Sulteng Raih Dana Insentif Fiskal Rp5,6 Miliar Berkat Keberhasilan Tekan Stunting

IKPI, Jakarta: Upaya Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) dalam menurunkan angka stunting akhirnya berbuah manis. Pemerintah pusat memberikan Dana Insentif Fiskal (DIF) sebesar Rp5,6 miliar sebagai bentuk apresiasi atas capaian signifikan daerah ini dalam memperbaiki kualitas gizi anak.

“Penghargaan ini menjadi bukti bahwa kerja keras semua pihak di Sulteng membuahkan hasil nyata. Namun perjuangan belum selesai. Kita harus memastikan anak-anak Sulteng tumbuh sehat, kuat, dan cerdas agar siap bersaing di masa depan,” ujar Wakil Gubernur Sulteng, Reny A. Lamadjido, dalam keterangan tertulis di Palu, Rabu (12/11/2025).

Penghargaan tersebut diserahkan dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) dan Rapat Koordinasi Teknis (Rakortek) Percepatan Penurunan Stunting 2025 yang digelar Kementerian Kesehatan di Jakarta.

Reny menyampaikan rasa syukur dan apresiasi atas penghargaan itu, sekaligus menegaskan bahwa keberhasilan Sulteng adalah hasil kerja kolektif lintas sektor—mulai dari tenaga kesehatan, perangkat daerah, hingga peran aktif masyarakat desa.

Pemerintah Provinsi Sulteng berkomitmen untuk terus memperkuat program intervensi gizi, edukasi keluarga, serta sinergi lintas sektor hingga pelosok, agar penurunan stunting bisa berkelanjutan.

“Penurunan stunting bukan semata isu kesehatan, tapi juga investasi jangka panjang bagi kualitas sumber daya manusia Sulawesi Tengah,” kata Reny.

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 330 Tahun 2025, pemerintah menetapkan total alokasi Dana Insentif Fiskal sebesar Rp300 miliar bagi daerah-daerah yang berhasil menurunkan prevalensi stunting. Dari jumlah tersebut, Sulawesi Tengah menjadi salah satu provinsi penerima berkat capaian penurunan yang signifikan di berbagai kabupaten/kota.

Pemerintah pusat, melalui Sekretariat Wakil Presiden RI, menargetkan prevalensi stunting nasional turun hingga 14,2 persen pada 2029 dan 5 persen pada 2045, sebagaimana tertuang dalam RPJMN 2025–2029 dan RPJP 2025–2045. Capaian Sulteng menjadi bukti nyata bahwa kolaborasi daerah mampu mendukung target nasional tersebut.

Reny menegaskan bahwa penghargaan ini bukan hanya simbol prestasi, tetapi juga tanggung jawab moral bagi seluruh jajaran pemerintah daerah dan tenaga kesehatan.

“Kami akan terus bekerja dengan hati, memastikan setiap anak di Sulawesi Tengah mendapatkan hak tumbuh kembang yang layak. Karena sehatnya anak hari ini adalah cerminan kuatnya masa depan daerah,” pungkasnya.

Ia juga menyampaikan apresiasi kepada seluruh Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS), termasuk Bappeda, Dinas Kesehatan, dan para kader posyandu yang telah berjuang tanpa lelah di lapangan, menjadi garda terdepan dalam memastikan generasi Sulteng tumbuh sehat dan berkualitas. (alf)

IKPI Jakarta Utara Tutup Rangkaian PPL 2025 dengan Seminar Coretax dan Rapat Anggota

IKPI, Jakarta Utara: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Utara kembali menggelar kegiatan Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) di Jakarta. Seminar ini menjadi penutup rangkaian kegiatan PPL tahun 2025 yang diselenggarakan oleh IKPI Cabang Jakarta Utara.

Kegiatan tersebut diikuti oleh 138 peserta, terdiri atas anggota IKPI Jakarta Utara dan peserta umum. Seminar menghadirkan Anwar Hidayat sebagai narasumber dengan tema “Manajemen Coretax: PER-11 Tahun 2025, SPT Badan, dan Dinamisasi PPh 25.”

Ketua IKPI Jakarta Utara Franky Foreson menyampaikan apresiasi atas antusiasme para peserta yang aktif berdiskusi sepanjang acara.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Jakarta Utara)

“Peserta sangat antusias membahas studi kasus lapangan terkait Coretax. Tahun 2026 menjadi tahun pertama pelaporan SPT Tahunan menggunakan Coretax, sehingga penting bagi anggota untuk memahami berbagai kasus teknis di lapangan bersama narasumber yang kompeten,” ujar Franky, Kamis (13/11/2025).

Kegiatan ini turut dihadiri oleh dua perwakilan Pengurus Daerah Daerah Khusus Jakarta, yakni Hery Juwana dan Daniel Mulia, serta Pengurus Pusat IKPI, Donny Eduardus Rindorindo, yang menjabat sebagai Ketua Departemen Sistem Pengembangan Bisnis Anggota (SPPBA).

Selain itu, Wakil Ketua Umum IKPI Nuryadin Rahman, yang hadir mewakili Ketua Umum Vaudy Starworld, menyampaikan bahwa IKPI terus berupaya mempererat komunikasi antaranggota melalui pembentukan berbagai komunitas olahraga.

Ia juga menambahkan bahwa IKPI telah bekerja sama dengan sejumlah hotel, universitas, dan merchant untuk memberikan diskon atau harga khusus bagi anggota yang menunjukkan kartu keanggotaan IKPI.

“Kami ingin anggota IKPI merasakan lebih banyak manfaat, tidak hanya dari sisi profesional, tetapi juga dari sisi keseharian,” tutur Nuryadin.

Usai seminar, kegiatan dilanjutkan dengan Rapat Umum Anggota khusus bagi anggota IKPI Jakarta Utara. Dalam rapat tersebut, Bendahara Cabang Lisayanti Lie memaparkan laporan keuangan cabang tahun berjalan.

Kemudian, Ketua Departemen PPL IKPI Jakarta Utara, Petrus Kho, menyampaikan presentasi mengenai jadwal seminar tahun 2026, menandai dimulainya persiapan kegiatan PPL untuk tahun mendatang. (bl)

Between Competitiveness and Compliance: Tantangan Implementasi Refundable Tax Credit dalam Rezim Pajak Minimum Global

Situasi dan Tantangan

Dalam era globalisasi ekonomi yang semakin kompleks, persaingan antarnegara dalam menarik investasi asing langsung atau Foreign direct investment (FDI) dan membangun iklim usaha yang kompetitif menjadi faktor utama bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Bagi Indonesia, strategi fiskal seperti pemberian insentif berupa tax holiday, super tax deduction, dan tax allowance telah diterapkan sejak lama untuk menarik investasi di sektor manufaktur, energi dan industri pengolahan. Akan tetapi, rezim insentif tersebut semakin menghadapi tantangan substansial, terutama dengan adanya perubahan dalam arsitektur perpajakan internasional yang diprakarsai oleh negara-negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan G20 (Saragih, 2023).

Tercatat bahwa struktur perekonomian Indonesia masih bergantung pada kontribusi investasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2024), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2024 mencapai 5,03%, di mana sebesar 1,43 persen poin berasal dari pembentukan modal tetap bruto (PMTB) sebagai komponen utama investasi. Peran investasi asing langsung juga tetap signifikan dalam menopang aktivitas produksi, penciptaan lapangan kerja, serta peningkatan kapasitas ekspor. Oleh sebab itu, setiap perubahan kebijakan global yang berpotensi mempengaruhi arus modal masuk perlu diantisipasi secara cermat agar tidak mengurangi daya tarik investasi Indonesia.

Lebih jauh, aspek daya saing nasional turut menjadi fokus perhatian. Berdasarkan laporan International Institute for Management Development (IMD) World Competitiveness Ranking 2024, Indonesia naik ke peringkat 27 dari sebelumnya peringkat 34, dengan skor 71,52 yang merupakan capaian tertinggi sepanjang sejarah (AEI, 2025). Capaian ini menunjukkan adanya peningkatan iklim usaha dan kapasitas daya saing nasional, terutama pada aspek efisiensi pemerintahan dan kinerja ekonomi. Namun, peningkatan tersebut juga menimbulkan pertanyaan strategis: sejauh mana daya saing ini dapat dipertahankan ketika sistem perpajakan global bergeser menuju rezim minimum 15%?

Aspek yang tidak kalah penting adalah compliance (kepatuhan), yang dalam konteks kebijakan perpajakan memiliki dua dimensi. Pertama, kepatuhan internal wajib pajak domestik terhadap sistem perpajakan nasional, yang tercermin dalam tingkat tax ratio Indonesia yang masih berkisar pada 10%–11%, jauh di bawah rata-rata negara G20 sebesar 22,85% (Arizal, 2023). Kedua, kepatuhan eksternal Indonesia terhadap standar internasional seperti rezim Global Minimum Tax (GMT) atau BEPS Pillar 2 OECD (Limono, 2025). Tingginya tingkat kepatuhan internal menjadi penting karena mempengaruhi kapasitas fiskal untuk mempertahankan insentif yang berkelanjutan, sementara kepatuhan eksternal menentukan posisi Indonesia dalam sistem pajak global.

Secara spesifik, OECD melalui proyek Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Pillar 2 memperkenalkan ketentuan Global Minimum Tax (GMT) yang menetapkan Effective Tax Rate (ETR) sebesar 15 % bagi grup perusahaan multinasional dengan pendapatan konsolidasi di atas EUR 750 juta atau setara dengan Rp14.477.902.500.000 Berdasarkan Kurs KMK Tahun 2025 (1 EUR = Rp19.303,87). Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi praktik penghindaran pajak lintas yurisdiksi serta mencegah negara-negara terlibat dalam race to the bottom melalui pemberian insentif pajak berlebihan (Remonda, 2025). Implikasinya, strategi fiskal konvensional yang menurunkan tarif pajak korporasi secara signifikan menjadi tidak lagi relevan karena potensi manfaatnya akan dikompensasi melalui mekanisme top-up tax di negara asal induk perusahaan.

Dalam konteks ini, skema insentif konvensional seperti tax holiday mulai menghadapi persoalan dalam hal efektivitas. Perusahaan yang memperoleh fasilitas tersebut umumnya menikmati tarif pajak efektif yang lebih rendah dari 15%. Kondisi ini berpotensi memicu penerapan top-up tax oleh negara asal investor melalui mekanisme Income Inclusion Rule (IIR) atau Undertaxed Payment Rule (UTPR) sebagaimana diatur dalam Pilar 2 OECD. Akibatnya, manfaat fiskal yang seharusnya diperoleh di Indonesia dapat berpindah ke yurisdiksi lain, sehingga tujuan awal dari insentif tersebut, yaitu menarik investasi, berisiko kehilangan relevansinya.

Sebagai respons atas tantangan tersebut, Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136 Tahun 2024 memperkenalkan skema Qualified Refundable Tax Credit (QRTC) sebagai alternatif insentif fiskal yang tetap kompatibel dengan rezim Global Minimum Tax (GMT). Skema ini memungkinkan pemberian insentif berbasis kinerja dan kontribusi ekonomi, seperti kegiatan Research and Development (R&D), penyerapan tenaga kerja, serta penggunaan komponen lokal. Meskipun demikian, efektivitas QRTC masih menyisakan pertanyaan: apakah kebijakan ini memiliki potensi untuk meningkatkan daya saing investasi, atau sekadar dirancang untuk menjaga effective tax rate (ETR) perusahaan agar tidak berada di bawah ambang 15%? Tantangan implementasi dari sisi regulasi, administrasi, dan kesiapan sistem pelaporan menunjukkan bahwa keberhasilan QRTC akan sangat bergantung pada sejauh mana mekanisme ini dapat memberikan kepastian dan manfaat ekonomi nyata bagi investor maupun negara.

Kerangka Konseptual

Dalam konteks perpajakan modern, isu kepatuhan pajak internasional menjadi salah satu fokus utama kebijakan fiskal di Indonesia. Upaya untuk meningkatkan kepatuhan pajak tidak hanya bertujuan meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga mempertahankan reputasi fiskal di tengah kompetisi global yang semakin terbuka. OECD memperkenalkan inisiatif Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) untuk mengatasi praktik penghindaran pajak lintas yurisdiksi yang dilakukan oleh perusahaan multinasional atau bisa juga disebut Multinational Enterprises (MNEs) (Saragih, 2023).

Salah satu langkah kunci dari inisiatif ini adalah BEPS Pillar 2, yang menetapkan kebijakan Global Minimum Tax (GMT) dengan Effective Tax Rate (ETR) minimum sebesar 15%. Ketentuan ini dituangkan dalam Global Anti-Base Erosion (GloBE) Rules, yang terdiri atas tiga pilar utama:

Income Inclusion Rule (IIR), peraturan penggabungan pendapatan yang memberikan negara tempat induk entitas berada berhak untuk memungut top-up tax atas laba entitas anak di luar negeri apabila ETR di negara tempat anak usaha beroperasi lebih rendah dari 15%.

Undertaxed Payment Rule (UTPR), memberikan kewenangan kepada negara tempat entitas lain dalam grup berada untuk memungut top-up tax apabila IIR tidak diterapkan oleh negara induk.

Qualified Domestic Minimum Top-up Tax (QDMTT), memungkinkan negara tempat entitas beroperasi (seperti Indonesia), untuk mempertahankan hak pemajakannya dengan memungut top-up tax secara domestik.

Selain itu, OECD juga memperkenalkan konsep Qualified Refundable Tax Credit (QRTC) sebagai bentuk insentif fiskal yang kompatibel dengan ketentuan Global Minimum Tax (GMT) dalam Pilar 2. QRTC merupakan kredit pajak yang refundable (dapat dikembalikan) dalam jangka waktu tertentu atau transferable (dapat dialihkan), dan dalam kerangka Global Anti-Base Erosion (GloBE) Rules diperlakukan sebagai income (pendapatan), bukan sebagai covered tax (pajak yang ditanggung) (OECD, 2023). Perlakuan tersebut menjadikan QRTC berbeda dari insentif pajak konvensional seperti tax holiday atau tax allowance yang menurunkan Effective Tax Rate (ETR) dan berpotensi menimbulkan risiko top-up tax oleh negara lain.

Dengan QRTC, suatu negara tetap dapat memberikan dukungan fiskal bagi dunia usaha tanpa mengurangi kepatuhan terhadap ketentuan GMT. Secara umum, QRTC memiliki dua karakteristik utama menurut OECD:

Bersifat refundable dalam jangka waktu maksimum empat tahun sejak tahun pengajuan; dan

Dapat diberikan dalam bentuk cash refund (tunai) atau offset against other tax liabilities (dikompensasikan dengan kewajiban pajak lain).

Dua karakteristik tersebut menjadi dasar agar suatu kredit pajak dapat diperlakukan sebagai “qualified” menurut standar OECD. Namun, kriteria dan desain implementasinya ditetapkan oleh masing-masing negara yang mengadopsinya, menyesuaikan dengan kebijakan fiskal dan kapasitas anggaran domestik. Oleh karena itu, meskipun prinsip umumnya bersifat seragam, mekanisme pelaksanaan QRTC dapat berbeda antar yurisdiksi.

Dalam konteks Indonesia, skema tax holiday diatur dalam PMK Nomor 130 Tahun 2020 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan. Fasilitas ini diberikan kepada industri pionir dengan nilai investasi minimal Rp500 miliar hingga lebih dari Rp1 trilun dengan masa pengurangan PPh badan antara 5 hingga 20 tahun. Meskipun efektif dalam menarik investasi besar, pendekatan ini berpotensi menurunkan ETR di bawah 15%, sehingga manfaat fiskalnya dapat berpindah ke negara asal investor. Oleh karena itu, ketentuan mengenai nilai investasi minimum dan penyerapan tenaga kerja dalam skema tax holiday dapat dijadikan acuan dalam merancang tiered incentive system pada QRTC agar tetap kompetitif namun selaras dengan rezim GMT.

Selain itu, prinsip local content juga menjadi pertimbangan penting dalam desain performance-based incentive (insentif fiskal berbasis hasil). Dalam PMK Nomor 237 Tahun 2020 tentang Fasilitas Pajak di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), salah satu syarat pemberian fasilitas adalah penggunaan domestic content (kandungan lokal) minimal 40%. Ketentuan ini menunjukkan komitmen pemerintah terhadap penciptaan nilai tambah domestik dan penguatan rantai pasok nasional. Prinsip serupa dapat diintegrasikan ke dalam QRTC sebagai dasar pemberian insentif berbasis kontribusi ekonomi nyata, seperti penggunaan komponen dalam negeri, peningkatan kapasitas riset domestik, dan penyerapan tenaga kerja berkelanjutan.

Kehadiran Pilar 2 menjadi relevan bagi Indonesia karena berdampak langsung terhadap efektivitas berbagai skema insentif fiskal domestik, seperti tax holiday dan tax allowance. Dalam konteks ini, perusahaan yang menerima fasilitas tax holiday berpotensi memiliki ETR di bawah ambang 15%, sehingga negara asal investor dapat mengenakan top-up tax melalui mekanisme IIR atau UTPR. Risiko ini diperkuat oleh fakta bahwa insentif pajak yang menciptakan perbedaan permanen antara laba komersial dan fiskal, seperti pemberian tarif pajak lebih rendah, terdampak oleh ketentuan GloBE, karena secara langsung berpotensi menurunkan nilai ETR (Remonda, 2025). Akibatnya, manfaat fiskal yang semula diberikan oleh pemerintah Indonesia dapat berpindah ke yurisdiksi lain, mengurangi daya saing kebijakan insentif nasional.

Dalam sistem perpajakan Indonesia, perbedaan antara Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) dan Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) menjadi penting dalam menentukan hak pemajakan antarnegara. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) , SPDN dikenai pajak atas seluruh penghasilannya, baik dari dalam maupun luar negeri (worldwide income), sedangkan SPLN hanya atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia (source-based taxation). Melalui Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), Indonesia membagi hak pemajakan dengan negara lain untuk mencegah pajak berganda atas penghasilan lintas batas (Lubis, 2023).

Dalam konteks ini, BUT menjadi representasi kehadiran ekonomi SPLN di Indonesia dalam menjamin keadilan fiskal bagi source country (negara sumber) seperti Indonesia, karena melalui BUT, negara memiliki dasar hukum untuk memajaki penghasilan yang diperoleh SPLN dari aktivitas ekonomi nyata di wilayahnya. Namun, dalam rezim Global Minimum Tax (GMT), BUT yang memperoleh fasilitas insentif fiskal seperti tax holiday berisiko memiliki tarif pajak efektif (ETR) di bawah ambang batas 15%, sehingga potensi pemungutan top-up tax oleh negara asal investor meningkat. Kondisi ini menunjukkan perlunya kebijakan insentif seperti Qualified Refundable Tax Credit (QRTC) yang tidak hanya menjaga kepatuhan terhadap ketentuan global, tetapi juga memastikan manfaat ekonomi yang nyata bagi Indonesia.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2024), penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) mencapai Rp1.139,78 triliun. Diperkirakan terdapat pengaruh signifikan dari entitas asing termasuk BUT dan SPLN, khususnya di sektor manufaktur, pertambangan, migas, dan jasa. Temuan ini sejalan dengan penelitian Muhammad Iqbal et al., (2023), yang menunjukkan bahwa perusahaan multinasional memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian nasional melalui peningkatan ekspor, transfer teknologi, dan penciptaan lapangan kerja.

Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, dalam rezim Global Minimum Tax, BUT penerima fasilitas insentif fiskal seperti tax holiday berisiko memiliki ETR di bawah 15%, sehingga dapat dikenai top-up tax oleh negara asal perusahaan induk. Hal ini menimbulkan tantangan baru bagi Indonesia: di satu sisi, pemerintah perlu mempertahankan daya saing fiskal untuk menarik investasi; di sisi lain, kepatuhan terhadap standar pajak internasional harus dijaga agar Indonesia tidak dianggap sebagai low-tax jurisdiction (yurisdiksi berisiko rendah).

Oleh karena itu, pengenalan Qualified Refundable Tax Credit (QRTC) melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136 Tahun 2024 menjadi langkah strategis. Skema ini dirancang agar insentif pajak tetap diakui secara global sesuai ketentuan GloBE, sekaligus mendorong kontribusi ekonomi nyata dari investor asing. Dengan perancangan yang tepat, QRTC berpotensi menjadi jembatan antara kepatuhan internasional dan keberlanjutan daya saing nasional.

Analisis Kebijakan QRTC di Indonesia dan Penerapannya di Negara Lain

Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024 telah menetapkan kerangka kebijakan GMT sebagai tindak lanjut dari implementasi OECD/G20 BEPS Pilar 2. Kebijakan ini mengatur beberapa instrumen utama, yaitu IIR, UTPR, QDMTT, serta pengenalan QRTC sebagai bentuk insentif fiskal baru yang tetap diakui dalam perhitungan ETR minimal 15% (Limono, 2025). Namun, hingga saat ini, pelaksanaan QRTC di Indonesia belum dapat berjalan secara efektif karena belum adanya aturan teknis yang mengatur secara rinci kriteria wajib pajak penerima, formula dan besaran kredit pajak, mekanisme pengajuan serta prosedur refund (pengembalian).

Di sisi lain, sistem administrasi dan infrastruktur pelaporan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga dirasa belum sepenuhnya siap untuk melakukan verifikasi ETR berbasis GloBE Information. Kekosongan ini menimbulkan ketidakpastian fiskal bagi investor, terutama bagi perusahaan yang sebelumnya menikmati fasilitas tax holiday. Dalam konteks GMT, insentif yang menurunkan ETR di bawah 15% berisiko memicu top-up tax di negara asal investor, sehingga manfaat fiskal bisa berpindah dari Indonesia ke yurisdiksi lain (OECD, 2022).

Sebagai pembanding, sejumlah negara telah lebih dahulu mengadaptasi kebijakan insentif fiskal yang kompatibel dengan standar GMT. Singapura memperkenalkan Refundable Investment Credit (RIC), Vietnam menerapkan cash grant melalui Investment Support Fund, sedangkan Polandia dan Hungaria dalam tahap penyesuaian agar sistem kredit pajaknya memenuhi kriteria Qualified Refundable Tax Credit. Inti dari seluruh kebijakan tersebut adalah pergeseran dari bentuk insentif konvensional seperti tax holiday atau tax allowance menuju skema yang bersifat refundable atau transferable, yang tetap diakui sebagai covered tax dalam perhitungan GMT (PWC STUDIO, 2024). Rincian mengenai desain dan implementasi skema Qualified Refundable Tax Credit (QRTC) di beberapa negara, seperti Singapura, Vietnam, Polandia, dan Hungaria disajikan secara rinci pada Tabel Lampiran 1.

 

Singapura melalui Refundable Investment Credit (RIC) mensyaratkan investasi minimal sebesar SGD 3 juta hingga SGD 7 juta dengan penyerapan 8 hingga 18 tenaga kerja lokal, tergantung pada tier proyek yang diajukan sesuai kebijakan RIC. Skema ini menerapkan tiered incentive (pendekatan bertingkat), di mana tingkat dukungan (10%, 30%, atau 50% dari pengeluaran investasi yang memenuhi syarat) ditetapkan berdasarkan skala proyek, tingkat inovasi, dan dampak ekonominya terhadap sektor strategis seperti manufaktur hijau dan digitalisasi.

Berdasarkan data Department of Statistics Singapore (2024), arus Foreign Direct Investment (FDI) ke Singapura mencapai USD 192 miliar pada 2024, meningkat 5,6% dibanding tahun sebelumnya. Peningkatan ini Sebagian besar disebabkan oleh kenaikan equity capital (modal ekuitas) dan retained earnings (laba ditahan), yang bertepatan dengan implementasi skema Refundable Investment Credit (RIC) dalam Budget 2024. Meskipun peningkatan tersebut tidak sepenuhnya dapat dikaitkan langsung dengan RIC, data ini mengindikasikan bahwa insentif fiskal yang dirancang sesuai standar Pilar 2 dapat tetap menjaga daya tarik investasi tanpa menurunkan ETR.

Vietnam, melalui Decree No. 182/2024/NĐ-CP, memperkenalkan Investment Support Fund (ISF) yang berlaku sejak 31 Desember 2024 sebagai skema cash grant yang selaras dengan Pillar 2 OECD. Dukungan ini tidak menurunkan ETR karena diberikan dalam bentuk tunai dan dicatat sebagai pendapatan (PwC, 2025). Investment Support Fund mencakup dua bentuk dukungan yaitu biaya operasional dan biaya investasi awal, ditujukan bagi sektor teknologi tinggi, semikonduktor, R&D, dan kecerdasan buatan (AI). Untuk memperoleh dukungan, perusahaan wajib memiliki investasi minimal VND 12.000 miliar (±USD 470 juta) atau pendapatan tahunan VND 20.000 miliar (±USD 790 juta). Bagi industri chip dan pusat data AI, batasnya diturunkan menjadi VND 6.000 miliar, sementara proyek desain microchip harus mempekerjakan ≥300 insinyur lokal dan melatih 30 teknisi per tahun.

Dukungan diberikan secara progresif, antara lain hingga 50% untuk pelatihan tenaga kerja, 25% untuk infrastruktur sosial, dan 20–30% untuk kegiatan R&D. Untuk proyek R&D di bidang semikonduktor dan AI, pemerintah menanggung hingga 50% dari total biaya investasi awal dengan nilai investasi minimal VND 3.000 miliar dan realisasi VND 1.000 miliar dalam tiga tahun pertama. Pendekatan ini menekankan hasil ekonomi dan transfer teknologi, bukan pengurangan pajak, serta memastikan kepatuhan terhadap Pilar 2 melalui skema QRTC.

Selain itu, pengalaman Polandia dan Hungaria menunjukkan pentingnya desain transisi dan fokus tematik dalam penerapan Qualified Refundable Tax Credit (QRTC). Polandia melakukan reformasi bertahap untuk menyesuaikan sistem tax credit dan insentif kawasan ekonomi khusus atau Special Economic Zone (SEZ) agar memenuhi standar OECD, sedangkan Hungaria sudah lebih maju dengan New R&D Tax Credit yang bersifat qualified refundable dan memberikan pengembalian hingga 10% dari biaya riset dalam jangka waktu empat tahun. Kedua pendekatan ini dapat menjadi acuan bagi Indonesia untuk merancang QRTC yang tidak hanya selaras dengan ketentuan Pillar 2 OECD, tetapi juga mendukung inovasi dan riset industri domestik secara berkelanjutan.

Dapat disimpulkan bahwa negara-negara seperti Singapura dan Vietnam telah menunjukkan contoh keberhasilan dalam menyesuaikan kebijakan insentif fiskal dengan kerangka Pajak Minimum Global. Melalui mekanisme seperti refundable tax credit atau cash grant, insentif fiskal tetap memberikan manfaat ekonomi nyata bagi investor dan negara, seperti peningkatan investasi strategis, penciptaan lapangan kerja, dan penguatan kapasitas riset tanpa menurunkan ETR di bawah batas minimum 15%. Pembelajaran ini relevan bagi Indonesia, di mana arah kebijakan QRTC ke depan perlu menyeimbangkan kepatuhan terhadap ketentuan global dengan daya saing investasi nasional, serta memastikan implementasi yang efektif melalui kejelasan regulasi, kesiapan sistem administrasi, dan fokus pada sektor-sektor bernilai tambah tinggi yang meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi.

Perbandingan ETR dengan Tax Holiday dan Qualified Refundable Tax Credit (QRTC)

Perbandingan berikut menggambarkan perbedaan dampak antara skema tax holiday dan Qualified Refundable Tax Credit (QRTC) terhadap Effective Tax Rate (ETR) berdasarkan ilustrasi perhitungan dalam Lampiran PMK Nomor 136 Tahun 2024, dengan penyesuaian asumsi untuk skema tax holiday.

A. Dengan QRTC

Diasumsikan A Co merupakan Entitas Induk Utama yang berlokasi di Negara A yang memiliki Tarif Nominal sebesar 20%. A Co memiliki laba setelah pajak sebesar EUR 1000,00 dan PPh terutangnya sebesar EUR 200,00. A Co mendapatkan QRTC sebesar 20% dari biaya gaji EUR 600,00 (QRTC = 20% x EUR 600,00 = EUR 120,00). Maka penyesuaian atas QRTC dan besaran ETR nya adalah sebagai berikut.

Hasil perbandingan sederhana menunjukkan bahwa skema tax holiday, meskipun efektif menarik investasi melalui pembebasan pajak, secara substansial menurunkan bahkan meniadakan beban pajak perusahaan. Akibatnya, Effective Tax Rate (ETR) entitas penerima tax holiday dapat berada jauh di bawah ambang batas 15%, sehingga tidak diakui sebagai covered tax dalam kerangka OECD Global Anti-Base Erosion (GloBE). Kondisi ini berpotensi menimbulkan pemungutan top-up tax oleh negara asal dan mengalihkan manfaat fiskal dari Indonesia ke yurisdiksi lain.

Sebaliknya, Qualified Refundable Tax Credit (QRTC) menawarkan bentuk insentif yang lebih kompatibel dengan Pilar 2 OECD karena diberikan dalam bentuk kredit pajak yang refundable (dapat dikembalikan) tanpa mengurangi pajak terutang secara langsung. QRTC dicatat sebagai pendapatan perusahaan, sehingga tidak menurunkan ETR dan tetap menjaga kepatuhan terhadap ambang batas minimum 15%. Namun demikian, urgensi penerapan QRTC tidak semata-mata untuk menjaga agar ETR tidak berada di bawah 15% atau menghindari top-up tax, melainkan juga untuk memastikan bahwa kebijakan ini memberikan manfaat ekonomi nyata bagi Indonesia.

Oleh karena itu, perumusan standar yang jelas dan selektif diperlukan untuk menentukan jenis QRTC yang dapat dikategorikan sebagai refundable, dengan prioritas pada kegiatan yang memiliki efek pengganda terhadap perekonomian nasional. Seperti peningkatan riset dan pengembangan (R&D), penyerapan tenaga kerja, serta penggunaan komponen lokal. Melalui pendekatan ini, QRTC tidak hanya berfungsi sebagai instrumen kepatuhan terhadap standar pajak internasional, tetapi juga sebagai kebijakan fiskal strategis yang memiliki kemampuan untuk mendukung laju pertumbuhan ekonomi dan memperkuat daya saing investasi Indonesia.

Kesimpulan, Rekomendasi Kebijakan dan Limitasi

Kesimpulan

Penerapan Global Minimum Tax (GMT) menandai perubahan paradigma dalam arsitektur perpajakan internasional yang menuntut adaptasi kebijakan insentif fiskal di tingkat nasional. Skema konvensional seperti tax holiday terbukti kurang efektif dalam konteks rezim pajak global baru, karena berpotensi menurunkan Effective Tax Rate (ETR) di bawah ambang batas 15% dan mengalihkan manfaat fiskal ke negara asal melalui mekanisme top-up tax. Sebagai respons, Qualified Refundable Tax Credit (QRTC) muncul sebagai instrumen yang lebih kompatibel dengan ketentuan OECD Pillar 2, karena memberikan insentif dalam bentuk kredit pajak yang refundable (dapat dikembalikan) tanpa menurunkan ETR.

Secara konseptual, QRTC menawarkan keseimbangan antara compliance (kepatuhan) terhadap ketentuan pajak global dan upaya mempertahankan competitiveness (daya saing) fiskal nasional, sekaligus membuka ruang bagi kebijakan berbasis kinerja yang lebih terukur. Kendati demikian, efektivitas QRTC dalam mendorong peningkatan daya saing investasi belum dapat dibuktikan secara empiris. Data Department of Statistics Singapore (2024) mencatat kenaikan Foreign Direct Investment (FDI) sebesar 5,6% setelah diperkenalkannya Refundable Investment Credit (RIC). Indikasi ini menunjukkan bahwa penerapan insentif fiskal yang refundable (dapat dikembalikan) dan selaras dengan Pilar 2 OECD berpotensi menjadi salah satu faktor pendukung dalam menjaga arus investasi dan persepsi stabilitas fiskal suatu negara, meskipun peningkatan ini belum dapat dipastikan sebagai akibat langsung dari kebijakan tersebut.

Rekomendasi Kebijakan

Dalam konteks implementasi di Indonesia, desain Qualified Refundable Tax Credit (QRTC) perlu diarahkan pada prinsip selektivitas dan performance-based (berbasis hasil). Pemerintah dapat menerapkan skema tiered incentive yang menyerupai struktur tax holiday, yaitu pemberian tingkat dukungan berbeda berdasarkan skala investasi dan dampak ekonominya. Rentang dukungan dapat ditetapkan antara 10% hingga 50% dari nilai investasi dengan ambang batas minimal Rp50–500 miliar hingga lebih dari Rp1 triliun, sejalan dengan praktik di Singapura dan Vietnam yang menekankan insentif berbasis kontribusi ekonomi, bukan sekadar pengurangan tarif pajak.

Selain itu, pemberian QRTC dapat mensyaratkan penggunaan local content minimal 40%, sebagaimana diterapkan dalam fasilitas Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), untuk memastikan keterlibatan rantai pasok domestik dan penciptaan nilai tambah dalam negeri. Kriteria kelayakan lainnya meliputi peningkatan kapasitas riset nasional dan penyerapan tenaga kerja berkelanjutan. Sebagai pelengkap, pemerintah perlu menyiapkan sistem pelaporan dan verifikasi berbasis jurisdictional approach melalui pembangunan GloBE Information Return (GIR) yang terintegrasi dengan data DJP dan BKPM.

Langkah ini penting mengingat ketentuan OECD Pillar 2 menuntut transparansi dan pelaporan efektif per yurisdiksi dalam penghitungan Effective Tax Rate (ETR). Lebih jauh, Indonesia dapat mengadopsi pendekatan R&D-based refundable credit sebagaimana diterapkan di Hungaria, yang menetapkan periode pengembalian tertentu untuk menjaga akuntabilitas fiskal sekaligus mendorong riset dan inovasi industri lokal. Melalui desain yang adaptif dan terukur, QRTC berpotensi menjadi instrumen strategis dalam memperkuat daya saing investasi tanpa mengorbankan kepatuhan terhadap rezim Global Minimum Tax.

Limitasi

Policy notes ini memiliki keterbatasan dalam ruang lingkup analisis empiris maupun aspek implementatif, yang mana kajian ini belum mencakup pengujian kuantitatif yang dapat menjelaskan hubungan kausal atau korelasi antara penerapan Qualified Refundable Tax Credit (QRTC) dan peningkatan daya saing investasi. Serta belum melakukan evaluasi komprehensif terhadap kesiapan sistem administrasi perpajakan nasional, khususnya terkait mekanisme pelaporan GloBE Information Return (GIR) dan verifikasi Effective Tax Rate (ETR) berbasis yurisdiksi. Selain itu, analisis ini belum mengulas secara mendalam kapasitas fiskal dan kesiapan kelembagaan pemerintah dalam menjamin keberlanjutan implementasi QRTC.

Dengan demikian, diperlukan penelitian lanjutan berbasis data mikro dan kajian evaluatif yang lebih sistematis untuk menilai dampak aktual QRTC terhadap kepatuhan pajak, arus investasi, serta daya saing fiskal Indonesia dalam kerangka rezim Global Minimum Tax.

DAFTAR PUSTAKA

AEI. (2025). Indonesia Ranked 27th in the World in Global Competitiveness. ASOSIASI EMITEN INDONESIA.

Arizal, O. R. (2023). Tax Ratio 2022 Indonesia Menjadi Salah Satu yang Paling Rendah di Antara G20 dan ASEAN.

BADAN PUSAT STATISTIK. (2024). Realisasi Pendapatan Negara (Milyar Rupiah), 2024.

Department of Statistics Singapore. (2024). Foreign Direct Investment in Singapore (Flows).

EY Global. (2023). Hungary enacts local legislation on BEPS 2.0 Pillar Two.

KPMG. (2025). Decree 182/2024/ND-CP on the establishment, management, and use of the Investment Support Fund.

Limono, H. M. (2025). Pemerintah Alihkan Skema Insentif Pajak, Tax Holiday Diganti Refundable Tax Credit. TAX CENTRE UNIVERSITAS INDONESIA.

Lubis, A. S. P. (2023). Seperempat Abad Google dan Aspek Perpajakannya sebagai BUT di Indonesia. DJP.

Muhammad Iqbal, Dhea Savitri, Lailan Nur, Risfa Dwi Andini, & Purnama Ramadani Silalahi. (2023). PERAN PERUSAHAAN MULTINASIONAL DALAM MENINGKATKAN SEKTOR PEREKONOMIAN DI INDONESIA. CEMERLANG : Jurnal Manajemen Dan Ekonomi Bisnis, 3(1), 64–76. https://doi.org/10.55606/cemerlang.v3i1.699

OECD. (n.d.). Overview of the Key Operating Provisions of the GloBE Rules.

OECD. (2022). Tax Incentives and the Global Minimum Corporate Tax.

OECD. (2023). Tax Challenges Arising from the Digitalisation of the Economy – Administrative Guidance on the Global Anti Base Erosion Model Rules (Pillar Two), July 2023.

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130 /PMK.010/2020 (20220).

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 136 TAHUN 2024 TENTANG PENGENAAN PAJAK MINIMUM GLOBAL BERDASARKAN KESEPAKATAN INTERNASIONAL, 226 (2024).

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 237/PMK.010/2020 (2020).

PwC. (2025). Decree 182/2024/ND-CP on investment support.

PWC STUDIO. (2024). Implementation of Pillar 2 – possible directions for tax credits in Poland.

Remonda, R. A. (2025). PMK 136/2024: Liminalitas Insentif Pajak. MUC CONSULTING.

Saragih, J. G. (2023). Adapting Indonesia’s Tax Incentive Strategy In The Post Pillar Two Era. Journal Of Tax Policy, Economics, And Accounting, 1(2), 136–149. https://doi.org/10.61261/muctj.v1i2.47

Singapore Income Tax Act 1947, REFUNDABLE INVESTMENT CREDIT (RIC) (2025).

UU Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan, Pub. L. No. 36 Tahun 2008, 3 (2008).

 Penulis adalah Anggota IKPI Cabang Bandung

Juan Kasma SE., SH., M.Ak., CPA., BKP., CSRS+., CSRA+ dan Tim

 Email: rachmatritax@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

BI Klaim Ekonomi Indonesia Solid Hingga Akhir 2025, Ekspor ke AS Meningkat Tajam

IKPI, Jakarta: Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memastikan kinerja ekonomi Indonesia tetap solid hingga akhir 2025. Ia menyebut lonjakan ekspor ke Amerika Serikat (AS) menjadi motor utama yang menjaga momentum pertumbuhan di tengah tekanan global.

“Pertumbuhan ekonomi nasional di triwulan III dan IV berjalan baik. Pola ekspor tumbuh lebih cepat karena adanya front loading ekspor ke AS sebelum penerapan tarif baru, dan konsumsi dalam negeri juga masih kuat,” ujar Perry dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (12/11/2025).

Perry menuturkan, percepatan ekspor tersebut terjadi setelah Presiden AS Donald Trump menaikkan tarif bea masuk terhadap barang-barang dari 77 negara, termasuk Indonesia, China, dan Meksiko. Indonesia dikenakan tarif sebesar 19%. Kondisi ini mendorong eksportir mengirimkan barang lebih cepat sebelum kebijakan tarif berlaku penuh.

Data Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal III-2025 menunjukkan ekspor tumbuh signifikan 9,91%, diikuti konsumsi rumah tangga 4,89% dan investasi 5,04%. Kombinasi tiga komponen utama tersebut menopang pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,04% pada periode tersebut.

Perry optimistis tren positif ini akan berlanjut di kuartal IV-2025 seiring dengan ekspansi stimulus fiskal, percepatan proyek strategis pemerintah, dan realisasi paket kebijakan ekonomi tahun 2025. Selain itu, pencairan bantuan sosial juga diyakini akan memperkuat daya beli masyarakat.

“Secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi 2025 kami perkirakan berada di kisaran 4,7–5,5 persen dengan titik tengah 5,1 persen, dan akan meningkat pada 2026,” kata Perry. (alf)

IKPI Dorong “Reformasi Ekosistem Perpajakan”: Bahas Serentak UU Konsultan Pajak, Tax Amnesty, dan Badan Penerimaan Negara

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) mendorong dilaksanakannya “Reformasi Ekosistem Perpajakan” melalui pembahasan serentak tiga kebijakan strategis: Undang-Undang Konsultan Pajak, Undang-Undang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty), dan pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN).

Ketua Umum IKPI, Vaudy Starworld, menyampaikan pandangan tersebut dalam rapat dengar pendapat umum bersama Komisi XI DPR, Selasa (11/11/2025). Menurutnya, pembahasan tiga kebijakan ini sebagai satu paket akan memperkuat pondasi sistem perpajakan nasional secara menyeluruh dari aspek profesi, kepatuhan, hingga kelembagaan penerimaan negara.

“Pendekatan ini menempatkan reformasi pajak bukan hanya pada level administratif, tetapi pada tingkat ekosistem. UU Konsultan Pajak, UU Pengampunan Pajak, dan BPN harus dirancang sebagai satu kesatuan yang saling menopang,” ujar Vaudy.

IKPI menilai, reformasi perpajakan di Indonesia selama ini masih bersifat parsial. Direktorat Jenderal Pajak telah melakukan modernisasi administrasi dan digitalisasi sistem, namun pembenahan sisi profesi dan kelembagaan belum diintegrasikan secara menyeluruh. Akibatnya, upaya peningkatan tax ratio belum berjalan konsisten dan sering kali hanya berdampak sementara.

Lebih lanjut ia menyatakan, reformasi perpajakan ketiga yang diusulkan pada perubahan ekosistem perpajakan secara komprehensif, di mana sistem digitalisasi melalui Coretax, kelembagaan melalui hadirnya BPN, kewajiban dan kepatuhan perpajakan dengan Tax Amnesty, serta penguatan profesi dengan berlakunya UU Konsultan Pajak di Indonesia.

Vaudy menjelaskan, pembahasan UU Konsultan Pajak akan menjadi fondasi untuk memperkuat tata kelola profesi serta memastikan standar kompetensi yang seragam. Konsultan pajak diharapkan tidak hanya menjadi pelaksana teknis, melainkan mitra strategis negara dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak.

Sementara itu, kebijakan Tax Amnesty perlu dirancang tidak sekadar sebagai program jangka pendek, tetapi sebagai mekanisme transisi menuju kepatuhan berkelanjutan dengan sistem pengawasan pasca-amnesti yang jelas. Adapun pembentukan Badan Penerimaan Negara dinilai penting untuk mewujudkan lembaga tunggal yang mengonsolidasikan seluruh penerimaan negara secara profesional dan berorientasi hasil.

“Selama ini penerimaan negara masih tersebar di berbagai direktorat, sehingga strategi pengelolaannya berjalan terpisah. Dengan BPN, Indonesia dapat memiliki mekanisme penerimaan yang terintegrasi dan akuntabel,” jelasnya.

Vaudy juga menyinggung pentingnya konsistensi arah reformasi. Sejak 2002, Indonesia telah melewati dua gelombang besar reformasi pajak: reformasi administrasi dan sistem informasi (2002–2016), serta reformasi regulasi dan basis data (2016–2024). Kini, menurutnya, saatnya memasuki gelombang ketiga: reformasi ekosistem dan tata kelola.

Dalam tahap ini, pajak harus dipandang sebagai kontrak sosial antara negara dan warga negara. Konsultan pajak berperan sebagai jembatan kepercayaan, pengampunan pajak menjadi sarana rekonsiliasi fiskal, dan BPN menjadi mesin kelembagaan modern yang menjamin keberlanjutan penerimaan negara.

IKPI meyakini bahwa “Reformasi Ekosistem Perpajakan” ini dapat meningkatkan tax ratio secara berkelanjutan, memperkuat kepercayaan publik terhadap fiskus, dan membangun sistem kepatuhan sukarela berbasis profesionalisme. Selain itu, pendekatan ini juga diyakini akan memperluas basis pajak tanpa perlu menambah beban regulasi yang kompleks bagi wajib pajak.

Dalam jangka panjang, reformasi ini diharapkan menciptakan sistem perpajakan yang sederhana, transparan, dan berkeadilan. Pemerintah memperoleh kepastian penerimaan, dunia usaha mendapatkan kepastian hukum, dan masyarakat memiliki kepercayaan yang lebih tinggi terhadap pengelolaan fiskal negara.

“Reformasi ekosistem perpajakan tidak hanya soal mengumpulkan pajak, tapi tentang membangun sistem kepercayaan yang berkelanjutan antara negara dan masyarakat,” tegas Vaudy.

IKPI berharap Komisi XI DPR dapat menempatkan usulan ini dalam agenda prioritas pembahasan legislasi. Langkah ini dinilai strategis untuk memperkuat fondasi fiskal nasional, mengurangi ketergantungan pada pembiayaan utang, dan memperkuat posisi Indonesia menuju sistem penerimaan negara yang lebih mandiri dan berkelanjutan. (bl)

PNBP ESDM Tembus Rp200,66 Triliun, Bahlil: Bukti Ketahanan Fiskal Kita Kuat!

IKPI, Jakarta: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat capaian gemilang di tengah melemahnya harga komoditas energi dunia. Hingga 10 November 2025, realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor ESDM sudah menembus Rp200,66 triliun, atau 78,74 persen dari target APBN sebesar Rp254,83 triliun.

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyebut pencapaian itu sebagai bukti kuat bahwa sektor energi masih menjadi tulang punggung ketahanan fiskal Indonesia, meski harga minyak mentah Indonesia (ICP), batu bara, dan mineral global tengah turun.

“Kami tidak menjadikan penurunan harga minyak dan mineral sebagai alasan untuk menurunkan target pendapatan negara. Negara sedang membutuhkan anggaran besar, termasuk untuk sektor ESDM,” tegas Bahlil dalam rapat kerja bersama Komisi VII DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (11/11/2025).

Data Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN) menunjukkan, realisasi PNBP ESDM hingga awal November menjadi salah satu yang tertinggi di antara seluruh kementerian dan lembaga pengelola penerimaan negara. Pemerintah optimistis target tahunan bisa tercapai bahkan melampaui proyeksi hingga akhir Desember 2025.

Selain dari sisi penerimaan, kinerja produksi juga menunjukkan tren positif. Hingga Oktober 2025, produksi minyak nasional mencapai 605,5 ribu barel per hari, naik 4,94 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Bahlil menyebut lonjakan ini tak lepas dari sinergi antara pemerintah, SKK Migas, dan para kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).

Dari sisi belanja, Kementerian ESDM mencatat realisasi anggaran 62,86 persen dari pagu Rp6,98 triliun, dan diperkirakan mencapai 88,45 persen hingga akhir tahun. Setelah menerima tambahan belanja (ABT) sebesar Rp6,29 triliun, total pagu naik menjadi Rp14,11 triliun dengan realisasi kumulatif per November 31,12 persen, serta proyeksi akhir tahun 91,68 persen.

“Kami tetap disiplin dalam penggunaan anggaran. Ada pengembalian ke kas negara sebesar Rp1,55 triliun hasil efisiensi dan pemblokiran,” jelas Bahlil.

Sebagian besar tambahan anggaran itu dialokasikan untuk program yang langsung menyentuh masyarakat. Sekitar Rp4,35 triliun disalurkan kepada PLN untuk memperluas program listrik desa dan sambungan listrik gratis bagi rumah tangga miskin. Kebijakan ini menjadi bagian dari misi pemerataan akses energi di seluruh wilayah Indonesia.

Bahlil menegaskan, efisiensi, disiplin fiskal, dan optimalisasi kinerja pendapatan akan memastikan target APBN sektor energi dapat tercapai. Pemerintah menilai capaian ini penting untuk memperkuat ketahanan fiskal nasional dan menjaga sektor energi tetap menjadi penopang utama penerimaan negara.

“Sektor energi akan terus kita jaga agar tetap tangguh dan produktif. Ini bukti bahwa ketahanan fiskal Indonesia tidak mudah goyah,” pungkasnya. (alf)

Lonjakan PMA Belum Dongkrak Rasio Pajak, BSI Institute: Waspadai Phantom FDI

IKPI, Jakarta: Peningkatan investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) ke Indonesia ternyata belum otomatis berdampak positif terhadap penerimaan pajak negara. Di balik angka penanaman modal asing (PMA) yang terus naik, tersembunyi fenomena phantom FDI, investasi yang tercatat secara hukum, tetapi tidak mencerminkan kegiatan ekonomi riil di dalam negeri.

Peneliti BSI Institute, Sayyaf Rabbaniy, menjelaskan bahwa peningkatan FDI dari yurisdiksi pajak rendah seperti Bermuda, British Virgin Islands (BVI), dan Kepulauan Cayman dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan indikasi kuat meningkatnya eksposur Indonesia terhadap offshore financial centers (OFCs).

“Banyak investasi yang datang dari wilayah dengan tarif pajak sangat rendah, bahkan nol persen. Secara nominal besar, tapi dampak ekonominya kecil karena tidak menghasilkan aktivitas produksi nyata,” ujarnya dalam laporan BSI Institute, Rabu (12/11/2025).

Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), aliran modal dari negara-negara tersebut cenderung berfluktuasi ekstrem dan didominasi sektor yang minim menyerap tenaga kerja, seperti industri kertas, logistik, dan jasa. Kondisi itu memperkuat dugaan adanya praktik pengalihan laba (profit shifting) oleh perusahaan multinasional melalui anak usaha di negara pajak rendah untuk menekan kewajiban pajak di Indonesia.

Sayyaf menilai, praktik ini berpotensi menggerus basis pajak nasional dan menurunkan efektivitas kebijakan fiskal pemerintah.

“Akumulasi dari praktik tersebut dapat menjadi salah satu alasan mengapa rasio pajak Indonesia menurun dalam beberapa tahun terakhir, meskipun PMA terus tumbuh,” tegasnya.

Sebagai langkah antisipasi, BSI Institute merekomendasikan pemerintah memperkuat mekanisme penyaringan dan klasifikasi investasi, agar arus modal yang masuk benar-benar memberikan nilai tambah riil bagi perekonomian nasional.

Salah satu langkah konkret yang diusulkan adalah penerapan keterbukaan struktur kepemilikan atau beneficial ownership transparency untuk memastikan setiap entitas investasi memiliki kejelasan pemilik manfaat yang sebenarnya.

Selain itu, Sayyaf menyarankan Indonesia mulai mengarahkan strategi promosi investasi ke pusat keuangan luar negeri yang mengedepankan kepatuhan dan transparansi, bukan semata bebas pajak.

Ia mencontohkan Labuan International Business and Financial Centre (Labuan IBFC) di Malaysia yang bisa menjadi alternatif. Berbeda dari OFCs tradisional seperti BVI, Cayman, atau Bermuda, Labuan menawarkan tarif pajak rendah namun transparan yakni 3% atas laba audit atau tarif tetap RM 20.000 dengan sistem hukum berbasis common law Malaysia serta akses ke lebih dari 70 perjanjian pajak berganda (DTA).

“Labuan menunjukkan bahwa pusat keuangan bisa tetap kompetitif tanpa harus menjadi surga pajak. Indonesia perlu meniru pendekatan seperti ini agar investasi yang masuk tak hanya besar di atas kertas, tapi juga nyata memberi manfaat bagi ekonomi nasional,” tutup Sayyaf. (alf)

Sebentar Lagi Data Pajak, Bea Cukai, dan PNBP Akan Terpadu dalam Satu Sistem: Ini Aturan dan Tujuannya!

IKPI, Jakarta: Pemerintah tengah menyiapkan langkah besar dalam sejarah pengelolaan penerimaan negara. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan akan segera mengintegrasikan seluruh data wajib bayar mulai dari pajak, kepabeanan dan cukai, hingga penerimaan negara bukan pajak (PNBP) ke dalam satu sistem terpadu yang disebut “single profile.”

Kebijakan ini tertuang dalam Rencana Strategis (Renstra) Kemenkeu 2025–2029 yang diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.70/2025, ditandatangani Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa pada Oktober 2025.

Langkah tersebut menjadi bagian dari strategi besar Kemenkeu dalam memperkuat tata kelola penerimaan negara berbasis data, serta mengakhiri tumpang tindih informasi antarunit di bawah kementerian.

“Satu profile wajib bayar untuk pajak, bea cukai, PNBP, dan lain-lain,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak (DJP) Kemenkeu, Rosmauli, seperti dikutip dari Bisnis.com, Rabu (12/11/2025).

Rosmauli menjelaskan, single profile berbeda dengan program single identity number (SIN) yang pernah diusung otoritas pajak. Jika SIN hanya berfokus pada nomor identitas wajib pajak, maka single profile akan memuat data aktivitas ekonomi wajib bayar secara menyeluruh, termasuk transaksi lintas sektor, arus barang, serta kontribusi nonpajak.

“Data yang dihimpun DJP akan disesuaikan dengan karakteristik profil yang dibangun. DJP berkomitmen mendukung penuh pembangunan single profile ini,” tegasnya.

Menurut Rosmauli, integrasi data akan dikoordinasikan oleh Badan Teknologi, Informasi, dan Intelijen Keuangan (BATII) Kemenkeu, yang berperan menghubungkan seluruh direktorat — mulai dari DJP, Ditjen Bea dan Cukai (DJBC), hingga unit pengelola PNBP.

Berdasarkan Renstra Kemenkeu 2025–2029, pembangunan single profile dilakukan untuk menciptakan basis data penerimaan negara yang terpadu dan presisi. Dengan sistem ini, setiap wajib bayar akan memiliki satu identitas komprehensif yang mencakup semua jenis kewajiban finansial kepada negara.

Tujuan utamanya meliputi:

1. Optimalisasi pemanfaatan data untuk menggali potensi pajak dan PNBP yang belum tergarap.

2. Integrasi lintas unit dan lintas kementerian/lembaga agar analisis kepatuhan dan potensi penerimaan lebih akurat.

3. Peningkatan efektivitas pengawasan, termasuk mendeteksi ketidaksesuaian antara data impor, cukai, dan pelaporan pajak.

4. Mendukung kebijakan fiskal berbasis bukti dan intelijen keuangan.

Kemenkeu juga menegaskan bahwa single profile tidak hanya akan menyatukan data di internal kementerian, tetapi terhubung dengan sistem kementerian/lembaga lain, seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan lembaga pengelola sumber daya alam.

“Integrasi ini akan menjadi fondasi financial intelligence nasional. Dengan satu data terpadu, setiap rupiah penerimaan negara bisa ditelusuri sumber dan pergerakannya,” kata seorang pejabat Kemenkeu.

Pemerintah optimistis, penerapan single profile akan menutup celah kebocoran penerimaan, meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan pengguna jasa kepabeanan, serta memperkuat transparansi fiskal di era digital. (alf)

Coretax Siap Gantikan DJPOnline, Dirjen Pajak Imbau Segera Aktivasi dan Buat Kode Otorisasi

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memastikan sistem Coretax Administration System siap sepenuhnya menggantikan DJPOnline untuk pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) tahun pajak 2025 yang akan dilakukan mulai tahun 2026 mendatang.

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menegaskan, seluruh Wajib Pajak (WP) perlu segera mengaktivasi akun Coretax dan membuat kode otorisasi agar dapat menggunakan sistem baru tersebut dengan lancar dan aman.

“Tahun depan laporan SPT tahunan sudah melalui Coretax. Jadi, Coretax sudah siap menerima SPT tahunan orang pribadi maupun badan tahun pajak 2025. Kode otorisasi dan aktivasi akun Coretax ini merupakan tahapan penting agar Wajib Pajak dapat mengakses layanan dengan aman dan lancar,” ujar Bimo dalam keterangan tertulis, Rabu (12/11/2025).

Bimo menambahkan, DJP saat ini tengah gencar melakukan edukasi dan pendampingan kepada masyarakat agar siap menghadapi perubahan sistem pelaporan pajak ini. Peralihan dari DJPOnline ke Coretax, kata dia, merupakan bagian dari modernisasi administrasi perpajakan yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 (PER-11/2025).

“Kami terus melakukan pendampingan dan edukasi agar seluruh Wajib Pajak siap menggunakan Coretax dalam pelaporan SPT tahunan mendatang,” tandasnya.

Pernyataan serupa disampaikan oleh Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Rosmauli, yang menekankan bahwa aktivasi akun merupakan syarat mutlak agar Wajib Pajak dapat melaporkan SPT tahunan melalui Coretax.

“Pelaporan SPT tahunan yang pertama kali akan kita lakukan menggunakan Coretax di tahun 2026, namun itu tidak bisa dilakukan tanpa Wajib Pajak mengaktivasi akunnya,” tegas Rosmauli.

Ia juga mengimbau agar masyarakat tidak menunda aktivasi, demi menghindari kendala teknis atau antrean panjang saat masa pelaporan tiba.

Berikut panduan singkat aktivasi akun dan pembuatan kode otorisasi Coretax:

Langkah Aktivasi Akun Coretax:

1. Akses laman https://coretax.pajak.go.id

2. Pilih menu “Aktivasi Akun Coretax”

3. Masukkan NPWP dan EFIN yang sudah terdaftar

4. Cek e-mail resmi dari @pajak.go.id untuk kata sandi sementara

5. Login ke akun Coretax dan klik “Ganti Kata Sandi”

6. Buat passphrase sebagai pengaman tambahan

Langkah Membuat Kode Otorisasi:

1. Login ke portal Coretax

2. Pilih menu “Permintaan Kode Otorisasi/Sertifikat Elektronik”

3. Isi data sertifikat digital dan pilih penyedia sertifikat

4. Masukkan ID penandatangan atau buat passphrase

5. Centang pernyataan, lalu klik “Kirim”

Dengan sistem Coretax yang lebih terintegrasi, DJP berharap pelayanan pajak dapat menjadi lebih cepat, transparan, dan efisien, sekaligus memperkuat upaya reformasi administrasi pajak berbasis digital di Indonesia.

“Kami ingin memastikan seluruh Wajib Pajak dapat melaksanakan kewajibannya dengan mudah tanpa hambatan teknis. Coretax adalah fondasi menuju era baru administrasi pajak digital,” pungkas Bimo Wijayanto. (alf)

Komunitas Tenis dan Padel IKPI Bali-Nusra Siap Satukan Anggota Lewat Olahraga

IKPI, Bali: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Pengda Bali-Nusra terus berinovasi dalam mempererat kebersamaan antaranggota. Salah satu langkah nyata ditunjukkan melalui pembentukan Komunitas Tenis dan Padel IKPI Bali-Nusra yang siap menjadi wadah silaturahmi sekaligus ajang menjaga kesehatan bersama.

Kegiatan perdana komunitas ini berlangsung meriah di Denpasar, Bali 9 November 2025. Meski sempat diguyur hujan, para anggota tetap antusias bermain tenis dan padel sambil menikmati suasana kebersamaan yang hangat. Tak hanya olahraga, panitia juga menyiapkan makanan sehat seperti rebusan jagung dan buah-buahan untuk menjaga energi para peserta.

(Foto: DOK. IKPI Pengda Bali-Nusra)

Pengurus Bidang CSR, Olahraga, dan Keagamaan IKPI Bali-Nusra, Citra Wirya Astuti, mengatakan komunitas olahraga ini dibentuk untuk menyatukan anggota melalui aktivitas positif di luar ruang kerja.

“Komunitas Tenis dan Padel IKPI Bali-Nusra kami bentuk sebagai sarana mempererat tali persaudaraan antaranggota sekaligus mempromosikan gaya hidup sehat. Kami ingin olahraga menjadi bagian dari budaya organisasi,” ujar Citra, Rabu (12/11/2025).

Ia menambahkan, dukungan dan partisipasi anggota dalam kegiatan perdana ini menjadi bukti semangat kebersamaan yang kuat di lingkungan IKPI Bali-Nusra.

“Meski hujan, semangat para peserta luar biasa. Kami berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyukseskan acara ini,” lanjutnya.

Ke depan, Citra berharap komunitas tenis dan padel ini dapat rutin menggelar kegiatan bersama, baik dalam bentuk latihan maupun turnamen persahabatan antaranggota.

“Kami ingin kegiatan olahraga ini menjadi ajang memperkuat hubungan antaranggota, sekaligus tempat menyalurkan hobi dengan cara yang sehat dan menyenangkan,” tutupnya.

Melalui pembentukan komunitas ini, IKPI Bali-Nusra menegaskan komitmennya untuk tidak hanya fokus pada pengembangan profesionalisme anggota, tetapi juga pada pembangunan kebersamaan dan keseimbangan hidup melalui olahraga. (bl)

en_US