Penerimaan Neto PPN dan PPnBM April 2025 Terkontraksi 19,6%, Relaksasi Jatuh Tempo Jadi Pemicu

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat penerimaan neto dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) hingga April 2025 mencapai Rp175,7 triliun. Angka ini mencerminkan penurunan atau kontraksi sebesar 19,6% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya.

Dwi Astuti, Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Selatan II yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, menjelaskan bahwa kontraksi ini dipengaruhi oleh kebijakan relaksasi jatuh tempo pembayaran PPN dalam negeri (DN). Menurutnya, kebijakan ini memberi keleluasaan waktu bagi wajib pajak untuk menyetor kewajiban mereka, yang berdampak langsung pada realisasi penerimaan di awal tahun.

“Kontraksi ini salah satunya karena terdapat relaksasi jatuh tempo pembayaran PPN DN,” ujar Dwi dikutip, belum lama ini.

Kendati mengalami penurunan secara neto, Dwi mengungkapkan bahwa dari sisi bruto, penerimaan PPN dan PPnBM justru menunjukkan pertumbuhan positif sebesar 1,1%. Hal ini menjadi indikasi bahwa aktivitas ekonomi dan konsumsi barang tetap berlangsung meski pelunasan pajaknya ditunda.

Sebagaimana diketahui, pemerintah telah menaikkan tarif PPN menjadi 12% sejak awal 2025, namun hanya diberlakukan untuk barang-barang mewah tertentu. Ketika ditanya mengenai kontribusi kebijakan ini terhadap total penerimaan negara, Dwi menyampaikan bahwa evaluasi masih terus dilakukan.

“Dapat kami sampaikan bahwa dampak kenaikan tarif PPN untuk barang tertentu masih dalam perhitungan lebih lanjut,” imbuhnya. (alf)

 

 

 

Lonjakan Wisman Kembali Dongkrak Penerimaan Pajak di Bali 

IKPI, Jakarta: Bali kembali bersinar sebagai primadona pariwisata dunia. Dalam lima bulan pertama tahun 2025, kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Pulau Dewata mencatat lonjakan signifikan. Berdasarkan data Dinas Pariwisata Pemprov Bali, BPS, dan Kantor Imigrasi Bandara Ngurah Rai, jumlah wisman yang masuk ke Bali mencapai lebih dari 2,66 juta orang naik 11,29% dibanding periode Januari–Mei 2024 yang berjumlah 2,39 juta. Angka ini bahkan jauh melampaui capaian sepanjang periode yang sama tahun 2023 yang hanya 1,87 juta kunjungan.

Ketua Bali Tourism Board (BTB), Ida Bagus Partha Adnyana, menyampaikan bahwa lonjakan kunjungan wisatawan ini tidak hanya membawa semarak di destinasi wisata, tetapi juga berdampak nyata terhadap penerimaan daerah. Ia menyebutkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor pajak melonjak tajam di tiga kawasan utama Kabupaten Badung, Gianyar, dan Kota Denpasar.

“Realisasi penerimaan pajak di Mei 2025 di ketiga wilayah ini melampaui capaian dua tahun terakhir. Ini menandakan bahwa pemulihan ekonomi Bali terus bergerak ke arah positif, dengan sektor pariwisata dan jasa sebagai penggerak utama,” ujar Gus Agung, sapaan akrabnya, Jumat (13/6/2025).

Secara rinci, Pemkab Badung berhasil menghimpun pajak sebesar Rp2,41 triliun, Pemkab Gianyar mencatat Rp423 miliar, sementara Pemkot Denpasar meraup Rp639 miliar. Kontribusi terbesar bersumber dari pajak hotel, restoran, dan hiburan (PHR), yang menyumbang sekitar 75% dari total penerimaan pajak daerah di ketiga wilayah tersebut.

“Setiap kamar hotel yang ditempati, setiap hidangan yang disantap di restoran, dan setiap atraksi yang disaksikan pengunjung semuanya ikut menambah pemasukan daerah. Ini menunjukkan bagaimana sektor pariwisata menjadi jantung perekonomian Bali,” tambah Gus Agung.

Ia menambahkan, kawasan favorit seperti Nusa Dua, Kuta, Seminyak, Canggu, Sanur, dan Ubud menunjukkan tingkat hunian hotel (occupancy rate) yang meningkat signifikan sepanjang Januari hingga Mei 2025 jika dibandingkan tahun sebelumnya.

Optimisme pun menguat, bahwa sisa tahun 2025 akan terus menjadi momentum emas bagi kebangkitan ekonomi Bali yang berbasis pariwisata. (alf)

 

Pajak Saham di Filipina Kini Hanya 0,1%, Siap Bersaing Dengan Bursa Asia 

IKPI, Jakarta: Mulai 1 Juli 2025, Bursa Efek Filipina (PSE) akan menerapkan tarif pajak transaksi saham (stock transaction tax/STT) yang jauh lebih rendah, dari sebelumnya 0,6% menjadi hanya 0,1%. Kebijakan ini diharapkan menjadi magnet baru bagi investor global.

Penurunan drastis ini merupakan hasil dari pengesahan Republic Act No. 12214 atau Capital Markets Efficiency Promotion Act (CMEPA) yang diteken Presiden Ferdinand Marcos Jr pada 29 Mei 2025. Undang-undang ini menjadi tonggak reformasi perpajakan pasar modal di Filipina.

“Jika publikasi undang-undang selesai sebelum 1 Juli, maka STT 0,1% akan mulai berlaku untuk seluruh transaksi di bursa pada tanggal tersebut,” jelas Presiden dan CEO PSE, Ramon S. Monzon, dalam keterangannya tertanggal 11 Juni.

Lebih Murah dari Tetangga ASEAN

CMEPA menurunkan STT lima kali lipat langsung dalam satu kebijakan. Penurunan ini membuat Filipina menjadi salah satu negara dengan biaya transaksi saham terendah di kawasan Asia Tenggara. Langkah ini dinilai strategis untuk meningkatkan daya saing pasar modal domestik.

“Biaya transaksi yang lebih rendah akan mendorong lebih banyak investor besar—baik lokal maupun asing—untuk masuk ke pasar saham Filipina,” ujar Michael L. Ricafort, Kepala Ekonom Rizal Commercial Banking Corp.

PSE sendiri meyakini penurunan STT akan menjadi katalis utama bagi peningkatan volume perdagangan dan likuiditas pasar. Reformasi ini juga memberikan kepastian hukum terkait perlakuan pajak pada berbagai instrumen pasar modal, tidak hanya saham.

Dorong Aktivitas Perdagangan

Kepala Riset First Metro Investment Corp, Cristina S. Ulang, menilai kebijakan ini sebagai angin segar yang dapat memperkuat pasar dalam jangka panjang.

“Penurunan friction cost membuat investasi saham menjadi lebih efisien dan menarik, serta akan membantu meningkatkan nilai transaksi harian di bursa,” ujarnya.

Senada, Managing Director China Bank Capital Corp, Juan Paolo E. Colet, menyebut penurunan STT sangat menguntungkan trader aktif.

“Trader jangka pendek akan sangat diuntungkan. Spread harga beli dan jual (bid-ask spread) akan menyempit karena biaya transaksi yang lebih rendah,” ucapnya.

Reformasi Pajak Pasif Ikut Dirombak

CMEPA tidak hanya fokus pada STT. Sejumlah aturan pajak atas penghasilan pasif juga disederhanakan dan diseragamkan. Berikut beberapa poin penting lainnya:

• Bunga deposito dan dana keuangan: Kini dikenai pajak final 20%, termasuk simpanan dalam mata uang asing. Sebelumnya, tarifnya bervariasi atau bahkan bebas pajak.

• Royalti: Dikenai pajak final 20%, kecuali untuk buku, musik, dan karya sastra yang dikenai tarif 10%.

• Capital gain saham asing: Kini dikenai pajak final 15%, selaras dengan saham domestik.

• Bea meterai saham baru: Turun dari 1% menjadi 0,75%.

• Insentif pensiun (PERA): Perusahaan dapat mengklaim pengurangan pajak tambahan hingga 50% dari kontribusinya, maksimal 100.000 peso (sekitar Rp29 juta) per tahun.

Sinyal Positif bagi Pasar Modal Filipina

CMEPA disebut sebagai langkah berani yang menunjukkan komitmen pemerintah Filipina dalam memperbaiki iklim investasi. Dengan beban pajak yang lebih ringan dan kepastian hukum yang lebih jelas, pasar modal negara itu diproyeksikan akan semakin atraktif, tidak hanya bagi investor lokal, tapi juga regional dan global.

“Ini reformasi yang telah lama dinanti. Bukan hanya menguntungkan investor, tapi juga membuka jalan bagi modernisasi dan efisiensi pasar modal Filipina ke depan,” kata Monzon. (alf)

 

REI Sarankan Perbaikan Hunian Vertikal Bukan Naikkan Pajak Rumah Tapak

IKPI, Jakarta: Usulan pemerintah terkait pengenaan pajak yang lebih tinggi untuk rumah tapak guna mendorong masyarakat beralih ke rumah susun menuai kritik dari kalangan pelaku industri properti. Ketua Dewan Pembina DPP Real Estate Indonesia (REI), Totok Lusida, menilai langkah tersebut bukan solusi yang tepat untuk meningkatkan minat terhadap hunian vertikal.

Menurut Totok, strategi menaikkan pajak rumah tapak justru bisa menambah beban masyarakat tanpa menyelesaikan akar persoalan. Ia menegaskan bahwa pemerintah dan pengembang perlu fokus pada upaya membuat rumah susun lebih menarik dan terjangkau bagi kalangan muda, terutama generasi milenial.

“Bukan pajaknya dinaikkan supaya rusunnya laku. Tapi rusunnya yang dipermudah agar orang bisa nyaman tinggal di sana,” ujarnya, dikutip Minggu (15/6/2025).

Totok mencontohkan perbedaan harga air dan listrik antara rumah susun dan rumah tapak yang kerap membuat biaya hidup di rusun lebih mahal. Ia juga menyoroti besarnya Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL) di rumah susun yang dinilai perlu diringankan.

Menurutnya, insentif semacam itu lebih efektif dibanding beban fiskal tambahan. “Kalau pengeluaran saya besar, saya tidak menurunkan biaya hidup, tapi saya harus termotivasi untuk meningkatkan penghasilan. Generasi milenial harus diarahkan seperti itu,” tambahnya.

Di sisi lain, Menteri Perumahan Maruarar Sirait memilih untuk tidak berkomentar soal wacana pajak tersebut. Sebelumnya, Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Fahri Hamzah, sempat melontarkan gagasan kontroversial untuk menaikkan pajak rumah tapak secara signifikan.

“Misalnya nanti yang bikin rumah landed, pajaknya dinaikin saja sampai dia tidak bisa tinggal di landed. Pasti dia akan tinggal di rumah susun,” kata Fahri.

Fahri berdalih bahwa tren global di kota-kota besar menunjukkan penurunan pembangunan rumah tapak karena keterbatasan lahan. Oleh karena itu, menurutnya, Indonesia juga harus mulai meninggalkan model permukiman horizontal di perkotaan.

Namun usulan ini menuai kekhawatiran, terutama dari pelaku usaha properti dan konsumen, yang menilai bahwa kebijakan fiskal tidak seharusnya menjadi alat pemaksaan gaya hidup.

Sebaliknya, insentif dan perbaikan fasilitas rumah susun dianggap sebagai kunci agar masyarakat mau beralih secara sukarela. (alf)

 

 

Sri Mulyani Percayakan Aktivis Kampus Jabat Sesditjen Pajak

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan resmi mengangkat Sigit sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak (Sesditjen Pajak). Penunjukan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ini mempertegas pentingnya sosok berintegritas dan berwawasan hukum dalam mengawal transformasi otoritas pajak di tengah tantangan reformasi yang belum selesai.

Sigit bukan nama baru di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Sebelum menjabat Sesditjen, ia dipercaya memimpin Kanwil DJP Jawa Timur I dan pernah menduduki berbagai posisi penting, termasuk sebagai Kepala Subdirektorat Bantuan Hukum DJP. Namun, tak banyak yang tahu bahwa pria kelahiran Yogyakarta, 7 April 1976 ini memulai kiprah publiknya sebagai aktivis kampus pada masa reformasi 1998.

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) ini dikenal aktif di organisasi mahasiswa dan pernah menjadi Koordinator Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Yogyakarta. Ia mengaku sempat turun ke jalan saat reformasi bergulir. “Saya ingin memperjuangkan perubahan lewat jalur legal dan institusional,” kenangnya dalam sebuah podcast bersama Hermanto Tanoko, pengusaha asal Surabaya.

Sigit bergabung dengan Kementerian Keuangan sejak tahun 2002 atas dorongan ibunya. Ia kemudian mendapatkan beasiswa dari pemerintah Prancis untuk menempuh studi perpajakan di dua kampus ternama: Sorbonne University dan Université Paris Dauphine. Bekal akademik internasional inilah yang memperkuat perspektif dan kapasitasnya dalam membenahi sistem perpajakan nasional.

Salah satu pengalaman yang membekas dalam kariernya adalah ketika DJP dilanda krisis kepercayaan akibat kasus Gayus Tambunan. Sigit menyebut masa itu sebagai titik refleksi penting. “Waktu itu kalau naik metromini ke kantor, orang langsung bilang ‘Gayus turun’. Saya sedih sekali,” katanya.

Rasa malu sebagai pegawai pajak justru menjadi dorongan bagi Sigit untuk tampil sebagai bagian dari solusi.

Pada 2019, ia bahkan diminta mencalonkan diri sebagai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Saya ingin buktikan bahwa dari DJP, ada juga orang yang mampu dan mau berjuang dalam pemberantasan korupsi,” ujarnya.

Sigit lalu terlibat dalam tim Staf Khusus Presiden untuk reformasi perpajakan pasca-skandal Gayus, yang dipimpin oleh Dirjen Pajak saat itu, Mochammad Tjiptardjo. Ia ikut merumuskan awal mula Stranas PPK (Strategi Nasional Pencegahan Korupsi) dan sempat ditarik ke UKP4, lembaga pengawasan pembangunan yang dipimpin Kuntoro Mangkusubroto.

Tak hanya di bidang pajak, Sigit juga pernah menjadi bagian dari Satgas Anti Mafia Hukum dan ikut mendorong pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Totalitasnya membuat ia kerap dijuluki sebagai birokrat lintas dimensi: ahli hukum, praktisi perpajakan, sekaligus reformis sistemik.

Laporan harta kekayaannya terakhir pada 27 Februari 2023 menunjukkan total kekayaan sebesar Rp 3,5 miliar, nilai yang tergolong wajar dan transparan bagi pejabat eselon tinggi di Kementerian Keuangan.

“Pajak itu dinamis. Aturan berubah, bisnis berubah, dunia berubah. Kalau sistem kita statis, kita akan tertinggal,” kata Sigit. Kini, di kursi Sekretaris Ditjen Pajak, ia memikul tanggung jawab besar: memastikan roda birokrasi perpajakan berjalan bersih, efisien, dan adaptif terhadap zaman.

Tak kalah penting, Sigit juga sangat mendorong lahirnya Undang-Undang (UU) Konsultan Pajak. Menurutnya, keberadaan UU tersebut sudah sangat dibutuhkan untuk memberikan kepastian hukum guna melindungi wajib pajak dan konsultan pajak. (bl)

IKPI Tekankan Pentingnya Anggota Pahami Regulasi Terbaru

IKPI, Kota Tangerang: Ketua Departemen Keanggotaan dan Etika Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Robert Hutapea, menekankan pentingnya pemahaman anggota terhadap regulasi terbaru demi pelayanan profesional kepada klien serta menjaga integritas profesi konsultan pajak. Hal itu disampaikannya dalam acara Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) yang digelar IKPI Cabang Kota Tangerang, Sabtu (14/6/2025).

Dalam sambutannya, Robert, yang mewakili Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld menyampaikan rasa syukur atas terselenggaranya kegiatan PPL yang mengangkat tema “Strategi Menghadapi SP2DK dan Pemeriksaan Pajak Sesuai PMK 15 Tahun 2025.”

“Atas nama Ketua Umum IKPI, Bapak Vaudy Starworld, saya menyampaikan salam hangat dan apresiasi kepada Pengurus Daerah Banten dan Cabang Kota Tangerang atas terselenggaranya kegiatan ini. Pengurus Pusat mendukung penuh kegiatan seperti ini di seluruh Indonesia,” ujar Robert.

Ia juga mengajak seluruh anggota untuk memanfaatkan kanal resmi IKPI sebagai wadah berbagi ilmu, termasuk menulis analisis terkait aturan perpajakan, bahkan cukup fokus pada satu pasal atau bab tertentu. “Tulisan-tulisan dari anggota adalah bentuk kontribusi intelektual untuk komunitas dan masyarakat luas,” jelasnya.

Lebih lanjut ia menegaskan, menjelang HUT ke-60 IKPI, Robert juga mengimbau seluruh elemen organisasi turut menyukseskan perayaan tersebut sebagai momentum memperkuat kolaborasi dan eksistensi profesi konsultan pajak di Indonesia.

Diketahui, dalam seminar kali ini, anggota mendapatkan pembekalan mendalam terkait strategi menghadapi SP2DK secara efektif dan efisien agar tidak berlarut hingga tahap pemeriksaan formal. Selain itu, disoroti pula perbandingan ketentuan antara PMK 17/2013, PMK 18/2021, dan PMK 15/2025, khususnya menyangkut ruang lingkup pemeriksaan, standar, jangka waktu, hak dan kewajiban, serta ketentuan pelaksanaan dan pelaporan pemeriksaan.

“Saya berharap melalui PPL ini, seluruh anggota dapat memperkuat kompetensi dan meningkatkan kualitas layanan profesional kepada masyarakat, khususnya dalam menghadapi dinamika pemeriksaan pajak yang semakin kompleks,” kata Robert.

Acara ini menghadirkan narasumber utama Dr. Prianto Budi Saptono, pakar perpajakan yang dikenal luas karena kepakarannya dalam teori dan praktik pemeriksaan pajak. (bl)

Seminar IKPI Kota Tangerang Kupas Strategi Hadapi SP2DK 

IKPI, Kota Tangerang: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Kota Tangerang sukses menggelar kegiatan Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) dengan tema “Strategi Menghadapi SP2DK dan Pemeriksaan Pajak Sesuai PKM No. 15 Tahun 2025”. Acara ini digelar di Hotel ATRIA, Gading Serpong, dan diikuti oleh 97 peserta yang merupakan anggota IKPI dari wilayah Banten dan sekitarnya.

Dalam sambutannya, Ketua Pengcab IKPI Kota Tangerang, Edward Mias, menyatakan bahwa kegiatan ini dirancang untuk memperluas wawasan anggota IKPI, khususnya dalam mendampingi klien menghadapi Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) serta pemeriksaan pajak, sesuai ketentuan yang berlaku.

(Foto: Istimewa

“Pemahaman mendalam atas strategi menghadapi SP2DK dan pemeriksaan pajak sangat penting, agar konsultan tidak hanya memahami aspek administratif, tapi juga mampu mengedepankan logika dan aturan perpajakan yang tepat dalam praktik pendampingan klien,” ungkap Edward.

Acara yang dipandu oleh moderator Nur Istanti, menghadirkan narasumber utama Dr. Prianto Budi Saptono. Dalam paparannya, Prianto tidak hanya menjabarkan regulasi terkait, namun juga membekali peserta dengan pendekatan psikologis dalam berkomunikasi dengan Account Representative (AR) dan pemeriksa pajak.

Ia juga membagikan pengalaman nyata melalui berbagai studi kasus yang memperkuat strategi praktis peserta.

Kegiatan ini turut dihadiri Pengurus Pusat IKPI yakni Sekretaris Umum Asociate Professor Eddy Gunawan dan Ketua Bidang Keanggotaan dan Etika, Robert Hutapea, yang hadir mewakili Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld.

Robert juga didaulat memberikan sambutan kunci sekaligus membuka acara secara resmi dengan pemukulan gong. Ketua Pengcab Kabupaten Tangerang, Dhaniel Hutagalung, juga turut hadir memberi dukungan penuh.

Antusiasme peserta terlihat dari banyaknya pertanyaan yang diajukan kepada narasumber dan dijawab secara mendalam dengan penjabaran kasus-kasus aktual.

Melalui kegiatan ini, IKPI Kota Tangerang kembali menegaskan perannya dalam meningkatkan kapasitas profesionalisme konsultan pajak di tengah dinamika pengawasan perpajakan yang semakin kompleks. (bl)

Diskusi Panel IKPI: Mantan Direktur di DJP Bongkar Fakta di Balik Tiga Kali Tax Amnesty

IKPI, Jakarta: Mantan Direktur Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur (KITSDA) Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Harry Gumelar, membongkar kisah dan dinamika pelaksanaan tiga gelombang tax amnesty yang pernah dijalankan Indonesia. Dalam paparannya, di acara diskusi panel IKPI bertajuk “Tax Amnesty: Efektifkah Mengakselerasi dan Mendongkrak Penerimaan Pajak?” yang digelar di Gedung IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan Jumat (13/6/2025).

Harry menyebut program pengampunan pajak pertama kali dicoba pada 2007 melalui kebijakan sunset policy, yang awalnya memang diniatkan sebagai tax amnesty. “2007 itu sebetulnya mau tax amnesty, tapi gagal di bagian penghapusan pidananya, akhirnya jadi sunset policy. Tapi justru itu yang paling sukses, karena tax ratio kita naik jadi 13,6%—tertinggi selama saya di DJP,” ungkapnya.

Harry yang terlibat langsung dalam penyusunan kebijakan dan implementasi tax amnesty mengungkap bahwa tantangan terbesar DJP justru terletak pada kualitas dan pengelolaan data, bukan regulasi.

“Self-assessment enggak akan kuat kalau DJP enggak punya data dari pihak ketiga. Data kita banyak, tapi manajemennya lemah. Saya minta ke 78 instansi, hasilnya? Susah sekali. Data kendaraan bermotor aja kita cuma dapat sekali, itupun enggak jelas pemiliknya siapa,” ujarnya blak-blakan.

Menurutnya, jika pengelolaan data pajak berjalan baik, DJP seharusnya tidak perlu lagi mengandalkan tax amnesty sebagai instrumen penerimaan. Ia mencontohkan Australia yang cukup hanya dengan data properti, kendaraan, dan keuangan.

Lebih lanjut, Harry menyinggung dua program besar tax amnesty setelah itu: Tax Amnesty Jilid I (2016–2017) dan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau Jilid II (2022). Ia mengkritisi bahwa pada jilid pertama, DJP gagal mencapai target penerimaan.

“Nilai harta yang diungkap Rp4.800 triliun, tapi uang tebusan cuma Rp114 triliun dari target Rp165 triliun. Artinya cuma tercapai 69 persen. Padahal pidana dihapuskan,” jelasnya.

Sementara itu pada PPS, DJP menyatakan program itu bukan tax amnesty, tapi kenyataannya, kata Harry, fungsi utamanya tetap pengampunan. Bahkan, ia menyebut bahwa peserta PPS bisa “lolos” dari sanksi denda 200% jika mengungkap harta tersembunyi sebelum DJP mengetahuinya.

“Kalau DJP lebih tahu duluan, dendanya 200 persen. Tapi karena ada PPS, cukup bayar 18 persen. Itu artinya DJP kehilangan potensi penerimaan sampai 182 persen,” ujar Harry.

Yang lebih mengejutkan, Harry mengungkap mayoritas harta yang diungkap dalam PPS adalah uang tunai, mencapai Rp263 triliun. “Makanya jangan heran kalau kemarin ada mantan hakim punya Rp1 triliun di rumahnya,” sindirnya.

Di akhir paparannya, Harry mempertanyakan urgensi melanjutkan tax amnesty ke jilid III. Menurutnya, jika DJP belum mampu mengelola dan mengamankan data dengan baik, maka pengampunan pajak hanya akan jadi solusi jangka pendek yang berpotensi dimanfaatkan oleh para penghindar pajak.

“Kalau DJP mau adakan tax amnesty lagi, pastikan dulu datanya kuat, aman, dan DJP benar-benar lebih tahu duluan dari wajib pajak. Kalau enggak, jangan heran kalau ada lagi yang main ‘sandiwara PPS’,” pungkasnya. (bl)

PER-7/PJ/2025 Tegaskan Kriteria Wajib Pajak Nonaktif, Ini Daftarnya!

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi menetapkan aturan baru mengenai kriteria penetapan wajib pajak nonaktif melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen) Nomor PER-7/PJ/2025. Dalam beleid ini, DJP merinci lebih lanjut syarat dan prosedur bagi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dalam menetapkan status nonaktif, baik atas permohonan wajib pajak maupun secara jabatan.

Definisi wajib pajak nonaktif dijelaskan dalam Pasal 1 angka 20 sebagai pihak yang tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif, namun belum dilakukan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Status ini merupakan pembaruan dari istilah sebelumnya, yaitu “wajib pajak nonefektif.”

Delapan Kriteria Penetapan

Dalam Pasal 34 ayat (2), DJP menetapkan delapan kondisi yang bisa menjadi dasar penetapan wajib pajak nonaktif. Di antaranya:

• Orang pribadi yang menghentikan usaha atau pekerjaan bebas sehingga tidak lagi memenuhi syarat objektif;

• Orang pribadi tanpa usaha dan tidak berpenghasilan, atau memiliki penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP);

• WNI yang ingin menjadi subjek pajak luar negeri, tetapi belum memenuhi ketentuannya;

• WNI yang telah menjadi subjek pajak luar negeri (SPLN);

• WNI penduduk yang tidak lagi memenuhi syarat subjektif dan objektif;

• Wanita kawin yang memilih bergabung dengan NPWP suami namun masih tercatat memiliki NIK sendiri;

• Badan usaha yang tidak memenuhi syarat subjektif dan objektif, namun proses penghapusan NPWP belum selesai;

• Instansi pemerintah yang tidak lagi berstatus sebagai pemungut atau pemotong pajak, tetapi NPWP belum dihapus.

Penuhi 6 Syarat Akumulatif

Selain delapan kategori tersebut, penetapan secara jabatan juga memungkinkan jika wajib pajak memenuhi enam syarat akumulatif sesuai Pasal 38 ayat (2), yaitu:

• Tidak melaporkan SPT Masa atau Tahunan selama lima tahun terakhir;

• Tidak ada pemotongan/pemungutan pajak oleh pihak ketiga selama lima tahun;

• Tidak melakukan pembayaran pajak selama lima tahun;

• Tidak memiliki tunggakan atau sengketa pajak;

• Tidak sedang dalam proses pemeriksaan, penyidikan, atau bukti permulaan;

• Tidak sedang menikmati insentif atau fasilitas pajak.

Notifikasi Lewat Coretax hingga Kurir

Setelah penetapan, DJP melalui KPP akan mengirim surat pemberitahuan status nonaktif kepada wajib pajak. Surat ini akan dikirim melalui berbagai saluran seperti sistem Coretax, email yang terdaftar, atau lewat pos dan jasa kurir.

Kebijakan ini menjadi langkah penting dalam memperbarui basis data wajib pajak aktif, sekaligus efisiensi administrasi perpajakan. DJP berharap masyarakat dapat memahami kriteria ini dan segera mengurus permohonan jika merasa memenuhi syarat sebagai wajib pajak nonaktif. (alf)

 

Kebutuhan Pembangunan Infrastruktur 2025 Rp10.302 Triliun, Sri Mulyani Ajak Swasta Aktif Berperan

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa kebutuhan investasi untuk pembangunan infrastruktur nasional periode 2025 hingga 2029 diperkirakan mencapai USD625,37 miliar atau setara Rp10.302 triliun (dengan asumsi kurs Rp16.475 per USD). Angka fantastis ini disampaikan dalam forum International Conference Infrastructure 2025 yang digelar di Jakarta, Kamis (12/6/2025).

Menurut Sri Mulyani, kebutuhan tersebut mencerminkan upaya serius pemerintah dalam memperluas konektivitas serta menyediakan akses infrastruktur yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat Indonesia.

“Total kebutuhan investasi infrastruktur untuk periode 2025 hingga 2029 diperkirakan sekitar USD625 miliar,” ujar Sri Mulyani di hadapan para pelaku industri, mitra pembangunan, dan pemangku kepentingan.

Namun, ia mengakui bahwa kapasitas pembiayaan pemerintah masih sangat terbatas. Dari total kebutuhan tersebut, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya mampu menanggung sekitar USD143,84 miliar atau 23 persen. Ditambah dengan kontribusi anggaran pemerintah daerah yang mencapai USD106,31 miliar (17 persen), total kontribusi negara baru mencapai 40 persen dari kebutuhan keseluruhan.

“Kita menghadapi kesenjangan pendanaan yang cukup besar. Oleh karena itu, partisipasi dari BUMN dan sektor swasta sangat penting untuk menutup kekurangan ini,” jelas Sri Mulyani.

Untuk itu, pemerintah menargetkan peran BUMN dan sektor swasta masing-masing sebesar USD187,61 miliar atau 30 persen. Sri Mulyani juga menekankan pentingnya inovasi dalam skema pendanaan serta kerja sama lintas sektor untuk memastikan kelangsungan pembangunan infrastruktur nasional.

Di sisi lain, APBN saat ini tercatat telah berhasil menarik investasi senilai USD18,8 miliar, mencakup proyek-proyek strategis di bidang transportasi, energi, hingga pengelolaan air. Capaian ini menjadi indikator kuat bahwa pemerintah berkomitmen terhadap pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan dan inklusif.

“Kami terus mendorong penciptaan lingkungan investasi yang sehat dan kompetitif, agar pembangunan infrastruktur dapat memberikan dampak nyata bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat,” tutup Sri Mulyani.

Dengan kebutuhan anggaran yang sangat besar dan keterbatasan pembiayaan negara, keterlibatan aktif dari pihak swasta dan mitra internasional menjadi kunci sukses pembangunan infrastruktur Indonesia lima tahun ke depan. (alf)

 

 

id_ID