Mendag Tegaskan Bayar Pajak Tak Akan Buat Impor Baju Bekas Jadi Legal

IKPI, Jakarta: Menteri Perdagangan Budi Santoso kembali menutup ruang kompromi bagi upaya melegalkan peredaran pakaian bekas impor. Ia menegaskan, sekalipun para pelaku usaha thrifting siap membayar pajak, larangan impor pakaian bekas tetap tidak akan dicabut.

Budi mengingatkan bahwa aturan ini sudah jelas tertuang dalam Permendag Nomor 40 Tahun 2022 yang secara tegas memasukkan pakaian bekas sebagai barang yang dilarang diimpor. Menurutnya, tidak ada korelasi antara kesediaan membayar pajak dengan legalitas barang yang sejak awal sudah dilarang.

“Kalau membayar pajak jadi legal, itu nggak ada hubungannya. Aturannya jelas, barang itu memang dilarang,” ujarnya di kantor Kemendag, Jakarta, Jumat (21/11/2025).

Alasan Larangan: Bukan Soal Pajak, Tapi Kesehatan dan UMKM

Budi menjelaskan, pelarangan ini tidak pernah terkait dengan kepatuhan pajak pedagang. Pemerintah berpegang pada dua alasan utama: risiko kesehatan dari pakaian bekas impor yang tidak terjamin kebersihannya, serta perlindungan industri dalam negeri—terutama UMKM tekstil dan fesyen yang rentan tersisih oleh barang murah impor.

Ia menegaskan bahwa pada prinsipnya seluruh barang bekas dilarang masuk ke Indonesia. Pengecualian hanya diberikan pada Barang Modal Tidak Baru (BMTB) seperti mesin industri tertentu yang memang dibutuhkan dan tetap melalui prosedur ketat.

“Ada pengecualian, tapi kriterianya jelas. Tidak bisa sembarangan,” tegasnya.

Kemendag juga memastikan pengawasan terus dilakukan di area post border, terutama pada titik importir dan distributor, untuk mencegah masuknya barang bekas ilegal.

Sikap Mendag sejalan dengan pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sehari sebelumnya. Purbaya menolak tegas wacana legalisasi thrifting meskipun pedagang siap membayar pajak.

“Saya nggak peduli pedagangnya. Pokoknya kalau barang masuk ilegal, saya berhentiin,” ujarnya di Jakarta.

Menurut Purbaya, membuka celah legalisasi justru berbahaya karena dapat memicu banjir barang impor ilegal yang akhirnya menindas pelaku usaha lokal. Pasar domestik, katanya, harus diisi produk yang memberi nilai tambah bagi ekonomi nasional, bukan sebaliknya.

Dengan sikap dua kementerian yang sama keras, sinyal dari pemerintah jelas: impor pakaian bekas tetap dilarang, dan tidak ada opsi menjadikannya legal melalui pajak. (bl)

DJP Pastikan Insentif PPh Final 0,5% untuk Badan Tak Diperpanjang

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menutup pintu perpanjangan fasilitas PPh Final 0,5% bagi wajib pajak badan. Kebijakan ini diambil seiring rencana pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 tentang penyesuaian pengaturan Pajak Penghasilan (PPh).

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menegaskan bahwa korporasi harus bersiap kembali ke mekanisme perhitungan pajak normal. “Wajib pajak badan sudah tidak bisa lagi menggunakan PPh 0,5%. Mereka harus mulai menjalankan pembukuan untuk menghitung PPh terutang dengan tarif umum,” jelas Bimo dalam Konferensi Pers APBN KiTa, Kamis (20/11/2025).

Meskipun demikian, Bimo menyebut wajib pajak badan yang saat ini masih berada dalam masa pemanfaatan PPh Final UMKM tetap diperbolehkan melanjutkan hingga periode empat tahun yang ditetapkan. Namun, kesempatan untuk mengajukan permohonan baru resmi dihentikan.

“Mereka yang sudah berjalan masih bisa menggunakan sampai masa berlakunya habis. Tapi tidak ada lagi permohonan baru dari wajib pajak badan untuk insentif PPh Final 0,5%,” tegas Bimo. Ia menambahkan bahwa seluruh bentuk badan usaha mulai dari CV, PT, hingga firma tidak lagi dapat mengakses fasilitas tersebut.

Draf revisi PP 55/2022 diketahui telah selesai melalui proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM pada 24 Oktober 2025. Kini draf tersebut hanya menunggu penetapan resmi Presiden sebelum diberlakukan.

Bimo mengungkapkan bahwa keputusan ini juga didorong oleh temuan lapangan. DJP mendapati sejumlah wajib pajak badan tetap memanfaatkan tarif final 0,5% meski omzet usaha mereka telah melewati ambang batas Rp 4,8 miliar per tahun.

“Kami menemukan indikasi wajib pajak masih memanfaatkan PPh Final 0,5%, padahal secara ekonomi konsolidasi peredaran brutonya sudah melebihi threshold,” ujarnya.

Dengan kebijakan baru ini, pemerintah ingin memastikan insentif UMKM lebih tepat sasaran sekaligus mendorong kepatuhan pembukuan bagi badan usaha skala menengah yang seharusnya sudah masuk skema tarif normal. (alf)

DJP Sudah Kantongi Rp11,48 Triliun dari Pengemplang Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat kemajuan besar dalam upaya penagihan tunggakan pajak nasional. Hingga 19 November 2025, total Rp11,48 triliun berhasil dikumpulkan dari para pengemplang pajak angka yang disebut Dirjen Pajak Bimo Wijayanto sebagai bukti percepatan penagihan dalam beberapa pekan terakhir.

“Dalam minggu terakhir ini saja, dari Jumat pekan lalu sampai Rabu (19 November 2025), terjadi kenaikan sekitar Rp1,3 triliun. Jadi totalnya sudah mencapai Rp11,48 triliun,” ujar Bimo dalam konferensi pers APBN KiTa Edisi November 2025 di Jakarta, Kamis, (20/11/2025)

Pemerintah sebelumnya membidik potensi setoran sebesar Rp50–60 triliun dari 200 wajib pajak dengan tunggakan terbesar. Untuk tahun 2025 saja, target minimal yang ingin dicapai adalah Rp20 triliun. Capaian sementara tersebut dianggap sebagai sinyal positif bahwa target akhir tahun berada dalam jangkauan.

DJP memastikan seluruh kanal penagihan akan digerakkan maksimal hingga pergantian tahun. Selain penagihan langsung, otoritas pajak mempercepat penggalian potensi melalui konsolidasi data internal dan pertukaran informasi dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Data tersebut akan menjadi dasar finalisasi audit serta penyusunan rekomendasi penegakan hukum.

Dalam ranah hukum, DJP menegaskan akan menggunakan pendekatan multi-doors, yang memungkinkan penanganan satu kasus melalui berbagai aturan, termasuk tindak pidana perpajakan, korupsi, dan tindak pidana pencucian uang.

Memasuki 2026, DJP mulai mengonsolidasikan langkah strategis untuk menjaga stabilitas penerimaan. Salah satu fokus adalah memperkuat layanan elektronik dan meningkatkan pemanfaatan sistem berbasis Coretax, termasuk pengawasan pembayaran masa, kepatuhan tahun berjalan, hingga pemeriksaan atas tahun sebelumnya.

Bimo menegaskan bahwa intensifikasi dan ekstensifikasi akan bertumpu pada data yang lebih solid, sehingga tidak muncul kritik “berburu di kebun binatang”. “Kami akan mulai exercise perluasan basis pajak. Bisa melalui sistem elektronik atau transaksi digital lainnya, sesuai arahan pimpinan,” katanya.

Dengan kombinasi penagihan agresif, kolaborasi lintas-instansi, serta penguatan sistem administrasi perpajakan, pemerintah menargetkan 2026 sebagai tahun penguatan kepatuhan dan optimalisasi kontribusi perpajakan bagi APBN. (alf)

DPR Ingatkan Keberhasil Target Ekonomi 2026 Ditentukan oleh Kebijakan Fiskal

IKPI, Jakarta: Anggota Komisi XI DPR, Harris Turino, memberikan sejumlah catatan kepada Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa di tengah optimisme pemerintah mencapai pertumbuhan ekonomi 5,4% pada tahun 2026. Ia menilai, keberhasilan target tersebut sangat ditentukan oleh kebijakan fiskal yang akan dijalankan tahun depan.

Harris mengingatkan bahwa fiskal menjadi penopang utama perekonomian, terlebih dengan skala APBN 2026 yang mencapai Rp 3.800 triliun. Dari jumlah itu, pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp 2.300 triliun angka yang menurutnya tidak kecil jika dibandingkan dengan estimasi penerimaan tahun ini yang hanya Rp 2.050 triliun.

“Ini angka yang sangat besar. Tantangannya bukan sekadar menutup gap, tapi memastikan fiskal benar-benar kuat menopang pertumbuhan ekonomi 5,4%,” ujarnya.

Harris turut menyoroti capaian penerimaan pajak di bawah kepemimpinan Purbaya selama dua bulan terakhir. Ia membeberkan bahwa hingga Oktober, realisasi penerimaan pajak masih tertinggal sekitar 4,4% atau setara Rp 38 triliun dibanding periode yang sama tahun lalu.

“Ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi Pak Purbaya. Target pajak tahun depan Rp 2.300 triliun, minimal harus sama seperti target tahun ini,” tegasnya.

Cukai dan Likuiditas Perbankan 

Selain perpajakan, Harris juga menekankan pentingnya menjaga proyeksi kenaikan penerimaan cukai pada 2026. Menurutnya, pemerintah harus mengamankan potensi tersebut untuk memperkuat ruang fiskal yang mendukung target pertumbuhan ekonomi.

Tak hanya itu, ia menyoroti realisasi penempatan dana pemerintah sebesar Rp 200 triliun ke lima bank BUMN—BNI, BRI, Bank Mandiri, BTN, dan Bank Syariah Indonesia. Penempatan dana tersebut dimaksudkan untuk menambah likuiditas perbankan dan mendorong pertumbuhan kredit.

“Memang ada sedikit penurunan suku bunga deposito, tapi persoalannya belum diikuti penurunan suku bunga kredit,” kata Harris.

“Dengan likuiditas yang meningkat, seharusnya penciptaan kredit baru bisa lebih agresif.”

Harris menegaskan bahwa Purbaya harus bekerja lebih cepat dan tepat agar kebijakan fiskal 2026 dapat berjalan efektif. Menurutnya, ketepatan dalam mengelola penerimaan, belanja, dan likuiditas akan sangat menentukan tercapai atau tidaknya target pertumbuhan ekonomi 5,4%.

“Fondasi pertumbuhan tahun depan ada di fiskal. Kalau fiskalnya kuat, target bisa dikejar,” tandasnya. (alf)

Menkeu Purbaya Tegas Tolak Legalisasi Thrifting: “Barang Ilegal Tidak Akan Saya Buka Pasarnya”

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan tidak ada ruang kompromi bagi permintaan sejumlah pedagang thrifting yang berharap aktivitas jual beli pakaian bekas impor dilegalkan dengan imbalan kesediaan membayar pajak.

Purbaya menolak mengaitkan isu thrifting dengan kontribusi fiskal. Bagi dirinya, persoalan ini murni soal kepatuhan hukum, bukan urusan penerimaan negara.

“Pokoknya barang masuk ilegal, saya berhentiin. Saya nggak mungkin buka pasar untuk barang-barang ilegal,” ujarnya di Jakarta, Kamis (20/11/2025).

Ketika kembali ditegaskan soal kesiapan pedagang thrifting membayar pajak, Purbaya tak bergeser sedikit pun. “Pokoknya masuk ilegal, saya tangkap,” kata Menkeu, menutup ruang bagi legalisasi tanpa revisi aturan.

Ia bahkan mengilustrasikan posisinya dengan contoh klasik dari sejarah Amerika Serikat. “Kalau Anda lihat cerita Pak Al Capone… impor alkohol dari Kanada itu tidak beracun. Tapi tetap ilegal karena melanggar undang-undang. Ini sama kejadiannya,” ujarnya.

Menkeu kemudian mengaitkan fenomena thrifting dengan kondisi ekonomi nasional. Ia mengingatkan bahwa 90 persen perekonomian Indonesia bertumpu pada pasar domestik. Arus barang bekas impor yang menguasai pasar, katanya, hanya menguntungkan segelintir pedagang, namun berpotensi memukul industri dan pelaku usaha dalam negeri.

“Kalau yang domestiknya dikuasai barang asing, apa untungnya buat pengusaha domestik? Selain pedagang-pedagang yang jumlahnya relatif kecil dibandingkan rakyat kita semua,” ucapnya.

Menurut Purbaya, pasar dalam negeri harus dimaksimalkan untuk pemain lokal. Ia meyakini pedagang thrifting tetap bisa bertahan dengan beralih menjual produk buatan dalam negeri.

“Kalau mereka cukup cerdas mengelola dagangannya, bisa shift ke barang-barang domestik. Banyak kok yang bagus. Demand yang menentukan kualitas barang,” katanya.

Pedagang dan DPR Minta Pertimbangan Sosial

Sebelumnya, Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR, Adian Napitupulu, meminta pemerintah tidak tergesa-gesa menindak pelaku usaha barang bekas karena aktivitas tersebut menjadi sumber penghidupan banyak warga. Menurut Adian, negara perlu memberi ruang selama belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai.

Dalam forum audiensi itu, seorang pedagang Pasar Senen, Rifai Silalahi, menyampaikan harapan besar agar thrifting dilegalkan. Ia menilai para pedagang ingin memenuhi kewajiban sebagai warga negara, termasuk membayar pajak, dan melihat legalisasi sebagai jalan tengah dibanding penutupan paksa.

Rifai menyebut industri thrifting melibatkan sekitar 7,5 juta orang di seluruh Indonesia. Data yang dikutip Adian menunjukkan bahwa barang thrifting impor hanya sekitar 0,5 persen dari total 784 ribu ton tekstil ilegal yang masuk ke Indonesia setiap tahun. (alf)

DJP Jateng I Sandera Penunggak Pajak Rp 25,7 Miliar

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Tengah I bertindak tegas dengan menyandera (gijzeling) seorang wajib pajak berinisial SHB, yang menunggak pajak hingga Rp 25,71 miliar. Eksekusi ini dilakukan karena SHB tidak menunjukkan itikad baik untuk melunasi kewajibannya meski telah dilakukan proses penagihan sesuai prosedur.

SHB tercatat sebagai wajib pajak di KPP Madya Dua Semarang dengan total utang PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi sebesar Rp 25.471.351.451. Karena tidak kooperatif, Kanwil DJP Jateng I akhirnya menerapkan tindakan gijzeling atau pengekangan sementara kebebasan penanggung pajak di tempat tertentu sebagai alat penagihan terakhir.

Kepala Kanwil DJP Jawa Tengah I, Nurbaeti Munawaroh, menegaskan bahwa langkah ini sepenuhnya berlandaskan hukum.

“Penyanderaan kami lakukan sesuai UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Nomor 19 Tahun 1997 yang telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2000. Tindakan ini diambil karena wajib pajak tidak melunasi utang pajaknya,” ujarnya dalam keterangan resmi, dikutip, Jumat (21/11/2025).

Nurbaeti menyebutkan, DJP tidak bermaksud bertindak sewenang-wenang. Namun penegakan hukum perlu dilakukan demi memastikan hak negara terpenuhi.

“Kami berharap langkah ini memberi efek jera, baik kepada wajib pajak yang disandera maupun wajib pajak lainnya. Tidak ada niat untuk berlaku zalim; kami hanya menjalankan aturan yang berlaku demi keadilan bagi negara dan masyarakat,” tegasnya.

DJP menjelaskan bahwa penyanderaan hanya dapat dilakukan kepada wajib pajak dengan utang minimal Rp 100 juta yang diragukan itikad baiknya. Wajib pajak dapat segera dibebaskan apabila telah melunasi seluruh utang dan biaya penagihan.

Kanwil DJP Jateng I kembali mengimbau masyarakat untuk melaksanakan kewajiban perpajakan secara benar, lengkap, dan tepat waktu. Seluruh layanan pajak dipastikan tidak dipungut biaya. Informasi lebih lanjut dapat diperoleh melalui KPP terdekat, Kring Pajak 1500200, atau situs resmi pajak.go.id. (alf)

AOTCA Nepal Selesai, Waketum IKPI Ceritakan Keseruan Berbagi Pengalaman dan Belajar di Dunia Internasional

IKPI, Kathmandu, Nepal: Wakil Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Nuryadin Rahman, membagikan kisah penuh warna seusai rangkaian pertemuan AOTCA Nepal 2025 berakhir pada Kamis (20/11/2025) malam waktu setempat. Tidak hanya memuat diskusi teknis perpajakan, acara ini menghadirkan pengalaman budaya, jejaring internasional, dan momen-momen yang menurutnya “tak tergantikan”.

Sejak hari pertama, agenda AOTCA (Asia-Oceania Tax Consultants’ Association) di Nepal memang padat. Serangkaian sesi pemaparan dari delegasi berbagai negara termasuk penyampaian materi oleh perwakilan IKPI seperti David Tjhai dan Ichwan Sukardi membuka ruang pertukaran praktik perpajakan yang berbeda-beda di kawasan Asia dan Oceania.

“Di AOTCA ini kita bertukar informasi tentang praktek perpajakan tiap negara. Rangkaian acaranya saling menyambung dan memberi banyak wawasan baru,” ujar Nuryadin, memberikan keterangan dari Kathmandu, Nepal, Jumat (21/11/0225).

(Foto: Istimewa)

Gala Dinner Meriah Lagu Tabola Bale Jadi Idola

Salah satu momen paling berkesan bagi delegasi Indonesia adalah Gala Dinner. Seperti tradisi AOTCA, setiap negara menampilkan budaya khas mereka. Tahun ini, IKPI memilih lagu Tabola Bale yang sedang viral bahkan di luar negeri.

“Begitu lagu Tabola Bale dimainkan, suasananya langsung pecah. Delegasi negara lain ikut bergabung menari, ikut dalam keceriaan kita. Pak Ruston pun semangat sekali kemarin,” kenang Nuryadin.

Baginya, malam puncak AOTCA bukan sekadar pesta, tetapi ruang dimana budaya, profesionalitas, dan persahabatan antarnegara bertemu dalam energi positif.

Melihat Langsung Gunung Himalaya 

Saat ditanya momen paling mengesankan selama di Nepal, Nuryadin menjawab tanpa ragu: melihat Himalaya dengan mata kepala sendiri.

“Selama ini kita cuma lihat Mount Everest di TV. Nah, di AOTCA ini kita bisa melihat langsung gunung dan lembah Himalaya. Alamnya indah sekali, itu pengalaman yang nggak bisa dibeli,” ungkapnya.

Baginya, AOTCA memberi nilai lebih karena peserta bukan hanya mendapatkan ilmu perpajakan, tetapi juga bisa mengenal langsung keunikan negara tuan rumah.

Menurut Nuryadin, keuntungan lain dari menghadiri AOTCA adalah interaksi lintas negara yang intens selama tiga hari penuh.

“Kita bertemu konsultan pajak dari berbagai negara. Bisa tukar kartu nama, ngobrol, bahkan melatih bahasa Inggris. Itu manfaat besar ikut AOTCA,” ujarnya.

Baginya, koneksi semacam inilah yang memperkuat peran konsultan pajak Indonesia di dunia internasional.

AOTCA Berikutnya: Hong Kong 2026, Malaysia 2027

Pada pertemuan awal, panitia resmi menetapkan tuan rumah selanjutnya: Hong Kong untuk AOTCA 2026 dan Malaysia untuk 2027.

Nuryadin mengimbau seluruh anggota IKPI mulai menabung dari sekarang. Jangan sampai kehabisan seat untuk Hong Kong. Ia meyakinkan bahwa gelaran tahun depan akan lebih besar dan lebih meriah.

Nuryadin menyerukan agar seluruh anggota IKPI bersiap sejak awal. “Walaupun masih awal, mari kita dukung AOTCA 2026 di Hong Kong. Presidennya masih Pak Ruston Tambunan, kita dukung penuh,” katanya.

Delegasi IKPI sendiri dijadwalkan kembali ke Jakarta malam ini melalui Bangkok. “Terbang jam 12 malam, transit dulu,” tutupnya.

Dengan berakhirnya AOTCA Nepal 2025, semangat kolaborasi, pertukaran ilmu, dan persahabatan antarnegara semakin menguat—membawa IKPI melangkah lebih percaya diri menuju panggung internasional berikutnya. (bl)

IKPI Tekankan Pentingnya Surat Ikatan Tugas sebagai Perlindungan Hukum Konsultan Pajak

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menegaskan kembali urgensi Surat Ikatan Tugas (SIT) sebagai standar profesional yang wajib diterapkan seluruh konsultan pajak dalam menjalankan penugasannya. Penegasan ini disampaikan Milko Hutabarat, Wakil Ketua Departemen Sistem Pendukung Pengembangan Bisnis Anggota, dalam Bimbingan Teknis (Bimtek) “Kupas Tuntas Surat Ikatan Tugas” yang berlangsung hybrid dari Lantai 3 Gedung IKPI, Jakarta Selatan, Jumat (14/11/2025).

Acara yang dipandu oleh Angela R. Kusumaningtyas, Ketua Bidang Seni Departemen Keagamaan, Sosial, Seni dan Olahraga IKPI, serta menghadirkan Donny Eduardus Rindorindo Ketua Departemen Sistem Pendukung Pengembanagan Bisnis Anggota dan sebagai instruktur, diikuti lebih dari 300 peserta dari berbagai daerah baik secara luring maupun melalui Zoom.

Dalam pengantarnya, Milko menekankan bahwa SIT bukanlah dokumen baru, tetapi merupakan bagian dari Standar Profesi Ikatan Konsultan Pajak Indonesia yang seharusnya sudah melekat dalam praktik sehari-hari. Namun perkembangan profesi yang semakin kompleks membuat banyak konsultan harus kembali memahami signifikansinya.

“SIT adalah dokumen tertulis yang menjelaskan ruang lingkup penugasan, jangka waktu pekerjaan, imbalan, hak dan kewajiban para pihak, hingga batasan tanggung jawab. Ini bukan sekadar formalitas, tetapi dasar hukum yang melindungi konsultan pajak dan klien,” ujar Milko.

Ia menceritakan pengalaman banyak konsultan yang kerap bekerja tanpa kontrak jelas karena terlalu mengandalkan hubungan personal. Akibatnya, ketika muncul ketidaksepakatan, tidak ada dasar tertulis yang dapat dijadikan rujukan.

Risiko Besar Bila SIT Tidak Dibuat

Milko memaparkan setidaknya empat risiko utama bila konsultan menjalankan tugas tanpa SIT:

• Ruang lingkup pekerjaan tidak jelas. Konsultan sering diminta mengerjakan tugas tambahan di luar kesepakatan awal, tetapi tidak ada dasar untuk meminta tambahan fee.

• Potensi penolakan pembayaran fee oleh klien. Tanpa dokumen tertulis, konsultan tidak memiliki bukti kesepakatan.

• Kuasa dapat ditolak otoritas pajak. Dalam urusan hukum seperti pemeriksaan atau pembuatan dokumen tindak pidana pajak (tipidok), keberadaan SIT menjadi krusial.

• Konsultan dapat dipersalahkan atas temuan pajak klien. Banyak klien tidak memahami detail peraturan, sehingga ketika timbul sengketa, konsultan menjadi pihak yang disalahkan.

“Kesepakatan lisan itu sah secara hukum, tetapi rawan multitafsir. SIT dibuat untuk mencegah risiko-risiko itu,” tegas Milko.

Format SIT yang dikembangkan Departemen Sistem Pendukung Pengembangan Bisnis Anggota bersama akademisi telah disusun sedemikian rupa agar memenuhi unsur-unsur hukum perdata Indonesia. Klausul di dalamnya juga disaring dari berbagai undang-undang, seperti:

• UU ITE ( terkait komunikasi dan informasi),

• UU perlindungan data dan kerahasiaan,

• UU perpajakan dan ketentuan KUP.

“Kami menyerap banyak aspek hukum karena SIT harus memberikan kepastian hukum. Mungkin terlihat panjang, tapi itu demi keamanan kita. Konsultan bisa menyesuaikan isi SIT sesuai kebutuhan, tetapi prinsip-prinsip hukumnya tidak boleh hilang,” ungkap Milko.

Ia juga menekankan sejumlah asas penting dalam SIT, seperti asas keseimbangan hak dan kewajiban, itikad baik, legalitas, kepastian hukum, dan ruang lingkup perikatan yang hanya mengikat dua pihak.

Bimtek kemudian dilanjutkan dengan sesi teknis oleh Donny Eduardus Rindorindo yang menguraikan struktur lengkap SIT, termasuk contoh pasal dan ilustrasi kasus dari pengalaman konsultan pajak di lapangan. (bl)

IKPI Beberkan Tantangan Pajak Indonesia di Forum AOTCA Nepal 2025

IKPI, Kathmandu, Nepal:  Ketua Departemen Hubungan Internasional Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), David Tjhai, memaparkan sejumlah tantangan besar yang masih menghambat efektivitas kebijakan perpajakan Indonesia dalam Technical Meeting Session 2 AOTCA 2025 di Kathmandu, Nepal, Kamis (20/11/2025). Ia menjadi salah satu pembicara dengan topik “Challenges in Tax Policy Implementation in Emerging Economies”.

David menegaskan bahwa Indonesia, sebagai bagian dari kelompok emerging economies, menghadapi tantangan struktural dan operasional yang serupa dengan negara berkembang lainnya. “Banyak faktor menggerus efektivitas penerimaan dan tingkat kepatuhan, mulai dari lemahnya institusi hingga tekanan persaingan pajak global,” ujarnya.

(Foto: Istimewa)

Menurut David, sedikitnya enam masalah utama masih membayangi implementasi kebijakan perpajakan di negara berkembang, yakni:

• lemahnya kualitas institusi,

• korupsi dan minimnya transparansi,

• banyaknya pengecualian pajak,

• dominannya sektor informal,

• arus modal menuju tax haven, serta

• tekanan kompetisi tarif pajak antarnegara.

Struktur Penerimaan Pajak Masih Bertumpu pada Pihak Ketiga

David menjelaskan bahwa Indonesia masih sangat mengandalkan mekanisme pemungutan pihak ketiga dalam mengumpulkan penerimaan negara. Berdasarkan data APBN per 30 November 2024, komposisi penerimaan pajak didominasi PPN domestik (25,74%), PPh Badan (17,16%), dan kelompok pajak lainnya (17,15%). Adapun PPh Pasal 21 berkontribusi 13,23%, PPN impor 14,60%, pajak final 7,34%, PPh Pasal 22 impor 3,99%, sementara PPh Orang Pribadi hanya 0,79%.

“Ketergantungan yang besar pada pihak ketiga menjadi ciri kuat administrasi perpajakan Indonesia. Ini memberi keuntungan pada sisi kontrol, namun juga menuntut tata kelola yang jauh lebih disiplin,” jelasnya.

Selain itu, David juga menyoroti hasil reformasi organisasi DJP yang sejak 2002–2008 beralih ke sistem teritorial. Pada saat ini, KPP Madya dan LTO menyumbang 80–85% penerimaan nasional, sedangkan KPP Pratama hanya sekitar 15% dengan fokus memperluas basis perpajakan UMKM.

(Foto: Istimewa)

Terkait PPN, David menjelaskan bahwa UU HPP 2022 memperluas objek pajak dengan memasukkan sejumlah barang dan jasa yang sebelumnya bebas PPN, seperti kebutuhan pokok, layanan medis, sosial, dan pendidikan. Namun banyak dari barang dan jasa tersebut kembali dikecualikan melalui Pasal 16B apabila dianggap strategis.

Ekonomi Bayangan dan Pajak Digital

Indonesia, kata David, masih memiliki pekerjaan rumah besar terkait besarnya aktivitas ekonomi di luar sistem. “Ekonomi bayangan kita diperkirakan mencapai 20–30% PDB. Ini adalah tantangan klasik negara berkembang,” tegasnya.

UMKM dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar masih dikenakan PPh final 0,5% dengan durasi berbeda sesuai jenis entitas.

Untuk mengurangi celah dan memperluas basis pajak, pemerintah telah mengadopsi sejumlah kebijakan digital, antara lain PPN atas transaksi elektronik (PPN PMSE), pemotongan pajak platform digital seperti Tokopedia, Shopee, hingga TikTok, serta implementasi Auto Exchange of Information (AEoI) sejak 2017. Indonesia juga tengah mengikuti ketentuan OECD Pilar Dua dan melakukan evaluasi insentif pajak.

Ia menegaskan bahwa reformasi yang dijalankan Indonesia saat ini selaras dengan empat pilar Deklarasi Doha, yaitu modernisasi sistem pajak, peningkatan efisiensi, perluasan basis pajak, dan pemberantasan penghindaran pajak melalui kerja sama internasional.

Salah satu pilar modernisasi yang paling krusial adalah implementasi Coretax (CTAS). Namun, David mengingatkan bahwa sistem tersebut masih menghadapi tantangan teknis dan operasional.

“Integrasi data, kesiapan infrastruktur, hingga adaptasi pengguna masih menjadi pekerjaan besar. Ketika sistem belum optimal, akurasi data dan kepatuhan wajib pajak ikut terdampak,” katanya.

Di akhir paparannya, David menekankan bahwa keberhasilan reformasi perpajakan di Indonesia bukan hanya bergantung pada kebijakan, tetapi juga pada kualitas institusi, kolaborasi internasional, dan kemampuan menyeimbangkan antara daya saing ekonomi dan keadilan sistem pajak. (bl)

DJP Riau Resmikan 23 Tax Center di Kampus, Perluas Edukasi Pajak

IKPI, Jakarta: Kolaborasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan perguruan tinggi di Riau kian menguat. Sepanjang 2025, Kanwil DJP Riau telah membentuk 23 tax center di berbagai kampus guna memperluas edukasi dan inklusi perpajakan.

Kepala Kanwil DJP Riau, Ardiyanto Basuki, menjelaskan bahwa sejumlah kerja sama baru telah ditandatangani, termasuk perpanjangan kemitraan dengan tax center yang sudah berjalan.

“Kampus untuk Riau sudah 23, artinya sudah ada 23 tax center juga,” ujarnya, Kamis (19/11/2025).

Ia menilai perguruan tinggi adalah mitra strategis DJP dalam menyampaikan informasi perpajakan kepada masyarakat. Layanan tax center, katanya, akan berjalan di kampus mitra dan dapat pula dilaksanakan di kantor pajak maupun lokasi lain agar jangkauannya makin luas.

Ardiyanto menyebut tax center sebagai wadah penting untuk menjadikan ilmu perpajakan lebih hidup tidak hanya dipelajari, tetapi juga dipraktikkan dan diajarkan kembali oleh para dosen serta mahasiswa, termasuk relawan pajak yang aktif mengikuti program Renjani Gathering di Riau.

Rektor Universitas Pasir Pengaraian, Prof. Hardianto, mengapresiasi kontribusi DJP dalam meningkatkan kompetensi mahasiswa melalui keberadaan tax center dan program edukasi.

“Kampus harus berdampak, dan kegiatan ini salah satu cara agar perguruan tinggi memberi manfaat nyata bagi masyarakat,” ujarnya.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, Rosmauli, turut memuji antusiasme peserta. Ia menyebut sinergi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat sebagai fondasi penting dalam membangun budaya sadar pajak yang modern dan transparan.

Rosmauli menyampaikan bahwa secara nasional terdapat sekitar 510 tax center, sementara jumlah relawan pajak mencapai 15.000 orang. Di Riau, relawan pajak yang kini berjumlah 226 ditargetkan meningkat menjadi 441 pada tahun depan.

Ia meyakini perluasan peran perguruan tinggi dalam edukasi pajak akan berdampak positif bagi penerimaan negara.

“Kami membutuhkan para rektor, dosen, mahasiswa, dan relawan pajak untuk memperkuat kepercayaan publik terhadap administrasi perpajakan,” tegasnya. (alf)

en_US