Kanwil DJP Jateng II Sambut Tawaran Kolaborasi IKPI Surakarta Selenggarakan FGD Perpajakan

IKPI, Surakarta: Pengurus Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Surakarta periode 2024–2029 melakukan kunjungan silaturahmi dan perkenalan ke Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Tengah (Jateng) II, di Jl. M.T Haryono No. 5, Manahan, Banjarsari, Surakarta, Jawa Tengah, Jumat (7/2/2025). Kunjungan ini disambut langsung Kepala Kantor Wilayah DJP Jateng II Etty Rachmiyanthi, yang didampingi Kepala Bidang P2 Humas Herlin Sulismiyarti dan Kepala Seksi Bimbingan Penyuluhan Bambang.

Pada pertemuan tersebut, Etty menyampaikan apresiasi atas inisiatif pengurus IKPI Surakarta dalam membangun komunikasi dengan DJP. Ia juga menegaskan pentingnya peran IKPI dalam dunia perpajakan, khususnya dalam memberikan masukan terkait peraturan perpajakan yang terus berkembang.

“Saya sangat mengapresiasi kunjungan ini dan berharap IKPI dapat menjadi mitra strategis dalam berdiskusi mengenai berbagai regulasi perpajakan. Dengan adanya komunikasi yang baik, kita bisa menciptakan pemahaman yang lebih komprehensif dan solutif bagi para wajib pajak,” ujar Etty.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Surakarta)

Lebih lanjut, Etty juga menyetujui usulan untuk mengadakan Focus Group Discussion (FGD) antara Kanwil DJP Jateng II dengan IKPI Cabang Surakarta. Kegiatan ini diharapkan menjadi wadah diskusi yang konstruktif dalam menyelaraskan pemahaman antara konsultan pajak dan otoritas pajak.

Sementara itu, Ketua IKPI Cabang Surakarta, Suparman, menyampaikan terima kasih atas sambutan yang diberikan pihak DJP Jateng II. Ia menekankan pentingnya kerja sama yang erat antara IKPI dan DJP dalam mencapai tujuan bersama, yakni mengoptimalkan penerimaan negara melalui sistem perpajakan yang lebih efektif dan efisien.

“Kami sangat mengapresiasi respons positif dari Kanwil DJP Jateng II, terutama dalam mendukung perencanaan pelaksanaan FGD ini. Harapannya, hubungan antara IKPI dan DJP semakin erat serta dapat memberikan manfaat bagi dunia perpajakan, baik bagi wajib pajak maupun negara,” kata Suparman.

Menurutnya, silaturahmi ini menjadi langkah awal bagi pengurus IKPI Surakarta periode 2024–2029 dalam memperkuat sinergi dengan otoritas pajak. Dengan adanya forum diskusi yang lebih intensif, diharapkan akan tercipta kebijakan perpajakan yang lebih baik dan berkeadilan bagi semua pihak.

Ke depan, IKPI Surakarta berkomitmen untuk terus berkontribusi dalam memberikan edukasi perpajakan serta mendampingi wajib pajak agar patuh terhadap aturan yang berlaku.

Selain itu lanjut Suparman, kerja sama dengan DJP akan terus ditingkatkan guna menciptakan sistem perpajakan yang lebih transparan, akuntabel, dan berorientasi pada kepentingan negara serta masyarakat luas.(bl)

DJP Buka Kembali Layanan e-Faktur Desktop untuk Perusahaan Besar

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) resmi membuka kembali layanan e-Faktur Desktop sebagai alternatif penerbitan e-faktur pajak bagi perusahaan besar. Langkah ini diambil setelah banyak wajib pajak mengeluhkan sulitnya penerbitan e-faktur melalui sistem inti administrasi pajak Coretax.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Kemenkeu Dwi Astuti, menyatakan bahwa pembukaan kembali layanan e-Faktur Desktop bertujuan untuk mempermudah perusahaan besar yang menerbitkan faktur pajak dalam jumlah banyak.

“Dalam rangka mendengarkan aspirasi dan mempermudah wajib pajak dalam masa transisi Coretax DJP, maka bagi wajib pajak tertentu yang cukup banyak menerbitkan faktur pajak telah dibuka kembali kanal pembuatan faktur pajak melalui e-Faktur Desktop,” ujar Dwi Astuti di Jakarta, Senin (10/2/2025).

Berlaku untuk Perusahaan dengan Minimal 10.000 Faktur Pajak per Bulan

Kebijakan ini tertuang dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-24/PJ/2025 yang menetapkan bahwa pengusaha kena pajak (PKP) yang menerbitkan minimal 10.000 faktur pajak per bulan dapat menggunakan e-Faktur Desktop atau Coretax.

DJP telah menetapkan 790 PKP, termasuk perusahaan besar seperti Tokopedia dan Maersk, yang dapat menggunakan layanan ini. Sementara itu, wajib pajak lainnya tetap diarahkan untuk menggunakan Coretax.

Meski demikian, kebijakan ini tidak bersifat mandatory, sehingga perusahaan yang masuk dalam daftar tersebut bisa memilih antara menggunakan Coretax atau e-Faktur Desktop.

Dwi Astuti menegaskan bahwa DJP akan terus melakukan penyempurnaan sistem Coretax agar proses penerbitan e-faktur pajak semakin lancar di masa depan.

Sebagai informasi, hingga 3 Februari 2025 pukul 23.59 WIB, jumlah wajib pajak yang telah menerbitkan faktur pajak tercatat mencapai 218.994.

Dengan adanya pilihan antara Coretax dan e-Faktur Desktop, diharapkan wajib pajak dapat lebih mudah dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. (alf)

DJP Pastikan Coretax Tetap Berjalan Meski Gangguan Masih Terjadi

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak (DJP) Suryo Utomo menegaskan bahwa sistem administrasi perpajakan (Coretax) tetap akan berjalan. Meskipun sering mengalami berbagai gangguan, tidak ada rencana dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menunda implementasi sistem ini.

Namun demikian, Suryo menjelaskan bahwa dampak gangguan Coretax terhadap penerimaan negara baru akan terlihat setelah pelaporan pajak Januari 2025 selesai. “Nanti kita lihat deh tanggal 15 Februari,” ujarnya di Kompleks DPR, Jakarta Pusat, Senin (10/2/2025).

Ia juga memastikan bahwa DJP masih menggunakan dua sistem secara bersamaan. Untuk pelaporan pajak tahun 2024 dan sebelumnya, sistem lama tetap digunakan, sementara SPT tahun 2025 yang akan disampaikan pada 2026 sepenuhnya akan menggunakan Coretax. Adapun untuk PPN dan pemotongan PPh 21 karyawan, sistem baru sudah mulai diterapkan.

Suryo menekankan bahwa DJP sepakat dengan Komisi XI DPR untuk tetap mempertahankan sistem lama guna mengantisipasi kendala yang muncul dalam penerapan Coretax. “Kita menggunakan dua sistem jalan terus,” tegasnya.

Dengan pendekatan ini, DJP berharap dapat meminimalisir dampak dari gangguan sistem Coretax terhadap penerimaan negara serta memberikan waktu bagi wajib pajak untuk beradaptasi dengan sistem baru. (alf)

Apindo: Penerapan Coretax Terlalu Cepat, Berharap Tak Pengaruhi Penerimaan Pajak

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani, menyampaikan bahwa meskipun sistem Coretax memiliki potensi yang sangat baik untuk diterapkan, implementasi awal sistem ini menghadapi kendala teknis yang cukup besar. Ia menilai bahwa proses penerapannya terlalu cepat, yang membuat banyak pelaku usaha tidak siap dan tidak dapat mengeluarkan faktur pajak. Hal ini tentu saja mempengaruhi kelancaran operasional perusahaan.

“Cuma prosesnya kemarin itu agak cepat ya, jadi banyak pelaku nggak siap dan juga banyak yang nggak bisa mengeluarkan faktur. Sehingga memengaruhi dari segi operasional perusahaan,” ujar Shinta di Jakarta, Senin (10/2/2025).

Shinta juga menambahkan bahwa pihaknya terus berkolaborasi dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan untuk mencari solusi atas kendala yang muncul. Ia berharap, kendala-kendala ini tidak akan memengaruhi penerimaan negara dari sektor pajak.

Sementara itu, Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri (HKI), Sanny Iskandar, juga menyatakan pandangannya terkait penerapan sistem Coretax. Meskipun DJP memulai implementasi sistem ini dengan baik, Sanny menyoroti pentingnya sosialisasi dan persiapan yang matang. Banyak pertanyaan yang belum terjawab terkait penerbitan faktur pajak dan prosedur perpajakan lainnya yang menimbulkan keraguan di kalangan pengusaha.

“Jadi, saya rasa DJP memulai ini sudah cukup baik, namun persiapan dan sosialisasinya ini harus lebih ditekankan,” ujar Sanny.

Ia juga menekankan pentingnya klarifikasi lebih lanjut mengenai berbagai aspek terkait sistem Coretax.
Meski DJP telah melakukan komunikasi dengan para pengusaha, seperti yang baru saja dilakukan oleh Dirjen DJP Suryo Utomo dalam pertemuan dengan Apindo, masih ada beberapa isu yang perlu mendapatkan perhatian lebih. Sanny menyarankan bahwa penerapan sistem ini tidak hanya memerlukan perangkat keras dan perangkat lunak yang handal, tetapi juga petugas pajak yang terlatih serta kesiapan dalam digitalisasi.

“Kalau ini sistem layanan terpadu lah, ini kalau Coretax ini kan saya rasa bagus ya untuk ekstensifikasi perluasan daripada basis wajib pajak gitu. Tetapi ini sekali lagi pemerintah harus lihat dengan berbagai infrastruktur, baik infrastruktur hardware, software-nya, petugasnya, digitalisasinya semua,” tambahnya.

Sanny mengingatkan bahwa meskipun sistem Coretax memiliki banyak potensi untuk memperbaiki sistem perpajakan dan memperluas basis wajib pajak, tantangan dalam implementasi teknologi dan pelatihan petugas pajak harus segera ditangani dengan serius oleh Kementerian Keuangan. (alf)

Pemerintah dan DPR Sepakat Jalankan Sistem Pajak Lama dan Coretax Bersamaan

IKPI, Jakarta: Pemerintah bersama Komisi XI DPR sepakat untuk kembali menerapkan sistem perpajakan lama sambil tetap menggunakan Coretax System secara bertahap. Langkah ini diambil sebagai upaya mitigasi terhadap implementasi Coretax yang masih dalam tahap penyempurnaan, agar tidak mengganggu penerimaan negara.

Ketua Komisi XI DPR Misbakhun, menjelaskan bahwa keputusan ini diambil setelah mendengarkan penjelasan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam rapat kerja tertutup. “Kami sudah mendengarkan penjelasan dari Dirjen Pajak dan menyimpulkan bahwa DJP akan kembali menggunakan sistem perpajakan lama,” ujar Misbakhun selepas rapat pada Senin (10/2/2025).

Meski demikian, DJP tetap berkomitmen untuk mengoptimalkan penerimaan pajak dalam APBN 2025 dengan sistem teknologi informasi yang ada. Pemerintah memastikan bahwa sistem perpajakan apapun yang digunakan tidak akan memengaruhi target kolektivitas pajak.

Mitigasi Risiko dan Penguatan Keamanan Sistem

Dalam rangka mengurangi risiko, DJP menyiapkan roadmap implementasi Coretax yang lebih stabil dan ramah bagi wajib pajak. “DJP wajib memperkuat keamanan siber dalam penyempurnaan sistem Coretax,” tambah Misbakhun.

Selain itu, DJP juga berjanji tidak akan mengenakan sanksi terhadap wajib pajak akibat gangguan sistem Coretax pada 2025.

Sebagai bentuk transparansi, DJP juga diwajibkan untuk secara berkala melaporkan perkembangan sistem Coretax kepada Komisi XI DPR. “DJP akan menyampaikan jawaban tertulis atas pertanyaan dan tanggapan Pimpinan serta Anggota Komisi XI DPR paling lama tujuh hari kerja,” tegasnya.

Keluhan Wajib Pajak

Keputusan ini diambil menyusul banyaknya keluhan dari wajib pajak sejak peluncuran Coretax pada 1 Januari 2025. Para wajib pajak mengeluhkan berbagai permasalahan teknis, seperti akses layanan yang sulit, sistem yang lambat, serta error yang menghambat aktivitas usaha.

Coretax, yang dikembangkan dengan anggaran besar, justru menghadapi tantangan besar dalam implementasinya. Proyek ini pun semakin disorot, terutama karena pemenang tender pengadaan sistem, LG CNS, sebelumnya sempat terlibat sengketa paten. (alf)

 

 

 

PMK 11/2025 Sudah Berlaku, Ini Penjelesan dan Contoh Penghitungannya!

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, telah menetapkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 11 Tahun 2025 tentang Ketentuan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak dan Besaran Tertentu Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Peraturan ini diundangkan pada tanggal 4 Februari 2025 dan mulai berlaku pada hari yang sama.

Peraturan ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dalam penghitungan PPN dengan menggunakan dasar pengenaan pajak berupa nilai lain dan besaran tertentu. PMK ini juga menyesuaikan beberapa ketentuan yang sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131 Tahun 2024 tentang Perlakuan PPN atas Impor Barang Kena Pajak, Penyerahan Barang Kena Pajak, Penyerahan Jasa Kena Pajak, serta Pemanfaatan Barang dan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean.

Pokok-Pokok Peraturan

1. Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak

PMK ini mengatur penggunaan nilai lain sebagai dasar pengenaan PPN untuk berbagai jenis transaksi, termasuk penyerahan barang kena pajak (BKP) dan jasa kena pajak (JKP). Nilai lain ini dihitung sebesar 11/12 dari harga jual, penggantian, atau nilai impor, setelah dikurangi laba kotor atau komponen tertentu lainnya.

Contohnya, untuk pemberian cuma-cuma BKP atau JKP, nilai lain dihitung sebesar 11/12 dari harga jual setelah dikurangi laba kotor. Sementara itu, untuk penyerahan film cerita impor, nilai lain ditetapkan sebesar 11/12 dari perkiraan hasil rata-rata per judul film.

2. Besaran Tertentu PPN

PMK ini juga mengatur besaran tertentu PPN yang berlaku untuk beberapa jenis transaksi, seperti penyerahan Liquefied Petroleum Gas (LPG) tertentu, hasil tembakau, pupuk bersubsidi, dan emas perhiasan. Besaran tertentu ini dihitung berdasarkan persentase tertentu dari tarif PPN yang berlaku.

Misalnya, untuk penyerahan LPG tertentu, besaran tertentu PPN ditetapkan sebesar 1,1/101,1 dari selisih lebih antara harga jual agen dan harga jual eceran. Sementara itu, untuk penyerahan emas perhiasan, besaran tertentu PPN ditetapkan sebesar 10% dari 11/12 tarif PPN yang berlaku.

3. Penyesuaian Ketentuan Sebelumnya

PMK ini mengubah, menghapus, dan menetapkan pengaturan baru dalam beberapa peraturan menteri keuangan sebelumnya, termasuk PMK Nomor 75/PMK.03/2010 tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak, PMK Nomor 62/PMK.03/2022 tentang PPN atas Penyerahan LPG Tertentu, dan PMK Nomor 63/PMK.03/2022 tentang PPN atas Penyerahan Hasil Tembakau.

Contoh Penghitungan PPN

1. Penghitungan PPN dengan Nilai Lain

PT ABC memberikan cuma-cuma tetikus komputer kepada PT DEF dengan harga jual Rp200.000,00 dan laba kotor Rp50.000,00. Dasar pengenaan pajak dihitung sebesar 11/12 dari (Rp200.000,00 – Rp50.000,00) = Rp137.500,00. PPN yang terutang adalah 12% dari Rp137.500,00, yaitu Rp16.500,00.

2. Penghitungan PPN dengan Besaran Tertentu

PT PQR menyerahkan 5.000 tabung LPG tertentu kepada CV STU dengan harga jual agen Rp14.000,00 per tabung dan harga jual eceran Rp12.750,00 per tabung. Dasar pengenaan pajak adalah selisih lebih antara harga jual agen dan harga jual eceran, yaitu Rp6.250.000,00. PPN yang terutang adalah 1,1/101,1 dari Rp6.250.000,00, yaitu Rp68.002,00.

PMK ini berlaku untuk pemungutan PPN yang dilakukan sejak 1 Januari 2025. Untuk transaksi yang dilakukan sebelum tanggal tersebut, tetap berlaku ketentuan yang diatur dalam peraturan menteri keuangan sebelumnya. (alf)

 

DPR Panggil DJP, Dirjen Pajak Minta Rapat Digelar Tertutup

IKPI, Jakarta: Komisi XI DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan jajaran Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan untuk membahas sistem Coretax yang mengalami berbagai kendala sejak diluncurkan pada 1 Januari 2025.

Rapat yang berlangsung di ruang Komisi XI DPR RI Senin (10/2/2025) dimulai sekitar pukul 10.28 WIB dan dipimpin oleh Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun. Sebanyak 15 anggota DPR dari enam fraksi turut hadir dalam rapat tersebut, memenuhi kuorum sebagaimana diatur dalam Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.

Dalam pembukaan rapat, Misbakhun memberikan kesempatan kepada Dirjen Pajak Suryo Utomo untuk menentukan apakah rapat akan digelar secara terbuka atau tertutup. Suryo pun meminta agar pembahasan mengenai Coretax dilakukan secara tertutup.

“Kalau diizinkan pimpinan, rapat dilakukan secara tertutup,” ujar Suryo.

Permintaan tersebut kemudian disetujui oleh para anggota dewan, sehingga rapat secara resmi dinyatakan tertutup untuk umum oleh Misbakhun.

Hingga saat ini, belum ada keterangan resmi terkait hasil pembahasan dalam rapat tersebut.

Namun, sistem Coretax yang bermasalah sejak awal tahun menjadi perhatian serius karena berpotensi mengganggu proses administrasi perpajakan di Indonesia. (alf)

Penghapusan NPWP Pribadi Kini Bisa Dilakukan Online, Ini Cara dan Ketentuannya!

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus berinovasi dalam memberikan kemudahan layanan bagi masyarakat. Mulai tahun 2025, wajib pajak kini dapat menghapus Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) secara online melalui Coretax, sebuah sistem perpajakan terintegrasi yang dikembangkan DJP.

Fasilitas ini memberikan kemudahan bagi wajib pajak yang ingin menonaktifkan NPWP mereka karena sudah tidak memiliki penghasilan, pensiun, atau bahkan meninggal dunia. Dengan layanan online ini, proses penghapusan NPWP menjadi lebih praktis tanpa perlu datang langsung ke kantor pajak.

Syarat Penghapusan NPWP Online 2025

Sebelum mengajukan permohonan penghapusan, wajib pajak perlu menyiapkan beberapa dokumen dan informasi berikut:

• Perangkat yang terhubung ke internet (komputer, laptop, atau ponsel).

• Koneksi internet yang stabil.

• Nomor Induk Kependudukan (NIK).

• Nama pemohon, perwakilan, atau kuasa wajib pajak.

• Alamat lengkap.

Cara Menghapus NPWP Secara Online melalui Coretax

Berdasarkan informasi dari laman resmi DJP, berikut adalah langkah-langkah untuk menghapus NPWP melalui Coretax:

• Akses situs Coretax DJP di https://coretaxdjp.pajak.go.id/.

• Jika belum memiliki akun, lakukan pendaftaran dengan memilih “Pengguna Baru? Daftar di Sini”.

• Login dengan ID pengguna, kata sandi, serta mengisi captcha.

• Pilih menu “Portal Saya”.

• Klik opsi “Penghapusan & Pencabutan” lalu pilih “Penghapusan Pendaftaran”.

• Pada kolom “Jenis Pembatalan”, pilih “Penghapusan NPWP”.

• Jika bertindak sebagai perwakilan atau kuasa wajib pajak, centang kotak “Kuasa Wajib Pajak” dan isi data perwakilan.

• Data identitas wajib pajak akan terisi otomatis, pastikan semua informasi sudah benar.

• Isi seluruh data pada bagian “Penghapusan Pendaftaran”.

• Lanjutkan ke bagian “Pernyataan Wajib Pajak”, centang pernyataan, lalu klik “Kirim”.

• Tunggu notifikasi bahwa permohonan telah terkirim dan sedang dalam proses verifikasi oleh petugas DJP.

• Unduh bukti pengajuan dengan memilih “Unduh Bukti Tanda Terima”.

Bukti tanda terima akan berisi informasi penting, seperti nomor penerimaan, NPWP, NIK, nama wajib pajak, jenis permohonan, serta nama petugas yang menangani permohonan.

Dengan adanya sistem Coretax, penghapusan NPWP menjadi lebih efisien dan mengurangi antrean di kantor pajak. DJP terus berupaya meningkatkan digitalisasi layanan guna memberikan pengalaman yang lebih baik bagi wajib pajak di Indonesia. (alf)

Pemerintah Ubah Skema Pemungutan Bea Meterai Melalui PMK 78/2024

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 78 Tahun 2024 melakukan perubahan signifikan terhadap skema pemungutan Bea Meterai. Perubahan ini mencakup aspek penetapan pemungut, registrasi, pencabutan, serta proses pemungutan, penyetoran, dan pelaporan Bea Meterai.

Sebelumnya, berdasarkan PMK-151/2021, penetapan pemungut dilakukan oleh Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (KPDJP) secara jabatan atau berdasarkan pemberitahuan dari wajib pajak. Namun, dalam PMK-78/2024, penetapan pemungut kini dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP), baik secara jabatan maupun berdasarkan permohonan pemungut.

Selain itu, proses registrasi pemungut yang sebelumnya dilakukan secara manual kini telah diakomodir dalam sistem Coretax. Meskipun sebelum penerapan penuh SMO Coretax registrasi masih dilakukan secara manual, ke depan sistem ini akan memberikan kemudahan dan efisiensi bagi wajib pajak.

Kemudahan dalam Proses Pencabutan Pemungut

Dalam aturan lama, pencabutan penetapan pemungut dilakukan secara manual dan berlaku sejak awal bulan berikutnya setelah tanggal surat pencabutan. Namun, di bawah PMK-78/2024, pencabutan pemungut telah diakomodir dalam sistem Coretax dan berlaku sejak tanggal surat pencabutan, sehingga mempercepat proses administrasi.

Perubahan dalam Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan

Salah satu perubahan utama dalam PMK-78/2024 adalah metode pemungutan Bea Meterai. Kini, pemungutan dapat dilakukan menggunakan Meterai Percetakan, Meterai Elektronik, Meterai Teraan Digital, dan/atau Tanda Pemungutan, menambahkan opsi baru berupa Meterai Teraan Digital yang sebelumnya tidak ada dalam PMK-151/2021.

Selain itu, distribusi meterai elektronik mengalami perubahan signifikan. Sebelumnya, pemungut menggunakan kuota meterai elektronik milik distributor, tetapi kini distribusi dilakukan langsung oleh PERURI ke pemungut tanpa deposit, sehingga memberikan fleksibilitas lebih bagi pemungut.

Dari sisi penyetoran dan pelaporan, terdapat perubahan batas waktu yang mulai berlaku sejak masa pajak November 2024:

• Penyetoran: Paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir (sebelumnya tanggal 10).

• Pelaporan: Paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir (sebelumnya tanggal 20).

Perubahan ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi administrasi pajak dan memberikan kepastian hukum bagi pemungut Bea Meterai.

Pemerintah terus mengupayakan penyempurnaan sistem perpajakan guna mendukung transparansi dan kemudahan bagi wajib pajak di Indonesia. (alf)

Cek Proses KSWP Melalui Coretax, Ini Cara Pengajuan dan Manfaatnya

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus berinovasi dalam memberikan kemudahan bagi wajib pajak, salah satunya melalui sistem Coretax DJP yang memungkinkan proses Konfirmasi Status Wajib Pajak (KSWP) dilakukan secara daring.

KSWP merupakan proses yang wajib dilakukan oleh instansi pemerintah sebelum memberikan layanan publik tertentu.

Proses ini bertujuan untuk memastikan bahwa wajib pajak telah memenuhi kewajibannya, seperti kesesuaian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan selama dua tahun terakhir.

Langkah-langkah Pengajuan KSWP melalui Coretax DJP

• Masuk ke Akun Coretax DJP

Wajib pajak perlu masuk ke akun Coretax DJP dengan menggunakan ID Pengguna dan Kata Sandi, serta mengisi kode captcha untuk melanjutkan proses.

• Pengajuan KSWP

• Pilih Layanan Wajib Pajak

• Pilih Layanan Administrasi

• Pilih Buat Permohonan Layanan Administrasi

• Pilih AS.01-02 Konfirmasi Status Wajib Pajak (KSWP)

• Mengisi Data Permohonan

• Pastikan data identitas wajib pajak sesuai, termasuk NPWP/NIK, nama, dan alamat.

• Isi informasi mengenai instansi pemerintah pemberi layanan publik, nama layanan publik, tahun, dan kota/kabupaten tempat formulir ditandatangani.

• Memeriksa Status Pajak

Sistem akan menampilkan informasi terkait pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak, termasuk status aktif NPWP dan pelaporan SPT Tahunan dua tahun terakhir. Jika data belum terkoneksi, wajib pajak dapat menekan tombol “Refresh” untuk memperbarui informasi.

• Pembuatan dan Penandatanganan Dokumen

• Wajib pajak dapat membuat dokumen permohonan Keterangan Status Wajib Pajak dalam format PDF.

• Dokumen harus ditandatangani secara elektronik menggunakan KO DJP atau sertifikat digital lainnya.

• Mengunduh Surat Keterangan Status Wajib Pajak

Setelah dokumen ditandatangani dan dikirim, wajib pajak dapat mengunduh Surat Keterangan Status Wajib Pajak (KSWP) yang telah diterbitkan.

Manfaat KSWP bagi Wajib Pajak

Dengan adanya sistem digital ini, wajib pajak kini dapat dengan mudah mengajukan permohonan tanpa harus datang langsung ke kantor pajak. Proses yang lebih cepat dan transparan ini akan mempermudah wajib pajak dalam memperoleh layanan publik yang membutuhkan konfirmasi status perpajakan.

DJP mengimbau wajib pajak untuk senantiasa memenuhi kewajiban perpajakannya agar dapat dengan lancar mengakses layanan publik. Untuk informasi lebih lanjut, wajib pajak dapat mengunjungi portal resmi Coretax DJP atau menghubungi kantor pajak terdekat. (alf)

en_US