Senator AS Desak Reformasi Pajak Kripto, Sebut Aturan Saat Ini Tak Adil 

IKPI, Jakarta: Senator Amerika Serikat (AS) Cynthia Lummis kembali menjadi sorotan setelah melontarkan kritik tajam terhadap kerangka pajak aset kripto yang berlaku saat ini. Dalam pernyataan publiknya pada Selasa (24/6/2025), Lummis menyebut bahwa regulasi perpajakan yang ada saat ini tidak hanya ketinggalan zaman, tetapi juga membebani pelaku industri kripto secara tidak proporsional.

Mengutip laporan Coinmarketcap, Senator dari Partai Republik itu menyoroti potensi pajak berganda yang harus ditanggung oleh para penambang Bitcoin serta pelaku usaha di ekosistem kripto. Ia menyebut sistem saat ini menciptakan beban kepatuhan yang tinggi dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang menghambat ekspansi industri digital berbasis blockchain.

“Regulasi perpajakan kripto yang ada saat ini justru menciptakan disinsentif bagi inovator dan investor,” ujar Lummis.

Ia juga menegaskan bahwa sistem pajak berganda sangat merugikan, terutama bagi para penambang aset digital yang menghadapi tekanan biaya operasional dan kepatuhan yang terus meningkat.

Lummis menyerukan reformasi menyeluruh terhadap undang-undang perpajakan kripto, termasuk penyederhanaan aturan serta penghapusan pajak ganda. Menurutnya, pendekatan baru yang lebih adil dan sejalan dengan perkembangan teknologi sangat dibutuhkan untuk memastikan Amerika Serikat tetap kompetitif dalam industri aset digital global.

Ketidakkonsistenan antarnegara bagian juga menjadi sorotan. Beragamnya interpretasi hukum dan kebijakan perpajakan di tiap wilayah memperumit langkah pelaku usaha yang beroperasi lintas negara bagian. Hal ini dinilai menambah beban administratif dan menghambat pertumbuhan sektor kripto secara nasional.

Para analis memandang pernyataan Lummis sebagai momentum penting menuju reformasi pajak kripto di Amerika Serikat. Dengan makin besarnya peran aset digital dalam sistem keuangan global, banyak pihak menilai bahwa pendekatan pajak yang transparan, adaptif, dan pro-inovasi akan menjadi kunci untuk menarik investor serta menjaga daya saing negara di tengah persaingan global yang ketat.

Diskusi lintas partai dan kolaborasi antara regulator serta pelaku industri diprediksi akan menjadi jalan menuju terciptanya kerangka hukum yang lebih modern dan mendukung pertumbuhan ekosistem kripto yang inklusif. (alf)

 

PER-11/2025 Atur Format Baru Faktur Pajak, Kode Barang dan HS Jadi Perhatian Pengusaha

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 sebagai bagian dari penguatan implementasi sistem Coretax. Salah satu aspek krusial yang diatur dalam beleid ini adalah penyusunan dan pengisian faktur pajak elektronik, termasuk tata cara pencantuman informasi dalam dokumen tersebut.

Lewat integrasi Coretax, proses bisnis faktur pajak mengalami pembaruan signifikan, termasuk keharusan mengisi kode barang atau jasa dalam sistem e-Faktur. Meski kode ini tidak termasuk dalam keterangan wajib sebagaimana diatur Pasal 33 PER-11/2025, namun secara teknis, sistem tetap mensyaratkan pengisian kode barang/jasa untuk melanjutkan pembuatan faktur.

Dalam sistem Coretax, e-Faktur kini menyediakan lebih dari 1.300 kode barang dan 600 lebih kode jasa. Pengusaha Kena Pajak (PKP) diberikan keleluasaan memilih kode yang sesuai, atau minimal paling mendekati jenis barang atau jasa yang diserahkan. Jika tidak ditemukan kode yang relevan, DJP melalui akun resmi @kring_pajak di media sosial bahkan memperbolehkan penggunaan kode 0000 sebagai alternatif.

Lebih lanjut, pencantuman kode Harmonized System (HS) turut menjadi sorotan dalam PER-11/2025. Pasal 35 ayat (4) mengatur secara eksplisit bahwa dalam hal penyerahan dilakukan ke kawasan perdagangan bebas atau pelabuhan bebas, PKP wajib mencantumkan kode HS atau pos tarif kepabeanan dalam kolom nama barang.

Contohnya, untuk penjualan mobil baru ke kawasan bebas seperti Batam, format pengisian kolom nama barang tidak hanya mencakup merek, tipe, dan nomor rangka, tetapi juga menyertakan HS Code. Format standar yang digunakan adalah:

Mobil 1.500 cc OTR#Alpha#MT#MHYKZE81SCJ115045#87032217

OTR = Merek kendaraan

Alpha = Tipe

MT = Varian

MHYKZE81SCJ115045 = Nomor rangka

87032217 = HS Code

Dengan terbitnya PER-11/2025, DJP menegaskan bahwa kepatuhan formal atas format dan kelengkapan faktur pajak menjadi bagian integral dari sistem administrasi perpajakan berbasis teknologi. Meski beberapa aturan teknis tidak tertuang langsung dalam pasal, penggunaan sistem Coretax membuat pengisian kode barang/jasa menjadi praktik wajib secara sistematis. (alf)

 

 

 

Bank Dunia: Coretax dan TER Penyebab Turunnya Penerimaan Pajak Indonesia

IKPI. Jakarta: Bank Dunia memperingatkan potensi penurunan penerimaan pajak Indonesia pada tahun 2025, sebelum pulih secara bertahap pada 2026 dan 2027. Dalam laporan Indonesia Economic Prospects edisi Juni 2025 yang dirilis pada Senin (23/6/2025), rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) diproyeksikan hanya sebesar 9,9% pada 2025. Angka ini turun dari 10,1% pada 2024 dan 10,3% pada 2023, serta melanjutkan tren penurunan dari level 10,4% pada 2022.

Pemulihan rasio pajak baru diperkirakan terjadi pada 2026, kembali ke level 10,3%, dan meningkat tipis menjadi 10,5% pada 2027. “Pendapatan pajak pun menurun sebesar 0,6% dari PDB pada Mei 2025 dibandingkan periode yang sama tahun lalu,” tulis Bank Dunia dalam laporan rutinnya, ‘Indonesia Economic Prospects’ edisi Juni 2025, dikutip, Senin (23/6/2025).

Bank Dunia mengidentifikasi dua kategori penyebab utama penurunan ini: tekanan sementara dan tantangan struktural.

Sejumlah kebijakan baru dan kendala administratif menjadi faktor sementara yang menekan penerimaan. Salah satunya adalah implementasi Core Tax Administration System (CTAS) atau Coretax sejak Januari 2025 yang mengalami gangguan teknis pada tahap awal. Hal ini menyebabkan perpanjangan batas waktu pembayaran pajak, yang berdampak pada tertundanya penerimaan negara.

Selain itu, penerapan sistem tarif baru untuk pemotongan Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh OP), atau yang dikenal sebagai tarif TER, juga berdampak pada cash flow penerimaan. Kelebihan pembayaran pada 2024 menyebabkan lonjakan pengembalian pajak (refund) di awal 2025.

Dari sisi struktural, Bank Dunia menyoroti ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap ekspor komoditas mentah. Turunnya harga komoditas global menekan basis penerimaan pajak, sekaligus menunjukkan rapuhnya kontribusi sektor manufaktur dan industri bernilai tambah tinggi dalam struktur ekonomi nasional.

Pelemahan daya beli masyarakat turut menjadi kontributor utama menurunnya kinerja penerimaan. “Permintaan domestik yang lebih rendah berdampak pada penerimaan pajak dan bukan pajak,” tulis laporan tersebut.

Bank Dunia juga mencatat sejumlah kebijakan pemerintah yang berdampak langsung terhadap potensi penerimaan negara. Salah satunya adalah penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang direncanakan pada 2025 namun belum terealisasi, sehingga potensi pendapatan tambahan yang telah diasumsikan dalam APBN gagal dikumpulkan.

Tak hanya itu, pengalihan dividen BUMN langsung ke lembaga pengelola investasi, Danantara, membuat penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor ini menyusut sekitar 0,4% dari PDB per tahun. Sebagai upaya kompensasi, pemerintah diketahui menaikkan tarif royalti tambang pada April 2025.

Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai penyesuaian, Bank Dunia menekankan perlunya perbaikan struktural dan penguatan basis pajak jangka panjang agar tidak terlalu bergantung pada fluktuasi komoditas atau kebijakan sesaat.

Dengan potensi shortfall yang membayangi, Bank Dunia menilai tahun 2025 akan menjadi ujian berat bagi kebijakan fiskal Indonesia. Konsistensi reformasi perpajakan dan optimalisasi penerimaan dari sektor bernilai tambah dipandang krusial untuk memastikan keberlanjutan fiskal di masa depan. (alf)

 

Mantan Sesditjen Pajak yang Konsisten Dorong Legalitas Profesi Konsultan

IKPI, Jakarta: Nama Arfan bukanlah sosok asing dalam jagat perpajakan nasional. Mantan Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak (Sesditjen Pajak) Kementerian Keuangan RI periode 2015–2019 ini kini kembali mencatatkan kiprah penting. Ia baru saja dikukuhkan sebagai Anggota Kehormatan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), sebuah pengakuan atas kontribusi dan kepeduliannya terhadap penguatan profesi konsultan pajak di Indonesia.

Pria kelahiran Jakarta, 26 Mei 1961 ini, dikenal luas sebagai birokrat senior yang reformis dan komunikatif. Dengan latar belakang pendidikan dari STAN dan gelar MBA dari Saint Mary’s University, Kanada, Arfan telah menduduki berbagai jabatan strategis di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, mulai dari Kepala Kanwil hingga posisi puncak sebagai Sesditjen Pajak.

Dalam berbagai kesempatan, Arfan menegaskan pentingnya konsultan pajak sebagai salah satu pilar dalam sistem perpajakan nasional.

Menurutnya, konsultan pajak adalah elemen vital. Mereka tidak hanya membantu wajib pajak, tapi juga meringankan beban petugas pajak. Atas dasar itu, ia menegaskan sudah waktunya profesi ini memiliki landasan hukum yang kuat.

Dorong Undang-Undang Konsultan Pajak

Arfan mengingat kembali perjuangan bersama tokoh-tokoh senior IKPI, seperti Mochamad Soebakir dan Nono Hanafi, dalam mendorong lahirnya undang-undang khusus tentang konsultan pajak. Ia menyayangkan stagnasi legislasi di sektor ini, padahal peran konsultan kian dibutuhkan seiring kompleksitas sistem perpajakan modern.

Menurutnya, legalitas formal penting agar peran strategis konsultan bisa dijalankan secara aman dan profesional.

Dengan jumlah anggota IKPI yang kini menembus lebih dari 7.100, Arfan menilai momentum reformasi profesi konsultan harus dijaga dan ditingkatkan.

Ia bahkan menyarankan pembentukan Taxpayer Community, sebuah wadah kolaborasi wajib pajak, untuk melengkapi ekosistem perpajakan bersama DJP dan IKPI. Tiga pilar itu diyakini akan saling menguatkan, maka sistem perpajakan RI akan lebih sehat dan berkeadilan.

Visi Budaya & Aksi Kolektif

Tidak hanya berbicara soal regulasi, Arfan juga menekankan pentingnya pendekatan budaya dalam meningkatkan kesadaran pajak di masyarakat multietnis seperti Indonesia.

Kesadaran pajak akan sulit dibangun kalau hanya lewat aturan. Perlu pendekatan sosial budaya, melibatkan tokoh masyarakat dalam struktur kehormatan organisasi, agar lebih berwarna dan inklusif.

Dengan demikian, IKPI harus terus menjadi suara kolektif dalam isu-isu perpajakan nasional dan menyusun rencana aksi yang konkret. Untuk mewujudkan cita-cita itu, Arfan menyatakan siap membantu. IKPI juga harus lebih dikenal, lebih solid, dan lebih berpengaruh.

Karier & Integritas

Karier panjang Arfan di Kementerian Keuangan mencerminkan dedikasi dan integritas tinggi. Dari Kepala Kanwil DJP Sulawesi hingga Sesditjen Pajak. Ia konsisten mendorong pembaruan sistem perpajakan berbasis integritas dan kolaborasi.

Tak hanya dalam pekerjaan, Arfan juga dikenal memiliki gaya hidup sehat. Ia hobi bersepeda, jalan kaki, hingga catur. Aktivitas yang juga ia tularkan dalam budaya kerja DJP saat itu.

Dengan status baru sebagai Anggota Kehormatan IKPI, Arfan tak sekadar menjadi simbol kehormatan, tapi juga motor penggerak perubahan.

Sosoknya membuktikan bahwa reformasi perpajakan tidak hanya bisa lahir dari dalam institusi negara, tapi juga dari kemitraan yang sehat dengan para profesional pajak di luar pemerintahan. (bl)

 

 

Menyoal Legitimasi PMK dalam Kasus PKP Gagal Produksi

Pengaturan mengenai kewajiban Pengusaha Kena Pajak (PKP) untuk membayar kembali Pajak Masukan (PM) dalam hal gagal berproduksi telah menimbulkan perdebatan sejak pertama kali diatur dalam Undang-Undang PPN. Meskipun ketentuan pokoknya tercantum dalam Pasal 9 ayat (6a) UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Namun, implementasinya melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) justru memunculkan persoalan hukum.

Salah satu isu utama adalah apakah ketentuan dalam PMK tersebut telah sesuai dengan prinsip hierarki peraturan perundang-undangan, khususnya dalam hal batasan waktu pengkreditan dan pengembalian PM yang tidak secara eksplisit diatur dalam undang-undang.

Artikel ini mengulas ketidaksesuaian tersebut serta menelusuri bagaimana perubahan melalui UU Cipta Kerja berupaya memperbaiki kekosongan dan potensi penyimpangan norma hukum di masa sebelumnya.

Pasal 9 ayat (6a) UU Nomor 42 Tahun 2009

“Pajak Masukan yang telah dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) dan telah diberikan pengembalian wajib dibayar kembali oleh Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pengusaha Kena Pajak tersebut mengalami keadaan gagal berproduksi dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Masa Pajak pengkreditan Pajak Masukan dimulai”.

Pasal 9 ayat (6b) UU Nomor 42 Tahun 2009

“Ketentuan mengenai penentuan waktu, penghitungan, dan tata cara pembayaran kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan”

Peraturan pelaksana tidak sesuai dengan hirarki peraturan perundang-undangan.

Tanggal 1 April 2010 diberlakukan peraturan pelaksana Pasal 9 ayat (6b) UU No.42/2009 yaitu PMK No. 81/PMK.03/2010 tentang Saat Penghitugan Dan Tata Cara Pembayaran Kembali Pajak Masukan Yang Telah Dikreditkan Dan Telah Diberikan Pengembalian Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Mengalami Keadaan Gagal Berproduksi ,  kemudian dicabut dan digantikan PMK No.31/PMK.03/2014 mulai berlaku 10 Febuari 2014.

Bunyi pasal-pasal dalam PMK No. 81/PMK.03/2010 terkait pokok (substansi) penetapan PKP gagal berproduksi sebagai berikut :

Pasal 2

  • Pengusaha Kena Pajak yang mengalami gagal berproduksi wajib membayar kembali Pajak Masukan atas impor dan/atau perolehan Barang Modal yang telah dikreditkan dan telah diberikan pengembalian.
  • Gagal berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:
    1. Suatu keadaan dari Pengusaha Kena Pajak dengan kegiatan usaha utama sebagai produsen yang menghasilkan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak pertama kali mengkreditkan Pajak Masukan tidak melakukan kegiatan:

1) penyerahan Barang Kena Pajak;

2) penyerahan Jasa Kena Pajak;

3) ekspor Barang Kena Pajak; dan/atau

4) ekspor Jasa Kena Pajak,

yang berasal dari hasil produksinya sendiri

  1. Suatu keadaan dari Pengusaha Kena Pajak dengan kegiatan usaha utama Pengusaha Kena Pajak selain produsen sebagaimana dimaksud pada huruf a, apabila dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak pertama kali mengkreditkan Pajak Masukan tidak melakukan kegiatan:

1) penyerahan Barang Kena Pajak;

2) penyerahan Jasa Kena Pajak;

3) ekspor Barang Kena Pajak; dan/atau

4) ekspor Jasa Kena Pajak.

  • Besarnya Pajak Masukan yang wajib dibayar kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar Pajak Masukan yang telah dikreditkan dan telah diberikan pengembalian.
  • Pajak Masukan yang wajib dibayar kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disetorkan paling lama akhir bulan berikutnya setelah saat gagal berproduksi.
  • Saat gagal berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir dalam jangka waktu:
    1. 3 (tiga) tahun untuk suatu keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a; dan
    2. 1 (satu) tahun untuk keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b.
  • Pembayaran kembali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak dengan mencantumkan keterangan “Pembayaran kembali Pajak Masukan atas impor dan/atau perolehan Barang Modal yang telah dikreditkan dan telah diberikan pengembalian”.
  • Pembayaran kembali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaporkan pada Masa Pajak dilakukan pembayaran.

Sedangkan bunyi pasal-pasal dalam PMK No. 31/PMK.03/2014 terkait pokok (substansi) penetapan PKP gagal berproduksi sebagai berikut :

Pasal 4

Pajak Masukan yang telah dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan telah diberikan pengembalian wajib dibayar kembali oleh Pengusaha Kena Pajak, dalam hal Pengusaha Kena Pajak tersebut mengalami keadaan gagal berproduksi dalam jangka waktu tertentu sejak masa pajak pengkreditan Pajak Masukan dimulai.

Pasal 5

Keadaan gagal berproduksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 adalah:

  1. Suatu keadaan bagi Pengusaha Kena Pajak yang kegiatan usaha utamanya sebagai produsen yang menghasilkan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, apabila dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak pertama kali mengkreditkan Pajak Masukan tidak melakukan kegiatan:
  2. penyerahan Barang Kena Pajak;
  3. penyerahan Jasa Kena Pajak;
  4. ekspor Barang Kena Pajak; atau
  5. ekspor Jasa Kena Pajak.

yang berasal dari hasil produksinya sendiri.

  1. Suatu keadaan bagi Pengusaha Kena Pajak yang kegiatan usaha utamanya selain sebagai produsen yang menghasilkan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, apabila dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak pertama kali mengkreditkan Pajak Masukan tidak melakukan kegiatan:
  2. penyerahan Barang Kena Pajak;
  3. penyerahan Jasa Kena Pajak;
  4. ekspor Barang Kena Pajak; atau
  5. ekspor Jasa Kena Pajak,

Pasal 6

  • Pajak Masukan yang wajib dibayar kembali oleh Pengusaha Kena Pajak yang mengalami keadaan gagal berproduksi sebesar Pajak Masukan yang telah dikreditkan dan telah diberikan pengembalian.
  • Pajak Masukan yang wajib dibayar kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disetorkan paling lambat akhir bulan berikutnya setelah keadaan gagal berproduksi.

Pasal 7

  • Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor Barang Modal setelah batas waktu keadaan gagal berproduksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a terlewati, dapat dikreditkan.
  • Pajak Masukan yang dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya atau dimintakan pengembalian.
  • Apabila batas waktu keadaan gagal berproduksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a terlewati, atas Pajak Masukan yang telah dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan belum dimintakan pengembalian, dapat dikompensasikan atau dimintakan pengembalian pada masa pajak berikutnya.
  • Kompensasi atau permohonan pengembalian kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) hanya dapat dilakukan sampai dengan jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun setelah masa pajak keadaan gagal produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a telah terlewati.
  • Kelebihan Pajak Masukan yang telah diberikan pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), wajib dibayar kembali apabila sampai dengan batas waktu 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Pengusaha Kena Pajak tidak melakukan penyerahan dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berasal dari hasil produksinya sendiri.
  • Kelebihan Pajak Masukan tidak dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya atau dimintakan pengembalian dalam hal:
    1. setelah berakhirnya jangka waktu 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) masih terdapat kelebihan Pajak Masukan; dan
    2. Pengusaha Kena Pajak tidak melakukan penyerahan dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berasal dari hasil produksinya sendiri sampai batas waktu 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir.
  • Pajak Masukan yang wajib dibayar kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sebesar Pajak Masukan yang telah dikreditkan dan telah diberikan pengembalian.
  • Pajak Masukan yang wajib dibayar kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (7) disetorkan paling lambat akhir bulan berikutnya setelah keadaan gagal berproduksi.

Tampak jelas perbedaan sangat mencolok antara PMK 81 dengan PMK 31, dimana  salah satu dari peraturan pelaksana tersebut isi materi muatanya tidak diperintahkan Pasal 9 ayat (6a) UU PPN,  dirangkum dalam tabel dibawah ini :

Materi Pasal 7 ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) PMK No.31/PMK.03/2014, diduga terdapat ketidaksesuaian  hierarki dimana materi muatan pasal tersebut tidak selaras dengan delegasi dari Pasal 9 ayat (6a) UU Nomor 42 Tahun 2009, sehingga sesuai Pasal 7 ayat (2), Pasal 8 ayat (2) UU No.12 Tahun 2011 jo UU No.15 Tahun 2019 jo UU No.13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3), pasal tersebut dapat dikatakan tidak mempunyai kekuatan hukum karena tidak sesuai hierarki, tidak diakui keberadaannya dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Perubahan pengaturan PKP gagal berproduksi di UU No.11 Tahun 2020 tentang Ciptaker  jo Perpu No.2 Tahun 2022 jo UU No.6 Tahun 2023

Kemudian Pasal 9 ayat (6a) UU No 42 Tahun 2009 diubah dan ditambakan beberapa ayat yaitu ayat(6a),(6c), (6d), (6e), (6f) di Pasal 112 UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja berbunyi sebagai berikut :

Pasal 9

(6a) Apabila sampai dengan jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak Masa Pajak pengkreditan pertama kali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2al Pengusaha Kena Pajak belum melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak terkait dengan Pajak Masukan tersebut, Pajak Masukan yang telah dikreditkan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan.

(6b) Dihapus.

(6c) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) bagi sektor usaha tertentu dapat ditetapkan lebih dari 3 (tiga) tahun.

(6d) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) berlaku juga bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pembubaran (pengakhiran) usaha, melakukan pencabutan Pengusaha Kena Pajak, atau dilakukan pencabutan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak Masa Pajak pengkreditan pertama kali Pajak Masukan.

(6e)  Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat (6a):

  1. wajib dibayar kembali ke kas negara oleh Pengusaha Kena Pajak, dalam hal PengusahaKena Pajak:
  2. telah menerima pengembalian kelebihan pembayaran pajak atas Pajak Masukan dimaksud; dan/atau
  3. telah mengkreditkan Pajak Masukan dimaksud dengan Pajak Keluaran yang terutang dalam suatu Masa Pajak; dan/atau
  4. tidak dapat dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya dan tidak dapat diajukan permohonan pengembalian, setelah jangka waktu 3 (tiga) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) berakhir atau pada saat pembubaran (pengakhiran) usaha, atau pencabutan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6d) oleh Pengusaha Kena Pajak, dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan kompensasi atas kelebihan pembayaran pajak dimaksud.

(6f) Pembayaran kembali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (6e) huruf a dilakukan paling lambat:

  1. akhir bulan berikutnya setelah tanggal berakhirnya jangka waktu 3 (tiga) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (6a);
  2. akhir bulan berikutnya setelah tanggal berakhirnya jangka waktu bagi sektor usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (6c); atau
  3. akhir bulan berikutnya setelah tanggal pembubaran (pengakhiran) usaha atau

pencabutan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6d).

Selanjutnya di ikuti pencabutan peraturan pelaksana terdahulu PMK No.31/2014 melalui PMK No.18/PMK.03/2021 yang merupakan pelaksanaan Pasal-Pasal 111, 112, 113 UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang PPh, PPN dan PPnBM serta KUP . Pasal-pasal pengaturan PKP gagal berproduksi tersebut terdapat pada Bab III, bagian Kesatu, Pasal 54 sampai dengan Pasal 61 PMK No.18/PMK.03/2021.

Terdapat perubahan yang sangat signifikan terkhusus isi/materi pengaturan PKP gagal berproduksi antara Pasal 9 ayat (6a) UU Nomor 42 Tahun 2009 terdahulu dengan Pasal 9 ayat (6a) di Pasal 112 UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Pasal demi pasal dalam UU No.11 Tahun 2020  secara terperinci menyebutkan jangka waktu pengkreditan PM bagi PKP yg mengalami keadaan gagal berproduksi, berbeda dgn pasal 9 ayat (6a) UU No.42 Tahun 2009 sebelumnya

Dapat ditemukan adanya kesesuaian hierarki/materi muatan pasal terkait di PMK No.18 Tahun 2021 dengan Pasal 9 ayat (6a), (6c), (6d), (6e), (6f) di Pasal 112 UU No.11 Tahun 2020

Dapat ditarik kesimpulan :

  1. Pengaturan materi PKP gagal berproduksi di Pasal 9 ayat (6a) UU No.42 Tahun 2009 memang cukup minim, di sisi lain peraturan pelaksananya di Pasal 7 ayat (4), (5), (6) PMK No.31/PMK.03/2014 telah menambahkan pembatasan jangka waktu pengkreditan PM dimana materi ini tidak diperintahkan Peraturan perundang-undagan yang lebih tinggi.
  2. Sedangkan pada perubahannya Pasal 9 ayat (6a) yang terdapat di Pasal 112 UU No.11 Tahun 2020, terdapat penambahan beberapa ayat yang sebelumnya cukup minim diatur selevel Undang-Undang sehingga perubahan ini telah lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum.

Penulis pernah mengajukan uji materi atas Pasal 7 ayat (4), (5), (6) PMK No.31/PMK.03/2014 dengan nomor register 11 P/HUM/2021 namun di saat proses pengujian menjelang dimulai,   PMK No.31 sudah keburu dicabut dan digantikan PMK No.18/PMK.03/2021 sebagai pelaksanaan dari UU No.11 Tahun 2020 , otomatis pemohon kehilangan obyek hukum yang akan di uji, selanjutnya  permohonan tidak diterima.

Apabila PKP mengalami gagal berproduksi untuk tahun pajak sebelum tahun 2020 (sebelum diberlakukannya UU No.11 Tahun 2020 Ciptakerja tangal 2 November 2020) maka dasar penepatan PPN terutang menggunakan  PMK No.31/PMK.03//2014 adalah cacat hukum.

Penulis adalah Anggota Departemen Keanggotaan dan Pembinaan IKPI

Eddy Christian, SE., M.Ak., BKP

Email : eddychris1090@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

Ken Dwijugiasteadi: Dari Birokrat Pajak hingga Anggota Kehormatan IKPI

IKPI, Jakarta: Nama Ken Dwijugiasteadi tentu tidak asing di kalangan profesional perpajakan Indonesia. Pria kelahiran 8 November 1957 ini merupakan sosok penting di balik sejumlah transformasi besar Direktorat Jenderal Pajak (DJP), terutama saat menjabat sebagai Direktur Jenderal Pajak ke-16 pada periode 2015 hingga 30 November 2017.

Kini, Ken masih aktif berkiprah di dunia perpajakan, meski tak lagi menjabat di pemerintahan. Ia dipercaya sebagai anggota kehormatan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), asosiasi konsultan pajak tertua dan terbesar di Indonesia.

Kehadiran Ken sebagai anggota kehormatan sekaligus menjadi simbol sinergi antara otoritas pajak dan komunitas profesional perpajakan.

Dari Pegawai Rendahan Hingga Pucuk Pimpinan

Karier Ken dimulai lebih dari empat dekade silam, tepatnya pada tahun 1983, saat ia bergabung sebagai Pegawai Negeri Sipil di Kementerian Keuangan setelah meraih gelar Sarjana Ekonomi dari Universitas Brawijaya. Perjalanannya pun tak sebentar. Dari posisi staf di Sekretariat DJP, ia secara bertahap meniti tangga birokrasi, mulai dari Kepala Sub Bagian Kepegawaian (1989), Kepala Seksi Wajib Pajak Perseorangan (1992), hingga menjabat berbagai kepala kantor di lingkungan DJP.

Tahun 2003 menandai babak baru saat ia diangkat menjadi Direktur Informasi Perpajakan, yang kemudian diikuti dengan penugasan strategis sebagai Kepala Kantor Wilayah DJP Kalimantan Timur (2006–2008) dan wilayah Jawa Timur (2008–2015).

Tak hanya mengandalkan pengalaman lapangan, Ken juga memperkuat kapasitas akademiknya dengan meraih gelar Master of Science in Tax Auditing dari Opleidings Institute Financien, Den Haag, Belanda pada 1991.

Dirjen Pajak dan Pengampunan Pajak

Meski sempat tersisih dalam seleksi terbuka Direktur Jenderal Pajak pada 2015, takdir membawa Ken ke posisi itu juga. Ia ditunjuk menjadi Pelaksana Tugas Dirjen Pajak pada Desember 2015, menggantikan Sigit Priadi Pramudito yang mengundurkan diri. Hanya tiga bulan berselang, Ken dilantik secara resmi sebagai Dirjen Pajak pada 1 Maret 2016.

Salah satu warisan kebijakan paling bersejarah dari era kepemimpinan Ken adalah disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty).

Program ini membuka jalan bagi Wajib Pajak untuk mendeklarasikan dan merepatriasi harta yang belum dilaporkan dengan tarif tebusan ringan. Kebijakan ini tidak hanya berdampak pada penerimaan negara, tetapi juga meningkatkan kepatuhan pajak jangka panjang.

Melanjutkan Pengabdian

Selepas pensiun dari DJP, Ken tetap aktif memberikan kontribusi bagi dunia perpajakan nasional. Bergabung sebagai anggota kehormatan di IKPI menjadi wujud komitmennya untuk terus terlibat dalam pembangunan sistem perpajakan yang adil dan berintegritas. Kehadirannya di tengah komunitas konsultan pajak memberikan inspirasi sekaligus menjadi jembatan antara praktik birokrasi dan dunia profesional.

Ken Dwijugiasteadi adalah contoh nyata bahwa dedikasi dan integritas dalam pelayanan publik dapat meninggalkan jejak yang panjang, bahkan setelah masa jabatan berakhir. (bl)

Pengembang Minta Pemerintah Perpanjang PPN DTP Rumah Hingga Akhir 2025

IKPI, Jakarta: Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) meminta pemerintah untuk memperpanjang insentif pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) sebesar 100% untuk pembelian rumah hingga akhir tahun ini. Harapan itu disampaikan langsung kepada Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Maruarar Sirait.

Sekretaris Jenderal Apersi, Deddy Indrasetiawan, menyebutkan bahwa pihaknya telah menyampaikan secara resmi usulan perpanjangan kepada pemerintah. “Mudah-mudahan awal Juli kita dapat kabar baik. Harapannya PPN DTP 100% bisa diperpanjang sampai Desember 2025,” ujar Deddy di Kantor Apersi, Jumat (20/6/2025).

Tak hanya itu, Ketua Umum Apersi, Djunaidi Abdillah, bahkan mengusulkan agar kebijakan pembebasan PPN dapat diberlakukan secara penuh selama satu tahun. Menurutnya, kepastian kebijakan sangat krusial bagi pelaku usaha di sektor perumahan. “Kalau hanya per setengah tahun, pengembang jadi ragu untuk mulai bangun rumah. Padahal membangun rumah ready stock butuh waktu setidaknya enam bulan,” ujarnya.

Di sisi lain, Maruarar Sirait atau Ara mengonfirmasi telah mengajukan surat permohonan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati agar insentif PPN DTP 100% tetap diberlakukan hingga akhir 2025. “Saya sudah sampaikan usulan ke Menteri Keuangan. Ini hasil masukan dari para pengembang yang perlu kita pertimbangkan,” kata Ara di Jakarta, Selasa (17/6/2025).

Ara menjelaskan bahwa keberlanjutan insentif PPN DTP akan berkontribusi besar terhadap percepatan pertumbuhan sektor properti dan daya beli masyarakat. “Kita ingin menjaga momentum. Kalau bisa terus 100% ya kita perjuangkan,” tegasnya.

Sekadar informasi, pemerintah saat ini menetapkan skema insentif PPN DTP 100% untuk rumah dengan harga hingga Rp2 miliar berlaku dari Januari hingga Juni 2025. Mulai Juli hingga Desember, insentif dikurangi menjadi 50%. Kebijakan ini dirancang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui efek berganda dan penciptaan lapangan kerja di sektor konstruksi dan perumahan. (alf)

 

Efisiensi PPN Indonesia Masih Rendah, AMRO Dorong Reformasi Ambang Batas dan Pengecualian Pajak

IKPI, Jakarta: ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) mengkritisi performa pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Indonesia yang masih tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga di kawasan. Dalam laporan terbarunya, AMRO menilai rendahnya efisiensi PPN nasional dipicu oleh kebijakan pengecualian pajak yang terlalu luas dan ambang batas registrasi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang dinilai terlalu tinggi.

“Efisiensi PPN Indonesia tetap rendah dibandingkan beberapa negara tetangga, terutama karena banyaknya barang dan jasa yang dikecualikan,” tulis AMRO dalam laporan yang dikutip Senin (22/6/2025).

Efisiensi tersebut diukur melalui rasio C-efficiency—perbandingan antara penerimaan aktual PPN dengan potensi maksimalnya. Data AMRO mencatat, Indonesia hanya mampu mencatat C-efficiency sebesar 46,3% selama pandemi 2019–2020, turun dari rata-rata 53,4% pada periode 2014–2019.

Meskipun tren meningkat sejak 2021 seiring pemulihan ekonomi, performa Indonesia masih tertinggal jauh dibanding Thailand dan Vietnam.

“Rendahnya C-efficiency juga menunjukkan bahwa potensi penerimaan PPN belum dimanfaatkan secara optimal, baik karena pengecualian pajak maupun kelemahan dalam sistem pemungutan,” ujar AMRO.

Lebih lanjut, AMRO menggarisbawahi membengkaknya belanja perpajakan pemerintah yang diproyeksikan mencapai Rp445,5 triliun pada 2025 atau setara 1,83% dari PDB. Angka ini meningkat 11,4% dibanding tahun sebelumnya. Dari total tersebut, insentif PPN menjadi penyumbang terbesar dengan nilai Rp265,6 triliun atau sekitar 1% dari PDB.

Selain itu, ambang batas omzet tahunan untuk wajib registrasi PKP yang ditetapkan sebesar Rp4,8 miliar (sekitar US$315.100) turut dinilai sebagai penghambat perluasan basis pajak. Bandingkan dengan negara-negara seperti Vietnam, Thailand, dan Filipina yang memberlakukan batas jauh lebih rendah, bahkan di bawah US$55.000.

Meskipun kebijakan ini awalnya ditujukan untuk mendorong UMKM dan mempermudah kepatuhan pajak, praktiknya kerap dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk menghindari kewajiban PPN dengan cara sengaja membatasi omzet.

“Ambang batas yang tinggi justru mendorong pelaku usaha menjaga pendapatan mereka di bawah Rp4,8 miliar. Ini mempersempit basis pajak dan memperlambat pertumbuhan bisnis,” tambah AMRO.

Sebagai solusi, AMRO merekomendasikan agar Indonesia melakukan reformasi menyeluruh terhadap kebijakan pengecualian PPN dan mempertimbangkan penurunan ambang batas registrasi PKP.

“Menurunkan ambang batas akan memperluas basis pajak, mengurangi penghindaran, serta meningkatkan kepatuhan dan penerimaan negara secara keseluruhan,” tulis lembaga riset tersebut. (alf)

 

Kepastian Perpanjangan Insentif PPh Final 0,5% Tunggu Jadwal Pembahasan Antarkementerian

IKPI, Jakarta: Pengusaha sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) masih harus bersabar menanti kejelasan soal perpanjangan insentif Pajak Penghasilan (PPh) Final 0,5% bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP). Hingga akhir semester I/2025, aturan resmi yang menjadi dasar hukum perpanjangan insentif tersebut belum juga diterbitkan pemerintah.

Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, mengungkapkan bahwa proses revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 Tahun 2022 masih berjalan. Fokus utama revisi tersebut adalah memperpanjang masa berlaku tarif PPh Final 0,5% bagi WP OP UMKM, yang sejatinya telah berakhir pada akhir 2024.

“Status PP-nya saat ini masih menunggu jadwal pembahasan antarkementerian dari Kementerian Sekretariat Negara,” kata Bimo, dikutip Minggu (22/6/2025).

Ia tidak merinci kapan jadwal pembahasan akan digelar, maupun target waktu penyelesaian revisi regulasi tersebut. Melalui PP 55/2022, UMKM dengan omzet hingga Rp4,8 miliar per tahun mendapat fasilitas PPh Final sebesar 0,5% dari omzet bruto, yang berlaku selama maksimal tujuh tahun bagi WP OP, sejak pertama kali terdaftar sebagai wajib pajak.

Dengan ketentuan itu, pelaku usaha yang terdaftar pada 2018 sudah mencapai batas waktu tujuh tahun pada akhir 2024, dan wajib beralih ke sistem pembukuan serta tarif umum PPh pada tahun pajak 2025. Namun, pada akhir tahun lalu, pemerintah sempat menyampaikan secara lisan bahwa masa berlaku insentif tersebut akan diperpanjang. Hanya saja, hingga kini belum ada regulasi teknis yang mengukuhkan kebijakan itu.

Tak hanya soal perpanjangan waktu, revisi PP 55/2022 juga disebut-sebut akan memperluas cakupan penerima insentif. Jika sebelumnya hanya berlaku bagi WP OP, ke depan insentif serupa rencananya akan diberikan kepada WP Badan berbentuk koperasi, CV, firma, PT, dan badan usaha milik desa, selama omzetnya masih di bawah Rp4,8 miliar per tahun.

Insentif ini merupakan bagian dari belanja perpajakan atau tax expenditure pemerintah, yang nilainya cukup signifikan. Pada 2024, belanja perpajakan jenis Pajak Penghasilan tercatat mencapai Rp129,8 triliun. Tahun ini, angkanya diperkirakan naik menjadi Rp138,6 triliun, dan pada 2025 melonjak ke Rp144,7 triliun.

Ketidakpastian regulasi ini membuat banyak pelaku UMKM kebingungan dalam menyusun strategi perpajakan untuk tahun berjalan. Di sisi lain, percepatan kejelasan aturan dinilai penting agar pelaku usaha tidak terjebak dalam ketidakpastian fiskal, sembari tetap menjaga keberlanjutan fiskal negara.

Sebelumnya, Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld mempertanyakan langkah pemerintah yang belum juga membuahkan hasil terkait revisi beleid tersebut.

“Kan ini harus ada perubahan di PP, karena ditetapkan di awal di PP. Nah sekarang PP-nya belum terbit. Bagaimana dengan pembayaran 0,5% itu PPh final?.. Wajib Pajak jadi ragu-ragu. Saya mau bayar, pakai yang mana? 0,5% atau normal?” ujar Vaudy di Jakarta Selatan, Senin (19/5/2025). (alf)

 

PP 28/2025 Tegaskan OSS sebagai Gerbang Utama Insentif Pajak Investasi

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. Regulasi ini menegaskan kembali peran strategis sistem Online Single Submission (OSS) sebagai kanal utama pengajuan berbagai insentif perpajakan bagi pelaku usaha dan investor.

Melalui PP 28/2025, OSS tidak hanya menjadi sistem untuk mengurus perizinan usaha berbasis risiko, tetapi juga menyediakan subsistem fasilitas penanaman modal. Pasal 188 ayat (3) dan Pasal 235 ayat (1) menjelaskan bahwa subsistem tersebut dapat diakses menggunakan hak akses tertentu oleh pelaku usaha atau instansi terkait.

Dalam praktiknya, sistem OSS kini mencakup fitur pengajuan berbagai insentif strategis, antara lain:

• Pembebasan bea masuk atas impor mesin, barang, dan bahan dalam rangka pembangunan atau pengembangan industri;

• Pembebasan bea masuk atas impor barang modal untuk proyek pembangkitan listrik bagi kepentingan umum;

• Fasilitas bea masuk untuk kegiatan pertambangan sesuai kontrak karya;

• Tax holiday bagi industri pionir;

• Tax allowance untuk investasi di sektor atau wilayah tertentu;

• Super deduction vocational, yakni pengurangan penghasilan bruto untuk program vokasi, pemagangan, dan pelatihan berbasis kompetensi;

• Super deduction R&D, untuk kegiatan litbang di dalam negeri;

• Investment allowance, berupa pengurangan penghasilan neto atas investasi di industri padat karya.

Langkah ini disebut sebagai bentuk one gate policy dalam pelayanan insentif fiskal. “Investor tidak lagi perlu berpindah kanal atau platform. Semuanya bisa dilakukan lewat OSS, yang sudah terintegrasi dengan peraturan teknis seperti PMK 130/2020 dan PMK 69/2024,” kata aturan tersebut.

Sebagai catatan, integrasi fitur insentif perpajakan ke dalam OSS sejatinya bukan hal baru. Namun, PP 28/2025 memberikan kepastian hukum yang lebih kuat dan memperluas jangkauan fasilitas, sejalan dengan upaya pemerintah menciptakan iklim investasi yang ramah dan efisien.

Sistem OSS kini memiliki tujuh subsistem utama, yaitu: pelayanan informasi, persyaratan dasar, perizinan berusaha, kemitraan, pengawasan, pengawasan berbasis risiko, serta fasilitas penanaman modal.

OSS juga wajib digunakan oleh seluruh pemangku kepentingan, mulai dari kementerian dan lembaga pusat, pemerintah daerah, pengelola kawasan ekonomi khusus, hingga pelaku usaha besar maupun kecil. (alf)

 

 

id_ID