Kebijakan Fiskal Purbaya Disebut Jadi Motor Pemulihan Ekonomi Domestik

IKPI, Jakarta: Sejak resmi menggantikan Sri Mulyani Indrawati pada 8 September 2025, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa langsung memutar arah kebijakan fiskal Indonesia. Gebrakan teranyar: mengalihkan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun dari Bank Indonesia ke bank-bank Himbara.

Langkah tersebut menjadi sinyal kuat bahwa kebijakan fiskal era Purbaya akan digunakan sebagai motor pemulihan ekonomi domestik, bukan sekadar instrumen menjaga stabilitas makro.

Chief Economist BNI, Leo Putera Rinaldy, menilai strategi fiskal ekspansif Purbaya sebagai langkah yang “tepat dan diperlukan (necessary)” di tengah ketidakpastian ekonomi global.

“Sekarang semua negara mulai fokus memperkuat ekonomi domestik karena perdagangan dunia makin tidak pasti dan sangat volatil,” ujar Leo dalam forum BNI Economic Perspective: Navigating Shifts, Building Resilience di Kebayoran Baru, Jakarta, Jumat (24/10/2025).

Menurutnya, arah kebijakan global kini bergerak dari ketergantungan terhadap ekspor menuju penguatan pasar domestik. Ia mencontohkan Tiongkok yang dalam rencana lima tahunan 2026–2030 akan fokus mendorong permintaan dalam negeri. “Tiongkok ingin memperkuat domestic market-nya karena selama ini ekonominya rentan terhadap guncangan global,” ujarnya.

Leo menegaskan bahwa Indonesia memiliki keunggulan struktural karena lebih dari separuh PDB-nya disumbang oleh konsumsi domestik. “Kita beruntung, 54 persen dari kue ekonomi kita sudah domestik. Jadi sejak awal kita relatif tahan terhadap guncangan global karena domestic driven economy,” jelasnya.

Namun, ia mengingatkan bahwa daya tahan itu perlu dijaga dengan kebijakan fiskal yang kuat dan tepat sasaran. Stimulus belanja pemerintah dan insentif pajak menjadi kunci utama untuk menjaga momentum pertumbuhan. “Kalau konsumsi tidak bagus, perusahaan tidak ekspansi. Kalau tidak ekspansi, kredit melambat dan penerimaan pajak ikut tertahan. Itu lingkaran yang harus diputus dengan kebijakan fiskal yang ekspansif,” tegas Leo.

Menurutnya, pendekatan Purbaya Yudhi Sadewa berbeda dari pendahulunya, Sri Mulyani Indrawati, yang dikenal konservatif dalam menjaga defisit. “Kita bisa berdebat soal school of thought, tidak ada yang benar atau salah. Tapi memang Pak Purbaya lebih agresif dalam mendorong pertumbuhan,” ujarnya.

Leo menilai, kebijakan fiskal yang menitikberatkan pada pertumbuhan dan pemerataan ekonomi justru akan memperluas basis pajak di masa depan. “Kalau pertumbuhan ekonomi membaik, lapangan kerja bertambah, konsumsi naik, dan basis pajak ikut meluas. Jadi fiskal ekspansif justru menciptakan efek ganda bagi penerimaan negara,” paparnya.

Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa langkah fiskal yang lebih dinamis akan memberi ruang bagi Bank Indonesia untuk fokus menjaga stabilitas moneter. Dengan sinergi fiskal–moneter yang selaras, Indonesia berpotensi memperkuat pondasi ekonominya sekaligus memperluas basis pajak secara berkelanjutan.

“Ini bukan sekadar kebijakan menggeser dana, tapi perubahan arah. Di era Purbaya, fiskal bukan hanya soal angka defisit, tapi instrumen nyata untuk membangkitkan ekonomi rakyat,” pungkas Leo. (alf)

IKPI dan OCBC Bangun Budaya Pajak Cerdas dan Patuh

Kolaborasi dan kerja sama antara IKPI dengan OCBC pada event OCBC Business Forum 2025 for Partner di St Regis Jakarta hotel Rajawali Place, Jl. H. R. Rasuna Said No.4 Blok Kav. B 12910 South Jakarta hari Jumat tanggal 24 Oktober 2025 menjadi langkah nyata dalam mendukung peningkatan kesadaran pajak masyarakat. 

Peserta event OCBC Business Forum ini adalah nasabah yang beraneka ragam bisnis, beberapa nasabah yang meminta konsultasi perpajakan antaralain di bidang rumah ibadah, ⁠consumer goods, ⁠dealer/jual beli mobil, distributor automotive spare part, ⁠manufacturer of plastic packaging, specialised for food and beverages, ⁠logistik, cargo, transportasi logistik, ⁠filter air. Peserta yang telah mendaftar berasal dari beragam sektor usaha, mencerminkan luasnya jangkauan dan manfaat program ini.

Program IKPI–OCBC tidak hanya menjadi saranaedukasi, tetapi juga wadah kolaborasi lintas sektor dalam membangun budaya pajak yang lebih sadar, patuh, dan beretika.

Tim IKPI yang hadir dalam acara ini terdiri dari Buddi Beny (IKPI Tangsel), Hidajat Hoesni(IKPI Jakbar), Tintje Beby (IKPI Tangkot), Betty (IKPI Tangsel), Nia Budhyanti (IKPI Jakbar), Kosasih (IKPI Jaktim), Rizky Darma (IKPI Jaktim), Muhamad Fadhil ( IKPI Jaktim)serta Handy (IKPI Jakbar). 

Partisipasi ini menjadi sarana untuk memperkenalkan IKPI sebagai organisasi profesi konsultan pajak yang terpercaya, dan kompeten, menjadi momentum yang bermanfaat bagi penguatan jejaring sekaligus memperkenalkanprofesi konsultan pajak di masyarakat.

Mekanisme sesi konsultasi dibagi ke dalambeberapa bagian agar setiap peserta memperolehpemahaman yang lebih dalam dan relevan denganbidang usahanya. Setiap sesi berlangsung selama kurang lebih 25 menit, di mana peserta dapatberkonsultasi dengan para konsultanpajak profesional dari IKPI.

Banyak hal yang ditanyakan oleh para nasabah selamasesi berlangsung, mulai dari bagaimana melakukan perencanaan pajak (tax planning) yang efektif, hingga kiat-kiat menghadapi pemeriksaan pajak dengan benardan percaya diri. Antusiasme peserta menunjukkan tingginya kesadaran akan pentingnya pemahaman pajak yang baik dalam menjaga keberlanjutan usaha.

Walaupun waktu yang tersedia sangat terbatas, tim konsultan pajak IKPI tetap mampu memberikan penjelasan yang komprehensif mengenai strategi perencanaan pajak (tax planning) yang sesuai dengan ketentuan, namun tetap efisien bagi perusahaan. Para peserta juga memperoleh panduan praktis mengenailangkah-langkah menghadapi pemeriksaan pajak, seperti pentingnya dokumentasi yang rapi, sikap kooperatif terhadap otoritas pajak, serta pemahaman atas hak dan kewajiban wajib pajak selama proses pemeriksaan, sehingga setiap peserta tetap memperoleh manfaat maksimal dari sesi konsultasi yang diikuti.

Melalui kolaborasi dan kerjasama ini IKPI dan Bank OCBC bertekad terus meningkatkan kesadaran dan kepatuhan pajak bagipara pelaku usaha di Indonesia dan juga dapatmemperkuat peran konsultan pajak sebagai mitra strategis dalam mendampingi wajib pajak. Kegiatan ini menjadi bukti nyata bahwa edukasi dan kolaborasi dapat berjalan beriringan untuk mewujudkan sistemperpajakan yang adil, profesional, dan berkontribusinyata bagi kemajuan bangsa.

 

Penulis adalah Anggota Departemen Pendidikan IKPI 

Tintje Beby

Email: tibeb.sugandi@gmail.com

Disclamer : Tulisan berdasarkan pendapat pribadipenulis.

Mantan Anggota BPSP: Pajak Bukan Hanya Angka Tetapi juga Soal Keadilan 

IKPI, Jakarta: Pajak bukan hanya soal angka dan aturan, tetapi juga tentang keadilan sosial dan keberpihakan negara. Demikian disampaikan Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) periode (1997-1999) Nuryadi Mulyodiwarno,  saat menjadi narasumber dalam Diskusi Panel “Substance Over Form: Saat Fiskus dan Wajib Pajak Beradu Makna di Balik Transaksi?” yang digelar IKPI pada Jumat (24/10/2025).

Dalam paparannya, Nuryadi mengingatkan bahwa konsep substance over form seharusnya tidak berhenti sebagai jargon akademik, melainkan menjadi prinsip yang menghidupkan keadilan dalam kebijakan pajak. “Kita ini sering terjebak pada bentuk form, bukan substansi. Padahal pajak itu bukan cuma what, tapi why. Kenapa kebijakan dibuat, siapa yang diuntungkan, siapa yang dirugikan,” ujarnya.

Ia mengisahkan masa mudanya di Universitas Indonesia pada tahun 1975. Saat itu, ujian komprehensifnya justru membahas leasing, topik yang sama sekali belum ia pahami. “Saya waktu itu tidak ngerti leasing, tapi kok bisa lulus? Karena dosennya teman main tenis,” katanya disambut tawa peserta. “Tapi dari situ saya belajar: kadang substansi lebih penting dari sekadar formalitas.”

Selain itu, ia juga menyoroti ketidakkonsistenan sistem pajak Indonesia yang masih membedakan perlakuan antara warga negara dan orang asing. “Kalau orang Indonesia dikenai pajak atas penghasilan di seluruh dunia (worldwide income), kenapa orang asing di sini hanya kena pajak dari penghasilan lokal (territorial income)? Ini soal asas keadilan,” tegasnya.

Ia juga menyinggung lambannya penyelesaian keberatan pajak yang sejak 1983 masih bertahan di tenggat 12 bulan tanpa ada pembaruan. “Kalau mau ekonomi bergerak cepat, keberatan jangan 12 bulan lagi, tapi cukup enam bulan. Itu baru efisien dan mendorong perputaran ekonomi,” katanya.

Menurut mantan Kepala Pusat Pengolahan Data dan Informasi Perpajakan itu, prinsip pajak yang ideal harus memenuhi lima pilar utama: efisiensi, keadilan, kesederhanaan, kepastian hukum, dan kemanfaatan sosial. “Kalau hukum pajak tidak efisien, uang juga tidak berputar. Kalau hukum tidak adil, rakyat akan enggan patuh,” paparnya.

Nuryadi juga mengkritik keras kebijakan fiskal yang dinilainya timpang, seperti subsidi mobil listrik. “Coba pikir, orang kampung beli sarung kena PPN, tapi pengusaha mobil listrik disubsidi. Dari mana subsidinya? Dari pajak juga! Ini tidak sesuai prinsip keadilan,” ujarnya lantang.

Ia menutup dengan seruan agar para konsultan dan fiskus mulai menelaah kembali kebijakan dengan pendekatan substansi, bukan sekadar bentuk. “Jangan berhenti di angka dan pasal. Belajarlah melihat ‘kenapa’-nya. Karena di situlah ruh perpajakan yang sesungguhnya,” pungkas Nuryadi. (bl)

Substance Over Form: Catur Rini Tegaskan “Aliran Uang Bicara Lebih Keras daripada Kontrak”

IKPI, Jakarta: Direktur Keberatan dan Banding periode (2010 – 2015) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Catur Rini Widosari menegaskan bahwa dalam praktik perpajakan modern, pembuktian ekonomi atau substance kini menjadi penentu utama dalam sengketa pajak. “Aliran uang bicara lebih keras daripada kontrak,” ujar Catur dalam Diskusi Panel bertajuk “Substance Over Form: Saat Fiskus dan Wajib Pajak Beradu Makna di Balik Transaksi” yang digelar oleh Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Jumat (24/10/2025).

Diskusi bulanan tersebut diselenggarakan secara hybrid di Gedung IKPI Pejaten, Jakarta Selatan, dan melalui Zoom Meeting. Catur hadir sebagai narasumber bersama sejumlah tokoh perpajakan lainnya. Ia merupakan Anggota Kehormatan IKPI sekaligus pernah menjabat sebagai Kakanwil DJP Banten (2015–2018), dan Kakanwil DJP Jawa Barat I (2018–2021).

Dalam paparannya, Catur mengungkap bahwa prinsip substance over form sebenarnya bukan hal baru dalam praktik perpajakan. Namun, penerapannya kini semakin kuat berkat kemajuan sistem pertukaran informasi dan teknologi data perpajakan. “Secara implisit, prinsip itu sudah lama hidup di sistem kita, tapi dulu belum sekuat sekarang,” katanya.

Ia menjelaskan, dahulu aparat pajak sangat bergantung pada kontrak dan dokumen formal yang diserahkan wajib pajak. Namun, kini dengan adanya pertukaran informasi otomatis antarnegara (Automatic Exchange of Information), otoritas pajak bisa menelusuri aliran dana hingga ke rekening penerima manfaat sesungguhnya. 

“Dulu kita hanya bisa tanya ke otoritas lain: apakah perusahaan ini benar ada, apakah mereka menyampaikan SPT, apakah pinjaman itu nyata. Jawabannya sering hanya ‘ya’ atau ‘tidak’. Sekarang, kita bisa lihat langsung uangnya mengalir ke mana,” jelasnya.

Menurut Catur, temuan-temuan dari hasil penelusuran ini seringkali mengungkap realitas berbeda dari dokumen legal. Banyak perusahaan yang tampak sah secara administratif ternyata hanya paper company entitas legal yang dibentuk untuk tujuan penghindaran pajak. 

“Kadang kita lihat uang yang dikirim dari luar negeri, tapi setelah ditelusuri, justru kembali lagi ke orang-orang di dalam negeri,” ujarnya.

Ia juga menekankan pentingnya keseimbangan antara form dan substance dalam penegakan hukum pajak. Form tetap penting sebagai dasar hukum, tetapi substance menentukan kebenaran ekonominya. “Form adalah pijakan, tetapi substansi yang membuktikan. Kalau form-nya indah tapi substansinya kosong, ya tidak ada nilainya,” katanya.

Catur menambahkan, dalam praktik pemeriksaan maupun sengketa pajak, baik fiskus maupun wajib pajak harus mampu menunjukkan bukti yang kuat. “Beban pembuktian tidak hanya di wajib pajak. Fiskus juga harus bisa membuktikan, jangan cuma klaim tanpa data,” tegasnya.

Ia menilai, perangkat hukum dan sistem informasi saat ini sudah jauh lebih siap dibanding satu dekade lalu. Namun demikian, keberhasilan penegakan pajak tetap bergantung pada integritas dan kemampuan analitis para pelaksana. “Aturan sudah ada, data tersedia, tapi ujungnya tetap pada orangnya. Seberapa jujur dan cermat mereka membaca bukti,” pungkasnya. (bl)

PP 43/2025 Tegaskan Laporan Keuangan Hanya Boleh Disusun oleh Profesional Berkompetensi dan Berintegritas 

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi menegaskan arah baru tata kelola pelaporan keuangan nasional melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2025 tentang Pelaporan Keuangan (PP 43/2025). Regulasi ini menjadi tonggak penting dalam pembentukan ekosistem pelaporan keuangan yang terstandarisasi, transparan, dan kredibel di seluruh sektor ekonomi.

Salah satu poin kunci dalam aturan tersebut adalah penegasan bahwa hanya pihak yang memiliki kompetensi dan berintegritas yang berhak menyusun laporan keuangan. Langkah ini menjadi sinyal kuat pemerintah untuk memperkuat kualitas, keandalan, dan kejujuran dalam penyajian laporan keuangan, baik bagi sektor publik maupun privat.

Melalui Pasal 5 ayat (1), pemerintah menegaskan bahwa penyusun laporan keuangan haruslah pegawai, karyawan, atau profesional yang memiliki keahlian di bidang akuntansi. Mereka wajib berintegritas tinggi dan memahami tanggung jawab etis dalam penyusunan laporan keuangan yang menjadi dasar pengambilan keputusan ekonomi, baik oleh pelaku usaha maupun otoritas keuangan.

Adapun pihak yang dikategorikan sebagai pelapor mencakup seluruh pelaku usaha sektor keuangan, seperti perbankan, pasar modal, asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan, hingga perusahaan pergadaian dan penyelenggara layanan pendanaan berbasis teknologi informasi. Termasuk pula lembaga pengelola dana wajib seperti BPJS, dana pensiun, dan penyelenggara kesejahteraan sosial yang berada di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Menariknya, individu atau pelaku usaha perorangan juga dapat menjadi penyusun laporan keuangan selama memenuhi kriteria kompetensi yang ditetapkan. Bagi entitas yang membutuhkan bantuan profesional, pemerintah membuka ruang bagi akuntan publik dan akuntan berpraktik yang telah memiliki izin resmi dari kementerian atau otoritas terkait untuk memberikan jasa penyusunan laporan keuangan.

Lebih lanjut, guna memastikan standar kualitas laporan keuangan terjaga, Pasal 5 ayat (3) PP 43/2025 memberi kewenangan kepada kementerian, lembaga, dan otoritas terkait untuk menetapkan jenis kompetensi yang wajib dimiliki penyusun laporan keuangan. Bukti kompetensi ini dapat berupa ijazah pendidikan formal, sertifikat keahlian profesional di bidang akuntansi, atau piagam akuntan ber-register.

Ketentuan kompetensi tersebut akan disesuaikan dengan skala usaha, jenis industri, serta kemampuan pelapor, sehingga tetap relevan dan proporsional bagi setiap sektor. Pemerintah menilai langkah ini penting untuk membangun kepercayaan publik terhadap laporan keuangan, terutama dalam era keterbukaan data dan integrasi sistem pelaporan nasional melalui Platform Bersama Pelaporan Keuangan (PBPK).

Dengan diundangkannya PP 43/2025 pada 19 September 2025, Indonesia resmi memasuki babak baru penguatan tata kelola keuangan nasional. Regulasi ini bukan sekadar aturan administratif, tetapi manifesto komitmen pemerintah untuk menciptakan sistem pelaporan yang akuntabel dan bebas dari manipulasi angka.

Ke depan, hanya profesional yang berkompeten dan berintegritaslah yang dapat menjadi pilar utama dalam menjaga kredibilitas laporan keuangan Indonesia. Pemerintah berharap, langkah ini akan mendorong terciptanya iklim bisnis yang sehat, transparan, dan berdaya saing global. (alf)

Kelulusan USKP Periode III 2025 Meningkat Tajam di Tingkat B, Turun di Tingkat A

IKPI, Jakarta: Komite Pelaksana Panitia Penyelenggara Sertifikasi Konsultan Pajak (KP3SKP) resmi mengumumkan hasil Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak (USKP) Periode III Tahun 2025. Dari ujian yang berlangsung pada 7–9 Oktober 2025, tercatat 595 peserta dinyatakan lulus dari seluruh tingkatan.

Kabar menggembirakan datang dari Tingkat B, di mana tingkat kelulusan melonjak signifikan dibanding periode sebelumnya. Dari total 651 peserta, sebanyak 281 orang (43%) berhasil lulus, sementara 350 peserta (54%) harus mengulang, dan 20 peserta (3%) dinyatakan tidak lulus.

Peningkatan ini terbilang drastis jika dibandingkan dengan Periode II, yang hanya mencatat 38 peserta atau 5,43% kelulusan di tingkat yang sama. Capaian tersebut menjadi sinyal positif atas meningkatnya kesiapan dan kompetensi calon konsultan pajak tingkat menengah.

Namun, tren berbeda justru terjadi di Tingkat A. Dari 1.954 peserta, hanya 314 orang (16%) yang berhasil lulus. Angka ini menurun dibanding periode sebelumnya yang mencapai 21%. Sementara itu, 1.310 peserta dinyatakan mengulang, dan 330 peserta tidak lulus.

KP3SKP menyebut, peserta yang lulus akan segera menerima sertifikat konsultan pajak sesuai ketentuan yang berlaku. “Sertifikat akan kami kirimkan melalui aplikasi registrasi atau G-mail masing-masing peserta paling lambat dua minggu setelah pengumuman kelulusan,” tulis panitia melalui kanal WhatsApp resminya dikutip Jumat (24/10/2025).

Bagi peserta dengan status mengulang, KP3SKP memberikan kesempatan untuk mengikuti kembali mata ujian yang belum lulus pada periode berikutnya. Sementara peserta yang tidak lulus seluruh mata ujian dapat kembali mendaftar sebagai peserta baru di periode selanjutnya.

Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak sendiri merupakan salah satu tahapan penting bagi profesional yang ingin mendapatkan izin praktik sebagai konsultan pajak di Indonesia. Melalui proses sertifikasi ini, pemerintah bersama asosiasi profesi berupaya memastikan bahwa setiap konsultan pajak memiliki kompetensi teknis dan etika profesi yang tinggi dalam melayani wajib pajak.

Peningkatan angka kelulusan di tingkat B diharapkan menjadi momentum bagi para peserta lain untuk terus meningkatkan kapasitasnya menjelang USKP Periode IV tahun depan. (alf)

Pemerintah Tegaskan Pajak Karbon Jadi Instrumen Utama Transisi Energi Nasional

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi menetapkan arah baru kebijakan energi nasional melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional, yang diundangkan pada 15 September 2025. Regulasi ini menegaskan komitmen Indonesia untuk mencapai emisi nol bersih (net zero emission) paling lambat pada tahun 2060, dengan menjadikan pajak karbon dan insentif berbasis kinerja sebagai dua instrumen kunci dalam transisi menuju ekonomi hijau.

Dalam beleid tersebut, pemerintah menyatakan bahwa arah kebijakan utama energi nasional harus didukung oleh penerapan pajak karbon serta pemberian insentif bagi pelaku usaha dan pengguna energi yang berkontribusi pada pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK). Langkah ini menandai babak baru dalam transformasi sektor energi, yang selama ini menjadi penyumbang terbesar emisi nasional.

Berdasarkan Pasal 83 ayat (1), pemerintah pusat diberikan kewenangan untuk mengenakan pajak karbon terhadap pemanfaatan energi tak terbarukan secara bertahap. Skema bertahap ini akan mempertimbangkan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan, agar kebijakan transisi energi tidak menimbulkan gejolak di masyarakat maupun industri.

Adapun Pasal 83 ayat (2) menegaskan bahwa penerapan pajak karbon akan dilakukan mengacu pada ketentuan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) serta aturan turunannya, yaitu Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024. Pajak karbon secara spesifik akan diterapkan pada sektor-sektor strategis seperti transportasi, industri termasuk pembangkitan tenaga listrik, dan sektor komersial.

Tak hanya fokus pada pungutan, pemerintah juga memberikan insentif fiskal untuk mempercepat adopsi energi bersih. PP 40/2025 membuka ruang pemberian fasilitas berupa keringanan pajak penghasilan (PPh), pajak bumi dan bangunan (PBB), kepabeanan, retribusi, hingga pengurangan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) bagi pelaku usaha yang mengembangkan energi baru, terbarukan, maupun efisien energi tak terbarukan.

Selain itu, beleid baru ini juga memperkenalkan secara eksplisit konsep Nilai Ekonomi Karbon (NEK), sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 34. NEK didefinisikan sebagai nilai terhadap setiap unit emisi GRK yang dihasilkan dari aktivitas manusia dan ekonomi. Melalui mekanisme ini, pemerintah, daerah, maupun badan usaha dapat memperoleh insentif atau pembayaran berbasis kinerja dari upaya pengurangan emisi di sektor energi.

Mekanisme NEK diharapkan menjadi instrumen efektif untuk mendorong diversifikasi sumber energi, penerapan teknologi rendah karbon, serta efisiensi dan konservasi energi. Pemerintah menargetkan, skema ini dapat memperkuat pendanaan hijau dan mempercepat pencapaian target penurunan emisi nasional.

Dengan diberlakukannya PP 40/2025, Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional resmi dicabut. Langkah ini menandai pergeseran paradigma dari sekadar penyediaan energi menuju pengelolaan energi berkelanjutan yang mengintegrasikan dimensi lingkungan, sosial, dan fiskal dalam satu kebijakan nasional. (alf)

Eks Hakim Pajak Soroti Ketimpangan dan “Kepastian Semu” dalam Hukum Pajak

IKPI, Jakarta: Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) periode 1997–1999, Nuryadi Mulyodiwarno, melontarkan kritik terhadap lemahnya kepastian hukum dan ketimpangan dalam sistem perpajakan Indonesia.

“Kalau putusan dibacakan dua tahun setelah diputus, lalu di mana certainty principle?” sindir Nuryadi saat menjadi narasumber dalam Diskusi Panel bertajuk “Substance Over Form: Saat Fiskus dan Wajib Pajak Beradu Makna di Balik Transaksi?” yang digelar Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Jumat (24/10/2025).

Dalam forum yang turut menghadirkan pakar pajak seperti Guru Besar Fakulyas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (UI) Prof. Dr. Haula Rosdiana, M.Si, Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Pajak periode (2010-2015) Catur Rini Widosari, dan Henro Susanto (Wakil Ketua Departemen Hukum IKPI), Nuryadi menilai praktik perpajakan di Indonesia sering kali hanya terlihat tertib secara administratif, namun jauh dari efisien dan pasti dalam penerapannya.

“Dulu di BPSP, putusan dibacakan sehari setelah ditetapkan. Sekarang? Bisa setahun lebih. Bagaimana mau disebut efisien dan pasti?” ujarnya.

Ia menyoroti lamanya proses keberatan dan sengketa pajak yang dianggap bertentangan dengan prinsip kepastian hukum. “Sudah empat puluh tahun sistem keberatan tetap 12 bulan seperti tahun 1983. Katanya reformasi, tapi praktiknya stagnan,” tegasnya.

Tak hanya soal waktu penyelesaian perkara, Nuryadi juga menyoroti dasar hukum sejumlah kebijakan modern di bidang perpajakan yang menurutnya terlalu lemah. Ia mencontohkan sistem Coretax yang disebutnya belum memiliki payung hukum yang memadai. “Sistem sebesar itu seharusnya diatur undang-undang, bukan sekadar surat keputusan atau edaran. Ini contoh form yang mengalahkan substance,” ujarnya.

Pria yang pernah menjabat Kepala Pusat Pengolahan Data dan Informasi Perpajakan (1992–1997) itu menegaskan, perdebatan substance over form bukan hanya isu akademik, melainkan menyangkut arah kebijakan fiskal dan keadilan ekonomi. “Kalau aturan dibuat tanpa memahami substansi ekonomi, yang lahir hanyalah kepatuhan semu,” katanya.

Ia juga menyoroti ketimpangan sosial dalam kebijakan pajak yang masih berpihak pada kelompok kuat. “Rakyat kecil beli sarung kena PPN, sementara pengusaha besar mendapat insentif. Ini bukan sekadar soal regulasi, tapi moralitas fiskal,” ujarnya.

Nuryadi menekankan, reformasi pajak sejati harus dimulai dari perubahan paradigma. “Pajak bukan sekadar alat pungut, tapi alat pemerataan. Dan pemerataan tidak mungkin terjadi kalau hukum pajak sendiri tidak adil,” tegasnya.

Ia menyerukan agar para konsultan pajak tidak hanya terpaku pada teks peraturan, tetapi juga memahami makna ekonominya. “Kalau kita ingin memperbaiki penerimaan negara, jangan hanya bicara form. Dalami substansinya. Karena hukum pajak yang kuat hanya lahir dari niat yang adil,” pungkasnya. (bl)

Ketum IKPI Sebut “Substance Over Form” Kunci Keadilan Pajak yang Sebenarnya

IKPI, Jakarta: Ketua Umum (Ketum) Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld menegaskan pentingnya penerapan prinsip substance over form dalam praktik perpajakan sebagai kunci menjaga keadilan antara fiskus dan wajib pajak. Menurutnya, makna di balik transaksi sering kali lebih penting dibanding bentuk formal yang tampak di permukaan.

“Topik ini menarik karena sering kali terjadi perbedaan tafsir antara fiskus dan wajib pajak terhadap satu transaksi. Nah, di sinilah tantangan kita, bagaimana menempatkan makna yang sebenarnya agar pajak berjalan adil tanpa menafikan aturan,” ujar Vaudy saat membuka diskusi panel bertajuk “Substance Over Form: Saat Fiskus dan Wajib Pajak Beradu Makna di Balik Transaksi?” yang digelar secara luring di Kantor Pusat IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan dan juga daring, Jumat (24/10/2025).

Vaudy menilai bahwa penerapan prinsip substance over form bukan sekadar persoalan teknis administrasi, melainkan juga refleksi dari nilai keadilan dalam sistem perpajakan nasional. Ia menekankan pentingnya keseimbangan antara kepatuhan formal dan keadilan substantif agar tidak ada pihak yang dirugikan.

“Kadang yang tampak benar di atas kertas belum tentu mencerminkan hakikat yang sebenarnya. Pajak harus dilihat dari substansi, bukan sekadar bentuk. Inilah yang menjadi roh diskusi kita hari ini,” ungkapnya.

Sekadar informasi, diskusi panel tersebut diikuti lebih dari 200 peserta melalui Zoom Meeting, menghadirkan sejumlah pakar dan tokoh perpajakan. Para narasumber antara lain Prof. Dr. Haula Rosdiana, M.Si dari Universitas Indonesia, Catur Rini Widosari (anggota kehormatan IKPI dan mantan Kakanwil DJP Banten serta DJP Jabar III), Nuryadi Mulyodiwarno (Ketua II Pengurus Pusat IKPI periode 2014–2019), dan Henro Susanto (Wakil Ketua Departemen Hukum IKPI) yang sekaligus menjadi moderator.

Dalam kesempatan itu, Vaudy juga memberikan apresiasi atas kehadiran para tokoh senior IKPI dan mantan hakim pajak seperti Harta Indra Tarigan dan Haryono yang baru saja purna tugas. Ia berharap pengalaman dan pandangan mereka dapat memperkaya perspektif dalam pembahasan topik yang kompleks tersebut.

Selain mengulas tema diskusi, Vaudy turut memperkenalkan kegiatan rutin IKPI seperti diskusi panel bulanan dan podcast pajak yang tayang empat kali sebulan setiap hari Minggu. Program tersebut menjadi bagian dari upaya IKPI memperluas edukasi dan literasi pajak di masyarakat.

“Podcast ini kami hadirkan agar semangat belajar pajak bisa terus hidup. Pajak bukan hanya urusan angka, tetapi juga soal memahami makna dan keadilan di balik setiap transaksi,” jelasnya. (bl)

Daftar 11 Negara Tanpa Pajak Penghasilan: Surga Finansial, Tapi Tidak untuk Semua Orang

Tidak semua orang di dunia wajib setor pajak penghasilan. Di beberapa penjuru bumi, ada negara-negara yang benar-benar membebaskan warganya dari kewajiban membayar pajak pribadi mulai dari pantai tropis Karibia hingga gurun mewah di Timur Tengah.

Menurut laporan The Economic Times, sepanjang 2025 ada setidaknya 11 negara yang tidak mengenakan pajak penghasilan pribadi. Dari Bahamas hingga Uni Emirat Arab, negara-negara ini menjadi magnet bagi ekspatriat dan investor yang ingin “menikmati 100% hasil kerja mereka”.

1. Bahamas

Bahamas menawarkan dua hal yang sulit ditolak: cuaca tropis dan nol pajak penghasilan. Cukup beli properti minimal sekitar Rp12 miliar, dan izin tinggal bisa dikantongi dengan mudah. Meski biaya hidup tinggi, stabilitas politik dan gaya hidup pantai membuat negara ini jadi surga bagi miliuner dunia.

2. Bahrain

Melalui program Golden Residency, Bahrain memberikan visa 10 tahun bagi investor yang menanamkan dana sekitar Rp8,5 miliar. Tak ada pajak penghasilan, proses izin tinggalnya serba online, dan negara ini dikenal ramah ekspatriat.

3. Bermuda

Bermuda juga bebas pajak penghasilan, meski perusahaan tetap wajib membayar pajak penggajian. Bagi profesional global yang bekerja jangka pendek, negara dengan pantai berpasir merah muda ini menawarkan keamanan tinggi dan gaya hidup premium.

4. Brunei

Di Brunei, warga menikmati layanan kesehatan dan pendidikan gratis tanpa perlu membayar pajak penghasilan. Namun, tak mudah untuk menjadi penduduk tetap—izin tinggal dan kewarganegaraan hanya bisa diberikan dengan restu kerajaan.

5. Kepulauan Cayman

Cayman Islands adalah ikon klasik “surga pajak”. Tak ada pajak penghasilan, pajak properti, atau pajak capital gain. Tapi tiket masuknya mahal—investasi minimal sekitar Rp19 miliar dan penghasilan tahunan minimal Rp2,3 miliar. Setelah lima tahun, barulah bisa mengajukan kewarganegaraan.

6. Kuwait

Didukung kekayaan minyak melimpah, Kuwait membebaskan warganya dari pajak penghasilan dan memberikan gaji tinggi bagi ekspatriat. Namun, untuk mendapatkan izin tinggal permanen atau kewarganegaraan, hampir mustahil. Sekitar dua pertiga penduduknya bahkan adalah warga asing.

7. Monaco

Monaco, permata di pesisir Mediterania, sudah lama dikenal sebagai surga pajak bagi miliarder dunia. Tak ada pajak penghasilan, tetapi untuk menetap di sana seseorang harus menyetor minimal Rp8 miliar ke bank lokal dan memiliki properti tetap.

8. Maladewa

Maladewa memang bebas pajak penghasilan, tapi eksklusivitasnya ketat. Kewarganegaraan hanya diberikan kepada Muslim Sunni, dan tidak ada program residensi untuk warga asing. Singkatnya, Maladewa lebih cocok untuk berlibur mewah ketimbang hidup permanen.

9–10. Oman dan Qatar

Keduanya menawarkan hidup tanpa pajak penghasilan dengan kualitas hidup tinggi. Oman mulai membuka pintu bagi investor asing lewat visa investasi, sedangkan Qatar memberikan izin tinggal permanen bagi mereka yang sudah menetap legal selama dua dekade dan memenuhi syarat finansial tertentu.

Hidup Bebas Pajak, Tapi Tidak Bebas Biaya

Meski terdengar seperti mimpi, hidup tanpa pajak bukan berarti hidup murah. Mayoritas negara bebas pajak mensyaratkan investasi besar, biaya hidup selangit, dan standar finansial tinggi.

Ahli keuangan mengingatkan, sebelum pindah ke negara semacam itu, calon ekspatriat sebaiknya memahami aturan izin tinggal, perbedaan budaya, dan biaya hidup riil. Sebab, kebebasan dari pajak bisa jadi terasa semu jika pengeluaran harian justru menembus langit. (alf)

id_ID