Bina Sapa Akhir Tahun 2025 IKPI Cabang Medan Pererat Kebersamaan di Momen Natal

IKPI, Medan: Dalam rangka merayakan Natal 2025 sekaligus mempererat hubungan kekeluargaan antar anggota, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Medan menyelenggarakan kegiatan Bina Sapa Natal pada Sabtu, 27 Desember 2025. Kegiatan ini berlangsung di Gedung Istana Koki, Polonia. Kegiatan ini diikuti oleh para anggota IKPI Cabang Medan beserta keluarga, dan berlangsung dalam suasana hangat, akrab, serta penuh sukacita.  

Rangkaian acara diawali dengan makan bersama yang menjadi momen awal bagi seluruh peserta untuk saling berinteraksi dan berbincang santai. Suasana kekeluargaan semakin terasa ketika acara tersebut diselingi dengan perayaan ulang tahun Suparman selaku Bendahara IKPI Cabang Medan. Perayaan sederhana ini diwarnai dengan ucapan selamat dan doa dari para peserta sebagai bentuk kebersamaan dan perhatian antar anggota.  

(Foto: DOK. IKPI Cabang Medan)

Acara Bina Sapa Akhir Tahun 2025 dibuka oleh Meilani selaku MC yang memandu jalannya kegiatan serta menjelaskan rangkaian acara yang akan dilaksanakan. Meilani kemudian mengarahkan peserta untuk mengikuti sesi permainan dengan terlebih dahulu menentukan pembagian kelompok. Para peserta dibagi ke dalam tiga kelompok yang ditentukan berdasarkan warna pakaian, yaitu kelompok merah, hijau, dan putih. Masing-masing kelompok beranggotakan sekitar 9–10 orang, dan akan bersaing secara sportif dalam berbagai permainan yang telah siapkan panitia.  

Berbagai permainan dilaksanakan untuk memeriahkan acara, di antaranya gambar berantai, tiup lilin menggunakan kertas, jalan di kotak yang sama, serta tebak kata. Seluruh permainan tersebut dirancang untuk melibatkan kerja sama tim serta komunikasi antar peserta, sehingga mampu menciptakan suasana ceria dan penuh tawa sepanjang kegiatan berlangsung.  

Dari rangkaian permainan tersebut, panitia menetapkan kelompok merah sebagai pemenang dalam permainan kelompok. Selanjutnya, anggota dari kelompok merah akan kembali diadu untuk menentukan pemenang utama. Pada tahap akhir tersebut, panitia menetapkan lima pemenang utama.  

(Foto: DOK. IKPI Cabang Medan)

Setelah penyerahan hadiah utama kepada para pemenang, acara dilanjutkan dengan mini games yang diperuntukkan bagi peserta yang belum mendapatkan hadiah pada sesi sebelumnya. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan kesempatan yang merata kepada seluruh peserta serta menjaga suasana kebersamaan dan kegembiraan hingga rangkaian acara berakhir.  

Kemeriahan acara semakin terasa dengan adanya acara tukar kado, yang dilakukan dengan cara memutar setiap kado secara melingkar dari satu peserta ke peserta lainnya. Metode ini menghadirkan unsur kejutan dan kegembiraan, sekaligus menambah keakraban di antara seluruh peserta. 

Kegiatan tersebut diikuti oleh 31 peserta, di antaranya ialah Ebenezer Simamora selaku Ketua IKPI Cabang Medan, Pony selaku Wakil Ketua II IKPI Cabang Medan, Silvia Koesman selaku Sekretaris IKPI Cabang Medan, Novianna selaku Wakil Sekretaris IKPI Cabang Medan, Suparman selaku Bendahara IKPI Cabang Medan, Usman selaku Wakil Bendahara IKPI Cabang Medan, serta beberapa pengurus dan anggota Ikatan Konsultasi Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Medan lainnya.  

Sebagai penutup, seluruh peserta mengabadikan momen kebersamaan melalui foto bersama dalam kegiatan Bina Sapa Natal IKPI Cabang Medan. Melalui kegiatan ini, IKPI Cabang Medan berharap dapat terus mempererat tali persaudaraan, menumbuhkan rasa kekeluargaan, serta memperkuat solidaritas antar anggota dalam semangat Natal.  

Menyambut 2026: Peradilan Semu Jadi Bekal Penting Beracara di Pengadilan Pajak

Ruang itu disusun menyerupai ruang sidang yang sesungguhnya. Mikrofon terpasang, berkas-berkas tertata, dan para peserta duduk sesuai perannya: ada yang menjadi majelis, ada yang berperan sebagai kuasa hukum, ada pula yang bertindak sebagai pihak lawan.

Meski hanya simulasi, suasananya terasa nyata. Setiap kata diperhitungkan, setiap argumen dicoba disusun dengan hati-hati.

Inilah Peradilan Semu (moot court) Pengadilan Pajak metode belajar praktik beracara yang dalam beberapa tahun terakhir semakin berkembang di berbagai cabang Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI).

Menghidupkan Teori Lewat Pengalaman Langsung

Banyak praktisi pajak memahami aturan, pasal, dan prosedur tertulis. Namun begitu memasuki ruang sidang, suasana berubah: ada ritme, tata krama, struktur argumen, serta alur persidangan yang harus dipahami.

Peradilan semu membantu menjembatani jarak antara teori dan praktik. Di sini peserta dapat:

• berlatih menyusun permohonan banding atau gugatan,

• menyampaikan argumen secara sistematis,

• belajar kapan harus berbicara dan kapan mendengar,

• sekaligus membiasakan diri dengan dinamika persidangan.

Latihan ini membuat teori yang biasanya kaku, menjadi lebih hidup dan membekas.

Tumbuh dari Kebutuhan Nyata

Simulasi ini hadir dari kesadaran sederhana: pendampingan wajib pajak tidak berhenti di meja konsultasi.

Ketika perkara naik ke Pengadilan Pajak, kualitas pendampingan sangat bergantung pada pemahaman prosedur dan kepekaan membaca jalannya sidang.

Daripada belajar di tengah persidangan sungguhan di mana kesalahan akan berdampak peradilan semu menawarkan ruang aman untuk mencoba, salah, memperbaiki, dan bertanya.

Menyebar Melalui Jaringan Cabang IKPI

Sejak 2020 hingga 2025, kegiatan ini sudah dilaksanakan di setidaknya 14 cabang IKPI:

Depok, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Bandung, Sidoarjo, Malang, Samarinda, Pekanbaru, Surakarta, Batam, dan Bekasi.

Di setiap daerah, responnya hampir sama: antusias, penasaran, sekaligus merasa mendapatkan pengalaman baru yang tidak didapatkan hanya dari seminar atau membaca buku.

Di Balik Layar: Mempersiapkan Sidang yang “Serius tapi Santai”

Sebelum sidang simulasi dimulai, materi kasus dipersiapkan, peran dibagi, dan alur persidangan dijelaskan.

Tujuannya bukan membuat semua berjalan kaku, melainkan memberi bekal agar ketika sidang dimulai, peserta tahu alurnya — tetapi tetap bebas belajar secara alami.

Biasanya, setelah sidang selesai, sesi dilanjutkan dengan diskusi. Di sini, peserta bebas bertanya, mengkritisi, bahkan membedah satu per satu langkah yang diambil selama simulasi.

Situasi “Klasik” yang Sering Terjadi

Dalam berbagai sesi, sering muncul situasi menarik:

• argumen terlalu panjang tapi menjauh dari pokok masalah,

• penyebutan dasar hukum yang kurang tepat,

• kebingungan kapan menanggapi atau menahan diri.

Semua itu tidak dianggap kesalahan fatal, melainkan bahan belajar. Dengan diskusi bersama, peserta belajar menyederhanakan argumen, menajamkan logika, dan memahami posisi masing-masing pihak di persidangan.

Manfaat yang Dirasakan Peserta

Dari waktu ke waktu, ada perubahan yang terlihat jelas: peserta menjadi lebih percaya diri bukan karena merasa hebat, tetapi karena mulai memahami alur.

Beberapa manfaat yang sering muncul:

• lebih memahami prosedur, bukan sekadar hafal pasal,

• lebih siap mendampingi klien saat banding atau gugatan,

• lebih tertib administrasi karena melihat langsung konsekuensi kesalahan kecil,

• serta lebih peka pada etika persidangan.

Dengan begitu, profesionalisme tidak hanya diukur dari pengetahuan, tetapi juga dari kemampuan menjalankan proses secara benar.

Langkah ke Depan: Membuka Lebih Banyak Kesempatan

Harapan ke depan sederhana namun penting: semakin banyak anggota IKPI dapat mengikuti kegiatan ini.

Rencana ke depan mencakup perluasan kegiatan ke cabang-cabang yang belum pernah mengadakan, termasuk wilayah yang sedang dipersiapkan.

Semakin luas penyelenggaraan, semakin banyak praktisi memperoleh bekal praktik sebelum benar-benar memasuki ruang sidang yang sesungguhnya.

Menguatkan Ekosistem Kepatuhan

Pada akhirnya, peradilan semu bukan hanya soal simulasi teknis.

Ia berkontribusi pada hal yang lebih besar:

• meningkatkan kualitas pendampingan,

• menumbuhkan rasa percaya wajib pajak terhadap proses hukum,

• dan memperkuat budaya kepatuhan dalam sistem perpajakan.

Dengan pemahaman prosedur yang lebih baik, proses penyelesaian sengketa dapat berjalan lebih tertib, jelas, dan berkeadilan.

Penutup

Peradilan semu memberi ruang belajar yang aman: tempat mencoba, berdiskusi, memperbaiki, dan menyiapkan diri sebelum menghadapi persidangan nyata.

Tulisan ini menyajikan pengalaman dan pandangan yang bersifat pribadi, dengan harapan semakin banyak pihak yang ikut belajar demi pendampingan yang lebih profesional dan proses peradilan pajak yang semakin baik.

Penulis adalah Anggota Dewan Kehormatan IKPI

Dr Hariyasin, Drs.,Ak.CA.,SH.,MH 

Email: hariyasin29@yahoo.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

Di Tengah Coretax, Konsultan Pajak Bukan Calo Sistem, tetapi Penjaga Kepatuhan

Transformasi digital perpajakan melalui implementasi Coretax menandai fase baru hubungan antara negara dan wajib pajak. Sistem inti administrasi perpajakan ini dirancang untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan akurasi pemungutan pajak berbasis data.

Namun, di balik narasi modernisasi tersebut, muncul satu kesalahpahaman yang perlahan menguat di ruang publik: seolah-olah dengan sistem yang canggih, kepatuhan pajak akan terjadi secara otomatis — dan peran konsultan pajak menjadi sekadar operator atau “calo sistem”.

Pandangan ini bukan hanya keliru, tetapi juga berbahaya bagi keberlanjutan sistem self-assessment yang menjadi fondasi perpajakan Indonesia.

Coretax Bukan Mesin Kepatuhan

Coretax memang mampu mengintegrasikan data, memetakan risiko, dan memproses informasi fiskal dengan kecepatan yang belum pernah ada sebelumnya. Namun, kepatuhan pajak tidak lahir dari algoritma semata. Ia bertumpu pada pemahaman, kesadaran, serta kemampuan wajib pajak menerjemahkan kewajiban hukum ke dalam tindakan administratif yang tepat.

Dalam praktik, kompleksitas regulasi perpajakan Indonesia justru semakin meningkat seiring digitalisasi. Kesalahan pengisian, salah tafsir data, hingga mismatch informasi lintas sistem bukanlah anomali, melainkan risiko yang melekat. Di sinilah peran konsultan pajak menjadi krusial — bukan sebagai penghindar pajak, melainkan sebagai penjaga kualitas kepatuhan.

Tanpa pendampingan profesional, Coretax berpotensi menciptakan false compliance: terlihat patuh secara sistem, tetapi rapuh secara substansi hukum.

Konsultan Pajak dan Etika Self-Assessment

Sistem self-assessment menempatkan tanggung jawab pemenuhan pajak pada wajib pajak. Negara memberikan kepercayaan, dan kepercayaan itu menuntut kompetensi. Konsultan pajak hadir untuk memastikan kepercayaan tersebut dijalankan secara benar, etis, dan proporsional.

Menyederhanakan peran konsultan pajak menjadi sekadar “penginput data” bukan hanya merendahkan profesi, tetapi juga mengabaikan fungsi etisnya. Konsultan pajak bekerja pada ruang penafsiran hukum — menimbang risiko, menjelaskan konsekuensi, dan memastikan setiap langkah klien tetap berada dalam koridor kepatuhan.

Dalam konteks ini, konsultan pajak berperan sebagai quality control bagi sistem perpajakan. Mereka mencegah kesalahan sejak hulu, mengurangi potensi sengketa di hilir, dan membantu negara menjaga stabilitas penerimaan pajak tanpa harus selalu mengandalkan pendekatan koersif.

Risiko Jika Profesi Disalahpahami

Narasi yang menyudutkan konsultan pajak sebagai “calo” atau perpanjangan tangan pelanggaran pajak membawa dampak sistemik.

Pertama, ia menurunkan kepercayaan publik terhadap profesi yang seharusnya menjadi mitra strategis negara. Kedua, ia menimbulkan keraguan bagi wajib pajak untuk mencari pendampingan profesional yang sah. Ketiga, ia membuka ruang bagi praktik tidak resmi dan tidak terstandar di luar pengawasan asosiasi.

Padahal, di negara-negara dengan sistem perpajakan maju, konsultan pajak diakui sebagai compliance partner: bukan lawan fiskus, melainkan bagian dari ekosistem kepatuhan yang sehat.

Peran Asosiasi: Menjaga Standar, Melindungi Publik

Di sinilah fungsi asosiasi konsultan pajak menjadi penting. Asosiasi bukan sekadar wadah administratif, melainkan institusi penjaga standar etik, kompetensi, dan tanggung jawab publik profesi.

Melalui kode etik, pengawasan internal, dan edukasi berkelanjutan, asosiasi memastikan konsultan pajak menjalankan perannya secara profesional dan berintegritas.

Dalam konteks Coretax, asosiasi juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengedukasi publik: bahwa kepatuhan pajak bukan sekadar “lolos sistem”, melainkan kebenaran substantif. Konsultan pajak tidak menjual celah, tetapi memberikan pemahaman.

Kolaborasi, Bukan Stigmatisasi

Modernisasi perpajakan tidak akan berhasil jika dibangun di atas kecurigaan dan stigma. Negara, wajib pajak, dan konsultan pajak berada dalam satu ekosistem yang saling bergantung.

Coretax membutuhkan manusia yang memahami hukum, etika, dan realitas usaha. Tanpa itu, secanggih apa pun sistem akan kehilangan maknanya.

Alih-alih meminggirkan peran konsultan pajak, diperlukan kolaborasi yang lebih terbuka dan terstruktur. Konsultan pajak dapat menjadi early warning system bagi kebijakan yang berpotensi menimbulkan kebingungan massal, sekaligus menjadi kanal edukasi yang efektif bagi wajib pajak yang belum tersentuh literasi fiskal.

Menjaga Arah Reformasi

Reformasi perpajakan pada hakikatnya bukan hanya soal teknologi, tetapi soal relasi kepercayaan. Coretax adalah alat, bukan tujuan. Tujuannya tetap sama: kepatuhan yang adil, berkelanjutan, dan berbasis kesadaran.

Dalam konteks itu, konsultan pajak bukan calo sistem. Mereka adalah penjaga kepatuhan — penjaga agar sistem self-assessment tidak berubah menjadi jebakan administratif, dan agar modernisasi tidak kehilangan sisi humanisnya.

Jika negara ingin Coretax berhasil, maka profesi konsultan pajak perlu diposisikan secara tepat: sebagai mitra kritis, pendamping profesional, dan penjaga etika kepatuhan pajak.

Ketua Departemen Humas IKPI, Dosen, dan Praktisi Perpajakan

Jemmi Sutiono

Email: jemmi.sutiono@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pandangan dan pendapat pribadi penulis.

Refleksi Tahun 2025: Menjaga Marwah IKPI, Mengawal Integritas, Menyongsong Tahun 2026 Lebih Bermartabat

Tahun 2025 menjadi momentum penting bagi Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI).

Di tengah perubahan kebijakan, tantangan ekonomi, dan perkembangan sistem perpajakan nasional, organisasi ini kembali diajak melihat ke dalam, mengevaluasi diri, menata ulang prioritas, dan mempertegas jati diri.

Karena pada akhirnya, keberadaan IKPI bukan hanya untuk mengumpulkan anggota.

IKPI berdiri untuk menjaga kehormatan profesi agar konsultan pajak dihormati bukan karena kekuasaannya, tetapi karena integritas dan kompetensinya.

Dari Administrasi Menuju Substansi

Salah satu penanda penting perjalanan adalah penguatan Dewan Kehormatan (DK) dengan membentuk 3 (tiga) Majelis Kehormatan, langkah ini membawa pesan kuat agar IKPI tidak ingin hanya berjalan tetapi bertumbuh secara bermartabat.

Sepanjang 2025, ruang diskusi semakin terbuka.

Perbedaan pandangan tidak lagi dilihat sebagai ancaman, tetapi sebagai tanda kedewasaan. Pengurus dan anggota belajar untuk mendengar, berdialog, dan mencari jalan tengah yang tetap berpijak pada aturan organisasi dan etika profesi. Di saat yang sama, berbagai kebijakan perpajakan baru — termasuk sistem inti perpajakan — menuntut kesiapan anggota bukan hanya soal teknis tetapi juga moral dalam menggunakannya secara bertanggung jawab.

Kompas yang Tidak Boleh Bergeser

Dewan Kehormatan berulang kali menegaskan bahwa konsultan pajak memikul amanah besar.

Ia bekerja membantu klien, tetapi ia juga terikat pada kepentingan negara, kepentingan publik, dan kejujuran hati nurani.

Di titik ini, sebuah prinsip sederhana menjadi pegangan:

kehilangan klien bisa dicari, kehilangan kesempatan bisa terganti, tetapi kehilangan integritas — hilang semuanya. Karena Integritas adalah “mata uang universal”.

Di mana pun seorang anggota berada di kantor, di pengadilan, di ruang konsultasi, atau di forum publik nilai itu yang akan dinilai orang lain untuk pertama kali.

IKPI ingin memastikan bahwa setiap anggota dapat berdiri tegak, bukan karena pandai berargumen, tetapi karena kokoh memegang kebenaran.

Dari Beban Menjadi Perisai

Pencapaian penting pada 2025 adalah meningkatnya kesadaran etika dan standar profesi.

Selama Tahun 2025 pelanggaran hanya ada 1 (satu) anggota yang telah diberikan sanksi melalui Majelis Kehormatan. Semoga Tahun 2026 semakin banyak anggota yang memilih konsultasi terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan sensitif. Ini menunjukkan perubahan cara pandang. Etika tidak lagi sekadar Beban tetapi dapat dipahami sebagai perisai atau pelindung dari resiko hukum, reputasi, dan moral.

Di banyak kesempatan, justru anggota diharapkan datang dengan pertanyaan:

“Apakah ini pantas secara etika?; “Bagaimana sebaiknya saya bersikap?”

Pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk menunjukkan bahwa marwah organisasi sedang bergerak ke arah yang benar. IKPI tidak ingin menjadi organisasi yang hanya memproses sanksi bagi anggotanya, tetapi ingin menjadi rumah tempat anggotanya mencari pencerahan.

Dunia Digital yang Tak Berpagar

Ruang digital kini menjadi panggung baru profesi. Setiap komentar, unggahan, atau potongan informasi yang tersebar bisa berdampak luas. Karena itu, literasi etika digital menjadi salah satu fokus pembinaan selama 2025.

Dewan Kehormatan IKPI menekankan pentingnya kehati-hatian kepada setiap anggotanya:

menjaga kerahasiaan data wajib pajak, tidak mempublikasikan materi sensitif, berhati-hati dalam memberi opini, dan tetap profesional meski berada di ruang informal seperti media sosial.

Pembinaan dilakukan dengan pendekatan edukatif, Dialog, bimbingan, dan keteladanan dipilih sebagai jalan utama, karena kesadaran yang lahir dari pemahaman jauh lebih kuat daripada sekadar rasa takut pada hukuman.

Budaya Bermartabat sebagai Arah Perjalanan

Memasuki 2026, IKPI ingin melangkah lebih tenang, lebih percaya diri, dan lebih terarah.

Budaya organisasi yang unggul Excellence Culture menjadi cita-cita bersama.

Budaya unggul berarti:

profesional dalam kompetensi, santun dalam sikap, tegas dalam integritas, bersih dalam reputasi.

Harapannya, seluruh anggota IKPI, akan semakin bangga mengenakan atribut organisasi, bukan karena formalitas, melainkan karena nama IKPI identik dengan kepercayaan dan kehormatan. Jika reputasi itu terjaga, IKPI dapat berdiri sebagai teladan bagi profesi lainnya.

Kekuatan yang Tidak Tergantikan

Di tengah perbedaan latar belakang, pengalaman, dan sudut pandang, IKPI adalah rumah yang menyatukan. Organisasi ini tidak boleh dibiarkan retak oleh persoalan kecil, kesalahpahaman, atau ego sesaat. Persatuan menjadi fondasi untuk menghadapi tantangan perpajakan global yang semakin kompleks.

Ketika anggota saling menguatkan, ketika pengurus berdiri melayani, dan ketika Dewan Kehormatan konsisten menjaga marwah, maka organisasi akan tetap kokoh meski badai datang silih berganti.

Kepercayaan

Menutup refleksi 2025, ada satu pesan yang layak disimpan, yakni keberhasilan sejati tidak diukur dari banyaknya proyek atau tingginya pendapatan tetapi terletak pada kepercayaan.

Kepercayaan tidak datang dalam sehari, Ia tumbuh pelan-pelan, dibangun dengan ketulusan, dijaga dengan konsistensi, dan diwariskan sebagai nilai luhur dari generasi ke generasi.

Dengan marwah yang dijaga, integritas yang dikawal, dan budaya bermartabat yang terus diperkuat, IKPI melangkah ke tahun 2026 dengan keyakinan: bahwa profesi ini bukan hanya pekerjaan, tetapi amanah yang harus dipertanggungjawabkan kepada organisasi, masyarakat, dan akhirnya kepada Tuhan.

Penulis adalah Ketua Dewan Kehormatan IKPI

Christian Binsar Marpaung

Email:

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Amazon Tak Lagi Jadi Pemungut PPN Digital, DJP Jelaskan Alasannya

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan resmi mencabut penunjukan Amazon Services Europe S.a.r.l sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Kebijakan ini mulai berlaku efektif sejak 3 November 2025.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, menjelaskan bahwa pencabutan tersebut dilakukan setelah dilakukan evaluasi menyeluruh.

Menurutnya, Amazon Services tidak lagi memenuhi syarat sebagai badan usaha yang wajib ditunjuk memungut PPN PMSE.

“Pencabutan status Amazon Services Europe S.a.r.l. sebagai pemungut PPN PMSE dilakukan karena yang bersangkutan tidak lagi memenuhi kriteria yang telah ditentukan,” ujar Rosmauli dalam keterangan tertulis, Selasa (30/12/2025).

Ini Kriterianya

DJP menetapkan beberapa parameter dalam penunjukan pemungut PPN digital. Di antaranya:

• nilai transaksi pemanfaatan barang/jasa digital di Indonesia melebihi Rp600 juta dalam setahun atau Rp50 juta per bulan; dan/atau

• jumlah trafik pengguna di Indonesia melampaui 12.000 pengakses dalam setahun atau 1.000 pengakses per bulan.

Jika kriteria tersebut tak lagi terpenuhi, perusahaan dapat dicabut penunjukannya — seperti yang terjadi pada Amazon Services Europe S.a.r.l.

Jumlah Pemungut Terus Bertambah

Hingga November 2025, DJP mencatat 254 perusahaan telah ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE. Terbaru, ada tiga nama yang bergabung:

• International Bureau of Fiscal Documentation

• Bespin Global

• OpenAI OpCo LLC

Dari total penunjukan tersebut, 215 entitas telah aktif memungut dan menyetor PPN dengan kontribusi kumulatif mencapai Rp34,54 triliun.

Setoran itu terdiri atas:

• Rp731,4 miliar (2020)

• Rp3,9 triliun (2021)

• Rp5,51 triliun (2022)

• Rp6,76 triliun (2023)

• Rp8,44 triliun (2024)

• Rp9,19 triliun sepanjang 2025

Sinyal Kuat dari Ekonomi Digital

Rosmauli menilai, masuknya perusahaan teknologi global termasuk yang bergerak di bidang kecerdasan buatan menunjukkan potensi ekonomi digital yang semakin besar bagi negara.

“Penunjukan pemungut PPN PMSE pada perusahaan yang bergerak di bidang artificial intelligence menunjukkan bahwa ekonomi digital semakin memberikan manfaat nyata bagi masyarakat, khususnya dalam mendukung penerimaan negara,” kata dia.

Dengan langkah evaluasi berkala ini, DJP berharap mekanisme pemungutan PPN digital tetap adil, relevan, dan mampu menjaga level playing field antara pelaku usaha dalam negeri maupun luar negeri. (alf)

Aktivasi Coretax Capai 10,22 Juta Pengguna, DJP Minta Wajib Pajak Jangan Menunggu Akhir Batas Waktu

IKPI, Jakarta: Menjelang penutup 2025, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat lonjakan aktivasi akun Coretax. Hingga 30 Desember 2025 pukul 12.52 WIB, sistem perpajakan terpadu tersebut telah diaktifkan oleh 10,22 juta pengguna.

Sebagian besar merupakan wajib pajak orang pribadi dengan 9.332.720 akun. Di belakangnya, terdapat 805.607 akun milik wajib pajak badan. Aktivasi juga dilakukan oleh 88.208 instansi pemerintah, serta 221 penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).

DJP menilai perkembangan ini menunjukkan semakin banyak wajib pajak yang mulai berpindah ke layanan digital untuk mengurus administrasi perpajakannya.

Coretax jadi pusat layanan pajak

Coretax dirancang sebagai sistem yang menyatukan berbagai proses pajak dalam satu platform. Melalui sistem ini, DJP berharap pelayanan menjadi lebih sederhana, transparan, dan mudah diawasi.

Mulai tahun pajak 2025, seluruh administrasi perpajakan diarahkan menggunakan Coretax yang terhubung dengan pajak.go.id — termasuk pelaporan SPT Tahunan 2025 yang akan disampaikan pada 2026.

• Wajib pajak orang pribadi: batas pelaporan sampai Maret 2026

• Wajib pajak badan: tenggat hingga April 2026

DJP mengingatkan, menunda aktivasi hingga mendekati batas akhir berisiko menimbulkan antrean dan kendala teknis.

Tiga hal yang harus disiapkan

Mengacu pada panduan resmi DJP, wajib pajak diminta menuntaskan tiga langkah berikut:

1. Aktivasi akun Coretax menggunakan NPWP, email, dan nomor ponsel yang terdaftar, lalu mengganti kata sandi serta membuat passphrase.

2. Membuat Kode Otorisasi DJP (KO DJP) yang berfungsi sebagai tanda tangan elektronik untuk dokumen pajak.

3. Memastikan KO DJP berstatus “VALID”, karena tanpa status tersebut dokumen belum dianggap sah secara digital.

Jika ketiga tahapan selesai, wajib pajak dapat mengakses layanan pajak secara terpusat dengan keamanan data yang lebih terjaga.

Bagi mereka yang masih kesulitan, DJP menyediakan bantuan melalui kantor pelayanan pajak, Kring Pajak, serta kanal resmi lain yang telah disiapkan. DJP mendorong wajib pajak melakukan aktivasi lebih awal agar lebih siap menghadapi masa pelaporan SPT pada 2026. (alf)

Refleksi : Beratnya DJP Mencapai Target 2025

Tak terasa, Kita tengah berada di hari-hari terakhir  Tahun 2025. Waktu berlalu begitu cepat, dengan beragam peristiwa silih berganti menghias hari demi hari di tahun ini. Bagi Kita yang berkecimpung di bidang perpajakan, tahun ini terasa penuh drama sejak awal tahun atau lebih spesifik tentang problematik system coretax. Hingga tak terasa, bagi staf-staf keuangan perusahaan sudah harus kembali berjibaku dengan menyiapkan laporan keuangan karena sudah akhir tahun (lagi).  Pun bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang harus mengejar target pencapaian yang menurut data Per November 2025 baru mencapai Rp1.634,43 triliun dari target pajak 2025 sebesar Rp2.189,3 triliun, baru sekitar 78% dari target.

Beratnya DJP mencapai target di Tahun 2025 ini tentu bukan karena Wajib Pajak (WP) tidak mau membayar pajak, melainkan ada faktor-faktor pemicunya. Seperti diketahui ada pernyataan, bahwa pajak adalah hilir sebagai akibat, sementara hulunya yang menjadi penyebab adalah transaksi dan regulasi. Jika dibedah, maka setidaknya ada faktor internal dan eksternal yang mempengaruhinya.

Faktor Internal

Faktor internal yang sangat kentara setidaknya ada empat hal yang berhasil Penulis rekam. Pertama adalah perubahan regulasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang telah diwacanakan sejak Tahun 2024 hingga kini tak kunjung diterbitkan aturan perubahannya.  Aturan UMKM yang kini berlaku adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan Di Bidang Pajak Penghasilan. Dalam aturan ini ada beberapa hal yang sudah tidak relevan, seperti masa penggunaan tarif 0,5% bagi Orang Pribadi (OP) UMKM hanya tujuh tahun sejak penggunaan Tahun 2018. Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengonfirmasi bahwa aturan Pajak Penghasilan (PPh) Final UMKM sebesar 0,5% diperpanjang hingga tahun 2029, akan tetapi aturan tersebut belum juga terbit hingga kini. Ketidakpastian aturan hukum membuat WP menjadi tarik ulur untuk melakukan penyetoran pajak.

Kedua, faktor kebijakan mengirim Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) yang masif kepada WP tanpa data konkret atau melakukan koreksi-koreksi tanpa dasar. Hal ini juga membuat WP enggan patuh secara sukarela. Meski SP2DK merupakan instrumen pengawasan yang diterbitkan oleh DJP sebagai bagian dari penerapan sistem perpajakan di Indonesia (self assessment system), akan tetapi mindset kepatuhan pajak sukarela yang terbangun malah tercederai dengan koreksi dari Account Representative (AR) DJP yang terkadang membabi buta.

Kepatuhan sukarela cenderung menurun karena sebagian WP menunggu SP2DK, dan akan menyetorkan pajak sesuai  challenge yang diberikan AR, bukan karena sukarela sebagaimana yang diharapkan dalam kaidah self assessment system. Sehingga untuk  penerimaan pajak yang seharusnya diterima oleh negara pada Tahun 2025, tertunda karena WP lebih menunggu challenge AR dan akan menyetorkan pajak sesuai dengan challenge tersebut, bukan karena berapa jumlah kewajibannya.

Ketiga, faktor berikutnya yang cukup besar mempengaruhi target pencapaian penerimaan pajak adalah coretax system. Maski telah dilauching sejak 1 Januari 2025, hingga saat ini kendalanya masih sangat terasa. Bahkan para staf pajak sering berseloroh “surga jalur coretax, karena harus menahan emosi dengan penuh kesabaran saat menggunakan aplikasi coretax”. Hingga saat tulisan ini diketik, untuk melakukan login aplikasi yang konon disebut sebagai aplikasi mahal (menggunakan anggaran Rp 1,3 Triliun) masih terkendala.

Aplikasi yang awalnya digadang-gadang mempermudah pengawasan dan pelaporan pajak justru banyak sekali menghambat kepatuhan sukarela wajib pajak. Sulit diakses, rumit saat digunakan (tidak user friendly), bahasanya tidak mudah dipahami oleh masyarakat awam, banyak menu yang kaku dengan aturan pendukung sedemikian banyak, alhasil membuat WP tidak bisa atau salah melaporkan pajak. Alih-alih meningkatkan penerimaan pajak, malah sebaliknya, WP pasrah tidak stor pajak alias menunggu ditagih saja.

Terakhir, wacana Tax Amnesty (pengampunan pajak) yang sempat diangkat pemerintah pada awal kabinet dibentuk (pemerintahan baru) juga turut berdampak terhadap penerimaan pajak. Mengapa hal ini berpengaruh? salah satunya karena beberapa kalangan telah membagi alokasi dana dalam penyetoran pajak, sebagian untuk disetorkan dalam program tax amnesty dan sebagian untuk setoran masa/kepatuhan. Akan tetapi, yang terjadi hingga penghujung tahun program tersebut tidak direalisasikan, secara otomatis alokasi yang semula untuk program tax amnesty masih mengendap dan tertahan. Program tax amnesty memang seharusnya tidak sering dilakukan, karena hal tersebut juga akan mencederai kepatuhan sukarela, dimana banyak kalangan yang merasa kepatuhan sukarela menjadi tak ada artinya karena tidak patuh pun akan diampuni melalui program tersebut.

Faktor Eksternal

Selain faktor internal, faktor eksternal juga sangat berpengaruh, sebagaimana disinggung di atas bahwa pajak merupakan akibat, sehingga wajar pencapaian target dipengaruhi juga oleh gejolak dan kepentingan eksternal. Faktor eksternal pertama yakni perlambatan ekonomi nasional di sepanjang Tahun 2025 memiliki dampak signifikan terhadap penerimaan negara. Perlambatan ekonomi mempengaruhi penerimaan masyarakat dan daya beli, sehingga menjadi suatu siklus dan berdampak pada penerimaan negara.

Kedua, pengaruh kebijakan impor yang kian longgar menjadi efek domino nan panjang. Industri dalam negeri yang sedianya mendukung pertumbuhan ekonomi menjadi lumpuh karena maraknya barang impor yang murah. Hal tersebut bisa dilihat dari banyak produk impor di pasaran dan naiknya penerimaan bea cukai meski tidak sebanding dengan penurunan penerimaan pajak. Sementara itu, industri dalam negeri tutup, angka pengangguran semakin bengkak hasilnya sangat berpengaruh terhadap daya beli yang ujung-ujungnya penerimaan pajak menurun.

Ketiga, gejolak ekonomi global yang kian tak menentu. Meski tidak berdampak langsung, akan tetapi pengaruh tersebut sangat mengganggu iklim investasi di Indonesia. Investasi berdampak besar terhadap pertumbuhan ekonomi negara, yang secara langsung berdampak pada penerimaan pajak. Faktor eksternal ini memang tidak bisa dikendalikan oleh DJP sendiri, tetapi pemerintah dapat mengontrol gejolak dalam negeri agar tak serta merta terbawa arus global.

Faktor-faktor di atas tentu saja menjadi refleksi yang dalam bagi DJP di tahun-tahun berikutnya. Akankan kebijakan-kebijakan internal sebagaimana Tahun 2025 tetap dipertahankan, ataukah mencari terobosan baru yang lebih jitu agar memacu penerimaan lebih besar tanpa memaksa tetapi dengan sukarela. Selamat menyambut Tahun Baru 2026.

Penulis adalah Anggota Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal, IKPI

Dr. Nur Hidayat, SH, SE, CA, Ak, Asean-CPA, BKP

email: nurhidayat@taxacconsulting.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis. 

DJP Sampaikan Imbauan Aktivasi Akun Coretax dan Pembuatan KO/SE

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyampaikan imbauan kepada masyarakat terkait batas waktu aktivasi akun Coretax serta pembuatan Kode Otorisasi/Sertifikat Elektronik (KO/SE). Imbauan ini disampaikan karena meningkatnya kunjungan masyarakat ke kantor pajak untuk keperluan tersebut.

Dalam Pengumuman Nomor PENG-54/PJ.09/2025, Senin 29 Desember 2025, DJP menjelaskan bahwa pada prinsipnya aktivasi akun dan pembuatan KO/SE dapat dilakukan sebelum Wajib Pajak menggunakan layanan perpajakan berbasis Coretax. Langkah percepatan ini bertujuan menghindari penumpukan proses pada periode pelaporan SPT Tahunan  .

DJP menyebutkan, Wajib Pajak dapat melakukan aktivasi akun dan pembuatan KO/SE secara mandiri dengan mengikuti panduan resmi melalui situs pajak.go.id, akun media sosial DJP, serta tautan khusus di t.kemenkeu.go.id/akuncoretax  .

Bagi Wajib Pajak yang mengalami kendala teknis atau membutuhkan pendampingan khususnya karena adanya perubahan data DJP mengimbau agar pengaturan waktu kedatangan ke kantor pajak dilakukan secara bijak, sehingga pelayanan tetap berjalan lancar dan antrean dapat dikelola dengan baik  .

DJP menegaskan bahwa seluruh layanan perpajakan di kantor pajak tidak dipungut biaya. Masyarakat diminta tidak menggunakan jasa perantara atau calo, dan tetap waspada terhadap berbagai bentuk penipuan yang mengatasnamakan petugas pajak atau menjanjikan percepatan layanan dengan imbalan tertentu. (bl)

IKPI Mantapkan Arah Organisasi Lewat Penataan Wilayah Pengda Jawa Barat

IKPI, Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) resmi menetapkan ulang wilayah kerja Pengurus Daerah (Pengda) Jawa Barat sebagai langkah strategis untuk memantapkan arah organisasi dan mendekatkan layanan kepada anggota di salah satu kawasan ekonomi terbesar di Indonesia  .

Kebijakan ini dituangkan dalam Keputusan Pengurus Pusat IKPI Nomor: KEP-24/PP.IKPI/XI/2025 tentang Penetapan Wilayah Kerja Pengurus Daerah Jawa Barat, yang mulai berlaku efektif pada 1 Januari 2026  .

Ketua Umum IKPI, Vaudy Starworld, menegaskan bahwa penataan wilayah bukan sekadar perubahan administratif, melainkan bagian dari agenda penguatan organisasi secara menyeluruh.

“Penataan wilayah kerja membuat koordinasi lebih jelas, program lebih fokus, dan pelayanan kepada anggota menjadi semakin dekat. Ini bagian dari upaya memantapkan arah IKPI ke depan,” kata Vaudy, Selasa (30/12/2025).

Wilayah Kerja yang Lebih Terarah

Dalam keputusan tersebut, wilayah Pengda Jawa Barat mencakup:

• Pengurus Cabang Kota Bandung

• Pengurus Cabang Cirebon

• Pengurus Cabang Kota Bogor

• Pengurus Cabang Depok

• Pengurus Cabang Kota Bekasi

• Pengurus Cabang Kabupaten Bekasi  

Dengan pembagian ini, jalur koordinasi antara Pengda dan Pengcab diharapkan berjalan lebih efektif mulai dari pembinaan anggota, penyusunan program pendidikan berkelanjutan, hingga penguatan etika dan profesionalisme konsultan pajak.

Dorong Pemerataan Layanan

Vaudy menambahkan, Jawa Barat memiliki basis anggota yang terus berkembang, sehingga struktur organisasi perlu menyesuaikan diri.

“Kami ingin setiap Pengcab punya peran yang kuat, target yang terukur, dan dukungan organisasi yang solid. Pada akhirnya, anggota di seluruh wilayah mendapatkan pelayanan yang lebih merata,” ujarnya.

Penataan ini juga menjadi momentum bagi IKPI untuk memperkuat hubungan kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan, sekaligus memastikan organisasi mampu beradaptasi dengan perubahan kebijakan perpajakan dan dinamika ekonomi daerah.

IKPI mengajak seluruh pengurus dan anggota di Jawa Barat bekerja bersama mengawal implementasi kebijakan ini secara bertahap, transparan, dan kolaboratif sehingga manfaatnya dapat dirasakan nyata bagi profesi dan masyarakat luas. (bl)

Mewakili Pengurus Pusat, IKPI Medan Berbagi Kasih Natal di Panti Asuhan Lazarus

IKPI, Medan: Menyambut dan memaknai perayaan Natal 2025, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Medan melaksanakan kegiatan bakti sosial di Panti Asuhan Lazarus Anak Indonesia, Sabtu, (27/12/2025). Kegiatan ini dihadiri 28 anak panti, dua pengurus panti, serta sejumlah pengurus dan anggota IKPI Medan.

Suasana pertemuan berlangsung akrab sejak awal. Kehadiran IKPI Medan yang datang mewakili Pengurus Pusat tidak hanya membawa bantuan, tetapi juga semangat kebersamaan dan kepedulian. Pada kesempatan tersebut, diserahkan Sumbangan Kasih Natal senilai Rp10.000.000 untuk mendukung kebutuhan anak-anak panti, khususnya di momen perayaan Natal.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Medan)

Acara dibuka oleh Ketua IKPI Cabang Medan, Ebenezer Simamora. Dalam sambutannya, ia menekankan bahwa bakti sosial merupakan bagian dari komitmen IKPI untuk hadir di tengah masyarakat, tidak hanya melalui peran profesional, tetapi juga melalui kegiatan sosial.

Ia menyampaikan salam dan perhatian dari Pengurus Pusat serta Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld, sekaligus berharap agar bantuan yang disalurkan dapat meringankan kebutuhan panti serta memberi dorongan semangat bagi anak-anak dalam menjalani aktivitas sehari-hari.

Kepala Panti Asuhan Lazarus Anak Indonesia, Pasrato Halawa, menyampaikan rasa terima kasih kepada IKPI atas perhatian yang diberikan. Baginya, dukungan yang diterima bukan sekadar materi, tetapi juga menjadi bentuk kepedulian yang dirasakan langsung oleh anak-anak panti.

Ia menilai, kehadiran IKPI Medan membawa sukacita Natal tersendiri bagi anak-anak, yang selama ini sangat membutuhkan dukungan moril dan perhatian.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Medan)

Rangkaian acara kemudian dilanjutkan dengan persembahan pujian dan tarian dari anak-anak panti. Penampilan sederhana namun penuh ketulusan ini disambut dengan hangat oleh para pengurus dan anggota IKPI Medan.

Kebersamaan semakin terasa ketika seluruh peserta berfoto bersama dan saling bersalaman. Momen ini mencerminkan rasa syukur, persaudaraan, dan kedekatan yang terbangun selama kegiatan berlangsung.

Melalui kegiatan bakti sosial ini, IKPI menegaskan komitmen untuk terus menumbuhkan budaya peduli dan berbagi. Sumbangan Kasih Natal diharapkan tidak hanya memberikan manfaat secara langsung, tetapi juga mempererat hubungan antara IKPI dan masyarakat.

Dengan semangat kebersamaan, IKPI berharap kegiatan serupa dapat terus dilanjutkan dan memberi dampak positif bagi lebih banyak pihak. 

Sekadar informasi, hadir pada kesempatan tersebut, pengurus dan anggota IKPI Cabang Medan:

• Pony – Wakil Ketua II

• Silvia Koesman – Sekretaris

• Novianna – Wakil Sekretaris

• Usman – Wakil Bendahara

• Anastasia Adrian – Koordinator Bidang Sosial, Olahraga, Bina dan Sapa

• Jenny – Anggota

• Frindi Wong – Anggota

• Ester – Anggota

• Lesley – Anggota

(bl)

en_US