IKPI, Jakarta: Musisi senior sekaligus anggota Komisi X DPR, Melly Goeslaw, mendorong agar pendanaan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dialihkan ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Usulan ini disampaikan Melly dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Badan Legislasi DPR, Sabtu (6/12/2025).
Dalam forum tersebut, Melly secara terbuka menyampaikan kelelahan para pelaku industri musik terhadap ketidakpastian tata kelola royalti yang selama puluhan tahun dinilainya sulit diawasi. Menurutnya, pembiayaan LMKN oleh negara akan membuka ruang pengawasan yang lebih ketat dan mendorong transparansi.
“Sebagai pekerja seni, saya sudah lelah. Kalau ada hal yang mencurigakan di LMK atau LMKN, kami tidak pernah bisa berbuat apa-apa. Karena itu saya setuju LMKN dibiayai APBN,” ujar Melly dalam pernyataannya di hadapan Baleg.
Ia menambahkan bahwa keterlibatan negara melalui APBN memungkinkan adanya mekanisme akuntabilitas yang lebih kuat, termasuk potensi pemeriksaan oleh lembaga penegak hukum jika terjadi penyimpangan.
“Kalau ada APBN, mungkin KPK bisa turun tangan. Jadi semua pihak akan berpikir dua kali kalau mau bermain curang,” tegasnya.
Melly menilai perbaikan sistem royalti adalah kebutuhan mendesak, bukan hanya dari sisi nominal, tetapi juga penghargaan terhadap perjalanan kreatif para musisi. Ia menekankan bahwa sistem yang ideal harus mampu melacak perolehan royalti secara real-time dan dapat dipahami dengan jelas oleh para pencipta lagu.
Menurut Melly, LMKN perlu memberikan edukasi yang lebih komprehensif kepada para pencipta mengenai sumber royalti, mekanisme distribusi, dan hak-hak yang melekat pada karya—terutama dalam era digital yang terus berkembang.
“Royalti itu bukan sekadar angka, tapi penghargaan atas waktu, perasaan, tenaga, dan kehidupan kami,” katanya menutup pernyataan. (alf)
IKPI, Jakarta: Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta pemerintah mengarahkan insentif fiskal tahun depan kepada sektor-sektor yang terbukti paling terpukul sepanjang 2025. Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani mengatakan industri padat karya dan UMKM mengalami pelemahan signifikan selama tahun ini, sehingga membutuhkan dukungan fiskal yang lebih terarah.
Dalam keterangannya dikutip, Minggu (7/12/2025), Shinta menilai insentif fiskal seperti tax holiday dan tax allowance memiliki peran penting sebagai peredam gejolak ekonomi. Menurutnya, dua fasilitas itu memberikan ruang bernapas bagi pelaku industri, terutama di fase awal investasi atau saat ekspansi masih menuntut kebutuhan modal yang besar. Karena itu, ia berharap insentif tahun depan diprioritaskan kepada sektor yang paling besar menyerap tenaga kerja.
“Sepanjang 2025, sebagian besar sektor riil melemah, terutama industri padat karya. UMKM juga menghadapi tekanan serupa karena kemampuan ekspansinya terbatas. Padahal, keduanya adalah sumber penyerapan tenaga kerja terbesar,” ujar Shinta.
Shinta menilai insentif tidak cukup hanya diberikan kepada pelaku usaha, tetapi juga harus diarahkan untuk mengurangi tingginya struktur biaya yang menahan pemulihan ekonomi. Ia menyebut tiga komponen besar yang masih membebani dunia industri: suku bunga pinjaman, harga energi, dan biaya logistik. Jika biaya struktural ini tidak turun, kata dia, insentif yang disalurkan melalui APBN tidak akan mencapai dampak optimal.
Di sisi lain, Shinta mengingatkan bahwa insentif hanya akan efektif apabila diterapkan secara konsisten, mudah diakses, dan sejalan dengan perbaikan iklim usaha. Kepastian regulasi, proses perizinan yang efisien, dan penegakan hukum yang kuat menurutnya menjadi prasyarat dalam menarik investasi berkualitas. “Di tengah kompetisi global yang semakin ketat, selective incentives yang dirancang dengan tepat adalah instrumen penting untuk mendapatkan investasi yang berkelanjutan,” tambah CEO Sintesa Group itu.
Buku II Nota Keuangan RAPBN 2026 menunjukkan tren kenaikan belanja perpajakan sepanjang lima tahun terakhir. Nilainya naik dari Rp293 triliun pada 2021 menjadi Rp530,3 triliun pada 2025, atau melonjak 32,5% secara tahunan. Pada 2026, anggaran belanja perpajakan kembali meningkat menjadi Rp563,6 triliun. Porsi terbesar masih berasal dari PPN dan PPnBM serta PPh, dengan estimasi mencapai Rp343,3 triliun pada 2025 dan naik menjadi Rp371,9 triliun pada 2026.
Belanja perpajakan untuk mendorong investasi tercatat Rp84,3 triliun pada 2025 dan naik menjadi Rp84,7 triliun pada 2026. Sementara dukungan perpajakan bagi dunia bisnis meningkat dari Rp56,9 triliun menjadi Rp58,1 triliun pada periode yang sama.
Sebelumnya, dalam Media Gathering pada November 2025, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto mengungkapkan rencana pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh insentif perpajakan. Evaluasi tersebut akan melibatkan BPKP dan lembaga penegak hukum seperti KPK, guna memastikan kebijakan tidak disalahgunakan dan tetap mampu mendorong penerimaan negara. “Perlu dilihat apakah proses bisnisnya sudah tepat, atau ada hal yang harus diperbaiki sehingga manfaat insentif bisa lebih optimal,” kata Bimo di Kanwil DJP Bali pada Selasa (25/11/2025). (alf)
IKPI, Jakarta: Pemerintah tengah merampungkan kebijakan fiskal baru berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang akan memberikan keringanan pajak bagi BUMN yang melakukan aksi korporasi. Aturan ini ditargetkan terbit pada Desember 2025, sebagaimana disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto usai mengikuti Rapat Dewan Pengawas Danantara di Jakarta Selatan, Jumat (5/12/2025).
Airlangga menekankan bahwa restrukturisasi dan konsolidasi berbagai BUMN, termasuk Pertamina, membutuhkan kepastian perpajakan agar proses merger, akuisisi, dan penataan ulang lainnya tidak menghambat kinerja perusahaan.
“Butuh penyesuaian PMK tentang perpajakan. Itu yang kita selesaikan, bukan hanya untuk Pertamina, tetapi keseluruhan proses BUMN,” ujarnya.
Ia berharap beleid tersebut rampung tepat waktu. “Kalau PMK-nya sih mudah-mudahan Desember ini selesai.”
Rencana tersebut selaras dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto yang menargetkan penyederhanaan jumlah BUMN dari hampir 1.000 entitas menjadi sekitar 200 perusahaan aktif. Proses perampingan besar ini dipastikan memicu banyak aksi korporasi sehingga memerlukan dukungan fiskal yang terukur.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menyebut insentif tersebut akan berlaku untuk jangka 3 hingga 4 tahun ke depan. Ia memastikan fasilitas ini bukanlah pengurangan kewajiban pajak atas transaksi restrukturisasi, tetapi mekanisme agar reorganisasi BUMN tidak menggerus potensi dividen.
“Nanti ada kerangka regulasi yang membuat BUMN lebih efisien dan merger-mergernya lebih ekonomis,” jelas Bimo.
Namun, ia menggarisbawahi bahwa pembahasan antara Kemenkeu dan pemangku kepentingan terkait masih belum final. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sebelumnya juga menegaskan bahwa setiap insentif hanya akan diberikan sepanjang sesuai koridor peraturan perundang-undangan.
Dengan penyusunan PMK yang memasuki tahap akhir, pemerintah berharap konsolidasi besar-besaran BUMN dapat berjalan lebih efisien tanpa memberikan tekanan berlebih pada penerimaan negara. (alf)
IKPI, Jakarta: Pemerintah mulai menerapkan pendekatan yang lebih selektif dalam pemberian insentif fiskal, dengan mengaitkannya pada kualitas iklim usaha dan kebersihan pasar keuangan. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa bahkan menegaskan bahwa insentif pajak di pasar modal hanya akan mengalir jika OJK dan BEI mampu menindak pelaku “saham gorengan.”
Pernyataan itu menandai babak baru insentif tidak lagi diberikan sekadar untuk mendorong investasi, tetapi sebagai leverage pemerintah untuk mendorong tata kelola ekonomi yang lebih bersih.
“Kalau dalam enam bulan ada penindakan jelas terhadap pelaku saham gorengan, insentif akan kami keluarkan lebih cepat,” kata Purbaya dalam Financial Forum di BEI, baru-baru ini.
Ia menjelaskan, langkah tersebut diperlukan agar investor ritel masuk ke pasar yang lebih adil dan tidak terjebak manipulasi harga yang selama ini menggerus kepercayaan publik.
Di luar pasar modal, pemerintah juga menargetkan ketertiban perdagangan fisik. Purbaya menegaskan komitmen memperketat pengawasan impor ilegal, mulai dari tekstil thrifting hingga baja murah yang dinilai merusak industri domestik dan menggerus basis pajak jangka panjang.
“Saya jaga border-nya, karena ini langsung berdampak pada domestic demand dan basis pajak kita,” tegasnya.
Pendekatan baru pemerintah ini semakin relevan mengingat belanja perpajakan Indonesia melonjak signifikan. Pada 2025, nilai insentif diproyeksikan naik 32,5% menjadi Rp530,3 triliun. Di sisi lain, DJP mencatat bahwa kebijakan fiskal menyumbang policy gap sebesar Rp396 triliun per tahun sepanjang 2016–2021.
Artinya, pemerintah kini tidak hanya mempertahankan insentif sebagai alat pengungkit pertumbuhan ekonomi seperti yang ditegaskan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dalam Rapimnas Kadin tetapi juga sebagai alat kontrol. “Insentif ini akan efektif jika ekosistemnya bersih. Kalau pasar modal dan industri kita sehat, multiplier effect-nya jauh lebih tinggi,” ujar Airlangga.
Dengan demikian, insentif fiskal Indonesia memasuki fase baru: tidak diberikan merata, tetapi disesuaikan dengan kualitas tata kelola sektor penerima. Untuk pertama kalinya, pemerintah mengaitkan keringanan pajak dengan agenda penegakan hukum, integritas pasar, hingga perlindungan industri lokal.
Kebijakan ini dinilai para analis sebagai sinyal bahwa pemerintah ingin mengurangi kebocoran ekonomi, memastikan insentif tidak dinikmati oleh pelaku yang tidak berkontribusi terhadap kualitas perekonomian, serta mendorong pertumbuhan yang lebih sehat dan kompetitif menuju 2026. (alf)
IKPI, Jakarta: Kebijakan insentif pajak yang selama ini kerap dibaca sebagai “biaya fiskal” kini mulai dilihat pemerintah sebagai instrumen untuk menggeser struktur ekonomi nasional menuju sektor bernilai tambah lebih tinggi. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menegaskan bahwa tax holiday dan tax allowance tidak dapat lagi dipahami sekadar sebagai pengurang penerimaan jangka pendek, melainkan sebagai pendorong transformasi industri secara sistemik.
Pandangan ini muncul di tengah sorotan publik atas meningkatnya belanja perpajakan yang pada 2025 diproyeksikan menembus Rp530,3 triliun dan kembali naik menjadi Rp563,6 triliun pada 2026. Dalam periode yang sama, tax ratio nasional tercatat memiliki gap rata-rata 6,4% terhadap PDB sepanjang 2016–2021, di mana 2,7% di antaranya berasal dari kebijakan fiskal berupa pengecualian dan insentif pajak.
“Dalam jangka panjang, insentif merupakan trade-off agar sektor penerima mampu menghasilkan nilai tambah, memperluas lapangan kerja, dan memperkuat daya saing,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas DJP Rosmauli, dikutip Minggu (7/12/2025).
Ia menekankan bahwa setiap insentif yang digelontorkan diarahkan untuk menciptakan efek berantai yang lebih besar daripada penerimaan pajak yang “hilang” di tahun berjalan.
Pergeseran cara pandang ini membuat pemerintah semakin fokus menyusun insentif yang terukur. Bukan lagi soal “menarik investasi sebanyak mungkin,” tetapi “menarik investasi yang paling efektif mendorong transformasi struktur ekonomi” mulai dari industri berteknologi tinggi, manufaktur yang berbasis ekspor berkelanjutan, hingga sektor yang mampu memasok kebutuhan domestik agar impor dapat ditekan.
Dalam konteks tersebut, meningkatnya belanja perpajakan justru mencerminkan upaya pemerintah melakukan intervensi pada titik-titik yang selama ini menjadi bottleneck produktivitas. Pada 2025, insentif untuk peningkatan investasi diprioritaskan sebesar Rp84,3 triliun dan meningkat menjadi Rp84,7 triliun pada 2026.
“Pertanyaan utamanya bukan lagi ‘berapa banyak penerimaan yang hilang?’ tetapi ‘berapa besar nilai tambah yang tercipta?’” ujar Rosmauli.
Namun, sejumlah ekonom menilai jika arah kebijakan ini konsisten, maka transformasi ekonomi yang lebih dalam dapat dicapai tanpa harus menunggu penyesuaian tarif atau regulasi baru. Pemerintah, sedang menggunakan insentif pajak sebagai “kemudi” untuk mengarahkan ulang ekonomi Indonesia ke sektor bernilai tinggi, bukan hanya sebagai “pengurang beban” dunia usaha. (alf)
IKPI, Pekanbaru: Gelombang kepedulian mengalir dari Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) bagi masyarakat yang terdampak rangkaian bencana alam di wilayah barat Indonesia. Organisasi profesi konsultan pajak terbesar dan tertua di Indonesia itu mengoordinasikan bantuan kemanusiaan untuk korban bencana di tiga provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat yang mengalami kerusakan parah beberapa waktu terakhir.
Sebagai bentuk respons cepat, Pengurus Pusat IKPI melalui Departemen Keagamaan, Seni, Sosial, dan Olahraga (KSSO) bergerak bersama Pengurus Daerah (Pengda), Sumatera Bagian Tengah (Sumbagteng) dan Pengda Sumatera Bagian Utara (Sumbagut). Koordinasi dilakukan secara intensif selama beberapa hari, hingga pada Minggu, 7 Desember 2025, bantuan resmi disalurkan melalui pusat distribusi di Pekanbaru.
Penyerahan bantuan dipimpin langsung oleh Ketua IKPI Pengda Sumbagteng, Gazali Tjaya Indera, yang mewakili seluruh anggota IKPI di wilayah tersebut. Bantuan kemudian diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Barat (Pemprov Sumbar) melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) agar dapat didistribusikan secara cepat dan tepat sasaran ke daerah yang paling membutuhkan.
(Foto: DOK. IKPI Pengda Sumatera Bagian Tengah)
“Bantuan kami sudah diterima BPBD Pemprov Sumatera Barat dan kebetulan disaksikan langsung oleh Gubernur Sumbar H. Mahyeldi Ansharullah,” kata Gazali.
Donasi Nasional
Bantuan yang dikumpulkan IKPI terbilang besar dan mencerminkan solidaritas para konsultan pajak di seluruh Indonesia. Total bantuan yang disalurkan meliputi:
• 2.000 kilogram beras,
• 200 karton mi instan, dan
• 200 kantong obat-obatan dasar.
Semua bantuan berasal dari donasi para anggota IKPI dari berbagai daerah, yang bergerak spontan setelah mendapat laporan mengenai besarnya dampak bencana.
“Aksi ini lahir dari kepedulian tanpa batas anggota IKPI di seluruh Indonesia. Ketika bencana terjadi, tidak ada lagi batas daerah—yang ada hanya solidaritas. Ini adalah bentuk nyata bahwa profesi kami tidak hanya bekerja di ruang administrasi dan perpajakan, tetapi juga memiliki misi sosial,” ujar Gazali.
Ia menambahkan, kontribusi ini diharapkan dapat membantu masyarakat memenuhi kebutuhan paling mendesak, terutama bagi warga yang masih mengungsi dan belum dapat kembali ke rumah mereka.
Akses Terbatas, Distribusi Lewat Pemda Dinilai Lebih Efektif
Gazali menyampaikan bahwa pihaknya memilih menyalurkan bantuan melalui Pemerintah Daerah karena adanya keterbatasan akses ke sejumlah lokasi terdampak. Beberapa daerah dilaporkan masih terisolasi akibat jalan yang rusak, jembatan terputus, serta kondisi cuaca yang tidak menentu.
“Dalam kondisi seperti ini, pemerintah daerah—melalui BPBD—memiliki jaringan distribusi yang lebih lengkap. Mereka sudah memetakan wilayah prioritas dan memiliki armada yang mampu menjangkau daerah-daerah terluar. Ini membuat bantuan dapat diterima lebih cepat dan tepat sasaran,” jelasnya.
Selain itu, koordinasi dengan pemerintah daerah juga memberikan kepastian bahwa bantuan akan dikelola secara terstruktur dan tidak tumpang tindih dengan bantuan lain.
IKPI Tegaskan Komitmen Kemanusiaan
Peristiwa bencana yang terjadi di tiga provinsi tersebut telah mengakibatkan kerusakan signifikan pada permukiman warga, fasilitas umum, hingga tempat usaha. Sejumlah masyarakat terpaksa mengungsi dan membutuhkan dukungan pangan serta perlengkapan medis dasar.
IKPI menyadari bahwa proses pemulihan wilayah dan masyarakat terdampak membutuhkan waktu yang panjang. Oleh sebab itu, Gazali menegaskan bahwa IKPI siap terus mendukung upaya kemanusiaan, baik dalam bentuk bantuan lanjutan maupun kerja sama dengan pemerintah dan mitra lembaga sosial.
“Kami tidak berhenti di sini. IKPI selalu membuka ruang donasi bagi anggota dan masyarakat luas. Ketika ada kebutuhan tambahan, kami siap kembali bergerak. Ini bukan hanya tanggung jawab organisasi, tetapi juga panggilan kemanusiaan,” ujarnya.
Ia menyampaikan doa bagi ribuan warga yang sedang menghadapi masa sulit pascabencana. Baik mereka yang kehilangan rumah, mengalami kerusakan harta benda, maupun yang masih berada di pengungsian.
“Kami berdoa semoga saudara-saudara kita yang tertimpa bencana diberikan ketabahan, kekuatan, dan kesehatan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Semoga wilayah-wilayah terdampak dapat pulih kembali dan kembali menjadi tempat tinggal yang aman bagi masyarakat,” ungkapnya. (bl)
IKPI, Sukabumi: Dalam Seminar PPL IKPI Pengda Banten yang digelar di Sukabumi, Sabtu (6/12/2025), Kapusdiklat Pajak BPPK, Muh. Tunjung Nugroho, menyampaikan evaluasi kritis terhadap dua program besar perpajakan Indonesia: Tax Amnesty 2016–2017 dan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) 2022. Meskipun kedua program ini dinilai sukses dalam mengumpulkan penerimaan, Tunjung menegaskan bahwa dampaknya terhadap peningkatan tax ratio nasional belum signifikan.
Dalam pemaparannya, Tunjung merinci capaian Tax Amnesty 2016–2017, yang menghasilkan deklarasi harta sebesar Rp4.855 triliun, repatriasi dana Rp147,1 triliun, serta uang tebusan Rp135 triliun. Realisasi penerimaan negara selama periode program juga cukup tinggi. Namun, tax ratio pasca berakhirnya program justru tidak menunjukkan kenaikan berkelanjutan.
“Secara penerimaan, program ini berhasil. Tetapi secara struktur, tax ratio tidak berubah banyak. Artinya, persoalannya ada pada kemampuan pengawasan negara, bukan pada programnya,” ujarnya.
Dalam PPS 2022, negara kembali mencatat deklarasi harta bersih hingga Rp594,82 triliun dan penerimaan PPh final Rp61,01 triliun. Realisasi penerimaan pada 2022 bahkan melampaui target hingga 133,59%. Namun, seperti pada Tax Amnesty, tax ratio tetap tidak bergerak secara signifikan.
Penyebab Tidak Terjadinya Kenaikan Tax Ratio
Menurut Tunjung, baik Tax Amnesty maupun PPS pada dasarnya hanya menuntaskan masalah kepatuhan masa lalu. Sementara itu, persoalan utama tax ratio rendah justru terletak pada lemahnya kemampuan negara mengawasi perilaku ekonomi ke depan.
“Selama negara belum mampu membaca penghasilan, konsumsi, dan harta kekayaan secara akurat, tax ratio akan tetap rendah. Kita bisa melakukan amnesti berkali-kali, tapi hasilnya tidak akan berubah,” ujarnya.
Ia mencontohkan bahwa pola konsumsi dan gaya hidup masyarakat yang semakin terbuka seharusnya bisa menjadi indikator kemampuan ekonomi. Namun, tanpa integrasi data dan sistem pengawasan yang kuat, potret tersebut tidak dapat digunakan untuk memastikan kepatuhan perpajakan.
Tunjung menegaskan bahwa pajak memiliki fungsi yang jauh lebih besar daripada sekadar sumber dana pembangunan. Pajak adalah instrumen negara untuk memastikan transaksi ekonomi berjalan tertib, mencegah korupsi, dan membangun tata kelola yang bersih.
“Pajak adalah alat negara untuk menjaga integritas ekonomi. Kalau sistem pengawasan lemah, tax ratio tidak akan naik, perekonomian tidak akan governance, dan persepsi korupsi tidak akan membaik,” paparnya.
Ia mengakhiri pemaparannya dengan menekankan bahwa peningkatan tax ratio hanya dapat dicapai jika negara memperkuat otoritas perpajakan agar lebih transparan, independen, dan mampu mengawasi transaksi ekonomi secara menyeluruh. (bl)
IKPI, Sukabumi: Rendahnya tax ratio Indonesia menjadi pembahasan utama dalam Seminar PPL yang digelar Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Pengda Banten di Sukabumi, Sabtu (6/12/2025). Dalam forum tersebut, Kapusdiklat Pajak BPPK, Muh. Tunjung Nugroho, menyampaikan paparan komprehensif mengenai kondisi penerimaan negara dan tantangan besar dalam membangun tata kelola ekonomi yang transparan.
Tunjung membuka paparannya dengan menampilkan tren tax ratio Indonesia yang stagnan selama dua dekade terakhir. Pada awal 2000-an, tax ratio sempat berada di level 12–13%, namun terus merosot hingga menyentuh 8,32% pada 2020, yang menjadi titik terendah dalam 15 tahun terakhir. Pemulihan yang terjadi hingga 10,08% pada 2024 dinilainya belum mencerminkan perbaikan struktural. Proyeksi 2025 pun hanya naik tipis ke 10,24%.
“Rendahnya tax ratio bukan sekadar persoalan kurangnya penerimaan pajak. Itu adalah cermin bahwa transparansi ekonomi kita masih rendah,” ujar Tunjung.
Ia menggambarkan jarak antara aktivitas ekonomi riil dan laporan perpajakannya. Fenomena flexing di media sosial, konsumsi mewah, hingga gerakan Stop Bayar Pajak, menurut Tunjung, menandakan bahwa kemampuan ekonomi masyarakat cukup tinggi, namun belum sepenuhnya tercatat dan dilaporkan.
“Kalau melihat gaya hidup masyarakat, kita tahu aktivitas ekonominya besar. Tapi apakah semuanya tercatat dalam sistem? Di situlah letak persoalan transparansi,” jelasnya.
Ia menjelaskan bahwa negara harus mampu membaca variabel ekonomi utama seperti penghasilan, konsumsi, investasi, serta pergerakan komponen ekspor dan impor. Kelemahan pengawasan terhadap variabel-variabel tersebut membuat banyak potensi pajak hilang.
Self-Assessment Harus Diimbangi Pengawasan
Sejak 1983, Indonesia menganut self-assessment system yang memberikan kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menghitung dan melaporkan kewajiban perpajakannya. Namun, menurut Tunjung, sistem ini hanya efektif jika negara memiliki pengawasan materiil yang kuat.
“Negara wajib memastikan kebenaran materiil SPT. Penghasilan, konsumsi, dan harta wajib pajak harus bisa dipetakan secara akurat. Tanpa itu, malpraktik ekonomi akan terus terjadi,” tegasnya.
Dalam paparannya, Tunjung menggambarkan perlunya tiga lapis pengawasan negara atas transaksi ekonomi. Pertama, pengendalian internal melalui lembaga auditor pemerintah.
Kedua, pengawasan eksternal melalui lembaga legislatif, otoritas keuangan, lembaga intelijen keuangan, dan profesi akuntan publik. Ketiga, pengawasan terakhir oleh otoritas pajak dan bea cukai yang menangani transaksi ekonomi secara langsung.
Menurutnya, semakin kuat sistem pengawasan ini berjalan, semakin tinggi tingkat akuntabilitas dan transparansi ekonomi, yang pada akhirnya turut memperbaiki Indeks Persepsi Korupsi (IPK) nasional.
“Pajak adalah lokomotif state building. Ia bukan hanya alat penerimaan negara, tapi juga instrumen pembentuk tata kelola yang bersih dan akuntabel,” tutupnya. (bl)
IKPI, Sukabumi: Kanwil DJP Banten menyampaikan perlunya kolaborasi lebih kuat dengan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) dalam menghadapi lonjakan aktivitas ekonomi digital serta rendahnya kepatuhan administrasi wajib pajak, terutama terkait aktivasi Coretax dan kode otorisasi.
Hal itu disampaikan M. Riza Pahlevi, mewakili Kepala Kanwil DJP Banten Aim Nursalim Saleh, dalam Rakorda IKPI Pengda Banten di Sukabumi, Jawa Barat, Sabtu (6/12/2025).
Riza mengungkap bahwa DJP Banten baru-baru ini menerima data dari sejumlah marketplace yang menunjukkan aktivitas penjualan sangat tinggi, khususnya produk kecantikan dan skincare.
“Untuk web marketplace di wilayah Banten, datanya mencapai ratusan ribu. Ini menandakan ekonomi digital kita tumbuh pesat, namun pengawasan tidak selalu dapat mengikuti,” jelasnya.
Menurutnya, beberapa konten penjualan tertentu bahkan menunjukkan volume transaksi yang “luar biasa”.
Riza mengakui keterbatasan jumlah Account Representative (AR) dalam melakukan pengawasan terhadap WP badan maupun pelaku usaha digital.
“Teman-teman AR akan muncul ketika ada data. Tapi banyak WP yang aktif tidak pernah tersentuh. Di sinilah peran konsultan pajak sangat penting untuk membantu ekstensifikasi,” ujarnya.
Dengan WP badan terdaftar 248 ribu namun hanya 157 ribu yang aktif, potensi pendampingan oleh konsultan pajak dinilai sangat besar.
Riza mencontohkan berbagai kasus WP yang tidak mengerti proses administrasi, sehingga kerap salah langkah.
“Kadang mereka hanya dapat WA malam-malam, melihat tagihan, lalu langsung bayar. Mereka pikir sudah benar, tapi ternyata bukan di tempat kami. Ini sering terjadi,” jelasnya.
Fenomena itu menunjukkan rendahnya literasi dan kebutuhan edukasi perpajakan yang berkelanjutan.
Dorongan Percepat Coretax & Kode Otorisasi
Merespons tantangan tersebut, DJP Banten kini memprioritaskan aktivasi Coretax di seluruh segmen WP.
“Saat ini kami sedang menggenjot aktivasi akun Coretax dan kode otorisasi. Tujuannya agar di 2026, Coretax bisa berjalan penuh dan proses penyampaian SPT semakin lancar,” kata Riza.
Ia juga menyinggung kebutuhan pembentukan kantor layanan baru, termasuk rencana pembukaan unit di Cilegon–Serang untuk memperluas jangkauan pelayanan.
Riza menegaskan bahwa IKPI adalah mitra strategis DJP Banten untuk meningkatkan kepatuhan, khususnya di sektor badan dan pelaku ekonomi digital.
“Banyak hal yang bisa kita kerjakan bersama. Silakan kita diskusikan lebih lanjut, karena potensi yang ada masih sangat besar,” tutupnya. (bl)
IKPI, Sukabumi: Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Banten mengungkap rendahnya tingkat aktivasi Coretax dan kode otorisasi wajib pajak (WP) di wilayahnya. Hingga awal Desember 2025, aktivasi Coretax baru mencapai 24 persen, sementara kode otorisasi baru 13 persen dari total WP terdaftar.
Hal itu disampaikan perwakilan Kepala Kanwil DJP Banten, Aim Nursalim Saleh, oleh Kepala Bidang Data dan Pengawasan Potensi Perpajakan, M. Riza Pahlevi, dalam Rakorda Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Pengda Banten di Sukabumi, Sabtu (6/12/2025).
Riza menilai rendahnya angka aktivasi menunjukkan masih besarnya kebutuhan edukasi bagi wajib pajak.
“Banyak wajib pajak yang sebenarnya ingin patuh, tetapi tidak mengerti. Ada kasus WP membayar setelah menerima pesan WA, mengira datanya benar, tetapi ternyata bukan di tempat kami. Ini realita yang terjadi,” ujarnya.
Potensi Edukasi Masih Sangat Besar
Dari 4,8 juta WP terdaftar, hanya 1,2 juta yang berstatus aktif. Sementara WP badan tercatat 248 ribu, namun yang benar-benar aktif hanya 157 ribu.
Menurut Riza, angka tersebut menunjukkan betapa luasnya ruang yang bisa dikerjakan bersama konsultan pajak.
“Teman-teman IKPI adalah mitra kami. Area yang bisa dicakup masih sangat besar karena keterbatasan pengawasan AR, dan banyak WP aktif yang belum tersentuh,” katanya.
Riza juga menyampaikan bahwa DJP Banten baru menerima data dari marketplace yang menunjukkan tingginya intensitas transaksi.
“Untuk web marketplace di Banten, datanya mencapai ratusan ribu. Bahkan beberapa penjual skincare terlihat memiliki hasil yang luar biasa besar,” ungkapnya.
Kondisi itu mempertegas perlunya pendampingan bagi pelaku ekonomi digital yang belum tersentuh ekosistem kepatuhan.
Target 2026
Dalam kesempatan itu, Riza menegaskan bahwa percepatan aktivasi Coretax dan kode otorisasi menjadi langkah strategis DJP Banten menjelang penerapan penuh sistem ESPT berbasis Coretax pada 2026.
“Kami mendorong aktivasi agar tahun 2026 Coretax berjalan penuh dan proses pelaporan SPT tidak lagi menghadapi kendala teknis,” jelasnya.
Ia juga mengajak IKPI membuka ruang diskusi lanjutan dan memperkuat peran sebagai mitra edukasi pajak di Banten. (bl)