Jemmi Sutiono: AOTCA Tawarkan Ilmu, Relasi, dan Perspektif Global bagi Konsultan Pajak

IKPI, Jakarta: Ketua Departemen Humas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Jemmi Sutiono, menegaskan pentingnya keterlibatan anggota dalam Asia-Oceania Tax Consultants’ Association (AOTCA) Conference yang tahun ini akan berlangsung di Nepal. Menurutnya, manfaat mengikuti AOTCA bukan hanya soal materi, melainkan bersifat intangible dan berjangka panjang.

“Kalau bicara keuntungan, jelas bukan dalam arti finansial. Justru AOTCA itu memberikan nilai tambah berupa ilmu pengetahuan perpajakan internasional, kesempatan bertukar pemikiran, serta jejaring profesional lintas negara,” ujar Jemmi, Rabu (10/9/2025).

(Foto: DOK. Pribadi)

Ia menjelaskan, konferensi ini memungkinkan konsultan pajak mempelajari regulasi perpajakan di berbagai negara anggota AOTCA. Dari sana, peserta bisa bertukar informasi mengenai perkembangan bisnis, usaha klien, hingga tren investasi lintas negara.

“Dengan berkenalan dan menjalin relasi, kelak ketika ada kebutuhan informasi atau kolaborasi, jaringan ini akan sangat membantu. Karena kita terkoneksi dengan asosiasi resmi di negara anggota,” tambahnya.

Jemmi yang telah tiga kali menghadiri AOTCA di Hong Kong, Bali, dan Jepang, menilai pengalaman tersebut membuka wawasan baru. Selain ilmu, peserta juga membangun relasi dengan konsultan pajak dari berbagai negara seperti Korea Selatan, Jepang, Vietnam, Filipina, Malaysia, Hongkong, Tiongkok, hingga Sri Lanka dan India.

(Foto: DOK. Pribadi)

“Event internasional seperti ini mendorong anggota untuk keluar dari lingkup lokal, menuju perspektif global. Manfaatnya mungkin tidak langsung terasa, tapi pembelajaran dan koneksi yang didapat akan berguna di masa depan,” jelasnya.

Sebagai bagian dari penguatan organisasi, Jemmi juga mengingatkan bahwa saat ini Ketua Umum IKPI Periode sebelumnya, Ruston Tambunan, tengah menjabat sebagai Presiden AOTCA.

“Ini momentum penting bagi Indonesia. Jadi mari kita dukung dengan berpartisipasi aktif. AOTCA adalah jembatan bagi konsultan pajak Indonesia untuk berkontribusi secara internasional,” ujarnya. (bl)

Calon Hakim Agung Usul Bentuk Kamar Pajak di MA

IKPI, Jakarta: Hakim Pengadilan Pajak yang juga calon hakim agung, Budi Nugroho, mengusulkan pembentukan Kamar Pajak di Mahkamah Agung (MA). Usulan itu ia sampaikan saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di Komisi III DPR RI, Senayan, Selasa (9/9/2025).

Menurut Budi, Kamar Pajak perlu berdiri sendiri karena hukum pajak memiliki karakteristik berbeda dengan hukum administrasi. “Kalau perkara pajak tidak ditangani dengan perspektif hukum pajak, bisa muncul putusan yang keliru,” jelasnya.

Ia mencontohkan asas dalam hukum administrasi, presumptio iustae causa, yang menyatakan setiap keputusan pejabat dianggap benar sampai dibuktikan salah. Jika asas itu dipakai mentah-mentah dalam sengketa pajak, lanjut Budi, negara justru berisiko rugi karena keputusan aparat bisa dibatalkan hanya karena cacat prosedur.

Budi juga menyinggung potensi praktik mafia pajak. Ia menilai ada aparat yang bisa saja sengaja membuat penetapan keliru demi kepentingan tertentu. “Penetapan itu bisa lemah, tapi tetap dipajang sebagai temuan triliunan. Itu bisa jadi pola mafia pajak,” ujarnya.

Ia menegaskan, hukum pajak bersifat sui generis alias unik, sehingga hakim wajib mencari kebenaran materiil, bukan sekadar kebenaran formal.

Sebelumnya, Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil menyinggung kembali kasus Gayus Tambunan dan Rafael Alun Trisambodo saat bertanya soal pola mafia pajak. Ia berharap para calon hakim agung berani mengungkap sekaligus mencari solusi agar praktik serupa tidak berulang.

Uji kelayakan untuk 13 calon hakim agung dan tiga calon hakim ad hoc HAM akan berlangsung hingga 16 September 2025. Hasil akhir akan ditentukan melalui rapat pleno Komisi III. (alf)

 

 

Politisi PKS Ingatkan Bahaya Mafia Pajak Saat Uji Calon Hakim Agung

IKPI, Jakarta: Anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil, mengingatkan soal bahaya mafia pajak dalam uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) calon Hakim Agung di Senayan, Selasa (9/9/2025). Ia menegaskan pentingnya independensi hakim dalam menangani perkara perpajakan yang menyangkut kepentingan bangsa.

Nasir menyoroti salah satu calon yang baru enam tahun bertugas di Pengadilan Pajak. Menurutnya, masa pengabdian itu masih terlalu singkat sehingga rawan dipengaruhi oleh Kementerian Keuangan.

“Dibutuhkan independensi, supaya hakim tidak mudah diintervensi dalam perkara pajak. Pajak itu jiwa bangsa, dan mafia pajak bisa membunuh jiwa bangsa,” tegasnya.

Politikus PKS tersebut juga mengaitkan fenomena mafia pajak dengan teori kontrak sosial. Menurutnya, praktik manipulasi pajak justru merusak legitimasi negara di mata rakyat. Ia mengingatkan kembali kasus besar seperti Gayus Tambunan dan Rafael Alun Trisambodo yang mencederai kepercayaan publik.

“Masyarakat pernah dikejutkan oleh Gayus, lalu muncul Rafael Alun. Jangan-jangan masih banyak ‘Gayus’ lain, hanya saja belum ketahuan,” ujarnya.

Lebih lanjut, Nasir mempertanyakan realisasi penerimaan pajak yang tidak sebanding dengan potensi sesungguhnya. Ia menduga sebagian potensi tersebut justru tergerus praktik mafia.

“Jangan-jangan potensi kita 10, tapi hanya tercatat 3 atau 5, sisanya jadi bancakan,” katanya.

Ia juga menyinggung kebijakan tax amnesty yang menurutnya menunjukkan kelemahan pemerintah dalam menggali potensi pajak, serta praktik penghindaran pajak lewat penyimpanan dana di luar negeri seperti dalam Panama Papers.

Tak hanya di pusat, masalah di daerah pun ikut disorot. Nasir mencontohkan banyak daerah kaya tambang tidak menikmati hasil pajaknya karena NPWP perusahaan tercatat di Jakarta.

“Daerah hanya dapat ampasnya saja. Ini tidak adil bagi fiskal daerah,” ucapnya.

Di akhir pernyataannya, Nasir menekankan peran moral calon Hakim Agung. “Keputusan harus berdasar hukum dan keadilan, bukan semata aturan tertulis. Pajak bukan untuk bikin bingung atau bikin bangkrut, tapi untuk menyejahterakan rakyat,” katanya. (alf)

 

Ekonom Celios Dorong Menkeu Purbaya Tuntaskan Beban Pajak Masyarakat Menengah dan Bawah

IKPI, Jakarta: Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa, perlu bergerak cepat menuntaskan persoalan yang membebani masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah.

Menurut Bhima, langkah awal yang penting bagi Purbaya adalah meringankan tekanan pajak maupun pungutan lain agar daya beli rumah tangga bisa kembali meningkat. “Semua beban berat, khususnya bagi kelas menengah ke bawah, harus segera diselesaikan. Kita butuh konsumsi rumah tangga naik,” ujarnya, Selasa (9/9/2025).

Ia juga menyoroti efektivitas belanja perpajakan yang mencapai sekitar Rp530 triliun per tahun. Menurutnya, insentif fiskal seperti pembebasan pajak hingga 20 tahun perlu dievaluasi ulang. “Apakah benar insentif itu tepat sasaran? Sudahkah mendorong investasi dan penyerapan tenaga kerja sesuai harapan?” kata Bhima.

Lebih jauh, Bhima mendorong Menkeu untuk melakukan audit atas perusahaan yang menerima keringanan pajak, memastikan laporan keuangan mereka akurat, serta kontribusi terhadap penciptaan lapangan kerja jelas. Selain itu, ia menekankan pentingnya inovasi dalam pengelolaan utang negara.

“Kita membayar bunga utang Rp800 triliun per tahun. Ke depan akan lebih berat, jadi perlu ada renegosiasi atau restrukturisasi yang memberi manfaat langsung bagi masyarakat,” tuturnya.

Bhima juga menyinggung soal tata kelola internal di Kementerian Keuangan. Ia meminta Purbaya bersikap tegas terhadap praktik rangkap jabatan, khususnya di level wakil menteri. “Pejabat Kemenkeu yang masih menerima gaji dari BUMN lewat posisi rangkap tidak boleh dibiarkan. Itu masalah profesionalitas dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan,” tegasnya.

Dengan langkah-langkah tersebut, Bhima berharap kepercayaan pasar terhadap kepemimpinan baru di Kementerian Keuangan bisa segera terbangun, sekaligus membawa arah kebijakan fiskal lebih berpihak pada masyarakat luas. (alf)

 

Menkeu Purbaya: Fokus Sistem Pajak yang Ada untuk Dorong Ekonomi Tumbuh 8%

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan dirinya tidak akan menambah jenis pajak baru untuk meningkatkan penerimaan negara. Menurutnya, strategi yang lebih efektif adalah mengoptimalkan sistem perpajakan yang sudah berjalan.

“Menurut saya pribadi selama ini nggak usah (pajak baru). Dengan sistem yang ada pun kalau pertumbuhannya bagus, tax-to-GDP ratio tetap bisa naik,” ujar Purbaya di Istana Kepresidenan, Senin (8/9/2025).

Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, target penerimaan pajak ditetapkan sebesar Rp2.357,71 triliun. Angka ini naik 13,51% dibandingkan target 2025 senilai Rp2.076,9 triliun.

Kontribusi terbesar masih berasal dari Pajak Penghasilan (PPh) yang dipatok Rp1.209,36 triliun, meningkat dari target tahun ini Rp1.051,65 triliun. Selanjutnya, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) ditargetkan Rp995,27 triliun, naik dari Rp890,94 triliun.

Namun, target Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) justru turun dari Rp30,08 triliun menjadi Rp26,13 triliun. Sementara itu, pos pajak lainnya melonjak menjadi Rp126,93 triliun dari Rp104,23 triliun. Pertumbuhan terbesar terlihat sejak 2023 yang hanya Rp9,72 triliun, lalu 2024 Rp8,74 triliun.

Lebih jauh, Purbaya menegaskan kunci peningkatan penerimaan negara bukan dengan menambah beban masyarakat, melainkan lewat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Ia menargetkan ekonomi Indonesia mampu tumbuh hingga 8% agar bisa sejajar dengan negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok.

“Pada era Pak Jokowi, pertumbuhan ekonomi memang cukup tinggi, tapi sektor swasta kurang berkembang. Kredit rata-rata hanya tumbuh 7%. Ke depan, kita akan hidupkan pemerintah sekaligus swasta agar bisa tembus 6-7%, bahkan menuju 8%,” jelasnya.

Untuk mencapai hal tersebut, Purbaya akan mengoptimalkan peran APBN sekaligus menciptakan iklim kondusif bagi sektor swasta agar lebih agresif dalam berinvestasi. (alf)

 

Politisi PDIP Desak Pemerintah Naikkan Pajak bagi 60 Keluarga Penguasa Lahan

IKPI, Jakarta: Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Deddy Sitorus, mendesak Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Nusron Wahid, untuk mengambil langkah konkret terkait penguasaan lahan oleh segelintir keluarga di Indonesia. Salah satunya dengan memberlakukan pajak lebih besar kepada 60 keluarga yang disebut menguasai hampir separuh lahan bersertifikat nasional.

Desakan itu disampaikan Deddy dalam rapat kerja Komisi II DPR dengan Kementerian ATR/BPN di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (8/9/2025). Ia mengapresiasi keberanian Nusron yang mengungkapkan data soal konsentrasi kepemilikan tanah, namun menekankan perlunya tindak lanjut yang nyata dari pemerintah.

“Pak Menteri, saya senang sekali mendengar pernyataan Bapak bahwa tanah di Indonesia dikuasai 60 keluarga. Itu artinya negara mulai jujur kepada rakyat. Tapi kalau hanya berhenti di pernyataan, justru bisa memunculkan rasa ketidakadilan di masyarakat bawah,” ujar Deddy.

Menurutnya, keadilan agraria tidak cukup hanya dijawab dengan program reforma agraria. Beban pajak yang lebih tinggi harus dikenakan kepada para pemilik lahan superbesar tersebut. “Saya kira pajaknya harus dinaikkan betul, Pak. Mereka sudah kaya untuk 70 turunan. Saatnya negara mengambil sebagian untuk kepentingan rakyat,” tegasnya.

Deddy menyinggung pengalaman di daerah, ketika pemerintah daerah menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) masyarakat kecil demi menutup kebutuhan anggaran. Padahal, katanya, kelompok pemilik lahan raksasa jarang disentuh kewajiban pajaknya secara proporsional.

Sebelumnya, Nusron Wahid mengungkapkan bahwa 48 persen dari 55,9 juta hektare lahan bersertifikat di Indonesia ternyata hanya dikuasai oleh 60 keluarga. Menurutnya, jika ditelusuri kepemilikan perusahaannya, pola penguasaan tersebut bermuara pada beneficial ownership yang sama.

“Inilah problem di Indonesia yang menyebabkan kemiskinan struktural. Bukan karena rakyat tidak mampu, tapi karena ada kesalahan kebijakan masa lalu yang membuat distribusi tanah tidak adil,” jelas Nusron dalam kesempatan berbeda di Jakarta, Juli lalu.

Ia menyebut Presiden Prabowo Subianto telah memerintahkan agar prinsip keadilan, pemerataan, dan keberlanjutan menjadi dasar kebijakan pertanahan ke depan. Meski demikian, Nusron enggan membeberkan identitas 60 keluarga yang dimaksud. (alf)

 

 

Presiden Prabowo Minta Menkeu Belajar ke Dirjen Pajak 

IKPI, Jakarta: Presiden Prabowo Subianto memberi arahan khusus kepada Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa. Ia diminta banyak belajar dari Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, yang dinilai memahami seluk-beluk penerimaan negara.

Hal tersebut diungkapkan Purbaya usai menghadiri konferensi pers di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, Senin (8/9/2025).

“Presiden meminta saya belajar langsung kepada Dirjen Pajak,” kata Purbaya.

Dalam kesempatan itu, ia juga menyoroti stagnasi rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB). Menurutnya, jika dalam waktu dekat penerimaan pajak sulit terdongkrak, maka strategi yang bisa dipilih adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi. “Kalau tax ratio sulit naik, jalan lain adalah dorong ekonominya lebih cepat,” ujarnya.

Isu pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) juga tak luput ditanyakan. Purbaya menegaskan, sampai sekarang belum ada instruksi dari Presiden mengenai rencana tersebut. Ia bahkan menilai, lembaga sejenis BPN nyaris tidak ditemukan di negara lain. “Kalau kita bikin, malah jadi unik sendiri. Lebih baik maksimalkan sistem yang ada,” jelasnya.

Lebih jauh, Purbaya menekankan dirinya tidak akan mengikuti pola umum pejabat baru yang gemar melakukan bongkar-pasang birokrasi. Ia memilih memperbaiki mekanisme yang sudah berjalan.

“Mesin yang ada akan kita rawat, yang terhenti kita hidupkan lagi, dan yang sudah bergerak akan kita percepat,” tutur mantan Ketua Dewan Komisioner LPS itu.

Purbaya resmi dilantik Presiden Prabowo sebagai Menteri Keuangan pada Senin sore di Istana Negara melalui Keputusan Presiden Nomor 86 Tahun 2025. Ia menggantikan Sri Mulyani Indrawati, meski serah terima jabatan secara resmi belum dilakukan. (alf)

 

Nuryadin Rahman: Ikut AOTCA, Ilmu Pajak Dapat, Jaringan Luas, Wisata Pun Asik

IKPI, Jakarta: Wakil Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Nuryadin Rahman, mengajak para anggota untuk memanfaatkan kesempatan emas mengikuti pertemuan tahunan Asia-Oceania Tax Consultants’ Association (AOTCA) yang tahun ini akan digelar di Nepal pada November mendatang.

Menurut Nuryadin, AOTCA bukan sekadar forum akademis, melainkan ajang yang menghadirkan pengalaman lengkap: memperkaya wawasan perpajakan internasional, membangun jejaring profesional lintas negara, sekaligus kesempatan berwisata bersama rekan sejawat.

(Foto: DOK. Pribadi)

“Kalau ikut AOTCA itu asik sekali. Pertama, kita dapat ilmu dari presentasi para pakar pajak internasional. Kedua, kita bisa menambah jaringan dengan konsultan dari berbagai negara. Dan ketiga, bisa jalan-jalan rame-rame, jadi suasananya guyub dan menyenangkan,” ujar Nuryadin, Selasa (9/9/2025).

Ia menekankan, AOTCA juga memberi ruang interaksi informal antar peserta. Misalnya dalam gala dinner, di mana perwakilan negara saling bertukar kartu nama, berbincang mengenai praktik perpajakan di negaranya, hingga menjalin kedekatan personal. “Dari situ terbangun keakraban. Bahkan kalau ada persoalan pajak lintas negara, kita bisa saling sharing pengalaman,” tambahnya.

Nuryadin yang sudah tiga kali mengikuti AOTCA di Bali, Jepang, dan Tiongkok mengaku pengalaman tersebut selalu berkesan. Selain menambah pengetahuan dan wawasan, ia merasa perjalanan menjadi lebih ringan dan hemat ketika dilakukan bersama rombongan besar.

(Foto: DOK. Pribadi)

“Kalau jalan sendiri ke luar negeri pasti repot dan mahal. Tapi kalau bareng-bareng, suasananya jadi seru, biaya lebih ringan, dan kita juga bisa mengenal budaya serta tradisi negara setempat. Jadi sekali ikut AOTCA biasanya ingin ikut lagi,” ungkapnya.

Tahun ini, AOTCA memiliki makna khusus bagi Indonesia karena Ruston Tambunan (Ketua Umum IKPI 2022-2024) saat ini menjabat sebagai Presiden AOTCA. Oleh karena itu, Nuryadin menilai penting bagi anggota IKPI untuk memberi dukungan dengan berpartisipasi aktif.

(Foto: DOK. Pribadi)

“Pak Ruston sekarang Presiden AOTCA. Kita harus hargai dan dukung beliau dengan ikut hadir. Kebetulan pendaftaran diperpanjang sampai akhir September, jadi ayo segera manfaatkan kesempatan ini,” tegas Nuryadin yang tahun ini akan berangkat ke Nepal bersama istrinya. (bl)

Pajak Kekayaan, Obat atau Racun?

Pajak kekayaan kembali mengemuka sebagai opsi kebijakan di berbagai negara, termasuk Indonesia, untuk mengurangi ketimpangan dan meningkatkan penerimaan negara, apalagi realisasi penerimaan pajak sampai dengan 11 Agustus 2025 baru mencapai 996 triliun atau 45,5% dari target sehingga sebagian pihak mengusulkan agar Pemerintah menetapkan pajak kekayaan.

Namun, efektivitasnya dan manfaatnya diperdebatkan baik secara teori maupun prakteknya di beberapa negara, sehingga jika jadi diterapkan : apakah pajak kekayaan benar-benar menjadi instrumen solusi (obat) atau justru menimbulkan masalah baru (racun).

Dalam pengklasifikasian mengenai orang kaya, ada 2 pendekatan yang umum dipakai di dunia yaitu (asumsi 1 usd – Rp. 15.000,-) :

1.      HNWI = High Net Worth Individual, yaitu individu yang memiliki asset > 1 juta USD (Rp. 15 milyar  atau lebih, termasuk tempat tinggal utama.

2.      UHNWI = Ultra High Net Worth Individual, yaitu individu yang memiliki asset > 30 juta USD (Rp. 450 milyar, atau lebih termasuk tempat tinggal utama.

Pajak Kekayaan Obat atau Racun

1.      Pajak Kekayaan sebagai Obat

a)      Alasan Normatif & Keadilan

·        Mengurangi ketimpangan: Di negara dengan konsentrasi kekayaan tinggi pada kelompok 1% teratas, pajak kekayaan dianggap adil untuk redistribusi. Dimana 1% orang kaya Indonesia menguasai 36% perekonomian nasional (CNN : 5 Feb 2025).

Prinsip kemampuan membayar (ability to pay): Wajib pajak yang memiliki akumulasi aset besar dianggap punya kewajiban lebih besar untuk berkontribusi.

b)      Alasan Fiskal

Potensi penerimaan tambahan: Pajak kekayaan bisa membuka ruang fiskal baru di tengah keterbatasan basis pajak penghasilan (karena banyak sektor informal).

Sumber jangka panjang: Bila dirancang baik, bisa menopang belanja sosial, pendidikan, dan kesehatan, yang terbukti efektif menurunkan kemiskinan (lihat kajian Bank Dunia dan OECD).

c)       Alasan Politik-Ekonomi

Simbol keadilan sosial: Mengirim sinyal bahwa negara serius menekan oligarki dan memperluas rasa keadilan.

Legitimasi pemerintah: Dalam konteks demokrasi, dapat memperkuat kepercayaan publik terhadap institusi fiskal.

2.      Pajak Kekayaan sebagai Racun

a)      Masalah Teknis & Administratif

Sulit valuasi aset: Kekayaan berbentuk tanah, saham perusahaan tertutup, karya seni, atau aset digital sulit diukur secara tepat.

Biaya administrasi tinggi: Pemungutan dan penegakan hukum lebih mahal dibandingkan pajak konsumsi/PPh.

b)      Masalah Ekonomi

Capital flight & tax avoidance: Orang kaya bisa dengan mudah mengalihkan kekayaannya ke luar negeri (contoh: Prancis, yang akhirnya mencabut wealth tax pada 2017 karena banyak miliarder pindah domisili).

Dampak pada investasi: Bisa mengurangi insentif menanam modal di dalam negeri, jika tidak ada insentif yang menyeimbanginya.

c)       Masalah Politik

Resistensi kelompok elit: Potensi lobi kuat dari kelompok kaya untuk melemahkan atau menggagalkan implementasi.

Distorsi kebijakan: Bisa memicu kompromi politik yang justru menghasilkan aturan setengah hati, sehingga manfaatnya minim, tapi biayanya besar.

Matriks: Pajak Kekayaan, Obat atau Racun?

Aspek

Manfaat (Obat)

Kerugian (Racun)

Keadilan Sosial

Mengurangi ketimpangan, sesuai prinsip ability to pay.

Resistensi politik dari elit, berpotensi melemahkan legitimasi jika gagal.

Fiskal

Sumber penerimaan tambahan untuk membiayai belanja sosial & infrastruktur.

Penerimaan cenderung kecil di banyak negara; biaya administrasi relatif tinggi.

Ekonomi

Redistribusi bisa meningkatkan daya beli kelas menengah & miskin.

Risiko capital flight, penghindaran pajak, menurunkan insentif investasi.

Administrasi

Mendorong transparansi aset & perbaikan sistem data kekayaan.

Sulit valuasi aset (tanah, saham tertutup, karya seni, aset digital).

Politik-Ekonomi

Menjadi simbol komitmen pemerintah melawan ketimpangan & oligarki.

Bisa dipolitisasi; jika gagal, menurunkan kepercayaan publik terhadap fiskus.

Pengalaman Negara

Norwegia & Spanyol masih menerapkan dengan tingkat keberhasilan tertentu.

Prancis, Jerman, Swedia, Denmark mencabut karena biaya > manfaat.

3.      Pengalaman Negara Lain

• Berhasil (sebagian):

• Spanyol: Wealth tax digunakan kembali pasca krisis 2008 sebagai instrumen darurat penerimaan.

• Norwegia: Masih memberlakukan pajak kekayaan, tapi didukung sistem informasi pajak yang transparan dan budaya kepatuhan tinggi.

• Gagal / Dihapus:

• Prancis: Dicabut pada 2017 karena mendorong eksodus kapital.

• Jerman, Swedia, Denmark: Menghapus karena biaya administrasi lebih besar daripada penerimaan.

4.      Analisis Pragmatik

• Jika diterapkan di Indonesia, tantangan besar:

• Kapasitas administrasi pajak masih terbatas (data aset belum terintegrasi penuh).

• Potensi penghindaran pajak tinggi karena lemahnya regulasi harta luar negeri.

• Kultur kepatuhan pajak di kalangan HNWI (high net worth individuals) masih rendah.

• Namun, manfaatnya bisa signifikan, jika:

• Basis data harta nasional (wealth registry) kuat dan transparan.

• Diiringi kerja sama internasional (automatic exchange of information/AEOI).

• Disertai strategi komunikasi publik yang menekankan keadilan sosial.

5.      Berapa potensi Pajak Kekayaan :

Simulasi Pajak Kekayaan di Indonesia

A.      Asumsi Dasar

1.      Jumlah HNWI (High Net Worth Individuals)

o   Menurut Knight Frank (2022), jumlah HNWI di Indonesia sekitar 36.742 orang (memiliki kekayaan > USD 1 juta ≈ Rp 15 miliar). Sedangkan menurut The Wealth Report 2022 estimasi HNWI di Indonesia sebanyak 134.015 orang.

2.      Total kekayaan HNWI Indonesia

o   Pada faktanya tidak ditemukan riel asset dari seluruh HNWI + UNHWI di Indonesia, namun kita bisa membuat estimasi secara konservatif. Dengan menggabungkan beberapa data dari forbes, dan Knight Frank.

o   Total asset 50 orang terkaya Indonesia menurut Forbes sebanyak USD 262,57 Milyar.

o   Total asset UNHWI = 1.479 orang – 50 terkaya = 1.229 orang x USD 50 juta = USD 61,45 milyar.

o   Total asset NHWI = 134.015 orang x USD 2 juta = USD 268 milyar

o   Sehingga total estimasi asset = USD 595,02 milyar

o   Jika angka 595,02 Milyar dibulatkan menjadi USD 600 miliar (≈ Rp 9.000 triliun). Dengan asumsi kurs 1 USD = Rp. 15.000,- total kekayaan sebesar Rp. 9.000 triliun.

3.      Skema pajak kekayaan (hipotetis)

o   Tarif 1% per tahun untuk kekayaan bersih di atas Rp 100 miliar.

o   Diasumsikan 20% dari total kekayaan HNWI masuk kategori > Rp 100 miliar (karena distribusi sangat terkonsentrasi di top tier).

B.      2. Perhitungan Kasar

• Kekayaan yang kena pajak:

20% × Rp 9.000 triliun = Rp 1.800 triliun

• Potensi penerimaan pajak (1%):

1% × Rp 1.800 triliun = Rp 18 triliun per tahun

3. Interpretasi

• Angka Rp 18 triliun ≈ setara dengan:

• Hampir 1,5 kali anggaran Program Keluarga Harapan (PKH) tahun 2024.

• Dapat membiayai pembangunan ribuan sekolah atau puskesmas.

• Namun, potensi ini bisa berkurang drastis karena:

• Tax avoidance: HNWI memindahkan aset ke luar negeri atau menyamarkannya.

• Kapasitas administrasi pajak: Sulit mendata dan menilai nilai wajar aset (tanah, saham non-publik, dll).

• Biaya kepatuhan: Tinggi bagi fiskus untuk mengawasi kepemilikan aset global.

6.      Kesimpulan

Apakah pajak kekayaan obat atau racun?

• Sebagai obat, pajak kekayaan bisa memperluas penerimaan negara dan menekan ketimpangan, terutama bila didukung sistem data aset yang kuat dan budaya kepatuhan tinggi.

• Sebagai racun, ia bisa kontraproduktif bila diterapkan dengan administrasi lemah, menimbulkan eksodus modal, dan hanya menghasilkan penerimaan kecil dengan biaya tinggi.

Ringkasan

• Lebih banyak risikonya jika diterapkan dengan sistem perpajakan yang lemah (contoh: Indonesia saat ini).

• Lebih banyak manfaatnya bila diterapkan di negara dengan administrasi pajak yang kuat, basis data aset jelas, dan kepatuhan tinggi (contoh: Norwegia).

• Alternatif lebih realistis untuk Indonesia: memperkuat pajak penghasilan progresif, pajak warisan, dan pajak kapital gain, serta mengoptimalkan belanja negara yang efektif.

Penulis Ketua Departemen Litbang dan Pengkajian Kebijakan Fiskal IKPI

Pino Siddharta

Email: pinosiddharta@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini adalah pribadi penulis

pendapat

Purbaya Yudhi Sadewa Resmi Gantikan Menkeu Sri Mulyani, Simak Rekam Jejaknya

IKPI, Jakarta: Nama Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa resmi menggantikan Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan. Hal itu dipastikan setelah Presiden Prabowo Subianto melantiknya pada Senin (8/9/2025) sore di Istana Negara.

Menurut keterangan Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, reshuffle kali ini mencakup lima menteri. Mereka adalah:

• Budi Gunawan (Menko Polhukam)

• Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan)

• Abdul Kadir Karding (Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia)

• Budi Arie Setiadi (Menteri Koperasi)

• Dito Ariotedjo (Menteri Pemuda dan Olahraga)

Selain itu, Presiden juga melantik pejabat untuk Kementerian Haji dan Umrah, sebuah kementerian baru hasil transformasi dari Badan Pengelola Haji.

Rekam Jejak Panjang

Purbaya Yudhi Sadewa bukan sosok asing di dunia ekonomi maupun pemerintahan. Lulusan Teknik Elektro ITB yang meraih gelar Master dan Doktor di Purdue University, Amerika Serikat, ini pernah menduduki berbagai posisi penting, mulai dari Deputi di Kemenko Marves, Staf Khusus bidang ekonomi di beberapa kementerian, hingga Deputi Kantor Staf Presiden. Pada 2020, ia dipercaya menjadi Ketua Dewan Komisioner LPS.

Di sektor swasta, Purbaya dikenal lewat kiprahnya di Danareksa, baik sebagai ekonom utama, Direktur Utama Danareksa Securities, hingga anggota dewan direksi PT Danareksa (Persero).

Purbaya saat ini resmi menggantikan Sri Mulyani yang sudah menjabat sebagai Menteri Keuangan sejak era Presiden Joko Widodo. Pergantian ini dipandang sebagai titik krusial bagi arah kebijakan ekonomi Indonesia, terutama dalam menjaga stabilitas fiskal, dan keberlanjutan agenda pemerintahan Prabowo.

Publik kini menanti apakah reshuffle besar ini akan membawa energi baru dalam tata kelola pemerintahan, khususnya di bidang keuangan negara yang strategis. (bl)

 

en_US