Sri Mulyani Wajibkan Marketplace Setor Pajak Pedagang Online, Ini Skemanya!

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi menunjuk para pelaku e-commerce atau marketplace sebagai pemungut dan penyetor pajak penghasilan (PPh) atas transaksi para pedagang online di platform mereka. Ketentuan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 yang diteken Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Melalui aturan tersebut, marketplace kini berperan sebagai “pihak lain” yang ditugaskan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPh Pasal 22 atas penghasilan pedagang dalam negeri yang melakukan transaksi secara elektronik.

“Marketplace akan memungut PPh dari pedagang online yang omzetnya di atas Rp 500 juta per tahun,” ujar Direktur Peraturan Perpajakan I DJP, Hestu Yoga Saksama, dalam media briefing di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Selasa (15/7/2025).

Tidak Semua Pedagang Kena Pajak

Namun demikian, pemerintah menegaskan tidak semua pedagang online otomatis dikenai pungutan pajak. Pengecualian diberikan bagi mereka yang memiliki omzet tahunan maksimal Rp500 juta. Ketentuan ini mengacu pada Pasal 7 Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

“Kalau omzetnya sampai Rp 500 juta setahun, tidak dikenai PPh. Ini bentuk perlindungan bagi UMKM kecil,” jelas Yoga.

Skema Pemungutan PPh Final

Pedagang orang pribadi dengan omzet antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar per tahun akan dikenai PPh Final 0,5%, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022. Sementara itu, untuk omzet di atas Rp4,8 miliar atau bagi yang memilih skema tarif umum, PPh yang dipungut tetap 0,5% namun bersifat kredit pajak bukan final sehingga bisa diperhitungkan dalam pelaporan SPT Tahunan.

Aturan serupa juga berlaku untuk pedagang berbentuk badan usaha. Jika omzetnya di bawah Rp4,8 miliar dan memenuhi syarat PP 55/2022, maka tarif final 0,5% masih bisa digunakan. Di atas batas itu, pungutan menjadi kredit pajak.

“Kalau di atas Rp4,8 miliar, PPh yang dipungut bisa dikreditkan. Jadi ini bukan beban ganda, justru menyederhanakan dan memudahkan pelaporan,” imbuh Yoga.

Simulasi Penghitungan Pajak

Mengacu situs resmi Direktorat Jenderal Pajak, berikut simulasi penghitungan PPh di e-commerce:

• Omzet tahunan: Rp600 juta

• Bagian tidak kena pajak: Rp500 juta

• Bagian kena pajak: Rp100 juta

• PPh Final 0,5% × Rp100 juta = Rp500.000

Kebijakan ini menjadi langkah pemerintah untuk memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan di sektor ekonomi digital, tanpa mempersulit pelaku UMKM kecil yang baru tumbuh. (alf)

RI Peringkat 2 Dunia dalam Transparansi Pajak Versi CEP dan IDOS

IKPI, Jakarta: Indonesia diganjar predikat sebagai negara paling transparan nomor dua di dunia dalam hal pelaporan belanja perpajakan. Kementerian Keuangan pun mengklaim pencapaian ini sebagai bukti nyata keberhasilan reformasi fiskal, meski kalangan legislatif meminta pemerintah tak terjebak dalam euforia.

Predikat bergengsi tersebut diberikan oleh Council on Economic Policies (CEP) bersama German Institute of Development and Sustainability (IDOS) lewat indeks Global Tax Expenditures Transparency Index (GTETI) tahun 2024.

Dalam rapat dengan Komisi XI DPR RI, Senin (17/7/2025), Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu menyebut bahwa laporan belanja perpajakan Indonesia mendapat apresiasi tinggi secara internasional.

“Kami melakukan pelaporan belanja perpajakan setiap tahun dan laporan yang kami publikasikan dianggap cukup dihormati di tingkat global. Indonesia menempati posisi kedua dalam indeks transparansi belanja perpajakan dunia,” ujar Febrio.

Ia menambahkan, nilai belanja perpajakan Indonesia diperkirakan bakal menembus Rp500 triliun pada tahun 2025. Anggaran ini, kata Febrio, memberikan dampak langsung bagi rumah tangga, UMKM, dan sektor usaha yang mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Namun di tengah pujian, muncul pula nada kritis. Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mempertanyakan klaim efisiensi tinggi dalam pengumpulan pajak yang disampaikan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto mengklaim bahwa kinerja lembaganya hanya kalah dari dua negara maju, yakni Amerika Serikat dan Australia. “Kalau dibandingkan dengan Filipina, India, bahkan China, kita sudah lebih efisien,” ujar Bimo.

Ia menjelaskan bahwa biaya pengumpulan pajak (cost of tax collection) Indonesia kini berada di bawah 1 persen terhadap PDB. Ini dinilai sebagai indikator bahwa DJP bisa menghasilkan penerimaan pajak triliunan rupiah dengan anggaran yang relatif kecil.

Namun Misbakhun mengingatkan bahwa efisiensi bukan berarti pengorbanan nol. “Tidak ada rumus dalam teori ekonomi bahwa hasil optimal bisa dicapai tanpa pengorbanan. Untuk mencapai penerimaan yang optimal, tentu tetap harus ada investasi,” katanya mengkritik klaim sepihak DJP.

Transparansi yang meningkat dan efisiensi yang diklaim pemerintah patut diapresiasi, namun tantangan ke depan adalah bagaimana memastikan bahwa insentif dan kebijakan fiskal benar-benar berdampak positif bagi rakyat dan bukan sekadar angka manis di atas kertas. (alf)

 

Indonesia Lolos dari Tarif 32%, Gantinya Borong Energi dan Jet AS

IKPI, Jakarta: Presiden Amerika Serikat Donald Trump akhirnya mengumumkan penurunan tarif impor terhadap barang-barang asal Indonesia menjadi 19%, jauh lebih rendah dari angka sebelumnya yang ditetapkan sebesar 32%.

Keputusan ini disampaikan Trump sebagai bagian dari kesepakatan dagang bilateral antara kedua negara.

Dalam konferensi pers yang dikutip dari Reuters, Rabu (16/7/2025) Trump menyatakan, “Mereka akan membayar 19% dan kami tidak akan membayar apapun. Kami akan memiliki akses penuh ke Indonesia, dan kami memiliki beberapa kesepakatan yang akan diumumkan.”

Kesepakatan tersebut tidak hanya menandai meredanya tensi dagang yang sempat memanas, tapi juga membuka jalan bagi kerja sama bernilai jumbo. Trump mengungkapkan bahwa Indonesia telah berkomitmen membeli 50 unit pesawat Boeing mayoritas tipe Boeing 777 serta produk energi AS senilai US$15 miliar dan produk pertanian senilai US$4,5 miliar.

“Sebagai bagian dari perjanjian tersebut, Indonesia telah berkomitmen untuk membeli Energi AS senilai US$15 miliar, produk pertanian Amerika senilai US$4,5 miliar, dan 50 Jet Boeing,” ujar Trump dalam keterangannya kepada AFP.

Kabar ini datang setelah Trump sebelumnya menyatakan melalui platform Truth Social miliknya bahwa dirinya telah meneken “Kesepakatan Besar” dengan Presiden RI Prabowo Subianto. Namun saat itu ia belum mengungkapkan rincian kesepakatan. “Saya membuat kesepakatan langsung dengan Presiden mereka yang paling dihormati. DETAILNYA MENYUSUL!!!” tulis Trump dalam unggahannya.

Ketegangan dagang antara AS dan Indonesia sempat memuncak setelah Trump menetapkan kebijakan tarif resiprokal 32% terhadap barang dari Indonesia, berlaku mulai 1 Agustus 2025. Pemerintah Indonesia merespons cepat dengan melakukan rangkaian negosiasi intensif.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan bahwa Indonesia sempat berhasil mendapatkan penundaan penerapan tarif tersebut usai pertemuan dengan US Secretary of Commerce Howard Lutnik dan US Trade Representative Jamieson Greer pada 9 Juli 2025.

“Tambahan 10% untuk anggota BRICS itu tidak ada. Yang kedua, waktunya kita sebut ‘pause’, jadi penundaan penerapan untuk menyelesaikan perundingan yang sudah ada,” ujar Airlangga.

Setelah pertemuan lanjutan di Washington, AS memberikan tenggat waktu tiga minggu kepada Indonesia untuk merampungkan negosiasi. Kesepakatan yang diumumkan Trump kali ini disebut sebagai hasil dari diplomasi intens yang dilakukan dalam jangka waktu tersebut.

Dengan turunnya tarif impor dan masuknya kontrak pembelian besar dari Indonesia, hubungan ekonomi AS-RI memasuki babak baru yang disebut berbagai pihak sebagai “win-win deal” membuka akses pasar yang lebih luas sekaligus memperkuat posisi dagang Indonesia di kancah global. (alf)

 

IKPI Surabaya Bahas Penerapan PPh 22 untuk Pedagang Online dalam ConsulTax 2025

IKPI, Surabaya: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Surabaya menggelar ConsulTax Sesi 2 Tahun 2025 melalui siaran langsung Instagram, dengan topik “Penerapan Mekanisme Pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Terhadap Pedagang Online di Marketplace”.

Talkshow ini diselenggarakan Selasa (15/7/2025) atau sehari setelah terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 yang mengatur penunjukan marketplace sebagai pemungut PPh 22 atas transaksi penjualan produk oleh pedagang pengguna platform.

Wakil Ketua IKPI Cabang Surabaya, Ali Yus Isman, menyampaikan bahwa kebijakan tersebut bukan merupakan jenis pajak baru, melainkan perubahan mekanisme pelunasan kewajiban PPh bagi pelaku usaha orang pribadi maupun badan.

“PPh Pasal 22 ini dapat bersifat final, menggantikan tarif 0,5 persen final, maupun bersifat tidak final yang dapat dikreditkan,” ujarnya Rabu, (16/7/2025).

Ia menambahkan bahwa terdapat pengecualian terkait batasan omzet bagi pelaku usaha orang pribadi, sehingga tidak seluruh pedagang online akan dikenakan secara langsung.

Menurutnya, kebijakan ini juga menjadi instrumen pemerintah untuk memantau sektor ekonomi digital yang belum sepenuhnya terjangkau sistem perpajakan.

Ali menilai penerapan mekanisme PPh 22 ini ditujukan untuk menekan praktik penghindaran pajak, terutama dari pedagang yang memecah akun merchant agar tidak terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).

“Masih ada pandangan keliru di masyarakat bahwa hanya pedagang konvensional yang membayar pajak, sementara pedagang online bebas pajak. Prinsip perpajakan berlaku untuk semua platform, selama menghasilkan keuntungan,” kata Ali.

Ia menjelaskan bahwa pedagang online yang sudah patuh pajak tidak akan terdampak signifikan, namun kebijakan ini akan berdampak pada pelaku usaha yang belum tertib administrasi dan perpajakan.

Sebagai antisipasi, IKPI menyarankan para pelaku usaha untuk segera membenahi administrasi, membentuk badan usaha, menyelenggarakan pembukuan memadai, serta memastikan registrasi usaha di marketplace sudah sesuai.

Dalam diskusi tersebut, panelis juga memprediksi bahwa mekanisme PPh 22 akan diperluas ke sektor lain seperti merchant makanan dan minuman di platform ojek online serta pelaku usaha di marketplace travel seperti penjualan voucher hotel, tiket pesawat, dan jasa penyewaan kendaraan.

Sekadar informasi. IG Live ConsulTax merupakan program rutin Seksi FGD dan Litbang Cabang Surabaya. Host acara ini Diana Herawati dengan tiga narasumber yaitu Ali Yus Isman, Endah Mirasanty, dan Andrean Chris Taneka. (bl)

 

Kesalahan Pengisian Kolom di SSP Atas Pembayaran PPN Untuk Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud /JKP Dari Luar Daerah Pabean

Timbulnya koreksi PPN Masukan yang semula dikreditkan oleh Wajib Pajjak menjadi tidak dapat dikreditkan oleh otoritas pajak terkait kesalahan pengisan kolom di SSP atas pembayaran PPN u/pemanfaatan BKP tdk berwujud dan/atau JKP dr luar daerah pabean.

Dasar Hukum yang dipakai oleh Pemeriksa (Fiskus) dalam melakukan koreksi atas Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan, antara lain :

Pasal 9 ayat (2), ayat (8), Pasal 13 ayat (5), ayat (6), ayat (8), ayat (9), Penjelasan Pasal 13 ayat (6) dan ayat (9); Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah s.t.t.d dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Pasal 1 , Pasal 4, Pasal 5 ayat(2) jo PER 13 PJ-2012; Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-27/PJ/2011 tentang Perubahan Kedua atas PER-10/PJ/2010, kemudian dicabut dengan PER-13 PJ-2019 dan terakhir dicabut dengan PER-16 PJ-2021 tentang Dokumen Tertentu yang Kedudukannya Dipersamakan dengan Faktur Pajak.

Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2); Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Perhitungan, Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean.

Angka 8, angka 9 Surat Edaran Nomor SE -147/PJ/2010 tentang Penjelasan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Perhitungan, Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean.

Berikut ini beberapa kutipan pasal-pasal dari peraturan diatas yang relevan langsung yang mendasari koreksi Fiskus :

Ps 9(8)huruf g UU PPN

“Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untukpemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6)”

Pasal 13 (6) UU PPN

“Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak”

Penjelasan Pasal 13 (6) UU PPN

Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan dokumen yang biasa digunakan dalam dunia usaha yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak. Ketentuan ini diperlukan, antara lain, karena :

faktur penjualan yang digunakan oleh Pengusaha telah dikenal oleh masyarakat luas seperti, kuitansi pembayaran telepon dan tiket pesawat udara.

untuk adanya bukti pungutan pajak harus ada Faktur Pajak, sedangkan pihak yang seharusnya membuat Faktur Pajak, yaitu pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak berada di luar daerah Pabean, misalnya dalam hal pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, Surat Setoran Pajak dapat ditetapkan sebagai -Faktur Pajak dan

terdapat .dokumen tertentu yang digunakan dalam hal impor atau ekspor Barang Kena Pajak Berwujud.

Pasal 6 ayat (2) PMK 40/PMK.03/2010 menyebutkan :

kolom “Nama WP” dan “Alamat WP” diisi nama dan alamat orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Daerah Pabean

kolom “NPWP” diisi dengan angka 0 (nol), kecuali kode Kantor Pelayanan Pajak diisi dengan kode Kantor Pelayanan Pajak dari pihak yang memanfaatkan….

pada kotak “Wajib Pajak/Penyetor” diisi nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak.

Cara pengisian SSP diatas juga dapat ditemukan dalam angka 8 SE-147 PJ-2010

Pasal 1 huruf j PER-67 PJ-2010

“Dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak adalah Surat Setoran Pajak untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak terwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean”

Pasal4 PER 67-PJ-2010

“Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf i dan huruf j dibuat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”

Pasal 5 ayat (2) PER 67 PJ/2010 tentang perubahan PER-10 PJ-2010 menyebutkan :

“Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf i dan huruf j merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sepanjang dokumen tertentu tersebut memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan nama pihak yang melakukan impor Barang Kena Pajak, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dan/atau Barang Kena Pajak tidak berwujud”

Angka No.9 SE-147/PJ/2010

“Dalam hal pengisian Surat Setoran Pajak untuk pembayaran PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean oleh Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 tersebut, maka pembayaran PPN tersebut tidak dapat dikreditkan”

Sering terjadi Wajib Pajak melakukan kesalahan pengisian kolom-kolom yang tertera di SSP , dimana :

pada kolom pemberi jasa seharusnya diisi dengan nama dan alamat pihak yang berkedudukan di Luar Daerah Pabean yang menyerahkan Barang Kena Pahak Tidak Berwujud/Jasa Kena Pajak dan

pada kolom NPWP seharusnya diisi dengan angka 0 dan kode Kantor Pelayanan Pajak pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud/Jasa Kena Pajak ,

kedua kolom tersebut tidak di isi sesuai Pasal 6 ayat (2) PMK No.40/PMK.03/2010 dan angka 8 SE-147/PJ-2010 melainkan semuanya di isi dengan nama, alamat, npwp dari pihak yang memanfaatkan jasa (Wajib Pajak itu sendiri) sehingga oleh Fiskus, jumlah PPN yang sudah disetorkan , tidak dapat dikreditkan.

Keabsahan Pembayaran PPN

Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 dalam Pasal 11 ayat (1), ayat (4) dan ayat (6) pembayaran kepada negara dinyatakan sah dalam hal telah divalidasi dengan NTPN dan diakui sebagai pelunasan kewajibannya.

Wajib Pajak harus dapat membuktikan telah melakukan pembayaran/penyetoran PPN atas Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan Luar Daerah Pabean, dimana pembayaran tersebut telah diterima oleh Negara dengan telah terbitnya NTPN dan sistem MPN Departemen Keuangan.

Koreksi Fiskus Tidak Sesuai Peraturan Perundang-undangan

Ketentuan yang diatur dalam Pasal 13 ayat (5), ayat (6) dan ayat (9) UU PPN tentang dokumen yang dipersamakan dengan faktur pajak hanya dapat dikreditkan apabila:

Diisi secara lengkap, jelas dan benar sesuai dengan persyaratan dalam peraturan (yaitu mencantumkan NPWP dan nama pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean) dan

Berisi keterangan yang sebenamya atau sesungguhnya mengenai penyerahan.

Menurut Penulis sepanjang SSP PPN Jasa Luar Negeri telah memenuhi ketentuan formal dan telah diisi berdasarkan keterangan yang sebesarnya maka Pemeriksa tidak dapat mempermasalahkan mengenai material (substansi) dari pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Jasa Luar Negeri tersebut.

Dasar hukum yang dijadikan alasan yang menyatakan SSP PPN Jasa Luar Negeri tidak dapat dikreditkan adalah tidak tepat baik ditinjau dari sudut hierarki peraturan maupun dari sudut maksud dari peraturannya melainkan mempermasalahkan aspek formalitas.

Masalah formalitas/administratif seharusnya tidak dapat mengalahkan aspek material (substansinya) sehingga apabila Pemeriksa telah mengakui aspek material (substansinya) adalah benar maka seharusnya SSP PPN Jasa Luar Negeri tersebut tetap dapat dikreditkan.

PMK No.40/PMK.03/2010 tidak mengatur akibat hukum/sanksi apabila terdapat kekeliruan pengisian SSP. Kekeliruan tersebut adalah bersifat administratif, sehingga pemeriksa seharusnya tidak dapat mengabaikan substansi bahwa PPN telah disetor dan dilaporkan.

Menurut Penulis pengaturan tentang pengisian kolom di Pasal 6 ayat (2) PMK No.40/2010 ini sifatnya administratif saja yang tujuannya untuk penghimpunan data yang diperlukan dalam rangka pertukaran data dengan negara lain.

Sedangkan koreksi berdasarkan Pasal 9 ayat (8) huruf g UU PPN juga kurang tepat karena hanya mengatur Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan apabila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6), yang menyatakan :

“Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak”.

Dimana Pasal 13 ayat(6) UU PPN hanya mengatur dokumen-dokumennya saja sehingga apabila Wajib Pajak telah memenuhi ketentuan dengan menyetor sesuai dengan dokumen yang diatur dalam Pasal 6 PMK.40 maka ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf g tidak relevan diterapkan karena hanya terdapat kesalahan dalam pengisian kolom.

Kesimpulan :

Tidak terdapat ketentuan di dalam UU PPN yang mengatur tentang keterangan yang harus dicantumkan di dalam dokumen tertentu yang dipersamakan dengan faktur pajak sehingga dapat diperlakukan sama sebagaimana maksud dari ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf f UU PPN jo. Pasal 13 ayat (5) UU PPN.

PMK No.40/PMK.03/2010 tidak dapat diperlakukan sebagai petunjuk teknis pencantuman keterangan di dalam dokumen tertentu yang dipersamakan dengan faktur pajak seperti halnya yang diatur dalam ketentuan Pasal 13 ayat (5) UU PPN karena ketentuan Pasal 13 ayat (6) UU PPN tidak mengatur atribusi wewenang tentang pencantuman keterangan didalam dokuemen tertentu yang dipersamakan dengan faktur pajak.

Kesalahan pengisian kolom di SSP dalam pengisian tidak dapat digolongkan sebagai kesalahan yang mengakibatkan Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan sepanjang Wajib Pajak telah memenuhi ketentuan mengenai dokumen yang dipersamakan dengan faktur pajak dan pajak yang disetor telah sesuai masa pajaknya dan telah terbukti masuk ke kas negara. Jadi tidak terdapat kerugian negara yang diakibatkan kesalahan administratif.

Penulis adalah anggota Departemen Keanggotaan dan Pembinaan IKPI (Bidang Pembinaan Profesi dan Etika)

Eddy Christian, SE., M.Ak., BKP

Email : eddychris1090@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Kemenkeu Siapkan Cukai Baru untuk Snack Tinggi Garam

IKPI, Jakarta: Pemerintah tengah mengkaji perluasan objek cukai dengan menyasar produk pangan olahan bernatrium (P2OB) seperti makanan ringan dalam kemasan. Kebijakan ini masuk dalam rencana program pengelolaan penerimaan negara tahun anggaran 2026.

Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu mengungkapkan, usulan cukai terhadap produk pangan tinggi natrium merupakan bagian dari strategi ekspansi barang kena cukai. “Rekomendasi kepada ekspansi barang-barang kena cukai,” ujar Anggito saat rapat bersama Komisi XI DPR RI, Senin (14/7/2025).

Rekomendasi ini masuk dalam output kebijakan administratif yang dirancang untuk mengoptimalkan penerimaan negara secara adil, sehat, dan berkelanjutan. Selain itu, Kemenkeu juga merancang strategi lain seperti optimalisasi potensi perpajakan berbasis data dan media sosial, penguatan regulasi perpajakan dan PNBP, serta penyempurnaan proses ekspor-impor dan logistik.

Produk pangan olahan tinggi natrium telah menjadi bahan kajian Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) sejak 2024. DJBC menilai, konsumsi garam berlebih dari makanan olahan memiliki dampak jangka panjang terhadap kesehatan masyarakat.

“Olahan bernatrium ternyata masuk dalam program GGL (gula, garam, lemak) di RPJMN Bappenas. Ini terkait penyakit tidak menular yang lebih berbahaya dari penyakit menular, karena dikonsumsi rutin tanpa disadari,” jelas Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai DJBC, Iyan Rubiyanto dalam kuliah umum di PKN STAN, Rabu (24/7/2024).

Selain P2OB, pemerintah juga masih mengkaji potensi cukai atas plastik, bahan bakar minyak (BBM), minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK), serta pengalihan pajak barang mewah (PPnBM) kendaraan bermotor ke skema cukai.

Langkah ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mengintegrasikan kebijakan fiskal dengan aspek kesehatan dan keberlanjutan lingkungan, sembari menjaga kesinambungan penerimaan negara. (alf)

 

Pamer Harta di Medsos? Siap-Siap Diintip Fiskus!

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kini semakin aktif memanfaatkan media sosial sebagai alat pengawasan kepatuhan pajak masyarakat. Strategi ini akan diperkuat pada 2026 mendatang sebagai bagian dari upaya mengoptimalkan penerimaan negara.

Wakil Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu, dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Senin (14/7/2025), menegaskan pentingnya menggali potensi penerimaan melalui pendekatan data analitik dan pemantauan media sosial.

“Penggalian potensi itu melalui data analytic maupun media sosial,” kata Anggito.

Langkah ini bukan hanya wacana. Direktur Peraturan Perpajakan I DJP, Hestu Yoga Saksama, mengungkapkan bahwa DJP telah menggunakan teknologi crawling yakni pemindaian otomatis terhadap unggahan pengguna di media sosial untuk mendeteksi potensi pajak yang belum tergali.

“Di medsos itu pasti diamati. Model crawling kita lakukan pengawasan, walau belum ada regulasi kita untuk memungut,” jelas Yoga saat media briefing di Kantor Pusat DJP.

Menurutnya, para fiskus aktif mencocokkan informasi kekayaan yang dipamerkan wajib pajak di medsos dengan data yang tercatat dalam sistem administrasi pajak. Bila ditemukan ketidaksesuaian, otoritas akan memberikan edukasi atau peringatan langsung kepada wajib pajak terkait.

“Kalau suka pamer mobil di medsos, pasti diamati teman-teman pajak,” tegasnya.

Tak hanya pengguna biasa, penerima endorsement juga menjadi sasaran pengawasan. DJP memastikan bahwa aktivitas ekonomi digital yang muncul di media sosial tidak luput dari radar fiskus.

“Kalau endorsement juga sudah kita lakukan banyak pengawasan,” imbuhnya.

Yoga menegaskan, pengawasan ini bertujuan menciptakan kesetaraan dalam kepatuhan perpajakan, baik di dunia nyata maupun digital. Dengan semakin luasnya ekosistem digital, DJP merasa perlu untuk terus beradaptasi.

“Jangan sampai ada yang tidak kena pajak hanya karena aktivitasnya dilakukan secara daring, sementara yang lain tunduk pada kewajiban pajak,” pungkasnya. (alf)

 

Korporasi Kini Bisa Dipidana Pajak dan Dikenai TPPU, Yunus Husein: Saatnya Berburu di Hutan Pajak

IKPI, Jakarta: Penegakan hukum di bidang perpajakan mengalami kemajuan penting dalam beberapa tahun terakhir, terutama dalam menyasar korporasi sebagai subjek hukum yang bisa dijerat pidana. Hal itu ditegaskan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) periode 2002–2010, Yunus Husein, dalam diskusi panel bertajuk “Upaya Penegakan Hukum Dalam Rangka Akselerasi Meningkatkan Penerimaan Pajak”, yang digelar Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) di Gedung IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, Jumat (11/7/2025).

Dalam paparannya, Yunus menyebut bahwa perkembangan paling signifikan dalam penegakan hukum pajak adalah keberanian otoritas fiskal memproses badan hukum yakni wajib pajak korporasi sebagai pelaku tindak pidana perpajakan. Menurutnya, paradigma lama yang hanya menyasar individu wajib pajak mulai ditinggalkan.

“Sekarang, wajib pajak korporasi sudah mulai diproses sebagai subjek hukum. Ini bukan hanya karena putusan Mahkamah Agung tahun 2014 yang menegaskan bahwa Pasal 39 Undang-Undang KUP juga berlaku untuk badan, tapi juga karena keberanian fiskus menggunakan instrumen TPPU,” ujar Yunus.

Ia mencontohkan bagaimana Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kini mulai menggabungkan pendekatan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), terutama Pasal 3, 4, dan 5, untuk membongkar skema pelanggaran pajak yang terorganisir dan kompleks.

Perampasan Aset Tanpa Terdakwa 

Salah satu pendekatan yang kini banyak digunakan, menurut Yunus, adalah mekanisme non-conviction based asset forfeiture (perampasan aset tanpa kehadiran atau status hukum terdakwa), sebagaimana diatur dalam Pasal 67 UU TPPU dan ditegaskan dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2013.

“Kalau wajib pajak melarikan diri atau bahkan sudah meninggal, asetnya tetap bisa dirampas. Tidak perlu menunggu terdakwa diadili dan divonis bersalah. Ini penting untuk mencegah penghilangan barang bukti dan memulihkan kerugian negara lebih cepat,” jelasnya.

Meski demikian, Yunus mengakui masih ada hambatan implementasi di lapangan. Contohnya dalam kasus wajib pajak yang meninggal dunia, sebagian pengadilan masih ragu menyamakan status hukum dengan buron. Padahal, menurutnya, keduanya sama-sama tidak bisa hadir, dan karena itu pendekatan non-conviction tetap relevan.

Yunus juga mendorong agar aparat penegak hukum lebih berani menggunakan mekanisme in absentia penyidikan dan persidangan tanpa kehadiran terdakwa yang telah diperbolehkan oleh UU HPP maupun UU TPPU.

“Jangan ragu menindak meski wajib pajaknya tidak hadir. Banyak kasus besar seperti Hartawan Aluwi, Bank Century, dan kasus-kasus pajak fiktif, bisa tetap diproses meski pelaku tidak muncul,” ujarnya.

Lebih jauh, ia menyayangkan masih rendahnya tingkat tindak lanjut atas Laporan Hasil Analisis (LHA) dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dari PPATK oleh instansi penegak hukum, termasuk DJP.

“Dari ribuan laporan yang kami kirim ke instansi pajak, belum sampai 50 persen yang ditindaklanjuti. Padahal, sebagian besar sudah mengandung indikasi pidana perpajakan yang serius,” ungkapnya.

Jangan Lagi Berburu di Kebun Binatang

Dalam konteks penerimaan negara, Yunus menyoroti bahwa tax ratio Indonesia masih stagnan di kisaran 10%, jauh di bawah negara-negara ASEAN lain seperti Thailand, Vietnam, atau bahkan Filipina.

Ia mengkritik kebiasaan fiskus yang terlalu fokus pada wajib pajak lama dan terus-menerus “memelototi” Surat Pemberitahuan (SPT) dari pihak yang sama, tanpa menggali potensi pajak dari sektor dan entitas baru.

“Mantan Kabareskrim Polri, Pak Susno Duaji pernah bilang ini seperti ‘berburu di kebun binatang’. Sudah pasti ketemu, tapi ya itu-itu saja. Yang kita butuhkan sekarang adalah keberanian berburu di hutan wajib pajak baru, perusahaan besar, aset-aset gelap yang belum tergali,” ujar Yunus.

Ia menegaskan bahwa sebagian besar potensi penerimaan negara belum tergali secara optimal. Banyak wajib pajak yang selama ini lolos dari radar pengawasan, khususnya dalam bentuk entitas bisnis yang belum memiliki riwayat pelaporan pajak, namun aktif dalam transaksi keuangan bernilai besar.

Yunus menekankan bahwa sinergi antara DJP, PPATK, Kejaksaan, dan Kepolisian menjadi kunci untuk meningkatkan penegakan hukum yang berdampak langsung pada penerimaan negara. Ia juga mengingatkan kembali keberadaan Instruksi Presiden (Inpres) No. 2 Tahun 2017 yang mewajibkan instansi penegak hukum menindaklanjuti laporan dari PPATK serta melaporkan hasilnya ke Presiden.

“Pajak adalah tulang punggung keuangan negara. Kalau kita tidak serius menindak pelanggaran pajak dengan instrumen hukum yang tersedia, bagaimana kita bisa membangun tanpa utang?,” kata Yunus. (bl)

 

Dirjen Pajak Siapkan Tiga Gebrakan, Perkuat Pengawasan & Penegakan Hukum

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, menegaskan bahwa upaya perluasan basis pajak bukan satu-satunya fokus Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi XI DPR RI di Jakarta, Senin (14/7/2025), ia mengungkapkan tiga strategi utama yang tengah difinalisasi DJP untuk mendongkrak penerimaan negara.

“Kita sedang merencanakan dan memfinalisasi beberapa kebijakan, mulai dari pengenaan pajak atas transaksi aset kripto, penunjukan lembaga jasa keuangan untuk bullion, hingga digitalisasi transaksi lintas negara melalui platform luar negeri,” papar Bimo.

Ketiga inisiatif tersebut disebut sebagai bagian dari transformasi kebijakan perpajakan era digital. Untuk mendukung implementasinya, DJP menggelontorkan anggaran sebesar Rp8,62 miliar, meski kebutuhan riil mencapai Rp10,33 miliar.

Namun, Bimo tak hanya mengejar potensi pajak dari sektor digital dan investasi. Ia menegaskan pentingnya penguatan fungsi pengawasan dan penegakan hukum guna menutup celah kejahatan fiskal.

“Kami bekerja sama dengan aparat penegak hukum, termasuk Kepolisian, Kejaksaan Agung, KPK, dan lembaga lain untuk mengawasi praktik ekonomi ilegal maupun aktivitas ekonomi bawah tanah (underground economy),” ujarnya.

Menurutnya, dalam berbagai kegiatan penegakan hukum, selalu terdapat potensi pajak yang belum dipungut negara. Karena itu, DJP tidak hanya menunggu, tetapi aktif masuk melalui kerja sama audit bersama (join audit) dan pendekatan hukum yang adil.

“Tujuan kami jelas, mewujudkan sistem perpajakan yang adil dan kuat, bukan sekadar mengejar target semata,” tutup Bimo.

Langkah DJP di bawah kepemimpinan Bimo menandai arah baru yang lebih progresif, dengan menyeimbangkan perluasan basis pajak dan penguatan pengawasan sebagai fondasi sistem perpajakan modern. (alf)

 

Wamenkeu Anggito Cari Tahu Tentang Pajak Lainnya yang Melonjak Hingga 1.300%

IKPI, Jakarta: Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu mengaku heran dengan lonjakan luar biasa penerimaan dari pos “pajak lainnya” dalam APBN 2025. Pasalnya, berdasarkan dokumen Prognosis Semester II APBN 2025, penerimaan dari komponen tersebut diprediksi meroket menjadi Rp109,3 triliun melampaui target awal yang hanya Rp7,8 triliun atau naik hampir 1.301,2%.

“Pajak lainnya itu apa maksudnya ya? Enggak tahu ya, enggak ada pajak lainnya itu ya, saya coba cek dulu ya,” kata Anggito saat ditemui di kompleks parlemen, Jakarta, Senin (14/7/2025).

Pernyataan itu mencerminkan kebingungan yang juga dirasakan banyak pihak, mengingat “pajak lainnya” selama ini merupakan pos dengan kontribusi kecil terhadap total penerimaan negara. Namun kini, nilainya diprediksi menyalip komponen utama seperti PPh maupun PPN yang justru mengalami kontraksi.

Sebagaimana diketahui, pajak lainnya memang menjadi komponen dengan nilai terkecil dalam target awal, namun akan menjadi setoran yang paling optimal pada tahun ini, selain setoran pajak bumi dan bangunan yang juga diramal naik dari target Rp 27,1 triliun menjadi Rp 30,1 triliun.

Adapun komponen pajak lainnya yang melorot di antaranya pajak penghasilan (PPh) dari target Rp 1.209,3 triliun menjadi hanya Rp 1.041,6 triliun, serta PPN dan PPnBM dari Rp 945,1 triliun menjadi hanya Rp 895,9 triliun. (alf)

 

 

 

id_ID