Bernard Arnault Lawan Wacana Pajak Kekayaan di Prancis

IKPI, Jakarta: Orang terkaya di Eropa sekaligus bos LVMH, Bernard Arnault, menegaskan penolakannya terhadap wacana pajak kekayaan yang tengah mengemuka di Prancis. Arnault bahkan menyerang langsung ekonom Gabriel Zucman, pengusul kebijakan tersebut, dengan menyebutnya sebagai “aktivis kiri jauh” yang membawa agenda ideologis berbahaya.

“Dia menggunakan pseudo-keahlian akademiknya yang bahkan masih jadi bahan perdebatan untuk menyebarkan ideologi yang ingin menghancurkan ekonomi liberal, satu-satunya sistem yang terbukti bekerja untuk kebaikan semua orang,” kata Arnault dalam wawancara dengan Sunday Times yang dikutip Bloomberg, Minggu (21/9/2025).

Pernyataan pedas itu dilontarkan saat pemerintahan Presiden Emmanuel Macron masih berjibaku menekan defisit fiskal. Parlemen yang terbelah tanpa mayoritas absolut membuat negosiasi anggaran kian rumit. Di tengah situasi tersebut, Fraksi Sosialis mendorong penerapan pajak kekayaan sebesar 2% atas harta lebih dari 100 juta euro atau sekitar Rp1,95 triliun.

Menurut perhitungan Zucman, kebijakan ini bisa menyasar sekitar 1.800 rumah tangga super kaya di Prancis dan berpotensi menambah penerimaan negara hingga 15 miliar euro (sekitar Rp292,5 triliun) per tahun. Ia beralasan banyak miliarder membayar pajak penghasilan minim karena sebagian besar pemasukan mereka berupa dividen yang dialirkan lewat perusahaan holding. Arnault disebut secara eksplisit sebagai contoh.

Arnault membantah keras tuduhan itu. Ia menegaskan dirinya termasuk salah satu pembayar pajak terbesar di Prancis dan menolak anggapan tidak berkontribusi bagi negara. Namun Zucman tak tinggal diam. Melalui platform X, ia menyebut retorika Arnault karikatural dan berbahaya.

“Ucapan semacam ini, tak jauh beda dari Trump atau Musk, seharusnya membuat kita khawatir,” tegasnya.

Pertarungan wacana ini kian menyedot perhatian publik karena menyangkut figur kelas dunia. Berdasarkan Bloomberg Billionaires Index, kekayaan Arnault ditaksir mencapai US$169 miliar atau sekitar Rp2.801,76 triliun (kurs JISDOR 19 September 2025: Rp16.578 per dolar AS), menjadikannya sosok paling kaya di Eropa. (alf)

 

 

Stop Tax Amnesty! Purbaya Ingatkan Risiko Besar bagi Kepatuhan Pajak

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan sikapnya menolak rencana penggelaran tax amnesty jilid III. Menurutnya, program pengampunan pajak yang digelar berulang kali justru berisiko menurunkan kepatuhan wajib pajak dan merugikan perekonomian Indonesia.

“Kalau tax amnesty terus diulang-ulang, kira-kira pesan yang diterima masyarakat adalah ‘boleh nyelundupin duit, nanti ada amnesty lagi’. Tiga tahun lagi buat tax amnesty, semua orang bakal menunda kewajiban pajak dulu, baru menunggu amnesty berikutnya,” ujar Purbaya di kantornya, Jakarta, akhir pekan lalu.

Program tax amnesty sebelumnya telah digelar dua kali, yakni pada 2016 di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan kembali pada 2022. Purbaya menekankan, pengampunan pajak yang digelar berulang kali akan mengurangi kredibilitas program dan memberi sinyal negatif bagi para wajib pajak.

“Kalau amnesty berkali-kali, bagaimana kredibilitasnya? Ini memberikan sinyal bahwa melanggar pajak bisa ditoleransi karena nanti akan ada amnesty lagi,” tambahnya.

Alih-alih menggelar tax amnesty jilid III, Purbaya menekankan pemerintah sebaiknya memperkuat pengawasan dan mendorong kepatuhan melalui kemudahan administrasi. Ia menilai optimalisasi peraturan yang ada jauh lebih efektif untuk meminimalkan penggelapan pajak.

“Harusnya cukup dengan peraturan yang ada. Fokus kita adalah majukan ekonomi, stabilkan tax ratio, sehingga pendapatan pajak bisa tumbuh secara alami. Itu lebih berkelanjutan,” tegas Purbaya.

RUU Tax Amnesty sempat masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2025 yang diajukan Komisi XI DPR, namun belum dibahas karena fokus pada RUU PPSK. Meski demikian, RUU tersebut kembali muncul dalam longlist Prolegnas 2025–2029, menempati posisi nomor 64.

Purbaya menegaskan, pengampunan pajak berulang hanya memberi peluang bagi wajib pajak untuk menunda kewajiban. “Satu, dua, nanti tiga, empat… semuanya bakal berpikir: ‘kibulin aja pajaknya, nanti tunggu tax amnesty berikutnya.’ Ini yang tidak boleh terjadi,” pungkasnya. (alf)

 

Pajak Karbon Bisa Jadi Motor Pertumbuhan Ekonomi dan Inovasi Hijau Indonesia

IKPI, Depok: Indonesia memasuki era baru kebijakan fiskal hijau. Prof. Gunadi, Dosen Ilmu Administrasi Kebijakan Pajak dan Pajak Internasional, menegaskan bahwa pajak karbon bukan hanya alat pengumpulan penerimaan negara, tetapi juga instrumen strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, investasi, dan inovasi industri hijau. Hal ini disampaikan dalam Seminar Nasional Perpajakan bertema “Advancing Carbon Tax Policy in Indonesia: Developments and Future Directions”, yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI), Depok, baru-baru ini.

Dalam paparannya, Prof. Gunadi menjelaskan bahwa Indonesia saat ini berada dalam fase transisi ekonomi, dengan produk domestik bruto (PDB) per kapita yang masih terbatas. Kondisi ini menempatkan negara dalam kategori middle-income dengan potensi pajak yang relatif terbatas dan dominasi sektor informal atau underground economy. Stagnasi tax ratio di kisaran 10–12% menunjukkan kesulitan pemerintah untuk memobilisasi potensi pajak, terutama dari sektor-sektor yang sulit dikenai pajak (hard-to-tax sectors).

Namun, menurut Prof. Gunadi, pajak dapat difungsikan lebih dari sekadar instrumen penerimaan. Dengan pendekatan yang tepat, pajak berperan sebagai stabilisator ekonomi dan stimulus investasi. “Pajak tidak hanya dipungut, tetapi juga bisa digunakan untuk mendorong pembangunan ekonomi, meningkatkan pendapatan per kapita, dan memperkuat basis sosial masyarakat agar kepatuhan pajak meningkat,” ujarnya.

Dikatakannya, Pasal 13 ayat (9) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) telah mengatur pajak karbon, namun implementasinya masih menunggu kesiapan regulasi turunan. Pajak ini direncanakan diterapkan secara bertahap mulai 2025, dengan skema yang meliputi cap and trade, cap and tax, serta sertifikat izin emisi (SIE) dan sertifikat penurunan emisi (SPI). Skema tersebut memberi insentif bagi perusahaan untuk mengurangi emisi dan mengadopsi teknologi hijau, sementara perusahaan yang melebihi batas emisi diwajibkan membayar pajak sesuai ketentuan.

Prof. Gunadi menekankan, pajak karbon akan mendorong adopsi teknologi hijau di industri padat karbon, seperti industri semen dan energi, dan memacu inovasi pada sektor energi terbarukan, termasuk panel surya dan solusi rendah karbon lainnya. “Perusahaan harus memilih antara membayar pajak lebih tinggi atau berinvestasi pada teknologi ramah lingkungan. Pilihan ini pada akhirnya akan menekan emisi sekaligus memperkuat daya saing industri,” jelasnya.

Dari sisi ekonomi makro, implementasi pajak karbon diprediksi akan meningkatkan tax ratio hingga 16% atau lebih, sekaligus memobilisasi dana untuk hilirisasi industri dan investasi produktif. Prof. Gunadi menyebutkan, jika kebijakan ini berjalan efektif, pertumbuhan ekonomi nasional berpotensi mencapai 6,5–7%, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pakar pajak ini juga menekankan pentingnya pengawasan dan kerjasama lintas kementerian, serta sosialisasi intensif untuk menjamin pelaksanaan pajak karbon berjalan adil dan efektif. “Pajak karbon bukan sekadar instrumen fiskal, tetapi peluang strategis bagi Indonesia untuk menjadi negara maju dengan ekonomi hijau yang berkelanjutan,” katanya. (bl)

 

Perusahaan Rugi Diintip, PP 55/2022 Jadi Kunci Hindari Rekayasa Pajak

Jakarta, IKPI: Perusahaan yang terus mencatat kerugian kini berada di bawah pengawasan pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022. Mekanisme ini bertujuan menutup celah penghindaran pajak, terutama praktik rekayasa laba, namun penerapannya tetap harus adil agar perusahaan yang benar-benar menghadapi tekanan bisnis tidak terpuruk.

Menurut Denny Vissaro, Manager DDTC Fiscal Research & Advisory, aturan ini tercantum dalam Pasal 41 PP 55/2022, yang menyebutkan bahwa perusahaan yang mencatat kerugian tiga tahun dari lima tahun terakhir akan dibandingkan kinerjanya dengan perusahaan sejenis di sektor yang sama.

“Secara logika, bisnis itu tujuannya mencari laba. Kalau ada perusahaan yang terus rugi, sementara kompetitor di sektor yang sama masih untung, pemerintah berhak menilai apakah kerugian itu nyata atau ada rekayasa,” ujar Denny, dalam diskusi perpajakan yang diselenggarakan Perbanas Institute, Jakarta, baru-baru ini.

Mekanisme ini dianggap sebagai alat efektif untuk mendeteksi praktik profit shifting atau transfer pricing, yang bisa merugikan negara. “Dengan membandingkan kinerja, otoritas pajak bisa menilai apakah kerugian wajar atau ada indikasi pengalihan laba ke entitas lain,” tambahnya.

Meski demikian, Denny menekankan bahwa aturan ini tidak boleh membebani perusahaan yang benar-benar menghadapi tantangan bisnis. “Kalau implementasinya terlalu kaku, perusahaan yang memang rugi bisa semakin terpuruk. Alih-alih menutup celah pajak, iklim usaha justru bisa tertekan,” jelasnya.

Sebagai solusi, ia menyarankan penerapan Tax Control Framework (TCF) di level perusahaan. Dengan TCF, perusahaan dapat menunjukkan transparansi dan tata kelola pajak yang baik, sehingga pemerintah memiliki dasar kuat untuk memberikan kepastian hukum dan membangun hubungan kolaboratif, bukan sekadar pengawasan.

Denny menegaskan, diskusi teknis terkait pembandingan kinerja keuangan perlu melibatkan banyak pihak agar implementasinya adil. “Tujuan utama sama: menutup celah penghindaran pajak tanpa merugikan perusahaan yang berjuang di tengah tekanan ekonomi,” tutupnya. (bl)

 

 

 

 

 

 

PER-5/PJ/2025 : PJAP Wajib Sesuaikan dengan Era Coretax

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi menerbitkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-5/PJ/2025 tentang Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan (PJAP). Regulasi ini menjadi penanda babak baru bagi mitra teknologi DJP yang wajib menyesuaikan diri dengan implementasi sistem inti administrasi perpajakan atau Coretax.

Dalam pertimbangannya, DJP menyebut aturan ini lahir karena sistem administrasi perpajakan telah dibangun berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2018, yang mencakup pembaruan regulasi, proses bisnis, hingga teknologi informasi dan basis data. Ketentuan lama dalam PER-11/PJ/2019 yang sempat diubah dengan PER-10/PJ/2020 dinilai tidak lagi mampu mengakomodasi kebutuhan di era Coretax.

Syarat Administratif Lebih Ketat

Bagi perusahaan yang ingin menjadi PJAP, syarat administratif kini lebih diperketat. Di antaranya harus berbadan hukum dan berkedudukan di Indonesia, memiliki NPWP serta status sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), dan taat menyampaikan SPT Tahunan maupun SPT Masa tepat waktu.

Calon PJAP juga tidak boleh memiliki tunggakan pajak, tidak sedang dalam pemeriksaan bukti permulaan atau penyidikan, serta tidak pernah dipidana perpajakan dalam lima tahun terakhir. Selain itu, struktur kepemilikan harus mayoritas dimiliki Warga Negara Indonesia atau badan hukum Indonesia, disertai dengan rencana bisnis dan keberlangsungan bisnis yang jelas.

Dari sisi teknis, seluruh infrastruktur teknologi PJAP wajib berada di Indonesia, termasuk pusat data dan pusat pemulihan bencana. Kualitas layanan juga harus mengikuti standar yang ditetapkan DJP, mencakup keandalan, keamanan, ketersediaan, kinerja, dan waktu kerja layanan.

Setiap PJAP diwajibkan menandatangani Service Level Agreement (SLA) sesuai format yang tercantum dalam lampiran peraturan. SLA tersebut memuat kesepakatan hak dan kewajiban PJAP dan Wajib Pajak, serta mekanisme penyelesaian sengketa yang hanya boleh dilakukan di Indonesia.

Dengan hadirnya PER-5/PJ/2025 ini, DJP menegaskan peran PJAP sebagai mitra strategis dalam mendukung kelancaran layanan administrasi perpajakan modern. Aturan baru ini sekaligus memastikan bahwa transformasi digital perpajakan melalui Coretax dapat berjalan konsisten, aman, dan berkelanjutan. (alf)

 

Coretax Masih Dikeluhkan, Purbaya: Saya Akan Pantau Langsung!

IKPI, Jakarta: Sistem pajak baru Core Tax Administration System (CATS) atau Coretax kembali menuai keluhan dari para wajib pajak. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengakui masih ada hambatan di lapangan meski Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyebut sistem tersebut sudah stabil.

“Kalau kata orang pajak sih bagus, katanya sudah stabil. Tapi kalau teman-teman yang bayar, banyak yang bilang masih lama,” ujar Purbaya kepada wartawan, Jumat (19/9/2025).

Purbaya menegaskan akan turun langsung memantau pelaksanaan Coretax. Menurutnya, laporan yang sampai ke pimpinan kerap tidak sesuai dengan realita. Ia menyinggung budaya asal bapak senang (ABS) yang masih melekat di birokrasi.

“Nanti saya cek sendiri. Kalau ditanya bos, biasanya jawabannya serba bagus. Begitu juga kalau lapor ke Presiden, semuanya ABS. Padahal setelah dicek, banyak hal belum dihitung dengan benar,” katanya sembari berkelakar.

Ia menilai kebiasaan ABS harus segera diubah agar penyelesaian masalah benar-benar sesuai dengan kondisi di lapangan.

Sebelumnya, publik sempat menyoroti video unggahan resmi Ditjen Pajak di TikTok. Dalam tayangan itu, Purbaya menelpon kring pajak seperti seorang wajib pajak biasa. Ia bertanya soal proses pendaftaran di Coretax.

“Core Tax ya? Saya belum tahu tuh Coretax. Boleh nggak mbak kasih tahu, kira-kira berapa lama kalau daftar Coretax segala macam?” tanyanya.

Namun video tersebut tidak memperlihatkan jawaban dari petugas kring pajak, sehingga menimbulkan pertanyaan publik tentang kesiapan sistem baru itu. (alf)

 

 

Mulai 2026 PPh Badan dan Pribadi Masuk Sistem Coretax

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan mulai 2026 data Pajak Penghasilan (PPh) badan dan orang pribadi akan diintegrasikan ke dalam sistem inti administrasi perpajakan atau Coretax. Langkah ini menjadi fase penting setelah sebelumnya Coretax berhasil menampung pencatatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menyebut optimalisasi Coretax akan tetap menjadi strategi utama pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak di tahun depan. Menurutnya, sistem tersebut bukan hanya mempermudah pengawasan, tetapi juga menjamin kepastian bagi wajib pajak.

“Dari sisi kewajiban maupun hak wajib pajak, lebih transparan dan lebih mudah dideteksi lewat Coretax,” ujar Anggito baru-baru ini.

Ia mengakui sejak diluncurkan pada awal 2025, implementasi Coretax sempat menghadapi sejumlah kendala, mulai dari masalah faktur hingga beban trafik. Namun, saat ini pencatatan PPN sudah berjalan lebih lancar tanpa gangguan berarti.

“Secara umum sudah lancar. Problem-problem awal seperti faktur dan data sudah bisa diatasi,” jelasnya.

Dengan pengalaman itu, Anggito optimistis integrasi PPh badan dan pribadi dapat dilakukan sesuai jadwal. Meski demikian, ia mengingatkan kompleksitas PPh jauh lebih besar dibanding PPN.

“Tahun depan kan mulai PPh ya. Jumlahnya lebih banyak, kompleksitasnya lebih tinggi. Tapi kami berharap tidak mengalami hambatan seperti di awal PPN,” tegasnya.

Integrasi PPh badan dan pribadi ke Coretax diyakini bakal mempersempit ruang penghindaran pajak sekaligus memperkuat basis penerimaan negara. (alf)

 

Eropa Bidik Orang Super Kaya, IMF Sarankan Pajak Modal Bukan Pajak Kekayaan

IKPI, Jakarta: Negara-negara Eropa tengah pusing mencari cara agar orang super kaya membayar lebih banyak pajak untuk menutup defisit anggaran sekaligus meredam ketimpangan. Wacana pajak kekayaan langsung (wealth tax) memang menggoda, tapi para ekonom menilai langkah itu bukan solusi paling efektif.

Fokus kini beralih ke opsi lain yang dianggap lebih adil dan sulit dihindari, mulai dari memperketat pengawasan atas keuntungan modal, menaikkan pajak warisan, hingga memberlakukan biaya keluar bagi miliarder yang kabur ke surga pajak.

“Kekhawatiran soal ketimpangan tidak otomatis berarti pemerintah harus memungut pajak kekayaan bersih,” tulis Dana Moneter Internasional (IMF) dalam panduan terbarunya, dikutip Reuters, Minggu (21/9/2025). “Meningkatkan pajak penghasilan modal cenderung lebih adil dan efisien.”

Saat ini, Swiss, Spanyol, dan Norwegia sudah menerapkan pajak kekayaan bagi pemilik aset di atas ambang tertentu. Sementara itu, Prancis dan Inggris masih memperdebatkan wacana serupa sebagai jalan keluar menutup defisit.

Namun, efektivitasnya dipertanyakan. Sejarah menunjukkan penerimaan pajak kekayaan kerap minim hanya sepersekian dari produk domestik bruto. Pasalnya, kaum ultra kaya punya segudang cara untuk menyembunyikan harta, mulai dari perusahaan induk, perwalian, koleksi barang antik, hingga lari ke negara bebas pajak.

Profesor Paris School of Economics, Gabriel Zucman, menilai kondisi ini sudah waktunya diubah. Ia bahkan mengusulkan pajak kekayaan sebesar 2 persen bagi 0,01 persen orang terkaya di Prancis dalam rancangan anggaran 2026.

“Kita perlu memastikan para miliarder membayar pajak setidaknya setara dengan kelompok sosial lain. Ini soal keadilan dan penghormatan pada prinsip dasar perpajakan,” ujarnya.

Di sisi lain, data OECD menunjukkan tarif pajak penghasilan tertinggi di 38 negara anggotanya justru anjlok dari 66 persen pada 1980 menjadi hanya 43 persen saat ini. Ironisnya, kelompok 0,0001 persen terkaya di negara-negara Eropa nyaris tak tersentuh pajak karena lihai menyimpan kekayaan.

Bagi banyak pakar, kuncinya ada pada pajak atas pendapatan modal dividen, bunga, dan keuntungan saat aset dijual. Tarifnya selama ini jauh lebih rendah dibanding pajak atas tenaga kerja, sehingga membuka ruang reformasi.

“Perlakuan istimewa terhadap keuntungan modal adalah pendorong utama rendahnya tarif pajak efektif orang kaya,” tegas OECD.

Beberapa negara besar seperti Prancis, Jerman, Italia, Korea Selatan, dan Jepang bahkan masih mempertahankan tarif flat rendah untuk dividen maupun capital gain. Inilah yang membuat jurang ketimpangan makin sulit ditutup. (alf)

 

Jirayut Sebut Artis Asing di Indonesia Bayar Pajak Lebih Besar!

IKPI, Jakarta: Pedangdut asal Thailand, Jirayut Afisan Jehdueramae, blak-blakan soal kewajibannya sebagai artis asing yang berkarier di Indonesia. Ia menegaskan bahwa status warga negara asing bukan berarti bebas dari pajak, bahkan justru sebaliknya.

Pernyataan itu disampaikan Jirayut saat berbincang dengan Ivan Gunawan dalam program YouTube Butik Haji Igun yang tayang Sabtu (20/9/2025). Dalam kesempatan tersebut, Ivan sempat melempar candaan bahwa Jirayut tidak perlu membayar pajak di Indonesia.

“Tapi kalau kamu, berarti enak dong, di sini nggak bayar pajak dong?” ucap Igun bercanda.

Dengan sigap, Jirayut langsung membantah anggapan tersebut. Ia menegaskan bahwa dirinya tetap memenuhi kewajiban pajak, bahkan jumlahnya lebih besar dari yang dibayangkan.

“Bayar! Kata siapa nggak bayar? Bayar, aku malah lebih besar,” tegas Jirayut.

Tak hanya sekadar ucapan, pemilik nama asli Afisan Jehdueramae itu juga mengungkapkan dirinya sudah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Menurutnya, sebagai pekerja yang mencari penghasilan di Indonesia, ia punya tanggung jawab yang sama dengan warga negara lainnya.

“Tetap harus tanggung jawab dengan negaranya juga, kayak bayar gitu,” ujarnya.

Pernyataan Jirayut sekaligus mematahkan persepsi bahwa artis asing bisa lepas dari kewajiban perpajakan di Indonesia. Ia menunjukkan bahwa kepatuhan pajak adalah bentuk tanggung jawab, tak peduli status kewarganegaraan. (alf)

 

Pemerintah Diminta Segera Selaraskan Kebijakan Fiskal, Indonesia Terancam jadi “Dapur Murah Dunia”

IKPI, Jakarta: Founder dan Managing Partner TaxPrime, Muhammad Fajar Putranto, mengingatkan bahwa pemerintah harus segera menyelaraskan kebijakan fiskal dengan strategi perlindungan sumber daya alam (SDA). Menurutnya, Indonesia terancam hanya menjadi “dapur murah dunia” jika tidak siap menghadapi regulasi global yang makin ketat.

Dalam forum diskusi perpajakan Perbanas Institute, Jakarta, Fajar menyoroti implementasi Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) oleh Uni Eropa. Berdasarkan riset yang ia paparkan, produksi satu ton nikel di Indonesia menghasilkan emisi setara 70 ton karbon, angka yang sangat tinggi dibanding standar global.

“Kalau kita terus abaikan, akibatnya jelas: produk kita hanya bisa dijual ke negara yang tidak peduli emisi, seperti China. Harganya jelas lebih rendah, 15 sampai 20 persen di bawah pasar premium. Sementara negara yang mengikuti standar tinggi akan menikmati premium price. Itu kerugian besar bagi kita,” tegas Fajar.

Ia menambahkan, kebijakan fiskal Indonesia belum sepenuhnya mendukung transformasi energi bersih. Insentif pajak untuk sektor energi terbarukan masih terbatas, sehingga investor asing lebih banyak menjadi penyewa aset ketimbang produsen listrik.

“Akibatnya kita tidak dapat transfer teknologi dan nilai tambahnya minim. Kita hanya dapat remah-remahnya saja,” kata Fajar.

Ia juga menyoroti kebijakan fiskal yang cenderung mengejar penerimaan tanpa memperhitungkan efisiensi belanja negara. Menurutnya, subsidi energi yang membengkak bisa menjadi “lubang hitam” APBN jika tidak dioptimalkan.

“Jangan hanya sibuk menaikkan pajak. Pemerintah juga harus bisa mengendalikan pengeluaran. Kalau tidak, Indonesia akan terus tertinggal dari Vietnam, Malaysia, bahkan India yang sudah lebih agresif dalam reformasi fiskal dan investasi hijau,” jelasnya.

Lebih jauh, Fajar mengingatkan bahwa perlindungan SDA adalah soal kedaulatan. “Yang dijual itu bukan sekadar komoditas, tapi kekayaan negara. Kalau kita tidak melindungi, kita akan selamanya jadi dapur dunia. Indonesia hanya kebagian asapnya, bukan roti utuhnya,” tegasnya. (bl)

 

id_ID