IKPI Bawa Isu Etika Profesi dan Kebijakan Pajak di AOTCA 2025

IKPI, Kathmandu, Nepal: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) kembali menunjukkan peran strategisnya dalam percaturan perpajakan internasional. Pada gelaran Asia Oceania Tax Consultants’ Association (AOTCA) International Tax Conference 2025, dua delegasi IKPI tampil sebagai pembicara dengan membawa dua isu utama: etika profesi dan tantangan implementasi kebijakan pajak di negara berkembang.

Konferensi yang berlangsung 18–21 November 2025 di The Soaltee Kathmandu ini dihadiri lebih dari 500 delegasi dari 30 negara di Asia, Oseania, dan Afrika. Dengan tema besar “Evolution of Tax Laws in Developing Countries and the Role of Tax Professionals”, forum ini menjadi ruang bagi negara berkembang untuk berbagi pengalaman dalam memperkuat fondasi administrasi dan kebijakan perpajakan.

Wakil Ketua Departemen Hubungan Internasional IKPI, Ichwan Sukardi, yang tampil pada sesi Ethics and Professional Conduct, menyoroti pentingnya menjaga standar integritas di tengah pesatnya perubahan global. Ethics and Professional Conduct berlaku universal – sedangkan aturan perpajakan, umumnya berlaku domestic dan berbeda-beda tiap negara.

“Teknologi berubah, kebijakan berubah, tetapi etika tidak boleh ikut berubah. Integritas adalah fondasi profesi pajak. Tanpa itu, seluruh sistem bisa runtuh,” tegas Ichwan, Rabu (19/11/2025).

Ia menekankan bahwa negara berkembang menghadapi tekanan globalisasi, disrupsi digital, dan peningkatan kompleksitas transaksi. Kondisi tersebut membuat peran profesional pajak semakin krusial sebagai penjaga kredibilitas sistem perpajakan..

Selain etika, IKPI juga membawa isu penting mengenai implementasi kebijakan pajak. Melalui paparan David Tjhai, IKPI membahas bagaimana negara berkembang kerap berada di persimpangan antara kebutuhan peningkatan penerimaan dan kemampuan administrasi pajaknya.

David mengangkat berbagai hambatan yang sering muncul, seperti keterbatasan infrastruktur digital, resistensi wajib pajak, serta ketidaksinkronan antara kebijakan dan realitas ekonomi. Dalam paparannya, David menekankan perlunya harmonisasi kebijakan antara pusat dan daerah, serta perlunya penguatan kapasitas aparatur pajak.

Selain dua materi yang dibawa IKPI, konferensi ini juga mengupas berbagai isu strategis seperti:
• evolusi sistem pajak di negara berkembang
• tantangan dalam implementasi kebijakan
• peran profesional pajak dalam memastikan kepatuhan global
• transformasi digital administrasi pajak
• Green Taxes (pajak lingkungan) dan kebijakan pembangunan berkelanjutan

Isu-isu tersebut menjadi relevan karena banyak negara anggota AOTCA menghadapi tantangan yang serupa.

Selain itu, Presiden AOTCA Ruston Tambunan, yang juga merupakan Ketua Umum IKPI periode 2022-2024 menegaskan pentingnya kerja sama antarnegara untuk menghadapi tantangan global. Ia mengingatkan bahwa AOTCA terus berkontribusi dalam pembahasan kebijakan internasional, termasuk pada isu Pillar 1 & 2 OECD.

Sementara, Presiden GTAP, Prof. Piergiorgio Valente, menambahkan bahwa transfer pricing kini menjadi isu paling kritis bagi negara berkembang. Ia juga mendorong pemanfaatan Advanced Pricing Agreement (APA) untuk mengurangi sengketa pajak internasional.

Sebagai penyelenggara, Nepal Tax Consultants’ Chamber (NCTC) memanfaatkan AOTCA 2025 untuk menampilkan pencapaian reformasi perpajakannya dan memperkuat posisi Nepal sebagai destinasi konferensi skala internasional.

Menurut Ichwan, kehadiran delegasi IKPI di sesi pembicara AOTCA 2025 menunjukkan posisi penting Indonesia dalam dialog perpajakan internasional. Dengan membawa isu fundamental seperti etika profesi dan kebijakan pajak, IKPI menegaskan komitmennya pada standar tinggi profesionalisme dan kontribusi aktif pada perkembangan perpajakan global. (bl)

BCA KCU Solo Gandeng IKPI Surakarta Gelar Biz Talk 2025: Tekankan “Pajak Aman, Bisnis Nyaman” Hadapi Coretax

IKPI, Surakarta: BCA KCU Solo menggandeng Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Surakarta dalam penyelenggaraan Mini Gathering 2025 – Biz Talk bertema “Pajak Aman, Bisnis Nyaman” pada Senin (17/11/2025) di Nawa Bistro, Solo. Kegiatan ini digelar untuk memperkuat kolaborasi BCA–IKPI sekaligus memberikan pembekalan kepada para nasabah mengenai implementasi Coretax dan persiapan pelaporan SPT Tahunan berbasis sistem baru sebelum tahun 2025 berakhir.

Acara berlangsung pukul 10.30–13.00 WIB dan dihadiri 42 nasabah, baik perorangan maupun perusahaan. Dari IKPI Cabang Surakarta hadir empat Srikandi IKPI: Antin Okfitasari (bendahara), Aulia Kurniawan (Sie Litbang), Natalia Ratih (sekretaris), dan Janny Prabowo (humas). Pada kesempatan tersebut, Antin Okfitasari sekaligus tampil sebagai narasumber dengan materi “Prepare SPT Tahunan Berbasis Coretax”.

Kepala Pengembangan Bisnis BCA KCU Solo, Wahyu Hariatmanto, membuka acara dengan menyampaikan apresiasi kepada para peserta yang hadir. Ia menyebutkan bahwa kegiatan ini merupakan bentuk komitmen BCA dalam memberikan pendampingan kepada nasabah terkait perubahan besar sistem perpajakan yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025.

Wahyu juga menyampaikan rasa terima kasih kepada IKPI Surakarta yang bersedia menjadi narasumber dan berharap kerja sama ini terus berlanjut, terutama dalam bidang edukasi perpajakan. “Semoga kegiatan ini memberikan pencerahan terkait pelaporan SPT Tahunan melalui aplikasi Coretax yang menggantikan DJP Online,” ujarnya.

Dalam sesi materi, IKPI memaparkan secara detail mengenai apa itu Coretax, fitur-fitur barunya, perbedaan dengan sistem sebelumnya, serta simulasi pelaporan SPT Tahunan Orang Pribadi dan Badan. Penjelasan ini menjadi penting karena Coretax kini menyatukan beberapa modul perpajakan dalam satu sistem terpadu.

Para peserta, yang didominasi pengusaha, menunjukkan antusiasme tinggi. Banyak pertanyaan yang muncul, mulai dari penggabungan NPWP istri dengan suami, cara menonaktifkan NPWP yang tidak digunakan, hingga langkah mengecek apakah seseorang memiliki NPWP aktif atau tidak.

Pada kesempatan itu, BCA menyerahkan vandel kepada IKPI Cabang Surakarta sebagai simbol apresiasi dan kerja sama berkelanjutan. Acara kemudian ditutup dengan makan siang bersama yang menjadi ajang diskusi santai antara peserta dan konsultan pajak.

Kolaborasi ini mempertegas komitmen BCA dan IKPI Surakarta untuk membantu wajib pajak menghadapi era baru perpajakan berbasis Coretax mewujudkan pajak yang aman dan bisnis yang semakin nyaman. (bl)

Kupas Tuntas Penanggung Pajak, Humala Napitupulu: Surat Paksa Bisa Batal Demi Hukum

IKPI, Jakarta: Seminar perpajakan IKPI Pengda DKJ pada Rabu (19/11/2025) berlangsung dinamis ketika Humala Napitupulu memaparkan analisis mendalam mengenai batasan tanggung jawab penanggung pajak, khususnya terkait penerbitan surat paksa dan proses penagihan aktif.

Humala menjelaskan bahwa dalam kerangka hukum pajak modern, surat paksa merupakan tindakan penagihan yang memiliki kekuatan eksekutorial setara putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Namun kekuatan tersebut tetap tunduk pada prinsip due process of law.

“Kalau wajib pajak sedang mengajukan keberatan atau banding, tindakan penagihan tidak boleh dilakukan. Kalau surat paksa diterbitkan dalam kondisi itu, tindakan tersebut inkonstitusional dan surat paksanya batal demi hukum,” tegasnya.

Ia mencontohkan beberapa kasus di lapangan di mana wajib pajak menerima surat paksa sementara proses keberatan masih berjalan. Menurut Humala, kondisi tersebut merugikan wajib pajak karena berdampak pada perhitungan daluarsa penagihan.

“Kalau surat paksa batal demi hukum, maka daluarsa dihitung kembali dari awal. Ibarat kilometer mobil di-reset,” ujarnya.

Dalam sesi diskusi, ia menekankan bahwa DJP memang memiliki hak melakukan penagihan aktif sepanjang wajib pajak tidak berada dalam proses keberatan atau banding. Namun setiap tindakan paksa wajib memenuhi tiga prinsip:

• Wajib pajak diberi tahu,

• Diberi kesempatan menyanggah, dan

• Disediakan mekanisme penyelesaian.

“Kalau tiga prinsip ini dilanggar, tindakan penagihan bisa dibatalkan,” jelasnya.

Humala juga menyinggung luasnya cakupan penanggung pajak dalam Pasal 32 dan 32A UU KUP yang memungkinkan tanggung jawab meluas hingga harta pribadi pengurus. Hal inilah yang menurutnya sering menimbulkan perdebatan terkait keadilan dan batas kewenangan negara.

Isu lain yang menjadi perhatian Humala adalah kebutuhan perlindungan hukum dalam rezim penagihan modern. Ia mengingatkan bahwa banyak tindakan paksa seperti blokir rekening kini dilakukan oleh pihak lain di luar pemerintah, sehingga pengawasan dan akuntabilitas harus diperkuat.

Menanggapi pertanyaan soal penerapan restorative justice dalam perpajakan, Humala menilai pendekatan tersebut pernah dicoba namun belum sepenuhnya efektif. 

“Restorative justice menekankan pemulihan, bukan penghukuman. Tapi dalam perpajakan, kita tetap berhadapan dengan batas waktu penagihan yang kaku,” ujarnya.

Ia kembali menegaskan pentingnya memahami alur hukum penagihan agar penanggung pajak tidak dirugikan: “Kita harus paham dulu aturan dan batasannya. Baru kita bisa tahu apakah kita benar-benar harus bertanggung jawab atau tidak,” katanya. (bl)

Singapura Jadi Pelopor Pajak Bahan Bakar Hijau untuk Penumpang Pesawat Mulai 2026

IKPI, Jakarta: Singapura resmi menjadi negara pertama di dunia yang menerapkan pajak bahan bakar hijau atau green fuel levy bagi penumpang pesawat. Kebijakan ini merupakan bagian dari strategi besar negeri tersebut untuk mempercepat dekarbonisasi sektor penerbangan dan berkontribusi pada target emisi global.

Mengutip laporan Independent, Otoritas Penerbangan Sipil Singapura (CAAS) akan memberlakukan biaya bahan bakar penerbangan berkelanjutan (SAF levy) bagi seluruh penumpang yang berangkat dari Singapura mulai 1 Oktober 2026. Adapun mulai 1 April 2026, seluruh tiket, layanan kargo, hingga penerbangan bisnis yang dijual wajib memasukkan komponen biaya ini.

Tarif Berdasarkan Jarak dan Kelas Kabin

Besaran pungutan akan disesuaikan dengan jarak penerbangan dan kelas perjalanan, serta dikelompokkan dalam empat wilayah geografis:

1. Kelompok 1: Asia Tenggara

2. Kelompok 2: Asia Timur Laut, Asia Selatan, Australia, Papua Nugini

3. Kelompok 3: Afrika, Asia Tengah dan Barat, Eropa, Timur Tengah, Kepulauan Pasifik, Selandia Baru

4. Kelompok 4: Amerika

Sebagai gambaran, penumpang kelas ekonomi akan dikenakan biaya:

• S$1 untuk rute Singapura–Bangkok

• S$2,80 untuk Singapura–Tokyo

• S$6,40 untuk Singapura–London

• S$10,40 untuk Singapura–New York

Maskapai diwajibkan mencantumkan komponen biaya ini sebagai baris terpisah pada tiket pesawat yang dijual. Namun, pungutan SAF tidak berlaku bagi penumpang yang hanya transit di Singapura.

Komitmen Menuju Emisi Nol Bersih

Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) telah menargetkan emisi karbon nol bersih pada 2050 untuk penerbangan internasional. Singapura menegaskan dukungannya terhadap target tersebut melalui kebijakan SAF levy ini.

Direktur Jenderal CAAS, Han Kok Juan, menyebut kebijakan tersebut sebagai tonggak penting dalam transformasi sektor penerbangan.

“Pengenalan Retribusi SAF menandai langkah signifikan dalam upaya Singapura membangun pusat udara yang lebih berkelanjutan dan kompetitif,” ujarnya.

“Kita perlu memulai. Kita melakukannya secara terukur, dan memberi waktu bagi industri, bisnis, dan publik untuk beradaptasi,” tambahnya.

Dengan langkah ini, Singapura berambisi tidak hanya mengurangi jejak karbon, tetapi juga menjadi contoh global dalam transisi energi bersih untuk sektor penerbangan. (alf)

Dirjen Pajak Kembali Pertegas Strategi Kejar Target Penerimaan Pajak 2026

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, kembali menegaskan strategi besar Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam mengejar target penerimaan tahun 2026 yang dipatok mencapai Rp 2.357,7 triliun. Kepastian ini ia sampaikan pada tayangan Tax Time CNBC Indonesia, Selasa (18/11/2025). 

Bimo memastikan bahwa upaya mengejar target tersebut tidak akan dilakukan dengan menambah jenis pajak baru ataupun menaikkan tarif pajak.

“Sesuai arahan Menteri Keuangan, kita tidak akan mengeluarkan kebijakan materi perpajakan baru,” ujar Bimo.

Bimo menyebut strategi pertama adalah memastikan pemulihan daya beli masyarakat agar aktivitas ekonomi kembali bergerak cepat. Pemerintah mendorong percepatan belanja negara serta memanfaatkan dana pemerintah yang sebelumnya mengendap di Bank Indonesia.

Sebanyak Rp 276 triliun ditempatkan ke perbankan untuk disalurkan sebagai kredit produktif—Rp 200 triliun pada September dan tambahan Rp 76 triliun pada November 2025.

“Dampaknya mulai terlihat pada konsumsi, investasi, hingga pertumbuhan ekonomi, yang akhirnya ikut mendongkrak penerimaan perpajakan,” jelasnya.

Insentif perpajakan juga akan disusun lebih terukur agar sektor strategis mampu mempertahankan daya beli dan terus tumbuh.

Strategi kedua adalah memperkuat sistem administrasi perpajakan dengan terus menyempurnakan layanan digital melalui Coretax.

“Coretax kita benahi terus, kita sempurnakan terus,” tegas Bimo.

Digitalisasi diyakini mampu meningkatkan kepatuhan wajib pajak sekaligus efisiensi layanan.

Bangun Kepercayaan Publik, Tegaskan Zero Tolerance terhadap Fraud

Dalam strategi ketiga, DJP berkomitmen memperkuat integritas internal. Bimo menegaskan tidak ada toleransi bagi pegawai pajak yang melakukan penyimpangan.

“Fiskus adalah garda terdepan. Dari 44 ribu pegawai di DJP, kalau ada satu saja yang melakukan fraud, saya tidak akan mentoleransi,” ujar Bimo.

Ia menilai kepercayaan publik adalah pondasi penerimaan negara, sehingga perbaikan tata kelola menjadi kunci.

Strategi keempat adalah mendesain ulang insentif perpajakan agar semakin terarah dan benar-benar menyentuh sektor usaha yang membutuhkan stimulus. Langkah ini diharapkan tidak hanya menjaga iklim usaha, tetapi juga memastikan wajib pajak tetap patuh.

Strategi kelima adalah memperkuat pengawasan kepatuhan material melalui audit, pengujian pembayaran, serta menutup berbagai celah kebocoran pajak, seperti base erosion, tax avoidance, hingga pengalihan aset ke luar negeri.

DJP juga memperkuat kerja sama dengan berbagai lembaga seperti Bea Cukai, DJA, Polri, Kejaksaan Agung, KPK, PPATK, dan BPKP.

“Kolaborasi lintas lembaga akan terus diperkuat untuk menjaga penerimaan negara,” tegas Bimo.

Dengan lima strategi tersebut, DJP optimistis target penerimaan pajak 2026 dapat tercapai tanpa menambah beban masyarakat melalui pajak baru. (alf)

DJP Tegaskan Pengisian Angsuran PPh Pasal 25 Kini Wajib Lewat Lampiran 6 di Coretax

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali mengingatkan wajib pajak badan mengenai perubahan tata cara penghitungan angsuran PPh Pasal 25 dalam pelaporan SPT Tahunan PPh Badan. Melalui implementasi Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax) dan penegasan dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-11/PJ/2025, perhitungan angsuran kini dilakukan pada Lampiran 6, bukan lagi pada Formulir Induk 1771 Bagian E seperti tahun-tahun sebelumnya.

Lampiran 6 Kini Jadi Bagian Wajib

Di sistem Coretax, Lampiran 6 tidak otomatis muncul. Wajib pajak harus memilih opsi “Tidak” pada Induk Bagian G angka 20 agar kolom perhitungan angsuran PPh Pasal 25 tampil dalam sistem.

Lampiran 6 terdiri dari dua bagian:

1. Bagian Header, berisi NPWP dan tahun pajak yang terisi otomatis;

2. Angsuran Pajak Penghasilan Tahun Pajak Berjalan, yang menjadi inti penghitungan angsuran.

Isi Data yang Harus Diperhatikan Wajib Pajak

Pada bagian perhitungan angsuran, wajib pajak diminta mengisi beberapa komponen penting, antara lain:

• Penghasilan yang menjadi dasar penghitungan angsuran, yaitu penghasilan neto fiskal. Jika terdapat kondisi khusus seperti penghasilan tidak teratur, wajib pajak perlu memastikan kembali kebenaran angka dasar penghitungan.

• Kompensasi kerugian fiskal, yang akan terisi otomatis dari Lampiran 7.

• Penghasilan Kena Pajak (PKP), hasil perhitungan dari penghasilan dasar dikurangi kompensasi kerugian.

• PPh terutang, diperoleh dari PKP dikalikan tarif yang berlaku.

• Kredit pajak tahun sebelumnya yang terkait dengan penghasilan dasar angsuran.

• PPh yang harus dibayar sendiri, yaitu PPh terutang dikurangi kredit pajak.

• Angsuran PPh Pasal 25, dihitung dengan membagi PPh yang harus dibayar sendiri dengan 12 bulan atau jumlah bulan dalam tahun pajak berjalan.

Setelah penghitungan selesai, nilai angsuran PPh Pasal 25 akan otomatis masuk ke Induk Bagian G sebagai dasar penetapan angsuran tahun berjalan.

Perubahan mekanisme ini diharapkan membuat proses pelaporan lebih akurat, terstruktur, dan selaras dengan standar administrasi perpajakan berbasis Coretax yang kini menjadi tulang punggung sistem DJP. Dengan demikian, wajib pajak badan diminta memastikan data yang diisi telah sesuai agar tidak terjadi kekeliruan dalam penentuan angsuran pajak sepanjang tahun. (alf)

DJP Luncurkan Layanan Validasi & Registrasi Massal NIK Pegawai via Portal NPWP 2.1

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi memperkenalkan Layanan Validasi dan Registrasi Massal NIK Pegawai melalui Portal NPWP versi 2.1, sebagai langkah strategis meningkatkan kualitas data identitas pegawai serta memperkuat integrasi Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax).

Melalui portal yang dapat diakses di portalnpwp.pajak.go.id, pemberi kerja baik badan usaha maupun instansi pemerintah dapat memvalidasi kesesuaian NIK, nama, nomor telepon, dan alamat email pegawai secara serentak. Tidak hanya itu, sistem juga menyediakan fitur registrasi otomatis bagi seluruh data yang dinyatakan valid.

Kehadiran fasilitas ini diharapkan menjadi solusi percepatan pemadanan identitas perpajakan para pegawai, sekaligus menghilangkan kebutuhan penggunaan NPWP sementara (format 999xxx) dalam proses penerbitan bukti pemotongan pajak. Dengan koneksi langsung ke sistem Coretax, alur administrasi perpajakan diharapkan menjadi lebih rapi, cepat, dan minim kesalahan.

Sebagai bagian dari implementasi layanan baru ini, DJP merilis Panduan Resmi “Validasi & Registrasi Massal NIK”, yang berisi tata cara:

1. pendaftaran akun pemberi kerja pada Portal NPWP;

2. pengisian dan pengunggahan berkas massal;

3. pemantauan status validasi dan registrasi;

4. serta tindak lanjut penerbitan ulang bukti potong setelah proses registrasi NIK berhasil.

Panduan tersebut dapat diunduh dengan mengklik ikon PDF yang disediakan, serta dapat dibagikan melalui tautan resmi: s.kemenkeu.go.id/validasiNIK.

DJP mengimbau seluruh pemberi kerja untuk segera memanfaatkan layanan baru tersebut agar data identitas pegawai akurat, sesuai ketentuan pemadanan NIK-NPWP, dan mendukung kelancaran administrasi perpajakan di era Coretax. Dengan data yang semakin terintegrasi, proses pelayanan pajak diharapkan dapat berjalan lebih efisien dan transparan.

https://pajak.go.id/sites/default/files/2025-11/Panduan%20Registrasi%20Massal%20NIK%20-%20Portal%20NPWP%202025.pdf. (alf)

DJP Perketat Pengawasan, Eks Pegawai Pajak Dilarang Layani Wajib Pajak Selama 5 Tahun

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengambil langkah tegas untuk menutup celah persekongkolan fraud antara pegawai pajak yang telah mengundurkan diri dengan konsultan maupun wajib pajak. Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, mengumumkan adanya aturan baru yang secara khusus membatasi ruang gerak eks pegawai pajak agar tidak lagi bisa mengakses maupun memberikan layanan perpajakan setelah resign.

Bimo mengungkapkan bahwa keputusan ini diambil setelah DJP menemukan pola persekongkolan fraud yang melibatkan pegawai pajak yang hendak atau telah resign. Mereka diduga bekerja sama dengan konsultan ataupun wajib pajak tertentu untuk mengakali ketentuan perpajakan, memanfaatkan data negara yang pernah mereka akses selama bekerja.

“Kami sudah siapkan sistem dan kerangka regulasi untuk itu. Kami akan kunci NIK dan NPWP yang bersangkutan di Coretax, sehingga tidak bisa lagi mereka melakukan pelayanan perpajakan ketika mereka resign,” ujar Bimo dikutip dari CNBC Indonesia, Rabu (18/11/2025).

Aturan baru yang tengah disiapkan DJP mencakup dua langkah strategis:

1. Penguncian NIK dan NPWP eks pegawai di dalam sistem Coretax, sehingga mereka tidak dapat mengakses fitur atau layanan perpajakan apa pun.

2. Pemberlakuan masa tunggu (grace period) selama 5 tahun bagi pegawai yang resign sebelum dapat bekerja sebagai konsultan pajak, kuasa pajak, atau bagian perpajakan di perusahaan mana pun.

Menurut Bimo, selama ini belum ada kerangka aturan yang mengatur masa tunggu, padahal risiko konflik kepentingan dan hubungan istimewa dengan pihak ketiga sangat besar.

“Ini penting karena belum ada kerangka aturan itu sebelumnya. Mereka yang bekerja di DJP harus menjaga independensinya. Tidak boleh ada konflik of interest, apalagi hubungan-hubungan istimewa dengan intermediaries,” tegasnya.

Bimo menjelaskan bahwa masa tunggu lima tahun tersebut dirancang sesuai dengan umur validity data perpajakan yang kemungkinan masih tersimpan oleh pegawai dalam perangkat pribadi. DJP saat ini masih menghadapi tantangan untuk memusatkan seluruh data negara yang tersebar di perangkat kerja pegawai.

“Ada data-data yang masih bisa disimpan di stand alone laptop, tablet, maupun HP para pegawai. Maka itu data negara yang ada di mereka tidak akan bisa digunakan apabila mereka resign dalam jangka waktu lima tahun. Karena setelah lima tahun itu, data tersebut sudah kedaluwarsa,” jelasnya.

Upaya Menutup Celah Fraud

Bimo menegaskan bahwa aturan ini merupakan langkah preventif penting untuk memperkuat integritas lembaga serta menjaga kepercayaan publik terhadap DJP. Ia berharap kebijakan tersebut dapat mengakhiri praktik gelap yang melibatkan pegawai maupun mantan pegawai DJP.

“Ditengarai memang ada persekongkolan antara petugas pajak dengan konsultan yang tidak baik dan wajib pajak tertentu. Karena itu kami bertindak,” tegasnya.

Rancangan aturan ini tinggal menunggu finalisasi sebelum diterapkan secara nasional. DJP memastikan bahwa kebijakan tersebut akan menjadi fondasi baru dalam memperkuat tata kelola, transparansi, dan profesionalisme di lingkungan perpajakan Indonesia. (alf)

IKPI Perkuat Peran Global, 30 Delegasi Hadiri AOTCA International Tax Conference 2025 Nepal

IKPI, Kathmandu, Nepal: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) kembali membuktikan posisinya sebagai organisasi profesi perpajakan yang aktif, modern, dan memiliki jejaring internasional yang kuat. Tahun ini, sebanyak 30 delegasi IKPI hadir di AOTCA International Tax Conference 2025 yang berlangsung pada 19–21 November di Kathmandu, Nepal.

Ketua Departemen Hubungan Internasional IKPI, David Tjhai, menyebut keikutsertaan Indonesia dalam konferensi ini sebagai momentum penting untuk menguatkan kontribusi konsultan pajak Indonesia di tingkat global. “Partisipasi kita di forum AOTCA bukan hanya formalitas. Ini adalah ruang bagi Indonesia untuk ikut membentuk arah pembahasan isu-isu perpajakan internasional yang terus berkembang,” ujar David.

(Foto: Istimewa)

Dikatakan David, rangkaian konferensi dimulai dengan pengalaman yang tak terlupakan. Para delegasi sempat menikmati kehidupan khas Kathmandu yang penuh warna jalan-jalan sempit yang ramai, hiruk pikuk pasar tradisional, serta energi spiritual dari kuil-kuil bersejarah seperti Swayambhunath dan Pashupatinath.

Tidak hanya itu, delegasi juga melakukan perjalanan menuju kawasan Himalaya. Momen ketika rombongan menyaksikan panorama Gunung Everest dari kejauhan menjadi salah satu pengalaman paling berkesan. “Ketika berdiri di hadapan Himalaya, Anda merasa kecil sekaligus terinspirasi. Ini energi positif sebelum memasuki diskusi berat mengenai kebijakan pajak global,” ungkap David.

(Foto: Istimewa)

Isu Pajak Global yang Menjadi Sorotan

Konferensi AOTCA tahun ini membahas isu-isu strategis yang sangat relevan untuk negara berkembang, termasuk Indonesia. Beberapa topik yang menjadi sorotan antara lain:

• evolusi historis sistem perpajakan di negara-negara berkembang,

• tantangan implementasi kebijakan pajak di emerging economies,

• transformasi digital administrasi perpajakan dan potensi risikonya,

• peran konsultan pajak internasional dalam global tax compliance,

• serta penguatan etika dan profesionalisme konsultan pajak di situasi ekonomi yang dinamis.

(Foto: Istimewa)

Delegasi Indonesia memanfaatkan kesempatan ini untuk membangun kerja sama, berjejaring dengan negara anggota AOTCA lainnya, dan bertukar praktik terbaik terkait reformasi pajak, digitalisasi administrasi, serta edukasi perpajakan.

Keistimewaan partisipasi Indonesia tahun ini kata David, adalah keterlibatan langsung dua perwakilan IKPI sebagai pembicara utama.

• David Tjhai mempresentasikan materi mengenai Challenges in Tax Policy Implementation in Emerging Economies (Indonesia). Dalam sesinya, David menjelaskan dinamika kebijakan pajak nasional, tantangan penerapan regulasi baru, serta bagaimana Indonesia menyesuaikan diri dengan standardisasi global seperti BEPS dan global minimum tax.

• Ichwan Sukardi Wakil Ketua Departemen Hubungan Internasional IKPI, menyampaikan materi mengenai Ethical Responsibilities and Professional Conduct of Tax Consultants in Developing Economies, membahas pentingnya integritas konsultan pajak di tengah tuntutan perubahan ekonomi global.

(Foto: Istimewa)

Menurut David, undangan resmi untuk tampil sebagai pembicara merupakan bentuk pengakuan internasional terhadap kapasitas intelektual dan profesionalisme IKPI. “Ini sinyal positif bahwa suara Indonesia diakui dan didengar dalam forum internasional,” ujarnya.

Menurutnya, konferensi ini juga menjadi sarana penting bagi IKPI untuk memperkuat kerja sama bilateral dan multilateral di bidang perpajakan. Selain mengikuti sesi pleno, delegasi Indonesia melakukan sejumlah pertemuan sampingan dengan perwakilan dari Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Malaysia untuk membahas peluang kolaborasi pelatihan, riset, serta pengembangan standar profesi.

David menegaskan bahwa peran IKPI di AOTCA telah berkembang dari sekadar peserta menjadi bagian dari pendorong agenda perpajakan global. “Kami ingin memastikan Indonesia tidak hanya menjadi penerima manfaat pengetahuan, tetapi juga menjadi penyumbang gagasan, pengalaman, dan inovasi dalam tata kelola pajak internasional,” katanya.

Dengan partisipasi yang kuat, pembelajaran yang kaya, serta kontribusi nyata melalui dua pembicara utama, IKPI berharap kehadiran delegasi Indonesia pada AOTCA International Tax Conference 2025 dapat memberikan dampak signifikan bagi penguatan profesi konsultan pajak di Indonesia baik dari sisi kualitas layanan, integritas, maupun wawasan global. (bl)

Humala Napitupulu Tekankan Prinsip Keadilan dalam Penagihan Pajak, Sebut Kewajiban Itu Ada Batasnya

IKPI, Jakarta: Praktisi perpajakan yang juga merupakan anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Humala Napitupulu, menegaskan bahwa konsep penagihan pajak tidak dapat dilepaskan dari prinsip keadilan, keseimbangan, dan batasan kemampuan wajib pajak. 

Hal itu ia sampaikan saat menjadi narasumber dalam Seminar Perpajakan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Pengda DKJ bertema “Kedudukan dan Batasan Tanggung Jawab Penanggung Pajak”, di Aston Kartika Grogol, Jakarta Barat, Rabu (19/11/2025).

Humala membuka paparannya dengan tiga prinsip dasar yang menurutnya menjadi fondasi moral dalam memahami kewajiban pajak. “Di zaman saya, orang tua mengajarkan satu hal: utang harus dibayar. Tetapi kewajiban itu ada batasnya. Kita tidak mungkin bisa membayar utang kalau kita tidak paham atau tidak mampu,” ujarnya.

Menurutnya, pemahaman kedudukan dan batas tanggung jawab penanggung pajak adalah kunci untuk membaca aturan secara tepat. Ia menjelaskan bahwa kedudukan menentukan posisi pihak pertama, kedua, dan ketiga dalam struktur penagihan.

“Seperti utang pajak pada badan, tanggung jawab itu bisa mengalir ke pengurus. Badan adalah pihak pertama, pengurus adalah pihak terakhir,” tegasnya.

Lebih jauh, ia menguraikan pentingnya memahami konsep renteng dan proporsionalitas dalam penagihan. Pada sistem renteng, tagihan cukup dibebankan kepada satu pihak. Namun dalam proporsionalitas, pungutan harus dilakukan berdasarkan porsi masing-masing penanggung pajak.

Humala juga menyoroti sejarah lambatnya reformasi penagihan pajak sejak era warisan hukum Belanda hingga terbitnya Undang-Undang Penagihan Pajak tahun 2000. Menurutnya, pembentukan surat paksa dengan kekuatan eksekutorial merupakan tonggak penting, namun tetap harus diimbangi dengan perlindungan hukum yang memadai.

“Pemerintah membutuhkan kekuatan penuh dalam penagihan. Tetapi kekuatan penuh itu harus berjalan seiring dengan perlindungan hukum, supaya adil dan berimbang,” imbuh Humala.

Ia menyampaikan tujuh poin penting UU PPSP yang wajib dipahami konsultan dan wajib pajak, mulai dari hak mendahului negara, cakupan penanggung pajak, hingga proses penyanderaan dan perlindungan OJK.

Humala mengajak peserta untuk mengkritisi aturan demi mencari bentuk keadilan yang tepat. “Upaya hukum harus jelas dan tersedia. Kalau kekuasaan terlalu besar, maka keseimbangan hilang. Keadilan harus tetap dijaga,” ujarnya. (bl)

en_US