Jangan Kejar Tax Ratio dengan Bebani Rakyat, Ekonom Kritik Rencana BMAD Benang Tekstil

IKPI, Jakarta: Pengamat ekonomi senior Ichsanuddin Noorsy menyoroti rencana pemerintah mengenakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk benang Partially Oriented Yarn (POY) dan Drawn Textured Yarn (DTY) yang dianggapnya bisa menjadi pukulan telak bagi industri tekstil nasional. Menurut Ichsanuddin, kebijakan tersebut berpotensi mendorong restrukturisasi biaya besar-besaran di sektor tekstil, yang pada akhirnya bisa memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Kalau BMAD diterapkan, jalan keluar satu-satunya adalah restrukturisasi biaya. Dan langkah paling cepat adalah PHK,” ujarnya kepada wartawan, Selasa (20/5/2025).

Ia menyebut kebijakan fiskal semacam itu tidak adil. Industri tekstil, katanya, tidak bisa disamakan dengan sektor lain karena menyangkut kebutuhan pokok masyarakat, yakni sandang. “Industri tekstil tidak bisa sepenuhnya dilepas ke mekanisme pasar. Ini soal hajat hidup orang banyak,” tegasnya.

Kebijakan Pajak Dinilai Usang

Ichsanuddin juga menilai sistem perpajakan Indonesia saat ini sudah tertinggal jauh dibandingkan negara-negara lain. Ia mencontohkan negara seperti Jepang, India, Bangladesh, dan Vietnam yang masih memberikan insentif fiskal untuk melindungi industri tekstil mereka.

“Di banyak negara, industri tekstil diperlakukan sebagai sektor strategis. Pemerintah mereka memberi berbagai bentuk keringanan pajak untuk menjaga daya saing,” jelasnya.

Ia mengingatkan pemerintah agar tidak menjadikan BMAD sebagai solusi tunggal untuk meningkatkan rasio pajak nasional. Menurutnya, peningkatan penerimaan negara seharusnya difokuskan pada pembenahan sistem pengawasan dan penegakan hukum pajak, terutama terhadap korporasi besar yang kerap menghindari kewajiban mereka.

“Masalah utamanya adalah lemahnya penindakan terhadap kejahatan perpajakan oleh korporasi, baik dalam maupun luar negeri. Jangan sampai rakyat terus dibebani, sementara korporasi besar dibiarkan lolos,” pungkasnya. (alf)

 

 

Penjualan Mobil Menurun, Industri Otomotif Desak Evaluasi Pajak dan Insentif Baru

IKPI, Jakarta: Industri otomotif nasional menghadapi tantangan berat untuk kembali menembus angka penjualan 1 juta unit mobil per tahun. Setelah sempat bangkit usai pandemi, tren penjualan kembali menurun, mendorong pelaku industri mendesak pemerintah agar meninjau ulang kebijakan insentif dan perpajakan kendaraan bermotor.

Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Kukuh Kumara, menyatakan insentif terbukti menjadi penyelamat industri saat terjadi krisis. Ia mengingatkan bagaimana pada masa pandemi COVID-19, insentif pemerintah berhasil mendongkrak penjualan dari 532.000 unit pada 2020 menjadi lebih dari 1 juta unit pada 2022 dan 2023. Namun, tren itu tak bertahan lama. Penjualan kembali turun ke 865.000 unit pada 2024 dan diperkirakan hanya mencapai 850.000 unit pada 2025.

“Insentif jangka pendek memang sangat membantu, tapi daya beli masyarakat dan kondisi ekonomi tetap menjadi penentu utama,” ujar Kukuh dalam diskusi Forum Wartawan Industri, Senin (19/5/2025).

Ia juga menyoroti ketimpangan regulasi perpajakan Indonesia dibanding negara tetangga. Menurut Kukuh, pajak kendaraan di Indonesia tergolong paling tinggi di kawasan, bahkan mencapai 50% dari harga kendaraan. Hal ini membuat harga mobil melonjak tajam dari harga pabrik ke konsumen.

Sebagai perbandingan, ia menyebut di Malaysia, pajak kendaraan seperti PKB dan BBN hanya sekitar Rp 1 juta untuk mobil sekelas Avanza, jauh di bawah Indonesia yang bisa mencapai Rp 6 juta. Malaysia, lanjutnya, masih mempertahankan insentif era pandemi, membuat pasar domestik mereka mampu menjual lebih dari 816 ribu unit mobil tahun lalu, meski jumlah penduduknya jauh lebih sedikit.

Senada dengan Kukuh, Peneliti LPEM FEB UI Riyanto menyatakan industri otomotif nasional telah mengalami stagnasi sejak 2013 dan kini cenderung menurun. Penjualan periode Januari-April 2025 tercatat hanya 256.368 unit, turun hampir 3% dibanding tahun lalu. Bila tren ini berlanjut, total penjualan mobil tahun ini diproyeksikan hanya sekitar 769 ribu unit penurunan lebih dari 11% dari tahun sebelumnya.

“Secara teknikal, industri otomotif kita ini sedang resesi,” ujar Riyanto.

Ia memperingatkan bahwa struktur pajak kendaraan yang terlalu tinggi menjadi beban berat, di mana sekitar 42% dari harga mobil adalah pajak. “Jika harga mobil Rp 300 juta, maka sekitar Rp 126 juta adalah pajak. Ini tidak sehat dalam jangka panjang,” tambahnya.

Riyanto menekankan pentingnya keseimbangan baru dalam kebijakan pajak dan insentif. Ia menyebutkan simulasi yang menunjukkan bahwa insentif PPnBM 0% dapat berkontribusi hingga 0,793% terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Dari sisi pemerintah, Mahardi Tunggul Wicaksono, Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Kementerian Perindustrian, menyampaikan bahwa pemerintah terbuka untuk mengevaluasi berbagai masukan dari pelaku industri. Baik insentif fiskal maupun non-fiskal akan dipertimbangkan, dengan tetap memperhitungkan kondisi keuangan negara.

“Kami juga tidak akan hanya fokus pada satu teknologi saja. Pemerintah sedang mengkaji pemberian insentif bagi semua jenis kendaraan, termasuk mobil berbahan bakar hidrogen,” ungkap Mahardi.

Indonesia saat ini memiliki 32 produsen mobil dan 73 produsen motor, dengan kapasitas produksi tahunan mencapai 2,35 juta unit mobil dan 10,72 juta unit motor. Total investasi sektor ini mencapai Rp 174,31 triliun. Dengan potensi sebesar itu, pelaku industri berharap pemerintah dapat segera merespons dengan kebijakan yang pro-pertumbuhan. (alf)

 

PMK 81/2025 Ubah Cara Hitung Pajak BUMN dan BUMD

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 melakukan reformulasi penghitungan angsuran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Ketentuan yang tertuang dalam Pasal 229 PMK tersebut bertujuan mendorong transparansi dan akurasi pembayaran pajak sepanjang tahun berjalan.

Dalam pasal tersebut, penghitungan angsuran PPh 25 bagi BUMN dan BUMD selain yang berstatus bank, perusahaan terbuka, atau Wajib Pajak tertentu lainnya tidak lagi mengacu hanya pada perhitungan tahun sebelumnya. Kini, dasar penghitungan menggunakan proyeksi penghasilan neto fiskal berdasarkan Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) yang telah disahkan Rapat Umum Pemegang Saham.

Besarnya angsuran dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh terhadap penghasilan neto fiskal tersebut, lalu dikurangi dengan pajak-pajak yang telah dipotong atau dipungut di dalam maupun luar negeri, dan dibagi 12 bulan.

Kementerian Keuangan mewajibkan RKAP disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar sebelum batas waktu pembayaran angsuran PPh 25 Masa Pajak pertama. Jika batas waktu terlewati, penghitungan angsuran tidak dapat mengacu pada RKAP.

Langkah ini diyakini akan mengurangi potensi overpayment atau underpayment pajak, serta mendorong perencanaan keuangan korporasi negara yang lebih disiplin dan terukur.

Kebijakan baru ini menjadi salah satu strategi besar reformasi perpajakan nasional yang tengah digalakkan hingga 2027. (alf)

 

Terkendala Pelaporan SPT Masa? Wajib Pajak Diimbau Gunakan Fitur Deposit Coretax

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyampaikan permohonan maaf kepada Wajib Pajak atas ketidaknyamanan yang dialami saat mengakses pelaporan SPT Masa PPh untuk masa pajak April 2025. DJP mengingatkan bahwa batas akhir pembayaran untuk masa pajak tersebut adalah 15 Mei 2025.

“Apabila terdapat kendala dalam pembuatan billing karena gangguan pada sistem SPT di Coretax, kami menyarankan agar Wajib Pajak terlebih dahulu melakukan pembayaran melalui mekanisme Deposit untuk menghindari keterlambatan,” jelas DJP dalam keterangan resminya.

Sebagai alternatif sementara, DJP menyarankan penggunaan fitur Deposit dalam sistem Coretax. Fitur ini memungkinkan Wajib Pajak menyetorkan sejumlah dana lebih dulu, yang nantinya dapat digunakan untuk pembayaran pajak kapan saja.

Langkah-langkah untuk menggunakan fitur Deposit Coretax adalah sebagai berikut:

• Akses situs https://coretax.pajak.go.id dan masuk ke akun Anda;

• Pilih menu “Layanan Mandiri Kode Billing”;

• Gunakan “Kode Akun Pajak 411618” dan “Kode Jenis Setoran 100”;

• Masukkan nominal dana yang ingin disetor sebagai saldo deposit;

• Tentukan masa pajak dari Januari hingga Desember tahun berjalan;

• Klik “Buat ID Billing” untuk memperoleh kode pembayaran;

• Lakukan pembayaran melalui bank, kantor pos, atau layanan internet dan mobile banking;

• Setelah pembayaran diterima, saldo deposit akan otomatis bertambah dan dapat dicek melalui menu “Taxpayer Ledger”;

• Dana dalam saldo deposit dapat digunakan untuk pembayaran pajak sesuai kebutuhan dan ketersediaan dana.

DJP juga menjelaskan bahwa pengisian saldo deposit bisa dilakukan melalui tiga cara:

• Pembayaran langsung melalui sistem penerimaan negara;

• Pemindahan dana dari sumber lainnya;

• Pemanfaatan kelebihan bayar dari pelaporan pajak sebelumnya.

Melalui imbauan ini, DJP berharap Wajib Pajak tetap dapat memenuhi kewajiban perpajakannya tepat waktu meskipun terjadi kendala teknis di sistem pelaporan. (alf)

 

Kanwil DJP Jatim I Umumkan Tersangka Pembuat Faktur Pajak Fiktif

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Timur (Jatim) I bersama Kejaksaan Tinggi Jawa Timur resmi mengumumkan bahwa berkas perkara tindak pidana perpajakan atas nama tersangka B, Direktur PT SBI, telah dinyatakan lengkap atau P21. Perkara ini pun segera dilimpahkan ke pengadilan untuk proses penuntutan.

Tersangka B diduga kuat telah melakukan sejumlah pelanggaran perpajakan selama periode 2013 hingga 2015. Modus yang digunakan antara lain menerbitkan faktur pajak fiktif, menyampaikan laporan pajak yang tidak akurat, serta menahan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang seharusnya disetor ke kas negara.

“Penyidikan menyimpulkan bahwa perbuatan tersangka menyebabkan kerugian negara sebesar Rp890 juta,” ujar Kepala Kanwil DJP Jawa Timur I, Sigit Danang Joyo, dalam konferensi pers yang digelar Rabu (14/5/2025).

Berkas perkara ini telah diserahkan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) DJP kepada Kejati Jatim pada akhir April 2025. Setelah dilakukan evaluasi dan koordinasi intensif antarinstansi, kejaksaan menyatakan bahwa seluruh unsur pidana telah terpenuhi untuk diajukan ke meja hijau.

Sigit menegaskan bahwa penyelesaian kasus ini merupakan bukti konkret sinergi antara DJP dan aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum perpajakan. “Kami tidak akan mentolerir pelanggaran yang merugikan negara dan mencederai rasa keadilan wajib pajak lain yang taat,” tegasnya.

Ia juga menambahkan bahwa proses hukum merupakan jalan terakhir setelah pendekatan persuasif dan administratif tidak berhasil. Diharapkan, penindakan ini dapat memberikan efek jera bagi pelaku usaha lain yang mencoba menghindar dari kewajiban pajaknya.

DJP terus mendorong peningkatan pengawasan dan penindakan terhadap praktik-praktik ilegal di bidang perpajakan. Upaya ini dilakukan untuk memperkuat integritas sistem perpajakan nasional agar lebih transparan, adil, dan berkelanjutan. (alf)

Penerimaan Pajak di Sulselbartra Alami Kontraksi 7,9 Persen

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan untuk wilayah Sulawesi Selatan, Barat, dan Tenggara (Sulselbartra) mencatatkan penerimaan pajak sebesar Rp2,6 triliun selama triwulan pertama tahun 2025. Angka ini setara dengan 13,91 persen dari target tahunan yang ditetapkan sebesar Rp18,91 triliun.

Kepala Kanwil DJP Sulselbartra, Heri Kuswanto, dalam keterangan pers yang diterima Rabu (14/5/2025), mengungkapkan bahwa capaian tersebut menunjukkan penurunan 7,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, di mana penerimaan mencapai Rp3,5 triliun.

“Realisasi pajak pada triwulan I ini sedikit menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, tren peningkatan biasanya terjadi di paruh kedua tahun, dan kami tetap optimistis target tahun ini bisa tercapai,” ujar Heri.

Secara rinci, Provinsi Sulawesi Selatan menjadi kontributor utama dengan penerimaan Rp2,03 triliun dari target tahunan Rp13,27 triliun, atau baru mencapai sekitar 15,3 persen. Namun demikian, capaian ini masih lebih rendah 6,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Sementara itu, Sulawesi Barat menyumbang Rp94,51 miliar atau 9,07 persen dari target Rp1,04 triliun. Provinsi Sulawesi Tenggara menyusul dengan penerimaan sebesar Rp489 miliar, atau 10,65 persen dari target Rp4,59 triliun.

Untuk komposisi penerimaan di Sulsel, mayoritas berasal dari Pajak Penghasilan (PPh) yang mencapai Rp936 miliar dari target Rp6,26 triliun. Kemudian, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) tercatat sebesar Rp891 miliar dari target Rp6,93 triliun.

Sementara itu, sektor Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk kegiatan kehutanan, pertambangan, serta panas bumi (PBB P5L) hanya terealisasi Rp9,31 miliar dari target Rp67,89 miliar. Pajak lainnya menyumbang Rp202 miliar dari target sebesar Rp7,72 miliar.

Heri menegaskan bahwa meskipun awal tahun menunjukkan perlambatan, pihaknya tetap akan menggencarkan edukasi dan pengawasan kepatuhan pajak untuk mengejar target yang telah ditetapkan.

“Kami akan mengintensifkan sinergi dengan pemerintah daerah dan pelaku usaha untuk mendorong peningkatan kepatuhan wajib pajak. Ini bagian dari upaya menjaga momentum pemulihan ekonomi daerah,” kata Heri. (alf)

 

Mau PPN Kendaraan Listrik Ditanggung Pemerintah? Pengusaha Wajib Buat Faktur Pajak Terpisah

IKPI, Jakarta: Pemerintah terus menunjukkan komitmennya dalam mendorong penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik (KBL) berbasis baterai melalui kebijakan insentif perpajakan terbaru. Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 12 Tahun 2025, Pasal 7 secara tegas mengatur mekanisme pelaporan dan penerbitan Faktur Pajak bagi pengusaha yang menjual mobil dan bus listrik tertentu.

Salah satu poin penting dalam regulasi ini adalah bahwa Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib menerbitkan dua Faktur Pajak untuk setiap transaksi penjualan kendaraan listrik tertentu yang mendapat fasilitas PPN Ditanggung Pemerintah (DTP).

“Untuk setiap penyerahan kendaraan listrik roda empat tertentu, PKP wajib menerbitkan Faktur Pajak dengan kode transaksi 01 dan 07, masing-masing mencerminkan bagian harga jual yang tidak dan yang mendapat fasilitas PPN DTP sebesar 10%,” tulis PMK tersebut.

PMK ini menetapkan bahwa penyerahan kendaraan listrik roda empat dan bus listrik tertentu harus dipisahkan dari faktur kendaraan bermotor lainnya. Sebanyak 10/12 dari harga jual kendaraan listrik roda empat tertentu bisa mendapatkan PPN DTP 10%, sementara sisanya dikenakan PPN biasa.

Untuk bus listrik tertentu, 5/12 dari harga jual mendapatkan PPN DTP sebesar 5%, dan sisanya tetap dikenai PPN normal.

Kode Transaksi Disesuaikan dengan Jenis Pembeli

Selain itu, aturan ini juga mengatur penggunaan kode transaksi faktur tergantung siapa pembelinya:

  • Kode 02 untuk instansi pemerintah,
  • Kode 03 untuk pemungut PPN non-pemerintah,
  • Kode 04 jika menggunakan dasar pengenaan pajak berupa nilai lain (misalnya harga pasar, bukan harga jual). (alf)

 

Coretax Siap Gantikan DJPOnline, Dirjen Pajak Targetkan Rampung Juli 2025

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tengah melakukan penyempurnaan besar-besaran terhadap sistem administrasi perpajakannya melalui pengembangan Coretax Administration System. Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo, menyatakan bahwa sistem ini ditargetkan rampung sebelum akhir Juli 2025 dan siap digunakan oleh Wajib Pajak untuk pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan mulai tahun 2026.

Coretax dirancang untuk menggantikan sistem lama, DJPOnline, dengan berbagai pembaruan signifikan yang bertujuan meningkatkan akurasi data, efisiensi layanan, dan kemudahan bagi pengguna. Seiring dengan itu, DJP juga mengimbau para Wajib Pajak agar mulai memahami perbedaan mendasar antara layanan pelaporan SPT di Coretax dan DJPOnline.

Perbedaan Fundamental Coretax dan DJPOnline

DJP memetakan sejumlah perbedaan penting yang akan ditemui Wajib Pajak saat menggunakan Coretax, di antaranya:

  1. Perhitungan PPh Pasal 25 Lebih Luas
    Coretax memungkinkan perhitungan PPh Pasal 25 dilakukan berdasarkan laporan keuangan yang telah disampaikan ke otoritas terkait. Fitur ini tersedia untuk berbagai entitas seperti bursa, BUMN/BUMD, dan bank.
  2. Pelaporan SPOP Terintegrasi
    Pengajuan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dilakukan melalui sistem digital, dengan fleksibilitas menyesuaikan sektor atau sub-sektor sesuai kebutuhan Wajib Pajak.
  3. Pelaporan PPN oleh Non-PKP
    Sistem baru mendukung pelaporan PPN oleh pelaku usaha non-PKP dan PKP, termasuk pemungut PPN dalam transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).
  4. Restitusi Pajak Otomatis
    Informasi kompensasi kelebihan pembayaran pajak kini terintegrasi dan otomatis muncul dalam sistem, memudahkan proses restitusi.
  5. Perhitungan PPh Pasal 21 Lebih Praktis
    Tarif efektif digunakan untuk menyederhanakan penghitungan PPh Pasal 21, terutama untuk pegawai tetap.
  6. Fungsi Cabang Usaha Dipertegas
    Cabang usaha dapat menerbitkan bukti potong, namun pelaporan dan pembayaran hanya dilakukan oleh kantor pusat perusahaan.
  7. Integrasi Data Pegawai
    Bukti pemotongan bulanan PPh 21 kini otomatis terhubung dengan bukti potong tahunan A1 atau A2 untuk pegawai tetap.
  8. Unifikasi PPh dan e-Bupot Terintegrasi
    Pelaporan SPT Masa PPh dalam bentuk unifikasi kini terintegrasi dengan sistem e-Bupot, termasuk untuk PPh yang ditanggung pemerintah.
  9. Sistem yang Sama untuk Pemerintah dan Swasta
    Instansi pemerintah maupun sektor non-pemerintah menggunakan aplikasi pelaporan unifikasi yang sama.
  10. Kode Billing dari Menu SPT
    Pembayaran kurang bayar dapat langsung dilakukan melalui menu SPT yang tersedia di sistem.
  11. Pelaporan Tahunan Dimulai dari Induk SPT
    Pengisian SPT dimulai dengan formulir induk, dilanjutkan ke lampiran yang relevan berdasarkan kondisi spesifik Wajib Pajak.
  12. Pemanfaatan Bukti Potong Otomatis
    Bukti potong dari pihak pemotong dapat langsung terisi dalam pelaporan SPT tanpa perlu entri manual.
  13. Akses Bukti Potong oleh Anggota Keluarga
    Sistem menyediakan bukti potong untuk seluruh anggota dalam Data Unit Keluarga (DUK), termasuk tanggungan.
  14. Fasilitas Pencatatan bagi UMKM
    Menu pencatatan sederhana tersedia bagi pelaku UMKM, untuk memudahkan pembukuan usaha mereka.

Transformasi Digital Perpajakan

Langkah DJP mengembangkan Coretax merupakan bagian dari strategi besar modernisasi perpajakan nasional. Dengan sistem ini, pemerintah berharap dapat meningkatkan kepatuhan sukarela dan memperluas basis pajak melalui kemudahan akses layanan.

Suryo menegaskan bahwa perubahan ini tidak hanya menyangkut teknologi, tetapi juga tata kelola dan budaya pelayanan. Oleh karena itu, edukasi kepada Wajib Pajak akan terus dilakukan agar transisi ke sistem baru berjalan lancar dan optimal. (alf)

Kolaborasi Pajak Indonesia-Korea Diperkuat, KACTAE Soroti Perbedaan Tarif PPN

IKPI, Jakarta: Kerja sama internasional di bidang perpajakan kembali diperkuat melalui penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) dan Korean Association of Certified Tax Accountants Examination (KACTAE). Acara berlangsung di kantor sekretariat pusat IKPI di Pejaten, Jakarta Selatan, Jumat (9/5/2025), dan menjadi tonggak baru dalam upaya pertukaran pengetahuan, pengalaman, dan pengembangan profesi konsultan pajak antara kedua negara.

MoU ditandatangani langsung oleh Ketua Umum IKPI, Vaudy Starworld, dan Presiden KACTAE, Jang Bowon. Turut hadir dalam kegiatan ini sejumlah pengurus IKPI, delegasi dari KACTAE, serta perwakilan otoritas perpajakan dari kedua negara.

Pada kesempatan itu, Mr. Park Dongguk, Director of the International Cooperation KACTAE, dalam paparannya secara khusus membahas sistem Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Korea Selatan, sekaligus menyampaikan ketertarikannya terhadap dinamika kebijakan PPN di Indonesia.

“Tarif PPN Indonesia sekarang 11 persen, ya? Saya sudah mempelajarinya. PPN di sini sangat dinamis. Saya dengar sebelumnya dari 5 persen, lalu direncanakan naik ke 15 persen, kemudian tahun ini ada rencana naik ke 12 persen, tapi akhirnya tetap di 11 persen. Ini menunjukkan fleksibilitas kebijakan fiskal Indonesia,” ungkap Mr. Park.

Ia kemudian menjelaskan bahwa di Korea Selatan, sistem PPN jauh lebih stabil dan telah berlangsung konsisten sejak hampir lima dekade lalu. “Korea memiliki tarif PPN flat sebesar 10 persen. Tarif ini tidak berubah sejak diperkenalkan pada tahun 1977. Dalam sistem kami, ada tiga kategori tarif PPN, yaitu tarif standar 10 persen, tarif nol persen untuk ekspor, dan pengecualian PPN untuk beberapa sektor penting.”

Mr. Park menjelaskan lebih lanjut bahwa barang dan jasa ekspor di Korea Selatan dikenakan tarif nol persen, yang memungkinkan pelaku usaha mengklaim pengembalian penuh atas PPN masukan (input tax). “Ini artinya perusahaan bisa mendapatkan pengembalian 100 persen atas PPN yang telah mereka bayarkan dalam proses produksi. Sangat membantu arus kas dan mendukung daya saing ekspor kami,” ujarnya.

Selain itu, beberapa sektor vital seperti makanan pokok, layanan kesehatan, pendidikan, real estat (rumah dan tanah), serta jasa keuangan juga dikecualikan dari pengenaan PPN di Korea. Namun ia menekankan, untuk transaksi yang dikecualikan (exempt), pelaku usaha tidak dapat mengklaim pengembalian atas PPN masukan mereka.

“Kebijakan kami dirancang untuk mendukung sektor-sektor yang menyentuh kebutuhan dasar masyarakat, sambil tetap menjaga efisiensi sistem pengembalian pajak,” imbuhnya.

Tak hanya menjelaskan sistem perpajakan Korea Selatan, Mr. Park juga memuji iklim kolaboratif yang terbentuk antara IKPI dan KACTAE. Ia berharap momentum ini bisa menjadi awal dari kerja sama yang lebih luas, termasuk pertukaran informasi, pelatihan bersama, hingga pengembangan standar profesional bagi konsultan pajak di kedua negara.

“Saya yakin, ke depan kita bisa berbagi lebih banyak materi dan informasi tentang sistem perpajakan masing-masing. Mungkin tahun ini kita akan ada kesempatan untuk melanjutkan diskusi di Korea. Saya harap bisa bertemu Anda semua lagi di bulan Oktober, di Seoul,” kata Mr. Park.

Ketua Umum IKPI, Vaudy Starworld, dalam sambutannya juga menegaskan pentingnya kerja sama lintas negara dalam menghadapi tantangan global di bidang perpajakan. “Kami percaya, kemitraan ini akan memberikan kontribusi nyata bagi peningkatan kualitas dan kapasitas konsultan pajak Indonesia dalam menghadapi tantangan perpajakan modern,” ujarnya.

Dengan ditandatanganinya MoU ini, IKPI dan KACTAE berkomitmen untuk membuka ruang kolaborasi di berbagai bidang, termasuk pertukaran keilmuan, pengembangan kurikulum pelatihan, serta sertifikasi profesi yang berstandar internasional. MoU ini diharapkan menjadi dasar kuat bagi terciptanya sinergi yang lebih erat antara Indonesia dan Korea Selatan dalam bidang perpajakan.(bl)

Peta Jalan Pajak Asia-Pasifik: Kolaborasi, Penyelesaian Sengketa, dan Strategi Baru

Konstelasi perpajakan internasional tengah mengalami transformasi besar. Di tengah gempuran digitalisasi ekonomi, krisis geopolitik, dan tekanan transparansi global, negara-negara di Asia-Pasifik menunjukkan geliat yang tidak bisa diabaikan.

Kongres International Fiscal Association (IFA) Asia-Pacific Regional yang ke-8 di Kuala Lumpur pada 29-30 April 2025 menjadi momen penting dalam menggambar ulang peta jalan pajak kawasan ini.

Semangat kolaborasi menjadi denyut utama kongres ini. Lebih dari 150 peserta dari berbagai negara hadir bukan hanya untuk berbagi kebijakan, tapi untuk menyusun fondasi kesepahaman lintas yurisdiksi.

Topik seperti BEPS 2.0, Global Minimum Tax (GMT), transfer pricing, sengketa pajak, dan Country-by-Country Reporting (CbCR) dibedah dalam konteks regional, dengan fokus pada bagaimana negara-negara seperti Indonesia, Australia, India, Malaysia, dan Singapura menyelaraskan regulasi domestik dengan standar global.

Pembahasan mengenai compliance dan transparansi menandai titik temu baru antara kepentingan nasional dan komitmen internasional. Asia-Pasifik tak lagi sekadar “penerima dampak”, melainkan kini tampil sebagai aktor yang berani membentuk arah.

Namun, kolaborasi bukan tanpa tantangan. Meningkatnya jumlah sengketa pajak internasional, khususnya yang melibatkan transaksi afiliasi dan perpindahan laba, menjadi bukti bahwa sistem perpajakan global masih terus mencari keseimbangannya. India, misalnya, mencatat lebih dari 170 kasus APA, sementara Australia menghadapi landmark cases yang menguji batas kewenangan domestik atas praktik global perusahaan multinasional.

Indonesia juga menunjukkan peningkatan intensitas pemeriksaan pajak audit dan permintaan MAP, menandakan bahwa Wajib Pajak kini lebih sadar risiko dan lebih siap untuk menempuh jalur formal penyelesaian. Sementara itu, Singapura menjadi contoh bagaimana kecepatan dan efisiensi dalam menyelesaikan sengketa pajak bisa menjadi keunggulan kompetitif.

Tren baru juga terlihat dari pergeseran fokus kebijakan pajak. Jika dulu perhatian tertuju pada perusahaan multinasional, kini negara-negara seperti Australia mulai membidik family office dan individu berpenghasilan tinggi. Indonesia memperkuat insentif fiskal sekaligus membangun ulang sistem teknologi perpajakan.

Di India, pencabutan Equalization Levy menjadi langkah strategis untuk meredam tensi dagang dengan Amerika Serikat. Isu geopolitik seperti tarif Trump juga menciptakan tantangan yang dinamis. Negara-negara Asia-Pasifik tak lagi bereaksi dengan defensif, melainkan secara strategis. Indonesia memilih negosiasi dua arah, sementara Singapura dan Australia mengambil posisi waspada dan cermat.

Sistem Pajak yang Berkelanjutan

Kongres ini juga menyiratkan bahwa masa depan perpajakan tidak hanya soal penerimaan negara. Cross-border services, sustainable tax system, dan posisi strategis direktur pajak di perusahaan multinasional menjadi diskursus penting. Dunia usaha membutuhkan kepastian hukum, sementara pemerintah menginginkan kepatuhan tanpa mengorbankan daya saing.

IFA Asia-Pacific Conference 2025 bukan sekadar forum diskusi. Ini adalah ruang strategis untuk menyusun peta jalan bersama di mana kolaborasi regional menjadi kunci, penyelesaian sengketa menjadi jembatan keadilan, dan strategi baru menjadi jawaban atas perubahan dunia.

Tahun depan kongres yang sama akan diadakan Tokyo, dan dua tahun lagi di Jakarta, Asia-Pasifik berpeluang memimpin diskursus pajak global. Dengan modal kolaborasi dan keberanian untuk berubah, kawasan ini siap menjadi episentrum reformasi perpajakan internasional yang inklusif dan berkelanjutan.

Penulis adalah Presiden IFA Asia-Pacific yang juga Wakil Ketua Departemen Hubungan Kerja Sama Internasional, IKPI

Ichwan Sukardi

Email: ichwan.sukardi@rsm.id

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

en_US