Sri Mulyani Beberkan Strategi Perpajakan 2026: Digitalisasi Jadi Senjata Utama

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan komitmen pemerintah dalam menggenjot penerimaan negara melalui reformasi perpajakan yang mengedepankan digitalisasi dan konektivitas sistem. Dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-21 Masa Persidangan IV 2024–2025, Selasa (1/7/2025), ia mengungkapkan tiga alat utama yang akan menjadi ujung tombak pencapaian target pajak tahun 2026.

Dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) untuk RAPBN 2026, pendapatan negara dan hibah ditargetkan mencapai 11,71 persen hingga 12,22 persen dari produk domestik bruto (PDB), sementara target pajak dipatok sebesar 10,08 persen hingga 10,45 persen dari PDB.

Untuk mendukung pencapaian tersebut, pemerintah mengandalkan tiga sistem utama: Coretax, Customs-Excise Information System and Automation (CEISA), dan Sistem Informasi PNBP Online (SIMPONI).

“Ketiga sistem ini akan diintegrasikan untuk menciptakan pengawasan yang konsisten, transparan, dan akurat. Ini juga akan memperkuat pelayanan publik serta pemungutan penerimaan negara, baik dari sektor pajak, kepabeanan, maupun PNBP,” jelas Sri Mulyani.

Ia juga menyoroti pentingnya sistem perpajakan yang adaptif terhadap perkembangan ekonomi digital dan dinamika perpajakan global. Menurutnya, aktivitas ekonomi lintas batas semakin memperbesar potensi erosi basis pajak (tax base erosion), sehingga Indonesia harus aktif dalam kerja sama internasional guna melindungi potensi penerimaan negara.

“Sistem perpajakan Indonesia harus compatible dengan arsitektur ekonomi digital. Kita aktif dalam forum global untuk menjaga hak pemajakan nasional,” tegasnya.

Ia juga menekankan, bahwa upaya peningkatan pendapatan negara tetap dilakukan dengan prinsip keberlanjutan dan menjaga iklim usaha.

“Pendekatan kami mencakup reformasi perpajakan, peningkatan kepatuhan, perluasan basis pajak, hingga optimalisasi sumber daya alam tanpa mengabaikan kelestarian lingkungan dan stabilitas investasi,” ujarnya.

Lebih jauh, Sri Mulyani mengungkap bahwa mobilisasi pendapatan juga dilakukan lewat penguatan tata kelola sumber daya alam dan optimalisasi pemanfaatan barang milik negara. Strategi ini diharapkan mampu menjawab tantangan fiskal jangka menengah sekaligus mendukung transformasi ekonomi nasional. (alf)

 

Menkeu Prediksi Penerimaan Pajak 2025 Tak Capai Target

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa target penerimaan pajak tahun ini yang dipatok sebesar Rp 2.189,3 triliun dalam APBN 2025 kemungkinan besar tidak akan tercapai. Pemerintah memperkirakan realisasinya hanya akan mencapai Rp 2.076,9 triliun atau sekitar 94,9% dari target.

Dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran DPR RI pada Selasa (1/7/2025), Sri Mulyani menjelaskan bahwa sejumlah faktor eksternal dan kebijakan dalam negeri menjadi penyebab utama terjadinya potensi shortfall penerimaan pajak.

“Penerimaan oleh Direktorat Jenderal Pajak tetap dijaga untuk tumbuh 7,5% dibandingkan tahun lalu. Kami perkirakan total penerimaan pajak sampai akhir tahun akan mencapai Rp 2.076,9 triliun,” jelasnya.

Namun demikian, capaian hingga semester I-2025 menunjukkan adanya tekanan. Realisasi penerimaan pajak dalam enam bulan pertama tercatat sebesar Rp 837,8 triliun, mengalami penurunan 6,21% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Restitusi Tinggi dan Batalnya Kenaikan PPN Jadi Biang Kerok

Sri Mulyani memaparkan bahwa tingginya angka restitusi menjadi salah satu penyebab utama kontraksi penerimaan pajak tahun ini. Di sisi lain, batalnya kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% turut berdampak besar, menghilangkan potensi penerimaan sekitar Rp 71 triliun.

“Itu adalah angka yang cukup besar dan tentu memengaruhi postur APBN 2025 secara keseluruhan,” ujarnya.

Tak hanya itu, penurunan harga minyak dan gas bumi sejak awal tahun juga memberikan tekanan terhadap penerimaan negara dari sektor migas. Belum lagi, perubahan skema penyaluran dividen BUMN ke Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) membuat sekitar Rp 80 triliun dividen tidak masuk langsung ke kas negara.

Guna mengatasi tekanan tersebut, Kementerian Keuangan mengandalkan berbagai langkah strategis, termasuk pelaksanaan joint program antara DJP dan DJBC, serta sejumlah kebijakan baru untuk memperluas basis penerimaan negara.

“Banyak extra effort yang saat ini dipantau langsung oleh Wakil Menteri Keuangan setiap hari. Di dalamnya termasuk penguatan koordinasi lintas unit dan pengenalan langkah-langkah baru baik di DJP maupun Bea Cukai,” kata Sri Mulyani. (alf)

 

Ancaman Shortfall, Dirjen Pajak Siapkan Strategi Perkuat Restitusi dan Pengawasan

IKPI, Jakarta: Pemerintah memperkirakan penerimaan pajak tahun ini tidak akan mencapai target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Proyeksinya, total setoran pajak hingga akhir tahun hanya akan mencapai Rp2.076,9 triliun atau sekitar 94,9% dari target yang ditetapkan, yakni Rp2.189,3 triliun. Meski begitu, angka tersebut masih lebih tinggi dibandingkan total penerimaan pajak pada tahun 2024 yang mencapai Rp1.932,4 triliun.

Menanggapi potensi shortfall ini, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menyampaikan strategi yang tengah disiapkan untuk mengoptimalkan kinerja pengumpulan pajak ke depan. Ia menyebut bahwa perbaikan administrasi dan penerapan sistem digital seperti Coretax mulai menunjukkan hasil.

“Beberapa quick win kami sudah mulai bekerja, efisiensi pemungutan juga sudah terjadi, dan Coretax pun semakin membaik. Ini penting agar defisit tetap bisa kita jaga antara belanja dan penerimaan,” ujar Bimo di kompleks DPR, Jakarta, Rabu (2/7/2025).

Salah satu fokus strategisnya adalah penguatan skema restitusi pajak. Menurut Bimo, pengawasan terhadap pengajuan restitusi, baik untuk kelebihan bayar maupun permohonan pendahuluan, akan diperketat.

“Kami akan perkuat pengawasan terhadap HPP (harga pokok penjualan), memastikan bahwa komponen COGS yang diklaim benar-benar bisa diakui sebagai pajak masukan. Di sini kami terapkan quality control dan audit sampling,” jelasnya.

Selain itu, Bimo memastikan bahwa mekanisme dan tenggat waktu restitusi akan tetap disesuaikan dengan regulasi, namun tetap memberikan kemudahan bagi pelaku usaha. “Kita kelola secara bijak tapi tetap adil dan sesuai dengan undang-undang,” tegasnya.

Tak hanya fokus pada aspek administrasi, Direktorat Jenderal Pajak juga mulai menyiapkan langkah antisipatif atas kemungkinan turunnya harga komoditas yang selama ini menjadi salah satu sumber utama penerimaan negara.

“Untuk sektor batubara, karena volatilitas harga cukup tinggi, kami sudah menyiapkan beberapa langkah alternatif. Nanti jika sudah matang, akan kami sampaikan lebih lanjut,” pungkas Bimo. (alf)

 

Dirjen Pajak: RPMK Pungutan Pajak Penjualan Online Sedang Difinalisasi

IKPI, Jakarta: Pemerintah tengah memfinalisasi regulasi perpajakan baru yang akan mewajibkan platform e-commerce memungut pajak dari pendapatan para pelapak atau merchant yang berjualan secara daring. Aturan tersebut akan dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang kini telah memasuki tahap akhir pembahasan.

Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, mengungkapkan bahwa rancangan PMK tersebut saat ini sedang berada di meja Kementerian Sekretariat Negara untuk difinalisasi. “Kita tunggu saja, masih di Mensesneg. Jadi proses, sedang proses, finalisasi,” kata Bimo di Kompleks DPR, Jakarta, Rabu (2/7/2025).

Namun, Bimo enggan mengungkapkan kapan regulasi tersebut akan mulai diberlakukan, apakah pada paruh kedua tahun ini atau tahun depan. Ia menolak berandai-andai soal waktu implementasi. “Kalau spekulasi seperti itu ya, anggap saja spekulasinya Anda. Saya enggak mau spekulasi,” ujarnya.

Meski belum merinci jadwal pemberlakuan, Bimo memastikan bahwa kebijakan tersebut telah melalui kajian mendalam, termasuk analisis dampak ekonomi. “Ada, nanti saya rilis. Tapi jangan sekarang,” imbuhnya.

Sementara itu, Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menegaskan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan kesetaraan perlakuan pajak antara pelaku usaha daring (online) dan luring (offline). Pemerintah ingin memastikan bahwa data transaksi pelaku usaha digital turut tercatat dalam sistem perpajakan nasional.

“Selama ini kita belum bisa menjangkau seluruh transaksi di e-commerce, termasuk PPh-nya. Yang offline sudah jelas, ada faktur dan sistem pelaporan. Tapi yang online masih lepas dari radar,” jelas Anggito saat ditemui di Jakarta, Senin (30/6/2025).

Menurutnya, wacana ini bukanlah hal baru. Sebelumnya, rencana serupa pernah diatur dalam PMK Nomor 210/PMK.010/2018, namun dibatalkan lewat PMK Nomor 31/PMK.010/2019. “Jadi ini bukan hal baru. Tidak ada tarif pajak yang berubah. Kita hanya ingin memperkuat basis data dan perlakuan yang seimbang,” jelas Anggito.

Ia juga menepis kekhawatiran soal pajak berganda bagi pelaku usaha yang memiliki kanal penjualan baik online maupun offline. “Mekanismenya akan dirancang agar tidak menimbulkan double tax. Ini soal kepatuhan, bukan beban tambahan,” ujarnya. (alf)

 

 

PPh Jadi Tulang Punggung Penerimaan Pajak NTB 2025

IKPI, Jakarta: Kinerja penerimaan pajak di wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB) terus menunjukkan tren positif. Hingga akhir Mei 2025, total penerimaan pajak di provinsi ini telah mencapai Rp 1,024 triliun, atau sekitar 59,3 persen dari total capaian Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Nusa Tenggara (Nusra) yang mencapai Rp 1,73 triliun.

Kepala Kanwil DJP Nusra, Samon Jaya, mengungkapkan bahwa angka tersebut merepresentasikan 25,4 persen dari target tahunan sebesar Rp 6,8 triliun. Pajak Penghasilan (PPh) menjadi kontributor terbesar dengan jumlah mencapai Rp 598,31 miliar atau 30,38 persen dari total penerimaan. Disusul oleh Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM) sebesar Rp 244,83 miliar.

“Dominasi PPh dan PPN mencerminkan peran strategis sektor-sektor utama dalam menopang ekonomi NTB sekaligus menjadi tulang punggung penerimaan negara di daerah,” ujar Samon dalam keterangannya, dikutip, Selasa (1/7/2025).

Selain pajak utama, penerimaan dari bea masuk, bea cukai, cukai, dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) juga tercatat melebihi target. Bahkan, penerimaan bea keluar, meskipun tidak memiliki target tahun ini, tetap terealisasi berkat setoran tunggakan tahun sebelumnya.

Samon menambahkan, tiga sektor dominan yang paling berkontribusi terhadap penerimaan pajak di NTB adalah sektor administrasi pemerintahan (34,01 persen), perdagangan (23,17 persen), dan jasa keuangan (18 persen). Ketiganya menyumbang 77,56 persen dari total penerimaan pada bulan Mei.

“Kontribusi terbesar datang dari sektor administrasi pemerintah dengan proporsi hingga 48,8 persen, terutama melalui setoran PPN dalam negeri dan deposit pajak,” jelasnya.

Ia juga mencatat adanya perlambatan setoran dari sektor perdagangan dan jasa keuangan pada periode ini, yang sebagian dipengaruhi oleh berkurangnya setoran tidak berulang dari Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Tahun 2024 pada bulan April lalu.

Tak hanya perpajakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga menunjukkan kinerja menggembirakan. Total PNBP di NTB tercatat sebesar Rp 331,71 miliar, setara 53,46 persen dari target APBN. Sumber utamanya berasal dari layanan pendidikan, pengurusan paspor, dan penerbitan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB).

“Kami optimis tren positif ini akan terus terjaga. Ini menjadi bukti nyata bahwa kesadaran dan kepatuhan para wajib pajak semakin meningkat, serta sistem perpajakan yang makin efektif dan adaptif terhadap dinamika ekonomi,” pungkas Samon. (alf)

 

Kanada Batalkan Pajak Layanan Digital demi Redakan Ketegangan Dagang dengan AS

IKPI, Jakarta: Pemerintah Kanada resmi membatalkan rencana pemberlakuan Pajak Layanan Digital (Digital Services Tax/DST) hanya satu hari sebelum kebijakan tersebut dijadwalkan mulai berlaku. Keputusan ini diumumkan Menteri Keuangan Francois-Philippe Champagne pada Minggu (29/6/2025), sebagai langkah strategis menjelang negosiasi dagang yang lebih luas dengan Amerika Serikat (AS).

Langkah ini menyusul kesepakatan antara Perdana Menteri Kanada Mark Carney dan Presiden AS Donald Trump untuk melanjutkan pembicaraan guna mencapai perjanjian perdagangan bilateral yang ditargetkan rampung pada 21 Juli mendatang.

“Pemerintah akan segera mengajukan legislasi untuk mencabut Undang-Undang Pajak Layanan Digital,” ungkap Kementerian Keuangan Kanada dalam pernyataan resminya.

PM Carney mengakui bahwa proses negosiasi tidak akan mudah, terutama setelah Presiden Trump menyatakan akan menghentikan seluruh pembicaraan perdagangan dan bahkan mempertimbangkan tarif baru sebagai respons atas kebijakan DST yang dianggap merugikan perusahaan teknologi AS.

“Kami tidak mencari konfrontasi, melainkan solusi. Negosiasi ini rumit, tapi kami lakukan demi kepentingan warga Kanada,” ujar Carney dalam wawancara dengan media lokal.

Presiden Trump sebelumnya mengecam keras kebijakan pajak digital Kanada, menyebutnya sebagai “serangan terang-terangan terhadap Amerika Serikat.” Dalam unggahan di media sosial, ia menyatakan bahwa pajak tersebut tidak hanya tidak adil, tetapi juga mengancam hubungan dagang kedua negara.

Jika diberlakukan, DST akan memungut pajak sebesar 3 persen dari pendapatan yang dihasilkan perusahaan digital AS seperti Amazon, Google, dan Meta atas aktivitas pengguna di Kanada. Kebijakan ini sejak awal menuai kritik tajam dari Washington karena dinilai menargetkan perusahaan-perusahaan raksasa teknologi AS secara sepihak.

Keputusan pembatalan DST ini dinilai sebagai sinyal positif dari Ottawa untuk meredakan ketegangan sekaligus membuka jalan bagi kesepakatan dagang baru yang lebih stabil dan saling menguntungkan.

Namun, para pengamat memperingatkan bahwa Kanada tetap membutuhkan solusi jangka panjang untuk memastikan keadilan fiskal di era digital tanpa harus mengorbankan relasi ekonomi strategis dengan mitra utama seperti Amerika Serikat. (alf)

 

Pemerintah Sebut Pajak Digital Jadi Langkah Strategis Majukan UMKM Kreatif

IKPI, Jakarta: Penerapan pajak bagi pelaku usaha digital tak hanya soal kewajiban negara, melainkan juga menjadi bagian penting dalam membangun kepercayaan konsumen dan memperkuat posisi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di ekosistem ekonomi digital. Demikian disampaikan Kepala Direktorat Kajian dan Manajemen Strategis Kementerian Ekonomi Kreatif, Agus Syarip Hidayat, dalam pernyataannya di Jakarta, Selasa (1/7/2025).

“Pajak bukan hanya kewajiban administratif, tapi juga simbol bahwa pelaku usaha terdata, patuh, dan layak dipercaya. Hal ini membuka akses pada pembiayaan, kerja sama, hingga pasar yang lebih luas,” ujar Agus.

Ia menekankan, kebijakan pengenaan pajak e-commerce seharusnya dipandang sebagai upaya untuk menciptakan ekosistem digital yang lebih adil dan berkelanjutan, bukan sebagai beban baru bagi para pelaku usaha.

Dengan sistem pemungutan pajak secara otomatis melalui platform digital, proses pelaporan akan menjadi lebih sederhana dan efisien. Menurut Agus, mekanisme ini justru dapat menjadi jembatan bagi UMKM untuk menata sistem bisnisnya agar lebih rapi, tertib, dan kredibel.

“Kami tidak menutup mata terhadap kekhawatiran pelaku usaha kecil, terutama mereka yang baru mulai merintis. Tapi perlu ditegaskan, kebijakan ini tidak serta-merta membebani, justru menjadi tantangan yang bisa kita atasi bersama,” tambahnya.

Agus juga mengingatkan bahwa tidak semua pelaku UMKM akan dikenai pajak. Hanya usaha dengan omzet di atas ambang batas tertentu yang ditetapkan Kementerian Keuangan yaitu antara Rp 500 juta hingga Rp 4,8 miliar per tahun yang akan dikenakan pajak final sebesar 0,5% dari omzet.

Ia menyarankan agar penerapan kebijakan dilakukan secara bertahap, dengan mempertimbangkan kesiapan pelaku usaha serta disertai edukasi yang menyeluruh.

Pemerintah, lanjutnya, berkomitmen untuk mengedepankan pendekatan kolaboratif dalam implementasinya.

“Kami ingin kebijakan ini menjadi investasi menuju masa depan UMKM kreatif yang lebih inklusif, tangguh, dan berdaya saing, bukan sekadar alat penarikan pajak,” tegasnya.

Langkah ini sekaligus menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah mendukung pertumbuhan sektor ekonomi kreatif berbasis digital, sekaligus mendorong terciptanya iklim usaha yang tertib, transparan, dan menguntungkan semua pihak. (alf)

 

Tak Bayar Pajak? Siap-Siap Kendaraan Anda Tak Boleh Lewat di Jawa Barat!

IKPI, Jakarta: Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengeluarkan peringatan keras bagi pemilik kendaraan yang masih menunggak pajak. Dalam waktu dekat, kendaraan bermotor yang belum melunasi kewajiban pajaknya tidak akan diizinkan melintasi jalan-jalan di wilayah Jawa Barat.

“Kami akan buat regulasi. Kalau menunggak pajak, enggak bisa lewat lagi di Jawa Barat,” tegas Dedi dalam video yang diunggah di akun Instagram resminya, dikutip Selasa (1/6/2025).

Langkah ini, menurut Dedi, bertujuan mendorong kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak kendaraan bermotor. Apalagi, saat ini pemerintah daerah telah menyediakan berbagai insentif, termasuk penghapusan tunggakan dan denda dalam program pemutihan pajak kendaraan yang kembali diperpanjang.

“Ayo manfaatkan pemutihan ini. Sudah diberi ampunan, masih enggak bayar juga, nanti jangan salahkan kalau kendaraannya kami tahan,” ujarnya.

Program pemutihan pajak kendaraan bermotor di Jawa Barat yang awalnya berakhir pada 30 Juni 2025, kini diperpanjang hingga 30 September 2025. Keputusan tersebut diambil setelah melihat tingginya antusiasme masyarakat yang belum seluruhnya terlayani.

Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Jawa Barat mengumumkan bahwa skema program tetap sama. Pemilik kendaraan akan dibebaskan dari seluruh tunggakan pokok pajak serta denda keterlambatan. Tak hanya itu, kendaraan dari luar daerah yang dimutasi ke Jawa Barat juga mendapatkan insentif berupa bebas pajak selama satu tahun dan penghapusan denda pajak.

Menariknya, program ini juga memberikan potongan terhadap beban Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ) yang dibayarkan kepada Jasa Raharja. Dalam skema baru, pemilik kendaraan hanya wajib membayar SWDKLLJ untuk satu tahun ke depan dan satu tahun tertunggak.

Denda SWDKLLJ tahun-tahun sebelumnya pun dihapus. “Bebas denda SWDKLLJ untuk tahun-tahun yang telah lewat, tapi untuk denda keterlambatan tahun berjalan tetap dikenakan,” tulis Bapenda Jabar dalam pengumuman resminya.

Dengan kebijakan ini, Pemprov Jawa Barat berharap kesadaran masyarakat untuk patuh pajak meningkat.

Dedi menegaskan, kepatuhan membayar pajak kendaraan tidak hanya berdampak pada legalitas kendaraan, tetapi juga mendukung pembangunan infrastruktur dan layanan publik di seluruh wilayah Jawa Barat. (alf)

 

Baru 432 Ribu UMKM Bayar Pajak, DJP Akui Masih Jauh dari Potensi Nyata

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengungkapkan bahwa jumlah pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang aktif menyetorkan Pajak Penghasilan (PPh) Final masih sangat rendah dibandingkan dengan potensi sebenarnya.

Sepanjang tahun 2023, hanya sekitar 432 ribu UMKM yang tercatat menyetor PPh Final 0,5%, dengan total penerimaan mencapai Rp2,49 triliun. Meski jumlah tersebut terlihat signifikan, DJP menilai angka itu belum merepresentasikan total populasi UMKM yang seharusnya tercatat dan berkontribusi dalam sistem perpajakan nasional.

“Jumlah tersebut belum menggambarkan seluruh pelaku UMKM, karena ada dua kelompok besar yang tidak tercakup dalam data penyetoran PPh Final 0,5%,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli,  Selasa (1/7/2025).

Kelompok pertama adalah wajib pajak orang pribadi dengan omzet tahunan di bawah Rp500 juta yang memang dikecualikan dari kewajiban PPh. Sementara itu, kelompok kedua mencakup UMKM yang memilih menggunakan skema tarif umum sesuai Pasal 17 Undang-Undang PPh.

Rosmauli menambahkan bahwa setiap pelaku UMKM hanya bisa memiliki satu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang kini telah terintegrasi dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Hal ini untuk mencegah praktik pemecahan omzet (income splitting) guna menghindari pajak yang lebih tinggi.

“Kalau ada yang mencoba membagi omzet ke beberapa usaha agar pajaknya kecil, tetap harus dilaporkan dalam satu SPT tahunan dengan NPWP yang sama,” ujarnya.

Di tengah tantangan peningkatan kepatuhan pajak UMKM, pemerintah pun mulai menyiapkan mekanisme baru. Salah satunya adalah rencana penunjukan marketplace sebagai pemungut PPh bagi pelaku UMKM yang berjualan secara daring.

Kebijakan ini diatur dalam Pasal 32A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, yang memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menunjuk pihak ketiga, termasuk platform digital, dalam membantu proses pemungutan dan pelaporan pajak.

Rosmauli menekankan bahwa kebijakan ini tidak akan menambah beban pajak bagi pelaku UMKM. “Tarif tetap sama. UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta tetap tidak dikenakan PPh, dan bagi yang beromzet Rp500 juta sampai Rp4,8 miliar tetap membayar 0,5% secara final,” katanya.

Dengan langkah-langkah ini, DJP berharap ekosistem perpajakan yang lebih adil dan menyeluruh bisa terbangun, sekaligus mendorong UMKM untuk semakin aktif dan transparan dalam menjalankan kewajiban perpajakannya. (alf)

 

 

 

 

Rupiah Menguat di Tengah Kekacauan RUU Pajak Trump

IKPI, Jakarta: Nilai tukar rupiah terus menunjukkan penguatan terhadap dolar Amerika Serikat (AS), seiring meningkatnya kecemasan pelaku pasar global terhadap dampak Rancangan Undang-Undang (RUU) pajak terbaru yang sedang digodok di Senat AS. Analis mata uang Doo Financial Futures, Lukman Leong, memproyeksikan rupiah berpotensi melanjutkan penguatan dalam waktu dekat.

“Rupiah diperkirakan akan menguat terhadap dolar AS, seiring pelemahan indeks dolar yang menyentuh level terendah sejak Februari 2022,” ujar Lukman di Jakarta, Selasa (1/7/2025).

Ia menambahkan, salah satu pemicu utama kekhawatiran pasar adalah potensi defisit fiskal AS yang bisa membengkak hingga 3,3 triliun dolar AS akibat RUU tersebut. RUU yang dijuluki “One Big Beautiful Bill Act” itu telah disetujui Senat AS melalui pemungutan suara tipis 51-49. Aturan setebal 940 halaman itu memperpanjang pemotongan pajak 2017 dan menambahkan insentif baru bagi sektor korporasi serta alokasi belanja besar-besaran untuk militer dan keamanan perbatasan.

Namun, kompensasinya adalah pemotongan besar terhadap berbagai program kesejahteraan sosial seperti Medicaid, subsidi energi terbarukan, hingga bantuan pangan.

“Investor menilai RUU ini cenderung berpihak pada golongan elit pendukung Trump, bukan masyarakat luas. Ini menciptakan ketidakpastian fiskal yang memicu aksi jual terhadap dolar,” tambah Lukman.

Di saat bersamaan, ketidakpastian dari sektor perdagangan juga menambah tekanan pada mata uang AS. Penundaan kesepakatan tarif yang akan berakhir pada 9 Juli menambah keresahan.

“Jika tenggat waktu berakhir tanpa perpanjangan atau kesepakatan, pasar berisiko panik. Selama 90 hari masa penundaan, AS hanya berhasil capai kesepakatan dengan Inggris dan itupun dianggap merugikan Inggris,” jelasnya.

Merespons sentimen global tersebut, rupiah dibuka menguat pada perdagangan Selasa pagi sebesar 56 poin atau 0,34 persen ke posisi Rp16.182 per dolar AS dari level penutupan sebelumnya di Rp16.238 per dolar AS. Lukman memperkirakan kisaran nilai tukar rupiah akan bertahan antara Rp16.100 hingga Rp16.200 per dolar AS dalam waktu dekat.

Pasar keuangan Indonesia pun menyambut positif perkembangan ini, dengan arus modal asing mulai kembali masuk ke pasar obligasi domestik.

Namun demikian, analis mengingatkan agar pelaku pasar tetap mewaspadai potensi volatilitas, terutama menjelang keputusan final DPR AS dan sikap Gedung Putih terhadap RUU kontroversial tersebut. (alf)

 

en_US