IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld, mengkritisi rancangan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. Dalam Konsultasi Publik yang digelar di Hotel Grand Mercure Kemayoran, ia menyoroti sejumlah pasal yang dinilai bermasalah dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum bagi wajib pajak serta pelaku usaha.
Salah satu pasal yang dikritisi adalah Pasal 3, yang menurut Vaudy melampaui kewenangan Mahkamah Agung (MA). “Seharusnya PERMA hanya mengatur lingkup peradilan di lingkungan MA, tetapi dalam rancangan ini justru mengatur kewenangan penyidik dari institusi lain. Ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan,” ujarnya di Jakarta, Selasa (11/2/2025).

Selain itu, Pasal 6 yang mengatur perlakuan terhadap perusahaan dalam kondisi pailit dinilai bertentangan dengan UU Kepailitan. Vaudy menyoroti bahwa dalam kepailitan, aset perusahaan diprioritaskan untuk kreditor, sedangkan negara bukan kreditur. “Perusahaan yang sedang dipailitkan tidak memiliki kuasa untuk melepaskan hartanya karena semua sudah berada di bawah kendali kurator,” jelasnya.
Pasal 8, yang mengatur praperadilan, juga menjadi perhatian. Dalam rancangan PERMA ini, praperadilan mencakup pemeriksaan alat bukti, yang menurut Vaudy bertentangan dengan UU Nomor 8 Tahun 1981. “Seharusnya, praperadilan hanya memeriksa sah atau tidaknya penetapan tersangka, bukan alat bukti. Jika dibiarkan, ini bisa menimbulkan penyimpangan dalam proses hukum,” tegasnya.
Sementara itu, Pasal 14 terkait ultimum remedium atau penyelesaian pajak tanpa pemenjaraan juga dipertanyakan. Ia menyoroti ketidakjelasan perlakuan terhadap dua pihak dalam kasus faktur pajak, yakni penerbit dan pengguna. “Jika penerbit faktur pajak sudah membayar pokok pajak dan dendanya, apakah pengguna faktur pajak juga otomatis terbebas dari hukuman? Begitu pula sebaliknya. Hal ini harus diperjelas,” katanya.
Selain itu, Vaudy menyoroti kewenangan MA dalam memeriksa bukti permulaan. Menurutnya, hal ini seharusnya menjadi ranah administratif, bukan kewenangan Mahkamah Agung. “Jika MA ikut campur dalam ranah administratif, ini bisa menimbulkan ketidakjelasan dalam proses penegakan hukum perpajakan,” tambahnya.
Namun, Vaudy menekankan bahwa aturan yang dibuat harus benar-benar proporsional dan sesuai dengan hukum yang berlaku, agar tidak merugikan dunia usaha serta tetap menjamin kepastian hukum bagi wajib pajak.
“Kami berharap Mahkamah Agung benar-benar mempertimbangkan seluruh masukan dari pemangku kepentingan sebelum PERMA ini disahkan, agar tidak ada celah yang bisa merugikan wajib pajak maupun negara,” katanya.
Sementara itu, dalam keterangan resminya dikutip, Selasa (11/2/2025) Mahkamah Agung (MA) menggelar Konsultasi Publik Rancangan Peraturan Mahkamah Agung (RANPERMA) tentang Pedoman Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Perpajakan di Hotel Grand Mercure, Kemayoran, Jakarta, Senin (10/2/2025).
Acara tersebut, dihadiri oleh sejumlah pejabat tinggi dari MA, di antaranya Ketua Kamar Pembinaan dan Ketua Kamar Pidana. Hadir pula pejabat pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP), akademisi, serta perwakilan dari berbagai lembaga hukum dan organisasi profesi, termasuk IKPI yang diwakili Associate Professor Edy Gunawan, Donny Rindorindo, Heru, Hendro dan Prof. Agus dari Universitas Pelita Harapan (UPH).
Dalam konsultasi publik ini, Ketua Kamar Pembinaan MA Syamsul Ma’arif, yang mewakili Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non Yudisial Suharto, menyatakan bahwa setelah tahap ini, mereka akan meninjau kembali masukan yang diberikan sebelum menerbitkan PERMA secara resmi. Aturan ini diharapkan menjadi payung hukum utama dalam penanganan tindak pidana perpajakan, dengan tujuan mengoptimalkan pemulihan kerugian negara dan mencegah kebocoran penerimaan pajak.
Ia berharap dengan adanya PERMA ini, perkara perpajakan dapat ditangani lebih efisien, adil, dan transparan, serta memberikan efek jera bagi pelanggar pajak. (bl)