

Pelaporan pajak juga menjadi instrumen check and balance dalam memastikan hak dan kewajiban perpajakan berjalan dengan baik. Pajak yang dikumpulkan dari masyarakat berkontribusi besar terhadap pembangunan negara, seperti infrastruktur, layanan kesehatan, pendidikan, serta program sosial lainnya.

2. Menghindari Sanksi yang Lebih Berat

Menunda pelaporan SPT Tahunan dapat mengakibatkan sanksi administratif hingga pidana. Berdasarkan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang diperbarui melalui UU Cipta Kerja, wajib pajak yang terlambat atau tidak melaporkan SPT dapat dikenakan denda atau bahkan hukuman penjara.

Bagi wajib pajak orang pribadi, keterlambatan pelaporan SPT dikenai denda sebesar Rp100.000, sedangkan untuk wajib pajak badan dikenai denda Rp1.000.000. Denda ini akan ditagihkan melalui Surat Tagihan Pajak dan harus dibayarkan dalam jangka waktu yang telah ditentukan.

Jika wajib pajak dengan sengaja tidak melaporkan SPT, sanksi bisa lebih berat, termasuk hukuman pidana berupa kurungan penjara selama enam bulan hingga enam tahun.

Oleh karena itu, melaporkan pajak tepat waktu merupakan langkah cerdas untuk menghindari konsekuensi hukum yang lebih besar.

3. Mendukung Penerimaan Negara dan Kemajuan Bangsa

Melaporkan pajak bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga bentuk kontribusi nyata terhadap pembangunan negara. Pajak yang dibayarkan masyarakat digunakan untuk berbagai program pemerintah, seperti pembangunan jalan, layanan kesehatan, pendidikan, serta berbagai bantuan sosial.

Pemerintah juga terus mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya kepatuhan pajak melalui berbagai sosialisasi. Namun, kesadaran dan tanggung jawab wajib pajak tetap menjadi faktor utama dalam menjaga keberlanjutan penerimaan pajak demi kesejahteraan masyarakat.

Batas Waktu Pelaporan SPT

Pelaporan pajak biasanya ramai dilakukan pada awal tahun, dengan batas waktu sebagai berikut:

• Wajib Pajak Orang Pribadi: 31 Maret

• Wajib Pajak Badan: 30 April

Ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang telah mengalami beberapa perubahan, termasuk revisi terbaru dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.

Meskipun terlambat, melaporkan pajak tetap lebih baik daripada mengabaikannya. Kepatuhan terhadap pajak tidak hanya membantu menghindari sanksi, tetapi juga mencerminkan tanggung jawab sebagai warga negara yang baik.

Jadi, bagi yang belum melaporkan SPT, segera lakukan sekarang agar terhindar dari konsekuensi yang lebih besar! (alf)

Kanwil DJP Jateng II Sambut Tawaran Kolaborasi IKPI Surakarta Selenggarakan FGD Perpajakan

IKPI, Surakarta: Pengurus Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Surakarta periode 2024–2029 melakukan kunjungan silaturahmi dan perkenalan ke Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Tengah (Jateng) II, di Jl. M.T Haryono No. 5, Manahan, Banjarsari, Surakarta, Jawa Tengah, Jumat (7/2/2025). Kunjungan ini disambut langsung Kepala Kantor Wilayah DJP Jateng II Etty Rachmiyanthi, yang didampingi Kepala Bidang P2 Humas Herlin Sulismiyarti dan Kepala Seksi Bimbingan Penyuluhan Bambang.

Pada pertemuan tersebut, Etty menyampaikan apresiasi atas inisiatif pengurus IKPI Surakarta dalam membangun komunikasi dengan DJP. Ia juga menegaskan pentingnya peran IKPI dalam dunia perpajakan, khususnya dalam memberikan masukan terkait peraturan perpajakan yang terus berkembang.

“Saya sangat mengapresiasi kunjungan ini dan berharap IKPI dapat menjadi mitra strategis dalam berdiskusi mengenai berbagai regulasi perpajakan. Dengan adanya komunikasi yang baik, kita bisa menciptakan pemahaman yang lebih komprehensif dan solutif bagi para wajib pajak,” ujar Etty.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Surakarta)

Lebih lanjut, Etty juga menyetujui usulan untuk mengadakan Focus Group Discussion (FGD) antara Kanwil DJP Jateng II dengan IKPI Cabang Surakarta. Kegiatan ini diharapkan menjadi wadah diskusi yang konstruktif dalam menyelaraskan pemahaman antara konsultan pajak dan otoritas pajak.

Sementara itu, Ketua IKPI Cabang Surakarta, Suparman, menyampaikan terima kasih atas sambutan yang diberikan pihak DJP Jateng II. Ia menekankan pentingnya kerja sama yang erat antara IKPI dan DJP dalam mencapai tujuan bersama, yakni mengoptimalkan penerimaan negara melalui sistem perpajakan yang lebih efektif dan efisien.

“Kami sangat mengapresiasi respons positif dari Kanwil DJP Jateng II, terutama dalam mendukung perencanaan pelaksanaan FGD ini. Harapannya, hubungan antara IKPI dan DJP semakin erat serta dapat memberikan manfaat bagi dunia perpajakan, baik bagi wajib pajak maupun negara,” kata Suparman.

Menurutnya, silaturahmi ini menjadi langkah awal bagi pengurus IKPI Surakarta periode 2024–2029 dalam memperkuat sinergi dengan otoritas pajak. Dengan adanya forum diskusi yang lebih intensif, diharapkan akan tercipta kebijakan perpajakan yang lebih baik dan berkeadilan bagi semua pihak.

Ke depan, IKPI Surakarta berkomitmen untuk terus berkontribusi dalam memberikan edukasi perpajakan serta mendampingi wajib pajak agar patuh terhadap aturan yang berlaku.

Selain itu lanjut Suparman, kerja sama dengan DJP akan terus ditingkatkan guna menciptakan sistem perpajakan yang lebih transparan, akuntabel, dan berorientasi pada kepentingan negara serta masyarakat luas.(bl)

DJP Buka Kembali Layanan e-Faktur Desktop untuk Perusahaan Besar

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) resmi membuka kembali layanan e-Faktur Desktop sebagai alternatif penerbitan e-faktur pajak bagi perusahaan besar. Langkah ini diambil setelah banyak wajib pajak mengeluhkan sulitnya penerbitan e-faktur melalui sistem inti administrasi pajak Coretax.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Kemenkeu Dwi Astuti, menyatakan bahwa pembukaan kembali layanan e-Faktur Desktop bertujuan untuk mempermudah perusahaan besar yang menerbitkan faktur pajak dalam jumlah banyak.

“Dalam rangka mendengarkan aspirasi dan mempermudah wajib pajak dalam masa transisi Coretax DJP, maka bagi wajib pajak tertentu yang cukup banyak menerbitkan faktur pajak telah dibuka kembali kanal pembuatan faktur pajak melalui e-Faktur Desktop,” ujar Dwi Astuti di Jakarta, Senin (10/2/2025).

Berlaku untuk Perusahaan dengan Minimal 10.000 Faktur Pajak per Bulan

Kebijakan ini tertuang dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-24/PJ/2025 yang menetapkan bahwa pengusaha kena pajak (PKP) yang menerbitkan minimal 10.000 faktur pajak per bulan dapat menggunakan e-Faktur Desktop atau Coretax.

DJP telah menetapkan 790 PKP, termasuk perusahaan besar seperti Tokopedia dan Maersk, yang dapat menggunakan layanan ini. Sementara itu, wajib pajak lainnya tetap diarahkan untuk menggunakan Coretax.

Meski demikian, kebijakan ini tidak bersifat mandatory, sehingga perusahaan yang masuk dalam daftar tersebut bisa memilih antara menggunakan Coretax atau e-Faktur Desktop.

Dwi Astuti menegaskan bahwa DJP akan terus melakukan penyempurnaan sistem Coretax agar proses penerbitan e-faktur pajak semakin lancar di masa depan.

Sebagai informasi, hingga 3 Februari 2025 pukul 23.59 WIB, jumlah wajib pajak yang telah menerbitkan faktur pajak tercatat mencapai 218.994.

Dengan adanya pilihan antara Coretax dan e-Faktur Desktop, diharapkan wajib pajak dapat lebih mudah dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. (alf)

DJP Pastikan Coretax Tetap Berjalan Meski Gangguan Masih Terjadi

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak (DJP) Suryo Utomo menegaskan bahwa sistem administrasi perpajakan (Coretax) tetap akan berjalan. Meskipun sering mengalami berbagai gangguan, tidak ada rencana dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menunda implementasi sistem ini.

Namun demikian, Suryo menjelaskan bahwa dampak gangguan Coretax terhadap penerimaan negara baru akan terlihat setelah pelaporan pajak Januari 2025 selesai. “Nanti kita lihat deh tanggal 15 Februari,” ujarnya di Kompleks DPR, Jakarta Pusat, Senin (10/2/2025).

Ia juga memastikan bahwa DJP masih menggunakan dua sistem secara bersamaan. Untuk pelaporan pajak tahun 2024 dan sebelumnya, sistem lama tetap digunakan, sementara SPT tahun 2025 yang akan disampaikan pada 2026 sepenuhnya akan menggunakan Coretax. Adapun untuk PPN dan pemotongan PPh 21 karyawan, sistem baru sudah mulai diterapkan.

Suryo menekankan bahwa DJP sepakat dengan Komisi XI DPR untuk tetap mempertahankan sistem lama guna mengantisipasi kendala yang muncul dalam penerapan Coretax. “Kita menggunakan dua sistem jalan terus,” tegasnya.

Dengan pendekatan ini, DJP berharap dapat meminimalisir dampak dari gangguan sistem Coretax terhadap penerimaan negara serta memberikan waktu bagi wajib pajak untuk beradaptasi dengan sistem baru. (alf)

Apindo: Penerapan Coretax Terlalu Cepat, Berharap Tak Pengaruhi Penerimaan Pajak

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani, menyampaikan bahwa meskipun sistem Coretax memiliki potensi yang sangat baik untuk diterapkan, implementasi awal sistem ini menghadapi kendala teknis yang cukup besar. Ia menilai bahwa proses penerapannya terlalu cepat, yang membuat banyak pelaku usaha tidak siap dan tidak dapat mengeluarkan faktur pajak. Hal ini tentu saja mempengaruhi kelancaran operasional perusahaan.

“Cuma prosesnya kemarin itu agak cepat ya, jadi banyak pelaku nggak siap dan juga banyak yang nggak bisa mengeluarkan faktur. Sehingga memengaruhi dari segi operasional perusahaan,” ujar Shinta di Jakarta, Senin (10/2/2025).

Shinta juga menambahkan bahwa pihaknya terus berkolaborasi dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan untuk mencari solusi atas kendala yang muncul. Ia berharap, kendala-kendala ini tidak akan memengaruhi penerimaan negara dari sektor pajak.

Sementara itu, Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri (HKI), Sanny Iskandar, juga menyatakan pandangannya terkait penerapan sistem Coretax. Meskipun DJP memulai implementasi sistem ini dengan baik, Sanny menyoroti pentingnya sosialisasi dan persiapan yang matang. Banyak pertanyaan yang belum terjawab terkait penerbitan faktur pajak dan prosedur perpajakan lainnya yang menimbulkan keraguan di kalangan pengusaha.

“Jadi, saya rasa DJP memulai ini sudah cukup baik, namun persiapan dan sosialisasinya ini harus lebih ditekankan,” ujar Sanny.

Ia juga menekankan pentingnya klarifikasi lebih lanjut mengenai berbagai aspek terkait sistem Coretax.
Meski DJP telah melakukan komunikasi dengan para pengusaha, seperti yang baru saja dilakukan oleh Dirjen DJP Suryo Utomo dalam pertemuan dengan Apindo, masih ada beberapa isu yang perlu mendapatkan perhatian lebih. Sanny menyarankan bahwa penerapan sistem ini tidak hanya memerlukan perangkat keras dan perangkat lunak yang handal, tetapi juga petugas pajak yang terlatih serta kesiapan dalam digitalisasi.

“Kalau ini sistem layanan terpadu lah, ini kalau Coretax ini kan saya rasa bagus ya untuk ekstensifikasi perluasan daripada basis wajib pajak gitu. Tetapi ini sekali lagi pemerintah harus lihat dengan berbagai infrastruktur, baik infrastruktur hardware, software-nya, petugasnya, digitalisasinya semua,” tambahnya.

Sanny mengingatkan bahwa meskipun sistem Coretax memiliki banyak potensi untuk memperbaiki sistem perpajakan dan memperluas basis wajib pajak, tantangan dalam implementasi teknologi dan pelatihan petugas pajak harus segera ditangani dengan serius oleh Kementerian Keuangan. (alf)

Pemerintah dan DPR Sepakat Jalankan Sistem Pajak Lama dan Coretax Bersamaan

IKPI, Jakarta: Pemerintah bersama Komisi XI DPR sepakat untuk kembali menerapkan sistem perpajakan lama sambil tetap menggunakan Coretax System secara bertahap. Langkah ini diambil sebagai upaya mitigasi terhadap implementasi Coretax yang masih dalam tahap penyempurnaan, agar tidak mengganggu penerimaan negara.

Ketua Komisi XI DPR Misbakhun, menjelaskan bahwa keputusan ini diambil setelah mendengarkan penjelasan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam rapat kerja tertutup. “Kami sudah mendengarkan penjelasan dari Dirjen Pajak dan menyimpulkan bahwa DJP akan kembali menggunakan sistem perpajakan lama,” ujar Misbakhun selepas rapat pada Senin (10/2/2025).

Meski demikian, DJP tetap berkomitmen untuk mengoptimalkan penerimaan pajak dalam APBN 2025 dengan sistem teknologi informasi yang ada. Pemerintah memastikan bahwa sistem perpajakan apapun yang digunakan tidak akan memengaruhi target kolektivitas pajak.

Mitigasi Risiko dan Penguatan Keamanan Sistem

Dalam rangka mengurangi risiko, DJP menyiapkan roadmap implementasi Coretax yang lebih stabil dan ramah bagi wajib pajak. “DJP wajib memperkuat keamanan siber dalam penyempurnaan sistem Coretax,” tambah Misbakhun.

Selain itu, DJP juga berjanji tidak akan mengenakan sanksi terhadap wajib pajak akibat gangguan sistem Coretax pada 2025.

Sebagai bentuk transparansi, DJP juga diwajibkan untuk secara berkala melaporkan perkembangan sistem Coretax kepada Komisi XI DPR. “DJP akan menyampaikan jawaban tertulis atas pertanyaan dan tanggapan Pimpinan serta Anggota Komisi XI DPR paling lama tujuh hari kerja,” tegasnya.

Keluhan Wajib Pajak

Keputusan ini diambil menyusul banyaknya keluhan dari wajib pajak sejak peluncuran Coretax pada 1 Januari 2025. Para wajib pajak mengeluhkan berbagai permasalahan teknis, seperti akses layanan yang sulit, sistem yang lambat, serta error yang menghambat aktivitas usaha.

Coretax, yang dikembangkan dengan anggaran besar, justru menghadapi tantangan besar dalam implementasinya. Proyek ini pun semakin disorot, terutama karena pemenang tender pengadaan sistem, LG CNS, sebelumnya sempat terlibat sengketa paten. (alf)

 

 

 

PMK 11/2025 Sudah Berlaku, Ini Penjelesan dan Contoh Penghitungannya!

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, telah menetapkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 11 Tahun 2025 tentang Ketentuan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak dan Besaran Tertentu Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Peraturan ini diundangkan pada tanggal 4 Februari 2025 dan mulai berlaku pada hari yang sama.

Peraturan ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dalam penghitungan PPN dengan menggunakan dasar pengenaan pajak berupa nilai lain dan besaran tertentu. PMK ini juga menyesuaikan beberapa ketentuan yang sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131 Tahun 2024 tentang Perlakuan PPN atas Impor Barang Kena Pajak, Penyerahan Barang Kena Pajak, Penyerahan Jasa Kena Pajak, serta Pemanfaatan Barang dan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean.

Pokok-Pokok Peraturan

1. Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak

PMK ini mengatur penggunaan nilai lain sebagai dasar pengenaan PPN untuk berbagai jenis transaksi, termasuk penyerahan barang kena pajak (BKP) dan jasa kena pajak (JKP). Nilai lain ini dihitung sebesar 11/12 dari harga jual, penggantian, atau nilai impor, setelah dikurangi laba kotor atau komponen tertentu lainnya.

Contohnya, untuk pemberian cuma-cuma BKP atau JKP, nilai lain dihitung sebesar 11/12 dari harga jual setelah dikurangi laba kotor. Sementara itu, untuk penyerahan film cerita impor, nilai lain ditetapkan sebesar 11/12 dari perkiraan hasil rata-rata per judul film.

2. Besaran Tertentu PPN

PMK ini juga mengatur besaran tertentu PPN yang berlaku untuk beberapa jenis transaksi, seperti penyerahan Liquefied Petroleum Gas (LPG) tertentu, hasil tembakau, pupuk bersubsidi, dan emas perhiasan. Besaran tertentu ini dihitung berdasarkan persentase tertentu dari tarif PPN yang berlaku.

Misalnya, untuk penyerahan LPG tertentu, besaran tertentu PPN ditetapkan sebesar 1,1/101,1 dari selisih lebih antara harga jual agen dan harga jual eceran. Sementara itu, untuk penyerahan emas perhiasan, besaran tertentu PPN ditetapkan sebesar 10% dari 11/12 tarif PPN yang berlaku.

3. Penyesuaian Ketentuan Sebelumnya

PMK ini mengubah, menghapus, dan menetapkan pengaturan baru dalam beberapa peraturan menteri keuangan sebelumnya, termasuk PMK Nomor 75/PMK.03/2010 tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak, PMK Nomor 62/PMK.03/2022 tentang PPN atas Penyerahan LPG Tertentu, dan PMK Nomor 63/PMK.03/2022 tentang PPN atas Penyerahan Hasil Tembakau.

Contoh Penghitungan PPN

1. Penghitungan PPN dengan Nilai Lain

PT ABC memberikan cuma-cuma tetikus komputer kepada PT DEF dengan harga jual Rp200.000,00 dan laba kotor Rp50.000,00. Dasar pengenaan pajak dihitung sebesar 11/12 dari (Rp200.000,00 – Rp50.000,00) = Rp137.500,00. PPN yang terutang adalah 12% dari Rp137.500,00, yaitu Rp16.500,00.

2. Penghitungan PPN dengan Besaran Tertentu

PT PQR menyerahkan 5.000 tabung LPG tertentu kepada CV STU dengan harga jual agen Rp14.000,00 per tabung dan harga jual eceran Rp12.750,00 per tabung. Dasar pengenaan pajak adalah selisih lebih antara harga jual agen dan harga jual eceran, yaitu Rp6.250.000,00. PPN yang terutang adalah 1,1/101,1 dari Rp6.250.000,00, yaitu Rp68.002,00.

PMK ini berlaku untuk pemungutan PPN yang dilakukan sejak 1 Januari 2025. Untuk transaksi yang dilakukan sebelum tanggal tersebut, tetap berlaku ketentuan yang diatur dalam peraturan menteri keuangan sebelumnya. (alf)

 

DPR Panggil DJP, Dirjen Pajak Minta Rapat Digelar Tertutup

IKPI, Jakarta: Komisi XI DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan jajaran Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan untuk membahas sistem Coretax yang mengalami berbagai kendala sejak diluncurkan pada 1 Januari 2025.

Rapat yang berlangsung di ruang Komisi XI DPR RI Senin (10/2/2025) dimulai sekitar pukul 10.28 WIB dan dipimpin oleh Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun. Sebanyak 15 anggota DPR dari enam fraksi turut hadir dalam rapat tersebut, memenuhi kuorum sebagaimana diatur dalam Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.

Dalam pembukaan rapat, Misbakhun memberikan kesempatan kepada Dirjen Pajak Suryo Utomo untuk menentukan apakah rapat akan digelar secara terbuka atau tertutup. Suryo pun meminta agar pembahasan mengenai Coretax dilakukan secara tertutup.

“Kalau diizinkan pimpinan, rapat dilakukan secara tertutup,” ujar Suryo.

Permintaan tersebut kemudian disetujui oleh para anggota dewan, sehingga rapat secara resmi dinyatakan tertutup untuk umum oleh Misbakhun.

Hingga saat ini, belum ada keterangan resmi terkait hasil pembahasan dalam rapat tersebut.

Namun, sistem Coretax yang bermasalah sejak awal tahun menjadi perhatian serius karena berpotensi mengganggu proses administrasi perpajakan di Indonesia. (alf)

en_US