Disparitas Harga Jual: Akar Rendahnya Kepatuhan PPN di Daerah Non-Perkotaan

Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah kewajiban formal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Setiap Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP jika omzetnya telah memenuhi ambang batas tahunan, serta memungut, menyetorkan, dan melaporkan PPN yang terutang melalui SPT Masa PPN. Mereka juga harus menerbitkan faktur pajak untuk setiap transaksi barang atau jasa kena pajak. Namun, di banyak wilayah non-perkotaan, tingkat kepatuhan atas kewajiban ini masih jauh dari ideal.

Masalah ini tidak selalu berpangkal pada sikap pengusaha yang enggan patuh hukum. Sebaliknya, realitas lapangan menunjukkan bahwa faktor ekonomi, terutama disparitas harga jual antara PKP dan Non-PKP, menjadi pemicu utama rendahnya kepatuhan terhadap aturan PPN.

Disparitas Harga dan Strategi Bertahan PKP

Persaingan antara pengusaha PKP dan Non-PKP menciptakan medan usaha yang tidak setara. Ambil contoh produk “ABC”. Ketika PKP membeli barang ini dari supplier, ia dipungut PPN. Maka, ketika menjual kembali, PKP harus membebankan PPN 12% kepada pembelinya. Di sisi lain, pengusaha Non-PKP bisa membeli “ABC” dari pasar gelap tanpa dipungut PPN, dan menjualnya juga tanpa pungutan PPN. Ini menciptakan selisih harga jual yang mencolok di mata konsumen.

Kondisi ini membuat pengusaha PKP berada dalam posisi yang sulit. Demi bertahan, mereka meniru strategi pesaing, melakukan segmentasi pasar. Untuk pasar formal, mereka memungut PPN sesuai aturan.

Namun untuk pasar informal yang jumlahnya tidak sedikit di daerah non-perkotaan transaksi dilakukan tanpa pemungutan PPN, dan bahkan tidak dilaporkan dalam SPT.

Dampak Sistemik Disparitas Harga

Disparitas harga akibat PPN tidak hanya memengaruhi strategi bisnis, tetapi berdampak luas pada perekonomian:
• Kenaikan tarif PPN menaikkan harga barang dan jasa secara menyeluruh. Karena tarif PPN bersifat flat tanpa membedakan daya beli konsumen, maka saat tarif dinaikkan, masyarakat lapisan bawah turut menanggung beban yang sama.
• Kenaikan PPN mendorong inflasi dan menurunkan daya beli. Peningkatan harga secara kolektif akibat kenaikan tarif PPN menurunkan nilai riil uang masyarakat, yang ujungnya bisa menekan laju pertumbuhan ekonomi.
• Perbedaan biaya distribusi memperparah ketimpangan harga. Di daerah terpencil dengan logistik mahal, harga barang sudah tinggi sebelum dikenai PPN. Tambahan PPN hanya membuat harga makin tak terjangkau bagi konsumen lokal.

Studi Kasus: Pedagang Kanvasing di Sumatera Utara

Fenomena ini sangat nyata di lapangan. Di daerah pedalaman Sumatera Utara, banyak pengusaha kanvasing yang menjual ke petani sawit, karet, dan peternak lokal dengan omzet di atas Rp4,8 miliar per tahun. Namun mereka enggan mendaftar sebagai PKP karena khawatir kehilangan pembeli akibat kewajiban memungut PPN.

Jika pun mereka sudah menjadi PKP, strategi yang umum dipakai adalah memisahkan transaksi menjadi dua:
a) penjualan ke perusahaan atau instansi pemerintah dikenai PPN, dan
b) penjualan ke konsumen umum tidak dikenakan PPN dan tidak dilaporkan.
Lebih ironis lagi, strategi ini didukung oleh ketersediaan supplier yang juga menghindari pemungutan PPN. Ini membentuk ekosistem yang justru mendorong penghindaran pajak, bukan kepatuhan.

Ketidakseimbangan Beban dan Minimnya Insentif

Menjadi PKP sebenarnya menambah beban administratif tanpa imbal balik yang sebanding. Kewajiban pelaporan, pembayaran, dan pemungutan PPN ditanggung sendiri oleh PKP. Sementara pengusaha Non-PKP dapat menjual barang dan jasa dengan harga yang lebih rendah tanpa beban tambahan.

Tanpa insentif finansial atau akses khusus yang membuat status PKP menarik, banyak pengusaha lebih memilih tetap berada di luar sistem perpajakan formal.

Solusi: Mengedepankan Pendekatan Budaya dan Insentif

Jika pemerintah ingin meningkatkan kepatuhan PPN di daerah, terutama non-perkotaan, maka strategi yang hanya berorientasi pada penegakan hukum tidak akan cukup. Berikut adalah pendekatan solutif yang lebih kontekstual:
• Pemberian Insentif Finansial. Akses permodalan dengan bunga rendah atau subsidi khusus bagi PKP dapat mendorong mereka untuk masuk dan bertahan dalam sistem perpajakan formal.
• Edukasi Pajak Intensif. Literasi perpajakan di kalangan pengusaha kecil-menengah di daerah masih rendah. Program edukasi terpadu perlu digencarkan agar mereka memahami manfaat jangka panjang menjadi PKP.
• Adaptasi Kebijakan Pajak. Regulasi pajak sebaiknya menyesuaikan dengan kondisi geografis, ekonomi, dan sosial daerah tertentu agar lebih bisa diterima secara sukarela.
• Membangun Ekosistem Kolaboratif. Pemerintah pusat dan daerah, lembaga pembiayaan, serta instansi perdagangan perlu bersinergi. Contohnya, pengusaha yang sudah terdaftar sebagai PKP dapat diberi prioritas dalam akses ke pembiayaan dan program distribusi produk.

Kesimpulan

Rendahnya kepatuhan PPN di daerah non-perkotaan bukanlah semata soal pelanggaran hukum, melainkan refleksi dari ketimpangan struktur pasar dan kurangnya insentif bagi pelaku usaha. Jika negara ingin meningkatkan tax ratio secara berkelanjutan, maka perbaikan sistem perpajakan harus menyentuh akar permasalahan: ekonomi mikro daerah.
Dengan pendekatan yang inklusif, insentif yang konkret, dan kebijakan yang adaptif, maka kepatuhan PPN bisa ditingkatkan secara alami tanpa perlu mengandalkan ancaman atau paksaan semata.

Penulis adalah anggota IKPI Cabang Kota Bekasi

Dr. Subur Harahap, SE, Ak, MM, CA, CMA, CFP, CPA, BKP, FPM, MT.BNSP

Email: www.suhaconsulting.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Celios Usulkan PPN Turun Jadi 9%, Klaim Bisa Dongkrak Ekonomi Nasional

IKPI, Jakarta: Lembaga riset ekonomi Center of Economics and Law Studies (Celios) mendorong pemerintah untuk memangkas tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 9% mulai Juni 2025. Usulan ini diyakini bisa memacu pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan konsumsi masyarakat.

Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menyatakan bahwa penurunan tarif PPN akan membuat harga barang dan jasa lebih terjangkau sehingga mendorong masyarakat untuk lebih banyak berbelanja. “Dengan PPN 9%, daya beli meningkat, konsumsi ikut terkerek, dan itu berkontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi,” kata Bhima di Jakarta, Selasa (3/6/2025).

Ia juga menekankan bahwa meski tarif pajak turun, pendapatan negara tidak otomatis merosot. Sebaliknya, menurut Bhima, potensi penerimaan bisa tetap positif karena akan tergantikan oleh meningkatnya penerimaan dari pajak penghasilan (PPh) seperti PPh badan dan PPh 21.

Lebih lanjut, Bhima menyebut sektor industri pengolahan terutama yang fokus pada pasar domestik akan menjadi salah satu pihak yang paling diuntungkan dari pemangkasan tarif ini. Ia mengingatkan bahwa sekitar seperempat penerimaan pajak berasal dari sektor tersebut.

“Beberapa negara telah lebih dulu menurunkan tarif PPN sebagai strategi dorong konsumsi, seperti Vietnam yang menurunkan PPN dua persen hingga 2026. Jerman dan Irlandia juga menerapkan hal serupa pascapandemi,” tambahnya.

Tak hanya soal PPN, Celios juga menyoroti pentingnya menaikkan ambang batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk meningkatkan penghasilan riil masyarakat. Menurut Bhima, saat ini PTKP sebesar Rp4,5 juta per bulan sudah tidak relevan, dan idealnya dinaikkan menjadi Rp7–8 juta per bulan agar kelas menengah bisa ikut terdorong daya belinya.

Bhima menilai paket stimulus ekonomi yang baru saja diluncurkan pemerintah yang mencakup diskon transportasi dan bantuan sosial senilai Rp24,44 triliun masih belum cukup untuk menggerakkan konsumsi secara luas, apalagi tanpa insentif fiskal seperti pemangkasan tarif listrik dan relaksasi pajak.

“Gejala pelemahan ekonomi sudah tampak dari deflasi Mei 2025, terutama pada kelompok makanan dan peralatan rumah tangga. Ini bukan sekadar efek pasca-Lebaran, tapi sinyal melemahnya permintaan,” ujarnya.

Menurut Bhima, jika tidak ada langkah cepat dan komprehensif, risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di semester kedua 2025 bisa meningkat. Oleh karena itu, Celios mendesak agar insentif perpajakan seperti penurunan tarif PPN dan perluasan PTKP segera dijadikan bagian dari kebijakan fiskal nasional. (alf)

 

Pemerintah Gelontorkan Rp 430 Miliar untuk Subsidi Tiket Pesawat Ekonomi

IKPI, Jakarta: Pemerintah kembali menggulirkan stimulus fiskal guna mendongkrak sektor transportasi udara dan menjaga daya beli masyarakat. Kali ini, anggaran sebesar Rp 430 miliar disiapkan untuk menanggung Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 6% bagi tiket pesawat kelas ekonomi.

Kebijakan insentif ini merupakan kelanjutan dari program serupa yang pernah diterapkan selama periode mudik Lebaran. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, insentif PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) ini diharapkan mampu menekan harga tiket dan meningkatkan mobilitas masyarakat.

“Diskon tiket pesawat yang kita berikan saat Lebaran lalu akan kita terapkan kembali. Kali ini, PPN sebesar 6% untuk tiket pesawat ekonomi akan ditanggung oleh pemerintah,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers pada Senin (2/6/2025).

Menurut Sri Mulyani, dana tersebut ditargetkan dapat memberikan manfaat bagi sekitar enam juta penumpang. Dengan adanya subsidi ini, masyarakat diharapkan dapat merasakan penurunan harga tiket tanpa membebani maskapai penerbangan.

“Kami berharap kebijakan ini bisa membuat harga tiket lebih terjangkau dan mendorong peningkatan jumlah penumpang,” jelasnya.

Langkah ini menjadi bagian dari strategi pemerintah untuk mempercepat pemulihan sektor transportasi dan pariwisata, dua bidang yang sempat terpukul akibat pandemi dan tekanan ekonomi global.

Program PPN DTP untuk tiket pesawat ini akan berlaku untuk rute domestik dan hanya berlaku untuk kelas ekonomi, sehingga menjangkau masyarakat yang paling membutuhkan dukungan harga. (alf)

 

PER-11/PJ/2025 Perluasan Kewajiban Pemotongan PPh

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi memperluas cakupan wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang dikenai kewajiban pemotongan Pajak Penghasilan (PPh). Kebijakan ini dituangkan dalam PER-11/PJ/2025, yang mulai berlaku menggantikan ketentuan lama.

Mengacu pada Pasal 16 ayat (2) peraturan tersebut, dua kelompok orang pribadi kini ditetapkan sebagai pemotong PPh, yaitu:

• Orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas, dan

• Orang pribadi yang menjalankan kegiatan usaha.

Namun, ketentuan ini hanya berlaku bagi mereka yang telah menyelenggarakan pembukuan. Dengan kata lain, kewajiban pemotongan tidak berlaku bagi pelaku usaha atau profesional yang masih menggunakan pencatatan sederhana.

Terdapat dua jenis pajak yang wajib dipotong:

• PPh Pasal 23 atas sewa selain tanah dan/atau bangunan, dengan tarif 2% dari jumlah bruto.

• PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas sewa tanah dan/atau bangunan, dikenakan tarif 10% dari jumlah bruto dan bersifat final.

Setiap pemotongan PPh tersebut harus dibuktikan dengan penerbitan Bukti Potong Unifikasi, sebagai dokumen formal pelaporan.

Dengan berlakunya PER-11/2025, maka dua ketentuan sebelumnya KEP-50/PJ/1994 dan KEP-50/PJ/1996 resmi dicabut. Sebelumnya, subjek pemotong PPh terbatas pada profesi tertentu, seperti akuntan, dokter, notaris, dan pengusaha dengan pembukuan. Kini, cakupannya mencakup lebih banyak pelaku ekonomi perorangan.

Aturan ini menjadi sinyal bahwa DJP tengah memperluas basis pemungutan PPh secara sistematis, termasuk dari sektor-sektor informal yang telah memiliki kapasitas administrasi memadai. (alf)

 

 

Layanan “Kemenkeu Satu” Hadir di Bandara Kualanamu, Gabungkan Pajak dan Bea Cukai dalam Satu Loket

IKPI, Jakarta: Inovasi layanan publik kembali diwujudkan oleh Kementerian Keuangan melalui peluncuran loket “Kemenkeu Satu” di Bandara Internasional Kualanamu, Kabupaten Deli Serdang. Layanan ini menjadi terobosan baru karena mengintegrasikan berbagai pelayanan fiskal dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dalam satu titik layanan terpadu di kawasan bandara.

 

Kepala Kantor Wilayah DJP Sumatera Utara I, Arridel Mindra, menjelaskan bahwa keberadaan loket ini bertujuan memperluas akses masyarakat terhadap informasi dan layanan perpajakan serta kepabeanan. “Loket ini bukan sekadar tempat mengurus tax refund atau pelaporan barang bawaan, tetapi juga menjadi pusat edukasi fiskal bagi penumpang yang belum familiar dengan kewajiban perpajakan lintas negara,” ujarnya, Selasa (3/6/2025).

 

Selain memberikan kemudahan bagi wisatawan asing untuk mengklaim pengembalian pajak (VAT refund), layanan ini juga mencakup pelaporan barang bernilai tinggi seperti perhiasan, pelaporan re-impor barang, hingga deklarasi uang tunai dalam jumlah besar. Di sisi kepabeanan, loket ini juga melayani pelaporan ekspor barang yang dikenai bea keluar, termasuk komoditas strategis seperti sawit, kayu, nikel, dan logam lainnya.

 

Arridel menambahkan, kehadiran layanan ini merupakan hasil kolaborasi antara KPP Pratama Lubuk Pakam, KPPBC TMP B Kualanamu, dan pengelola bandara. “Kolaborasi ini menekan biaya operasional sekaligus memperkuat citra pelayanan fiskal yang modern dan terintegrasi. Penumpang juga dimudahkan dengan informasi digital lewat banner elektronik yang tersedia di area bandara,” tuturnya.

 

Menariknya, layanan ini menjadi yang pertama di Indonesia yang menyatukan pelayanan DJP dan DJBC secara fisik di lokasi bandara internasional. Hal ini menunjukkan arah baru reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan yang tidak hanya menekankan pada penerimaan negara, tetapi juga pada kemudahan akses layanan publik.

 

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara telah meresmikan layanan “Kemenkeu Satu” ini pada Minggu (1/6/2025). Dalam sambutannya, ia menekankan pentingnya kolaborasi antarlembaga dalam menghadirkan layanan yang efisien dan menyentuh langsung kebutuhan masyarakat.

 

“Ini bukti bahwa reformasi birokrasi di Kemenkeu juga berfokus pada pelayanan yang mudah dijangkau dan relevan bagi publik,” ujarnya.

Dengan hadirnya layanan “Kemenkeu Satu”, Bandara Kualanamu kini tidak hanya menjadi gerbang internasional Sumatera Utara, tetapi juga contoh nyata integrasi layanan fiskal yang progresif dan berpihak pada masyarakat. (alf)

 

 

DJP Terbitkan SE Terkait Pemberlakuan MLI atas P3B Indonesia–Armenia

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi menerbitkan Surat Edaran No. SE-03/PJ/2025 sebagai pemberitahuan mengenai berlakunya Multilateral Convention to Implement Tax Treaty Related Measures to Prevent Base Erosion and Profit Shifting (MLI) atas Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dan Armenia. Surat edaran tersebut mengatur mengenai waktu mulai berlaku (entry into force), waktu efektif penerapan (entry into effect), serta ketentuan pokok yang diubah melalui MLI terhadap P3B kedua negara.

“Surat Edaran ini dimaksudkan untuk memastikan implementasi ketentuan dalam konvensi atas P3B Indonesia–Armenia dapat dilakukan secara tertib dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” tulis SE-03/PJ/2025, tersebut dikutip Selasa (3/6/2025).

Artinya, berdasarkan edaran tersebut, MLI mulai berlaku untuk Indonesia sejak 1 Agustus 2020 dan untuk Armenia sejak 1 Januari 2024. Adapun efektivitas MLI terhadap pajak yang bersifat withholding di negara sumber atas pembayaran ke subjek pajak luar negeri (SPLN) berlaku sejak 1 Januari 2025 untuk kedua negara.

Sementara itu, pengaturan MLI yang menyangkut jenis pajak lainnya mulai berlaku efektif di Indonesia pada 1 Januari 2026, dan di Armenia pada 28 Mei 2025.

Selain menjelaskan waktu pemberlakuan, SE-03/PJ/2025 juga memuat pokok-pokok ketentuan dalam P3B yang dimodifikasi melalui MLI, serta melampirkan naskah sintesis dalam bahasa Inggris. Naskah tersebut bertujuan membantu pihak-pihak terkait memahami dampak penerapan konvensi terhadap isi perjanjian bilateral.

Sebagai konteks, MLI adalah instrumen internasional yang memungkinkan negara-negara menyesuaikan perjanjian pajaknya secara simultan tanpa harus melakukan negosiasi bilateral secara terpisah. Dengan MLI, proses revisi perjanjian pajak menjadi lebih efisien dalam mencegah penghindaran pajak dan mengurangi potensi pajak berganda.

Indonesia sendiri telah meratifikasi MLI sejak 2019 melalui Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2019, di mana sejumlah P3B termasuk perjanjian dengan Armenia ditetapkan sebagai Covered Tax Agreement (CTA) yang dapat dimodifikasi melalui MLI.

Langkah DJP ini sekaligus menunjukkan komitmen Indonesia dalam memperkuat sistem perpajakan internasional yang lebih adil, transparan, dan modern. (alf)

 

Trump Terjepit Dua Putusan, Kebijakan Tarif Disebut Langgar Hukum

IKPI, Jakarta: Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump tengah menghadapi tekanan hukum serius setelah dua pengadilan federal menyatakan bahwa kebijakan tarif impornya melanggar batas kewenangan presiden. Pemerintah kini meminta Pengadilan Banding AS untuk menangguhkan putusan tersebut, dengan alasan potensi kerugian terhadap negosiasi dagang yang sedang berlangsung.

Putusan pertama, yang keluar dari Pengadilan Perdagangan Internasional di Manhattan pada 28 Mei, menyatakan bahwa tarif impor yang diberlakukan Trump tidak sah secara hukum. Sehari kemudian, Hakim Distrik AS Rudolph Contreras di Washington, D.C. menjatuhkan putusan serupa, menilai bahwa kebijakan tersebut tidak dapat dibenarkan berdasarkan Undang-Undang Kekuatan Ekonomi Darurat Internasional (IEEPA).

Kebijakan tarif ini sebelumnya digunakan Trump sebagai respons terhadap dugaan keterlibatan negara-negara seperti China, Meksiko, dan Kanada dalam memfasilitasi masuknya fentanil ke AS, tuduhan yang telah dibantah keras oleh ketiga negara tersebut.

Meskipun putusan Contreras hanya menghentikan pungutan tarif terhadap dua penggugat, yaitu produsen mainan edukatif Learning Resources Inc. dan hand2mind, isi putusannya berdampak luas. Hakim menegaskan bahwa IEEPA sama sekali tidak memberikan wewenang kepada presiden untuk memberlakukan tarif sebuah pernyataan yang mengguncang pondasi hukum kebijakan dagang Trump.

Departemen Kehakiman dikutip dari Reuters, Selasa (3/4/2025) dalam mosi daruratnya memperingatkan bahwa putusan ini melemahkan kemampuan Presiden Trump untuk menggunakan tarif sebagai alat tawar-menawar dalam perundingan dagang global.

Pemerintahan Trump sebelumnya telah mengantongi jeda sementara terhadap putusan pengadilan pertama, yang memungkinkan tarif tetap diberlakukan selama proses banding berlangsung.

Empat pejabat tinggi termasuk Menteri Luar Negeri Marco Rubio dan Perwakilan Dagang Jamieson Lee Greer telah menyerahkan pernyataan tertulis kepada hakim sebelum keputusan dijatuhkan. Mereka menyatakan bahwa pencabutan tarif dapat membahayakan keamanan nasional dan menurunkan daya tawar AS dalam puluhan negosiasi perdagangan yang sedang berlangsung.

Sementara itu, pihak penggugat menyatakan akan terus melawan segala upaya pemerintah untuk membatalkan keputusan pengadilan. Mereka menegaskan bahwa kebijakan tarif Trump tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga menyulitkan pelaku usaha kecil yang tak punya sumber daya untuk menanggung lonjakan biaya impor.

Dengan banding yang kini berada di tangan Pengadilan Banding Sirkuit D.C., arah masa depan kebijakan dagang Trump dipertaruhkan. Hasil putusan dapat menjadi penentu apakah tarif masih bisa digunakan sebagai instrumen kekuasaan presiden atau justru dibatasi secara hukum untuk pertama kalinya dalam sejarah modern AS. (alf)

 

Tarif Bunga Sanksi dan Imbalan Pajak Juni 2025 Ada Penurunan Tipis, Ini Aturannya!

IKPI, Jakarta: Pemerintah kembali menetapkan tarif bunga bulanan sebagai dasar penghitungan sanksi administratif dan pemberian imbalan bunga perpajakan untuk periode 1—30 Juni 2025. Penetapan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 1/MK/EF/2025 yang ditandatangani oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Febrio Nathan Kacaribu.

Regulasi ini merupakan tindak lanjut dari KMK Nomor 488/KMK.010/2021 sebagaimana telah diubah terakhir dengan KMK Nomor 169 Tahun 2025. Dalam beleid tersebut ditegaskan bahwa tarif bunga berlaku penuh selama satu bulan dan menjadi dasar perhitungan sanksi maupun imbalan dalam proses administrasi perpajakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Dalam ketentuan terbaru, pemerintah melakukan penyesuaian ringan terhadap tarif bunga sanksi administratif. Salah satu contohnya adalah pada permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (Pasal 19 ayat 1–3 UU KUP), di mana tarif imbalan bunga ditetapkan sebesar 0,57 persen per bulan, turun tipis dari 0,58 persen di bulan Mei.

Penyesuaian juga terjadi pada pelanggaran terkait pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT atau pembetulan oleh Wajib Pajak (Pasal 8 ayat 2 dan 2a, serta Pasal 9 ayat 2a dan 2b), yang kini dikenakan bunga 0,99 persen per bulan, dibanding 1,00 persen pada bulan sebelumnya.

Berikut rincian tarif bunga sanksi lainnya untuk Juni 2025:

• Pasal 8 ayat (5) (pengungkapan sukarela setelah pemeriksaan): 1,41% (sebelumnya 1,42%)

• Pasal 13 ayat (2) dan (2a) (penerbitan SKP): 1,82% (turun dari 1,83%)

• Pasal 13 ayat (3b) (hasil pemeriksaan ulang): 2,24% (sedikit turun dari 2,25%)

Meski penurunannya relatif kecil, tren ini mencerminkan adanya stabilisasi dalam kebijakan fiskal serta kondisi pasar bunga yang lebih terkendali.

Imbalan Bunga Pajak Tetap di Angka 0,57 Persen

Sementara itu, tarif imbalan bunga untuk Wajib Pajak juga ditetapkan sebesar 0,57 persen per bulan. Tarif ini berlaku apabila terjadi keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak oleh otoritas pajak, serta dalam kasus tertentu yang diatur dalam UU KUP.

Berikut skema imbalan bunga sesuai ketentuan:

• Pasal 11 ayat (3): Imbalan diberikan bila DJP terlambat mengembalikan kelebihan bayar pajak lebih dari satu bulan.

• Pasal 17B ayat (3): Berlaku untuk keterlambatan penerbitan SKPLB.

• Pasal 17B ayat (4): Diberikan jika proses hukum atas dugaan tindak pidana pajak tidak berlanjut ke penuntutan.

• Pasal 27B ayat (4): Imbalan diberikan setelah Wajib Pajak memenangkan upaya hukum berupa keberatan, banding, atau peninjauan kembali.

Penetapan tarif bunga ini menjadi instrumen fiskal penting yang tidak hanya memberi kepastian hukum, tetapi juga mendorong kepatuhan pajak secara adil dan transparan. (alf)

 

Pemerintah Batalkan Diskon Listrik 50%, Fokus Tambah Bantuan Langsung dan Subsidi Transportasi

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi membatalkan rencana pemberian potongan tarif listrik sebesar 50% untuk periode Juni dan Juli 2025. Keputusan tersebut disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati usai rapat tingkat menteri yang digelar di Istana Kepresidenan Jakarta.

“Program diskon tarif listrik tak dapat dilaksanakan karena proses penganggarannya tidak bisa dikejar tepat waktu,” ujar Sri Mulyani, Senin (2/6/2025).

Ia menambahkan, meski program ini urung dijalankan, pemerintah tetap berkomitmen memberikan bantuan langsung kepada masyarakat dalam bentuk stimulus ekonomi lainnya.

Sebelumnya, diskon tarif listrik sempat masuk dalam daftar enam program bantuan yang disiapkan pemerintah. Namun sebagai pengganti, pemerintah memutuskan untuk memperbesar skema Bantuan Subsidi Upah (BSU). Semula dirancang sebesar Rp150 ribu per bulan, BSU dinaikkan menjadi Rp300 ribu per bulan dan akan diberikan selama dua bulan kepada 17,3 juta pekerja serta 565 ribu guru honorer.

“Total bantuannya mencapai Rp600 ribu per orang,” jelas Sri Mulyani.

Dalam paket stimulus ekonomi terbaru, pemerintah juga memperluas bantuan di sektor transportasi. Beberapa insentif yang diberikan meliputi:

  1. Diskon tiket kereta api sebesar 30%
  2. Diskon tiket pesawat melalui kebijakan PPN ditanggung pemerintah sebesar 6%
  3. Potongan harga tiket kapal laut sebesar 50%

Seluruh program subsidi transportasi tersebut berlaku selama Juni dan Juli 2025 dengan total anggaran mencapai Rp940 miliar.

Tidak hanya itu, pemerintah turut memberikan diskon tarif tol sebesar 20% yang ditujukan kepada sekitar 110 juta pengendara. Program ini tidak menggunakan dana APBN, melainkan dikelola melalui kerja sama dengan Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) berdasarkan surat edaran dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Estimasi anggaran untuk kebijakan ini mencapai Rp650 miliar.

Penebalan bantuan sosial juga masuk dalam skema stimulus. Pemerintah akan menyalurkan tambahan Rp200 ribu per bulan selama dua bulan bagi 18,3 juta penerima Kartu Sembako. Selain bantuan tunai, setiap penerima juga akan mendapat 10 kilogram beras per bulan, atau total 20 kilogram selama masa program.

Terakhir, dalam upaya melindungi pekerja di sektor padat karya, pemerintah memberikan diskon iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) sebesar 50%. Program ini menyasar 2,7 juta pekerja dan berlaku selama enam bulan, lebih panjang dibandingkan empat stimulus lainnya yang hanya berlangsung dua bulan.

Dengan berbagai program ini, pemerintah berharap daya beli masyarakat tetap terjaga di tengah dinamika ekonomi nasional dan global. (alf)

 

 

 

 

 

Wakil Ketua Pengda: Pengurus Baru IKPI Bitung Diharapkan Jadi Motor Pengembangan di Indonesia Timur

IKPI, Bitung: Pelantikan pengurus baru Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Bitung yang digelar pada Jumat, 30 Mei 2025, di Gedung IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan menjadi momen penting bagi kemajuan organisasi di kawasan timur Indonesia.

Hadir mewakili Ketua Pengurus Daerah Sulawesi, Maluku, dan Papua, Wakil Ketua Yuli Rawun menyampaikan harapan besarnya kepada pengurus yang baru saja dilantik. Ia menekankan bahwa kehadiran kepengurusan baru ini tidak hanya penting bagi internal organisasi, tetapi juga diharapkan mampu menjadi motor penggerak terbentuknya cabang-cabang baru di wilayah timur Indonesia.

“Saya berharap pengurus IKPI Cabang Bitung yang baru bisa menjadi pelopor terbentuknya Cabang Palu dan Cabang Sorong. Kedua wilayah ini sudah memiliki lebih dari enam anggota, dan kini butuh dorongan kepemimpinan serta koordinasi untuk berkembang menjadi cabang resmi,” ujar Yuli Rawun, Selasa (3/6/2025).

Ia juga menyoroti bahwa dengan terbentuknya Cabang Bitung, Pengda Sulawesi, Maluku, dan Papua kini mengemban tanggung jawab besar untuk segera menetapkan batas wilayah organisasi yang jelas.

Hal ini penting mengingat IKPI Cabang Bitung sebelumnya berada di bawah naungan IKPI Cabang Manado, yang wilayahnya mencakup Sulawesi Utara, Tengah, Gorontalo, dan Maluku Utara (Suluttenggomalut), serupa dengan cakupan wilayah Kanwil DJP Suluttenggomalut.

“Dengan Bitung berdiri sendiri sebagai cabang, maka Pengda perlu segera menyusun batas wilayah yang tegas antara Manado dan Bitung agar tidak terjadi ambiguitas dalam pelayanan dan keanggotaan,” tegas Yuli.

Menurutnya, langkah ekspansi ini sangat penting untuk memperluas jangkauan peran IKPI sebagai organisasi konsultan pajak tertua dan terbesar di Indonesia. “Sudah saatnya IKPI dikenal luas, tidak hanya di Jakarta dan Jawa, tetapi juga sampai ke Sulawesi, Maluku, dan Papua,” tegasnya.

Yuli juga menyatakan bahwa dengan semakin meratanya keberadaan IKPI di berbagai wilayah, maka kepatuhan Wajib Pajak akan lebih mudah diwujudkan. “Pengurus baru Bitung harus aktif mengedukasi masyarakat dan membantu mensosialisasikan aturan perpajakan, agar peran konsultan pajak benar-benar terasa hingga ke pelosok negeri,” katanya.

Acara pelantikan ini dihadiri oleh Ketua Umum Vaudy Starworld dan jajaran pengurus pusat, Dewan Penasehat dan Anggota Dewan Kehormatan IKPI. “Semoga ini menjadi titik awal semangat baru untuk mendorong pertumbuhan organisasi yang lebih merata dan inklusif di seluruh Indonesia,” ujar Yuli. (bl)

id_ID