Kebijakan Pajak e-Commerce Dikritik: UMKM Dikejar, Raksasa Digital Global Dibiarkan?

IKPI, Jakarta: Rencana pemerintah Indonesia memungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dari pedagang e-commerce menuai sorotan tajam dari kalangan akademisi dan ekonom. Kebijakan yang akan menjadikan marketplace sebagai pemungut pajak otomatis atas transaksi pedagang beromzet di atas Rp500 juta per tahun itu dinilai menyasar pelaku lokal tanpa menyentuh perusahaan teknologi global yang menguasai pangsa pasar digital nasional.

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai bahwa meskipun tujuan pemerintah untuk menyederhanakan administrasi pajak dan menertibkan shadow economy patut diapresiasi, namun arah kebijakannya belum mencerminkan prinsip keadilan fiskal.

“Tujuannya bagus, meningkatkan kepatuhan dan menutup celah ekonomi gelap. Tapi pertanyaannya, kenapa hanya marketplace lokal yang dikejar? Padahal, sebagian besar pendapatan digital di Indonesia justru dinikmati oleh raksasa global seperti Google, Meta, Apple, Amazon, dan Netflix,” ujar Achmad, Sabtu (28/6/2025).

Ia menegaskan bahwa keadilan fiskal di era digital menuntut perlakuan setara terhadap semua pelaku, baik lokal maupun asing. Hingga kini, Indonesia hanya berhasil menarik PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebesar 11 persen dari perusahaan teknologi global, tanpa menyentuh laba bersih yang mereka tarik ke luar negeri.

Kanada Jadi Contoh Keberanian Fiskal

Achmad mencontohkan keberanian fiskal Kanada yang pada Juni 2024 resmi menerapkan Digital Services Tax (DST) sebesar 3 persen atas pendapatan digital perusahaan asing dengan omzet global di atas 750 juta euro dan pendapatan domestik minimal 20 juta dolar AS. DST ini berlaku surut sejak Januari 2022, menyasar pendapatan dari iklan digital, penggunaan data, dan aktivitas marketplace.

Kebijakan ini langsung memicu kemarahan Amerika Serikat. Presiden Donald Trump bahkan membekukan negosiasi dagang dengan Kanada dan menyebut DST sebagai bentuk diskriminasi terhadap perusahaan AS. Google pun menanggapi dengan mengenakan surcharge tambahan kepada pengiklan Kanada untuk menutupi beban pajaknya.

Namun, menurut Achmad, keberanian Kanada dalam menegakkan kedaulatan fiskal perlu menjadi inspirasi bagi Indonesia. “Mereka siap menanggung risiko diplomatik demi memastikan setiap sen dari revenue digital global yang berasal dari Kanada ikut berkontribusi secara adil,” ujarnya.

Indonesia Masih Main Aman

Berbeda dengan Kanada, Indonesia hingga kini masih memilih jalur aman: menunggu konsensus multilateral melalui forum OECD. Sementara itu, reformasi domestik difokuskan pada PPN PMSE dan skema PPh 22 untuk pelaku marketplace lokal.

Achmad menilai pendekatan ini terlalu berhati-hati. “Tanpa kebijakan unilateral seperti DST, Indonesia akan terus berada di posisi lemah. Kita hanya jadi pasar, tapi tak mendapatkan kontribusi fiskal yang proporsional,” jelasnya.

Ia menambahkan, pendapatan iklan digital yang dominan dinikmati oleh Google dan Meta, penjualan aplikasi dan layanan Apple, serta cloud computing milik Amazon, semuanya mengalir deras ke luar negeri tanpa dipotong pajak penghasilan.

Perlu Kerangka DST Nasional

Achmad mengakui bahwa skema PPh 22 e-commerce merupakan langkah awal yang baik untuk mengatasi shadow economy domestik. Namun, jika tidak dibarengi dengan strategi fiskal yang menyasar raksasa global, maka pelaku UMKM lokal justru akan merasa menjadi korban ketimpangan.

“Jika ini terus berlangsung, UMKM lokal akan merasa diperas oleh negaranya sendiri, sementara perusahaan asing bisa bebas mengekstraksi nilai ekonomi Indonesia tanpa kewajiban pajak,” ujarnya tegas.

Ia mendorong pemerintah untuk mulai merancang kerangka DST nasional jika pembahasan OECD terus mandek. “Keberanian fiskal harus seimbang dengan diplomasi fiskal. Kalau tidak, kita hanya akan menonton kekayaan digital menguap tanpa bekas ke luar negeri,” pungkas Achmad. (alf)

 

 

 

 

 

Penantian 10 Tahun Terbayar Lunas, Ketua Umum dan Jajaran Pengurus Pusat IKPI Kunjungi Cabang Cirebon

IKPI, Cirebon: Kunjungan Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, bersama jajaran pengurus pusat ke Cabang IKPI Cirebon menghadirkan suasana haru dan penuh kehangatan. Bukan sekadar pertemuan formal, momen ini menjadi jembatan yang menyambungkan kembali tali silaturahmi yang telah lama tidak tersambung secara langsung.

Disambut langsung oleh Ketua IKPI Cabang Cirebon, Petrus Hery, serta jajaran pengurus dan anggota cabang, kunjungan ini disebut sebagai momen yang sangat istimewa. Betapa tidak, selama 10 tahun terakhir, belum pernah ada kunjungan langsung dari Ketua Umum dan pengurus pusat ke wilayah Cirebon. Kehadiran tersebut pun terasa membangun kembali kedekatan emosional yang selama ini terasa berjarak.

“Kami atas nama seluruh anggota IKPI Cabang Cirebon mengucapkan terima kasih yang tulus atas kehadiran Ketum Bapak Vaudy Starworld dan jajaran pengurus pusat yang telah mewujudkan kebersamaan sebagai keluarga besar IKPI,” ujar Petrus Hery, Minggu (29/6/2025).

Ia menambahkan, sapaan langsung dan cerita-cerita yang dibagikan oleh Ketum kepada para anggota menciptakan suasana kekeluargaan yang sangat hangat dan akrab.

“Seolah tidak ada jarak antara Ketum dengan anggota di daerah. Ini sapaan yang sangat kami rindukan, dan setelah 10 tahun, akhirnya kami bisa merasakannya kembali,” tuturnya.

Petrus juga menyampaikan harapannya agar kunjungan seperti ini bisa terus dilakukan secara rutin, agar hubungan antara pengurus pusat dan daerah tetap terjalin erat.

“Sekali lagi, kami mengucapkan terima kasih. Semoga Ketum dan seluruh pengurus pusat senantiasa diberi kesehatan, kekuatan, dan keberkahan dalam menjalankan amanah organisasi. Berkah Dalem,” ucapnya.

Kunjungan ini merupakan bagian dari komitmen pengurus pusat IKPI untuk memperkuat komunikasi, mendengarkan aspirasi daerah, serta memastikan bahwa seluruh cabang merasa menjadi bagian penting dari tubuh organisasi. Di Cirebon, hal tersebut benar-benar terasa bukan sekadar kunjungan, tetapi pulang ke rumah sendiri. (bl)

Pemerintah Pastikan APBN Semester I-2025 Masih Aman 

IKPI, Jakarta: Meskipun gejolak global terus membayangi, Kementerian Keuangan memastikan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semester I-2025 tetap dalam kondisi aman dan terkendali.

Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu, Febrio Kacaribu, menyebut hingga akhir Mei, realisasi fiskal menunjukkan trajectory atau arah yang stabil, meskipun terdapat tekanan dari sisi penerimaan negara.

“APBN kita aman. Trajectory-nya tetap terkendali sampai Mei. Defisit juga tercatat kecil karena belanja pemerintah mulai dieksekusi secara hati-hati,” ujar Febrio di Jakarta, Sabtu (28/6/2025).

Ia menambahkan, Kemenkeu akan menyampaikan laporan semesteran APBN kepada DPR RI pada 8 Juli mendatang. Menurutnya, tren pengelolaan fiskal masih sesuai arah yang diprediksi, meskipun situasi global menjadi tantangan tersendiri.

Selama paruh pertama 2025, perekonomian Indonesia ikut terpapar ketidakpastian global. Di antaranya, kebijakan tarif resiprokal yang digulirkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap sejumlah negara mitra dagang, termasuk Indonesia.

Batas akhir negosiasi tarif resiprokal tersebut jatuh pada 8 Juli, atau tepat 90 hari sejak diumumkan awal April lalu. Meski begitu, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa dalam proses komunikasi bilateral, AS tidak mengajukan tambahan permintaan terhadap Indonesia.

“Permintaan mereka sebatas menyeimbangkan neraca dagang, tidak lebih,” ungkap Airlangga.

Di sisi lain, konflik Iran-Israel yang sempat memanas di semester I juga memberi dampak terhadap jalur logistik global. Namun, Presiden RI Prabowo Subianto bersama Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim menyampaikan harapan besar atas gencatan senjata yang saat ini tengah berlangsung.

“Kami menyambut baik gencatan senjata antara Israel dan Iran, dan berharap proses ini terus berlanjut menuju perdamaian,” kata Presiden Prabowo dalam konferensi pers bersama di Istana Merdeka, Jumat (27/6/2025).

Meski dihadapkan pada tekanan dari luar negeri, pemerintah tetap menaruh optimisme terhadap daya tahan ekonomi nasional. Kebijakan fiskal disebut tetap adaptif, namun disiplin.

“APBN bukan hanya responsif terhadap krisis, tapi juga jadi jangkar stabilitas di tengah badai global,” tegas Febrio.(alf)

 

Pemerintah Pastikan Tak Naikkan Tarif Listrik Nonsubsidi hingga September 2025 

IKPI, Jakarta: Pemerintah memastikan tarif tenaga listrik untuk 13 golongan pelanggan nonsubsidi tidak mengalami kenaikan pada periode Juli–September 2025. Keputusan ini diumumkan oleh Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sebagai bentuk komitmen menjaga stabilitas ekonomi nasional.

“Untuk mendukung momentum pertumbuhan ekonomi nasional, serta meningkatkan daya beli masyarakat dan daya saing industri, tarif listrik triwulan III/2025 diputuskan tetap,” ujar Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jisman P. Hutajulu, dalam keterangan resminya, Sabtu (28/6/2025).

Tarif tenaga listrik bagi pelanggan nonsubsidi dievaluasi setiap tiga bulan, berdasarkan sejumlah parameter ekonomi makro seperti kurs rupiah, harga minyak mentah Indonesia (ICP), inflasi, serta harga batu bara acuan (HBA). Untuk triwulan III/2025, penyesuaian tarif semestinya mengarah pada kenaikan, karena sejumlah parameter ekonomi mengalami pergerakan signifikan.

“Secara akumulatif, perubahan parameter tersebut seharusnya menyebabkan kenaikan tarif. Namun pemerintah memutuskan untuk tidak ada kenaikan tarif listrik,” jelas Jisman.

Selain menjaga tarif pelanggan nonsubsidi, pemerintah juga memutuskan untuk tidak mengubah tarif listrik bagi 24 golongan pelanggan bersubsidi. Golongan ini mencakup rumah tangga miskin, pelanggan sosial, bisnis kecil, industri kecil, hingga pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Jisman berharap PT PLN (Persero) dapat mengoptimalkan efisiensi operasionalnya agar biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik tetap terkendali, tanpa mengorbankan kualitas pelayanan. “PLN diharapkan terus menjaga mutu layanan sekaligus mendorong peningkatan volume penjualan tenaga listrik,” imbuhnya.

Keputusan menahan tarif listrik ini menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah terus mencermati dinamika pemulihan ekonomi, dan berupaya menyeimbangkan antara kebutuhan fiskal dan perlindungan terhadap daya beli masyarakat. (alf)

 

IKPI Surabaya dan REI Jatim Perkuat Sinergi Lewat Edukasi Pajak

IKPI, Surabaya: Dalam rangka meningkatkan pemahaman anggota Real Estate Indonesia (REI) Jawa Timur terhadap kewajiban perpajakan di sektor properti, DPD REI Jatim bekerja sama dengan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Surabaya menggelar kegiatan edukasi perpajakan, di Graha REI Surabaya, Kamis (26/6/2025). Kegiatan ini menjadi momentum penting bagi para pelaku industri properti untuk memperbarui wawasan seputar kebijakan perpajakan yang kian dinamis.

Materi yang dibahas mencakup sejumlah isu aktual seperti perubahan regulasi PPN properti, pengenaan pajak penghasilan final, implementasi sistem coretax, serta ketentuan terbaru terkait kerja sama operasional (KSO). Dengan pendekatan yang lugas dan praktis, IKPI Surabaya menghadirkan Wan Juli sebagai narasumber untuk menyampaikan materi secara komprehensif dan aplikatif.

Peserta yang hadir mayoritas pengembang dan pelaku usaha properti. Mereka menyambut kegiatan ini dengan antusias. Forum ini memberikan ruang konsultasi langsung yang terbuka, di mana peserta bisa menyampaikan persoalan konkret yang mereka hadapi di lapangan. Banyak dari mereka mengapresiasi kesempatan berdialog langsung dengan konsultan pajak, yang jarang didapatkan dalam forum formal lainnya.

Dalam sambutannya, Ketua IKPI Cabang Surabaya, Enggan Nursanti, menegaskan bahwa IKPI hadir untuk mendukung kebutuhan industri melalui para konsultan pajak profesional yang terdaftar dan berizin resmi.

“Industri properti memiliki kompleksitas tersendiri dalam urusan pajak. Melalui kegiatan ini, kami ingin memastikan para pelaku usaha dapat memahami regulasi secara utuh dan mengelola kewajiban perpajakannya dengan tepat,” ujar Enggan.

Kegiatan ini juga menjadi ruang strategis untuk membangun pemahaman bersama bahwa kepatuhan pajak tidak hanya sekadar kewajiban administratif, tetapi juga bagian penting dalam menjaga keberlanjutan bisnis.

Diskusi berjalan dinamis dengan banyak masukan dan pertanyaan seputar praktik perpajakan sehari-hari. Melihat respons positif dari peserta, disarankan agar kegiatan serupa dapat diselenggarakan secara berkala. Tujuannya tidak hanya untuk mengikuti perkembangan peraturan, tetapi juga mendorong keterbukaan informasi dan membangun ekosistem usaha yang lebih sehat dan patuh.

Dengan kolaborasi seperti ini, IKPI Surabaya berharap dapat terus berperan sebagai mitra strategis bagi sektor industri, khususnya properti, dalam menjembatani antara regulasi yang terus berubah dengan kebutuhan praktis di lapangan. (bl)

 

Trump Stop Perdagangan dengan Kanada, Ketegangan Memuncak karena Pajak Digital

IKPI, Jakarta: Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali mengguncang hubungan dagang lintas perbatasan dengan mengumumkan penghentian total pembicaraan perdagangan dengan Kanada. Langkah tegas ini merupakan respons langsung atas kebijakan pajak layanan digital (digital services tax/DST) yang akan segera diterapkan oleh pemerintah Kanada.

“Pajak yang dikenakan Kanada benar-benar keterlaluan. Mulai saat ini, seluruh pembicaraan perdagangan resmi kami hentikan. Dalam tujuh hari ke depan, Kanada akan diberi tahu tarif baru yang harus mereka bayar untuk tetap berbisnis dengan AS,” tulis Trump melalui akun media sosial pribadinya, sebagaimana dikutip dari Bloomberg, Sabtu (28/6/2025).

Langkah Trump ini semakin memperkeruh hubungan dagang AS-Kanada yang selama ini dikenal sebagai salah satu kemitraan bilateral terbesar dunia, dengan nilai perdagangan lebih dari US$900 miliar per tahun. Sejak terpilih kembali, Trump memang semakin agresif dalam menekan mitra dagang, termasuk lewat ancaman tarif hingga 25% terhadap seluruh produk Kanada.

Perdana Menteri Kanada, Mark Carney, yang dikonfirmasi media setelah pertemuan di Ottawa, mengatakan belum melakukan kontak langsung dengan Trump. “Kami tetap berkomitmen menjalankan negosiasi yang rumit ini demi rakyat Kanada,” ujarnya singkat.

Penerapan DST Kanada, yang akan diberlakukan mulai Senin depan, dikenakan sebesar 3% atas pendapatan digital dari pengguna domestik dengan ambang batas tahunan CA$20 juta. Kebijakan ini berdampak langsung pada perusahaan teknologi raksasa seperti Google, Meta, Amazon, hingga Uber. kebanyakan berbasis di AS. Perusahaan-perusahaan tersebut mengkritik pajak ini sebagai beban yang hanya akan diteruskan ke konsumen.

Langkah Kanada memantik reaksi keras dari Washington. Menteri Keuangan AS Scott Bessent mengungkapkan bahwa AS tengah mempertimbangkan penyelidikan berdasarkan Pasal 301, instrumen yang pernah digunakan dalam perang dagang dengan China. “Pemerintah Kanada gagal menunjukkan itikad baik dengan menolak menunda implementasi pajak selama negosiasi berlangsung,” tegas Bessent.

Sementara itu, tekanan juga datang dari dalam negeri Kanada. CEO Business Council of Canada, Goldy Hyder, mendesak Carney agar segera mengusulkan penghapusan DST demi meredakan tensi dengan AS. “Kanada perlu bersikap pragmatis. Ini bukan hanya soal pendapatan negara, tapi masa depan ekonomi digital kita,” ujarnya.

Di level politik, seruan serupa disampaikan Perdana Menteri Ontario, Doug Ford, yang menilai DST justru memperlemah posisi Kanada dalam menghadapi tekanan AS. Bahkan Council of Canadian Innovators menilai kebijakan ini kontra produktif dan membuat Kanada rentan terhadap pembalasan ekonomi.

Meski demikian, Menteri Keuangan Kanada Francois-Philippe Champagne membuka peluang untuk menjadikan pajak digital sebagai bagian dari paket negosiasi yang lebih besar dengan AS. “Kami terbuka untuk diskusi lebih lanjut. Yang jelas, semua opsi sedang kami pertimbangkan,” katanya.

Sebanyak 21 anggota parlemen AS juga telah melayangkan surat kepada Presiden Trump agar menindak tegas kebijakan DST Kanada yang diperkirakan akan membebani perusahaan AS hingga US$2 miliar. Di tengah situasi ini, sentimen anti-AS pun kembali mencuat di kalangan masyarakat Kanada mulai dari seruan boikot produk hingga pembatalan perjalanan ke Amerika.

Ketegangan ini menjadi ujian besar bagi kedua negara dalam menjaga stabilitas hubungan ekonomi, khususnya menjelang tenggat 9 Juli, di mana Trump juga mengancam tarif baru terhadap puluhan negara lain. Namun dengan Kanada dan Meksiko yang berada pada jalur negosiasi terpisah karena isu migrasi dan fentanyl, masa depan kerja sama dagang Amerika Utara kini berada di persimpangan genting. (alf)

 

IEF Soroti Risiko Kebijakan Pajak Marketplace, Pemerintah Diminta Tak Bebani UMKM

IKPI, Jakarta: Kebijakan pemerintah yang akan menunjuk platform marketplace sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksi barang dinilai berpotensi menimbulkan kompleksitas baru dalam pelaksanaannya. Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute, Ariawan Rahmat, mengingatkan bahwa literasi pajak pelaku UMKM masih rendah, kesiapan sistem di marketplace belum seragam, dan ada potensi peningkatan beban administratif bagi pelaku usaha.

“Pemerintah harus sangat berhati-hati dalam mengimplementasikan kebijakan ini. Kalau tidak dikawal dengan sosialisasi yang masif dan sistem yang matang, pelaku UMKM bisa beralih ke jalur penjualan non-platform seperti media sosial yang sulit diawasi,” kata Ariawan, Kamis (26/6/2025).

Meski begitu, Ariawan menyebut ada sisi positif dari skema ini, yaitu kemudahan pelaporan pajak dan upaya mempersempit ruang ekonomi informal. Namun, ia menekankan pentingnya eksekusi yang tidak membebani pelaku usaha kecil yang baru berkembang.

Pemerintah Tegaskan UMKM Beromzet Kecil Tetap Bebas Pajak

Menanggapi kekhawatiran tersebut, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memastikan bahwa pelaku UMKM orang pribadi dengan omzet hingga Rp 500 juta per tahun tetap dibebaskan dari kewajiban membayar PPh. Penegasan ini menjadi jaminan bahwa pelaku usaha mikro tidak akan terdampak kebijakan baru yang sedang disiapkan.

“Pedagang orang pribadi dalam negeri yang omzetnya tidak lebih dari Rp 500 juta per tahun tidak dikenai PPh dalam skema ini, sebagaimana diatur dalam UU HPP dan PP Nomor 55 Tahun 2022,” tegas Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, Rosmauli.

Rosmauli menjelaskan bahwa pemungutan PPh hanya berlaku bagi pelaku UMKM yang telah memiliki omzet di atas Rp 500 juta dalam satu tahun pajak. Kelompok ini tetap dikenakan tarif ringan, yakni 0,5% dari penghasilan bruto, tanpa penambahan jenis pajak baru.

“Kami ingin menyederhanakan proses administrasi perpajakan UMKM yang telah berkembang, sambil tetap melindungi usaha kecil yang baru tumbuh,” jelasnya.

Platform seperti Tokopedia, Shopee, dan Lazada akan diberi mandat untuk memungut pajak secara otomatis saat transaksi berlangsung. Skema ini dirancang agar praktis dan mengurangi kewajiban administrasi pelaku usaha.

“Tujuan kami adalah menciptakan sistem yang mudah, efisien, dan memperluas basis pajak digital secara adil,” ujar Rosmauli.

DJP menilai integrasi sistem marketplace dengan mekanisme pemungutan PPh ini akan mendorong kepatuhan pajak sekaligus menciptakan keadilan antara pelaku usaha daring dan luring. Pemerintah juga berjanji akan menggencarkan edukasi kepada pelaku usaha agar memahami hak dan kewajibannya.

“UMKM yang omzetnya kecil tetap bebas pajak. Bagi yang sudah berkembang, prosesnya kini akan jauh lebih sederhana,” tandas Rosmauli.

Dengan pendekatan yang bertahap dan berkeadilan, pemerintah berharap UMKM digital terus tumbuh tanpa terbebani aturan baru, sambil tetap ikut berkontribusi terhadap pendapatan negara. (alf)

 

Pajak Marketplace: Pemerintah Pastikan UMKM Beromzet di Bawah Rp 500 Juta Bebas Pungutan PPh

IKPI, Jakarta: Kabar baik datang bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia, khususnya yang menjalankan bisnis secara online. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menegaskan bahwa UMKM orang pribadi yang memiliki omzet hingga Rp 500 juta per tahun akan tetap dibebaskan dari kewajiban membayar Pajak Penghasilan (PPh).

Penegasan ini disampaikan menyusul rencana pemerintah menunjuk platform marketplace sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas transaksi penjualan barang oleh pedagang online. Meskipun kebijakan ini ditujukan untuk meningkatkan kepatuhan pajak di sektor digital, DJP memastikan bahwa pelaku UMKM skala kecil tidak akan terbebani aturan baru tersebut.

“Pedagang orang pribadi dalam negeri yang beromzet sampai dengan Rp 500 juta per tahun tidak dikenakan PPh dalam skema ini, sesuai ketentuan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan PP Nomor 55 Tahun 2022,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, pada Kamis (26/6/2025).

Fokus pada UMKM yang Sudah Tumbuh

Rosmauli menjelaskan bahwa kebijakan ini hanya berlaku bagi UMKM yang telah mencatat omzet di atas Rp 500 juta dalam satu tahun pajak. Bagi kelompok ini, tarif PPh final yang dikenakan tetap ringan, yakni sebesar 0,5% dari penghasilan bruto, sebagaimana yang sudah diberlakukan sebelumnya.

“Kami tidak menambah jenis pajak baru. Justru kami ingin menyederhanakan proses administrasi pajak bagi UMKM yang sudah berkembang, dan tetap melindungi mereka yang masih dalam tahap awal usaha,” jelasnya.

Marketplace Jadi Mitra Pemungut Pajak

Melalui kebijakan yang sedang difinalisasi ini, platform marketplace seperti Tokopedia, Shopee, Lazada, dan lainnya akan diberi peran sebagai pemungut PPh atas transaksi penjualan barang yang dilakukan pedagang online. Sistem ini akan langsung memotong pajak saat transaksi terjadi, sehingga pedagang tidak perlu mengurus penyetoran secara manual.

“Skema ini dirancang agar mudah, otomatis, dan mengurangi beban administrasi wajib pajak UMKM,” kata Rosmauli.

Mendorong Kepatuhan dan Keadilan

DJP menilai bahwa integrasi sistem pemungutan pajak dengan marketplace juga akan membantu mendorong kepatuhan sekaligus menciptakan keadilan antar pelaku usaha, baik yang menjual secara daring maupun luring. Di sisi lain, kebijakan ini juga ditujukan untuk mempersempit ruang shadow economy yang selama ini sulit terjangkau sistem perpajakan.

Rosmauli menegaskan bahwa pemerintah akan melakukan sosialisasi secara luas agar para pelaku UMKM memahami hak dan kewajibannya dengan benar. “UMKM tidak perlu khawatir. Yang omzetnya masih kecil tetap bebas pajak. Yang sudah berkembang hanya dikenakan tarif ringan, dan prosesnya akan semakin mudah,” tandasnya.

Dengan pendekatan yang inklusif dan tidak memberatkan, pemerintah berharap UMKM digital terus tumbuh dan berkontribusi secara proporsional terhadap pembangunan ekonomi nasional. (bl)

 

IEF Sebut Indonesia Hadapi Tekanan Fiskal Serius

IKPI, Jakarta: Indonesia tengah dihadapkan pada tekanan fiskal yang kian menguat akibat penurunan penerimaan pajak secara konsisten sejak awal 2025. Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute menilai situasi ini membuka peluang bagi pemerintah untuk segera mengevaluasi dan merevisi kebijakan perpajakan nasional demi menjaga stabilitas fiskal.

Direktur Eksekutif IEF, Ariawan Rahmat, mengungkapkan bahwa hingga Mei 2025, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah mencatat defisit sebesar Rp21 triliun, setara 0,09 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit tersebut timbul dari ketimpangan antara pendapatan negara yang baru mencapai Rp995,3 triliun dan belanja negara yang telah menembus Rp1.016,3 triliun.

“Ini baru 28,1 persen dari total anggaran 2025 yang senilai Rp3.621,3 triliun, tetapi tekanan fiskalnya sudah sangat terasa. Komposisinya menunjukkan ketidakseimbangan yang bisa semakin memburuk tanpa langkah korektif,” ujar Ariawan, Kamis (26/6/2025).

Untuk menutup defisit, pemerintah telah menarik utang baru senilai Rp349,3 triliun hingga Mei 2025, melonjak drastis 164 persen dibandingkan tahun lalu. Utang ini digunakan antara lain untuk program strategis seperti Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dan ketahanan pangan.

Kendati demikian, rasio utang terhadap PDB justru turun ke level 30,3 persen per April 2025, dengan total utang luar negeri tercatat sebesar 431,55 miliar dolar AS. Namun, sorotan utama datang dari sisi penerimaan perpajakan yang mengalami penurunan signifikan.

Hingga Mei, penerimaan pajak tercatat minus 10,13 persen secara tahunan. Bahkan pada Februari, kontraksi mencapai 30,1 persen, hanya mengumpulkan Rp187,8 triliun, jauh di bawah capaian tahun sebelumnya. Kondisi ini memunculkan kekhawatiran bahwa penerimaan pajak 2025 bisa meleset dari target hingga Rp120–Rp140 triliun.

Ariawan mengidentifikasi sejumlah faktor yang memperberat penurunan ini, seperti turunnya harga komoditas ekspor, perlambatan ekonomi global, serta belum optimalnya implementasi sistem administrasi pajak Coretax di awal tahun.

“Dalam situasi ini, pemerintah berpotensi mempertimbangkan langkah-langkah kebijakan perpajakan yang lebih agresif untuk menambal defisit dan menjaga keberlanjutan fiskal,” tegas Ariawan.

Menurutnya, landasan hukum seperti UU No. 7 Tahun 2021 dan UU No. 28 Tahun 2007 membuka ruang bagi pemerintah untuk mengubah parameter perpajakan, termasuk kemungkinan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hingga maksimal 15 persen.

Salah satu opsi yang kembali mengemuka adalah menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen, wacana yang sebelumnya sempat tertunda.

Namun, Ariawan mengingatkan agar kebijakan tersebut tidak diberlakukan secara tergesa-gesa. Ia menilai bahwa daya beli masyarakat masih rentan, dan peningkatan tarif PPN bisa berdampak pada tekanan konsumsi domestik yang belum sepenuhnya pulih.

Sebagai alternatif, ia merekomendasikan pemerintah untuk memperluas basis PPN melalui revisi negative list, serta memperketat pengawasan terhadap transaksi ekonomi digital dan sektor informal yang rawan tidak tercatat (unrecorded economy).

“Langkah ini lebih moderat dan tidak langsung membebani konsumsi masyarakat. Ini saatnya fokus pada reformasi struktural pajak yang lebih cermat dan inklusif,” ujarnya. (bl)

 

Lelang Aset Sitaan Kanwil DJP Jakarta Selatan Hasilkan Rp1,34 Miliar

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak terus menunjukkan ketegasannya dalam menegakkan kepatuhan perpajakan. Kali ini, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jakarta Selatan I bersama seluruh Kanwil DJP se-Jakarta Raya menggelar lelang eksekusi serentak atas aset milik penanggung pajak, sebagai bagian dari upaya intensifikasi penagihan pajak secara aktif.

Objek lelang berasal dari hasil penyitaan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya Jakarta Selatan I dan KPP Pratama Jakarta Tebet. Di antara aset yang ditawarkan, terdapat satu unit apartemen The Bellagio Residence seluas 77 meter persegi dengan nilai limit Rp1,26 miliar dan satu unit mobil Daihatsu Ayla 1.0 X MT tahun 2018 berwarna merah dengan nilai limit Rp72,46 juta.

Proses lelang dilaksanakan secara daring melalui situs resmi www.lelang.go.id tanpa kehadiran fisik peserta. Pejabat lelang dari Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Jakarta IV menetapkan pemenang lelang pada hari yang sama. Hasilnya, apartemen berhasil terjual dengan harga Rp1,267 miliar, sedangkan mobil laku Rp76,96 juta. Total nilai lelang mencapai Rp1,34 miliar, yang seluruhnya digunakan untuk melunasi tunggakan pajak dari para wajib pajak yang bersangkutan.

Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, mengapresiasi inisiatif ini dan berharap agar pelaksanaan lelang serentak seperti ini terus dilanjutkan.

“Hal seperti ini silakan dilanjutkan. InsyaAllah kita akan mendapatkan hasil yang lebih baik dari sebelumnya,” ujarnya dalam keterangan resmi, Rabu (25/6/2025).

Kepala Kanwil DJP Jaksel I Dionysius Lucas Hendrawan, menyatakan bahwa kegiatan ini bukan sekadar aksi penagihan, tetapi juga bentuk edukasi kepada masyarakat untuk lebih patuh terhadap kewajiban perpajakan.

“Harapannya kegiatan lelang serentak ini dapat menjadi gaung nasional untuk mendorong kepatuhan masyarakat,” ungkap Lucas.

Ia menambahkan bahwa kegiatan serupa akan digelar dua kali dalam setahun sebagai bagian dari strategi berkelanjutan dalam menjaga integritas sistem perpajakan nasional. (alf)

 

id_ID