PNBP Rinjani Tembus Rp21,6 Miliar, Kontribusi Wisata Alam Makin Terasa ke Kas Negara

IKPI, Jakarta: Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) mencatat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari aktivitas wisata di kawasan Rinjani mencapai Rp21,65 miliar hingga Oktober 2025. Angka tersebut dinilai sebagai sinyal kuat bahwa sektor pariwisata alam terus memberikan kontribusi fiskal yang signifikan.

“Capaian PNBP ini menunjukkan tren positif,” ujar Kepala Balai TNGR Yarman di Mataram, Senin (17/11/2025). Ia menegaskan seluruh penerimaan itu langsung masuk ke kas negara sebagai pendapatan resmi pemerintah.

Menurut Yarman, kenaikan PNBP mengonfirmasi bahwa pengelolaan taman nasional dapat berjalan beriringan dengan pelestarian lingkungan selama mekanisme pengawasan dan manajemen pengunjung terus diperkuat. “PNBP yang meningkat menjadi bukti bahwa wisata alam dapat menyumbang pendapatan negara sekaligus menjaga keberlanjutan ekosistem,” katanya.

Hingga Oktober 2025, jumlah pendaki yang menuju Gunung Rinjani mencapai 72.528 orang, sementara kunjungan ke destinasi non-pendakian tercatat 43.502 orang. “Kawasan TNGR terus menyedot perhatian wisatawan lokal maupun mancanegara,” jelas Yarman.

Namun tingginya kunjungan membawa konsekuensi biaya dan beban pengelolaan lingkungan. Karena itu, TNGR kembali mendorong gerakan Go Rinjani Zero Waste agar wisatawan ikut berperan menjaga kebersihan area wisata.

Data sementara menunjukkan total sampah aktivitas pendakian mencapai 28.410,64 kilogram, sedangkan dari kegiatan non-pendakian sebanyak 989,22 kilogram. Seluruhnya merupakan sampah yang berhasil dibawa turun kembali, mayoritas berupa sampah anorganik.

Yarman mengimbau agar seluruh pengunjung terus berdisiplin menjaga kebersihan kawasan. “Dari Rinjani untuk Indonesia, mari dukung pariwisata berkelanjutan, bukan hanya indah dipandang, tapi juga memberi manfaat ekonomi dan menjaga alam,” ujarnya. (alf)

Proyek Kopdes Masuk APBN, Dampak ke Fiskal Diwarnai Sorotan

IKPI, Jakarta: Komitmen pemerintah membangun 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdes/Kel) Merah Putih dipastikan akan melibatkan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan bahwa pembangunan fisik koperasi tersebut akan dijalankan oleh PT Agrinas Pangan Nusantara (Persero) dengan dukungan pembiayaan dari bank-bank BUMN (Himbara).

Skemanya, Agrinas akan meminjam dana dari Himbara, sementara pemerintah menanggung pembayaran cicilan sekitar Rp40 triliun per tahun selama enam tahun. Dengan demikian, total dana APBN yang teralokasi untuk proyek ini mencapai sekitar Rp240 triliun.

Menurut Purbaya, skema penjaminan tersebut membuat risiko perbankan tetap terjaga. “Pinjamannya aman, perbankan tidak menghadapi risiko signifikan karena pembayaran dijamin APBN,” ujarnya, Minggu (16/11/2025). Ia menambahkan bahwa Kementerian Keuangan segera menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) untuk mendukung pelaksanaan pendanaan ini.

Diatur Inpres 17/2025

Menteri Koperasi Ferry Juliantono menjelaskan bahwa mekanisme pembiayaan proyek Kopdes/Kel telah dituangkan dalam Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 2025. Aturan tersebut memungkinkan pendanaan dari APBN, APBD, serta sumber sah lainnya.

“APBN tetap menjadi sumber utama. Skemanya lewat Himbara, lalu Himbara menyalurkan ke Agrinas,” tutur Ferry.

Setiap unit Kopdes/Kel Merah Putih memperoleh plafon pembiayaan hingga Rp3 miliar yang digunakan untuk pembangunan gudang, gerai, serta modal kerja. Karena berstatus program strategis nasional, proses penilaian kredit oleh Himbara juga akan dipermudah.

Hingga saat ini, Agrinas tengah membangun 7.923 titik gerai dengan dukungan pembayaran muka sekitar Rp600 miliar. Pemerintah menargetkan pendataan lahan mencapai 40.000 titik pada November 2025 dan pembangunan fisik meningkat menjadi 40.000–50.000 titik pada akhir tahun.

Sorotan Terhadap Ruang Fiskal

Keterlibatan APBN dalam skema penjaminan pinjaman ini memunculkan perhatian terkait ruang fiskal pemerintah, mengingat komitmen Rp40 triliun per tahun akan berlangsung dalam jangka waktu panjang. Meski pemerintah menilai kapasitas APBN masih memadai, kalangan analis melihat perlunya pengelolaan fiskal yang hati-hati agar tidak mengurangi fleksibilitas belanja negara di sektor lain.

Sementara itu, pemerintah berharap pembangunan jaringan Kopdes/Kel dapat memperkuat ekonomi desa dan memperluas basis penerimaan negara dalam jangka panjang. Aktivitas usaha, distribusi, dan perdagangan di tingkat desa diharapkan dapat meningkatkan kontribusi pajak seiring berkembangnya aktivitas ekonomi formal. (alf)

Warga Jakarta Kini Bisa Koreksi Data PBB-P2 Secara Online, Proses Lebih Cepat dan Transparan

IKPI, Jakarta: Wajib pajak di DKI Jakarta kini mendapat kemudahan baru dalam memperbaiki data Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI resmi menyediakan layanan pembetulan data PBB-P2 secara daring melalui situs pajakonline.jakarta.go.id, sehingga warga tak lagi harus antre di kantor pelayanan.

Sebagai identitas resmi, Nomor Objek Pajak (NOP) harus akurat karena menjadi dasar perhitungan pajak. Namun, kekeliruan data seperti perubahan kepemilikan, perbedaan luas bangunan, hingga kesalahan administrasi masih sering ditemui. Melalui sistem online ini, koreksi dapat dilakukan dengan lebih cepat, terbuka, dan praktis.

Koreksi data memastikan beban pajak sesuai kondisi lapangan. Informasi yang benar memberi kepastian hukum bagi pemilik properti dan menjaga transparansi penerimaan daerah agar tidak ada pihak yang dirugikan akibat administrasi yang tidak tepat.

Syarat Administrasi

Wajib pajak perlu menyiapkan sejumlah dokumen pendukung, antara lain:

• Surat permohonan resmi.

• Identitas diri: KTP/KITAP untuk pribadi, atau NIB, NPWP badan, KTP pengurus, dan akta pendirian/perubahan untuk badan.

• Surat kuasa jika dikuasakan.

• Formulir SPOP/LSPOP yang sudah diisi.

• SPPT PBB-P2 terakhir.

• Bukti kepemilikan tanah (opsional): sertifikat, girik, surat kavling, atau dilengkapi Surat Pernyataan Penguasaan Fisik.

• Bukti peralihan hak jika ada.

• IMB atau PBG (opsional).

• Foto terbaru objek pajak.

• Bukti pelunasan PBB-P2 minimal lima tahun terakhir atau sejak awal kepemilikan.

Cara Pengajuan Secara Online

Prosesnya dapat dilakukan langsung dari ponsel:

1. Buka pajakonline.jakarta.go.id dan login.

2. Masuk ke menu Pelayanan.

3. Pilih PBB-P2 dan jenis pelayanan Pembetulan.

4. Tentukan sublayanan sesuai kebutuhan.

5. Unggah seluruh dokumen.

6. Setujui pernyataan dan simpan permohonan.

7. Cek statusnya secara berkala hingga selesai diverifikasi petugas.

Dengan sistem daring ini, wajib pajak tidak harus datang langsung ke kantor Bapenda. Seluruh proses dapat dipantau secara mandiri sehingga lebih efisien dan transparan.

Transformasi digital yang dilakukan Bapenda DKI menjadi langkah penting menuju layanan pajak daerah yang modern, akurat, dan ramah masyarakat. Kemudahan ini membantu warga menjaga ketepatan data sekaligus memperkuat keadilan fiskal di Jakarta. (alf)

Jepang Siapkan Regulasi Baru Kripto: Pajak Dipangkas, Masuk Rezim Insider Trading

IKPI, Jakarta: Otoritas Jasa Keuangan Jepang (Financial Services Agency/FSA) tengah menyiapkan langkah besar yang berpotensi mengubah lanskap industri aset digital di negara tersebut. Regulator mempertimbangkan aturan baru yang akan menyetarakan aset kripto dengan produk keuangan lain mulai dari penerapan larangan insider trading hingga penurunan signifikan tarif pajaknya.

Mengutip laporan Asahi, Senin (17/11/2025), regulasi ini akan mencakup ratusan jenis mata uang kripto yang diperdagangkan di Jepang. Pemerintah ingin memastikan bahwa industri kripto berada dalam kerangka pengawasan yang jelas tanpa menghambat inovasi.

Dalam rancangan tersebut, aset kripto akan resmi masuk kategori produk keuangan yang tunduk pada aturan insider trading. Artinya, pemanfaatan informasi material yang belum dipublikasikan untuk meraih keuntungan pribadi akan dilarang sebagaimana berlaku di pasar saham.

Sebagai bagian dari pengetatan, bursa kripto diwajibkan mengungkapkan informasi penting secara lebih terbuka, termasuk risiko fluktuasi harga. Langkah ini diharapkan meningkatkan transparansi dan memperkuat perlindungan terhadap investor ritel.

Aturan baru juga akan memperbolehkan bank dan perusahaan asuransi menjual aset kripto melalui anak usaha sekuritas mereka. Pembukaan akses ini diproyeksikan memperluas penetrasi kripto di pasar Jepang, namun tetap berada dalam koridor pengawasan FSA.

Dari sisi perpajakan, FSA mengusulkan tarif pajak tetap sebesar 20% atas keuntungan dari transaksi kripto setara dengan pajak atas perdagangan saham. Kebijakan ini menjadi perubahan besar karena saat ini keuntungan kripto dikenakan tarif progresif yang bisa mencapai 55%.

Penurunan tarif dianalisis dapat membuat posisi Jepang lebih kompetitif sebagai pusat perdagangan aset digital di Asia, sekaligus menarik minat investor global.

FSA menargetkan legislasi yang diperlukan dapat diajukan dan disahkan dalam sesi parlemen reguler tahun depan. Jika berhasil, Jepang akan memiliki kerangka regulasi kripto yang lebih modern, terstruktur, dan ramah pertumbuhan industri. (alf)

Roadshow Pendidikan Manado–Bitung: Ketum IKPI dan Jajaran Pengurus Beri Tiga Kuliah Umum dan Teken Empat MoU

IKPI, Manado: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) memperkuat kiprah edukatifnya di dunia akademik melalui roadshow pendidikan ke Manado dan Bitung pada 13–14 November 2025. Dipimpin langsung oleh Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld, rombongan pengurus pusat menggelar tiga kuliah umum dan menandatangani empat nota kesepahaman (MoU) dengan berbagai perguruan tinggi di Sulawesi Utara.

Dalam roadshow ini, Ketua Umum didampingi dua pengurus pusat: Lilisen (Ketua Departemen Pengembangan Organisasi) dan Dr. Agustina Mappadang (Wakil Ketua Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal). Kehadiran mereka memperkuat pesan bahwa IKPI serius mendorong modernisasi perpajakan sekaligus regenerasi profesi konsultan pajak.

(Foto: Istimewa)

Mengusung tema utama “Membangun Ekosistem Perpajakan Berintegritas dan Digital Menuju Indonesia Emas 2045,” roadshow ini menghadirkan tiga subtopik utama:

1. Peranan Generasi Muda dalam Ekosistem Perpajakan Indonesia Menuju Indonesia Emas 2045 oleh Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld.

2. Digitalisasi Perpajakan: Coretax Membangun Sistem Pajak Digital yang Terpadu dan Adaptif oleh Dr. Agustina Mappadang.

3. Pengenalan Profesi Konsultan Pajak oleh Lilisen.

(Foto: Istimewa)

Ketiga materi ini menjadi rangkaian komprehensif yang membentangkan gambaran masa depan perpajakan Indonesia modern, berintegritas, adaptif terhadap teknologi, dan didukung profesional muda yang kompeten.

 Kuliah Umum dan MoU

Roadshow dimulai pada Kamis, 13 November 2025 pukul 14.00 WITA di FEB Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) dengan kuliah umum dan penandatanganan MoU.

Agenda berlanjut pada Jumat, 14 November 2025 pukul 09.00 WITA di Politeknik Negeri Manado, kembali dengan dua agenda besar: kuliah umum dan MoU.

(Foto: Istimewa)

Kunjungan berikutnya berlangsung pukul 14.00 WITA di STIE Petra Bitung, di mana IKPI tidak hanya memberikan kuliah umum, tetapi juga menandatangani dua MoU sekaligus dengan STIE Petra Bitung, dan Universitas Khairun Ternate.

Total, IKPI menuntaskan empat MoU dalam satu rangkaian perjalanan, memperluas kerja sama strategis dengan dunia pendidikan dan membuka jalan regenerasi konsultan pajak di Indonesia timur.

(Foto: Istimewa)

Dihadiri Pengurus Daerah dan Cabang IKPI

Roadshow ini turut dihadiri oleh Wakil Ketua Pengurus Daerah IKPI Sulawesi, Maluku, dan Papua yakni Yuli Rawun dan Noldy Keintjem, serta Ketua IKPI Cabang Bitung Denny Ferly Makisanti, beserta pengurus dan anggota cabang lainnya.

Kehadiran mereka dinilai memperkuat sinergi antarlembaga dan memastikan kegiatan berjalan tertib, lancar, dan penuh antusiasme.

(Foto: Istimewa)

Apresiasi untuk Pengcab Manado dan Bitung

Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada jajaran IKPI Cabang Manado dan IKPI Cabang Bitung yang telah melakukan koordinasi intensif dalam penyelenggaraan roadshow ini.

“Terima kasih kepada Pengcab Manado dan Pengcab Bitung atas koordinasi dan kerja kerasnya. Kegiatan ini menjadi bukti bahwa kita bergerak bersama untuk membangun masa depan perpajakan Indonesia yang lebih baik,” ujar Vaudy.

Ia menegaskan, roadshow Manado–Bitung menegaskan komitmen IKPI untuk menjadi mitra strategis dunia pendidikan, mendorong lahirnya tenaga profesional perpajakan yang berintegritas sekaligus adaptif terhadap transformasi digital, terutama dalam era Coretax.

(Foto: Istimewa)

Vaudy menilai bahwa generasi muda kampus hari ini adalah pilar ekosistem perpajakan Indonesia pada 10–20 tahun ke depan, dan karena itu perlu diberi ruang seluas-luasnya untuk memahami dunia perpajakan modern.

Hadir saat penandatanganan MoU:

FEB UNSRAT

  • Dekan, Dr. Victor P.K Lengkong
  • ⁠Wakil Dekan 1, Julio Rumokoy. PHd
  • ⁠Wakil Dekan, Maria Mangantar
  • ⁠Ketua Jurusan Akuntansi, Dr. Jessy Warongan
  • ⁠Koordinator Program Study S1 Akuntansi, Victorina Tirayoh
  • ⁠Koordinator program study PPAK, Dr. Jenny Morasa

Politeknik Negeri Manado

  • Direktur Dra. Mareyke Alelo, MBA
  • Ka. bagian humas & kerjasama : Tonny Alalinti, SE., M.Kom
  • Ketua jurusan, Raymond Rombot, SE., MSi
  • Ka. Prodi Ak. Perpajakan, Alpindos Towuela, SE MM Ak CA

Sekolah tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) PETRA

  • Ketua jurusan, Ratna Taliupan, SE., MSi
  • Kaprodi Manajemen, Selly Mumu, SE, MM
  • ⁠Kaprodi Akuntansi, Regina Takakobi, SE, MA

Sekolah tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) PETRA,

  • Ketua jurusan, Ratna Taliupan, SE., MSi
  • Kaprodi Manajemen, Selly Mumu, SE, MM
  • ⁠Kaprodi Akuntansi, Regina Takakobi, SE, MA

(bl)

PPh Final UMKM Bisa Jadi Permanen, Purbaya Ingatkan: “Asal Nggak Ngibul-ngibul Soal Omzet!”

IKPI, Jakarta: Wacana tarif Pajak Penghasilan (PPh) final 0,5% bagi UMKM tanpa batas waktu kembali mengemuka. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa membuka peluang kebijakan tersebut dibuat permanen, namun menegaskan ada satu syarat mutlak UMKM harus jujur soal omzet.

Dalam media briefing di Jakarta Pusat, Jumat (14/11/2025), Purbaya secara blak-blakan menyebut pemerintah tak keberatan mematenkan tarif superringan itu selama pelaku UMKM tidak memanipulasi omzet demi mendapatkan pajak murah.

“Sebetulnya kalau betul-betul mereka UMKM nggak ngibul-ngibul, harusnya sih nggak apa-apa dipermanenkan. Nanti kita lihat keadaannya seperti apa,” ujar Purbaya.

Menurutnya, pemerintah masih membutuhkan waktu sekitar dua tahun untuk menilai perkembangan ekonomi serta efektivitas insentif yang sedang berjalan.

“Biar saya lihat dulu seperti apa implementasinya di lapangan,” tambahnya.

Saat ini, tarif PPh final UMKM 0,5% telah dipastikan berlaku hingga 2029. Kebijakan ini ditujukan untuk pelaku usaha dengan omzet hingga Rp 4,8 miliar per tahun. Pemerintah ingin memberikan kepastian jangka panjang agar pelaku usaha dapat merencanakan bisnis dengan lebih tenang.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sebelumnya menegaskan bahwa kebijakan ini tidak lagi diperpanjang “setahun-setahun”, melainkan langsung diberi horizon sampai 2029.

Airlangga juga menyampaikan bahwa pemerintah telah menyiapkan dana Rp 2 triliun dalam APBN 2025 untuk mendukung insentif ini, dengan jumlah wajib pajak UMKM terdaftar mencapai 542.000.

“Kita memerlukan revisi PP. Tahun 2025 alokasinya sudah Rp 2 triliun. Wajib pajak yang terdaftar 542 ribu,” kata Airlangga.

Stimulus Jangka Panjang untuk UMKM

Kebijakan PPh final 0,5% diposisikan sebagai stimulus jangka panjang bagi UMKM, terutama untuk meringankan beban pajak dan mengurangi kerumitan administrasi. Pemerintah berharap insentif ini dapat menjaga napas UMKM agar tetap tumbuh dan meningkatkan kontribusinya terhadap perekonomian nasional.

Namun peluang menjadikannya permanen kini bergantung pada dua faktor: kondisi ekonomi ke depan dan yang tak kalah penting tingkat kepatuhan para pelaku UMKM sendiri.

Dengan nada setengah bercanda namun sarat pesan, Purbaya mengingatkan,

“Kalau UMKM jujur, ya pemerintah juga berani kasih tarif permanen.”

Insentif ini kini menjadi salah satu agenda besar dalam strategi pemerintah memperkuat pondasi ekonomi nasional melalui sektor usaha kecil yang menopang mayoritas aktivitas bisnis di Indonesia. (alf)

Dampak Hukum dan Fiskal atas Restatement Laporan Keuangan Auditan terhadap Kewajiban Pelaporan Pajak Penghasilan Badan

Laporan keuangan suatu entitas, dalam perspektif akuntansi, merupakan dokumen yang menyajikan informasi mengenai posisi keuangan pada tanggal pelaporan, yang direpresentasikan melalui neraca (balance sheet), serta kinerja keuangan selama periode pelaporan, yang disajikan dalam laporan laba/rugi (income statement).

Agar laporan keuangan memiliki daya banding terhadap laporan keuangan tahun buku sebelumnya maupun terhadap laporan keuangan entitas lain, penyusunannya harus dilakukan secara konsisten dan berlandaskan pada Prinsip Akuntansi yang Berlaku Umum (PABU). Kepatuhan terhadap PABU memungkinkan laporan keuangan untuk diuji berdasarkan standar akuntansi yang berlaku. Apabila terdapat penyajian yang menyimpang dari standar tersebut, auditor atau pihak yang berwenang akan memberikan rekomendasi perbaikan agar laporan keuangan kembali sesuai dengan ketentuan standar atau PABU.

Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik, hanya Akuntan Publik yang berpraktik melalui Kantor Akuntan Publik dan telah memperoleh izin dari Menteri Keuangan yang berwenang memberikan jasa pemeriksaan (audit) atas laporan keuangan, selanjutnya disebut dengan Akuntan Publik.

Dalam praktiknya, proses audit bertujuan untuk menilai apakah seluruh standar akuntansi yang relevan telah diterapkan secara konsisten dalam penyusunan laporan keuangan. Apabila seluruh aspek material telah disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, maka laporan keuangan tersebut layak memperoleh opini audit Wajar Tanpa Pengecualian (Unqualified Opinion). Namun, jika terdapat penyimpangan terhadap standar akuntansi yang berlaku dan penyimpangan tersebut terbatas pada satu kelompok akun atau area tertentu, maka auditor akan memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (Qualified Opinion). Selanjutnya, apabila sebagian besar aspek material tidak disajikan secara wajar dan menyimpang dari standar akuntansi yang berlaku, maka laporan keuangan akan memperoleh opini Tidak Wajar (Adverse Opinion). Terakhir, apabila auditor tidak memperoleh bukti yang cukup dan tepat untuk mendukung pemberian opini, maka laporan keuangan akan diberikan opini Tidak Memberikan Pendapat (Disclaimer of Opinion).

Pertanyaan yang kerap muncul di khalayak umum adalah apakah maksud dan tujuan laporan keuangan diperiksa oleh Akuntan Publik?, Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah untuk meningkatkan kualitas dan kredibilitas informasi dalam laporan keuangan. Jawaban ini berangkat dari asumsi, bahwa laporan keuangan yang belum diaudit, berpotensi mengandung salah saji material, baik disengaja maupun tidak disengaja oleh manajemen.

Secara umum, terdapat bebeberapa manfaat pelaksanaan audit terhadap sebuah laporan keuangan:

1) Laporan keuangan yang sudah diaudit oleh Akuntan Publik akan mendapatkan opini audit.

2) Tingkat kepercayaan pembaca atau pengguna laporan keuangan meningkat oleh karena adanya jaminan kualitas informasi berdasarkan opini audit.

3) Untuk mengetahui apakah laporan keuangan sudah disusun sesuai dengan standar akuntansi yang relevan.

4) Mendeteksi dan mencegah salah saji material, termasuk kesalahan pencatatan, manipulasi data, atau fraud yang berdampak signifikan terhadap laporan keuangan.

5) Mendukung pengambilan keputusan ekonomi, dimana informasi yang telah diaudit menjadi dasar yang lebih andal untuk keputusan investasi, pembiayaan, dan kebijakan manajerial.

6) Memenuhi kewajiban regulasi, dimana audit diperlukan untuk memenuhi ketentuan hukum dan peraturan, seperti UU Perseroan Terbatas, UU Pasar Modal, dan ketentuan OJK.

Akuntan Publik, sebagai profesi yang menjunjung tinggi integritas dan tanggung jawab profesional, memiliki peran strategis dalam menilai aspek going concern suatu entitas yang diaudit. Dalam pelaksanaan audit, Akuntan Publik wajib melakukan pengujian atas sistem pengendalian internal entitas yang sedang atau akan diaudit. Apabila ditemukan kelemahan signifikan dalam pengendalian internal, maka hal tersebut dapat menimbulkan keraguan terhadap keberlanjutan usaha entitas di masa mendatang. Situasi ini harus menjadi perhatian utama bagi Akuntan Publik, khususnya dalam kaitannya dengan kewajiban untuk mengungkapkan Key Audit Matters sebagaimana diatur dalam Standar Audit (SA) No. 701 Tahun 2021.

Dalam praktiknya, laporan keuangan yang telah diaudit dan memperoleh opini dari Akuntan Publik tetap dapat dilakukan pemeriksaan ulang untuk menghasilkan laporan keuangan RESTATEMENT. Beberapa alasan umum yang dapat mendorong dilakukannya restatement atas laporan keuangan yang telah diaudit antara lain:

1) Perubahan standar akuntansi yang berlaku, Entitas perlu melakukan restatement agar laporan keuangan tetap sesuai (comply) dengan standar akuntansi terbaru yang telah ditetapkan oleh otoritas berwenang.

2) Ditemukannya bukti atau informasi baru yang berdampak signifikan terhadap aspek going concern. Misalnya, teridentifikasi adanya transaksi palsu dengan nilai material yang dapat mempengaruhi kelangsungan usaha entitas secara keseluruhan.

3) Permintaan dari otoritas pemerintah, pemegang saham, atau pengurus entitas. Audit ulang dapat diminta untuk memastikan kebenaran atas suatu hal yang dianggap mencurigakan oleh para pemangku kepentingan.

Restatement laporan keuangan di Indonesia diatur dalam beberapa instrumen hukum dan standar akuntansi, terutama yang berkaitan dengan perubahan kebijakan akuntansi, koreksi kesalahan, dan penyajian kembali informasi keuangan.

1) Standar Akuntansi Keuangan (SAK) – PSAK 25, Mengatur tentang kebijakan akuntansi, estimasi akuntansi, dan kesalahan. PSAK 25 mewajibkan entitas untuk melakukan restatement terhadap laporan keuangan jika ditemukan kesalahan material pada periode sebelumnya.

2) PSAK 1 – Penyajian Laporan Keuangan, PSAK 1 mewajibkan entitas untuk menyajikan laporan posisi keuangan pada awal periode komparatif jika terjadi restatement atau reklasifikasi pos-pos yang material. Hal ini bertujuan untuk menjaga daya banding dan transparansi laporan keuangan antar periode.

3) Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 – Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), Dalam konteks entitas sektor publik, restatement diatur melalui PSAP 10 dan kebijakan akuntansi berbasis akrual. Perubahan kebijakan atau koreksi kesalahan harus diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan (CALK) dan disajikan dalam Laporan Perubahan Ekuitas.

4) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Menyebutkan kewajiban perusahaan untuk menyusun dan menyampaikan laporan keuangan tahunan yang akurat dan dapat dipercaya.

5) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1998 jo. PP No. 64 Tahun 1999, Mengatur tentang informasi keuangan tahunan perusahaan yang harus disampaikan kepada publik dan otoritas terkait.

6) Peraturan Menteri Keuangan No. 232/PMK.05/2022, Mengatur sistem akuntansi dan pelaporan keuangan instansi pemerintah, termasuk mekanisme koreksi dan penyajian ulang laporan keuangan.

Aspek akuntansi dalam perspektif hukum pajak sebagaimana diamanatkan dalam UU No.28 Tahun 2007, Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan:

1) Pasal 28 ayat (1), menyatakan bahwa: “Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan”.

2) Pasal 28 ayat (3), Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.

3) Pasal 28 ayat (7), Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.

Sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal 28 ayat (7) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), dapat dipahami bahwa dalam rangka penyusunan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan, langkah pertama yang wajib dilakukan oleh Wajib Pajak adalah menyiapkan laporan keuangan yang disusun berdasarkan standar akuntansi yang berlaku umum. Ketentuan ini diperkuat oleh regulasi terkait lainnya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2025 tentang Pelaporan Keuangan serta Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik, yang secara keseluruhan menegaskan pentingnya akurasi, akuntabilitas, dan kepatuhan dalam pelaporan keuangan untuk tujuan perpajakan.

Tanpa adanya laporan keuangan Wajib Pajak, penghitungan jumlah pajak terutang menjadi tidak mungkin dilakukan, kecuali bagi Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan penghasilan neto. Apabila Wajib Pajak memilih untuk tidak menyusun laporan keuangan, maka secara implisit telah memberikan kewenangan kepada fiskus untuk menetapkan besarnya pajak terutang berdasarkan metode yang dianggap relevan menurut pertimbangan fiskus.

Untuk memberikan gambaran dan pemahaman yang komprehensif terkait kasus ini, penulis akan mengangkat contoh kasus nyata yang telah diputus oleh Pengadilan Pajak. Dalam putusan tersebut, dinyatakan bahwa dampak dari restatement laporan keuangan wajib diterapkan pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan pajak yang bersangkutan melalui mekanisme pembetulan SPT Tahunan.

Laporan keuangan PT SBL, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan umum, untuk tahun buku 2013 telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik dan memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian. Dalam proses penyusunannya, PT SBL telah menerapkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 33, yang mengatur perlakuan akuntansi atas aktivitas pengupasan lapisan tanah serta pengelolaan lingkungan hidup dalam industri pertambangan umum, khususnya terkait pengakuan biaya pengupasan tanah.

Pada tahun 2014, terjadi perubahan signifikan dalam standar akuntansi yang berlaku bagi entitas pertambangan umum, ditandai dengan diterbitkannya Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan (ISAK) 29 dan dinyatakan memiliki sifat retrospektif. Asas retrospektif sebagaimana diatur dalam Paragraf 05 PSAK 25, penerapan retrospektif adalah penerapan kebijakan akuntansi baru untuk transaksi, peristiwa dan kondisi lain seolah-olah kejadian tersebut telah diterapkan. Interpretasi ini memberikan panduan lebih spesifik mengenai perlakuan akuntansi atas biaya pengupasan lapisan tanah pada tahap produksi, yang sebelumnya belum diatur secara rinci dalam PSAK 33.

Perubahan standar akuntansi yang terjadi pada tahun 2014, khususnya dengan diterbitkannya ISAK 29, telah memberikan dampak material terhadap laporan keuangan PT SBL untuk tahun buku 2013. Sebelumnya, PT SBL telah menyusun laporan keuangan tahun 2013 berdasarkan PSAK 33, yang mengatur perlakuan akuntansi atas aktivitas pengupasan lapisan tanah dalam industri pertambangan umum. Dengan diberlakukannya ISAK 29, yang memberikan interpretasi lebih spesifik terhadap pengakuan biaya pengupasan tanah pada tahap produksi, PT SBL melakukan restatement atas laporan keuangan tahun buku 2013. Penyesuaian ini dilakukan pada tahun 2015, setelah laporan keuangan tahun buku 2014 selesai diaudit. Restatement tersebut mengakibatkan peningkatan harga pokok penjualan tahun 2013 sebesar kurang lebih Rp50.000.000.000.

Sebagai konsekuensi dari perubahan standar akuntansi yang berlaku, PT SBL melakukan pembetulan atas Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Badan untuk Tahun Pajak 2013. Dengan asumsi tarif PPh Badan sebesar 22%, pembetulan tersebut menghasilkan posisi pajak lebih bayar sebesar kurang lebih Rp11.000.000.000.

Adapun alasan yang mendasari dilakukannya pembetulan SPT Tahun Pajak 2013 oleh Wajib Pajak adalah sebagai berikut:

1) Penyesuaian Biaya Pengupasan Tanah:

Biaya pengupasan lapisan tanah tahun 2013 perlu dihitung ulang dan disesuaikan, sehubungan dengan penetapan saldo awal atas biaya pengupasan tanah yang ditangguhkan pada tahun 2014.

2) Penerapan Metode Satuan Produksi Berdasarkan ISAK 29:

Sesuai dengan ketentuan dalam ISAK 29, Wajib Pajak diwajibkan menghitung biaya pengupasan lapisan tanah menggunakan metode satuan produksi. Penerapan metode ini menyebabkan peningkatan harga pokok produksi, sebagai akibat dari penyesuaian biaya pengupasan tanah sebesar Rp50.000.000.000.

3) Konsistensi dan Komparabilitas Laporan Keuangan:

Laporan keuangan suatu periode harus dapat dibandingkan dengan periode sebelumnya maupun sesudahnya. Untuk mencegah kesalahan dalam pengambilan keputusan oleh pengguna laporan keuangan, asas retrospektif perlu diterapkan secara konsisten..

Menanggapi tindakan Wajib Pajak yang melakukan pembetulan atas Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Badan untuk Tahun Pajak 2013, Fiskus berpendapat bahwa penyesuaian terhadap harga pokok penjualan tahun buku 2013 tidak dapat dilakukan. Adapun pertimbangan yang mendasari pandangan tersebut adalah sebagai berikut:

1) Keterikatan Koreksi Fiskal pada Tahun Pajak Bersangkutan:

Koreksi fiskal, sesuai dengan definisi tahun pajak, hanya dapat dibebankan pada tahun pajak yang bersangkutan. Oleh karena itu, koreksi fiskal yang terjadi sebelum tahun 2014 tidak dapat dialokasikan atau dibebankan dalam Tahun Pajak 2014.

2) Ketentuan Transisi dalam ISAK 29:

Berdasarkan ketentuan transisi yang diatur dalam ISAK 29, dampak perubahan kebijakan akuntansi dari PSAK 33 ke ISAK 29 serta penerapannya secara retrospektif terhadap Tahun Buku 2013 hanya dilakukan pada saldo neraca. Penyesuaian tersebut mencakup saldo aset berupa Biaya Pengupasan Lapisan Tanah yang Ditangguhkan (yang selanjutnya diamortisasi), serta saldo Laba Ditahan (Retained Earnings) per tanggal 1 Januari 2013 dan 1 Januari 2014.

3) Batasan Penyajian Ulang Laporan Keuangan Komersial:

Sehubungan dengan ketentuan transisi dalam ISAK 29 dan prinsip penerapan retrospektif sebagaimana diatur dalam PSAK 25, penyajian ulang Laporan Keuangan Komersial Tahun Buku 2013 seharusnya terbatas pada perubahan Saldo Neraca agar dapat dibandingkan dengan Saldo Neraca Tahun Buku 2014. Penyesuaian tersebut tidak semestinya memengaruhi biaya yang disajikan dalam Laporan Laba Rugi Komersial Tahun Buku 2013.

Majelis Hakim Pengadilan Pajak dalam pertimbangannya menyampaikan hal-hal sebagai berikut:

1) Koreksi fiskal hanya dapat dibebankan sesuai dengan tahun pajak yang bersangkutan, sebagaimana pengertian tahun pajak dalam ketentuan perpajakan. Oleh karena itu, koreksi fiskal atas transaksi yang terjadi sebelum tahun pajak 2014 tidak dapat disesuaikan atau dibebankan dalam tahun pajak 2014.

2) Berdasarkan prinsip retrospektif dalam ISAK 29, koreksi akuntansi dapat dilakukan secara dini. Dengan demikian, koreksi terhadap tahun buku 2013 secara akuntansi komersial dinilai sah dan dapat diterima.

3) Majelis berpendapat bahwa penerapan ISAK 29 dalam konteks perpajakan telah dilakukan secara tepat dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

4) Berdasarkan pertimbangan tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan seluruh permohonan banding yang diajukan oleh Wajib Pajak.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:

1) Koreksi fiskal hanya diperkenankan atas penghasilan dan biaya yang diakui secara akrual pada tahun terjadinya koreksi fiskal, sesuai dengan standar akuntansi yang relevan.

2) Mengingat sistem perpajakan Indonesia menganut asas Self-Assessment, maka Wajib Pajak, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan dengan itikad baik serta mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.

3) Dengan demikian, apabila dilakukan restatement atas laporan keuangan Wajib Pajak, maka pembetulan SPT Tahunan dapat dilakukan. Namun demikian, pembetulan tersebut harus tetap memperhatikan asas retrospektif, khususnya terhadap hal-hal yang menjadi dasar atau penyebab dilakukannya restatement tersebut.

Penulis adalah Anggota IKPI Cabang Kota Bekasi

Subur Harahap, CA, CFP, CPA, CMA, BKP, WMI, PFM, MT-BNSP

Email: subur.harahap@suhaconsulting.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

SPT Badan 2025 Jadi Sorotan: IKPI Jakarta Pusat Kupas Isu Rekonsiliasi Fiskal dan Validasi Coretax dalam Seminar On Train

IKPI, Surabaya: Implementasi penuh sistem Coretax dan diberlakukannya PER-11/PJ/2025 membuat pelaporan SPT Tahunan PPh Badan 2025 menjadi salah satu isu paling serius bagi dunia perpajakan. Banyak perusahaan diprediksi menghadapi tantangan baru, terutama terkait rekonsiliasi fiskal langsung, kewajiban pengisian lampiran tertentu berdasarkan jawaban Formulir Induk, hingga logika validasi otomatis yang sangat ketat. 

Menyadari kondisi tersebut, IKPI Jakarta Pusat menggelar seminar intensif di atas kereta, memberikan pembahasan mendalam namun tetap nyaman diikuti.

Dalam seminar ini, narasumber Daniel Belianto dari Tax Partner Ortax menyatakan, untuk mengurai tantangan utama yang akan dihadapi wajib pajak badan. Ia menjelaskan bahwa rekonsiliasi fiskal merupakan titik paling krusial karena tidak lagi menggunakan kertas kerja terpisah. Seluruh penyesuaian harus masuk ke sistem dengan kode FPO dan FNE, dan setiap angka harus konsisten dengan laporan komersial serta lampiran SPT lainnya.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

“Jika ada ketidaksesuaian, Coretax langsung menolak. Sistem tidak memberi ruang kompromi. Karena itu, pemahaman teknis rekonsiliasi sangat penting,” tegas Daniel.

Daniel juga memaparkan bagaimana Coretax menghubungkan jawaban di Formulir Induk dengan lampiran wajib. Misalnya, jika perusahaan menyatakan memiliki transaksi afiliasi, maka Lampiran terbuka otomatis dan wajib diisi. Jika tidak dilengkapi, pelaporan tidak bisa dilanjutkan. Logika ini membuat proses penyusunan SPT lebih otomatis, tetapi sekaligus lebih menantang bagi yang belum terbiasa.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Selama seminar, peserta diajak melihat simulasi kasus nyata. Mereka mempelajari bagaimana data komersial dipetakan ke fiskal, bagaimana sistem memberikan tanda peringatan, dan bagaimana memperbaiki penolakan (reject) yang sering muncul. Simulasi untuk SPT Kurang Bayar dan Lebih Bayar juga ditampilkan lengkap, membantu peserta memahami alur pelaporan dari awal hingga selesai.

Format seminar on train menciptakan suasana diskusi yang lebih santai. Peserta dapat bertukar pandangan, berbagi pengalaman, dan mendiskusikan isu-isu pajak terkini lintas gerbong. Kegiatan ini tidak hanya memperkaya wawasan teknis, tetapi juga memperkuat hubungan antaranggota IKPI.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Seminar ini diharapkan menjadi bekal kuat bagi para profesional pajak dalam menghadapi SPT Badan 2025 yang penuh perubahan. Dengan pemahaman mendalam terhadap Coretax dan PER-11/2025, para praktisi dapat memastikan pelaporan yang akurat, efisien, dan sesuai ketentuan terbaru. (bl)

Penundaan Cukai Popok dan Tisu Dinilai Tepat, Indef Ingatkan Risiko Hilangnya Momentum Fiskal

IKPI, Jakarta: Kebijakan pemerintah menunda rencana pengenaan cukai terhadap popok dan tisu basah mendapat apresiasi sekaligus peringatan dari kalangan ekonom. Kepala Center of Macroeconomics and Finance Indef, M Rizal Taufikurahman, menilai keputusan tersebut tepat secara waktu, namun berisiko menghilangkan momentum perluasan penerimaan negara jika tidak dibarengi peta jalan yang jelas.

“Penundaan ini pada dasarnya tepat dari sisi timing karena daya beli masyarakat dan pemulihan konsumsi rumah tangga belum sepenuhnya solid,” ujarnya, Minggu (16/11/2025).

Menurut Rizal, target pertumbuhan ekonomi 6 persen dapat dijadikan ambang batas kebijakan sebelum pemerintah memberlakukan cukai baru agar tidak menimbulkan demand shock, terutama bagi keluarga muda dan pelaku UMKM yang tengah menanggung tekanan biaya hidup. Meski demikian, ia menegaskan ada konsekuensi fiskal yang tak bisa diabaikan.

“Risikonya adalah hilangnya momentum untuk memperluas basis penerimaan negara serta mendorong perubahan perilaku konsumsi,” katanya.

Rizal juga mengingatkan perlunya fase transisi yang nyata, mulai dari sosialisasi, insentif terhadap produk ramah lingkungan, hingga dukungan bagi UMKM produsen barang substitusi. Tanpa itu, penundaan dikhawatirkan menjadi pembatalan permanen dan gagal memberikan dorongan reformasi fiskal.

Ia menuturkan bahwa jika kelak cukai diberlakukan tanpa mitigasi, beban terbesar akan dirasakan keluarga muda dan kelompok berpenghasilan rendah karena popok dan tisu basah merupakan kebutuhan rumah tangga esensial. Desain tarif yang tidak hati-hati berpotensi menekan konsumsi kelompok menengah bawah dan memicu pergeseran ke produk murah yang tidak memenuhi standar.

Dari sisi industri, kebijakan cukai berpotensi menggerus margin produsen serta memicu peredaran barang substitusi yang tidak terjamin kualitasnya. Dari aspek keadilan fiskal, Rizal menilai kebijakan ini cenderung regresif lantaran beban paling besar ditanggung kelompok berpendapatan rendah.

Wacana ekstensifikasi cukai ini sebelumnya tercantum dalam PMK 70/2025 tentang Rencana Strategis Kemenkeu 2025–2029, yang membuka ruang penambahan Barang Kena Cukai (BKC) baru seperti popok sekali pakai, alat makan dan minum sekali pakai, serta tisu basah. Pemerintah juga mengkaji potensi cukai untuk produk plastik dan pangan olahan bernatrium sebagai strategi menambah penerimaan tanpa langsung menaikkan pajak utama.

Menanggapi hal itu, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa cukai popok dan tisu belum akan diterapkan dalam waktu dekat. Ia menyebut pemerintah tetap memegang prinsip untuk tidak menambah beban pajak sebelum ekonomi benar-benar stabil.

“Sebelum ekonominya stabil, saya tidak akan menambah pajak tambahan dulu. Ketika ekonominya tumbuh 6 persen atau lebih, baru kita pikirkan pajak-pajak tambahan,” ujar Purbaya di Jakarta, Jumat (14/11/2025). (alf)

Analis Global Ingatkan Risiko Fiskal di Balik Percepatan Mandatori Biodiesel B50

IKPI, Jakarta: Percepatan rencana pemerintah untuk menerapkan mandatori biodiesel B50 menjadi sorotan para analis global. Di tengah ambisi memperkuat kemandirian energi, langkah menuju B50 dinilai dapat menimbulkan tekanan besar terhadap stabilitas fiskal, ekspor, dan industri sawit sebagai komoditas utama Indonesia.

Managing Director Glenauk Economics, Julian Conway McGill, dalam wawancara eksklusif di sela Indonesia Palm Oil Conference (POC) 2025 di BICC The Westin, Nusa Dua, menyebut transisi cepat dari B30 ke B40 dan kini menuju B50 telah menciptakan ekspektasi pasar yang tidak proporsional.

“Program biodiesel Indonesia terlalu berhasil,” ujarnya, Jumat (14/11/2025).

Menurut McGill, keberhasilan itu membuat pasar mengasumsikan permintaan biodiesel akan terus melesat sehingga harga CPO bertahan tinggi, bahkan sebelum kebijakan benar-benar diterapkan. Padahal, kondisi ini terjadi saat harga solar global tengah rendah sehingga memperlebar spread CPO–solar, yang merupakan komponen biaya terbesar dalam produksi biodiesel.

Ia menilai pembiayaan B40 saja sudah berat—apalagi B50. Kenaikan levy ekspor dinilai hampir tak terhindarkan, namun kebijakan itu dapat menggerus daya saing ekspor serta menahan minat investor, terutama ketika produktivitas sawit Indonesia tidak menunjukkan peningkatan signifikan. Kompleksitas legalitas lahan dan tingginya pungutan disebut membuat investor enggan melakukan ekspansi.

“Tidak ada sektor pertanian bisa meningkatkan produktivitas jika harga terus ditekan oleh pajak,” tegasnya.

McGill juga mengingatkan potensi siklus risiko: produksi stagnan, konsumsi biodiesel meningkat, ekspor melemah, penerimaan levy menurun, dan pada akhirnya pungutan kembali naik. Siklus ini, katanya, sangat membebani negara pengimpor besar seperti India dan Pakistan. Sementara itu, Tiongkok dan Eropa menghadapi kelebihan pasokan kedelai serta regulasi yang makin ketat, membuat posisi sawit kian tertekan di pasar global.

Dari perspektif industri, McGill menilai kapasitas produksi biodiesel nasional belum sepenuhnya siap untuk memenuhi kebutuhan B50 sehingga investasi tambahan tetap diperlukan. Ia mengakui kemampuan teknis Indonesia sudah terbukti kuat—B10 yang dulu dianggap mustahil kini meningkat hingga B40. Namun, percepatan menuju B50 bukanlah keputusan yang tepat tanpa pertimbangan mendalam.

“Pertanyaannya bukan apakah Indonesia bisa, tetapi apakah ini saat yang tepat,” ujarnya.

Sebagai solusi, McGill mendorong penerapan mandatori fleksibel ala Brasil, di mana serapan biodiesel disesuaikan dengan fluktuasi harga CPO dan solar. Mekanisme ini dinilai dapat mengoptimalkan anggaran dan menjaga stabilitas industri.

“Dengan timing yang tepat, Indonesia bisa memperoleh empat kali lebih banyak biodiesel dengan biaya yang sama,” jelasnya. (alf)

en_US