DJP dan Ditjen Minerba Wajibkan Tax Clearance dalam Pengajuan RKAB, 1.800 Pengusaha Tambang Disosialisasi

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan bersama Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM mewajibkan pemenuhan komitmen pelunasan pajak sebagai syarat tambahan dalam pengajuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB). Kebijakan ini disampaikan dalam sosialisasi hybrid kepada sekitar 1.800 pengusaha tambang.

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menegaskan, mulai periode perpanjangan tahun mendatang, dokumen RKAB harus disertai bukti tax clearance. Ketentuan baru ini menjadi bagian dari penyelarasan administrasi antara DJP dan Ditjen Minerba.

“Bapak Ibu silakan mempersiapkan diri. Mulai perpanjangan tahun berikutnya, RKAB akan mensyaratkan kewajiban tax clearance,” ujar Bimo dalam keterangan tertulis, Senin (1/12/2025)

RKAB merupakan laporan tahunan yang wajib disusun perusahaan tambang, mencakup aspek pengusahaan, teknis, hingga lingkungan. Kewajiban ini diatur dalam Permen ESDM Nomor 17/2025. Perusahaan yang tidak menyampaikan RKAB dilarang menjalankan kegiatan pertambangan.

Dengan memasukkan aspek perpajakan sebagai syarat, pemerintah ingin memastikan kepatuhan fiskal berjalan seiring dengan kepatuhan perizinan tambang.

Integrasi Data melalui Coretax dan Minerba-One

Bimo menjelaskan bahwa DJP terus memperkuat basis data melalui integrasi informasi antarinstansi, termasuk sinkronisasi sistem Coretax DJP dengan aplikasi Minerba-One milik Kementerian ESDM. Integrasi ini diharapkan mampu memberikan gambaran lebih komprehensif untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor minerba.

“Ini adalah upaya bersama mengelola kekayaan negara. Pemerintah sebagai regulator dan wajib pajak sebagai pelaku ekonomi harus sejalan,” ujarnya.

Ia kembali menekankan arahan Presiden agar kebijakan fiskal dan tata kelola sumber daya mengacu pada Pasal 33 UUD 1945, dengan semangat gotong royong dalam membangun ekonomi nasional.

Populasi Wajib Pajak dan Penerimaan Minerba Terus Meningkat

Berdasarkan data internal DJP, jumlah wajib pajak di sektor pertambangan minerba menunjukkan tren kenaikan rata-rata 3% per tahun dalam lima tahun terakhir. Dari 6.321 wajib pajak pada 2021, jumlahnya naik menjadi 7.128 pada 2025.

Sementara itu, penerimaan pajak dari sektor pertambangan mineral logam melonjak signifikan—dari Rp4 triliun pada 2016 menjadi Rp45 triliun pada 2024, atau meningkat lebih dari sepuluh kali lipat. Pada sektor batubara, penerimaan mengalami fluktuasi mengikuti pergerakan harga komoditas global.

“Kami tidak bisa berdiri sendiri tanpa kontribusi dari Bapak Ibu pelaku usaha minerba yang menyumbang 20–25% penerimaan negara,” tutup Bimo.

Kebijakan integrasi data dan syarat tax clearance untuk RKAB ini diharapkan dapat memperkuat kepatuhan pajak sekaligus meningkatkan transparansi pengelolaan sektor pertambangan di Indonesia. (alf)

IKPI Cabang Tegal Sukses Selenggarakan PPL Bertema CoreTax System dan Sengketa Pajak

IKPI, Tegal: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Tegal sukses menyelenggarakan seninar Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) di Metro Park View Hotel, Semarang, Sabtu (29/11/2025). Kegiatan ini mengusung tema “SPT Tahunan PPh dengan CoreTax System serta Permohonan Keberatan dan Banding” dengan menghadirkan narasumber berpengalaman, Nurkholik.

Selain anggota cabang Tegal, acara ini dihadiri anggota IKPI dari sejumlah cabang di wilayah Jawa Tengah, serta mendapat apresiasi langsung dari Wakil Ketua Umum IKPI Pusat, Nuryadin Rahman, yang turut hadir memberikan sambutan. 

Dalam pesannya, Nuryadin menekankan pentingnya keseriusan seluruh peserta dalam mengikuti materi yang disampaikan, mengingat dinamika perpajakan yang terus berkembang.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Tegal)

“Saya berharap seluruh peserta PPL serius dan betul-betul mengikuti materi yang disajikan narasumber. Sinergi IKPI Cabang dengan IKPI Pusat juga harus terus diperkuat. Mohon doa dan dukungan agar kami dapat mengembangkan IKPI hingga mencapai 100 cabang di seluruh Indonesia,” ujar Nuryadin.

Sementara itu, Ketua IKPI Cabang Tegal, H. Imron, menyampaikan terima kasih atas kepercayaan yang diberikan serta mengajak seluruh jajaran untuk semakin memperkokoh kerja sama organisasi.

“Kami berharap sinergi antara IKPI Pusat, Pengda Jawa Tengah, dan seluruh IKPI Cabang dapat terus ditingkatkan sehingga organisasi kita semakin solid dan mampu menjawab kebutuhan anggota serta perkembangan industri jasa perpajakan yang semakin kompleks,” ungkapnya.

Sementara itu, Ketua IKPI Pengda Jawa Tengah, Slamet Umbaran, dalam sambutannya menyoroti tantangan profesi konsultan pajak yang semakin dinamis, khususnya pada penerapan sistem perpajakan berbasis teknologi.

“Implementasi CoreTax System, terutama dalam proses pelaporan SPT Tahunan PPh, menuntut kita untuk terus meningkatkan kompetensi, pemahaman, serta kemampuan dalam memberikan layanan terbaik kepada wajib pajak,” tegasnya.

Melalui PPL ini, diharapkan para konsultan pajak dapat meningkatkan keahlian dan pengetahuan, khususnya terkait CoreTax System serta penanganan keberatan dan banding pajak, sehingga semakin mampu mendukung wajib pajak dalam memenuhi hak dan kewajiban perpajakannya secara profesional.

Acara berjalan dengan lancar dan interaktif, serta menjadi momentum penting dalam memperkuat profesionalisme dan solidaritas antaranggota IKPI di wilayah Jawa Tengah dan sekitarnya. (bl)

Dari SP2DK ke Data Konkret: Menguji Keadilan di Era Pajak Digital

Modernisasi administrasi perpajakan tidak terelakkan. Di tengah kompleksitas ekonomi digital dan derasnya arus data transaksi, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dituntut untuk bekerja semakin presisi. Salah satu langkah strategis terbaru adalah penerbitan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-18/PJ/2025 tentang Tindak Lanjut atas Data Konkret—sebuah regulasi teknis yang berpotensi mengubah relasi antara negara dan Wajib Pajak.
Perubahan ini mungkin terdengar administratif. Namun sesungguhnya, ia menyentuh soal yang lebih mendasar: bagaimana negara mengelola kekuasaan fiskal di era digital tanpa mengorbankan rasa keadilan.

Pergeseran dari Klarifikasi ke Penegakan

Selama ini, publik mengenal SP2DK (Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan) sebagai pintu awal komunikasi fiskus dengan Wajib Pajak. SP2DK secara normatif ditempatkan dalam kerangka klarifikasi: negara meminta penjelasan, Wajib Pajak memberikan respons. Di ruang ini, masalah kepatuhan kerap dapat diselesaikan tanpa eskalasi ke pemeriksaan.


Namun PER-18/PJ/2025 memperkenalkan konsep baru: data konkret. Data konkret didefinisikan sebagai data yang dimiliki DJP dan cukup kuat untuk diuji secara sederhana, lalu langsung ditindaklanjuti melalui pengawasan atau pemeriksaan spesifik.

Contohnya adalah faktur pajak yang telah disetujui sistem tetapi tidak dilaporkan di SPT, bukti potong/pungut pajak yang belum dilaporkan, pengkreditan Pajak Masukan yang tidak sesuai ketentuan, hingga hasil SP2DK yang telah disepakati tetapi tidak direalisasikan oleh Wajib Pajak.


Di titik inilah terjadi pergeseran fundamental. Negara tidak lagi sekadar bertanya atas dasar dugaan, melainkan bertindak atas dasar data yang telah dianggap cukup kuat. SP2DK tidak dihapus, tetapi perannya berubah: dari ruang dialog, menjadi bagian dari rantai penegakan.

Data sebagai Otoritas

Dalam rezim baru ini, data tidak lagi netral. Data menjadi otoritas. Data menjadi dasar legitimasi tindakan. Bagi DJP, ini adalah manifestasi dari reformasi administrasi perpajakan berbasis teknologi.

Sistem seperti e-Faktur, e-Bupot, dan penguatan core tax system menghasilkan volume data besar yang tak mungkin dibiarkan mengendap. Pemanfaatannya untuk pengawasan adalah keniscayaan.

Namun, persoalan muncul ketika data yang kuat tidak diimbangi oleh mekanisme perlindungan yang memadai. Dalam praktik, kesalahan data bukan hal mustahil. Ketidaksesuaian laporan dapat timbul dari berbagai faktor: kesalahan input, keterlambatan sinkronisasi, kelalaian pihak ketiga, atau problem teknis pada sistem itu sendiri.


Jika data yang belum sepenuhnya steril dari kesalahan langsung diberi status sebagai “data konkret”, maka risiko keadilan prosedural menjadi taruhan.

Keadilan Prosedural dan Asimetri Informasi

Dalam negara hukum, kekuasaan tidak cukup hanya sah secara formal, tetapi juga harus adil dalam prosedur. PER-18/PJ/2025 membawa implikasi terhadap apa yang dikenal sebagai keadilan prosedural (procedural justice). Jika data konkret menjadi dasar tindakan, pertanyaannya: seberapa besar ruang Wajib Pajak untuk memeriksa, menguji, dan membantah data tersebut? Apakah akses terhadap data yang digunakan negara tersedia secara memadai bagi Wajib Pajak? Ataukah hanya sebagian yang diperlihatkan? Di sinilah risiko asimetri informasi muncul. Negara memegang seluruh infrastruktur data, sementara Wajib Pajak berada pada posisi reaktif. Jika kesenjangan ini tidak dikelola hati-hati, relasi fiskus–Wajib Pajak akan semakin timpang.

Kepatuhan yang lahir dari ketimpangan bukanlah kepatuhan yang berkelanjutan. Ia hanya melahirkan rasa takut, bukan kesadaran.

Efisiensi Negara vs Rasa Keadilan Warga

Dari sudut pandang fiskal, PER-18/PJ/2025 dapat mempercepat proses koreksi potensi pajak yang tidak atau kurang dibayar. Negara membutuhkan penerimaan yang optimal untuk membiayai pembangunan. Namun bagi Wajib Pajak—terutama UMKM dan pelaku usaha yang belum sepenuhnya siap digital—kebijakan ini bisa menambah tekanan administratif. Mereka tidak hanya dituntut patuh membayar pajak, tetapi juga harus piawai mengelola data, memastikan sinkronisasi sistem, dan meminimalkan risiko mismatch.
Tanpa dukungan edukasi dan asistensi yang memadai, kebijakan ini berpotensi menciptakan beban baru bagi kelompok usaha yang rentan.

Legitimasi Lebih Penting dari Sekadar Efektivitas

Pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa keberhasilan modernisasi pajak tidak semata diukur dari peningkatan rasio penerimaan. Lebih dari itu, ia diukur dari seberapa jauh sistem tersebut dipercaya publik.
Efektivitas tanpa legitimasi hanya menghasilkan kepatuhan semu.
Legitimasi tanpa efektivitas menghasilkan sistem yang rapuh.
PER-18/PJ/2025 berada di persimpangan itu.
Agar regulasi ini tidak sekadar menjadi alat tekan, tetapi juga instrumen transformasi yang adil, setidaknya ada tiga prasyarat penting:

  1. Transparansi data
    Wajib Pajak harus diberi akses yang jelas terhadap data konkret yang digunakan sebagai dasar pengawasan atau pemeriksaan.
  2. Ruang klarifikasi yang manusiawi
    Meskipun data konkret bisa langsung ditindaklanjuti, mekanisme dialog tetap harus dijaga agar tidak berubah menjadi proses sepihak.
  3. Standar kualitas data internal yang ketat
    Negara harus memastikan bahwa data yang dikualifikasi sebagai “konkret” benar-benar memiliki kualitas dan validitas yang tinggi.
    Tanpa tiga hal ini, penggunaan data justru berpotensi melahirkan sengketa dan memukul kepercayaan.

Penutup: Membangun Negara Digital yang Berkeadilan

Transformasi digital dalam perpajakan adalah keniscayaan. Negara tidak mungkin kembali ke cara-cara lama yang lambat, manual, dan penuh celah.
Namun negara digital tidak boleh kehilangan sisi manusianya.
Di balik angka, ada usaha.
Di balik data, ada keringat.
Di balik faktur, ada kehidupan ekonomi riil.
PER-18/PJ/2025 adalah ujian bagi kedewasaan institusi perpajakan kita:
mampukah negara menggunakan kekuatan data bukan sekadar untuk mengawasi, tetapi juga untuk memperkuat legitimasi dan keadilan?
Jika jawabannya ya, maka data konkret bukan ancaman, melainkan fondasi baru bagi sistem pajak yang modern, adil, dan beradab.

Penulis adalah Ketua Departemen Humas IKPI, Dosen, dan Praktisi Perpajakan

Jemmi Sutiono

Email:   jemmi.sutiono@gmail.com

 Disclaimer: Tulisan ini merupakan pandangan dan pendapat pribadi penulis

Komunitas Rider Bali Jadi Ruang Sharing Perpajakan dan Jembatan Kolaborasi Lintas Komunitas

IKPI, Mataram: Komunitas Rider Bali, yang beranggotakan puluhan anggota IKPI se-Bali, resmi diperkenalkan pada 26 November 2025 di Mataram oleh Ketua Umum IKPI, Vaudy Starworld. Meski baru diresmikan, komunitas ini langsung menunjukkan orientasi yang lebih luas dari sekadar menyalurkan hobi touring.

Koordinator Rider Bali, Dedy Kesuma, menjelaskan bahwa komunitas ini dibentuk sebagai wadah kebersamaan sesama anggota IKPI yang memiliki minat sama di dunia riding, sekaligus ruang untuk memperdalam wawasan profesional di bidang perpajakan.

(Foto: Istimewa)

“Awalnya memang karena hobi riding. Tapi dalam kegiatan kami, justru banyak diskusi soal perpajakan, membahas kasus, pengembangan kantor, dan profesionalisme konsultan pajak,” ujar Dedy, Kamis (27/11/2025).
Ia menekankan bahwa suasana santai saat touring justru membuat pertukaran pengetahuan berlangsung lebih cair dan efektif. Agenda touring Rider Bali biasanya ditetapkan setiap pekan keempat atau melalui kesepakatan para anggota. Namun menurut Dedy, esensi komunitas ini jauh melampaui rute perjalanan.

Ia menyebut bahwa kehadiran Rider Bali diharapkan mampu membuka jalur komunikasi dan kolaborasi dengan komunitas motor lain di luar IKPI termasuk dari unsur pemerintahan maupun kalangan wajib pajak, baik badan maupun perorangan, yang memiliki komunitas riding sejenis.

(Foto: Istimewa)

“Kalau ada komunitas luar, baik dari instansi pemerintah maupun wajib pajak yang juga punya hobi touring, kegiatan bersama sangat mungkin dilakukan. Ini bisa jadi ruang untuk membangun relasi, menyatukan pemahaman, sekaligus memberikan edukasi perpajakan dalam suasana yang jauh lebih santai,” jelasnya.

Selain itu, Dedy menargetkan terbentuknya sinergi dengan komunitas IKPI Rider dari provinsi lain. Setelah resmi diperkenalkan oleh Ketum IKPI, langkah berikutnya adalah memperkuat jaringan lintas daerah.

(Foto: Istimewa)

“Ke depan kami berharap Rider Bali bisa berkolaborasi dengan IKPI Rider dari provinsi lain. Bisa saling mengunjungi atau menggelar touring bersama agar kebersamaan semakin kuat,” katanya.

Dengan diluncurkannya Rider Bali, IKPI tidak hanya memperluas bidang kegiatan anggotanya, tetapi juga membuka cara baru dalam membangun kebersamaan, meningkatkan kapasitas profesional, dan menjalin hubungan lintas komunitas melalui pendekatan yang lebih humanis dan berbasis hobi bersama. (bl)

IKPI Peduli Banjir Sumatera, Ajak Seluruh Anggota Berdonasi

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) kembali menunjukkan komitmen sosial melalui gerakan “IKPI Peduli Banjir di Sumatera” untuk membantu korban bencana banjir yang melanda beberapa wilayah di Pulau Sumatera. Ketua Departemen Keagamaan, Sosial, Seni dan Olahraga (KSSO) IKPI, Rusmadi mengimbau seluruh anggota di seluruh Indonesia agar mengambil bagian dalam penggalangan donasi nasional ini.

Rusmadi menyampaikan bahwa banjir yang terjadi telah berdampak pada masyarakat luas, termasuk sejumlah anggota IKPI di wilayah terdampak. Karena itu, solidaritas antaranggota menjadi sangat penting untuk membantu proses pemulihan.

Bantuan Akan Disalurkan ke Empat Wilayah Utama

Dana yang terkumpul akan difokuskan untuk membantu Anggota IKPI dan masyarakat yang terdampak banjir di empat lokasi berikut:

• Aceh

• Sumatera Utara

• Sumatera Barat

Penyaluran bantuan akan dilakukan melalui IKPI Pengda Sumbagut dan Sumbagteng agar lebih terkoordinasi dan tepat sasaran.

Penyaluran Donasi Melalui Rekening Resmi

IKPI mengajak seluruh anggota untuk menyalurkan sumbangan melalui rekening resmi:

Rekening Bank IKPI – Pengda Sumbagut

Bank : BCA

Cabang : Asia

Nomor Rekening : 195-598-3388

Nama : Ikatan Konsultan Pajak Indonesia

Untuk memudahkan koordinasi dan konfirmasi donasi, IKPI menunjuk empat PIC:

• Widya : 0851-8605-8388

• Mona : 0858-9138-0651

• Johanes Santoso : 0811-213-727

• Han Wie : 08161-6850005

Penggalangan Donasi Ditutup pada 8 Desember 2025

Batas waktu pengumpulan donasi ditetapkan hingga Senin, 08 Desember 2025. Setelah periode tersebut, seluruh bantuan akan segera disalurkan ke daerah terdampak untuk membantu kebutuhan darurat dan pemulihan.

Ia menegaskan bahwa aksi ini merupakan wujud nyata kepedulian dan kekompakan IKPI. “Kontribusi sekecil apa pun sangat berarti bagi saudara-saudara kita yang sedang menghadapi masa sulit di Sumatera,” ujarnya. (bl)

Diskusi Panel IKPI: Dendi Siswanto Kritik Wacana Tax Amnesty Jilid III dan Insentif Family Office 0%, Sebut Risiko Moral Hazard Mengancam

IKPI, Jakarta: Dalam sesi lanjutan Diskusi Panel IKPI yang berlangsung pada Jumat (28/11/2025), jurnalis Kontan Dendi Siswanto kembali menarik perhatian audiens dengan analisis kritis mengenai arah kebijakan fiskal pemerintah, terutama terkait wacana Tax Amnesty Jilid III dan rencana pemberian insentif pajak 0% bagi Family Office.

Menurut Dendi, wacana Tax Amnesty lanjutan adalah kebijakan yang berpotensi menjadi “karpet merah bagi wajib pajak kaya yang tidak patuh.” Ia menilai, pemberian pengampunan pajak berulang kali dapat menciptakan moral hazard, di mana konglomerat justru merasa aman untuk menyembunyikan harta karena yakin pada akhirnya pengampunan baru akan diberikan.

“Ini bukan sekadar kekhawatiran. Pak Purbaya sendiri sudah menolak rencana Tax Amnesty Jilid III karena berpotensi mendorong ketidakpatuhan,” tegasnya.

Selain itu, Dendi menyoroti rencana pembentukan Family Office yang disebut-sebut bakal menawarkan insentif pajak 0%. Hingga kini, pemerintah belum menjelaskan detail kebijakan itu, namun rencana tersebut sudah memunculkan diskusi luas di publik. 

Menurut Dendi, kebijakan ini berpotensi menciptakan ketimpangan karena memberi fasilitas super ringan kepada kelompok kaya, sementara kelas menengah tetap menanggung beban pajak yang besar.

“Kelas menengah bayar PPh 21, bayar PPN saat belanja, bahkan bayar pajak UMKM jika punya usaha. Beban mereka jelas lebih besar, tetapi insentif yang diterima justru jauh lebih kecil,” ujarnya.

Dendi menilai kondisi itu semakin memperkuat narasi bahwa sistem perpajakan Indonesia belum sepenuhnya mencerminkan asas keadilan. Di sisi lain, ia mengakui bahwa family office sebenarnya dapat memberikan manfaat kompetitif bagi Indonesia, seperti yang sudah diterapkan Singapura. Namun, ia menekankan pentingnya merancang struktur pajak yang tetap adil.

Dalam paparannya, Dendi mengutip rekomendasi dari ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) yang mengusulkan penambahan lapisan tarif PPh untuk kelompok super kaya. Saat ini tarif pajak orang pribadi berada pada dua bracket tertinggi: 30% untuk penghasilan Rp500 juta–Rp5 miliar dan 35% untuk penghasilan di atas Rp5 miliar.

AMRO menilai selisih kedua lapisan ini terlalu lebar. Oleh karena itu, Dendi menyampaikan usulan menambah bracket baru untuk penghasilan mulai dari Rp10 miliar hingga Rp20 miliar, dengan tarif yang lebih progresif.

“Menambah bracket jauh lebih baik daripada menaikkan tarif konsumsi seperti PPN. Struktur pajak yang lebih progresif akan memperkuat keadilan fiskal dan meningkatkan kontribusi kelompok berpenghasilan tinggi,” jelasnya.

Sebagai penutup, Dendi menggarisbawahi bahwa sejumlah kebijakan pemerintah belakangan ini mulai dari rencana Tax Amnesty hingga insentif Family Office berpotensi memperlebar jurang kepercayaan publik terhadap otoritas pajak. Ia mendorong pemerintah untuk fokus pada peningkatan pengawasan, pemanfaatan teknologi seperti Cortex dan integrasi NIK–NPWP, serta perluasan basis wajib pajak kaya yang betul-betul masuk ke tarif 35%.

“Data menunjukkan kesenjangan pajak semakin melebar. Jika tidak segera diatasi, keadilan pajak hanya akan jadi slogan,” tegasnya. (bl)

Diskusi Panel IKPI: Budi Arifandi Tegaskan HWI Tak Boleh Di-Stigma, Tapi Berpotensi Lakukan Agresif Tax Planning

IKPI, Jakarta: Dalam Diskusi Panel IKPI bertema “Di Balik Harta Para Konglomerat: Menemukan Celah Keadilan Pajak”, pengamat perpajakan Budi Arifandi menekankan pentingnya memperlakukan high wealth individual (HWI) secara objektif dan tidak penuh prasangka. Acara yang diikuti sekitar 100 peserta pada Jumat (28/11/2025) itu membahas bagaimana sistem perpajakan harus mampu menjaga keadilan tanpa mengabaikan asas praduga tak bersalah.

Menurut Budi, OECD memang mengelompokkan HWI sebagai kategori wajib pajak dengan risiko tertentu, seperti potensi melakukan aggressive tax planning, struktur kepemilikan aset yang kompleks, serta transaksi lintas yurisdiksi. Namun, tidak semua HWI bermasalah.

“Wajib pajak itu adalah aset negara. Mereka bukan tersangka. Prinsip praduga tidak bersalah harus selalu dikedepankan,” tegasnya.

Budi meminta semua pihak memiliki definisi yang sama mengenai siapa yang disebut HWI.

“Apakah HWI itu mereka yang terdaftar di KPP Besar, membayar tepat waktu, atau HWI dengan kecenderungan risiko tertentu? Ini perlu disepakati dulu sebelum menilai apakah mereka ‘bermasalah’ atau tidak.”

Ia mengingatkan bahwa judul diskusi panel IKPI sangat sensitif sehingga diperlukan kehati-hatian dalam membahas isu yang menyangkut kelompok pembayar pajak terbesar di Indonesia tersebut.

Dalam paparannya, Budi merinci tiga pendekatan utama DJP dalam mengawasi HWI:

1. Pendekatan Persuasif

• Rasio AR terhadap WP yang kecil memungkinkan konsultasi intensif.

• HWI mendapatkan edukasi langsung, termasuk saat implementasi sistem Cortex.

• DJP pernah memberikan penghargaan bagi WP patuh dan WP dengan kontribusi besar.

2. Pemeriksaan dan Penilaian Berbasis Data

Pengawasan dilakukan berdasarkan data dari:

• perbankan,

• kerja sama internasional EOI,

• ILAP,

• analisis internal, serta

• hasil penilaian dan pemeriksaan sebelumnya.

3. Penegakan Hukum dan Penagihan

Untuk WP yang terindikasi melakukan fraud atau penggunaan faktur fiktif, DJP dapat menerapkan sanksi sesuai ketentuan KUP dan UU PPSP.

Fenomena Nomine dan Mobilitas Tinggi Hambat Deteksi HWI

Budi juga menyoroti fenomena umum di Indonesia: banyak aset dan perusahaan yang didaftarkan atas nama keluarga atau pihak dekat. Selain itu, mobilitas tinggi para HWI membuat proses pemanggilan ataupun penyuluhan menjadi tantangan tersendiri.

“Kadang ada WP yang takut bertemu petugas pajak. Ini kenyataan yang masih sering ditemui,” ujarnya.

Budi menyoroti peran penting IKPI sebagai organisasi profesi konsultan pajak. Data dari P2PK menunjukkan hanya 0,07% wajib pajak yang menggunakan jasa konsultan pada 2021—angka yang sangat kecil dibanding negara maju seperti Australia.

Karena itu, ia mendorong konsultan pajak untuk:

• memperkuat edukasi kepada masyarakat,

• menjadi jembatan komunikasi antara WP dan DJP,

• meningkatkan kompetensi anggota, dan

• menjunjung tinggi kode etik profesi.

“Jika konsultan pajak lebih aktif, ekosistem kepatuhan akan jauh lebih baik,” kata Budi.

Diskusi panel IKPI tersebut ditutup dengan ajakan memperkuat kolaborasi demi keadilan perpajakan yang lebih terukur, transparan, dan berkelanjutan. (bl)

DPRD Kabupaten Malang Tuntaskan Penyempurnaan Aturan Pajak dan Retribusi

IKPI, Jakarta: Panitia Khusus (Pansus) Pajak dan Retribusi Daerah DPRD Kabupaten Malang resmi menuntaskan penyempurnaan regulasi perpajakan yang akan mulai berlaku pada 2026. Penyempurnaan ini dilakukan untuk menata mekanisme penarikan pajak dan retribusi yang selama ini dinilai belum optimal dan masih menyisakan ketidakjelasan di lapangan.

Ketua Pansus, Zulham Akhmad Mubarrok, menyampaikan bahwa salah satu pembaruan paling krusial adalah pengaturan ulang pajak air tanah. Selama ini, komponen tersebut tidak diatur secara detail sehingga pelaksanaannya kerap berbeda antara satu wilayah dan lainnya.

“Komponen pajak yang selama ini tidak detail kini kami atur secara jelas. Pajak air tanah berlaku bagi seluruh pengguna, kecuali kebutuhan rumah tangga serta kegiatan sosial-keagamaan,” ujar Zulham.

Ia menegaskan, lembaga pendidikan non-profit seperti pesantren juga masuk kategori yang dikecualikan. Menurutnya, aturan ini perlu dicantumkan secara eksplisit dalam peraturan turunan Bupati agar tidak terjadi kekeliruan proses penarikan pajak di lapangan.

“Selama lembaga tersebut benar-benar non-profit, seperti pesantren, mereka tidak wajib membayar pajak air tanah. Selama ini karena tidak diatur secara jelas, ada yang ditarik dan ada yang tidak,” jelas anggota Komisi IV DPRD Kabupaten Malang itu.

Industri Wajib Tertib Pajak Air Tanah

Zulham menekankan bahwa air tanah merupakan sumber daya alam yang tidak dapat pulih dengan cepat. Untuk itu, penggunaan air tanah pada sektor industri akan dikenai tarif berbeda berdasarkan tingkat risiko—tinggi, sedang, atau rendah.

“Perusahaan harus tertib pajak air tanah. Selama ini pengelolaan oleh karyawan sering tidak dilaporkan sehingga tidak tercatat sebagai kewajiban pajak,” tegasnya.

Dalam aturan baru, perusahaan yang tidak melaporkan penggunaan atau pengelolaan air tanah juga akan dikenai sanksi dan denda. Ia mendorong Pemkab Malang memperkuat regulasi tersebut dalam Peraturan Daerah (Perda) yang akan diberlakukan tahun depan.

Genset Besar Mulai Dipajaki, Parkir Juga Dimaksimalkan

Selain air tanah, DPRD Kabupaten Malang juga menyisipkan ketentuan baru terkait penggunaan generator atau genset berskala besar di perusahaan. Selama ini, sektor tersebut tidak pernah tersentuh kewajiban pajak.

“Tahun depan pajak dan retribusi kami maksimalkan, termasuk perusahaan yang menggunakan generator besar. Itu nanti dikenai pajak tiga persen,” kata Zulham.

Sistem penarikan pajak akan dilakukan melalui aplikasi SiPanji, yang akan menerbitkan identitas wajib pajak, nilai kewajiban, dan rekening resmi untuk proses pembayaran.

“Melalui SiPanji akan dikeluarkan identitas wajib pajak dan rekening penarikannya. Setelah itu baru ditarik sesuai standar yang ditetapkan Bapenda,” tambahnya.

Dengan selesainya penyempurnaan aturan ini, DPRD Kabupaten Malang berharap mekanisme penarikan pajak dan retribusi menjadi lebih tertib, transparan, dan mampu meningkatkan pendapatan asli daerah secara signifikan mulai tahun 2026. (alf)

MUI dan Dirjen Pajak Sepakat Bentuk Task Force, Bahas Fatwa Pajak Berkeadilan

IKPI, Jakarta: Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa Prof Asrorun Niam Sholeh menerima kunjungan Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto, dalam sebuah pertemuan yang membahas implementasi skema pajak berkeadilan dan penyampaian Fatwa MUI tentang Pajak Berkeadilan. Fatwa tersebut sebelumnya disahkan dalam Musyawarah Nasional XI pada 22 November 2025 sebagai respons atas keresahan masyarakat mengenai kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dianggap tidak proporsional.

Pertemuan yang berlangsung di Kantor MUI pada Jumat (28/11/2025) sore. Baik MUI maupun Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan bahwa pajak merupakan alat krusial untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Karena itu, prinsip keadilan harus menjadi dasar utama dalam setiap kebijakan perpajakan.

Dalam forum tersebut, kedua pihak menyepakati pembentukan task force yang akan menindaklanjuti Fatwa Pajak Berkeadilan. Tim ini akan mengkaji berbagai aspek sistem perpajakan nasional, termasuk dorongan agar pemungutan pajak lebih proporsional terhadap pihak yang menguasai kekayaan besar.

Turut hadir dalam diskusi itu Sekjen MUI Amirsyah Tambunan, Ketua Bidang Komdigi Masduki Baidlowi, Ketua Bidang Hukum Wahidudin Adams, serta sejumlah pimpinan Komisi Fatwa MUI seperti Prof Abdurrahman Dahlan dan KH Miftahul Huda. Dari pihak DJP hadir Sekretaris DJP Sigit Danang Joyo, Direktur P2Humas Rosmauli, Direktur KITSD Belis Siswanto, Direktur TPB Imam Arifin, dan Direktur Peraturan Perpajakan II Heri Kuswanto.

Isi Fatwa MUI tentang Pajak Berkeadilan

Fatwa MUI menetapkan beberapa pedoman hukum terkait kewajiban pajak dalam perspektif syariah:

Ketentuan Hukum

1. Negara berkewajiban mengelola kekayaan untuk kemakmuran rakyat.

2. Pemungutan pajak diperbolehkan apabila kekayaan negara tidak mencukupi, dengan syarat:

• a. Pajak penghasilan hanya dikenakan pada warga negara dengan kemampuan finansial minimal setara nishab zakat mal (85 gram emas).

• b. Objek pajak terbatas pada harta produktif atau kebutuhan sekunder/tersier.

• c. Pajak digunakan untuk kepentingan publik dan kelompok yang membutuhkan.

• d. Penetapan pajak harus adil.

• e. Pengelolaan pajak wajib amanah dan transparan.

3. Pajak yang dibayarkan merupakan amanah rakyat yang harus dikelola pemerintah secara jujur dan akuntabel.

4. Kebutuhan primer tidak boleh dikenakan pajak berulang.

5. Sembako tidak boleh dikenakan pajak.

6. Rumah hunian non-komersial tidak boleh dikenakan PBB berulang.

7. Warga negara wajib menaati aturan pajak yang sesuai prinsip keadilan dalam syariah.

8. Pemungutan pajak yang bertentangan dengan prinsip tersebut dihukumi haram.

9. Zakat menjadi pengurang kewajiban pajak.

Rekomendasi Fatwa

MUI juga mengeluarkan sejumlah rekomendasi untuk perbaikan sistem pajak nasional:

1. Beban pajak harus disesuaikan dengan kemampuan wajib pajak, termasuk evaluasi pajak progresif yang dinilai memberatkan.

2. Pemerintah diminta mengoptimalkan pengelolaan kekayaan negara dan memberantas mafia pajak.

3. Pemerintah dan DPR perlu meninjau kembali peraturan perpajakan yang dinilai tidak adil.

4. Pemda bersama Kemendagri diminta mengevaluasi kebijakan PBB, PPN, PPh, PKB, dan pajak waris yang kerap dinaikkan tanpa mempertimbangkan keadilan masyarakat.

5. Pemerintah berkewajiban mengelola pajak secara amanah dan menjadikan fatwa ini sebagai pedoman.

6. Masyarakat perlu taat membayar pajak selama digunakan untuk kemaslahatan umum. (alf)

INDEF Peringatkan Risiko Fiskal Jangka Panjang dari Proyek Kereta Cepat Whoosh

IKPI, Jakarta: Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti mengingatkan pemerintah mengenai meningkatnya risiko fiskal jangka panjang dari proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh. Menurutnya, skala utang yang membiayai proyek tersebut kini menuntut perhitungan ulang yang lebih realistis agar tidak membebani keuangan negara di masa depan.

Esther menyebut total pembiayaan proyek telah menembus lebih dari Rp116 triliun, dengan cost overrun sekitar Rp19 triliun. Kondisi ini, ditambah performa okupansi penumpang yang belum stabil, membuat kemampuan proyek untuk mengembalikan kewajibannya kian berat.

Saat ini, tingkat okupansi Whoosh tercatat sekitar 60% dari kapasitas maksimal 36.000 penumpang per hari. Dengan tren tersebut, potensi periode pengembalian investasi menjadi sangat panjang.

“Dengan kondisi ini, payback period dapat mencapai lebih dari 100 tahun jika okupansi di bawah 50%,” kata Esther, dikutip Minggu (30/11/2025).

Sejumlah kajian memperkirakan periode pengembalian investasi Whoosh berada di kisaran 38 hingga 40 tahun, tetapi dengan asumsi okupansi penuh dan pola penggunaan yang stabil. Kenyataannya, ujar Esther, masyarakat masih memiliki banyak pilihan moda transportasi yang lebih terjangkau, seperti kendaraan pribadi, travel, hingga kereta reguler, sehingga tingkat permintaan Whoosh belum optimal.

Esther juga menanggapi pernyataan Presiden Prabowo Subianto mengenai kesanggupan pemerintah menangani kewajiban utang KCJB. Ia menekankan bahwa kesanggupan tersebut tidak selalu berarti menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menurutnya, terdapat empat opsi pembiayaan yang dapat dipertimbangkan:

APBN sebagai pilihan terakhir, dukungan pendanaan melalui Danantara, penerbitan obligasi, atau skema kerja sama pemerintah dan swasta.

Namun, ia menegaskan bahwa setiap opsi tetap memiliki konsekuensi fiskal.

“Jika sebagian beban dialihkan ke APBN, alokasi anggaran untuk program lain pasti berkurang. Itu harus dihitung secara cermat dampaknya,” ucapnya.

Selain itu, Esther menyoroti potensi tekanan terhadap kinerja PT KAI sebagai pemegang saham mayoritas KCJB. Menurutnya, beban utang yang besar bisa memengaruhi kemampuan perusahaan dalam menjaga kualitas layanan jika tidak disertai pengelolaan keuangan yang disiplin.

Menutup pandangannya, Esther menegaskan perlunya evaluasi mendalam terhadap proyek-proyek infrastruktur berskala besar. Ia meminta pemerintah memastikan adanya perencanaan yang matang, kajian kelayakan yang menyeluruh, serta pelibatan publik sebelum mengambil keputusan investasi jangka panjang. Hal ini penting agar proyek tidak berujung menjadi beban fiskal berkepanjangan bagi negara. (alf)

en_US