IKPI, Yogyakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memberikan Piagam Wajib Pajak atau Taxpayers’ Charter kepada Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) se-Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai bentuk apresiasi atas kontribusi dan kepatuhan dalam membangun sistem perpajakan yang sehat dan transparan.
Penyerahan piagam dilakukan langsung oleh Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, dalam acara peluncuran Taxpayers’ Charter di Kanwil DJP DIY, Jumat (3/10:2025). Adapun IKPI yang menerima penghargaan meliputi IKPI Pengda DIY, IKPI Cabang Yogyakarta, IKPI Cabang Bantul, dan IKPI Cabang Sleman.
Wakil Ketua IKPI Cabang Yogyakarta, Lukas Mulyono, menyebut penghargaan ini sebagai pengakuan atas sinergi yang telah terjalin erat antara konsultan pajak dan otoritas pajak.
“Piagam ini bukan sekadar simbol kehormatan, tapi wujud nyata dari kepercayaan dan kerja sama yang produktif. Konsultan pajak dan DJP adalah dua mitra yang punya tujuan sama: menumbuhkan kepatuhan dan menjaga keberlanjutan penerimaan negara,” ujar Lukas.
Ia menambahkan, hubungan antara DJP dan konsultan pajak harus terus dijaga dengan komunikasi terbuka dan profesionalisme yang tinggi.
“Kita ingin kepatuhan pajak tumbuh dari kesadaran, bukan paksaan. Dengan kepercayaan, sistem pajak akan lebih kuat dan berkeadilan,” tambahnya.
Sementara itu, Dirjen Pajak Bimo Wijayanto menegaskan bahwa Taxpayers’ Charter menjadi salah satu pilar hubungan harmonis antara wajib pajak dan otoritas.
“Pajak adalah urusan bersama. DJP tidak bisa berjalan sendiri tanpa dukungan para konsultan pajak dan masyarakat wajib pajak,” tegasnya.
Acara ini turut dihadiri pejabat eselon I dan II DJP, pengurus IKPI se-DIY, serta perwakilan dunia usaha dan akademisi di Yogyakarta. (bl)
IKPI, Jakarta: Konsultan pajak sekaligus pengurus pusat Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Donny Danardono, menyampaikan pandangan berbeda terkait Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan Keterangan (SP2DK). Alih-alih menakutkan, ia menilai SP2DK justru bisa membawa keuntungan bagi wajib pajak.
Dalam Podcast IKPI baru-baru ini, yang membahas strategi menghadapi SP2DK, Donny menegaskan surat tersebut sebaiknya dipandang sebagai sarana komunikasi, bukan vonis bersalah.
“Saya malah suka SP2DK. Dengan adanya surat itu, wajib pajak bisa berkomunikasi langsung dengan Account Representative (AR) di kantor pajak. Jadi kalau ada kesalahan, cepat diketahui, bukan setelah dua atau tiga tahun,” ujar Donny.
Ia menggambarkan posisi DJP yang hanya memegang laporan SPT tahunan dari wajib pajak, ibarat menatap sebuah black box. Menurutnya, SP2DK hadir sebagai jembatan untuk mengonfirmasi data dan memastikan laporan benar adanya.
Lebih jauh, Donny menyebut SP2DK bisa menjadi nilai tambah, terutama bagi perusahaan yang tengah menyiapkan diri untuk melantai di bursa.
“SP2DK justru membuat laporan pajak perusahaan lebih firm. Investor bisa lebih yakin bahwa data keuangan dan perpajakannya sudah valid. Jadi, ini bukan hambatan, malah menguntungkan,” tegasnya.
Meski begitu, ia menyadari banyak wajib pajak yang masih panik saat menerima SP2DK. Padahal menurutnya, surat itu sekadar konfirmasi, bukan indikasi pelanggaran.
“SP2DK itu bukan momok. Jangan langsung stres. Itu kesempatan untuk memastikan data kita benar,” jelas Donny.
Ia pun mendorong wajib pajak agar merespons SP2DK secara tenang dan cermat, didampingi konsultan bila perlu, sehingga komunikasi dengan DJP dapat berjalan konstruktif dan mengurangi risiko sengketa. (bl)
IKPI, Jakarta: Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali mengobarkan perang dagang global. Mulai 14 Oktober 2025, Gedung Putih resmi memberlakukan tarif impor baru untuk produk kayu dan turunannya, dengan beban pajak yang bisa melonjak hingga 50%.
Dalam aturan yang dirilis, tarif dibagi dalam tiga kategori. Pertama, 10% untuk kayu lunak. Kedua, 25% untuk furnitur berlapis kain, yang akan meningkat menjadi 30% per 1 Januari 2026. Ketiga, 25% untuk lemari dapur dan meja rias, dengan lonjakan tajam hingga 50% di awal tahun depan.
Meski berlaku secara global, sejumlah negara diperlakukan lebih ringan. Inggris, Uni Eropa, dan Jepang disebut mendapat keringanan tarif karena adanya perjanjian perdagangan khusus dengan AS.
“Negara-negara tersebut menikmati ketentuan yang lebih menguntungkan sesuai perjanjian dagang mereka dengan Amerika Serikat,” bunyi pengumuman Gedung Putih, dikutip, Senin (29/9/2025).
Kebijakan Trump ini langsung menuai protes. Di dalam negeri, langkah tersebut dipersoalkan hingga ke Mahkamah Agung AS. Sidang uji legalitas tarif global dijadwalkan berlangsung 5 November mendatang.
Trump berkilah, tarif impor kayu diperlukan untuk menjaga keamanan nasional. Gedung Putih menegaskan bahwa kayu memainkan peran vital, baik dalam sektor konstruksi sipil maupun infrastruktur militer. “Ketergantungan pada pasokan asing menimbulkan kerentanan yang berbahaya,” tegas pernyataan itu.
Kebijakan ini bukan yang pertama. Pada 1 Oktober lalu, Trump juga mengumumkan tarif 100% untuk farmasi dan 25% untuk truk besar. Rangkaian kebijakan proteksionis ini diyakini akan mengguncang rantai pasok global, sekaligus menimbulkan risiko retaliasi dari mitra dagang utama AS. (alf)
IKPI, Jakarta: Ikatan Alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (Iluni FEB UI) bersama Fraksi Partai NasDem DPR RI menyoroti semakin sempitnya ruang fiskal dalam rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026. Diskusi yang berlangsung di Jakarta, Kamis (2/10/2025), menegaskan perlunya pembenahan agar APBN tidak kehilangan fungsi produktifnya bagi perekonomian nasional.
Ketua Umum Iluni FEB UI, Ubaidillah Nugraha, menekankan bahwa APBN bukan sekadar angka, melainkan instrumen yang membawa tanggung jawab moral. “Kebijakan fiskal harus disusun demi kepentingan jangka panjang bangsa, bukan hanya menjawab kepentingan sesaat,” ujarnya.
Kepala Public Policy Unit Iluni FEB UI, Rizki Nauli Siregar, menjelaskan bahwa APBN merupakan amanah rakyat yang wajib dikelola dengan adil, memberdayakan kelompok rentan, serta menjaga stabilitas menghadapi tekanan global. Namun ia menyoroti kecenderungan alokasi anggaran yang semakin terpusat di pemerintah pusat, sehingga peran daerah dalam mendorong pembangunan berkeadilan semakin tereduksi.
Sementara itu, Tim Kajian Strategis Iluni FEB UI, Teuku Riefky, memaparkan bahwa ruang fiskal Indonesia kian terkunci akibat dominasi belanja wajib. Data menunjukkan, pada 2024 belanja fleksibel (discretionary spending) hanya tersisa 11,5 persen dari total belanja negara. Selain itu, hampir 37 persen APBN 2026 diproyeksikan terserap untuk program populis.
“Kondisi ini membuat APBN kehilangan daya sebagai instrumen stabilisasi dan distribusi. Alih-alih memperluas basis penerimaan, strategi pertumbuhan berbasis utang justru mengunci ruang fiskal dan melemahkan daya dorong ekonomi,” tegas Riefky.
Iluni FEB UI mendorong agar perumusan APBN 2026 mengutamakan fungsi produktif, seperti memperkuat institusi, membuka lapangan kerja, serta mengurangi ketimpangan sosial. Kolaborasi lintas pemangku kepentingan—baik politik, akademisi, maupun masyarakat sipil—diyakini dapat melahirkan desain kebijakan fiskal yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan. (alf)
IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Republik Indonesia, Purbaya Yudhi Sadewa, meresmikan gedung baru Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Surabaya Genteng pada Jumat (3/10/2025). Kehadiran kantor modern ini digadang-gadang bakal memperkuat pelayanan perpajakan sekaligus meningkatkan kepatuhan wajib pajak di Jawa Timur.
Acara peresmian berlangsung meriah dengan kehadiran pejabat eselon I Kementerian Keuangan, termasuk Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, serta Kepala Kanwil DJP Jawa Timur I.
KPP Pratama Surabaya Genteng akan menjadi pusat layanan bagi wajib pajak di wilayah Kecamatan Genteng dan sekitarnya. Tidak hanya melayani administrasi, kantor ini juga fokus pada pengawasan kepatuhan serta edukasi perpajakan bagi masyarakat.
Gedung baru tersebut dirancang lebih representatif dengan fasilitas modern seperti Tempat Pelayanan Terpadu (TPT), ruang konsultasi wajib pajak, hingga akses ramah disabilitas untuk memastikan layanan publik yang inklusif.
“Dengan adanya fasilitas baru, saya berharap pelayanan perpajakan semakin optimal, mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, serta mendorong peningkatan kepatuhan wajib pajak,” kata Menkeu Purbaya usai meninjau langsung fasilitas KPP.
Senada, Dirjen Pajak Bimo Wijayanto menyebut peresmian ini sebagai momentum perbaikan layanan. “Kami ingin memastikan wajib pajak mendapat akses pelayanan yang cepat, mudah, dan transparan, baik secara tatap muka maupun melalui kanal digital,” ujarnya.
Dengan hadirnya KPP Pratama Surabaya Genteng, Kementerian Keuangan optimistis kinerja perpajakan di Jawa Timur akan semakin solid, kepatuhan sukarela meningkat, dan kontribusi penerimaan negara makin kuat untuk mendukung pembangunan nasional. (alf)
IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bersama Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM resmi menjalin kerja sama strategis melalui penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) di Kantor Pusat DJP, Kamis (3/10/2025). Kerja sama ini menitikberatkan pada percepatan layanan insentif pajak bagi investor dengan sistem yang sepenuhnya berbasis digital.
Melalui integrasi data kedua instansi, sejumlah layanan yang sebelumnya dilakukan secara manual kini tersedia dalam bentuk web service, meliputi Konfirmasi Status Wajib Pajak (KSWP), Surat Keterangan Fiskal (SKF), hingga permohonan dan pelaporan fasilitas fiskal seperti tax holiday, tax allowance, investment allowance, dan Skema Tarif Dasar (STD) vokasi.
Dirjen Pajak Bimo Wijayanto menegaskan, sinergi ini bukan sekadar penyederhanaan prosedur administratif, melainkan upaya memperkuat ekosistem investasi nasional. “Dengan insentif pajak yang terukur, investasi akan tumbuh lebih cepat, penciptaan lapangan kerja meningkat, dan pertumbuhan ekonomi ikut terdorong,” ujarnya.
Dari sisi implementasi, integrasi data telah menunjukkan dampak positif. DJP mencatat peningkatan data fasilitas bea masuk atas impor mesin, barang, dan bahan, yang terus bertumbuh sejak 2024 hingga pertengahan 2025.
Sementara itu, Sekretaris Utama BKPM Heldy Satrya Putera menekankan pentingnya pertukaran data dalam mempercepat realisasi investasi. “Kami menargetkan realisasi investasi Rp13.032,8 triliun sepanjang 2025–2029. Dukungan DJP melalui integrasi layanan insentif pajak akan memperkuat pencapaian tersebut,” katanya.
Kerja sama ini menjadi tonggak baru dalam sinkronisasi kebijakan fiskal dan investasi. Dengan layanan pajak dan insentif yang makin transparan serta cepat diakses secara online, iklim usaha di Indonesia diharapkan semakin kompetitif di kancah global. (alf)
IKPI, Jakarta: Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin) Faisol Riza menegaskan adanya ketimpangan fiskal antara pelaku usaha digital asing dengan pelaku usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) domestik. Menurutnya, kondisi ini menjadi tantangan mendasar yang perlu segera dijawab agar industri digital nasional mampu bersaing secara adil.
“Di tengah pesatnya pertumbuhan ekonomi digital ini, kita dihadapkan pada tantangan yang mendasar, yakni ketimpangan fiskal yang nyata antara pelaku usaha digital asing dan pelaku PMSE domestik,” ujar Faisol dalam Seminar Nasional Taxplore UI 2025, Kamis (2/10/2025).
Faisol menjelaskan, pelaku usaha lokal, termasuk UMKM yang beroperasi melalui platform digital, dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 sebesar 0,5 persen dari omzet tahunan serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11 persen. Aturan ini berlaku bagi pedagang dengan omzet Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar per tahun.
Sementara itu, perusahaan digital asing hanya diwajibkan membayar PPN digital sebesar 11 persen tanpa ada kewajiban membayar PPh. Perbedaan ini, lanjut Faisol, menimbulkan ketidaksetaraan dalam persaingan usaha.
Fenomena Serupa di Manufaktur
Menurut Faisol, ketimpangan beban fiskal juga dapat dilihat pada sektor manufaktur. Produk impor sering kali justru dikenakan beban fiskal lebih ringan dibandingkan produk lokal, padahal industri dalam negeri menyerap tenaga kerja, menggunakan bahan baku lokal, hingga melibatkan desainer Indonesia.
“Produk lokal sudah menciptakan lapangan pekerjaan dan menghidupkan rantai pasok nasional, tetapi beban fiskalnya lebih besar dibandingkan produk impor yang hanya masuk sebagai barang jadi,” jelasnya.
Faisol mengingatkan bahwa ketimpangan fiskal ini tidak hanya merugikan pelaku usaha dalam negeri, tetapi juga berpotensi mengurangi penerimaan negara.
“Bukan hanya soal persaingan usaha yang timpang, tetapi juga pendapatan negara ikut berkurang karena adanya perbedaan perlakuan fiskal antara pelaku usaha asing dan industri digital dalam negeri,” tegasnya.
Ia mendorong pemerintah melakukan evaluasi agar regulasi perpajakan lebih berkeadilan serta mendukung keberlanjutan industri nasional, baik di sektor digital maupun manufaktur. (alf)
IKPI, Jakarta: Anggota Dewan Kehormatan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Harry Gumelar, menegaskan bahwa Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan Keterangan (SP2DK) yang dikirimkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) seharusnya tidak dipandang menakutkan oleh wajib pajak.
Menurut mantan Kepala Kanwil DJP Jawa Barat II itu, SP2DK bukanlah vonis bersalah, melainkan bentuk konfirmasi atas data yang dimiliki DJP dengan laporan wajib pajak.
“SP2DK itu bukan berarti wajib pajak salah. DJP hanya ingin memastikan data yang dilaporkan match dengan data pihak ketiga. Jadi jangan panik dulu,” ujar Harry dalam Podcast IKPI yang membahas strategi menghadapi SP2DK.
Harry menjelaskan, sumber data yang menjadi dasar terbitnya SP2DK sangat beragam, mulai dari laporan pihak ketiga seperti notaris, PPAT, perbankan, hingga data yang diperoleh melalui Automatic Exchange of Information (AEOI) dari luar negeri.
Ia mencontohkan, seorang wajib pajak yang melaporkan penghasilan Rp200 juta per tahun, tetapi membeli rumah senilai Rp2 miliar secara tunai, wajar jika mendapat pertanyaan dari DJP. Namun, kondisi itu belum tentu kesalahan, sebab bisa saja pembelian tersebut berasal dari sumber lain yang sah, misalnya hadiah undian atau warisan yang telah dikenai pajak final.
Harry juga menyoroti tantangan besar DJP dalam mengelola SP2DK, mengingat luasnya wilayah Indonesia dan tingkat pemahaman wajib pajak yang beragam.
“Banyak wajib pajak yang begitu menerima SP2DK langsung stres dan merasa bersalah. Padahal SP2DK justru kesempatan untuk menjelaskan data, bukan momok yang menakutkan,” tegasnya.
Ia mendorong wajib pajak untuk merespons SP2DK secara proaktif dan tidak ragu melakukan klarifikasi, agar data perpajakan lebih firm dan mengurangi risiko sengketa di masa depan.
Sekadar informasi, dalam Podcast ini, Harry juga ditemani Pengurus Pusat IKPI yakni Angela Kusumaningtyas dan Donny Danardono. (bl)
IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Pusat kembali menghadirkan ruang diskusi santai namun berbobot melalui program Ngobrol Tentang Pajak atau Ngotak edisi ke-7. Kegiatan ini digelar secara daring melalui Zoom Meeting pada Rabu (1/10/2025) malam dan diikuti 148 peserta anggota IKPI dari berbagai cabang di seluruh Indonesia. Hadir juga Ketua Departemen PPL Buddy Benny dan Ketua Departemen Advokasi dan Bantuan Hukum Andreas Budiman.
Ketua IKPI Cabang Jakarta Pusat, Suryani, saat membuka kegiatan menekankan pentingnya konsultan pajak terus memperkaya pemahaman, khususnya terkait SP2DK (Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan) yang kerap dijuluki kalangan konsultan sebagai “surat cinta dari DJP”.
(Foto: Tangkapan Layar Zoom Meeting)
“SP2DK seringkali menjadi titik awal komunikasi antara fiskus dan wajib pajak. Konsultan pajak perlu memahami strategi terbaik agar dapat mendampingi klien dengan profesional sekaligus membangun kepatuhan yang sehat,” ujar Suryani.
Diskusi menghadirkan Michael, anggota IKPI Cabang Tangerang Selatan, sebagai narasumber. Ia memaparkan strategi teknis dan etis dalam menghadapi SP2DK, mulai dari cara menyiapkan dokumen pendukung, memahami posisi hukum, hingga menyusun penjelasan yang komprehensif kepada otoritas pajak.
Antusiasme peserta terlihat jelas saat sesi tanya jawab dibuka. Puluhan pertanyaan mengalir deras, menandakan tema ini begitu relevan dengan praktik konsultan pajak sehari-hari. Untuk menambah semangat, panitia memberikan hadiah khusus bagi lima penanya terbaik yang dipilih langsung oleh narasumber.
Meski biasanya digelar luring, edisi kali ini diselenggarakan daring demi menjangkau peserta lebih luas. Hal ini justru memperlihatkan semangat kolaborasi lintas cabang IKPI di seluruh Indonesia.
(Foto: Tangkapan Layar Zoom Meeting)
Suryani menegaskan, tujuan dari Ngotak adalah menghadirkan forum diskusi yang ringan namun bermakna, tempat berbagi pengalaman nyata di lapangan, sekaligus memperkuat solidaritas antaranggota.
“Harapannya, Ngotak bisa terus menjadi wadah untuk saling belajar dan mengasah kemampuan, sehingga konsultan pajak semakin siap menghadapi tantangan perpajakan yang terus berkembang,” pungkasnya. (bl)
Besarnya penghasilan kena pajak ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU PPh. Selain hal-hal yang tidak boleh dikurangkan menurut Pasal 9 UU PPh. Dalam hal ini berlaku prinsip seperti yang dinyatakan dalam penjelasan Pasal 6 ayat(1) huruf a UU PPh yaitu bahwa untuk dapat dibebankansebagai biaya, pengeluaran tersebut harus mempunyaihubungan langsung dengan dengan kegiatan usaha ataukegiatan untuk mendapatkan, menagih dan memeliharapenghasilan yang merupakan obyek pajak.
Dengan demikian atas biaya dari kegiatan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan obyek pajaktidak dapat dibebankan sebagai biaya.
Lebih lanjut, Pasal 13 PP No.94 Tahun 2010 juga mengatur bahwa biaya untukmendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final dan/atau dikenakan pajak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 UU PPh dan Norma Penghitungan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UU PPh tidak boleh dikurangkan.
Aturan-aturan tersebut logis diterapkan, mengingat biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilanyang bukan obyek pajak tidak relevan untuk diperhitungkan, sedangkan bagi penghasilan yang dikenakan pajak final dan penghasilan yang pemajakannya menggunakan Norma sudah memperhitungkan unsur biaya sehingga menjadi berlebihan apabila tidak diatur seperti ini.
Dalam praktik terdapat kemungkinan suatu Wajib Pajak mempunyai lebih dari satu jenis penghasilan, yaitu penghasilan yang merupakan obyek pajak, dan penghasilanyang bukan merupakan obyek pajak, penghasilan yang dikenakan pajak final, serta yang dikenakan pajak menggunakan Norma. Bagi Wajib Pajak yang bersangkutandituntut untuk dapat mengalokasikan biaya mana saja yang terkait dengan jenis-jenis penghasilan tersebut.
Ketika Wajib Pajak dapat mengalokasikannya, maka Wajib Pajak tersebut tinggal menerapkan bahwa atas biaya yang berkaitan denganpenghasilan yang merupakan obyek pajak dapat dibebankansebagai biaya. Sebaliknya, atas biaya yang berkaitan denganpenghasilan yang bukan obyek pajak, dikenakan pajak final atau dikenakan pajak berdasarkan Norma tidak dapatdibebankan. Namun demikian, untuk dapat melakukan haltersebut, Pasal 27 PP No.94 Tahun 2010 mengharuskan Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan secara terpisah.
Merujuk kepada pengertian pembukuan dalam UU KUP, melakukan pembukuan secara terpisah berarti Wajib Pajak yang bersangkutan harus membuat suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang ditutup dengan denganmenyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan labarugi untuk suatu periode.
Hal ini berarti, Wajib Pajak yang bersangkutan harus mempunyai lebih dari satu laporan keuangan yang mana khusus untuk penghasilan yang bukanobyek pajak/kena pajak final/kena pajak berdasarkan norma mempunyai laporan keuangan tersendiri, di samping laporan keuangan atas penghasilan yang merupakan obyek pajak.
Namun demikian, Penjelasan Pasal 27 PP No.94 tahun2010 hanya menegaskan bahwa Pembukuan secara terpisahmerupakan proses pencatatan yang dilakukan secara teraturdengan melakukan pemisahan pencatatan untuk setiaptransaksi, penghasilan dan biaya-biaya antara kegiatan usahayang dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif sebagaimanadimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilandengan kegiatan usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final maupun atas penerimaan penghasilan bruto yang merupakan objek pajak dan yang bukan merupakan objekpajak, serta penghasilan dan biaya-biaya dari usaha yang tidakmendapatkan fasilitas perpajakan dan yang mendapatkanfasilitas perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Contoh: PT A bergerak di bidang industri pengalengan ikan yang berkedudukan di Jakarta mempunyai aset berupa gudang dan mesin pengolahan di Papua dalam rangka pengembangankegiatan dan produksi perusahaan.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2008, atas industri pengalenganikan dan biota perairan lainnya di daerah Papua dapatdiberikan fasilitas Pajak Penghasilan.
Salah satu bentuk fasilitas Pajak Penghasilan yang dimaksudadalah penyusutan dan amortisasi yang dipercepat. Dalam hal ini, pencatatan secara terpisah harus dilakukan untuk biaya penyusutan atas aset dalam rangka usaha yang mendapatkan fasilitas perpajakan (di Papua) dan yang tidakmendapatkan fasilitas perpajakan (di Jakarta).
Persoalan muncul ketika Wajib Pajak tidak dapat mengalokasikan biaya bersama (joint cost) melaluipembukuan terpisah. Biaya bersama adalah pengeluaran ataubiaya yang berhubungan langsung dengan kegiatan untukmendapatkan, menagih, dan memelihara suatu penghasilandan sekaligus berhubungan langsung dengan kegiatan untukmendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan lainnya. Biaya-biaya bersama yang menjadi dasar alokasi pembebanan dalam rangka menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak adalah biaya bersama setelah dilakukan penyesuaian/koreksi fiskal. Untuk mengatasi persoalan ini Pasal 27 ayat (2) PP No.94 Tahun 2010 mengatur bahwa alokasi dilakukan secara proporsional berdasarkan jumlah penghasilan masing-masing.
Contoh: PT A bergerak dalam bidang usaha yang penghasilannyadikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Dalam suatu tahun pajak, PT A memperoleh penghasilan bruto yang terdiri dari:
a. penghasilan dari usaha yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final ………………………Rp 300.000.000,00
b. penghasilan bruto lainnya yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat tidak final ………………………Rp 200.000.000,00
Jumlah penghasilan bruto Rp 500.000.000,00
Apabila biaya-biaya bersama yang tidak dapat dipisahkansetelah dilakukan penyesuaian fiskal adalah sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah), maka biaya yang boleh dikurangkan untuk mendapatkan, menagihdan memelihara penghasilan adalah sebesar: 2/5 x Rp250.000.000,00 = Rp 100.000.000,00
Jika dicermati, sesungguhnya aturan alokasi biaya bersama secara proporsional menarik untuk diperhatikan. Penerapanaturan tersebut hendaknya disesuaikan dengan fakta jenispenghasilannya. Penghasilan yang bukan obyek pajak atau penghasilan yang dikenakan pajak final faktanya tidak selalu dihasilkan dari adanya kegiatan atau aktivitas. Penghasilanbunga bank atau bunga deposito yang dikenakan pajak final tentu tidak berasal dari adanya kegiatan pemilik tabungan ataudeposito. Dengan kata lain, tidak ada biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan penghasilan bunga deposito atau bunga tabungan.
Oleh karena itu jika Wajib Pajak mendapatkan penghasilan bunga tabungan/deposito selain penghasilan yang merupakan obyek pajak, maka Wajib Pajak tersebut tidak perlu melakukan pembukuan terpisah atau menghitung pajak terutang dengan mengoreksi seluruh biaya berdasarkan proporsionalitas penghasilan masing-masing. Demikian pula, tidak diperlakukannya proporsionalitas biaya seharusnya juga diterapkan apabila Wajib Pajak selain mendapatkanpenghasilan yang merupakan obyek pajak, juga mendapatkan penghasilan berupa dividen yang bukan merupakan obyek pajak.
Pada umumnya penghasilan dividen tidak diperoleh dari adanya kegiatan usaha, sebab dividen merupakan passive income (tidak memerlukan kegiatan).
Namun demikian, dalam hal bunga deposito/tabungan atau dividen diperoleh dari simpanan atau investasi yang berasal dari pinjaman, maka atas bunga pinjamannya seharusnya tidakboleh dibiayakan. Berdasarkan pemahaman inilah maka dahulu pernah ada aturan berdasarkan SE-46/PJ.4/1995 tentang perlakuan biaya bunga yang dibayar atau terutang dalam hal wajib pajak menerima atau memperoleh penghasilan berupa bunga deposito atau tabungan lainnya. Aturan tersebut membatasi biaya bunga berdasarkanproposionalitas pinjaman dan tabungan/depoito.
Demikianlah, uraian mengenai alokasi biaya bersamadalam hal Wajib Pajak mendapatkan penghasilan yang merupakan obyek pajak dan penghasilan yang dikenakan pajak final, penghasilan bukan obyek pajak, penghasilan dikenakan pajak berdasarkan Norma, atau penghasilan yang mendapat fasilitas perpajakan.
Intinya, kemampuan untuk menentukan ada atau tidaknya biaya terkait penghasilan penghasilan yang dikenakan pajak final, penghasilan bukan obyek pajak, penghasilan dikenakan pajak berdasarkan Norma, atau penghasilan yang mendapat fasilitas perpajakan merupakan kunci alokasi biaya. Tanpa kemampuan tersebut, maka alokasi biaya akan salah arah yang tentu berakibat pada salah penghitungan pajak.
Penulis adalah Anggota IKPI Cabang Kota Bekasi
Bambang Pratiknyo
Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis