IKPI Kota Malang Sambangi KPP Pratama Pasuruan, Bahas SP2DK dan Sinergi Edukasi Pajak

IKPI, Malang: Jajaran pengurus Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Kota Malang melakukan kunjungan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Pasuruan, Rabu (16/7/2025). Kegiatan ini sebagai bagian dari program kerja bidang hubungan masyarakat yang bertujuan mempererat tali silaturahmi sekaligus membuka ruang diskusi mengenai implementasi aturan perpajakan terkini.

Dalam pertemuan tersebut, Ketua IKPI Cabang Kota Malang, Ahmad Dahlan, menegaskan pentingnya kolaborasi yang harmonis antara konsultan pajak dan otoritas pajak demi menciptakan kepatuhan yang berkeadilan bagi Wajib Pajak.

“Kunjungan hari ini menjadi momentum bagi kami untuk memperkenalkan jajaran pengurus IKPI Malang sekaligus mendiskusikan sejumlah kebijakan perpajakan terbaru yang berdampak langsung kepada klien-klien kami,” ujar Dahlan.

Salah satu topik utama dalam diskusi adalah kelanjutan dari implementasi PP 55 Tahun 2022 serta Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025, khususnya menyangkut prosedur Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) dan penggunaan benchmarking oleh Account Representative (AR) dalam melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak.

Dikatakan Dahlan, jajaran pengurus IKPI Kota Malang disambut langsung oleh Kepala KPP Pratama Pasuruan, Wicaksono, beserta jajaran strukturalnya. Keduanya sepakat bahwa sinergi antara KPP dan IKPI sangat penting untuk mendukung edukasi dan sosialisasi kebijakan pajak kepada masyarakat secara luas.

“Harapannya ke depan, IKPI dan KPP bisa bersinergi dalam berbagai kegiatan, mulai dari seminar, pelatihan, hingga pendampingan kepada Wajib Pajak agar tercipta pemahaman pajak yang utuh dan aplikatif,” ujarnya.

Adapun jajaran pengurus IKPI Kota Malang yang turut hadir dalam kunjungan ini antara lain Wakil Ketua Danu Subroto, Sekretaris Wendi Nurdyanto dan Selfi Ayu, Bendahara Bari’ah Kuddah, Kabid Humas Roro Bella Ayu, Kabid Pendidikan dan PPL Jeni Susyanti, serta anggota bidang Keanggotaan, Hukum dan Advokasi Fadel Akbar dan Garfild Posumah. (bl)

 

Regulasi Pajak Digital: Implementasi PMK 37 Tahun 2025 atas Transaksi PMSE

Di era yang serba maju dan digital saat ini, hampir seluruh aspek kehidupan mengalami transformasi berbasis teknologi, termasuk dalam cara manusia melakukan transaksi perdagangan. Inovasi digital telah mendorong perubahan perilaku konsumen dan pelaku usaha, yang kini lebih memilih platform daring sebagai sarana utama dalam berjual beli. Transaksi digital ini di kenal dengan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) salah satu contohnya adalah Platform yang sangat dikenal luas seperti ‘toko ijo’ dan ‘toko orange’ merupakan contoh PMSE yang mempertemukan penjual dan pembeli dalam ekosistem digital.

Menyadari perkembangan ini, Pemerintah terus berupaya menciptakan kepastian hukum dan meningkatkan pengawasan perpajakan di sektor digital. Salah satu bentuk upaya tersebut adalah dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 yang mengatur ketentuan perpajakan atas perdagangan melalui sistem elektronik yaitu penyelenggara perdagangan PMSE yang menggunakan rekening eskro (escrow account) untuk menampung sebagai pemungut pajak. PMK ini baru relase 11 Juni 2025 dan mulai berlaku pada saat tanggal di undangkan .

Beberapa poin penting yang diatur dalam PMK Nomor 37 Tahun 2025 yang terdiri dari 5 BAB dan 18 pasal antara lain sebagai berikut :

Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), baik yang berada di dalam maupun luar wilayah Indonesia. Penunjukan dilakukan apabila PMSE menggunakan rekening escrow yaitu rekening yang menampung penghasilan dan memenuhi kriteria tertentu, yaitu memiliki nilai transaksi dengan pengguna di Indonesia melebihi jumlah tertentu dalam 12 bulan, dan atau jumlah traffic atau pengakses yang melebihi batas tertentu dalam periode yang sama. Besaran nilai transaksi dan traffic ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagai dasar penunjukan kewajiban pemungutan pajak.

Orang pribadi atau badan yang menerima penghasilan melalui rekening bank atau rekening keuangan sejenis, serta melakukan transaksi dengan alamat internet protocol (IP) di Indonesia atau nomor telepon berkode Indonesia. Termasuk dalam kategori ini adalah perusahaan jasa pengiriman, perusahaan asuransi, dan pihak lain yang melakukan transaksi barang dan/atau jasa melalui sistem elektronik. Hal ini memperjelas cakupan subjek pajak dalam perdagangan digital di domestik agar pengawasan dan pemungutan pajak dapat berjalan lebih efektif dan sesuai dengan perkembangan teknologi.

Pedagang Dalam Negeri wajib menyampaikan NPWP/NIK dan alamat korespondensi kepada pemungut pajak. Jika peredaran bruto ≤ Rp500 juta, harus melampirkan surat pernyataan. Semua informasi disampaikan sebelum penghasilan diterima. Surat pernyataan dan SKB harus diperbarui setiap tahun. Jika peredaran bruto melebihi Rp500 juta, wajib menyampaikan surat pernyataan terbaru paling lambat akhir bulan saat batas tersebut terlampaui.

Tarif pajak PPh Pasal 22 sebesar 0,5% dari peredaran bruto, tidak termasuk PPN dan PPnBM, dan terutang saat pembayaran diterima. PPh ini bisa diperhitungkan sebagai angsuran PPh atau pelunasan PPh final, tergantung jenis penghasilannya. Jika PPh yang dipungut lebih kecil dari yang seharusnya, kekurangannya wajib disetor sendiri. Jika lebih besar, bisa diminta kembali.Untuk transaksi dalam valuta asing, konversi ke rupiah memakai kurs Menteri Keuangan saat pembayaran.

Hal yang perlu diketahui dalam PMK 37 tahun 2025 ini adalah tidak semua transaksi dikenai pemungutan PPh Pasal 22. Beberapa jenis transaksi dikecualikan, seperti penjualan oleh Wajib Pajak orang pribadi dengan omzet tidak melebihi Rp500 juta dan telah menyampaikan surat pernyataan, jasa ekspedisi oleh mitra aplikasi, transaksi yang disertai Surat Keterangan Bebas (SKB), penjualan pulsa, kartu perdana, emas, batu permata, serta pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

Namun pada prinsipnya atas penghasilan tersebut tetap terutang pajak, dan kewajiban pajak tetap harus dipenuhi oleh Wajib Pajak sesuai dengan mekanisme yang ditetapkan dalam peraturan perpajakan,sehingga untuk penghasilan tersebut tidak lagi dikenai pemotongan atau pemungutan PPh oleh pihak lain seperti penyelenggara PMSE.

Ketentuan ini diterapkan untuk menghindari terjadinya pemungutan pajak berganda (double taxation) atas penghasilan yang sama. Dengan kata lain, pengenaan pajak ini tidak berlaku lagi untuk penghasilan yang sudah dipungut PPh Pasal 22, karena prinsip keadilan dalam perpajakan mewajibkan bahwa setiap objek pajak hanya dikenai pungutan satu kali melalui mekanisme yang berlaku, agar tidak membebani Wajib Pajak.

Dengan demikian, kehadiran PMK 37/2025 merupakan wujud nyata komitmen Pemerintah dalam mengadaptasi kebijakan fiskal guna menjawab tantangan sekaligus memanfaatkan peluang di tengah pesatnya pertumbuhan ekonomi. Diharapkan, peraturan ini mampu menciptakan iklim perpajakan yang lebih transparan, adil, dan selaras dengan kebutuhan zaman, sekaligus mendorong kesadaran dan kepatuhan pajak bagi para pelaku usaha di ekosistem digital Indonesia.

Penulis adalah anggota Departemen Pendidikan IKPI

Tintje Beby

Email: tibeb.sugandi@gmail.com

Disclamer : Tulisan merupakan pendapat pribadi penulis

 

Tak Hanya Lokal, Marketplace Asing Kini Bisa Pungut PPh dari Pedagang RI

IKPI, Jakarta: Pemerintah mulai memberlakukan kewajiban baru bagi marketplace luar negeri untuk memungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 sebesar 0,5% dari para pedagang asal Indonesia yang berjualan di platform mereka. Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 dan menjadi langkah berani untuk memastikan keadilan pajak lintas platform digital.

Marketplace asing seperti yang berbasis di Singapura, Cina, Jepang, hingga Amerika Serikat kini tidak luput dari sorotan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Selama mereka memenuhi syarat tertentu, termasuk memiliki transaksi dan lalu lintas pengguna yang signifikan serta menggunakan rekening escrow, pemerintah berwenang menunjuk mereka sebagai pemungut pajak.

“Kalau kita lihat ada marketplace luar negeri, entah di Singapura atau Amerika, yang ternyata digunakan oleh banyak pedagang dari Indonesia, maka kita bisa tunjuk mereka untuk memungut PPh 0,5%,” ujar Hestu Yoga Saksama, Direktur Peraturan Perpajakan I DJP, di Jakarta, baru-baru ini.

Hestu menekankan bahwa penunjukan ini bertujuan menciptakan level playing field antara marketplace domestik dan asing. Tanpa aturan ini, para pelaku usaha cenderung akan migrasi ke platform luar negeri demi menghindari potongan pajak.

“Ini bukan semata-mata soal pemasukan negara, tapi juga soal menjaga fairness dalam ekosistem e-commerce,” tambahnya.

Adapun kriteria penunjukan marketplace luar negeri sebagai pemungut pajak akan ditetapkan melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Hestu memberi gambaran bahwa kemungkinan besar kriterianya tidak jauh berbeda dari aturan PPN PMSE, yakni transaksi di atas Rp600 juta setahun atau traffic minimal 1.000 pengunjung per bulan.

Meski PMK 37/2025 telah resmi berlaku sejak 14 Juli 2025, implementasi pemungutan baru akan dimulai setelah DJP mengeluarkan keputusan resmi atas penunjukan masing-masing marketplace.

Dengan kebijakan ini, pemerintah berharap semua pelaku usaha, baik yang berjualan di platform dalam maupun luar negeri, turut berkontribusi secara adil dalam sistem perpajakan nasional. (alf)

 

Ojol dan Penjual Pulsa Bebas dari Pungutan PPh 22 Pedagang Online

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menegaskan bahwa pengemudi ojek online (ojol), penjual pulsa, hingga pelaku usaha emas tidak termasuk dalam kelompok yang wajib dipungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dalam skema perdagangan elektronik.

Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025, yang mengatur pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPh oleh pihak ketiga terhadap pedagang dalam negeri yang berjualan melalui platform digital (e-commerce).

“Ojol tidak termasuk objek pungutan. Mereka masuk dalam daftar pengecualian,” ujar Direktur Peraturan Perpajakan I DJP, Hestu Yoga Saksama dalam sesi taklimat media di Jakarta, Senin (14/7/2025).

Hestu juga menyebutkan bahwa penjual pulsa dan kartu perdana tidak dikenai pungutan pajak karena telah diatur dalam ketentuan tersendiri, yakni PMK Nomor 6 Tahun 2021. Dalam beleid tersebut, sudah diatur mekanisme pajak untuk transaksi pulsa, kartu perdana, token listrik, dan voucer.

Tak hanya itu, beberapa jenis usaha lain juga dikecualikan dari pemungutan PPh 22. Di antaranya pelaku usaha emas perhiasan, emas batangan, hingga perhiasan dari bahan non-emas dan batu permata. Termasuk pula transaksi pengalihan hak atas tanah dan bangunan, yang lazimnya dilakukan melalui notaris.

“Khusus pengalihan tanah dan bangunan, proses pajaknya dilakukan secara terpisah melalui notaris,” jelas Hestu.

Pengecualian juga berlaku bagi pedagang yang telah memiliki Surat Keterangan Bebas (SKB) pemungutan atau pemotongan PPh.

Untuk pedagang yang dikenai pajak, tarif yang berlaku adalah sebesar 0,5% dari omzet bruto, di luar komponen Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Omzet bruto diartikan sebagai seluruh penghasilan sebelum dikurangi potongan penjualan dan sejenisnya.

PMK 37/2025 juga menetapkan dua kriteria utama bagi pedagang online yang dikenai pungutan PPh 22. Pertama, menerima penghasilan melalui rekening bank atau rekening elektronik sejenis. Kedua, menggunakan alamat IP atau nomor telepon yang menunjukkan aktivitas dari dalam wilayah Indonesia. (alf)

 

 

 

 

Dirjen Pajak Jamin PPh 22 E-Commerce Tak Naikkan Harga Barang, Asosiasi Minta Masa Transisi

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, memastikan bahwa pemberlakuan pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 terhadap pedagang di platform e-commerce tidak akan berdampak pada harga barang yang dibayar konsumen. Hal ini menyusul terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 yang menunjuk platform digital sebagai pihak pemungut pajak.

“Enggak ada (kenaikan harga), ini bukan pajak baru. Jadi tidak akan menaikkan harga. Penjual di marketplace selama ini sudah menghitung sendiri kewajiban perpajakannya, meskipun belum dipungut oleh platform,” tegas Bimo usai rapat bersama Komisi XI DPR RI, Selasa (15/7/2025).

Menurut Bimo, kebijakan ini dirancang dengan prinsip keadilan dan konsistensi dengan sistem perpajakan yang telah berjalan. “Policy ini sudah sangat fair dan sesuai dengan praktik yang selama ini diimplementasikan,” ujarnya.

Namun, kekhawatiran tetap muncul dari kalangan pelaku industri. Sekretaris Jenderal Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Budi Primawan, menyatakan bahwa meskipun PMK 37/2025 tidak menciptakan beban pajak baru, implementasinya membawa tantangan teknis dan administratif yang cukup signifikan, terutama bagi UMKM.

“Marketplace memang tidak diwajibkan memverifikasi surat pernyataan omzet dari penjual. Tapi mereka harus menyediakan sistem bagi seller untuk mengunggah dokumen tersebut, yang kemudian diteruskan ke sistem DJP. Surat ini wajib ditandatangani dan dibubuhi materai, sehingga perlu kesiapan sistem dan edukasi intensif,” jelas Budi dalam pernyataan resminya.

idEA pun meminta agar pemerintah memberikan masa transisi yang cukup serta sosialisasi menyeluruh kepada para pelaku usaha, khususnya UMKM yang belum familiar dengan administrasi digital perpajakan. Menurutnya, mayoritas platform butuh waktu setidaknya satu tahun untuk siap sepenuhnya menjalankan peran sebagai pemungut pajak.

Meski pungutan PPh Pasal 22 secara yuridis dibebankan kepada penjual, Budi tak menampik kemungkinan adanya dampak tidak langsung ke konsumen. “Dalam praktiknya, keputusan untuk menanggung atau meneruskan beban pajak ke harga jual sangat tergantung strategi masing-masing merchant,” pungkasnya. (alf)

 

Sri Mulyani Wajibkan Marketplace Setor Pajak Pedagang Online, Ini Skemanya!

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi menunjuk para pelaku e-commerce atau marketplace sebagai pemungut dan penyetor pajak penghasilan (PPh) atas transaksi para pedagang online di platform mereka. Ketentuan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 yang diteken Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Melalui aturan tersebut, marketplace kini berperan sebagai “pihak lain” yang ditugaskan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPh Pasal 22 atas penghasilan pedagang dalam negeri yang melakukan transaksi secara elektronik.

“Marketplace akan memungut PPh dari pedagang online yang omzetnya di atas Rp 500 juta per tahun,” ujar Direktur Peraturan Perpajakan I DJP, Hestu Yoga Saksama, dalam media briefing di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Selasa (15/7/2025).

Tidak Semua Pedagang Kena Pajak

Namun demikian, pemerintah menegaskan tidak semua pedagang online otomatis dikenai pungutan pajak. Pengecualian diberikan bagi mereka yang memiliki omzet tahunan maksimal Rp500 juta. Ketentuan ini mengacu pada Pasal 7 Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

“Kalau omzetnya sampai Rp 500 juta setahun, tidak dikenai PPh. Ini bentuk perlindungan bagi UMKM kecil,” jelas Yoga.

Skema Pemungutan PPh Final

Pedagang orang pribadi dengan omzet antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar per tahun akan dikenai PPh Final 0,5%, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022. Sementara itu, untuk omzet di atas Rp4,8 miliar atau bagi yang memilih skema tarif umum, PPh yang dipungut tetap 0,5% namun bersifat kredit pajak bukan final sehingga bisa diperhitungkan dalam pelaporan SPT Tahunan.

Aturan serupa juga berlaku untuk pedagang berbentuk badan usaha. Jika omzetnya di bawah Rp4,8 miliar dan memenuhi syarat PP 55/2022, maka tarif final 0,5% masih bisa digunakan. Di atas batas itu, pungutan menjadi kredit pajak.

“Kalau di atas Rp4,8 miliar, PPh yang dipungut bisa dikreditkan. Jadi ini bukan beban ganda, justru menyederhanakan dan memudahkan pelaporan,” imbuh Yoga.

Simulasi Penghitungan Pajak

Mengacu situs resmi Direktorat Jenderal Pajak, berikut simulasi penghitungan PPh di e-commerce:

• Omzet tahunan: Rp600 juta

• Bagian tidak kena pajak: Rp500 juta

• Bagian kena pajak: Rp100 juta

• PPh Final 0,5% × Rp100 juta = Rp500.000

Kebijakan ini menjadi langkah pemerintah untuk memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan di sektor ekonomi digital, tanpa mempersulit pelaku UMKM kecil yang baru tumbuh. (alf)

RI Peringkat 2 Dunia dalam Transparansi Pajak Versi CEP dan IDOS

IKPI, Jakarta: Indonesia diganjar predikat sebagai negara paling transparan nomor dua di dunia dalam hal pelaporan belanja perpajakan. Kementerian Keuangan pun mengklaim pencapaian ini sebagai bukti nyata keberhasilan reformasi fiskal, meski kalangan legislatif meminta pemerintah tak terjebak dalam euforia.

Predikat bergengsi tersebut diberikan oleh Council on Economic Policies (CEP) bersama German Institute of Development and Sustainability (IDOS) lewat indeks Global Tax Expenditures Transparency Index (GTETI) tahun 2024.

Dalam rapat dengan Komisi XI DPR RI, Senin (17/7/2025), Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu menyebut bahwa laporan belanja perpajakan Indonesia mendapat apresiasi tinggi secara internasional.

“Kami melakukan pelaporan belanja perpajakan setiap tahun dan laporan yang kami publikasikan dianggap cukup dihormati di tingkat global. Indonesia menempati posisi kedua dalam indeks transparansi belanja perpajakan dunia,” ujar Febrio.

Ia menambahkan, nilai belanja perpajakan Indonesia diperkirakan bakal menembus Rp500 triliun pada tahun 2025. Anggaran ini, kata Febrio, memberikan dampak langsung bagi rumah tangga, UMKM, dan sektor usaha yang mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Namun di tengah pujian, muncul pula nada kritis. Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mempertanyakan klaim efisiensi tinggi dalam pengumpulan pajak yang disampaikan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto mengklaim bahwa kinerja lembaganya hanya kalah dari dua negara maju, yakni Amerika Serikat dan Australia. “Kalau dibandingkan dengan Filipina, India, bahkan China, kita sudah lebih efisien,” ujar Bimo.

Ia menjelaskan bahwa biaya pengumpulan pajak (cost of tax collection) Indonesia kini berada di bawah 1 persen terhadap PDB. Ini dinilai sebagai indikator bahwa DJP bisa menghasilkan penerimaan pajak triliunan rupiah dengan anggaran yang relatif kecil.

Namun Misbakhun mengingatkan bahwa efisiensi bukan berarti pengorbanan nol. “Tidak ada rumus dalam teori ekonomi bahwa hasil optimal bisa dicapai tanpa pengorbanan. Untuk mencapai penerimaan yang optimal, tentu tetap harus ada investasi,” katanya mengkritik klaim sepihak DJP.

Transparansi yang meningkat dan efisiensi yang diklaim pemerintah patut diapresiasi, namun tantangan ke depan adalah bagaimana memastikan bahwa insentif dan kebijakan fiskal benar-benar berdampak positif bagi rakyat dan bukan sekadar angka manis di atas kertas. (alf)

 

Indonesia Lolos dari Tarif 32%, Gantinya Borong Energi dan Jet AS

IKPI, Jakarta: Presiden Amerika Serikat Donald Trump akhirnya mengumumkan penurunan tarif impor terhadap barang-barang asal Indonesia menjadi 19%, jauh lebih rendah dari angka sebelumnya yang ditetapkan sebesar 32%.

Keputusan ini disampaikan Trump sebagai bagian dari kesepakatan dagang bilateral antara kedua negara.

Dalam konferensi pers yang dikutip dari Reuters, Rabu (16/7/2025) Trump menyatakan, “Mereka akan membayar 19% dan kami tidak akan membayar apapun. Kami akan memiliki akses penuh ke Indonesia, dan kami memiliki beberapa kesepakatan yang akan diumumkan.”

Kesepakatan tersebut tidak hanya menandai meredanya tensi dagang yang sempat memanas, tapi juga membuka jalan bagi kerja sama bernilai jumbo. Trump mengungkapkan bahwa Indonesia telah berkomitmen membeli 50 unit pesawat Boeing mayoritas tipe Boeing 777 serta produk energi AS senilai US$15 miliar dan produk pertanian senilai US$4,5 miliar.

“Sebagai bagian dari perjanjian tersebut, Indonesia telah berkomitmen untuk membeli Energi AS senilai US$15 miliar, produk pertanian Amerika senilai US$4,5 miliar, dan 50 Jet Boeing,” ujar Trump dalam keterangannya kepada AFP.

Kabar ini datang setelah Trump sebelumnya menyatakan melalui platform Truth Social miliknya bahwa dirinya telah meneken “Kesepakatan Besar” dengan Presiden RI Prabowo Subianto. Namun saat itu ia belum mengungkapkan rincian kesepakatan. “Saya membuat kesepakatan langsung dengan Presiden mereka yang paling dihormati. DETAILNYA MENYUSUL!!!” tulis Trump dalam unggahannya.

Ketegangan dagang antara AS dan Indonesia sempat memuncak setelah Trump menetapkan kebijakan tarif resiprokal 32% terhadap barang dari Indonesia, berlaku mulai 1 Agustus 2025. Pemerintah Indonesia merespons cepat dengan melakukan rangkaian negosiasi intensif.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan bahwa Indonesia sempat berhasil mendapatkan penundaan penerapan tarif tersebut usai pertemuan dengan US Secretary of Commerce Howard Lutnik dan US Trade Representative Jamieson Greer pada 9 Juli 2025.

“Tambahan 10% untuk anggota BRICS itu tidak ada. Yang kedua, waktunya kita sebut ‘pause’, jadi penundaan penerapan untuk menyelesaikan perundingan yang sudah ada,” ujar Airlangga.

Setelah pertemuan lanjutan di Washington, AS memberikan tenggat waktu tiga minggu kepada Indonesia untuk merampungkan negosiasi. Kesepakatan yang diumumkan Trump kali ini disebut sebagai hasil dari diplomasi intens yang dilakukan dalam jangka waktu tersebut.

Dengan turunnya tarif impor dan masuknya kontrak pembelian besar dari Indonesia, hubungan ekonomi AS-RI memasuki babak baru yang disebut berbagai pihak sebagai “win-win deal” membuka akses pasar yang lebih luas sekaligus memperkuat posisi dagang Indonesia di kancah global. (alf)

 

IKPI Surabaya Bahas Penerapan PPh 22 untuk Pedagang Online dalam ConsulTax 2025

IKPI, Surabaya: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Surabaya menggelar ConsulTax Sesi 2 Tahun 2025 melalui siaran langsung Instagram, dengan topik “Penerapan Mekanisme Pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Terhadap Pedagang Online di Marketplace”.

Talkshow ini diselenggarakan Selasa (15/7/2025) atau sehari setelah terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 yang mengatur penunjukan marketplace sebagai pemungut PPh 22 atas transaksi penjualan produk oleh pedagang pengguna platform.

Wakil Ketua IKPI Cabang Surabaya, Ali Yus Isman, menyampaikan bahwa kebijakan tersebut bukan merupakan jenis pajak baru, melainkan perubahan mekanisme pelunasan kewajiban PPh bagi pelaku usaha orang pribadi maupun badan.

“PPh Pasal 22 ini dapat bersifat final, menggantikan tarif 0,5 persen final, maupun bersifat tidak final yang dapat dikreditkan,” ujarnya Rabu, (16/7/2025).

Ia menambahkan bahwa terdapat pengecualian terkait batasan omzet bagi pelaku usaha orang pribadi, sehingga tidak seluruh pedagang online akan dikenakan secara langsung.

Menurutnya, kebijakan ini juga menjadi instrumen pemerintah untuk memantau sektor ekonomi digital yang belum sepenuhnya terjangkau sistem perpajakan.

Ali menilai penerapan mekanisme PPh 22 ini ditujukan untuk menekan praktik penghindaran pajak, terutama dari pedagang yang memecah akun merchant agar tidak terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).

“Masih ada pandangan keliru di masyarakat bahwa hanya pedagang konvensional yang membayar pajak, sementara pedagang online bebas pajak. Prinsip perpajakan berlaku untuk semua platform, selama menghasilkan keuntungan,” kata Ali.

Ia menjelaskan bahwa pedagang online yang sudah patuh pajak tidak akan terdampak signifikan, namun kebijakan ini akan berdampak pada pelaku usaha yang belum tertib administrasi dan perpajakan.

Sebagai antisipasi, IKPI menyarankan para pelaku usaha untuk segera membenahi administrasi, membentuk badan usaha, menyelenggarakan pembukuan memadai, serta memastikan registrasi usaha di marketplace sudah sesuai.

Dalam diskusi tersebut, panelis juga memprediksi bahwa mekanisme PPh 22 akan diperluas ke sektor lain seperti merchant makanan dan minuman di platform ojek online serta pelaku usaha di marketplace travel seperti penjualan voucher hotel, tiket pesawat, dan jasa penyewaan kendaraan.

Sekadar informasi. IG Live ConsulTax merupakan program rutin Seksi FGD dan Litbang Cabang Surabaya. Host acara ini Diana Herawati dengan tiga narasumber yaitu Ali Yus Isman, Endah Mirasanty, dan Andrean Chris Taneka. (bl)

 

Kesalahan Pengisian Kolom di SSP Atas Pembayaran PPN Untuk Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud /JKP Dari Luar Daerah Pabean

Timbulnya koreksi PPN Masukan yang semula dikreditkan oleh Wajib Pajjak menjadi tidak dapat dikreditkan oleh otoritas pajak terkait kesalahan pengisan kolom di SSP atas pembayaran PPN u/pemanfaatan BKP tdk berwujud dan/atau JKP dr luar daerah pabean.

Dasar Hukum yang dipakai oleh Pemeriksa (Fiskus) dalam melakukan koreksi atas Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan, antara lain :

Pasal 9 ayat (2), ayat (8), Pasal 13 ayat (5), ayat (6), ayat (8), ayat (9), Penjelasan Pasal 13 ayat (6) dan ayat (9); Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah s.t.t.d dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Pasal 1 , Pasal 4, Pasal 5 ayat(2) jo PER 13 PJ-2012; Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-27/PJ/2011 tentang Perubahan Kedua atas PER-10/PJ/2010, kemudian dicabut dengan PER-13 PJ-2019 dan terakhir dicabut dengan PER-16 PJ-2021 tentang Dokumen Tertentu yang Kedudukannya Dipersamakan dengan Faktur Pajak.

Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2); Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Perhitungan, Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean.

Angka 8, angka 9 Surat Edaran Nomor SE -147/PJ/2010 tentang Penjelasan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Perhitungan, Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean.

Berikut ini beberapa kutipan pasal-pasal dari peraturan diatas yang relevan langsung yang mendasari koreksi Fiskus :

Ps 9(8)huruf g UU PPN

“Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untukpemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6)”

Pasal 13 (6) UU PPN

“Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak”

Penjelasan Pasal 13 (6) UU PPN

Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan dokumen yang biasa digunakan dalam dunia usaha yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak. Ketentuan ini diperlukan, antara lain, karena :

faktur penjualan yang digunakan oleh Pengusaha telah dikenal oleh masyarakat luas seperti, kuitansi pembayaran telepon dan tiket pesawat udara.

untuk adanya bukti pungutan pajak harus ada Faktur Pajak, sedangkan pihak yang seharusnya membuat Faktur Pajak, yaitu pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak berada di luar daerah Pabean, misalnya dalam hal pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, Surat Setoran Pajak dapat ditetapkan sebagai -Faktur Pajak dan

terdapat .dokumen tertentu yang digunakan dalam hal impor atau ekspor Barang Kena Pajak Berwujud.

Pasal 6 ayat (2) PMK 40/PMK.03/2010 menyebutkan :

kolom “Nama WP” dan “Alamat WP” diisi nama dan alamat orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Daerah Pabean

kolom “NPWP” diisi dengan angka 0 (nol), kecuali kode Kantor Pelayanan Pajak diisi dengan kode Kantor Pelayanan Pajak dari pihak yang memanfaatkan….

pada kotak “Wajib Pajak/Penyetor” diisi nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak.

Cara pengisian SSP diatas juga dapat ditemukan dalam angka 8 SE-147 PJ-2010

Pasal 1 huruf j PER-67 PJ-2010

“Dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak adalah Surat Setoran Pajak untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak terwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean”

Pasal4 PER 67-PJ-2010

“Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf i dan huruf j dibuat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”

Pasal 5 ayat (2) PER 67 PJ/2010 tentang perubahan PER-10 PJ-2010 menyebutkan :

“Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf i dan huruf j merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sepanjang dokumen tertentu tersebut memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan nama pihak yang melakukan impor Barang Kena Pajak, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dan/atau Barang Kena Pajak tidak berwujud”

Angka No.9 SE-147/PJ/2010

“Dalam hal pengisian Surat Setoran Pajak untuk pembayaran PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean oleh Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 tersebut, maka pembayaran PPN tersebut tidak dapat dikreditkan”

Sering terjadi Wajib Pajak melakukan kesalahan pengisian kolom-kolom yang tertera di SSP , dimana :

pada kolom pemberi jasa seharusnya diisi dengan nama dan alamat pihak yang berkedudukan di Luar Daerah Pabean yang menyerahkan Barang Kena Pahak Tidak Berwujud/Jasa Kena Pajak dan

pada kolom NPWP seharusnya diisi dengan angka 0 dan kode Kantor Pelayanan Pajak pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud/Jasa Kena Pajak ,

kedua kolom tersebut tidak di isi sesuai Pasal 6 ayat (2) PMK No.40/PMK.03/2010 dan angka 8 SE-147/PJ-2010 melainkan semuanya di isi dengan nama, alamat, npwp dari pihak yang memanfaatkan jasa (Wajib Pajak itu sendiri) sehingga oleh Fiskus, jumlah PPN yang sudah disetorkan , tidak dapat dikreditkan.

Keabsahan Pembayaran PPN

Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 dalam Pasal 11 ayat (1), ayat (4) dan ayat (6) pembayaran kepada negara dinyatakan sah dalam hal telah divalidasi dengan NTPN dan diakui sebagai pelunasan kewajibannya.

Wajib Pajak harus dapat membuktikan telah melakukan pembayaran/penyetoran PPN atas Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan Luar Daerah Pabean, dimana pembayaran tersebut telah diterima oleh Negara dengan telah terbitnya NTPN dan sistem MPN Departemen Keuangan.

Koreksi Fiskus Tidak Sesuai Peraturan Perundang-undangan

Ketentuan yang diatur dalam Pasal 13 ayat (5), ayat (6) dan ayat (9) UU PPN tentang dokumen yang dipersamakan dengan faktur pajak hanya dapat dikreditkan apabila:

Diisi secara lengkap, jelas dan benar sesuai dengan persyaratan dalam peraturan (yaitu mencantumkan NPWP dan nama pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean) dan

Berisi keterangan yang sebenamya atau sesungguhnya mengenai penyerahan.

Menurut Penulis sepanjang SSP PPN Jasa Luar Negeri telah memenuhi ketentuan formal dan telah diisi berdasarkan keterangan yang sebesarnya maka Pemeriksa tidak dapat mempermasalahkan mengenai material (substansi) dari pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Jasa Luar Negeri tersebut.

Dasar hukum yang dijadikan alasan yang menyatakan SSP PPN Jasa Luar Negeri tidak dapat dikreditkan adalah tidak tepat baik ditinjau dari sudut hierarki peraturan maupun dari sudut maksud dari peraturannya melainkan mempermasalahkan aspek formalitas.

Masalah formalitas/administratif seharusnya tidak dapat mengalahkan aspek material (substansinya) sehingga apabila Pemeriksa telah mengakui aspek material (substansinya) adalah benar maka seharusnya SSP PPN Jasa Luar Negeri tersebut tetap dapat dikreditkan.

PMK No.40/PMK.03/2010 tidak mengatur akibat hukum/sanksi apabila terdapat kekeliruan pengisian SSP. Kekeliruan tersebut adalah bersifat administratif, sehingga pemeriksa seharusnya tidak dapat mengabaikan substansi bahwa PPN telah disetor dan dilaporkan.

Menurut Penulis pengaturan tentang pengisian kolom di Pasal 6 ayat (2) PMK No.40/2010 ini sifatnya administratif saja yang tujuannya untuk penghimpunan data yang diperlukan dalam rangka pertukaran data dengan negara lain.

Sedangkan koreksi berdasarkan Pasal 9 ayat (8) huruf g UU PPN juga kurang tepat karena hanya mengatur Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan apabila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6), yang menyatakan :

“Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak”.

Dimana Pasal 13 ayat(6) UU PPN hanya mengatur dokumen-dokumennya saja sehingga apabila Wajib Pajak telah memenuhi ketentuan dengan menyetor sesuai dengan dokumen yang diatur dalam Pasal 6 PMK.40 maka ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf g tidak relevan diterapkan karena hanya terdapat kesalahan dalam pengisian kolom.

Kesimpulan :

Tidak terdapat ketentuan di dalam UU PPN yang mengatur tentang keterangan yang harus dicantumkan di dalam dokumen tertentu yang dipersamakan dengan faktur pajak sehingga dapat diperlakukan sama sebagaimana maksud dari ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf f UU PPN jo. Pasal 13 ayat (5) UU PPN.

PMK No.40/PMK.03/2010 tidak dapat diperlakukan sebagai petunjuk teknis pencantuman keterangan di dalam dokumen tertentu yang dipersamakan dengan faktur pajak seperti halnya yang diatur dalam ketentuan Pasal 13 ayat (5) UU PPN karena ketentuan Pasal 13 ayat (6) UU PPN tidak mengatur atribusi wewenang tentang pencantuman keterangan didalam dokuemen tertentu yang dipersamakan dengan faktur pajak.

Kesalahan pengisian kolom di SSP dalam pengisian tidak dapat digolongkan sebagai kesalahan yang mengakibatkan Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan sepanjang Wajib Pajak telah memenuhi ketentuan mengenai dokumen yang dipersamakan dengan faktur pajak dan pajak yang disetor telah sesuai masa pajaknya dan telah terbukti masuk ke kas negara. Jadi tidak terdapat kerugian negara yang diakibatkan kesalahan administratif.

Penulis adalah anggota Departemen Keanggotaan dan Pembinaan IKPI (Bidang Pembinaan Profesi dan Etika)

Eddy Christian, SE., M.Ak., BKP

Email : eddychris1090@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

id_ID