Komdigi Luruskan Isu Domain Palsu Coretax, Pastikan coretaxdjp.go.id Tidak Pernah Terdaftar

IKPI, Jakarta: Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) bergerak cepat menepis isu liar soal dugaan situs Coretax palsu yang menggunakan domain go.id. Isu tersebut sebelumnya ramai dibahas di platform X, memunculkan kebingungan publik terkait keamanan domain pemerintah.

Direktorat Jenderal Teknologi Pemerintah Digital (TPD) Komdigi menegaskan bahwa informasi mengenai situs coretaxdjp.go.id adalah tidak benar dan menyesatkan. Mereka memastikan domain tersebut tidak terdaftar dalam sistem pengelolaan domain pemerintah dan tidak pernah menjadi bagian dari infrastruktur digital negara.

“Keamanan domain .go.id adalah prioritas kami. Setiap informasi yang tidak akurat perlu segera diluruskan agar masyarakat tidak dirugikan dan kepercayaan terhadap layanan digital pemerintah tetap terjaga,” tegas Direktur Jenderal Teknologi Pemerintah Digital, Mira Tayyiba, dalam keterangan resmi, dikutip Sabtu (22/11/2025).

TPD Komdigi juga mengungkapkan telah berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk memastikan informasi mengenai layanan Coretax tidak semakin menimbulkan kebingungan. Komdigi mengapresiasi respons cepat DJP dan mendorong penegasan ulang mengenai alamat resmi Coretax.

Komdigi menilai klarifikasi ini penting untuk menjaga kredibilitas domain pemerintah sebagai ruang digital yang aman dan bebas dari upaya penyesatan informasi.

Isu terkait domain palsu ini mencuat sepanjang pekan setelah sejumlah akun di X memperbincangkan keberadaan situs yang diklaim menyerupai layanan Coretax. Sebagian netizen bahkan mempertanyakan bagaimana sebuah situs yang diduga tidak resmi bisa menggunakan domain go.id.

Setelah dilakukan pengecekan, Komdigi memastikan coretaxdjp.go.id tidak ada dalam daftar domain pemerintah. Rujukan resmi mengenai layanan Coretax juga telah disampaikan oleh DJP melalui akun Instagram @ditjenpajakri, yaitu coretaxdjp.pajak.go.id sebagai alamat yang valid. (alf)

Pemerintah Pastikan Tak Ada APBN Keluar untuk Musnahkan Barang Impor Ilegal

IKPI, Jakarta: Pemerintah menegaskan proses pemusnahan barang impor ilegal tidak menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menteri Perdagangan Budi Santoso memastikan seluruh biaya pemusnahan sepenuhnya menjadi kewajiban importir yang melanggar aturan.

Budi menjelaskan, setiap perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran akan langsung dikenai dua sanksi: penutupan usaha dan kewajiban memusnahkan seluruh barang yang disita. “Biaya pemusnahan itu tanggung jawab importir. Negara tidak mengeluarkan apa pun,” ujarnya di Jakarta, Jumat (21/11/2025).

Dua perusahaan yang baru saja ditindak telah menjalankan ketentuan tersebut. Semua barang sitaan dimusnahkan secara bertahap dengan biaya internal perusahaan dan ditargetkan rampung pada akhir November 2025.

Budi juga meluruskan perbedaan kewenangan antara Kemendag dan Kementerian Keuangan terkait penanganan impor ilegal. Pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengenai biaya pemusnahan kontainer balpres ilegal sebesar Rp12 juta merujuk pada penanganan di level border, yang menjadi domain Bea Cukai di bawah Kemenkeu. Sementara Kemendag menangani penindakan post-border, yakni barang yang sudah berada di peredaran domestik.

Di sisi lain, Menkeu Purbaya tengah mengusulkan perubahan skema penanganan balpres ilegal agar tidak membebani APBN, termasuk opsi pencacahan ulang barang sitaan menjadi bahan baku industri tekstil dan sebagian didistribusikan kepada UMKM. Gagasan tersebut disebut telah mendapat restu Presiden Prabowo Subianto dan melibatkan Asosiasi Garment dan Tekstil Indonesia (AGTI) serta koordinasi dengan Menteri UMKM Maman Abdurrahman.

Dengan skema penindakan yang tegas dan pembiayaan sepenuhnya oleh pelaku, pemerintah memastikan penanganan impor ilegal tetap berjalan tanpa menggerus kas negara. (alf)

Menkeu Purbaya: Defisit APBN 2025 Terkendali, Penerimaan Pajak Masih Jadi Penopang Utama

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melaporkan posisi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 hingga akhir Oktober tercatat sebesar Rp 479,7 triliun, atau 2,02% dari PDB. Angka ini meningkat dibandingkan defisit bulan sebelumnya yang berada di level Rp 371,5 triliun atau 1,56% PDB per 30 September 2025.

Meski melebar secara bulanan, Purbaya menegaskan defisit masih jauh di bawah batas maksimal APBN 2025 yang ditetapkan 2,78% PDB. Ia menilai posisi tersebut menunjukkan ruang fiskal yang tetap terjaga.

“Ini mencerminkan komitmen pengelolaan defisit yang kuat untuk menjaga APBN tetap efektif,” ujar Purbaya dalam Konferensi Pers APBN Kita edisi November 2025, Kamis (20/11/2025).

Penerimaan Pajak Mendorong Lonjakan Pendapatan Negara

Kinerja pendapatan negara terus membaik. Hingga Oktober, total pendapatan mencapai Rp 2.113,3 triliun atau 73,7% dari outlook, naik cukup signifikan dari Rp 1.863 triliun pada bulan sebelumnya.

Kenaikan ini ditopang oleh:

• Penerimaan pajak yang telah menyentuh Rp 1.708 triliun atau 71,6% dari outlook,

• PNBP yang mencapai Rp 402,4 triliun atau 84,3% dari outlook.

Menurut Purbaya, tren ini menunjukkan aktivitas ekonomi yang tetap solid serta dampak penguatan sistem administrasi perpajakan.

Di sisi lain, belanja negara hingga Oktober tercatat Rp 2.593 triliun atau 73,5% dari target. Penyerapan didorong percepatan berbagai program prioritas nasional.

Rinciannya:

• Belanja pemerintah pusat: Rp 1.879,9 triliun (70,6%),

• Transfer ke daerah: Rp 713,4 triliun (82,6%).

Purbaya mengungkapkan Kementerian Keuangan terus melakukan pemantauan mendalam atas pelaksanaan belanja K/L maupun penyaluran ke daerah untuk menjaga kualitas belanja tetap efektif.

Dengan perkembangan ini, pemerintah optimistis pengelolaan fiskal 2025 dapat terjaga sekaligus mendukung target pertumbuhan ekonomi di tengah tantangan global. (alf)

DPR Dorong Penyesuaian Kebijakan Pajak untuk Perkuat Industri Petrokimia Nasional

IKPI, Jakarta: Komisi VII DPR RI meminta pemerintah meninjau ulang berbagai kebijakan perpajakan yang selama ini dinilai belum sepenuhnya mendukung kemandirian bahan baku industri nasional. Dorongan ini disampaikan dalam kunjungan kerja spesifik ke PT Lotte Chemical Indonesia (LCI) di Cilegon, Jumat (21/11/2025), di tengah upaya menekan ketergantungan impor bahan baku yang masih tinggi.

Pimpinan rombongan, Evita Nursanty, menegaskan bahwa industri petrokimia adalah fondasi sektor manufaktur nasional karena menyuplai bahan baku untuk tekstil, plastik, hingga industri konsumsi. Namun pasokan bahan baku dalam negeri belum mencukupi sehingga beban fiskal, termasuk tarif impor dan struktur insentif perpajakan, menjadi krusial dalam mendorong daya saing.

“Masalah utama industri kita adalah kekurangan bahan baku sehingga harus impor. Industri seperti LCI ini sangat strategis dan perlu dukungan fiskal yang tepat agar kapasitas produksi bisa terus meningkat,” ujar Evita.

Evita menyoroti ketimpangan perlakuan fiskal Indonesia dibanding negara-negara pesaing di kawasan. Ia menyebut Thailand, Singapura, dan Malaysia sudah menerapkan tarif impor nol untuk sejumlah bahan baku industri petrokimia, sementara Indonesia masih memberlakukan bea masuk tertentu yang dianggap mengurangi daya saing.

“Harapan industri adalah agar pemerintah mempertimbangkan kebijakan yang sama. Jika tarif impor bahan baku seperti LPG bisa disesuaikan, beban biaya produksi dapat ditekan dan industri lebih kompetitif,” jelasnya.

Selain itu, Komisi VII turut mencatat keluhan soal keterbatasan fasilitas tax holiday. Dari 15 produk petrokimia yang dihasilkan LCI, baru 7 yang memperoleh insentif tersebut. DPR menilai perlu diperluas agar sejalan dengan investasi, kapasitas produksi, serta dampak ekonominya.

Vice President Director LCI, Jojok Hadrijanto, menyambut positif perhatian DPR terhadap isu perpajakan yang memengaruhi sektor petrokimia.

Menurutnya, terdapat tiga kebutuhan utama industri yang berkaitan langsung dengan kebijakan pajak dan fiskal:

1. Penyesuaian import duty untuk LPG sebagai bahan baku utama.

2. Dukungan fiskal bagi produk petrokimia nasional agar tidak kalah dari produk impor.

3. Perluasan insentif tax holiday untuk seluruh produk yang sudah beroperasi komersial.

“Semoga ini menjadi angin segar untuk industri kimia nasional. Kebijakan fiskal yang tepat akan sangat menentukan kelanjutan investasi,” katanya.

DPR Akan Bahas di Panja Daya Saing

Evita memastikan seluruh aspirasi terkait pajak dan fiskal akan dibahas dalam rapat lintas kementerian melalui Panitia Kerja Daya Saing. Ia menegaskan pembahasan ini penting agar kebijakan industri dan insentif perpajakan berjalan selaras.

“Karena ini sifatnya Panja Daya Saing, kita bisa memanggil berbagai kementerian untuk merumuskan kebijakan fiskal yang lebih akomodatif,” tegasnya.

Komisi VII berharap penyesuaian kebijakan pajak dapat memperkuat struktur bahan baku dalam negeri, mengurangi impor, dan mendorong pertumbuhan industri petrokimia sebagai pilar utama ekonomi nasional. (alf)

Baru 21,6% WP Aktivasi Coretax, DJP Genjot Percepatan Jelang Wajib Pakai 2026

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan masih memiliki pekerjaan rumah besar terkait implementasi Coretax. Hingga 16 November 2025, baru 3,18 juta dari sekitar 14 juta wajib pajak (WP) terdaftar yang berhasil mengaktifkan akun di sistem perpajakan terbaru tersebut. Angka itu baru setara 21,6% dari target yang ditetapkan DJP.

Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, menjelaskan bahwa jumlah itu terdiri atas 599 ribu WP badan termasuk koperasi, serta 2,6 juta WP orang pribadi. Namun dari WP orang pribadi yang sudah aktivasi akun, baru 1,6 juta WP yang menuntaskan registrasi kode otorisasi dan tanda tangan digital—atau hanya 11,92% dari total WP terdaftar.

“Ini masih jauh dari ideal. Karena itu kami terus mendorong percepatan aktivasi,” ujar Bimo dalam Konferensi Pers APBN KiTa edisi November 2025, Sabtu (22/11/2025).

Bimo menyebut DJP terus menggandeng berbagai kementerian dan lembaga untuk memperluas jangkauan aktivasi Coretax, terutama menjelang penerapan wajib pelaporan SPT Tahunan 2025 melalui Coretax mulai tahun 2026.

“Salah satu yang sudah berjalan ialah kewajiban bagi ASN, TNI, dan Polri untuk mengaktivasi akun serta registrasi kode otorisasi paling lambat 31 Desember 2025,” jelasnya.

Instruksi tersebut dikeluarkan melalui kerja sama dengan Kementerian PAN-RB sebagai bagian dari percepatan transformasi digital perpajakan.

Di luar sektor aparatur negara, Bimo juga meminta masyarakat dan dunia usaha untuk segera menyelesaikan aktivasi secara sukarela.

“Kami mengimbau masyarakat, pembayar pajak yang baik, supaya segera mendaftarkan identitasnya di Coretax,” ujar Bimo.

Ia menambahkan, “Kami juga mengajak perusahaan dan pemberi kerja untuk mendorong pegawai di lingkungan masing-masing agar segera melakukan aktivasi.”

Cara Aktivasi Coretax

Mengutip panduan dari DJP, proses aktivasi akun Coretax dapat dilakukan secara mandiri melalui laman resmi. Berikut ringkasan tahapannya:

1. Aktivasi Akun Coretax

Syarat: Memiliki NPWP.

Tahapan:

• Buka laman Coretax → pilih Aktivasi Akun Wajib Pajak

• Masukkan NPWP → isi email & nomor ponsel yang terdaftar di DJP Online

• Verifikasi identitas → simpan → cek email untuk kata sandi sementara

• Login kembali → ganti kata sandi → buat passphrase

2. Membuat Kode Otorisasi DJP (KO DJP)

KO DJP berfungsi sebagai tanda tangan elektronik resmi.

Cara membuat:

• Login Coretax → Portal Saya → Permintaan Kode Otorisasi/Sertifikat Elektronik

• Isi data dan pilih penyedia sertifikat

• Masukkan ID penandatangan atau passphrase

• Kirim → unduh bukti penerbitan sertifikat digital

3. Validasi Kode Otorisasi

• Portal Saya → Profil Saya → Digital Certificate

• Pastikan status VALID (jika belum, klik Periksa Status)

• Jika berhasil, dokumen penerbitan KO DJP muncul di Dokumen Saya (alf)

Di PPL & Outing IKPI Depok, Agoestina Mappadang Tekankan Akurasi dan Integrasi Pelaporan SPT

IKPI, Bogor: Kegiatan PPL & Outing IKPI Cabang Depok yang digelar pada 21–23 November 2025 di Cikopo menghadirkan pembahasan teknis penting terkait perubahan sistem perpajakan nasional. Dalam sesi yang dipandu khusus untuk peningkatan kompetensi anggota, Dr. Agoestina Mappadang, menjelaskan secara rinci bagaimana Coretax akan menjadi pusat transformasi pelaporan SPT Tahunan mulai tahun pajak yang berjalan.

Di hadapan puluhan anggota IKPI, Agoestina menegaskan bahwa Coretax tidak hanya mengganti tampilan DJP Online, tetapi benar-benar mengintegrasikan seluruh layanan mulai dari e-Nofa, pembayaran pajak, validasi bukti potong, hingga permohonan restitusi ke dalam satu Portal Wajib Pajak. 

Menurutnya, integrasi ini penting untuk meminimalkan kesalahan administrasi yang selama ini sering muncul akibat penggunaan banyak aplikasi terpisah.

Ia menjelaskan bahwa SPT Orang Pribadi kini hanya akan menggunakan satu formulir, dengan lampiran yang otomatis muncul berdasarkan jawaban wajib pajak. Seluruh bukti potong PPh 21 langsung terisi di sistem sehingga wajib pajak tidak perlu menginput manual. 

Untuk SPT Badan, Coretax menyediakan prefiling dan validasi otomatis yang langsung mendeteksi ketidaksesuaian angka sebelum SPT dikirimkan, sehingga risiko koreksi di kemudian hari bisa ditekan.

Agoestina juga menyoroti pentingnya memastikan NIK–NPWP 16 digit sudah tervalidasi serta memperbarui data di DJP Online seperti email PIC, nomor ponsel, dokumen pendirian, dan daftar TKU. 

“Kalau data dasar tidak lengkap, akses Coretax bisa gagal. Ini teknis, tetapi sangat menentukan kelancaran pelaporan,” ujarnya, Sabtu (22/11/2025).

Fitur impersonating turut menjadi perhatian peserta. Melalui fitur ini, kuasa atau pengurus badan dapat mengelola akun wajib pajak cukup dengan login menggunakan NIK pribadi, kemudian memilih badan atau orang pribadi yang diwakili. Cara ini dinilai jauh lebih praktis dibanding penggunaan sertifikat elektronik badan yang kini dihapus.

Dalam hal pembayaran pajak lanjut Agoestina, Coretax menyediakan kemudahan baru melalui kode billing multi akun, akun deposit pajak, kanal pembayaran terhubung langsung ke bank, serta proses restitusi dan pemindahbukuan yang dapat diajukan secara daring. Dasbor khusus juga menampilkan seluruh kode billing yang masih aktif dan belum dibayarkan.

Meski Coretax membawa otomasi dan integrasi yang besar, Agoestina mengingatkan bahwa akurasi pelaporan tetap bergantung pada kualitas data yang disiapkan wajib pajak. Bukti potong, daftar harta dan utang, daftar penghasilan, data tanggungan, laporan keuangan, hingga peredaran bruto UMKM tetap harus dikumpulkan sebelum proses pelaporan dimulai. 

“Teknologi mempercepat proses, tetapi kerapihan data tetap fondasi kepatuhan,” tegasnya. 

Selain itu, Agoestina menegaskan bahwa akun-akun rawan koreksi perlu menjadi perhatian bagi wajib pajak di era coretax. (bl)

PPL & Outing IKPI Depok: Hendra Damanik Tekankan Kebutuhan Anggota Tingkatkan Kompetensi

IKPI, Bogor: IKPI Cabang Depok menggelar kegiatan Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) sekaligus outing selama tiga hari, 21–23 November 2025, di Citra Cikopo, Bogor, Jawa Barat. Ketua IKPI Cabang Depok, Hendra Damanik, mengatakan kegiatan ini diselenggarakan untuk menjawab kebutuhan anggota IKPI yang semakin tinggi terhadap penguatan kompetensi di era transformasi digital perpajakan.

Menurut Hendra, percepatan perubahan aturan dan digitalisasi administrasi pajak membuat konsultan pajak harus terus memperbarui pengetahuan. “Anggota kita butuh peningkatan kompetensi yang relevan dengan perkembangan terkini. Karena itu, PPL ini kami desain dengan tema-tema yang langsung menyentuh kebutuhan teknis di lapangan,” ujarnya.

Hendra menjelaskan, tema pertama yang dibawakan oleh Agustina Mappadang pada Sabtu, “Transformasi Layanan SPT Tahunan melalui Coretax: Strategi Menuju Pelaporan yang Lebih Akurat dan Terintegrasi,” dipilih karena Coretax menjadi fondasi baru administrasi DJP.

“Coretax akan sangat memengaruhi cara kita membantu wajib pajak melaporkan SPT. Anggota harus paham bagaimana sistem ini bekerja, risiko-risiko datanya, serta strategi agar pelaporan lebih akurat. Itu alasan tema Coretax kami tempatkan sebagai materi utama,” ujar Hendra.

Sementara itu, tema kedua yang akan dibahas oleh Nurhidayat pada Minggu, “Mitigasi Risiko atas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak,” dipilih karena risiko pemeriksaan kini semakin tinggi akibat integrasi data DJP.

“Banyak anggota yang menghadapi SP2DK dan pemeriksaan. Karena itu PPL harus memberi bekal menghadapi risiko-risiko tersebut, apalagi di era digitalisasi penuh yang membuat pengawasan semakin ketat,” jelasnya.

Hendra juga menegaskan alasan memilih Citra Cikopo sebagai lokasi PPL dan outing. Menurutnya, tempat tersebut memberikan suasana yang kondusif untuk belajar sekaligus membangun keakraban antaranggota.

“Kami ingin kegiatan ini bukan hanya soal materi, tetapi juga kebersamaan. Cikopo menawarkan lingkungan yang tenang, sejuk, dan nyaman sehingga peserta bisa fokus mengikuti PPL dan tetap punya ruang untuk refreshing,” katanya.

Antusiasme Peserta

Sebanyak 50 peserta dari IKPI Depok dan cabang IKPI se-Jabodetabek hadir dalam kegiatan ini. Hendra mengapresiasi partisipasi anggota yang tetap tinggi meskipun kegiatan berlangsung selama tiga hari penuh.

“Antusias anggotalah yang membuat kegiatan seperti ini terus kami selenggarakan. Semakin besar kebutuhan akan kompetensi, semakin besar juga tanggung jawab kami menyediakan PPL yang tepat sasaran,” tegas Hendra.

Kegiatan PPL tiga hari ini diharapkan menjadi momentum bagi anggota IKPI Depok untuk semakin siap menghadapi dinamika perpajakan yang berubah cepat. 

Q & A Berbasis AI

Lebih jauh Hendra mengungkapkan, bahwa IKPI Depok juga akan memperkenalkan inovasi baru berbasis AI assistant Tax Indonesia (Hallo Tax ). Tujuannya untuk memberikan kemudahan dan membantu wajib pajak untuk memahami aturan pajak dengan cepat serta menjadi tools pendamping untuk konsultan pajak.

“Dengan adanya inovasi produk berbasis teknologi, diharapkan anggota ikpi cabang depok bisa memanfaatkan inovasi teknlogi ini untuk membantu dalam memahami aturan secara cepat dan tepat,” kata Hendra.

Ia menegaskan, program ini alan berfokus pada bidang perpajakan (pusat, daerah dan internasional) serta bea cukai. (bl)

Edukasi Perpajakan: Ernawati  “Bedah” Kewajiban SPT OP pada CoreTax, hingga Harapan Revisi PTKP

IKPI, Jakarta: Kewajiban pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Orang Pribadi kembali menjadi sorotan utama dalam edukasi perpajakan yang digelar Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) pada Kamis, 13 November 2025. Dalam sesi yang berlangsung interaktif, narasumber Ernawati (Anggota IKPI Cabang Surabaya) memaparkan secara rinci aturan dasar, kewajiban pelaporan, serta mekanisme baru melalui platform CoreTax, yang mulai diberlakukan untuk tahun pajak 2025.

Di awal paparannya, Ernawati menegaskan bahwa ketentuan batas waktu pelaporan SPT tetap berpegang pada Undang-Undang KUP No. 28 Tahun 2007. “Untuk wajib pajak orang pribadi, pelaporan SPT tahunan paling lambat tiga bulan setelah akhir tahun pajak,” ujarnya. 

Ia menekankan bahwa kewajiban ini berlaku universal untuk seluruh pemilik NPWP, termasuk karyawan, wiraswasta, profesional, hingga penerima penghasilan pasif seperti sewa rumah atau apartemen.

Menurutnya, pelaporan tetap wajib meskipun penghasilan nihil, selama NPWP masih berstatus aktif. “Kecuali NPWP sudah berstatus non-efektif, wajib pajak tetap berkewajiban melapor,” tegasnya.

Ernawati juga memaparkan perubahan besar dalam sistem pelaporan. Bila sebelumnya wajib pajak harus memilih formulir tertentu (1770 SS, 1770 S, atau 1770) melalui DJP Online, kini hanya tersedia satu kanal pelaporan di CoreTax, yang secara otomatis menyesuaikan dengan profil wajib pajak. 

“Tidak ada lagi pilihan tiga formulir. Sistem akan memetakan sendiri jenis penghasilan wajib pajak,” jelasnya.

Ia kemudian mengulas tarif PPh progresif sesuai UU No. 7 Tahun 2021, mulai 5% hingga 35%, serta posisi PTKP yang masih menggunakan ketentuan tahun 2016. Ernawati menilai nilai PTKP telah tertinggal jauh dibanding perkembangan biaya hidup. 

“Wajib pajak sangat berharap ada penyesuaian PTKP. Sudah sembilan tahun tidak berubah dan kondisinya sudah tidak relevan dengan UMK saat ini,” tuturnya.

Sesi edukasi semakin menarik saat membahas PPh Final UMKM 0,5% berdasarkan PP 55/2022. Ia menjelaskan batas omzet Rp500 juta pertama yang tidak dipajaki, serta ketentuan masa penggunaan tujuh tahun untuk orang pribadi, empat tahun untuk CV, dan tiga tahun untuk PT. 

“Begitu omzet lewat Rp4,8 miliar setahun, wajib pajak tidak lagi bisa memakai skema UMKM. Tarif umum langsung berlaku,” kata Ernawati.

Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya pemahaman tiga komponen utama SPT, seperti penghasilan, harta, dan utang. Tiga elemen inilah yang menjadi fondasi dalam penyusunan SPT. 

“Dengan memahami dasar-dasarnya, proses pelaporan SPT akan jauh lebih mudah. Sistem boleh berubah, tapi prinsip administrasinya tetap sama,” pungkasnya. (bl)

Milko Hutabarat: Di Era Coretax, SIT Jadi Benteng Risiko Konsultan Pajak

IKPI, Jakarta: Transformasi sistem administrasi perpajakan menuju era digital melalui Coretax membuat pekerjaan konsultan pajak semakin kompleks dan penuh risiko. Dalam konteks tersebut, Surat Ikatan Tugas (SIT) menjadi instrumen penting yang harus dipahami dan diterapkan dengan benar oleh seluruh konsultan. Pesan ini disampaikan Milko Hutabarat dalam Bimtek “Kupas Tuntas SIT” yang diselenggarakan IKPI pada 14 November 2025 secara hybrid.

Acara ini menghadirkan Donny Eduardus Rindorindo, Ketua Departemen Sistem Pendukung Pengembangan Bisnis Anggota, sebagai narasumber teknis, dan dimoderatori oleh Angela R. Kusumaningtyas. Peserta dari berbagai wilayah Indonesia mengikuti kegiatan ini baik secara langsung maupun daring.

Milko menyoroti bahwa perkembangan regulasi, teknologi, dan sistem perpajakan yang semakin detail membuat konsultan pajak menghadapi risiko profesional yang jauh lebih besar dibanding era sebelumnya. Dalam situasi tersebut, konsultan harus memiliki perlindungan hukum yang jelas.

“Tugas konsultan pajak sekarang jauh lebih berat. Detail pekerjaan makin banyak, risikonya makin besar. SIT adalah benteng pertama kita untuk memastikan semuanya jelas sejak awal,” ujar Milko.

Ia menjelaskan bahwa tanpa SIT, konsultan tidak memiliki dasar untuk menolak permintaan pekerjaan di luar kesepakatan atau membuktikan bahwa suatu risiko bukan tanggung jawabnya.

Meski demikian, Milko menegaskan bahwa SIT bukan alat untuk “mengikat” klien atau sekadar memasang batasan. Menurutnya, perikatan yang sehat hanya dapat terjadi jika kedua pihak memulai hubungan dengan rasa percaya.

“Jangan dibalik. Bukan bikin perikatan dulu supaya klien tidak bisa ke mana-mana. Kita percaya dulu bahwa kita bisa bekerja sama, barulah dituangkan dalam perjanjian,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa SIT harus dibuat dengan itikad baik dan tidak boleh mengandung klausul yang merugikan klien maupun konsultan. Format SIT IKPI sudah mencerminkan keseimbangan tersebut melalui pengaturan hak dan kewajiban dari kedua pihak.

Milko kemudian menguraikan prinsip-prinsip hukum yang wajib ada dalam SIT, antara lain:

• Asas legalitas, yaitu isi SIT tidak boleh bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan.

• Asas kepastian hukum, di mana lingkup pekerjaan, produk jasa, dan batas tanggung jawab harus dijelaskan secara rinci.

• Asas hubungan pribadi perjanjian, yang menegaskan bahwa SIT hanya mengikat antara konsultan dan klien.

• Asas keseimbangan, yang memastikan hak dan kewajiban kedua pihak proporsional.

• Asas itikad baik, sebagai fondasi seluruh kontrak profesional.

Ia menggarisbawahi bahwa konsultan tidak boleh menjanjikan hasil yang berada di luar kewenangannya. “Misalnya menjamin hasil pemeriksaan atau SKP. Itu tidak boleh. Konsultan hanya dapat menjanjikan apa yang bisa dilaksanakan secara profesional,” katanya.

Format SIT IKPI

Format SIT yang dijelaskan lebih detail oleh Donny Rindorindo mencakup:

• ruang lingkup pekerjaan,

• jangka waktu,

• imbalan dan penagihan,

• mekanisme penyelesaian sengketa,

• klausul kerahasiaan (disusun berdasarkan ketentuan perundangan),

• force majeure,

• ketentuan perubahan perjanjian,

• cara komunikasi,

• hingga hukum dan bahasa yang digunakan.

Milko menegaskan bahwa format ini bersifat fleksibel, bukan ketentuan kaku yang harus diikuti pasal demi pasal. “Silakan modifikasi sesuai kebutuhan masing-masing kantor konsultan. Yang penting prinsip-prinsip hukumnya dipertahankan,” ujarnya. (bl)

Mendag Tegaskan Bayar Pajak Tak Akan Buat Impor Baju Bekas Jadi Legal

IKPI, Jakarta: Menteri Perdagangan Budi Santoso kembali menutup ruang kompromi bagi upaya melegalkan peredaran pakaian bekas impor. Ia menegaskan, sekalipun para pelaku usaha thrifting siap membayar pajak, larangan impor pakaian bekas tetap tidak akan dicabut.

Budi mengingatkan bahwa aturan ini sudah jelas tertuang dalam Permendag Nomor 40 Tahun 2022 yang secara tegas memasukkan pakaian bekas sebagai barang yang dilarang diimpor. Menurutnya, tidak ada korelasi antara kesediaan membayar pajak dengan legalitas barang yang sejak awal sudah dilarang.

“Kalau membayar pajak jadi legal, itu nggak ada hubungannya. Aturannya jelas, barang itu memang dilarang,” ujarnya di kantor Kemendag, Jakarta, Jumat (21/11/2025).

Alasan Larangan: Bukan Soal Pajak, Tapi Kesehatan dan UMKM

Budi menjelaskan, pelarangan ini tidak pernah terkait dengan kepatuhan pajak pedagang. Pemerintah berpegang pada dua alasan utama: risiko kesehatan dari pakaian bekas impor yang tidak terjamin kebersihannya, serta perlindungan industri dalam negeri—terutama UMKM tekstil dan fesyen yang rentan tersisih oleh barang murah impor.

Ia menegaskan bahwa pada prinsipnya seluruh barang bekas dilarang masuk ke Indonesia. Pengecualian hanya diberikan pada Barang Modal Tidak Baru (BMTB) seperti mesin industri tertentu yang memang dibutuhkan dan tetap melalui prosedur ketat.

“Ada pengecualian, tapi kriterianya jelas. Tidak bisa sembarangan,” tegasnya.

Kemendag juga memastikan pengawasan terus dilakukan di area post border, terutama pada titik importir dan distributor, untuk mencegah masuknya barang bekas ilegal.

Sikap Mendag sejalan dengan pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sehari sebelumnya. Purbaya menolak tegas wacana legalisasi thrifting meskipun pedagang siap membayar pajak.

“Saya nggak peduli pedagangnya. Pokoknya kalau barang masuk ilegal, saya berhentiin,” ujarnya di Jakarta.

Menurut Purbaya, membuka celah legalisasi justru berbahaya karena dapat memicu banjir barang impor ilegal yang akhirnya menindas pelaku usaha lokal. Pasar domestik, katanya, harus diisi produk yang memberi nilai tambah bagi ekonomi nasional, bukan sebaliknya.

Dengan sikap dua kementerian yang sama keras, sinyal dari pemerintah jelas: impor pakaian bekas tetap dilarang, dan tidak ada opsi menjadikannya legal melalui pajak. (bl)

en_US