IKPI Ajak Anggota Pecinta Billiard Ramaikan “Peresmian Billiarder Community IKPI & Fun Match”

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) kembali menggelar kegiatan positif untuk mempererat kebersamaan antaranggota. Ketua Bidang Olahraga IKPI, Wisnu Sambhoro, mengajak seluruh anggota yang memiliki hobi billiard untuk hadir dan meramaikan acara Peresmian Billiarder Community IKPI dan Fun Match yang akan digelar di Good Game Billiard & Café, Melawai Plaza Lantai 2, Jakarta Selatan, Senin, (8/12/2025).

Wisnu menyampaikan bahwa agenda ini bukan sekadar kompetisi, tetapi momentum untuk menjalin silaturahmi dan memperkuat kekompakan antaranggota dari berbagai cabang IKPI.

“Selain untuk olahraga dan fun, acara ini kami siapkan sebagai ajang berkumpul dan mengakrabkan seluruh anggota IKPI, khususnya yang memiliki minat di dunia billiard,” ujar Wisnu, Rabu (3/12/2025).

Acara ini terbuka bagi seluruh anggota IKPI dengan free entry dan turut menghadirkan guest star Ayu Lixui. Selain itu, panitia menyediakan 4 meja gratis yang dapat digunakan peserta selama kegiatan berlangsung.

Untuk memeriahkan acara, IKPI juga menggelar Fun Match 9 Ball khusus anggota, dengan hadiah menarik:
Juara 1: Rp750.000
Juara 2: Rp500.000
Juara 3: Rp250.000

Biaya pendaftaran Fun Match ditetapkan sebesar Rp100.000, dan satu nama diperbolehkan mendaftar hingga dua kali. Pendaftaran dapat dilakukan melalui tautan resmi: bit.ly/funmatch-billiarder-IKPI.

Wisnu menegaskan bahwa komunitas ini dirancang sebagai ruang aktivitas positif dan sarana komunikasi anggota. Oleh karena itu, ia mendorong seluruh peserta untuk bergabung dalam grup WhatsApp Billiarder Community IKPI agar selalu mendapat informasi terbaru.

“Kami ingin membangun wadah yang fun, aktif, dan memperkuat hubungan kekeluargaan di tubuh IKPI. Jadi jangan ragu, ayo bergabung dan ramaikan!” katanya.

Acara dipastikan berlangsung meriah dan menjadi salah satu langkah IKPI dalam memperkuat solidaritas serta memperluas ruang kebersamaan melalui hobi dan olahraga. (bl)

Edukasi Perpajakan: Anggun Dewi Tekankan Tanggung Jawab Pemotong Pajak di Era Cortex

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) terus memperluas komitmennya dalam meningkatkan literasi perpajakan bagi masyarakat luas, melalui program edukasi perpajakan yang digelar secara daring setiap minggu. Program ini terbuka bagi seluruh anggota IKPI maupun peserta umum yang ingin memahami perpajakan secara lebih praktis dan tepat secara gratis.

Anggun Dewi Santosa, selaku narasumber, menyampaikan materi mendalam mengenai perlakuan akuntansi atas withholding tax, atau yang lebih dikenal dengan PPh potong dan pungut. Dari awal sesi, Anggun menegaskan pentingnya pemahaman menyeluruh atas mekanisme potong-pungut, karena jenis pajak ini merupakan salah satu kewajiban yang paling sering ditemui wajib pajak, baik oleh perusahaan maupun individu.

“Hari ini kita akan belajar bersama apa yang dimaksud dengan PPh potong dan pungut serta bagaimana perlakuannya dalam akuntansi perpajakan,” ujar Anggun saat membuka diskusi baru-baru ini.

Dalam paparannya, Anggun menjelaskan bahwa pemotongan pajak bukanlah sekadar kegiatan administratif mengurangi jumlah pembayaran kepada penerima penghasilan. Terdapat kewajiban yang melekat pada pihak pemotong, mulai dari pemotongan, penyetoran, hingga pelaporan pajak.

“Pemberi penghasilan wajib bertanggung jawab penuh atas seluruh proses pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak melalui sistem Cortex,” tegasnya.

Ia menerangkan bahwa pemotongan pajak merupakan pengurangan pajak terutang dari total pembayaran yang seharusnya diterima penerima penghasilan. Sementara pemungutan pajak dilakukan atas transaksi barang atau jasa tertentu dan nilainya menambah total pembayaran yang harus dikeluarkan pihak pembeli atau pengguna jasa.

Anggun juga memaparkan aturan terbaru mengenai tenggat waktu penyetoran dan pelaporan. Berdasarkan ketentuan di PMK 381 Tahun 2024, penyetoran PPh potong–pungut wajib dilakukan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya. Khusus untuk PPh 22, tenggat penyetoran lebih cepat, yaitu satu hari kerja setelah pemungutan.

Selain itu, pelaporan masa pajak melalui Cortex harus disampaikan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya. Penjelasan ini disambut antusias peserta yang mengaku sering berhadapan dengan tenggat pelaporan. (bl)

Saat Algoritma Menggantikan Intuisi Fiskal: Menguji Peran Manusia di Tengah Otomatisasi Pengawasan Pajak

Negara modern sedang berubah cara kerjanya. Jika dulu pajak dijalankan melalui kombinasi intuisi fiskal, pengalaman manusia, dan dokumen fisik, kini ia bergerak ke wilayah yang lebih sunyi namun lebih menentukan: algoritma. Melalui rezim baru pengawasan berbasis data konkret, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menandai fase penting dalam modernisasi administrasi fiskal Indonesia, fase ketika mesin bukan lagi pendukung, melainkan aktor utama dalam menentukan arah penegakan kepatuhan.

Perubahan ini sering disambut dengan optimisme teknokratis: pajak menjadi lebih presisi, lebih objektif, lebih sulit dimanipulasi. Namun di balik itu, muncul pertanyaan mendasar yang jarang dibicarakan di ruang publik: apa yang terjadi pada intuisi, diskresi, dan etika fiskal ketika logika mesin menjadi poros utama?

1. Negara Algoritmik dan Ilusi Objektivitas

Dengan pendekatan data konkret, negara tidak lagi menunggu klarifikasi wajib pajak. Ia mulai dari data: faktur pajak yang sudah disetujui sistem tetapi belum dilaporkan, bukti potong yang tidak tercermin dalam SPT, atau transaksi tertentu yang menurut sistem memenuhi kriteria uji sederhana dan dapat langsung ditindaklanjuti.

Secara administratif, pendekatan ini efektif. 

Negara dapat memetakan potensi ketidakpatuhan lebih cepat, lebih luas, dan relatif lebih efisien. Namun, di sinilah paradoks muncul. Ketika analisis berbasis algoritma dianggap netral dan objektif, publik sering lupa bahwa algoritma tidak pernah benar-benar netral. Ia dibangun dari desain, asumsi, dan parameter yang disusun manusia.

Dalam konteks fiskal, desain data mencerminkan cara negara memandang risiko. Sistem membaca realitas melalui kategori yang telah ditentukan: mana yang dianggap anomali, mana yang masuk high risk, mana yang perlu segera ditindaklanjuti. Padahal, realitas bisnis tidak selalu tunduk pada pola linear yang dapat ditangkap oleh model statistik.

Bahaya terbesarnya bukan pada kesalahan teknis semata, melainkan pada ilusi objektivitas. Ketika hasil analisis sistem dianggap “pasti benar”, ruang koreksi manusia justru menyempit. Fiskus berpotensi lebih tunduk pada layar komputer daripada pada nalar profesionalnya sendiri. Wajib pajak, di sisi lain, merasa berhadapan dengan putusan mesin, bukan ruang dialog administratif.

Jika tidak dikawal dengan prinsip kehati-hatian, negara algoritmik berisiko menjelma menjadi negara yang efisien tetapi miskin empati. Dan keadilan fiskal tidak bisa diukur semata dari kecepatan notifikasi atau jumlah data yang dikoreksi.

2. Reposisi Konsultan Pajak: Dari Intuisi ke Interpretasi Sistem

Perubahan ini paling nyata terasa oleh profesi konsultan pajak. Selama ini, profesi ini berdiri di antara dunia usaha dan negara menerjemahkan regulasi ke praktik bisnis, dan kepentingan bisnis ke dalam bahasa fiskal. Nilai tambah utama mereka bukan sekadar hafal pasal, tetapi kemampuan membaca konteks, risiko, dan implikasi strategis.

Namun di era algoritmik, intuisi profesional menghadapi kompetitor baru: sistem prediktif DJP.

Jika dulu konsultan diminta menyusun strategi kepatuhan, kini mereka dituntut memahami bagaimana sistem memersepsikan kepatuhan itu sendiri. Mereka harus memahami bagaimana data klien diolah, dikaitkan, dan diberi skor risiko oleh mesin. 

Profesi ini bergeser dari sekadar “penasihat pajak” menjadi penerjemah logika algoritmik negara ke dalam bahasa bisnis klien.

Perubahan ini menghadirkan dua kemungkinan. Pertama, profesi konsultan pajak naik kelas: lebih berbasis data, lebih strategis, lebih sistemik. 

Kedua, jika gagal beradaptasi, mereka terancam tergerus oleh otomatisasi. Klien bisa saja bertanya: “Jika sistem sudah tahu semuanya, untuk apa lagi saya perlu konsultan?”

Jawaban atas pertanyaan itu terletak pada satu hal yang tidak dimiliki mesin: penilaian etis dan kontekstual. Algoritma tidak memahami dinamika bisnis, tekanan pasar, atau dilema kepatuhan dalam sektor-sektor tertentu. Ia tidak tahu kapan kesalahan bersifat administratif, dan kapan harus dibaca sebagai niat menghindar.

Di situlah ruang manusia tetap relevan. Konsultan pajak harus menjadi penjaga keseimbangan antara logika teknologi dan rasa keadilan klien. Bukan sebagai pelawan sistem, tetapi sebagai penafsir yang etis.

3. Dunia Usaha dan Risiko Dehumanisasi Pajak

Bagi dunia usaha, era baru ini menuntut lebih dari sekadar kepatuhan formal. Ia menuntut kepatuhan digital-struktural. Artinya, bukan hanya benar secara hukum, tetapi juga sinkron secara sistem.

Kesalahan input, perbedaan waktu pencatatan, atau keterlambatan pelaporan yang dulu dapat dijelaskan dengan surat klarifikasi kini berpotensi langsung dikenai tindak lanjut berbasis data sistem. Margin koreksi manusia semakin sempit. Dunia usaha bergerak di bawah radar yang nyaris real-time.

Dalam jangka pendek, ini mungkin meningkatkan kepatuhan formal. Namun dalam jangka panjang, ada risiko yang lebih subtil: dehumanisasi relasi perpajakan.

Jika setiap transaksi dianggap “berisiko” hanya karena menyimpang dari pola data, wajib pajak bisa merasa selalu dalam posisi terancam. Kepatuhan yang lahir dari rasa takut cenderung rapuh. Ia menciptakan ketaatan semu, bukan loyalitas fiskal.

Padahal, berbagai riset kepatuhan menunjukkan bahwa keadilan prosedural merasakan didengar, diperlakukan wajar, diberi ruang klarifikasi berperan besar dalam menciptakan kepatuhan sukarela. Jika ruang itu tersubstitusi sepenuhnya oleh mesin, kontrak sosial fiskal berpotensi terkikis.

Di sinilah desain kebijakan memegang peran penting. Pengawasan berbasis data harus diimbangi dengan mekanisme dialog administratif yang manusiawi. Sistem boleh memberi sinyal, tetapi keputusan harus tetap memberi ruang bagi pertimbangan manusia.

Menjaga Mesin dalam Bingkai Etika Fiskal

Modernisasi perpajakan adalah keniscayaan. Tidak ada negara yang bisa mundur dari digitalisasi pajak. Namun yang sering luput adalah memastikan bahwa modernisasi tidak menggerus nilai dasar yang membuat sistem pajak tetap sah secara moral: keadilan, proporsionalitas, dan partisipasi warga.

Algoritma sangat andal menghitung. Tapi ia tidak punya rasa keadilan. Di sinilah manusia tak bisa dikeluarkan dari persamaan.

DJP perlu memastikan bahwa sistem baru tidak hanya efisien, tetapi juga dapat dijelaskan (explainable). Wajib pajak harus tahu: mengapa suatu data dianggap menyimpang, parameter apa yang dipakai, dan di mana ruang keberatan atau klarifikasi diberikan.

Konsultan pajak, di sisi lain, harus bertransformasi menjadi ethical data interpreter. Dunia usaha pun harus membangun tata kelola pajak internal yang tidak hanya patuh, tetapi juga transparan dan terintegrasi dengan sistem. Karena pajak bukan sekadar soal kecocokan angka, tetapi soal kepercayaan. Dan kepercayaan tidak tumbuh dari mesin, melainkan dari relasi manusia yang adil.

Penutup

Saat algoritma mulai menggantikan intuisi fiskal, yang dipertaruhkan bukan hanya efisiensi penerimaan negara, melainkan kualitas relasi antara negara dan pembayar pajaknya. Mesin boleh berbicara dalam bahasa data, tetapi keadilan tetap harus berbicara dalam bahasa manusia.

Penulis adalah Ketua Departemen Humas IKPI, Dosen, dan Praktisi Perpajakan

Jemmi Sutiono

Email:   jemmi.sutiono@gmail.com

 Disclaimer: Tulisan ini merupakan pandangan dan pendapat pribadi penulis

Menkeu Pastikan Anggaran Bencana Aman, Tambahan Dana Siap Digelontorkan Jika Dibutuhkan

IKPI, Jakarta: Pemerintah memastikan ketersediaan anggaran untuk penanganan bencana di Sumatera tetap aman, meskipun terjadi penurunan realisasi dari sekitar Rp2 triliun menjadi Rp491 miliar. Kementerian Keuangan menegaskan bahwa penyesuaian tersebut bukan pengurangan prioritas, melainkan menyesuaikan permintaan dana dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan hal itu dalam Rapimnas Kadin di Park Hyatt Jakarta, Senin (1/12/2025). Ia menegaskan bahwa anggaran yang tersedia masih mencukupi untuk mendukung operasi tanggap darurat, pemulihan infrastruktur, hingga perlindungan sosial bagi warga terdampak.

“Anggaran BNPB masih ada lebih dari Rp500 miliar yang siap digunakan. Nanti kalau butuh dana tambahan, kita siap menambah. Sudah ada di anggarannya,” kata Purbaya.

Ia menjelaskan bahwa cadangan fiskal pemerintah masih sangat memadai sehingga Kemenkeu dapat langsung menambah anggaran jika BNPB mengajukan kebutuhan tambahan melalui skema anggaran belanja tambahan (ABT). Menurutnya, pemerintah memberikan ruang seluas-luasnya agar penanganan bencana tidak terhambat persoalan anggaran.

Purbaya menegaskan bahwa kesiapan pendanaan ini merupakan bentuk komitmen pemerintah dalam menangani bencana secara cepat dan terkoordinasi. “Kita siap terus,” ujarnya.

Berdasarkan data per Senin (1/12/2025), banjir yang melanda Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh telah berdampak pada 104.901 keluarga atau 526.098 jiwa. Selain itu, ratusan fasilitas umum seperti sekolah, perkantoran, rumah ibadah, dan pesantren mengalami kerusakan.

Pemerintah memastikan proses penanganan dan pemulihan di wilayah terdampak akan dipercepat, dengan dukungan anggaran yang dapat ditambah kapan saja sesuai kebutuhan lapangan. (alf)

Purbaya Siapkan Langkah Lanjutan Usai Tutup Keran Balpres: Baja hingga Sepatu Jadi Target Pengawasan

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa langkah pemerintah menutup pintu masuk barang ilegal ke Indonesia tidak akan berhenti pada kebijakan penertiban impor pakaian bekas (balpres). Dalam waktu dekat, produk lain seperti baja dan sepatu juga akan menjadi fokus pengawasan.

Saat membuka Rapimnas Kadin 2025, Senin (1/12/2025), Purbaya menekankan bahwa kebijakan ini bukan soal pro-kontra tren thrifting, melainkan murni upaya menjaga pasar domestik dari serbuan barang ilegal.

“Kalau kemarin ribut-ribut thrifting, saya enggak peduli thrifting-nya. Pokoknya baju bekas ilegal masuk, kita tutup. Nanti habis itu baja, habis itu sepatu, habis itu yang lain-lain,” ujarnya dalam acara yang disiarkan secara virtual.

Menurut dia, menjaga kekuatan domestik menjadi kunci agar Indonesia tidak mudah terpengaruh gejolak global. Apalagi, kontribusi permintaan dalam negeri (domestic demand) terhadap perekonomian nasional mencapai sekitar 90 persen.

“Kita enggak usah takut dengan global uncertainty. Tiap tahun pasti ada dan tidak bisa kita kendalikan. Ngapain pusing? Kita fokus saja ke domestik demand. Kalau itu dijaga, ekonomi kita tidak akan goyah walaupun ekonomi global hancur,” kata Purbaya.

Purbaya kemudian mengulas pengalaman Indonesia dalam menghadapi krisis keuangan global 2008–2009. Saat sejumlah negara seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Korea Selatan, Jepang, negara-negara Eropa, hingga Amerika Serikat mengalami kontraksi ekonomi, Indonesia justru tumbuh 4,6 persen. Saat itu, hanya China dan India yang mencatatkan kinerja serupa.

Ia menjelaskan bahwa kebijakan menjaga permintaan domestik sudah terbukti efektif. Pada krisis 1997–1998, suku bunga naik mengikuti rekomendasi pengetatan IMF. Namun pada 2008–2009, pemerintah mengambil arah sebaliknya: menurunkan suku bunga dan mendorong ekspansi fiskal.

“Selama kita jaga domestic demand, ekonomi kita bagus. Tapi kalau domestic demand dikuasai asing, buat apa?” ujarnya. (alf)

Purbaya Ungkap Strategi Genjot Pertumbuhan Ekonomi di Rapimnas Kadin 2025

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memaparkan strategi percepatan ekonomi yang langsung ia jalankan sejak dipercaya Presiden Prabowo Subianto memimpin Kementerian Keuangan pada 8 September 2025. Di hadapan para pelaku usaha dalam Pembukaan Rapimnas Kadin 2025, Jakarta, Senin (1/12/2025), Purbaya menjelaskan bahwa langkah pertamanya adalah menghidupkan kembali peredaran uang primer (M0) yang selama ini stagnan.

Menurut Purbaya, lemahnya pertumbuhan uang primer menjadi sinyal jelas bahwa aktivitas ekonomi masyarakat tertekan. Kondisi itu, katanya, menjadi salah satu faktor yang memicu munculnya aksi demonstrasi besar-besaran pada Agustus hingga September 2025.

Ia mengungkapkan bahwa gejolak sosial saat itu membuat pemerintah perlu melakukan penilaian khusus terhadap risiko ekonomi dan politik.

“Orang-orang turun ke jalan, demo besar-besaran, dan kami perlu melihat apakah situasi itu akan mereda atau justru berlanjut,” kata Purbaya.

Dari analisis pemerintah, protes tidak akan hilang jika tekanan ekonomi tidak segera diatasi. Bahkan, ia menyebut potensi instabilitas politik dapat muncul jika kondisi tersebut berlanjut hingga tahun berikutnya.

“Kalau ekonominya tidak diperbaiki, demonstrasi bisa berlarut-larut dan awal tahun depan bisa saja timbul pergantian kekuasaan yang biayanya besar sekali bagi masyarakat,” ujarnya.

Purbaya menegaskan bahwa ekonomi saat itu seperti “direm”, sehingga kebijakan ekspansif diperlukan untuk menggerakkan kembali aktivitas di tingkat rumah tangga dan dunia usaha.

Salah satu kebijakan paling krusial adalah mengalirkan dana pemerintah yang selama ini mengendap di Bank Indonesia. Total dana menganggur yang dilepas ke sistem keuangan mencapai Rp276 triliun, dan disalurkan melalui perbankan agar dapat mendorong likuiditas serta kredit kepada masyarakat.

Kebijakan tersebut mulai menunjukkan hasil. Purbaya menyampaikan bahwa peredaran uang primer sudah kembali meningkat hingga sekitar 13%. Ia melihat pulihnya likuiditas tersebut berdampak langsung pada meredanya ketegangan sosial yang sebelumnya sempat memuncak.

Langkah mempercepat aliran uang primer, menurut Purbaya, merupakan strategi awal untuk memulihkan kepercayaan publik sekaligus memperkuat fondasi pertumbuhan ekonomi ke depan. (alf)

Jepang Siapkan Pajak Flat 20% untuk Keuntungan Kripto

IKPI, Jakarta: Pemerintah Jepang dikabarkan memberi dukungan terhadap rencana penerapan flat tax 20% atas keuntungan aset kripto, sebuah perubahan besar yang berpotensi menata ulang pasar digital di negara tersebut. Rencana ini merupakan kelanjutan dari usulan Financial Services Agency (FSA) pada pertengahan November, dengan target pengajuan rancangan undang-undang pada awal 2026.

Menurut laporan Nikkei Asia, kebijakan baru ini bertujuan menyamakan perlakuan pajak kripto dengan instrumen keuangan seperti saham dan reksa dana. Saat ini, transaksi kripto dikategorikan sebagai “pendapatan lain-lain” dengan tarif progresif 5% hingga 45%, ditambah pajak daerah 10% untuk kelompok berpenghasilan tinggi. Total beban pajak dapat mencapai 55%, jauh lebih tinggi dibandingkan skema pajak 20% untuk saham.

Dengan tarif baru 20%, pelaku industri menilai beban pajak yang lebih ringan akan meningkatkan partisipasi investor dan memberi dorongan bagi pasar kripto domestik.

Reformasi pajak ini juga akan dimasukkan dalam kerangka perlindungan investor dalam revisi atas Financial Instruments and Exchange Act. FSA berencana mengajukan RUU tersebut pada sesi reguler Diet 2026, termasuk ketentuan pengawasan seperti larangan penggunaan informasi non-publik dan transparansi investasi yang lebih ketat.

Upaya ini merupakan hasil dari proses lobi panjang industri. Japan Blockchain Association (JBA) telah mendorong perubahan pajak sejak tiga tahun lalu. Pada Juli 2023, JBA menerbitkan rekomendasi resmi yang meminta pemerintah memberlakukan tarif pajak 20% agar selaras dengan instrumen investasi lainnya. Perubahan sikap FSA mulai terlihat sejak September 2024.

Jika disahkan, reformasi pajak ini diprediksi membuat Jepang semakin kompetitif dalam industri aset digital dan menarik kembali investor ritel maupun institusional. Meski begitu, implementasinya tetap bergantung pada proses politik di Parlemen Jepang pada 2026. Reformasi ini kian menegaskan peran Jepang sebagai negara yang aktif membangun regulasi kripto secara ketat namun progresif untuk mendukung pertumbuhan industri. (alf)

DPRD Kotabaru Sahkan Perubahan Perda Pajak dan Retribusi Daerah, Sesuaikan dengan Regulasi Nasional

IKPI, Jakarta: DPRD Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, resmi mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) perubahan atas Perda Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pengesahan dilakukan dalam rapat paripurna di Kotabaru, Senin, (1/12/2025) sebagai langkah untuk memastikan regulasi daerah selaras dengan ketentuan nasional.

Ketua DPRD Kotabaru, Suwanti, menjelaskan bahwa pembentukan Raperda ini berangkat dari kebutuhan masyarakat atas pembaruan aturan pajak daerah. Dari sisi sosiologis, katanya, masyarakat menuntut adanya kepastian hukum yang sesuai dengan dinamika regulasi terbaru.

“Maka pemerintah daerah harus segera menyesuaikan dengan menerbitkan peraturan daerah guna menindaklanjuti amanah undang-undang yang dimaksud,” ujarnya.

Suwanti menambahkan, Panitia Khusus (Pansus) II telah melakukan kajian mendalam sebelum akhirnya menyepakati Raperda tersebut untuk ditetapkan sebagai Peraturan Daerah Kabupaten Kotabaru.

Dari pihak eksekutif, Asisten Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Masyarakat, Minggu Basuki, mengungkapkan bahwa Kementerian Dalam Negeri telah melakukan evaluasi terhadap Perda Nomor 10 Tahun 2023. Hasilnya, ditemukan sejumlah ketentuan yang tidak lagi sejalan dengan UU Nomor 1 Tahun 2022 maupun PP Nomor 35 Tahun 2023.

“Hasil evaluasi menunjukkan beberapa ketentuan dalam perda tidak sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 2022 dan PP Nomor 35 Tahun 2023 sehingga harus dilakukan penyesuaian,” jelasnya.

Ia menegaskan bahwa perubahan ini diperlukan untuk memastikan keselarasan Perda dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta memenuhi catatan evaluasi dari Kemendagri.

Adapun ruang lingkup perubahan meliputi penyesuaian objek dan pengecualian pajak, dasar pengenaan, tarif pajak, ketentuan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), kewajiban notaris dan pejabat lelang, pengaturan opsen, hingga penyempurnaan aturan retribusi. Seluruh pembaruan ini diharapkan dapat memperkuat tata kelola keuangan daerah. (alf)

Layanan Pajak Terdampak Banjir di Aceh dan Sumut, DJP Pastikan Evakuasi dan Pemulihan Berjalan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan melaporkan bahwa sejumlah kantor pelayanan pajak di Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) terendam banjir akibat cuaca ekstrem beberapa hari terakhir. Jajaran DJP dari pusat kini tengah mengevakuasi pegawai beserta keluarga yang terdampak.

“Beberapa unit kerja DJP di Aceh dan Sumatera Utara terdampak banjir dan saat ini sedang dalam proses penanganan,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, dikutip Selasa (2/12/2025).

Di Sumatera Utara, layanan tatap muka dihentikan sementara di KPP Pratama Sibolga serta KP2KP Pandan. Penghentian layanan diumumkan sejak 28 November 2025 dan belum dapat dipastikan kapan akan kembali beroperasi.

Sementara itu, di Aceh terdapat lebih banyak kantor pajak yang operasionalnya terganggu. Lokasi terdampak meliputi KPP Pratama Langsa, KP2KP Karang Baru, KP2KP Blangkejeren, KPP Pratama Lhokseumawe, KP2KP Lhoksukon, KP2KP Aceh Singkil, KP2KP Sigli, KP2KP Takengon, serta KP2KP Rimba Raya.

Meski pelayanan langsung terhambat, DJP memastikan konsultasi perpajakan melalui kanal online tetap berjalan normal. Pegawai yang tidak terdampak diminta tetap bekerja dari lokasi masing-masing untuk menjaga kelancaran layanan.

Prosedur Darurat Diaktifkan

Rosmauli menegaskan bahwa DJP telah mengaktifkan prosedur darurat sebagai bagian dari manajemen keberlangsungan bisnis. Upaya ini mencakup pengalihan layanan administrasi ke unit terdekat bila diperlukan.

“Kami akan memastikan agar layanan administrasi perpajakan dapat segera pulih. Prosedur darurat telah diaktifkan untuk menjaga keberlangsungan pelayanan,” ungkapnya.

Selain evakuasi, penyaluran bantuan logistik kepada pegawai dan keluarga yang terdampak juga terus dilakukan. Distribusi kebutuhan darurat turut dibantu oleh kapal patroli Bea Cukai yang mengangkut pasokan dari pusat.

“Di situasi seperti ini, yang terpenting adalah keselamatan dan terpenuhinya kebutuhan dasar warga. Kami terus berkoordinasi agar dukungan logistik dapat benar-benar membantu meringankan beban saudara-saudara kita di daerah terdampak,” tutur Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai, Nirwala Dwi Heryanto.

DJP menyatakan akan memberikan informasi lanjutan mengenai pemulihan layanan seiring membaiknya kondisi di wilayah terdampak. (alf)

Penyebab Bunching dan Firm-Splitting di Kalangan Pengusaha UMKM

Timbulnya praktik menahan omzet (bunching) hingga pemecahan usaha (firm-splitting) menunjukkan bahwa fasilitas ini rawan disalahgunakan oleh pelaku usaha yang sebenarnya sudah tidak lagi memenuhi kriteria UMKM.

Pengusaha UMKM yang dalam hal ini nota bene merupakan wajib pajak orang pribadi, menurut penulis tidak semata-mata melakukan atau menyalahgunakan fasilitas ini untuk menghindari pembayaran PPh yang lebih besar termasuk menghindari kewajiban pembukuan atau memilih perhitungan norma. Justru, praktik tersebut lebih sering dipicu oleh keinginan menghindari kewajiban pemungutan PPN.

Pengusaha UMKM yang bergerak di berbagai sektor dan jenis industri, baik produsen maupun pedagang, akan bermain di berbagai segmen produk yang membentuk pasar dengan tingkat kompetisi cukup ketat atas produk-produk selevel.

Bagi pelaku usaha (penjual) yang memasarkan produk tertentu dengan level yang sama seperti kompetitor lainnya yang mayoritas bukan PKP (omzet di bawah Rp4,8 miliar per tahun), serta melayani pembeli yang umumnya merupakan orang pribadi (pedagang/end-user) berstatus non-PKP, maka ketika salah satu pengusaha UMKM tersebut omzetnya melebihi Rp4,8 miliar dan mengukuhkan diri sebagai PKP, ia akan menghadapi kesulitan dalam memungut PPN. Hal ini kemudian menimbulkan tekanan pada arus kas (cash flow).

Mayoritas pembeli yang notabene pedagang/end-user cenderung menolak dipungut PPN karena adanya kenaikan harga pokok. Akibatnya, daya jual menurun sehingga pembeli akan beralih ke penjual lain yang masih berstatus non-PKP.

Kesulitan PKP dalam memungut PPN terjadi karena belum terciptanya bargaining power yang memadai bagi pengusaha tersebut dalam mempengaruhi pembeli. Sebaliknya, justru pembeli yang dapat mengendalikan harga karena pasar dipenuhi oleh kompetitor non-PKP dengan produk selevel.

Pengusaha UMKM yang taat menjalankan kewajiban PPN dan telah berstatus PKP di tengah persaingan atas produk sejenis yang mayoritas tidak memungut PPN, berpotensi merusak bisnisnya sendiri karena pelanggan akan lari. Jika tetap ingin bertahan, pengusaha biasanya harus menetapkan harga jual termasuk PPN sehingga nilai penjualan (DPP) yang dibukukan menjadi lebih kecil karena sebagian nilai tersebut terserap sebagai PPN seolah termasuk di dalam harga jual.

Kesimpulan

Perlu adanya perbaikan kebijakan oleh pemerintah untuk menciptakan pemerataan PKP antar kompetitor dalam sektor-sektor usaha sejenis dengan produk selevel. Tujuannya, agar karakteristik pasar (pembeli) tidak memiliki pilihan untuk membeli dari penjual non-PKP, sehingga pemerintah dapat selalu selangkah lebih maju dalam menekan praktik penghindaran pajak.

Pemerataan PKP dapat ditempuh, misalnya, melalui kebijakan penurunan threshold batasan PKP menjadi Rp3,6 miliar per tahun, atau kebijakan lain yang relevan. Ke depannya, pengusaha dengan skala usaha yang sebenarnya sudah melampaui batasan UMKM dapat melaporkan kondisinya secara aktual tanpa perlu khawatir bisnisnya tergerus atau bahkan mati karena menanggung PPN secara berkepanjangan.

Persaingan usaha pun menjadi lebih sehat karena tidak seharusnya persaingan pada produk selevel ditentukan oleh faktor pajak (PPN).

Pada akhirnya, jika mayoritas pelaku usaha sudah berada dalam posisi PKP yang lebih merata, maka penerapan tarif PPh Final 0,5% secara permanen akan lebih efektif dan tepat sasaran hanya bagi pengusaha UMKM yang benar-benar berhak menikmati fasilitas tersebut karena tidak lagi ada dorongan untuk melakukan praktik bunching maupun firm-splitting.

Penulis adalah Anggota Departemen Keanggotaan dan Pembinaan IKPI

Eddy Christian, SE, MSi, BKP

Email: eddychris1090@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

en_US