Singapura Jadi Pelopor Pajak Bahan Bakar Hijau untuk Penumpang Pesawat Mulai 2026

IKPI, Jakarta: Singapura resmi menjadi negara pertama di dunia yang menerapkan pajak bahan bakar hijau atau green fuel levy bagi penumpang pesawat. Kebijakan ini merupakan bagian dari strategi besar negeri tersebut untuk mempercepat dekarbonisasi sektor penerbangan dan berkontribusi pada target emisi global.

Mengutip laporan Independent, Otoritas Penerbangan Sipil Singapura (CAAS) akan memberlakukan biaya bahan bakar penerbangan berkelanjutan (SAF levy) bagi seluruh penumpang yang berangkat dari Singapura mulai 1 Oktober 2026. Adapun mulai 1 April 2026, seluruh tiket, layanan kargo, hingga penerbangan bisnis yang dijual wajib memasukkan komponen biaya ini.

Tarif Berdasarkan Jarak dan Kelas Kabin

Besaran pungutan akan disesuaikan dengan jarak penerbangan dan kelas perjalanan, serta dikelompokkan dalam empat wilayah geografis:

1. Kelompok 1: Asia Tenggara

2. Kelompok 2: Asia Timur Laut, Asia Selatan, Australia, Papua Nugini

3. Kelompok 3: Afrika, Asia Tengah dan Barat, Eropa, Timur Tengah, Kepulauan Pasifik, Selandia Baru

4. Kelompok 4: Amerika

Sebagai gambaran, penumpang kelas ekonomi akan dikenakan biaya:

• S$1 untuk rute Singapura–Bangkok

• S$2,80 untuk Singapura–Tokyo

• S$6,40 untuk Singapura–London

• S$10,40 untuk Singapura–New York

Maskapai diwajibkan mencantumkan komponen biaya ini sebagai baris terpisah pada tiket pesawat yang dijual. Namun, pungutan SAF tidak berlaku bagi penumpang yang hanya transit di Singapura.

Komitmen Menuju Emisi Nol Bersih

Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) telah menargetkan emisi karbon nol bersih pada 2050 untuk penerbangan internasional. Singapura menegaskan dukungannya terhadap target tersebut melalui kebijakan SAF levy ini.

Direktur Jenderal CAAS, Han Kok Juan, menyebut kebijakan tersebut sebagai tonggak penting dalam transformasi sektor penerbangan.

“Pengenalan Retribusi SAF menandai langkah signifikan dalam upaya Singapura membangun pusat udara yang lebih berkelanjutan dan kompetitif,” ujarnya.

“Kita perlu memulai. Kita melakukannya secara terukur, dan memberi waktu bagi industri, bisnis, dan publik untuk beradaptasi,” tambahnya.

Dengan langkah ini, Singapura berambisi tidak hanya mengurangi jejak karbon, tetapi juga menjadi contoh global dalam transisi energi bersih untuk sektor penerbangan. (alf)

Dirjen Pajak Kembali Pertegas Strategi Kejar Target Penerimaan Pajak 2026

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, kembali menegaskan strategi besar Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam mengejar target penerimaan tahun 2026 yang dipatok mencapai Rp 2.357,7 triliun. Kepastian ini ia sampaikan pada tayangan Tax Time CNBC Indonesia, Selasa (18/11/2025). 

Bimo memastikan bahwa upaya mengejar target tersebut tidak akan dilakukan dengan menambah jenis pajak baru ataupun menaikkan tarif pajak.

“Sesuai arahan Menteri Keuangan, kita tidak akan mengeluarkan kebijakan materi perpajakan baru,” ujar Bimo.

Bimo menyebut strategi pertama adalah memastikan pemulihan daya beli masyarakat agar aktivitas ekonomi kembali bergerak cepat. Pemerintah mendorong percepatan belanja negara serta memanfaatkan dana pemerintah yang sebelumnya mengendap di Bank Indonesia.

Sebanyak Rp 276 triliun ditempatkan ke perbankan untuk disalurkan sebagai kredit produktif—Rp 200 triliun pada September dan tambahan Rp 76 triliun pada November 2025.

“Dampaknya mulai terlihat pada konsumsi, investasi, hingga pertumbuhan ekonomi, yang akhirnya ikut mendongkrak penerimaan perpajakan,” jelasnya.

Insentif perpajakan juga akan disusun lebih terukur agar sektor strategis mampu mempertahankan daya beli dan terus tumbuh.

Strategi kedua adalah memperkuat sistem administrasi perpajakan dengan terus menyempurnakan layanan digital melalui Coretax.

“Coretax kita benahi terus, kita sempurnakan terus,” tegas Bimo.

Digitalisasi diyakini mampu meningkatkan kepatuhan wajib pajak sekaligus efisiensi layanan.

Bangun Kepercayaan Publik, Tegaskan Zero Tolerance terhadap Fraud

Dalam strategi ketiga, DJP berkomitmen memperkuat integritas internal. Bimo menegaskan tidak ada toleransi bagi pegawai pajak yang melakukan penyimpangan.

“Fiskus adalah garda terdepan. Dari 44 ribu pegawai di DJP, kalau ada satu saja yang melakukan fraud, saya tidak akan mentoleransi,” ujar Bimo.

Ia menilai kepercayaan publik adalah pondasi penerimaan negara, sehingga perbaikan tata kelola menjadi kunci.

Strategi keempat adalah mendesain ulang insentif perpajakan agar semakin terarah dan benar-benar menyentuh sektor usaha yang membutuhkan stimulus. Langkah ini diharapkan tidak hanya menjaga iklim usaha, tetapi juga memastikan wajib pajak tetap patuh.

Strategi kelima adalah memperkuat pengawasan kepatuhan material melalui audit, pengujian pembayaran, serta menutup berbagai celah kebocoran pajak, seperti base erosion, tax avoidance, hingga pengalihan aset ke luar negeri.

DJP juga memperkuat kerja sama dengan berbagai lembaga seperti Bea Cukai, DJA, Polri, Kejaksaan Agung, KPK, PPATK, dan BPKP.

“Kolaborasi lintas lembaga akan terus diperkuat untuk menjaga penerimaan negara,” tegas Bimo.

Dengan lima strategi tersebut, DJP optimistis target penerimaan pajak 2026 dapat tercapai tanpa menambah beban masyarakat melalui pajak baru. (alf)

DJP Tegaskan Pengisian Angsuran PPh Pasal 25 Kini Wajib Lewat Lampiran 6 di Coretax

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali mengingatkan wajib pajak badan mengenai perubahan tata cara penghitungan angsuran PPh Pasal 25 dalam pelaporan SPT Tahunan PPh Badan. Melalui implementasi Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax) dan penegasan dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-11/PJ/2025, perhitungan angsuran kini dilakukan pada Lampiran 6, bukan lagi pada Formulir Induk 1771 Bagian E seperti tahun-tahun sebelumnya.

Lampiran 6 Kini Jadi Bagian Wajib

Di sistem Coretax, Lampiran 6 tidak otomatis muncul. Wajib pajak harus memilih opsi “Tidak” pada Induk Bagian G angka 20 agar kolom perhitungan angsuran PPh Pasal 25 tampil dalam sistem.

Lampiran 6 terdiri dari dua bagian:

1. Bagian Header, berisi NPWP dan tahun pajak yang terisi otomatis;

2. Angsuran Pajak Penghasilan Tahun Pajak Berjalan, yang menjadi inti penghitungan angsuran.

Isi Data yang Harus Diperhatikan Wajib Pajak

Pada bagian perhitungan angsuran, wajib pajak diminta mengisi beberapa komponen penting, antara lain:

• Penghasilan yang menjadi dasar penghitungan angsuran, yaitu penghasilan neto fiskal. Jika terdapat kondisi khusus seperti penghasilan tidak teratur, wajib pajak perlu memastikan kembali kebenaran angka dasar penghitungan.

• Kompensasi kerugian fiskal, yang akan terisi otomatis dari Lampiran 7.

• Penghasilan Kena Pajak (PKP), hasil perhitungan dari penghasilan dasar dikurangi kompensasi kerugian.

• PPh terutang, diperoleh dari PKP dikalikan tarif yang berlaku.

• Kredit pajak tahun sebelumnya yang terkait dengan penghasilan dasar angsuran.

• PPh yang harus dibayar sendiri, yaitu PPh terutang dikurangi kredit pajak.

• Angsuran PPh Pasal 25, dihitung dengan membagi PPh yang harus dibayar sendiri dengan 12 bulan atau jumlah bulan dalam tahun pajak berjalan.

Setelah penghitungan selesai, nilai angsuran PPh Pasal 25 akan otomatis masuk ke Induk Bagian G sebagai dasar penetapan angsuran tahun berjalan.

Perubahan mekanisme ini diharapkan membuat proses pelaporan lebih akurat, terstruktur, dan selaras dengan standar administrasi perpajakan berbasis Coretax yang kini menjadi tulang punggung sistem DJP. Dengan demikian, wajib pajak badan diminta memastikan data yang diisi telah sesuai agar tidak terjadi kekeliruan dalam penentuan angsuran pajak sepanjang tahun. (alf)

DJP Luncurkan Layanan Validasi & Registrasi Massal NIK Pegawai via Portal NPWP 2.1

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi memperkenalkan Layanan Validasi dan Registrasi Massal NIK Pegawai melalui Portal NPWP versi 2.1, sebagai langkah strategis meningkatkan kualitas data identitas pegawai serta memperkuat integrasi Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax).

Melalui portal yang dapat diakses di portalnpwp.pajak.go.id, pemberi kerja baik badan usaha maupun instansi pemerintah dapat memvalidasi kesesuaian NIK, nama, nomor telepon, dan alamat email pegawai secara serentak. Tidak hanya itu, sistem juga menyediakan fitur registrasi otomatis bagi seluruh data yang dinyatakan valid.

Kehadiran fasilitas ini diharapkan menjadi solusi percepatan pemadanan identitas perpajakan para pegawai, sekaligus menghilangkan kebutuhan penggunaan NPWP sementara (format 999xxx) dalam proses penerbitan bukti pemotongan pajak. Dengan koneksi langsung ke sistem Coretax, alur administrasi perpajakan diharapkan menjadi lebih rapi, cepat, dan minim kesalahan.

Sebagai bagian dari implementasi layanan baru ini, DJP merilis Panduan Resmi “Validasi & Registrasi Massal NIK”, yang berisi tata cara:

1. pendaftaran akun pemberi kerja pada Portal NPWP;

2. pengisian dan pengunggahan berkas massal;

3. pemantauan status validasi dan registrasi;

4. serta tindak lanjut penerbitan ulang bukti potong setelah proses registrasi NIK berhasil.

Panduan tersebut dapat diunduh dengan mengklik ikon PDF yang disediakan, serta dapat dibagikan melalui tautan resmi: s.kemenkeu.go.id/validasiNIK.

DJP mengimbau seluruh pemberi kerja untuk segera memanfaatkan layanan baru tersebut agar data identitas pegawai akurat, sesuai ketentuan pemadanan NIK-NPWP, dan mendukung kelancaran administrasi perpajakan di era Coretax. Dengan data yang semakin terintegrasi, proses pelayanan pajak diharapkan dapat berjalan lebih efisien dan transparan.

https://pajak.go.id/sites/default/files/2025-11/Panduan%20Registrasi%20Massal%20NIK%20-%20Portal%20NPWP%202025.pdf. (alf)

DJP Perketat Pengawasan, Eks Pegawai Pajak Dilarang Layani Wajib Pajak Selama 5 Tahun

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengambil langkah tegas untuk menutup celah persekongkolan fraud antara pegawai pajak yang telah mengundurkan diri dengan konsultan maupun wajib pajak. Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, mengumumkan adanya aturan baru yang secara khusus membatasi ruang gerak eks pegawai pajak agar tidak lagi bisa mengakses maupun memberikan layanan perpajakan setelah resign.

Bimo mengungkapkan bahwa keputusan ini diambil setelah DJP menemukan pola persekongkolan fraud yang melibatkan pegawai pajak yang hendak atau telah resign. Mereka diduga bekerja sama dengan konsultan ataupun wajib pajak tertentu untuk mengakali ketentuan perpajakan, memanfaatkan data negara yang pernah mereka akses selama bekerja.

“Kami sudah siapkan sistem dan kerangka regulasi untuk itu. Kami akan kunci NIK dan NPWP yang bersangkutan di Coretax, sehingga tidak bisa lagi mereka melakukan pelayanan perpajakan ketika mereka resign,” ujar Bimo dikutip dari CNBC Indonesia, Rabu (18/11/2025).

Aturan baru yang tengah disiapkan DJP mencakup dua langkah strategis:

1. Penguncian NIK dan NPWP eks pegawai di dalam sistem Coretax, sehingga mereka tidak dapat mengakses fitur atau layanan perpajakan apa pun.

2. Pemberlakuan masa tunggu (grace period) selama 5 tahun bagi pegawai yang resign sebelum dapat bekerja sebagai konsultan pajak, kuasa pajak, atau bagian perpajakan di perusahaan mana pun.

Menurut Bimo, selama ini belum ada kerangka aturan yang mengatur masa tunggu, padahal risiko konflik kepentingan dan hubungan istimewa dengan pihak ketiga sangat besar.

“Ini penting karena belum ada kerangka aturan itu sebelumnya. Mereka yang bekerja di DJP harus menjaga independensinya. Tidak boleh ada konflik of interest, apalagi hubungan-hubungan istimewa dengan intermediaries,” tegasnya.

Bimo menjelaskan bahwa masa tunggu lima tahun tersebut dirancang sesuai dengan umur validity data perpajakan yang kemungkinan masih tersimpan oleh pegawai dalam perangkat pribadi. DJP saat ini masih menghadapi tantangan untuk memusatkan seluruh data negara yang tersebar di perangkat kerja pegawai.

“Ada data-data yang masih bisa disimpan di stand alone laptop, tablet, maupun HP para pegawai. Maka itu data negara yang ada di mereka tidak akan bisa digunakan apabila mereka resign dalam jangka waktu lima tahun. Karena setelah lima tahun itu, data tersebut sudah kedaluwarsa,” jelasnya.

Upaya Menutup Celah Fraud

Bimo menegaskan bahwa aturan ini merupakan langkah preventif penting untuk memperkuat integritas lembaga serta menjaga kepercayaan publik terhadap DJP. Ia berharap kebijakan tersebut dapat mengakhiri praktik gelap yang melibatkan pegawai maupun mantan pegawai DJP.

“Ditengarai memang ada persekongkolan antara petugas pajak dengan konsultan yang tidak baik dan wajib pajak tertentu. Karena itu kami bertindak,” tegasnya.

Rancangan aturan ini tinggal menunggu finalisasi sebelum diterapkan secara nasional. DJP memastikan bahwa kebijakan tersebut akan menjadi fondasi baru dalam memperkuat tata kelola, transparansi, dan profesionalisme di lingkungan perpajakan Indonesia. (alf)

IKPI Perkuat Peran Global, 30 Delegasi Hadiri AOTCA International Tax Conference 2025 Nepal

IKPI, Kathmandu, Nepal: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) kembali membuktikan posisinya sebagai organisasi profesi perpajakan yang aktif, modern, dan memiliki jejaring internasional yang kuat. Tahun ini, sebanyak 30 delegasi IKPI hadir di AOTCA International Tax Conference 2025 yang berlangsung pada 19–21 November di Kathmandu, Nepal.

Ketua Departemen Hubungan Internasional IKPI, David Tjhai, menyebut keikutsertaan Indonesia dalam konferensi ini sebagai momentum penting untuk menguatkan kontribusi konsultan pajak Indonesia di tingkat global. “Partisipasi kita di forum AOTCA bukan hanya formalitas. Ini adalah ruang bagi Indonesia untuk ikut membentuk arah pembahasan isu-isu perpajakan internasional yang terus berkembang,” ujar David.

(Foto: Istimewa)

Dikatakan David, rangkaian konferensi dimulai dengan pengalaman yang tak terlupakan. Para delegasi sempat menikmati kehidupan khas Kathmandu yang penuh warna jalan-jalan sempit yang ramai, hiruk pikuk pasar tradisional, serta energi spiritual dari kuil-kuil bersejarah seperti Swayambhunath dan Pashupatinath.

Tidak hanya itu, delegasi juga melakukan perjalanan menuju kawasan Himalaya. Momen ketika rombongan menyaksikan panorama Gunung Everest dari kejauhan menjadi salah satu pengalaman paling berkesan. “Ketika berdiri di hadapan Himalaya, Anda merasa kecil sekaligus terinspirasi. Ini energi positif sebelum memasuki diskusi berat mengenai kebijakan pajak global,” ungkap David.

(Foto: Istimewa)

Isu Pajak Global yang Menjadi Sorotan

Konferensi AOTCA tahun ini membahas isu-isu strategis yang sangat relevan untuk negara berkembang, termasuk Indonesia. Beberapa topik yang menjadi sorotan antara lain:

• evolusi historis sistem perpajakan di negara-negara berkembang,

• tantangan implementasi kebijakan pajak di emerging economies,

• transformasi digital administrasi perpajakan dan potensi risikonya,

• peran konsultan pajak internasional dalam global tax compliance,

• serta penguatan etika dan profesionalisme konsultan pajak di situasi ekonomi yang dinamis.

(Foto: Istimewa)

Delegasi Indonesia memanfaatkan kesempatan ini untuk membangun kerja sama, berjejaring dengan negara anggota AOTCA lainnya, dan bertukar praktik terbaik terkait reformasi pajak, digitalisasi administrasi, serta edukasi perpajakan.

Keistimewaan partisipasi Indonesia tahun ini kata David, adalah keterlibatan langsung dua perwakilan IKPI sebagai pembicara utama.

• David Tjhai mempresentasikan materi mengenai Challenges in Tax Policy Implementation in Emerging Economies (Indonesia). Dalam sesinya, David menjelaskan dinamika kebijakan pajak nasional, tantangan penerapan regulasi baru, serta bagaimana Indonesia menyesuaikan diri dengan standardisasi global seperti BEPS dan global minimum tax.

• Ichwan Sukardi Wakil Ketua Departemen Hubungan Internasional IKPI, menyampaikan materi mengenai Ethical Responsibilities and Professional Conduct of Tax Consultants in Developing Economies, membahas pentingnya integritas konsultan pajak di tengah tuntutan perubahan ekonomi global.

(Foto: Istimewa)

Menurut David, undangan resmi untuk tampil sebagai pembicara merupakan bentuk pengakuan internasional terhadap kapasitas intelektual dan profesionalisme IKPI. “Ini sinyal positif bahwa suara Indonesia diakui dan didengar dalam forum internasional,” ujarnya.

Menurutnya, konferensi ini juga menjadi sarana penting bagi IKPI untuk memperkuat kerja sama bilateral dan multilateral di bidang perpajakan. Selain mengikuti sesi pleno, delegasi Indonesia melakukan sejumlah pertemuan sampingan dengan perwakilan dari Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Malaysia untuk membahas peluang kolaborasi pelatihan, riset, serta pengembangan standar profesi.

David menegaskan bahwa peran IKPI di AOTCA telah berkembang dari sekadar peserta menjadi bagian dari pendorong agenda perpajakan global. “Kami ingin memastikan Indonesia tidak hanya menjadi penerima manfaat pengetahuan, tetapi juga menjadi penyumbang gagasan, pengalaman, dan inovasi dalam tata kelola pajak internasional,” katanya.

Dengan partisipasi yang kuat, pembelajaran yang kaya, serta kontribusi nyata melalui dua pembicara utama, IKPI berharap kehadiran delegasi Indonesia pada AOTCA International Tax Conference 2025 dapat memberikan dampak signifikan bagi penguatan profesi konsultan pajak di Indonesia baik dari sisi kualitas layanan, integritas, maupun wawasan global. (bl)

Humala Napitupulu Tekankan Prinsip Keadilan dalam Penagihan Pajak, Sebut Kewajiban Itu Ada Batasnya

IKPI, Jakarta: Praktisi perpajakan yang juga merupakan anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Humala Napitupulu, menegaskan bahwa konsep penagihan pajak tidak dapat dilepaskan dari prinsip keadilan, keseimbangan, dan batasan kemampuan wajib pajak. 

Hal itu ia sampaikan saat menjadi narasumber dalam Seminar Perpajakan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Pengda DKJ bertema “Kedudukan dan Batasan Tanggung Jawab Penanggung Pajak”, di Aston Kartika Grogol, Jakarta Barat, Rabu (19/11/2025).

Humala membuka paparannya dengan tiga prinsip dasar yang menurutnya menjadi fondasi moral dalam memahami kewajiban pajak. “Di zaman saya, orang tua mengajarkan satu hal: utang harus dibayar. Tetapi kewajiban itu ada batasnya. Kita tidak mungkin bisa membayar utang kalau kita tidak paham atau tidak mampu,” ujarnya.

Menurutnya, pemahaman kedudukan dan batas tanggung jawab penanggung pajak adalah kunci untuk membaca aturan secara tepat. Ia menjelaskan bahwa kedudukan menentukan posisi pihak pertama, kedua, dan ketiga dalam struktur penagihan.

“Seperti utang pajak pada badan, tanggung jawab itu bisa mengalir ke pengurus. Badan adalah pihak pertama, pengurus adalah pihak terakhir,” tegasnya.

Lebih jauh, ia menguraikan pentingnya memahami konsep renteng dan proporsionalitas dalam penagihan. Pada sistem renteng, tagihan cukup dibebankan kepada satu pihak. Namun dalam proporsionalitas, pungutan harus dilakukan berdasarkan porsi masing-masing penanggung pajak.

Humala juga menyoroti sejarah lambatnya reformasi penagihan pajak sejak era warisan hukum Belanda hingga terbitnya Undang-Undang Penagihan Pajak tahun 2000. Menurutnya, pembentukan surat paksa dengan kekuatan eksekutorial merupakan tonggak penting, namun tetap harus diimbangi dengan perlindungan hukum yang memadai.

“Pemerintah membutuhkan kekuatan penuh dalam penagihan. Tetapi kekuatan penuh itu harus berjalan seiring dengan perlindungan hukum, supaya adil dan berimbang,” imbuh Humala.

Ia menyampaikan tujuh poin penting UU PPSP yang wajib dipahami konsultan dan wajib pajak, mulai dari hak mendahului negara, cakupan penanggung pajak, hingga proses penyanderaan dan perlindungan OJK.

Humala mengajak peserta untuk mengkritisi aturan demi mencari bentuk keadilan yang tepat. “Upaya hukum harus jelas dan tersedia. Kalau kekuasaan terlalu besar, maka keseimbangan hilang. Keadilan harus tetap dijaga,” ujarnya. (bl)

Ketum IKPI Tekankan Perubahan Ekosistem Perpajakan, Sebut Reformasi Tak Bisa Hanya Dibebankan ke DJP

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld menegaskan bahwa reformasi perpajakan nasional tidak boleh terus-menerus dibebankan hanya kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Menurutnya, seluruh elemen dalam ekosistem perpajakan mulai dari wajib pajak, konsultan pajak, lembaga keuangan, hingga regulator harus berubah secara serempak agar penerimaan negara meningkat secara berkelanjutan.

Pernyataan Vaudy disampaikan dalam sambutannya pada Seminar Perpajakan IKPI Pengda DKJ yang digelar di Aston Kartika, Grogol, Jakarta Barat, Rabu (19/11/2025). 

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Vaudy menekankan bahwa struktur perpajakan Indonesia saat ini masih bertumpu berlebihan pada DJP, padahal rantai pemungutan pajak mencakup banyak pihak yang saling terkait.

“Kalau ekosistem tidak berubah, mustahil kita berharap perubahan hanya datang dari DJP. Kita berada di tengah-tengah antara otoritas dan wajib pajak. Ketika datanya tidak selaras, yang menjadi jembatan adalah profesi konsultan pajak,” ujarnya.

Ia menyoroti bahwa berbagai masalah seperti data yang tidak sinkron, transaksi tunai yang besar, hingga ekonomi bawah tanah (underground economy) tidak dapat dibereskan hanya dengan pengawasan DJP.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

“Perubahan harus menyeluruh. Mulai dari otoritas pajak, penyedia data, lembaga keuangan, wajib pajak, sampai konsultan pajak itu sendiri,” tegasnya.

Dalam paparannya, ia menyebut beberapa kebijakan yang sangat penting untuk mendorong reformasi ekosistem perpajakan, antara lain:

1. Pembatasan transaksi uang tunai

Menurutnya, tingginya transaksi uang kartal membuat pengawasan sulit dan membuka ruang penghindaran pajak. RUU pembatasan transaksi tunai sebenarnya telah lama dibahas, tetapi belum disahkan.

2. Redenominasi rupiah

Vaudy menilai redenominasi dapat menjadi momentum membersihkan peredaran uang tunai yang selama ini disembunyikan.

“Ketika redenominasi diberlakukan, uang tunai yang tidak pernah muncul ke permukaan terpaksa dimasukkan kembali ke sistem. Saat itu negara perlu menyiapkan fasilitas kebijakan, termasuk opsi pengampunan pajak,” jelasnya.

3. RUU Konsultan Pajak dan penguatan kompetensi kuasa wajib pajak

Ia juga menyambut positif langkah pemerintah yang kembali membuka ruang pembahasan RUU Konsultan Pajak setelah sekian lama menghilang dari Prolegnas.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

“Kami diundang Kemenkeu dan DPR untuk membahas RUU Konsultan Pajak. Ini sinyal baik, meski jalannya panjang.”

Vaudy menegaskan bahwa reformasi perpajakan tidak boleh lagi berjalan parsial. Ia menggarisbawahi bahwa kebijakan baru harus dibangun di atas niat politik yang kuat agar ekosistem perpajakan bergerak selaras.

“Underground economy harus dipaksa masuk sistem. Tanpa niat, tidak akan bergerak. Sementara penerimaan negara harus terus naik,” katanya. (bl)

Seminar IKPI Pengda DKJ Kupas Tuntas Peran Penanggung Pajak

IKPI, Jakarta: Seminar perpajakan yang digelar Pengurus Daerah (Pengda) Daerah Khusus Jakarta (DKJ) Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) di Aston Kartika, Grogol, Jakarta Barat, Rabu (19/11/2025) mengangkat tema “Kedudukan dan Batasan Tanggung Jawab Penanggung Pajak”, kegiatan ini menjadi forum penting bagi para konsultan pajak untuk memperdalam pemahaman atas peran penanggung pajak, terutama setelah terbitnya aturan terbaru PMK Nomor 61 Tahun 2023.

Dalam sambutannya, Ketua Pengda DKJ Tan Alim menekankan bahwa isu penanggung pajak seringkali dianggap sederhana, padahal memiliki kedudukan strategis yang memengaruhi proses administrasi hingga penegakan hukum pajak. Ia menyebutkan bahwa banyak pihak hanya memahami konsep umumnya tanpa mengetahui batasan teknis, kata kunci penting, serta ruang lingkup tanggung jawab yang diatur secara lebih jelas dalam peraturan terbaru.

“Peran penanggung pajak tidak bisa lagi dipahami sepotong-sepotong. Ada batasan hukum yang harus diperhatikan dan ada risiko yang bisa timbul jika salah mengartikan kewenangan. Melalui seminar ini, kita kupas tuntas seluruh aspek itu agar para praktisi tidak tertinggal,” ujar Tan Alim di hadapan peserta.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Seminar ini tercatat diikuti 125 peserta, terdiri dari 106 anggota IKPI dan 19 peserta umum non-anggota yang datang dari berbagai wilayah. Kehadiran konsultan pajak dari cabang-cabang se-Jakarta mulai dari Jakarta Utara, Barat, Timur, Selatan, hingga Pusat ditambah peserta dari Depok, Bekasi, Bogor, Tangerang Kota, Tangerang Selatan, hingga Tangerang Kabupaten, membuat suasana seminar semakin hidup.

Selain itu, turut hadir perwakilan Pengda Banten dan Pengda Jawa Barat serta sejumlah pengurus pusat IKPI, menandai kuatnya dukungan organisasi untuk peningkatan kompetensi perpajakan.

Tan Alim dalam kesempatan itu juga menyampaikan apresiasi kepada seluruh pengurus Pengda DKJ untuk masa bakti 2024–2029. Ia menilai kekompakan dan semangat kerja yang tinggi menjadi modal penting untuk menghidupkan kembali kegiatan edukasi perpajakan yang bermanfaat luas.

Seminar ini resmi menjadi kegiatan perdana kepengurusan baru dan diharapkan menjadi pembuka bagi rangkaian program pembelajaran sepanjang tahun.

Tan Alim mengungkapkan bahwa materi yang dibawakan hari ini memiliki nilai praktis yang sangat kuat dan bahkan direncanakan untuk dibukukan. Ia berharap buku tersebut dapat menjadi rujukan formal bagi praktisi pajak, mahasiswa, maupun masyarakat yang ingin memahami struktur penanggung pajak secara komprehensif.

Dalam sambutannya, Tan Alim juga menekankan bahwa Pengda DKJ akan membuka setiap kegiatan seminar untuk peserta umum. Langkah ini merupakan komitmen IKPI untuk memperluas literasi perpajakan di Indonesia, sekaligus memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memahami isu-isu teknis yang selama ini hanya diketahui para profesional.

Dengan materi yang padat, kehadiran peserta yang melampaui ekspektasi, serta komitmen Pengda DKJ untuk terus membuka ruang edukasi publik, seminar ini menjadi bukti nyata bahwa isu penanggung pajak semakin penting untuk dipahami secara mendalam.

Kegiatan pun dilanjutkan dengan sesi pemaparan dan diskusi yang berjalan intens, menjadikan forum ini sebagai ruang belajar bersama bagi seluruh peserta. (bl)

UMKM Harus Berubah: Sudah Saatnya Tarif Berbeda untuk Usaha yang Berbeda

Perpanjangan penerapan PPh UMKM sudah sangat ditunggu-tunggu oleh Masyarakat, khususnya wajib pajak usaha menengah, kecil dan mikro. Pemerintah beserta DPR sedang menggodok dan merumuskan ulang mengenai diperpanjangnya masa berlaku PPh Final UMKM, walaupun secara lisan pemerintah telah menegaskan PPh Final UMKM akan diperpanjang, namun kita menunggu hukum positifnya.

Terkait dengan rencana tersebut, kita dihadapkan pada pertanyaan penting: masih relevankah tarif seragam 0,5% untuk semua jenis UMKM? dan apakah penerapannya bersifat permanen atau masih dibatasi waktu ?

Secara faktual UMKM Indonesia tidak homogen, seperti kita ketahui sektor industri memiliki resiko dan proses bisnis serta yang lebih komplek, menyerap tenaga kerja lebih banyak, serta relative memiliki margin tipis, sektor perdagangan menyerap tenaga kerja lebih sedikit dan resiko lebih rendah dengan margin fluktuatif, sementara sektor jasa justru menikmati margin besar dengan resiko yang lebih kecil.

Namun dalam regime pajak yang sekarang semuanya dikenai tarif pajak yang sama yaitu 0,5%. Dalam dunia bisnis, itu ibarat memasukkan semua petinju dalam 1 kelas, padahal ada petinju yang masuk klasifikasi kelas ringan, sedang dan berat sehingga rasa keadilannya dipertanyakan.

Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) pernah mengusulkan formulasi yang jauh lebih masuk akal dan berkeadilan pada saat acara meaningful participation yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pajak pada tanggal 2 Oktober 2025, dengan formula PPh Final UMKM dengan tarif berjenjang  sebesar : 0,5% untuk industri, 1% untuk perdagangan, dan 2% untuk usaha jasa. Usulan ini tidak hanya logis, melainkan berkeadilan.

UMKM Jasa Tidak Bisa Dipajaki Sama dengan UMKM Industri

Lihat ilustrasi sederhana ini:

Berdasarkan perbandingan di atas, di mana sekarang ini semua sektor usaha dikenakan tarif seragam 0,5%, dapat diduga:

  • Usaha jasa (margin 50%) sangat diuntungkan.
  • Usaha industri (margin tipis) justru bisa tertekan.

Ini jelas tidak adil dan tidak mendorong industri dalam negeri dan dalam jangka panjang akan melemahkan perekonomian Indonesia.   Banyak WP yang Sudah “naik kelas”, tetapi masih memakai tarif UMKM, di era coretax dan transparansi media sosial, data-data wajib pajak serta transaksinya lebih transparan. Dalam hal ini pemerintah sebenarnya tahu siapa yang omzetnya:

  • sudah melewati batas UMKM,
  • memiliki banyak karyawan,
  • memecah omzet agar tetap dibawah ambang batas
  • bahkan sudah ekspansi ke beberapa kota dan luar negeri, tetapi masih melaporkan diri sebagai UMKM sederhana dengan tarif 0,5%.

Hal inilah yang memang harus dicermati dan dikaji Kembali agar fasilitas PPh UMKM benar-benar dinikmati oleh mereka yang berhak, dalam hal ini upaya pemerintah untuk memperketat siapa yang boleh dan tidak boleh adalah upaya yang tepat.

Segmentasi Tarif: Solusi yang Sederhana dan Kuat

Dengan skema baru ini :

  • Adil, karena disesuaikan dengan margin;
  • Efektif, karena meningkatkan penerimaan negara;
  • Tidak memberatkan, karena industri yang rentan tetap mendapat tarif rendah.

Jangka Waktu : Dalam ketentuan PP 55 jangka waktu penggunaan tarif UMKM ini dibatasi selama 7 tahun untuk WP orang pribadi, 4 tahun untuk usaha CV, dan 3 tahun untuk PT. Di dalam mendorong dan memfasilitasi wajib pajak, sebaiknya jangka waktu tersebut tidak dibatasi lagi, karena kewajiban perpajakan akan menjadi beban jika harus menggunakan pembukuan atau norma perhitungan.

Yang paling penting ialah pengawasan yang ketat agar tidak ada penumpang gelap yang memanfaatkan fasilitas tersebut.

Penutup

UMKM adalah tulang punggung ekonomi Indonesia. Perlakuan perpajakan terhadap UMKM harus mendorong mereka tumbuh, bukan membuat mereka nyaman terus menerus dalam zona 0,5%, apalagi sengaja berlindung dari kewajiban sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dengan modus memecah omzet.

PPh Final UMKM perlu diperpanjang, tetapi dengan aturan baru yang lebih cerdas, tarif berbeda untuk usaha yang berbeda. Dengan system Coretax, sebenarnya pemerintah akan lebih mudah mengawasinya, tinggal pengawasan di lapangan yang perlu ditingkatkan.

Dengan demikian usulan perubahan tarif PPh Final UMKM ini merupakan  langkah penting menuju sistem pajak yang lebih adil, modern, dan berkeadilan sosial.

Penulis adalah Ketua Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal, IKPI

Pino Siddharta

Email: pinosiddharta@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis

en_US