Humala Napitupulu Tekankan Prinsip Keadilan dalam Penagihan Pajak, Sebut Kewajiban Itu Ada Batasnya

IKPI, Jakarta: Praktisi perpajakan yang juga merupakan anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Humala Napitupulu, menegaskan bahwa konsep penagihan pajak tidak dapat dilepaskan dari prinsip keadilan, keseimbangan, dan batasan kemampuan wajib pajak. 

Hal itu ia sampaikan saat menjadi narasumber dalam Seminar Perpajakan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Pengda DKJ bertema “Kedudukan dan Batasan Tanggung Jawab Penanggung Pajak”, di Aston Kartika Grogol, Jakarta Barat, Rabu (19/11/2025).

Humala membuka paparannya dengan tiga prinsip dasar yang menurutnya menjadi fondasi moral dalam memahami kewajiban pajak. “Di zaman saya, orang tua mengajarkan satu hal: utang harus dibayar. Tetapi kewajiban itu ada batasnya. Kita tidak mungkin bisa membayar utang kalau kita tidak paham atau tidak mampu,” ujarnya.

Menurutnya, pemahaman kedudukan dan batas tanggung jawab penanggung pajak adalah kunci untuk membaca aturan secara tepat. Ia menjelaskan bahwa kedudukan menentukan posisi pihak pertama, kedua, dan ketiga dalam struktur penagihan.

“Seperti utang pajak pada badan, tanggung jawab itu bisa mengalir ke pengurus. Badan adalah pihak pertama, pengurus adalah pihak terakhir,” tegasnya.

Lebih jauh, ia menguraikan pentingnya memahami konsep renteng dan proporsionalitas dalam penagihan. Pada sistem renteng, tagihan cukup dibebankan kepada satu pihak. Namun dalam proporsionalitas, pungutan harus dilakukan berdasarkan porsi masing-masing penanggung pajak.

Humala juga menyoroti sejarah lambatnya reformasi penagihan pajak sejak era warisan hukum Belanda hingga terbitnya Undang-Undang Penagihan Pajak tahun 2000. Menurutnya, pembentukan surat paksa dengan kekuatan eksekutorial merupakan tonggak penting, namun tetap harus diimbangi dengan perlindungan hukum yang memadai.

“Pemerintah membutuhkan kekuatan penuh dalam penagihan. Tetapi kekuatan penuh itu harus berjalan seiring dengan perlindungan hukum, supaya adil dan berimbang,” imbuh Humala.

Ia menyampaikan tujuh poin penting UU PPSP yang wajib dipahami konsultan dan wajib pajak, mulai dari hak mendahului negara, cakupan penanggung pajak, hingga proses penyanderaan dan perlindungan OJK.

Humala mengajak peserta untuk mengkritisi aturan demi mencari bentuk keadilan yang tepat. “Upaya hukum harus jelas dan tersedia. Kalau kekuasaan terlalu besar, maka keseimbangan hilang. Keadilan harus tetap dijaga,” ujarnya. (bl)

Ketum IKPI Tekankan Perubahan Ekosistem Perpajakan, Sebut Reformasi Tak Bisa Hanya Dibebankan ke DJP

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld menegaskan bahwa reformasi perpajakan nasional tidak boleh terus-menerus dibebankan hanya kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Menurutnya, seluruh elemen dalam ekosistem perpajakan mulai dari wajib pajak, konsultan pajak, lembaga keuangan, hingga regulator harus berubah secara serempak agar penerimaan negara meningkat secara berkelanjutan.

Pernyataan Vaudy disampaikan dalam sambutannya pada Seminar Perpajakan IKPI Pengda DKJ yang digelar di Aston Kartika, Grogol, Jakarta Barat, Rabu (19/11/2025). 

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Vaudy menekankan bahwa struktur perpajakan Indonesia saat ini masih bertumpu berlebihan pada DJP, padahal rantai pemungutan pajak mencakup banyak pihak yang saling terkait.

“Kalau ekosistem tidak berubah, mustahil kita berharap perubahan hanya datang dari DJP. Kita berada di tengah-tengah antara otoritas dan wajib pajak. Ketika datanya tidak selaras, yang menjadi jembatan adalah profesi konsultan pajak,” ujarnya.

Ia menyoroti bahwa berbagai masalah seperti data yang tidak sinkron, transaksi tunai yang besar, hingga ekonomi bawah tanah (underground economy) tidak dapat dibereskan hanya dengan pengawasan DJP.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

“Perubahan harus menyeluruh. Mulai dari otoritas pajak, penyedia data, lembaga keuangan, wajib pajak, sampai konsultan pajak itu sendiri,” tegasnya.

Dalam paparannya, ia menyebut beberapa kebijakan yang sangat penting untuk mendorong reformasi ekosistem perpajakan, antara lain:

1. Pembatasan transaksi uang tunai

Menurutnya, tingginya transaksi uang kartal membuat pengawasan sulit dan membuka ruang penghindaran pajak. RUU pembatasan transaksi tunai sebenarnya telah lama dibahas, tetapi belum disahkan.

2. Redenominasi rupiah

Vaudy menilai redenominasi dapat menjadi momentum membersihkan peredaran uang tunai yang selama ini disembunyikan.

“Ketika redenominasi diberlakukan, uang tunai yang tidak pernah muncul ke permukaan terpaksa dimasukkan kembali ke sistem. Saat itu negara perlu menyiapkan fasilitas kebijakan, termasuk opsi pengampunan pajak,” jelasnya.

3. RUU Konsultan Pajak dan penguatan kompetensi kuasa wajib pajak

Ia juga menyambut positif langkah pemerintah yang kembali membuka ruang pembahasan RUU Konsultan Pajak setelah sekian lama menghilang dari Prolegnas.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

“Kami diundang Kemenkeu dan DPR untuk membahas RUU Konsultan Pajak. Ini sinyal baik, meski jalannya panjang.”

Vaudy menegaskan bahwa reformasi perpajakan tidak boleh lagi berjalan parsial. Ia menggarisbawahi bahwa kebijakan baru harus dibangun di atas niat politik yang kuat agar ekosistem perpajakan bergerak selaras.

“Underground economy harus dipaksa masuk sistem. Tanpa niat, tidak akan bergerak. Sementara penerimaan negara harus terus naik,” katanya. (bl)

Seminar IKPI Pengda DKJ Kupas Tuntas Peran Penanggung Pajak

IKPI, Jakarta: Seminar perpajakan yang digelar Pengurus Daerah (Pengda) Daerah Khusus Jakarta (DKJ) Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) di Aston Kartika, Grogol, Jakarta Barat, Rabu (19/11/2025) mengangkat tema “Kedudukan dan Batasan Tanggung Jawab Penanggung Pajak”, kegiatan ini menjadi forum penting bagi para konsultan pajak untuk memperdalam pemahaman atas peran penanggung pajak, terutama setelah terbitnya aturan terbaru PMK Nomor 61 Tahun 2023.

Dalam sambutannya, Ketua Pengda DKJ Tan Alim menekankan bahwa isu penanggung pajak seringkali dianggap sederhana, padahal memiliki kedudukan strategis yang memengaruhi proses administrasi hingga penegakan hukum pajak. Ia menyebutkan bahwa banyak pihak hanya memahami konsep umumnya tanpa mengetahui batasan teknis, kata kunci penting, serta ruang lingkup tanggung jawab yang diatur secara lebih jelas dalam peraturan terbaru.

“Peran penanggung pajak tidak bisa lagi dipahami sepotong-sepotong. Ada batasan hukum yang harus diperhatikan dan ada risiko yang bisa timbul jika salah mengartikan kewenangan. Melalui seminar ini, kita kupas tuntas seluruh aspek itu agar para praktisi tidak tertinggal,” ujar Tan Alim di hadapan peserta.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Seminar ini tercatat diikuti 125 peserta, terdiri dari 106 anggota IKPI dan 19 peserta umum non-anggota yang datang dari berbagai wilayah. Kehadiran konsultan pajak dari cabang-cabang se-Jakarta mulai dari Jakarta Utara, Barat, Timur, Selatan, hingga Pusat ditambah peserta dari Depok, Bekasi, Bogor, Tangerang Kota, Tangerang Selatan, hingga Tangerang Kabupaten, membuat suasana seminar semakin hidup.

Selain itu, turut hadir perwakilan Pengda Banten dan Pengda Jawa Barat serta sejumlah pengurus pusat IKPI, menandai kuatnya dukungan organisasi untuk peningkatan kompetensi perpajakan.

Tan Alim dalam kesempatan itu juga menyampaikan apresiasi kepada seluruh pengurus Pengda DKJ untuk masa bakti 2024–2029. Ia menilai kekompakan dan semangat kerja yang tinggi menjadi modal penting untuk menghidupkan kembali kegiatan edukasi perpajakan yang bermanfaat luas.

Seminar ini resmi menjadi kegiatan perdana kepengurusan baru dan diharapkan menjadi pembuka bagi rangkaian program pembelajaran sepanjang tahun.

Tan Alim mengungkapkan bahwa materi yang dibawakan hari ini memiliki nilai praktis yang sangat kuat dan bahkan direncanakan untuk dibukukan. Ia berharap buku tersebut dapat menjadi rujukan formal bagi praktisi pajak, mahasiswa, maupun masyarakat yang ingin memahami struktur penanggung pajak secara komprehensif.

Dalam sambutannya, Tan Alim juga menekankan bahwa Pengda DKJ akan membuka setiap kegiatan seminar untuk peserta umum. Langkah ini merupakan komitmen IKPI untuk memperluas literasi perpajakan di Indonesia, sekaligus memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memahami isu-isu teknis yang selama ini hanya diketahui para profesional.

Dengan materi yang padat, kehadiran peserta yang melampaui ekspektasi, serta komitmen Pengda DKJ untuk terus membuka ruang edukasi publik, seminar ini menjadi bukti nyata bahwa isu penanggung pajak semakin penting untuk dipahami secara mendalam.

Kegiatan pun dilanjutkan dengan sesi pemaparan dan diskusi yang berjalan intens, menjadikan forum ini sebagai ruang belajar bersama bagi seluruh peserta. (bl)

UMKM Harus Berubah: Sudah Saatnya Tarif Berbeda untuk Usaha yang Berbeda

Perpanjangan penerapan PPh UMKM sudah sangat ditunggu-tunggu oleh Masyarakat, khususnya wajib pajak usaha menengah, kecil dan mikro. Pemerintah beserta DPR sedang menggodok dan merumuskan ulang mengenai diperpanjangnya masa berlaku PPh Final UMKM, walaupun secara lisan pemerintah telah menegaskan PPh Final UMKM akan diperpanjang, namun kita menunggu hukum positifnya.

Terkait dengan rencana tersebut, kita dihadapkan pada pertanyaan penting: masih relevankah tarif seragam 0,5% untuk semua jenis UMKM? dan apakah penerapannya bersifat permanen atau masih dibatasi waktu ?

Secara faktual UMKM Indonesia tidak homogen, seperti kita ketahui sektor industri memiliki resiko dan proses bisnis serta yang lebih komplek, menyerap tenaga kerja lebih banyak, serta relative memiliki margin tipis, sektor perdagangan menyerap tenaga kerja lebih sedikit dan resiko lebih rendah dengan margin fluktuatif, sementara sektor jasa justru menikmati margin besar dengan resiko yang lebih kecil.

Namun dalam regime pajak yang sekarang semuanya dikenai tarif pajak yang sama yaitu 0,5%. Dalam dunia bisnis, itu ibarat memasukkan semua petinju dalam 1 kelas, padahal ada petinju yang masuk klasifikasi kelas ringan, sedang dan berat sehingga rasa keadilannya dipertanyakan.

Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) pernah mengusulkan formulasi yang jauh lebih masuk akal dan berkeadilan pada saat acara meaningful participation yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pajak pada tanggal 2 Oktober 2025, dengan formula PPh Final UMKM dengan tarif berjenjang  sebesar : 0,5% untuk industri, 1% untuk perdagangan, dan 2% untuk usaha jasa. Usulan ini tidak hanya logis, melainkan berkeadilan.

UMKM Jasa Tidak Bisa Dipajaki Sama dengan UMKM Industri

Lihat ilustrasi sederhana ini:

Berdasarkan perbandingan di atas, di mana sekarang ini semua sektor usaha dikenakan tarif seragam 0,5%, dapat diduga:

  • Usaha jasa (margin 50%) sangat diuntungkan.
  • Usaha industri (margin tipis) justru bisa tertekan.

Ini jelas tidak adil dan tidak mendorong industri dalam negeri dan dalam jangka panjang akan melemahkan perekonomian Indonesia.   Banyak WP yang Sudah “naik kelas”, tetapi masih memakai tarif UMKM, di era coretax dan transparansi media sosial, data-data wajib pajak serta transaksinya lebih transparan. Dalam hal ini pemerintah sebenarnya tahu siapa yang omzetnya:

  • sudah melewati batas UMKM,
  • memiliki banyak karyawan,
  • memecah omzet agar tetap dibawah ambang batas
  • bahkan sudah ekspansi ke beberapa kota dan luar negeri, tetapi masih melaporkan diri sebagai UMKM sederhana dengan tarif 0,5%.

Hal inilah yang memang harus dicermati dan dikaji Kembali agar fasilitas PPh UMKM benar-benar dinikmati oleh mereka yang berhak, dalam hal ini upaya pemerintah untuk memperketat siapa yang boleh dan tidak boleh adalah upaya yang tepat.

Segmentasi Tarif: Solusi yang Sederhana dan Kuat

Dengan skema baru ini :

  • Adil, karena disesuaikan dengan margin;
  • Efektif, karena meningkatkan penerimaan negara;
  • Tidak memberatkan, karena industri yang rentan tetap mendapat tarif rendah.

Jangka Waktu : Dalam ketentuan PP 55 jangka waktu penggunaan tarif UMKM ini dibatasi selama 7 tahun untuk WP orang pribadi, 4 tahun untuk usaha CV, dan 3 tahun untuk PT. Di dalam mendorong dan memfasilitasi wajib pajak, sebaiknya jangka waktu tersebut tidak dibatasi lagi, karena kewajiban perpajakan akan menjadi beban jika harus menggunakan pembukuan atau norma perhitungan.

Yang paling penting ialah pengawasan yang ketat agar tidak ada penumpang gelap yang memanfaatkan fasilitas tersebut.

Penutup

UMKM adalah tulang punggung ekonomi Indonesia. Perlakuan perpajakan terhadap UMKM harus mendorong mereka tumbuh, bukan membuat mereka nyaman terus menerus dalam zona 0,5%, apalagi sengaja berlindung dari kewajiban sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dengan modus memecah omzet.

PPh Final UMKM perlu diperpanjang, tetapi dengan aturan baru yang lebih cerdas, tarif berbeda untuk usaha yang berbeda. Dengan system Coretax, sebenarnya pemerintah akan lebih mudah mengawasinya, tinggal pengawasan di lapangan yang perlu ditingkatkan.

Dengan demikian usulan perubahan tarif PPh Final UMKM ini merupakan  langkah penting menuju sistem pajak yang lebih adil, modern, dan berkeadilan sosial.

Penulis adalah Ketua Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal, IKPI

Pino Siddharta

Email: pinosiddharta@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis

IKPI Kembali Imbau Anggota Segera Penuhi Kewajiban PPL Jelang Akhir 2025

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) mengimbau seluruh anggotanya untuk segera memastikan pemenuhan Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) sebelum tahun 2025 berakhir. Imbauan ini disampaikan Ketua Departemen Keanggotaan dan Etika IKPI, Robert Hutapea, sebagai langkah menjaga profesionalisme dan integritas konsultan pajak.

Robert menekankan bahwa akhir tahun merupakan periode krusial bagi anggota untuk menyelesaikan seluruh poin PPL agar persyaratan keanggotaan tetap berlaku.

“Saya mengingatkan seluruh anggota karena kita sudah memasuki penghujung 2025. Segera pastikan kewajiban PPL terpenuhi sesuai ketentuan,” ujarnya, Selasa (18/11/2025).

Ia menegaskan bahwa PPL bukan sekadar kewajiban administratif, tetapi sarana untuk memperbarui pengetahuan dan menjaga kompetensi di tengah perubahan regulasi perpajakan yang cepat. “PPL adalah komitmen untuk meningkatkan kualitas diri sebagai profesional,” kata Robert.

Robert juga mengingatkan adanya risiko sanksi bagi anggota yang terlambat. Berdasarkan PMK 175/2022, anggota yang tidak memenuhi kewajiban PPL dapat dikenai Teguran Tertulis. Karena itu, ia meminta setiap anggota segera mengecek status PPL dan memastikan seluruh kegiatan telah tercatat serta dilaporkan.

“Jangan menunggu sampai detik terakhir,” tegasnya.

Ia kembali mengingatkan bahwa seluruh proses pendaftaran dan pelaporan PPL dapat dilakukan melalui platform digital IKPI Smart. Bagi anggota yang belum memenuhi poin PPL, Robert mendorong agar segera mengikuti kegiatan yang masih tersedia, baik seminar, workshop, maupun pelatihan yang diselenggarakan secara online maupun tatap muka.

Ia menambahkan bahwa kepatuhan terhadap PPL merupakan bagian penting dari etika profesi dan cerminan integritas seorang konsultan pajak.

“Keanggotaan yang aktif dan patuh menunjukkan komitmen kita pada standar profesi dan reputasi organisasi,” ucapnya.

Robert meminta anggota memanfaatkan sisa waktu di 2025 untuk menyelesaikan seluruh kewajiban dengan baik. “Penyelesaian PPL adalah investasi jangka panjang bagi karier Anda. Mari sambut akhir tahun ini dengan semangat untuk terus berkembang,” ujarnya. (bl)

Tiga Wakil IKPI Jejakkan Kaki di Himalaya Saat Hadiri AOTCA 2025 Nepal

IKPI, Kathmandu-Nepal: Tiga anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) mencuri perhatian di tengah gelaran AOTCA International Conference 2025 yang berlangsung di Kathmandu, Nepal, pada 18–21 November 2025. Mereka bukan hanya hadir sebagai delegasi, tetapi juga menorehkan catatan spesial dengan menapakkan kaki di salah satu titik favorit para pendaki dunia: Annapurna Base Camp (4.130 mdpl), yang berada di jajaran megah Pegunungan Himalaya.

Ketua Bidang Olahraga, Departemen KKSO IKPI, bersama Andi M. Johan dari IKPI Cabang Jakarta Timur dan Umi Kulsum dari IKPI Cabang Kota Bekasi, sukses mencapai base camp ikonik tersebut. Pencapaian ini menjadi simbol semangat, daya juang, serta representasi bahwa konsultan pajak Indonesia mampu hadir dan dikenal di panggung global.

(Foto: Istimewa)

“Untuk menuju Annapurna Base Camp kami menggunakan helikopter dengan tujuan  untuk mengenalkan IKPI kepada dunia. Kehadiran di konferensi internasional saja belum cukup kami ingin membawa nama IKPI lebih tinggi, secara harfiah dan simbolis,” ujar Ketua Bidang Olahraga yang memimpin perjalanan tersebut, Selasa (18/11/2025).

Ia menegaskan, misi mereka bukan sekadar menapaki Himalaya, melainkan menunjukkan karakter IKPI yang aktif, dinamis, dan berani membuka ruang kolaborasi internasional. Perjalanan ini juga menjadi momentum untuk mempererat kekompakan antaranggota lintas cabang yang tergabung dalam delegasi.

“Ketinggian dan abadinya salju Himalaya mengibaratkan bahwa organisasi yang kuat harus berani menjejak medan baru,” tambahnya.

AOTCA 2025 sendiri dihadiri berbagai asosiasi konsultan pajak dari kawasan Asia-Oseania. IKPI hadir untuk memperluas jejaring, memperdalam pengetahuan perpajakan internasional, dan menguatkan posisi Indonesia dalam percakapan global mengenai profesi konsultan pajak.

(Foto: Istimewa)

Dengan capaian ini, IKPI bukan hanya hadir sebagai peserta tetapi juga membawa pulang cerita inspiratif yang menunjukkan bahwa organisasi profesi di Indonesia mampu memberikan warna dan energi baru di kancah internasional. (bl)

IKPI Dorong Paket Kebijakan Antimodus UMKM, Vaudy Starworld: “PPh Final 0,5% Harus Tepat Sasaran, Bukan Celah”

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) kembali menegaskan perlunya pengetatan kebijakan dan penguatan sistem untuk menutup berbagai celah penghindaran pajak pada skema PPh Final 0,5% yang ditujukan bagi UMKM.

Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld menilai, praktik menahan omzet hingga pemecahan usaha menunjukkan bahwa fasilitas ini rawan disalahgunakan oleh pelaku usaha yang tidak lagi memenuhi kriteria UMKM.

Dalam berbagai kesempatan, termasuk saat memberikan kuliah umum di sejumlah kampus di Indonesia, Vaudy konsisten menyampaikan bahwa fasilitas PPh Final 0,5% harus dilindungi dari penyalahgunaan agar tetap menjadi instrumen keberpihakan kepada UMKM sejati. “Fasilitas pajak ini tidak boleh menjadi celah. Kita harus memastikan bahwa penerima manfaatnya adalah usaha yang benar-benar masuk kategori UMKM,” kata Vaudy, Selasa (18/11/2025).

Tutup Ruang Gerak Modus Penghindaran

IKPI mengusulkan empat langkah kebijakan utama untuk mempersempit ruang manipulasi:
1. Mengurangi peredaran uang kartal agar transaksi lebih dapat ditelusuri dan mencegah penggelapan omzet.
2. Mengurangi transaksi tunai, dengan mendorong penggunaan instrumen digital yang meninggalkan jejak audit.
3. Memangkas underground economy, yang selama ini menjadi tempat berkembangnya aktivitas usaha tanpa kewajiban pajak.
4. Mencegah penghindaran tarif PPh Pasal 17 melalui modus bertahan di PPh Final 0,5% meski skala usaha sesungguhnya sudah melampaui batasan UMKM.

Vaudy menegaskan, tanpa perbaikan kebijakan tersebut, pemerintah akan selalu berada selangkah di belakang para pelaku penghindaran pajak. “Kita butuh kebijakan yang memaksa transparansi, bukan sekadar mengimbau,” ujarnya.

Selain reformasi kebijakan, IKPI menilai penguatan sistem perpajakan adalah elemen krusial agar modus seperti bouncing omzet dan firm splitting dapat dideteksi sejak dini. Beberapa poin sistem yang sering disampaikan Vaudy dalam forum-forum akademik meliputi:


• Integrasi data transaksi antara perbankan, e-commerce, POS, dan pembayaran digital.
• Risk engine otomatis yang mampu membaca pola mencurigakan, seperti omzet yang berhenti tepat sebelum ambang Rp4,8 miliar atau pembagian usaha keluarga.
• Pelaporan otomatis (auto-reporting) untuk mengurangi ruang manipulasi manual.
• Audit berbasis data analytics, sehingga pemeriksaan lebih tepat sasaran dan efisien.

Menurut Vaudy, pendekatan berbasis data adalah satu-satunya cara untuk menutup celah manipulasi di era ekonomi digital. “Semakin terintegrasi sistemnya, semakin kecil ruang untuk bermain angka,” ujarnya.

Selain itu, Vaudy menegaskan komitmen IKPI untuk terus mengawal keadilan pajak. Menurutnya, penguatan kebijakan dan sistem bukan bertujuan mempersulit pelaku UMKM, melainkan memastikan fasilitas fiskal benar-benar mendorong mereka naik kelas, bukan diselewengkan pihak yang lebih besar.

“UMKM harus didorong dengan fasilitas, tapi dengan integritas. Ketika fasilitas disalahgunakan, negara dirugikan dan pelaku UMKM yang patuh ikut terdampak,” katanya.

IKPI berharap pemerintah mempertimbangkan paket usulan ini dalam proses revisi aturan terkait PPh Final UMKM. Dengan kombinasi kebijakan dan teknologi, Vaudy meyakini Indonesia dapat membangun ekosistem perpajakan UMKM yang lebih jujur, kuat, dan berkelanjutan. (bl)

UI–DJP–Pertamina Luncurkan Prototipe TCF Indonesia, Dorong Transparansi dan Kepatuhan Pajak Berkelanjutan

IKPI, Jakarta: Universitas Indonesia (UI) bersama Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan dan PT Pertamina (Persero) resmi merampungkan riset kolaboratif yang menghasilkan prototipe Tax Control Framework (TCF) Indonesia. Inovasi ini diharapkan menjadi fondasi baru bagi tata kelola pajak yang lebih transparan, terukur, dan berkeadilan. Serah terima hasil riset dilakukan di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Selasa (18/11/2025).

Peneliti utama dari Program Pendidikan Vokasi UI, Dr. Sandra Aulia, menjelaskan pengembangan TCF Indonesia dimulai dari kajian literatur dan studi komparatif di berbagai negara. Melalui pendanaan matching fund tahun 2024, timnya merumuskan enam prinsip pengendalian pajak dan satu prinsip pengendalian teknologi informasi, serta menyusun 45 indikator pengendalian pajak yang mengacu pada OECD, COSO, dan ERM. Aplikasi ini juga mampu mengukur lima tingkat maturitas pengendalian pajak.

Sandra menegaskan bahwa TCF Indonesia dibangun berdasarkan prinsip cooperative compliance untuk memperkuat kepercayaan antara otoritas pajak dan wajib pajak. Framework ini memungkinkan perusahaan menilai efektivitas sistem pengendalian pajaknya sekaligus mengelola risiko dengan lebih terukur. “Dengan TCF, pengendalian pajak dapat berjalan lebih efektif sehingga potensi tax surprise dapat diminimalkan,” ujarnya.

Riset ini berlangsung sejak awal 2023 hingga 2025 melalui kolaborasi UI, DJP, dan Pertamina. Hasilnya dirancang sebagai instrumen penting agar perusahaan dapat memastikan pelaporan dan pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan dengan benar, lengkap, dan tepat waktu.

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak, Iwan Djuniardi, mengatakan TCF Indonesia memungkinkan DJP mengelola risiko pajak secara sistematis berbasis Total Quality Assurance. Menurut dia, ke depan DJP akan memperkuat integrasi data dan menambah kemampuan analitik melalui teknologi artificial intelligence.

Dari sisi industri, Dr. Palti Ferdrico T.H. Siahaan menilai penerapan COSO Framework dalam TCF Indonesia memperkuat akuntabilitas dan memperjelas fungsi pengendalian pajak di dalam perusahaan. Sementara itu, VP Tax Pertamina, Eko Cahyadi, menegaskan bahwa TCF Indonesia akan memperkuat budaya kepatuhan, integritas, dan transparansi. Ia menyebut framework tersebut sebagai langkah penting memastikan kepatuhan pajak menjadi bagian dari nilai organisasi. (alf)

DJP Buka Pintu Pengawasan Publik, Bimo Wijayanto Tegaskan Era Baru Transparansi Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memasuki babak baru dalam membangun kepercayaan publik. Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, memastikan otoritas pajak kini membuka ruang selebar-lebarnya bagi masyarakat untuk mengawasi kinerja dan layanan DJP, dari level pejabat hingga fiskus di lapangan.

Bimo menilai mekanisme pengawasan kolektif ini menjadi fondasi utama untuk memperkuat legitimasi DJP di mata publik. “Ini memang tidak mudah, tapi setidaknya kami menunjukkan komitmen sebagai institusi yang inklusif. Kami membuka diri terhadap seluruh proses penegakan hukum,” ujar Bimo dikutip dari CNBC Indonesia, Selasa (18/11/2025).

Sejak ditunjuk Presiden Prabowo Subianto sebagai Dirjen Pajak pada Mei 2025, Bimo menegaskan komitmennya mendorong transparansi, termasuk membuka data perpajakan yang bersifat agregat. Langkah ini, menurutnya, penting agar masyarakat, akademisi, dan kelompok masyarakat sipil dapat mengkritisi dan mengawal kualitas pelayanan fiskus.

“Kami bekerja sama dengan ratusan tax center di seluruh Indonesia. Kami menyediakan data dan bahan analisis bagi siapa pun yang ingin meneliti perpajakan, termasuk kinerja ekonomi dan model pajak. Data tersebut kami buka seluas mungkin,” tuturnya.

Bimo menegaskan bahwa keterbukaan data dilakukan dengan penuh kehati-hatian. DJP hanya menyediakan data yang sudah dianonimkan untuk memastikan tidak ada informasi individual maupun identitas wajib pajak yang terbuka ke publik.

“Sepanjang tidak ada data individual yang memuat identitas wajib pajak, pemodelan atau riset apa pun sangat diperbolehkan. Justru itu membantu kami bekerja lebih baik,” tegasnya.

Dengan langkah ini, DJP berharap partisipasi publik dalam mengawasi perpajakan dapat semakin meningkat, sekaligus memperkuat kredibilitas dan integritas institusi di mata masyarakat. (alf)

DJP Luncurkan Simulator SPT Tahunan PPh Orang Pribadi

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali memperluas pemanfaatan sistem Coretax dengan merilis simulator SPT Tahunan PPh Orang Pribadi (OP). Fitur uji coba ini melengkapi simulator SPT Tahunan PPh Badan yang lebih dulu diluncurkan, dan kini dapat diakses melalui laman yang sama: spt-simulasi.pajak.go.id.

Untuk masuk ke aplikasi, wajib pajak cukup menggunakan NIK serta password khusus: P@jakTumbuh1ndonesiaT@ngguh. Di dalamnya tersedia dua menu utama, yakni Surat Pemberitahuan dan Pembayaran, yang dapat digunakan untuk mensimulasikan proses pelaporan hingga pembayaran pajak.

Konsep SPT Dibuat Langsung oleh Wajib Pajak

Berbeda dengan simulator PPh Badan, penyusunan draft SPT PPh OP dilakukan langsung oleh wajib pajak. Pengguna perlu memilih “Buat Konsep SPT”, kemudian mengisi pilihan:

• Jenis SPT Tahunan PPh Orang Pribadi

• Jenis Periode: SPT Tahunan

• Tahun Pajak: 2025

• Model SPT: Normal

Dengan mekanisme ini, wajib pajak dapat memahami alur pembuatan SPT sesuai rancangan Coretax yang nantinya akan berlaku penuh.

Proses Bisnis Menyerupai e-Filing, tetapi Lebih Terintegrasi

DJP menjelaskan bahwa proses bisnis SPT Tahunan PPh OP di Coretax disusun serupa dengan pelaporan melalui e-Filing. Namun, ada pembaruan signifikan: seluruh pertanyaan dan pernyataan transaksi kini ditempatkan di Induk SPT.

Jawaban wajib pajak akan otomatis menjadi pemicu (trigger) yang menentukan lampiran mana saja yang perlu diisi atau tidak. Pendekatan ini membuat proses pengisian lebih terarah dan meminimalkan kesalahan administratif.

Bukti Potong Terisi Otomatis

Salah satu fitur yang paling memudahkan adalah integrasi bukti potong. Sistem Coretax mampu mendeteksi secara otomatis bukti pemotongan PPh atas nama wajib pajak, lalu langsung melakukan prepopulated ke dalam perhitungan SPT.

Untuk tahap awal, simulator ini diperuntukkan khusus bagi wajib pajak orang pribadi yang memperoleh penghasilan dari pekerjaan, yakni kategori karyawan.

Mengacu pada PER-11/PJ/2025, Tanpa Formulir 1770

Rancangan SPT Tahunan PPh OP di Coretax telah disesuaikan dengan ketentuan PER-11/PJ/2025. Artinya, formulir lama seperti 1770, 1770-S, dan 1770-SS tidak lagi digunakan dalam sistem baru ini.

Peluncuran simulator ini menjadi langkah lanjut DJP dalam memastikan wajib pajak memahami desain Coretax sebelum implementasi penuh. Dengan mekanisme yang semakin otomatis dan terintegrasi, pelaporan pajak diharapkan menjadi jauh lebih sederhana dan akurat. (alf)

en_US