Wajib Pajak UMKM Bisa Pilih Skema PPh Umum, Ini Syarat dan Prosedurnya

IKPI, Jakarta: Wajib pajak orang pribadi maupun badan dengan omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar per tahun kini memiliki pilihan dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 (PP 55/2022) dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 164 Tahun 2023 (PMK 164/2023), mereka dapat memilih dikenai Pajak Penghasilan (PPh) Final atau berdasarkan ketentuan umum.

Namun, untuk berpindah dari skema PPh Final ke ketentuan umum, ada prosedur administratif yang wajib dipenuhi. Wajib pajak harus menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat terdaftar. Pemberitahuan ini dapat disampaikan langsung, lewat pos atau jasa kurir, maupun secara elektronik.

Format dan Mekanisme Penyampaian Secara Elektronik

Sesuai dengan PMK 164/2023 Pasal 5, pemberitahuan harus mengikuti format dalam Lampiran A dan kini bisa dilakukan melalui sistem Coretax. Berikut tahapan pengajuannya:

• Masuk ke akun Coretax menggunakan akun wajib pajak atau kuasa.

• Pilih menu Layanan Wajib Pajak → Layanan Administrasi → Buat Permohonan Layanan Administrasi.

• Pada jenis layanan, pilih AS.06 Surat Keterangan Memenuhi Kriteria dan sub-layanan AS.06-02 Surat Pemberitahuan Memilih Dikenakan PPh Berdasarkan Ketentuan Umum.

• Isi bagian informasi umum dan lengkapi kolom kota/kabupaten penandatanganan formulir.

• Simpan formulir, klik Create PDF, isi data, lalu klik Sign dan masukkan passphrase.

• Setelah status menjadi “Tertanda”, klik Submit untuk mengirimkan pemberitahuan.

• Sistem akan menerbitkan dokumen tanda terima secara otomatis.

Perhatikan Tenggat Waktu

Wajib pajak yang ingin mengubah skema PPh harus menyampaikan pemberitahuan paling lambat pada akhir tahun pajak berjalan. Jika disampaikan tepat waktu, skema baru akan berlaku mulai tahun pajak berikutnya.

Bagi wajib pajak yang baru terdaftar, pemberitahuan bisa langsung diajukan saat pendaftaran agar dapat langsung menggunakan ketentuan umum sejak awal. (alf)

 

Tarif Impor 32% dari Trump Tekan Rupiah ke Rp16.273

IKPI, Jakarta: Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk tetap memberlakukan tarif impor sebesar 32% terhadap produk Indonesia kembali mengguncang stabilitas nilai tukar rupiah. Presiden Direktur PT Doo Financial Futures, Ariston Tjendra, menilai kebijakan tersebut menjadi pemicu utama pelemahan kurs rupiah dalam beberapa hari terakhir.

“Indonesia masuk dalam daftar negara yang dikirimi surat langsung oleh Trump. Bila negosiasi tak membuahkan hasil, tarif 32% akan diberlakukan penuh,” ujar Ariston, Selasa (8/7/2025).

Pemerintahan Trump sebelumnya sempat menunda pemberlakuan tarif tersebut, yang awalnya dijadwalkan efektif 9 Juli 2025, menjadi 1 Agustus. Penundaan ini diumumkan lewat perintah eksekutif Gedung Putih di tengah gelombang tekanan dagang yang ditujukan kepada sejumlah negara mitra.

Meski negosiasi dengan Indonesia terus berlangsung secara intensif, Trump tetap mempertahankan tarif resiprokal 32% yang diumumkan sejak April lalu. Ia berdalih Amerika Serikat perlu mengambil tindakan tegas untuk mengurangi defisit neraca perdagangan yang menurutnya “telah berlangsung bertahun-tahun.”

Trump bahkan mengancam akan menaikkan tarif lebih tinggi jika Indonesia dianggap melakukan langkah balasan. “Kalau Indonesia menaikkan tarif, kami akan membalas. Tarif 32% tetap berlaku, bahkan bisa ditambah,” tegasnya.

Namun, Trump juga membuka pintu kerja sama dengan syarat tertentu. “Kalau Indonesia mau bangun pabrik atau produksi di AS, permohonannya akan diproses cepat, bisa disetujui dalam beberapa minggu,” janjinya.

Menanggapi hal ini, Ariston menilai ketidakpastian tersebut memberikan tekanan psikologis terhadap pasar. “Sentimen negatif mulai terasa, terlebih jika pemerintah Indonesia tidak menawarkan skema kerja sama yang menarik. Rupiah bisa melemah hingga Rp16.300 per dolar AS,” ujarnya.

Pagi ini, rupiah terpantau melemah 33 poin atau sekitar 0,20% ke level Rp16.273 per dolar AS dari posisi sebelumnya Rp16.240. Menurut Ariston, level support berada di kisaran Rp16.200.

Dalam tiga pekan ke depan, nasib tarif dan kurs rupiah disebut akan sangat tergantung pada langkah diplomasi ekonomi yang diambil pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

“Tampaknya Indonesia tidak mendapat keistimewaan seperti negara lain. Ini akan jadi ujian awal arah kebijakan luar negeri ekonomi Indonesia,” kata Ariston. (alf)

 

Penerima Dividen Wajib Waspada, Potensi Kena Pajak Jika Tak Diinvestasikan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan bahwa pemberi dividen tidak berkewajiban memotong Pajak Penghasilan (PPh) atas dividen yang diterima Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) dalam negeri. Ketentuan ini berlaku jika dividen yang diterima diinvestasikan kembali di wilayah Indonesia sesuai ketentuan yang berlaku.

Melalui akun resmi Kring Pajak, DJP mengingatkan bahwa sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 18/2021, dividen yang berasal dari dalam negeri dapat dikecualikan dari objek PPh asalkan dana tersebut diinvestasikan di Indonesia dalam jangka waktu tertentu.

“Jika dividen tidak diinvestasikan, maka WP orang pribadi wajib menyetor sendiri PPh final sebesar 10%. Tidak ada pemotongan oleh pemberi dividen,” jelas Kring Pajak, Selasa (8/7/2025).

Ketentuan terbaru soal perpajakan dividen kini diatur dalam Pasal 370 hingga Pasal 374 PMK 81/2024. Dalam Pasal 370 ayat (5) disebutkan, pengecualian pajak atas dividen hanya berlaku jika:

• Dividen diinvestasikan dalam bentuk, tata cara, dan jangka waktu sesuai aturan perpajakan; dan

• WP menyampaikan laporan realisasi investasi secara lengkap.

Tak hanya dividen dalam negeri, dividen dari luar negeri pun bisa dikecualikan dari objek PPh jika memenuhi kriteria investasi dan pelaporan yang sama.

Namun, jika ketentuan tersebut tidak dipenuhi, Pasal 372 mengatur bahwa dividen dikenakan PPh saat diperoleh, dan wajib disetor sendiri oleh WP paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya. Pelaporan PPh ini dilakukan melalui SPT Masa PPh Unifikasi.

Dengan aturan ini, DJP berharap wajib pajak lebih bijak dalam mengelola dividen dan tidak lengah dalam kewajiban perpajakan. Skema ini juga menjadi bagian dari insentif pemerintah untuk mendorong investasi domestik. (alf)

 

Trump Berlakukan Tarif Impor 32 Persen untuk Produk Indonesia, Berlaku Mulai 1 Agustus

IKPI, Jakarta: Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali mengguncang perdagangan internasional dengan menetapkan tarif impor sebesar 32 persen terhadap produk asal Indonesia. Kebijakan ini diumumkan dalam laporan Reuters pada Selasa (8/7/2025), bersamaan dengan langkah serupa terhadap 13 negara lain yang dianggap memiliki neraca dagang tidak menguntungkan bagi AS.

Indonesia masuk dalam daftar negara yang menerima surat resmi dari Trump terkait tarif impor baru ini, bersama negara-negara seperti Malaysia, Thailand, Myanmar, Kamboja, Bangladesh, Serbia, dan Afrika Selatan.

Tarif sebesar 32 persen tersebut dijadwalkan mulai berlaku pada 1 Agustus 2025 atau mundur dari jadwal awal yang ditetapkan pada 9 Juli.

Dalam pernyataannya yang diunggah ke platform media sosial miliknya, Truth Social, Trump menegaskan bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari strategi perdagangan timbal balik.

“Jika karena alasan apa pun Anda memutuskan untuk menaikkan tarif, maka berapa pun jumlah yang Anda pilih, akan ditambahkan ke 25 persen yang kami kenakan,” tulis Trump dalam suratnya kepada para pemimpin Jepang dan Korea Selatan, dua negara yang terlebih dahulu menerima pemberlakuan tarif serupa.

Langkah Trump ini mengulang kebijakan serupa yang diumumkan pada April lalu. Berdasarkan data dari Gedung Putih yang dikutip Reuters, defisit neraca perdagangan antara AS dan Indonesia mencapai US$18 miliar, menjadi alasan utama diberlakukannya tarif tinggi terhadap produk Tanah Air.

Sejauh ini, baru Inggris dan Vietnam yang berhasil mencapai kesepakatan negosiasi ulang tarif dengan pemerintah AS. Belum ada informasi apakah Indonesia akan menempuh langkah diplomatik serupa untuk menghindari dampak lanjutan dari kebijakan ini.

Penerapan tarif sebesar 32 persen ini dikhawatirkan akan memukul sektor ekspor Indonesia, terutama industri padat karya seperti tekstil, furnitur, dan produk manufaktur lainnya yang selama ini mengandalkan pasar Amerika Serikat sebagai tujuan utama. (alf)

 

Piutang Pajak 2024 Naik 2,19%, DJP Soroti Dampak Pemeriksaan dan Upaya Hukum

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat adanya kenaikan piutang pajak sebesar 2,19% sepanjang 2024 dibandingkan tahun sebelumnya. Berdasarkan Laporan Keuangan DJP yang dikutip Senin (7/7/2025), total piutang pajak tercatat mencapai Rp75,33 triliun, naik dari posisi 2023 yang sebesar Rp73,72 triliun.

Kenaikan ini didorong oleh penerbitan ketetapan pajak baru, hasil dari kegiatan pemeriksaan, penelitian, serta bertambahnya ketetapan inkracht dan upaya hukum yang diajukan. Beberapa jenis pajak mengalami lonjakan piutang secara signifikan.

“Piutang PPh Minyak Bumi, PPh Gas Bumi, PPh Pasal 21, Pasal 22 Impor, Pasal 25/29 OP dan Badan, serta PPN Dalam Negeri dan Impor meningkat karena adanya penerbitan ketetapan baru yang cukup signifikan sebagai dampak dari pemeriksaan atau penelitian dan penambahan ketetapan inkracht dan/atau upaya hukum,” demikian isi laporan DJP.

Secara rinci, piutang PPh Minyak Bumi tumbuh 40,94% menjadi Rp129,64 miliar, sedangkan PPh Gas Bumi melonjak 144,42% menjadi Rp17,37 miliar. Piutang PPh Pasal 22 Impor naik 101,38% menjadi Rp1,44 miliar, sementara piutang PPN Impor meningkat tajam 244,59% menjadi Rp46,3 miliar.

Sebaliknya, beberapa jenis pajak menunjukkan penurunan piutang. Di antaranya PPh Pasal 23, Pasal 26, PPh Final, PPnBM dalam negeri, Bea Meterai, dan sejumlah pajak tidak langsung lainnya. Penurunan ini disebabkan oleh pelunasan yang dilakukan wajib pajak, penyelesaian melalui jalur hukum, atau telah daluwarsa.

Dalam laporan keuangannya, DJP juga menjelaskan bahwa piutang pajak dicatat berdasarkan nilai yang timbul dari hak penagihan yang sudah ditetapkan dalam surat keputusan.

Pengakuan piutang ini mengikuti sistem pemungutan pajak dan standar akuntansi pemerintahan.

Untuk tahun pajak 2008 dan sesudahnya, piutang pajak baru dicatat setelah jatuh tempo, misalnya setelah diterbitkannya STP, SKPKB yang telah disetujui, atau ketika wajib pajak tidak mengajukan keberatan maupun banding hingga batas waktu yang ditentukan.

SKPKB atau SKPKBT yang belum disetujui oleh wajib pajak tidak langsung diakui sebagai piutang karena masih dalam koridor hukum.

Kondisi ini menggambarkan bahwa proses hukum, mulai dari keberatan, banding, hingga peninjauan kembali, memegang peran penting dalam dinamika pencatatan piutang pajak.

DJP menegaskan komitmennya untuk terus memperbaiki mekanisme penagihan dan memastikan transparansi dalam pelaporan keuangan negara. (alf)

 

DJP Luncurkan Genta, Aplikasi Anyar untuk Akses Data Coretax Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi meluncurkan aplikasi anyar bernama Generate Data Coretax atau Genta pada Selasa (8/7/2025) dan sudah dapat diakses publik melalui laman genta.pajak.go.id. Aplikasi ini memungkinkan wajib pajak mengunduh data perpajakan hasil pemrosesan sistem administrasi pajak terbaru, yaitu Coretax Administration System.

Melalui Genta, wajib pajak cukup memasukkan jenis dokumen, masa, dan tahun pajak yang diinginkan. Setelah permohonan diajukan sejak pukul 08.00 WIB, data akan tersedia pada H+1 dan bisa langsung diunduh.

“Fitur ini menjadi bagian dari layanan digital kami untuk mempermudah akses informasi bagi wajib pajak,” tulis DJP dalam aplikasi tersebut.

Adapun jenis dokumen yang bisa diminta meliputi:

• Faktur pajak keluaran dan retur

• Faktur pajak masukan dan retur

• Bukti potong PPh Pasal 21 dan Pasal 26

• Bukti potong bulanan

• Formulir 1721-A1 dan 1721-A2

Genta dikembangkan untuk melengkapi transformasi digital DJP yang selama ini sudah berjalan lewat DJP Online.

Maka dari itu, hanya wajib pajak yang memiliki EFIN dan telah terdaftar sebagai pengguna DJP Online yang dapat menggunakan layanan ini. Petunjuk penggunaan aplikasi bisa ditemukan pada bagian Petunjuk Pengisian di sisi kiri layar aplikasi. (alf)

 

DPR Usul Pajak Progresif untuk Lahan yang Dijaminkan di Bank

IKPI, Jakarta: Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf Macan Effendi, mengusulkan kebijakan baru yang berpotensi mengguncang peta kepemilikan tanah di Indonesia. Melalui akun Instagram pribadinya, Senin (7/7/2025), Dede menyuarakan gagasan penerapan pajak progresif terhadap tanah atau lahan yang hanya dijadikan sebagai jaminan pinjaman (kolateral) di bank tanpa dimanfaatkan secara produktif.

“Saya ingin menyampaikan pemikiran agar pemerintah mulai menetapkan pajak progresif, atau paling tidak tarif lebih tinggi, untuk lahan-lahan yang hanya dijadikan jaminan di bank,” ujarnya.

Menurutnya, ada ketimpangan signifikan dalam kepemilikan lahan nasional. Dari sekitar 126 juta bidang tanah di Indonesia, sebanyak 58% dikuasai oleh hanya 1% penduduk yang mayoritas merupakan kelompok konglomerasi.

“Dan bisa jadi, sebagian besar dari 58% lahan itu hanyalah kolateral yang dijaminkan ke bank. Artinya tanah itu tidak dipakai, tidak dikelola, bahkan mungkin sengaja dibiarkan terbengkalai,” lanjutnya.

Dede menilai praktik ini tidak sehat bagi ekonomi nasional dan mendorong spekulasi lahan yang kian marak. Ia pun mendorong pemerintah, khususnya Kementerian ATR/BPN dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), untuk menjalin sinergi dalam mengidentifikasi tanah-tanah yang hanya digunakan sebagai agunan.

Ia mencontohkan, meski negara hanya memperoleh sekitar Rp3,2 triliun per tahun dari PNBP pertanahan, nilai kredit yang dijamin dengan lahan berskala besar seperti HGU (Hak Guna Usaha) dapat mencapai ratusan triliun rupiah.

“Bayangkan, tanah ratusan ribu hektare dijadikan jaminan kredit, tapi pajaknya minim. Ini ketimpangan yang harus disikapi,” tegasnya.

Namun Dede menegaskan, kebijakan ini tidak ditujukan kepada pelaku usaha kecil menengah (UKM) maupun masyarakat umum. Ia mengusulkan agar pajak progresif hanya berlaku bagi kepemilikan lahan di atas 10–20 hektare yang tidak produktif.

“UKM dan pemilik tanah kecil jangan sampai kena dampaknya. Fokus kita harus pada lahan besar yang nganggur tapi dipakai untuk mengakses modal,” tutupnya. (alf)

 

 

Partai Baru Elon Musk Tantang RUU Pajak Trump, Siap Guncang Politik AS

IKPI, Jakarta: Miliarder teknologi Elon Musk kembali mengguncang dunia politik Amerika Serikat. Setelah berminggu-minggu menyuarakan ketidaksetujuannya terhadap kebijakan pajak Presiden Donald Trump, Musk secara resmi mengumumkan pendirian partai politik baru bernama Partai Amerika, Sabtu (5/7/2025), sebagai bentuk perlawanan terhadap RUU pemotongan pajak yang baru saja disahkan.

Dalam pernyataannya di platform X, Musk menyebut RUU pajak tersebut sebagai “big and beautiful disaster” yang berpotensi merusak ekonomi nasional. Ia menuduh aturan tersebut hanya menguntungkan segelintir elite politik dan korporasi besar, sekaligus mengabaikan kepentingan rakyat Amerika pada umumnya.

“Hari ini, Partai Amerika dibentuk untuk mengembalikan kebebasan Anda,” tegas Musk. “Dengan perbandingan 2 banding 1, rakyat ingin partai baru dan itu akan terjadi!”

Pengumuman ini datang hanya sehari setelah Trump menandatangani RUU pemotongan pajak menjadi undang-undang. RUU tersebut menjadi titik balik hubungan antara Musk dan Trump, yang sebelumnya merupakan sekutu politik.

Musk bahkan telah menggelontorkan ratusan juta dolar untuk kampanye pemilihan ulang Trump pada 2024 dan menjabat sebagai kepala Department of Government Efficiency (Dodge) lembaga bentukan khusus untuk memangkas pengeluaran negara.

Namun hubungan keduanya kini berubah menjadi pertarungan terbuka. Musk secara terang-terangan menyatakan akan menggunakan kekayaannya untuk menggulingkan anggota parlemen yang mendukung RUU pajak Trump dalam pemilu paruh waktu 2026.

Presiden Trump belum merespons langsung pengumuman tersebut, namun awal pekan ini mengancam akan menghentikan miliaran dolar subsidi federal yang diterima berbagai perusahaan Musk, termasuk Tesla dan SpaceX.

Keretakan antara dua tokoh berpengaruh ini juga mengguncang pasar keuangan. Saham Tesla yang sempat melonjak ke rekor tertinggi pasca kemenangan Trump pada 2024, kini anjlok lebih dari 50% dan ditutup di angka US$315,35 per Jumat lalu.

Banyak pihak memandang langkah Musk sebagai upaya berani namun berisiko tinggi. Membentuk partai baru di sistem politik dua partai AS bukan perkara mudah. Sejak lebih dari 160 tahun, Partai Republik dan Demokrat mendominasi panggung politik, dan belum ada partai ketiga yang berhasil menembus dominasi tersebut secara signifikan.

Meski begitu, langkah Musk menuai respons besar dari publik. Jajak pendapat internal X menunjukkan mayoritas pengguna mendukung pembentukan partai baru. Namun analis politik memperingatkan bahwa perpecahan antara Musk dan Trump bisa merusak peluang Partai Republik dalam mempertahankan mayoritas di Kongres tahun depan.

Pertarungan antara orang terkaya di dunia dan presiden paling berkuasa saat ini tampaknya baru dimulai dan bisa menjadi babak baru dalam sejarah politik Amerika Serikat. (alf)

 

Ini Penjelasan Gubernur Jakarta Terkait Polemik Pajak Hiburan Olahraga

IKPI, Jakarta: Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung angkat bicara menanggapi polemik pajak hiburan yang dikenakan pada olahraga padel. Menurutnya, kebijakan tersebut bukan berasal dari inisiatif Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, melainkan mengacu pada ketentuan undang-undang yang berlaku.

“Jadi undang-undang kita sudah mengatur pajak hiburan dan pajak pertandingan. Bukan Pemprov yang menetapkan sendiri,” ujar Pramono di sela kunjungan kerjanya di Cakung, Jakarta Timur, Senin (7/7/2025).

Pramono menjelaskan, ada 21 cabang olahraga yang dikategorikan sebagai hiburan dan dikenai pajak. Daftarnya mencakup berbagai aktivitas olahraga darat dan air yang mengandung unsur rekreasi, seperti tenis, basket, voli, renang, hingga padel yang saat ini tengah naik daun.

“Semua yang menyangkut hiburan olahraga itu terkena pajak. Ada 21 jenis. Termasuk padel,” tegasnya.

Ia memahami bahwa sorotan publik mengarah pada olahraga padel karena pamornya yang sedang meroket di kalangan masyarakat kelas menengah ke atas. Namun ia menegaskan, kebijakan tersebut bukan ditujukan untuk membebani pihak tertentu.

“Ini jadi ramai karena padel. Mohon maaf, padel ini memang digemari kalangan middle ke atas,” ujarnya.

Pramono juga menjawab pertanyaan publik soal pengecualian golf dari pajak hiburan. Ia menekankan bahwa golf sudah lebih dulu dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11%, sehingga tidak boleh dikenakan pajak berganda.

“Golf sudah kena PPN. Jadi tidak bisa lagi dikenakan pajak hiburan. PPN-nya 11 persen,” jelasnya.

Sementara itu, untuk cabang lain seperti basket, renang, hingga padel, dikenakan pajak hiburan sebesar 10% sesuai aturan perpajakan yang berlaku.

“Untuk padel, renang, basket dan sebagainya itu dikenai pajak hiburan 10%. Semua diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009,” imbuhnya.

Pramono pun mengingatkan bahwa Pemprov DKI hanya menjalankan regulasi pusat dan tidak memiliki kewenangan untuk menghapus atau menyesuaikan ketentuan pajak hiburan olahraga secara sepihak.

“Kami hanya menjalankan aturan. Bukan membuatnya,” pungkasnya. (alf)

 

Penerimaan Pajak 2025 Terancam Tak Capai Target, Pemerintah Waspadai Tekanan Ekonomi dan Administratif

IKPI, Jakarta: Pemerintah mengakui penerimaan perpajakan tahun 2025 berpotensi tidak mencapai target yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dari target Rp2.490,9 triliun, penerimaan pajak diperkirakan hanya mampu terkumpul sebesar Rp2.387 triliun.

Informasi ini diungkap Menteri Keuangan , Sri Mulyani dalam rapat dengan DPR baru-baru ini menjelaskan Pelaksanaan APBN Semester I-2025. Hingga pertengahan tahun, penerimaan perpajakan baru mencapai Rp978,3 triliun atau sekitar 39,3% dari target. Pemerintah memperkirakan akan ada tambahan Rp1.409 triliun pada semester II, namun belum cukup untuk menutup selisih target.

Laporan tersebut juga menyoroti sejumlah tantangan yang memengaruhi performa penerimaan, mulai dari kondisi ekonomi domestik yang belum sepenuhnya pulih, harga komoditas unggulan yang berfluktuasi, hingga implementasi sistem perpajakan baru melalui core tax administration system (Cortex) yang belum optimal mendorong kinerja penerimaan.

Pajak penghasilan (PPh) menjadi salah satu komponen yang menunjukkan deviasi paling signifikan. Dari target Rp1.209,3 triliun, realisasinya diperkirakan hanya mencapai Rp1.041,6 triliun. Demikian pula dengan penerimaan dari PPN dan PPnBM yang diproyeksikan terkumpul Rp895,9 triliun, masih di bawah target Rp945,1 triliun.

Rendahnya penerimaan juga dipengaruhi oleh restitusi pajak yang melonjak serta batalnya kebijakan kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada tahun ini. Selain itu, penerimaan dari sektor cukai ikut menyusut. Pemerintah hanya menargetkan realisasi Rp228,7 triliun, lebih rendah dari target awal Rp244,2 triliun.

Kondisi ini menjadi peringatan dini bagi pemerintah agar lebih cermat dalam mengelola kebijakan fiskal dan memperkuat strategi pengawasan serta kepatuhan pajak. Evaluasi dan penyesuaian kebijakan menjadi kunci untuk menjaga kesehatan fiskal di tengah situasi ekonomi yang dinamis. (alf)

 

en_US