Coretax Sudah Berlaku, tapi Baru 15% Wajib Pajak Pribadi Aktivasi Akun

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus mendorong wajib pajak untuk segera melakukan aktivasi akun Coretax, seiring dengan penerapan penuh sistem administrasi perpajakan digital tersebut sejak 1 Januari 2025. Namun hingga 20 Oktober 2025, tingkat aktivasi masih tergolong rendah.

“Baru sekitar 2 juta wajib pajak orang pribadi atau 15 persen yang sudah melakukan aktivasi akun,” ungkap Rosmauli, pejabat DJP, dalam media briefing di Jakarta, Senin (20/10/2025).

Meski begitu, untuk wajib pajak badan, capaian aktivasi relatif lebih tinggi. DJP mencatat 500 ribu entitas badan usaha telah mengaktifkan akun Coretax, setara dengan 50 persen dari jumlah SPT Tahunan PPh Badan tahun pajak 2024.

Rosmauli menegaskan, aktivasi akun menjadi langkah penting sebelum masa pelaporan SPT Tahunan tahun pajak 2025 dimulai.

“Pelaporan SPT tahun ini akan dilakukan untuk pertama kalinya melalui sistem Coretax. Karena itu, tanpa aktivasi akun, wajib pajak tidak akan bisa melapor,” tegasnya.

Ia mengingatkan agar wajib pajak tidak menunggu hingga mendekati batas waktu pelaporan. Aktivasi lebih awal akan membantu menghindari antrean dan gangguan teknis di masa puncak pelaporan.

Langkah Aktivasi Akun Coretax

Bagi wajib pajak yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), proses aktivasi dapat dilakukan melalui laman resmi Coretax DJP dengan langkah berikut:

1. Masuk ke laman Coretax DJP dan pilih menu Aktivasi Akun Wajib Pajak.

2. Centang pertanyaan “Apakah Wajib Pajak sudah terdaftar?”.

3. Masukkan NPWP, lalu klik Cari.

4. Isi email dan nomor ponsel yang terdaftar di DJP Online untuk proses verifikasi.

5. Centang pernyataan, lalu klik Simpan.

6. Cek email untuk menerima Surat Penerbitan Akun Wajib Pajak berisi kata sandi sementara.

7. Login kembali ke Coretax untuk mengganti kata sandi dan membuat passphrase.

Rosmauli menjelaskan, Coretax merupakan tonggak penting dalam modernisasi sistem perpajakan nasional. Melalui platform ini, seluruh layanan pajak mulai dari registrasi, pelaporan, pembayaran, hingga komunikasi dengan DJP akan terintegrasi dalam satu sistem digital yang aman dan efisien.

“Coretax diharapkan membuat proses administrasi pajak lebih sederhana dan transparan, sekaligus meningkatkan pengalaman wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya,” ujar Rosmauli.

Dengan sistem baru ini, DJP menargetkan ke depan tidak hanya kepatuhan formal wajib pajak meningkat, tetapi juga kualitas pelayanan dan efisiensi internal DJP ikut terdongkrak. (alf)

DJP Catat Penerimaan PPh 21 Naik Jadi Rp195 Triliun, Sinyal Lapangan Kerja Masih Terjaga

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat pertumbuhan positif pada penerimaan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 yang berkaitan langsung dengan aktivitas ketenagakerjaan. Hingga September 2025, penerimaan PPh 21 mencapai Rp195 triliun, naik 1,7 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp191,8 triliun.

Kenaikan ini dianggap sebagai sinyal bahwa lapangan kerja di Indonesia masih terjaga, meski di tengah berbagai isu pemutusan hubungan kerja (PHK) yang marak diberitakan.

“Kontribusi PPh 21 terhadap total penerimaan pajak mencapai 11 persen. Tren pertumbuhannya dari Januari sampai September menunjukkan angka positif 1,7 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu,” ujar Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto dalam Media Briefing Penerimaan Perpajakan dan Persiapan SPT Tahunan 2026 di Jakarta, Senin (20/10/2025).

Data DJP menunjukkan, meski pada Januari–Mei 2025 penerimaan PPh 21 sempat melambat, namun mulai Juni hingga September terjadi pembalikan arah dengan pertumbuhan positif. Rata-rata penerimaan bulanan tercatat Rp21,7 triliun, lebih tinggi dibandingkan rerata tahun lalu sebesar Rp21,3 triliun per bulan.

Secara historis, tren ini menunjukkan peningkatan berkelanjutan. Pada 2023 rata-rata penerimaan PPh 21 mencapai Rp17,2 triliun per bulan, dan Rp14,7 triliun pada 2022.

Menurut Bimo, tren positif tersebut mencerminkan bahwa aktivitas ekonomi dan produktivitas tenaga kerja masih kuat.

“Mudah-mudahan ini seiring dengan penciptaan lapangan kerja baru dan mempertahankan pertumbuhan di sektor-sektor yang padat karya,” ujarnya.

DJP menilai, pertumbuhan PPh 21 bukan hanya menunjukkan meningkatnya kepatuhan pajak, tetapi juga menjadi indikator bahwa dunia usaha masih mampu menyerap tenaga kerja. Hal ini sekaligus menjadi bukti ketahanan ekonomi nasional yang tetap terjaga di tengah ketidakpastian global. (alf)

Tak Ada Ruang Bagi Pegawai Pajak yang Bermain Kotor, Dirjen Pajak: Saya Pecat!

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak (DJP) Bimo Wijayanto menegaskan sikap tanpa kompromi terhadap aparatur pajak yang menyalahgunakan wewenang atau memeras wajib pajak. Ia menegaskan siap memecat pegawai pajak yang terbukti melakukan tindakan curang, sekecil apa pun.

“Tentu seperti komitmen saya sejak awal, fraud sedikit pun akan saya tindak, bahkan saya pecat,” tegas Bimo dalam Media Briefing di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Senin (20/10/2025).

Pernyataan keras itu disampaikan Bimo menanggapi laporan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa tentang dugaan aksi premanisme yang dilakukan seorang Account Representative (AR) di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Tigaraksa, Banten.

Bimo mengatakan, ia telah memerintahkan Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur (KITSDA) untuk menindaklanjuti laporan tersebut. Namun, informasi yang diterima masih minim karena disampaikan secara singkat melalui pesan WhatsApp.

“Saya sudah langsung perintahkan KITSDA menelusuri. Tapi informasi awalnya terbatas, jadi kami perlu mengklarifikasi dan mengonfirmasi lebih lanjut ke pelapor agar mendapat gambaran utuh,” ujarnya.

Menurut Bimo, laporan yang masuk melalui kanal Lapor Pak Purbaya biasanya terbagi dua jenis, yakni laporan perbaikan kebijakan dan laporan administratif. Jika laporan mengandung unsur pelanggaran atau penipuan, maka akan diteruskan ke unit anti-fraud DJP dan sistem Whistleblowing Kementerian Keuangan.

“Kalau indikasinya signifikan, tentu akan kami masukkan ke unit anti-fraud. Tapi kami juga berharap pelapor bisa menyertakan bukti atau identitas AR yang disebut preman itu, agar bisa kami proses dengan cepat,” jelasnya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa secara terbuka mengungkapkan adanya praktik tidak terpuji di lingkungan KPP Tigaraksa. Ia bahkan menegaskan akan turun langsung jika masih ditemukan perilaku premanisme di lapangan.

“Izin lapor tindak premanisme AR Pajak KPP Tigaraksa. Minggu depan harus sudah bersih, nggak boleh ada premanisme. Kalau benar ada yang maksa-maksa minta duit, itu sudah keterlaluan,” tegas Purbaya, Jumat (17/10/2025).

Langkah tegas DJP ini menjadi sinyal kuat bahwa era “main kotor” di dunia perpajakan sudah berakhir. Bimo menegaskan reformasi sumber daya manusia di lingkungan DJP kini difokuskan pada integritas, profesionalisme, dan pelayanan publik.

“Kita tidak bisa menegakkan kepatuhan pajak dengan cara menakut-nakuti. Pegawai pajak harus jadi pelayan masyarakat, bukan sumber masalah,” tutupnya. (alf)

Presiden KACPTA Sarankan Indonesia Dukung Pembentukan UU Konsultan Pajak

IKPI, Seoul: Presiden Korean Association of Certified Public Tax Accountants (KACPTA), Koo Jae Yi, menekankan pentingnya dukungan pemerintah terhadap pembentukan Undang-Undang Konsultan Pajak (UU KP) di Indonesia. Hal tersebut disampaikannya dalam pertemuan bilateral antara KACPTA dan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) yang berlangsung di kantor pusat KACPTA, Seoul, Korea Selatan, Senin (20/10/2025).

Koo Jae Yi menjelaskan bahwa Korea Selatan telah memiliki regulasi khusus yang mengatur profesi konsultan pajak sejak beberapa dekade lalu. Kehadiran undang-undang tersebut, menurutnya, menjadi fondasi kuat dalam menegakkan profesionalisme, transparansi, dan integritas profesi konsultan pajak di negaranya. Bahkan UU KP berpengaruh pada penerimaan perpajakan di negaranya  karena UU KP salah satunya menugaskan para konsultan pajak untuk berperan dalam penerimaan negara khususnya dari perpajakan.

(Foto: DOK. PP-IKPI)

“Sebelum ada undang-undang, profesi kami menghadapi banyak kendala, bahkan penerimaan negara dari sektor perpajakan rendah. Tidak ada kejelasan dalam batas peran dan tanggung jawab, serta kurangnya pengawasan terhadap praktik profesional. Namun setelah UU diberlakukan, sistem menjadi jauh lebih tertib dan terstandar,” kata Koo.

Ia menambahkan, peran konsultan pajak di Korea kini bukan hanya sebagai penyedia jasa, melainkan juga sebagai mitra strategis pemerintah dalam menjaga kepatuhan wajib pajak dan meningkatkan penerimaan negara. KACPTA secara rutin berkoordinasi dengan otoritas pajak untuk memberikan masukan terkait kebijakan fiskal dan reformasi administrasi pajak.

Menurut Koo, keberadaan undang-undang yang kuat juga membantu meningkatkan kepercayaan publik terhadap profesi konsultan pajak. Masyarakat dan pelaku usaha merasa lebih aman karena terdapat aturan jelas yang mengatur etika, kompetensi, serta mekanisme pengawasan terhadap para praktisi.

“Regulasi yang baik melindungi semua pihak baik konsultan pajak, pemerintah, maupun wajib pajak. Karena itu, kami menyarankan agar pemerintah Indonesia memberikan dukungan penuh terhadap pembentukan UU Konsultan Pajak,” ujar Koo.

Dalam kesempatan tersebut, Koo juga mengapresiasi langkah aktif IKPI yang terus memperjuangkan pengakuan hukum bagi profesi konsultan pajak di Indonesia. Ia menilai kolaborasi antaranggota Asia-Oceania Tax Consultants’ Association (AOTCA) dapat menjadi sarana saling belajar dan memperkuat posisi profesi di tingkat regional.

“Kami melihat IKPI sangat progresif dan visioner. Dengan kerja sama seperti ini, saya yakin Indonesia akan mampu membangun sistem profesi yang kuat dan diakui secara internasional,” ungkapnya.

Pertemuan bilateral tersebut ditutup dengan kesepahaman untuk melanjutkan dialog teknis melalui kegiatan bersama, termasuk webinar dan forum pertukaran pengalaman antaranggota AOTCA. Langkah ini diharapkan dapat mempercepat proses harmonisasi regulasi dan memperkuat peran konsultan pajak dalam sistem perpajakan global. (bl)

Dirjen Pajak Tegaskan Pajak E-Commerce Berlaku Jika Ekonomi Tembus 6%

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, menegaskan bahwa pemberlakuan pungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 sebesar 0,5% bagi pedagang online di e-commerce akan ditunda hingga pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6%.

“Itu yang memang ditunda sesuai dengan arahan Pak Menteri, sampai pertumbuhan ekonomi lebih optimis ke angka 6%,” ujar Bimo saat media briefing di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Jakarta, Senin (20/10/2025).

Bimo menjelaskan, sebelumnya kebijakan tersebut direncanakan mulai berlaku pada Februari 2026, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025. Namun, arahan terbaru dari Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa meminta agar implementasi ditunda hingga kondisi ekonomi nasional benar-benar menguat.

“Terakhir itu memang arahannya ke kami di Februari, tapi kemudian ada arahan dari Pak Menteri untuk menunggu sampai pertumbuhan 6%,” tegas Bimo.

Langkah penundaan ini disambut positif oleh Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA). Sekretaris Jenderal idEA, Budi Primawan, menyebut keputusan tersebut menjadi angin segar bagi ekosistem Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) digital, karena memberikan ruang adaptasi yang lebih luas bagi pelaku usaha.

“Keputusan ini menunjukkan bahwa pemerintah mendengar masukan dari para pelaku usaha, sekaligus memastikan kebijakan perpajakan berjalan efektif tanpa menimbulkan beban berlebih,” jelas Budi dalam keterangan resminya.

Pemerintah menilai penundaan ini bukan berarti mengendurkan komitmen dalam memperluas basis pajak digital, melainkan mendorong transisi yang lebih adil dan seimbang. Begitu ekonomi Indonesia berhasil menembus level pertumbuhan 6%, kebijakan PPh e-commerce akan diterapkan dengan mempertimbangkan kesiapan seluruh pelaku usaha. (alf)

Jumlah Crazy Rich Bertambah, Pajak 35% Ikut Mengalir Deras di Tengah Ekonomi Lesu

IKPI, Jakarta: Di tengah ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, satu kelompok justru menunjukkan tanda-tanda semakin makmur: para crazy rich. Data terbaru Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menunjukkan jumlah wajib pajak berpenghasilan di atas Rp5 miliar per tahun melonjak tajam sepanjang 2025.

Menurut Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Perpajakan, Yon Arsal, jumlah orang yang masuk lapisan pajak tertinggi dengan tarif 35% meningkat hampir 10% dibandingkan tahun sebelumnya.

“Baik jumlah wajib pajaknya maupun kontribusi setoran PPh-nya naik signifikan. Artinya, ada pergerakan positif dari kelompok berpenghasilan tinggi,” kata Yon di Kantor DJP, Jakarta, Senin (20/10/2025).

Kenaikan ini menjadi paradoks tersendiri. Ketika ekonomi rakyat kecil masih tertatih dan banyak sektor bisnis belum pulih penuh, justru segelintir warga superkaya tetap mampu menjaga — bahkan menambah — pundi-pundi kekayaannya.

Namun Yon menegaskan, kenaikan pelapor pajak 35% itu belum sepenuhnya menggambarkan besarnya kekayaan aktual kelompok atas Indonesia. Pasalnya, pajak dengan tarif 35% hanya dikenakan pada penghasilan aktif, seperti gaji atau honor profesional, sedangkan penghasilan pasif seperti bunga deposito, dividen, atau keuntungan aset tanah dikenai pajak final dengan tarif tetap yang jauh lebih kecil.

“Sebagian besar orang kaya tidak hidup dari gaji bulanan. Mereka punya sumber pendapatan dari investasi yang tidak termasuk dalam perhitungan tarif progresif ini,” jelas Yon.

UU HPP Ubah Peta Pajak Orang Pribadi

Kenaikan jumlah wajib pajak 35% tak lepas dari penerapan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang memperluas lapisan tarif penghasilan. Kini, sistem pajak orang pribadi di Indonesia memiliki lima tingkatan:

1. 5% untuk penghasilan kena pajak hingga Rp60 juta,

2. 15% untuk Rp60 juta–Rp250 juta,

3. 25% untuk Rp250 juta–Rp500 juta,

4. 30% untuk Rp500 juta–Rp5 miliar, dan

5. 35% untuk penghasilan di atas Rp5 miliar.

Struktur tarif baru ini diharapkan membuat sistem perpajakan lebih adil: yang berpenghasilan lebih tinggi ikut memikul beban negara lebih besar.

Peningkatan setoran dari kelompok 35% juga dianggap sebagai hasil dari penguatan sistem pengawasan DJP. Program data matching, akses informasi keuangan, serta digitalisasi pelaporan pajak membuat ruang untuk menghindar semakin sempit.

“Naiknya jumlah pelapor tarif tertinggi bukan semata karena makin banyak orang kaya baru, tapi juga karena sistem kita makin transparan,” ungkap Yon.

Fenomena ini sekaligus mengingatkan akan jurang ekonomi yang kian lebar. Ketika sebagian masyarakat masih berjuang dengan penghasilan stagnan, kelompok kaya tetap tumbuh di atas arus ekonomi yang lesu. Namun dari sisi fiskal, kontribusi mereka menjadi penyokong penting untuk menjaga penerimaan negara tetap stabil tanpa perlu menaikkan tarif atau menciptakan pajak baru.

“Yang penting bukan hanya jumlahnya naik, tapi kesadarannya juga ikut naik. Karena tanpa kepatuhan sukarela, sistem pajak tak akan berjalan,” tutup Yon. (alf)

Ketua Umum IKPI dan Rombongan Diajak Berkeliling Gedung KACPTA di Seoul

IKPI, Seoul: Suasana sore di Seoul terasa hangat saat Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, bersama jajaran pengurus pusat IKPI, melakukan kunjungan ke kantor Korean Association of Certified Public Tax Accountants (KACPTA), Senin (20/10/2025) pukul 16.00 waktu setempat.

Dalam kunjungan yang berlangsung penuh keakraban itu, rombongan IKPI disambut langsung oleh President KACPTA, Koo Jae Yi, beserta timnya. Tak hanya berdiskusi formal, KACPTA juga mengajak para tamu dari Indonesia berkeliling melihat berbagai fasilitas di gedung megah mereka yang berlokasi di 105, Myeongdal-ro, Seocho-dong, Seocho-gu, Seoul.

Gedung KACPTA yang berdiri megah di kawasan bisnis elit Seoul itu menjadi pusat kegiatan utama bagi para konsultan pajak di Korea Selatan. Dari luar, bangunan ini menampilkan desain modern dan kokoh, namun di dalamnya terasa hangat dan penuh semangat profesionalisme.

Rombongan IKPI mendapat kesempatan berkeliling ke berbagai ruangan penting, mulai dari ruang pertemuan besar tempat KACPTA kerap menggelar konferensi dan rapat anggota, hingga kelas-kelas pelatihan berukuran sedang dan kecil yang digunakan untuk kegiatan pembinaan anggota dan pelatihan profesional.

Salah satu tempat yang menarik perhatian adalah perpustakaan KACPTA, yang menyimpan sekitar 20 ribu koleksi buku dan referensi perpajakan. Koleksi tersebut tidak hanya mencakup literatur pajak Korea, tetapi juga buku-buku internasional yang menjadi rujukan utama bagi para profesional di bidang perpajakan dan akuntansi.

“Kami sangat kagum dengan fasilitas yang dimiliki KACPTA. Semua dirancang dengan detail dan mendukung pengembangan kompetensi anggota mereka,” ujar Vaudy  usai berkeliling gedung.

Selain fasilitas pembelajaran, rombongan juga diajak melihat ruang kerja dan ruang administrasi KACPTA, yang terlihat tertata efisien dan profesional. Setiap bagian memiliki fungsi yang jelas, mulai dari pelayanan anggota, riset perpajakan, hingga pengembangan sistem pelatihan digital.

Kunjungan berakhir dengan sesi foto bersama dan pertukaran cendera mata di lobi utama gedung. Vaudy menyampaikan apresiasi atas sambutan hangat yang diberikan KACPTA, sekaligus berharap kerja sama antara kedua asosiasi ini dapat terus berkembang.

“Kami merasa sangat terinspirasi. KACPTA bukan hanya memiliki organisasi yang kuat, tetapi juga semangat kolaboratif yang luar biasa. Semoga kerja sama antara IKPI dan KACPTA semakin erat di masa mendatang,” kata Vaudy. (bl)

IKPI – KACPTA Dorong Kolaborasi Regional, Bahas Pembentukan UU Konsultan Pajak

IKPI, Seoul: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, melakukan pertemuan bilateral dengan President Korean Association of Certified Public Tax Accountants (KACPTA), Koo Jae Yi, di kantor pusat KACPTA, Korea Selatan, Senin (20/10/2025). Pertemuan tersebut berlangsung hangat dan penuh pertukaran gagasan mengenai penguatan profesi konsultan pajak di tingkat regional.

Baik IKPI maupun KACPTA sama-sama merupakan anggota dari Asia-Oceania Tax Consultants’ Association (AOTCA), sebuah organisasi internasional yang mewadahi asosiasi konsultan pajak di kawasan Asia dan Oseania. Dalam pertemuan itu, kedua belah pihak menegaskan komitmennya untuk memperkuat peran konsultan pajak dalam mendorong kepatuhan dan penerimaan perpajakan negara masing-masing.

(Foto: DOK. PP-IKPI)

Vaudy menyampaikan apresiasi atas sambutan dan keterbukaan KACPTA dalam berbagi pengalaman. Ia menilai bahwa sistem perpajakan Korea Selatan yang modern tidak lepas dari peran kuat profesi konsultan pajak yang telah diatur secara komprehensif melalui undang-undang tersendiri.

“Kami belajar banyak dari pengalaman KACPTA. Mereka telah menunjukkan bahwa regulasi yang jelas dapat memperkuat profesionalisme, meningkatkan kepercayaan publik, dan pada akhirnya mendukung penerimaan negara,” ujar Vaudy.

Ia menjelaskan, di Indonesia hingga saat ini belum terdapat Undang-Undang Konsultan Pajak (UU KP) yang secara khusus mengatur profesi ini. Akibatnya, masih ada kesenjangan dalam pengakuan dan perlindungan terhadap profesi konsultan pajak, padahal kontribusi mereka terhadap sistem perpajakan cukup besar.

“Konsultan pajak merupakan mitra strategis pemerintah dalam memperkuat kepatuhan dan edukasi perpajakan. Oleh karena itu, Indonesia sudah seharusnya memiliki UU KP seperti halnya di Korea Selatan,” ujarnya.

Sebagai tindak lanjut dari pertemuan bilateral ini, Vaudy mengusulkan penyelenggaraan diskusi lebih lanjut dengan KACPTA. Diskusi tersebut akan menjadi forum berbagi pengalaman dan praktik terbaik dalam pembinaan profesi konsultan pajak di masing-masing negara.

“Kami ingin menjadikan diskusi ini sebagai jembatan pengetahuan. Melalui dialog lintas negara, kami berharap bisa memperkuat posisi konsultan pajak Indonesia dan membuka jalan menuju pembentukan UU KP,” tutur Vaudy.

Vaudy menegaskan, pertemuan tersebut menjadi tonggak penting dalam diplomasi profesi konsultan pajak di Asia, sekaligus menandai langkah aktif IKPI dalam membangun sinergi internasional khususnya hubungan bilateral. Ia menegaskan, kerja sama ini tidak hanya sebatas pertukaran pengalaman, tetapi juga merupakan bentuk nyata dari komitmen bersama untuk membangun sistem perpajakan yang lebih kuat, transparan, dan profesional di kawasan. 

Hadir Pengurus Pusat IKPI pada pertemuan tersebut:

1. Ketua Umum, Vaudy Starworld

2. ⁠Wakil Ketua Umum, Nuryadin Rahman

3. ⁠Ketua Departemen Hubungan Internasional, David Tjhai 

4. ⁠Ketua Bidang Negara AOTCA dan Asia, Suhardi Sumbadji

5. ⁠Anggota Bidang Negara AOTCA dan Asia, Jeklira Tampubolon 

6. ⁠Anggota Bidang SDA, Andi M. Johan

Dari Korean Association of Certified Public Tax Accountants – KACPTA

    1. President Korean Association of Certified Public Tax Accountants, Koo, Jae Yi

    2. Cho, In Jung, Director of International Affairs

    3. Yuna Joung, Research Planning Division International Relations CPA Australia

(bl)

Setahun Pemerintahan Prabowo, DJP Beberkan Deretan Insentif Pajak dan Tren Pemulihan Ekonomi

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, mengungkapkan deretan insentif dan keringanan pajak yang telah digulirkan sepanjang satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Langkah tersebut, kata Bimo, merupakan bagian dari strategi menjaga daya beli masyarakat sekaligus menopang kinerja dunia usaha di tengah transisi ekonomi global.

“Berbagai insentif, keringanan, dan fasilitas pajak sudah kami gulirkan untuk membantu masyarakat dan pelaku bisnis,” ujar Bimo dalam media briefing di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Senin (20/10/2025).

Insentif Pajak dari Rumah Hingga UMKM

Bimo merinci, program insentif mencakup PPh 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) bagi karyawan di sektor padat karya, PPN DTP untuk rumah tapak dan rumah susun, serta diskon PPN kendaraan listrik dan hybrid. Pemerintah juga menanggung PPN tiket pesawat untuk mendorong mobilitas wisatawan.

Bagi pelaku usaha kecil, pemerintah mempertahankan pembebasan PPh UMKM untuk omzet hingga Rp500 juta, dan tarif PPh Final 0,5% untuk omzet di atas Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar per tahun, berlaku sampai 2029.

Bimo menegaskan bahwa berbagai stimulus tersebut telah memberi efek positif pada aktivitas ekonomi nasional. Realisasi penerimaan pajak bruto hingga September 2025 mencapai Rp1.619,2 triliun, naik dari Rp1.588,21 triliun pada periode yang sama tahun lalu.

Meski secara neto (setelah restitusi) sempat tertekan turun dari Rp1.354,86 triliun menjadi Rp1.295,28 triliun, tren bulanan menunjukkan perbaikan.

“Secara month-to-month, pertumbuhan penerimaan neto tetap positif. Artinya, aktivitas ekonomi masih bergerak naik,” ujar Bimo.

Hampir semua jenis pajak mencatatkan pertumbuhan.

• PPh 21 naik 1,7% menjadi Rp195 triliun.

• PPh Badan tumbuh signifikan dari Rp287,3 triliun menjadi Rp309,7 triliun, didorong peningkatan profit sektor pertanian, energi, dan tambang logam.

• PPN Impor melesat dari Rp198,9 triliun menjadi Rp229,8 triliun.

Sementara itu, PPN Dalam Negeri masih tertekan dari Rp505,2 triliun menjadi Rp497,2 triliun akibat penurunan konsumsi di beberapa sektor perdagangan.

Dari sisi sektor usaha, industri pengolahan tetap menjadi penyumbang terbesar dengan setoran naik dari Rp443,8 triliun menjadi Rp452,3 triliun. Pertumbuhan juga terlihat pada sektor keuangan (naik ke Rp190,3 triliun) dan pertambangan (menjadi Rp185,8 triliun).

Namun, perdagangan masih menjadi titik lemah, turun ke Rp370,9 triliun akibat lesunya penjualan mobil dan perdagangan besar.

Bimo menambahkan, data perpajakan kini mulai digunakan sebagai indikator untuk memetakan kinerja ekonomi sektoral.

“Kinerja penerimaan pajak bisa menjadi cermin arah ekonomi nasional. Seberapa efektif pemungutan dan pengecualian pajak di setiap sektor akan terlihat dari data ini,” jelasnya. (alf)

DJP Bantah ada Pegawai Olahraga di Jam Kerja: Ini Kata Direktur P2Humas!

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) membantah kabar yang menyebut ada pegawainya berolahraga di ruang kerja saat jam dinas ketika Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melakukan kunjungan ke Kantor Pusat DJP, Rabu (17/9/2025).

Direktur P2Humas DJP, Rosmauli, melalui keterangan tertulisnya, Senin (20/10/2025) menegaskan bahwa kegiatan senam yang terlihat saat kunjungan tersebut berlangsung setelah jam kerja berakhir, tepatnya sekitar pukul 17.30 WIB.

“Kegiatan itu dilakukan setelah jam kerja. Jadi tidak benar ada pegawai yang berolahraga di waktu dinas,” ujar Rosmauli.

Rosmauli menjelaskan, saat itu Menteri Keuangan berkunjung ke beberapa ruangan di kantor pusat DJP, termasuk aula salah satu gedung  tempat sejumlah pegawai wanita sedang melakukan senam. Turut mendampingi kunjungan tersebut Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak, serta beberapa pejabat eselon lainnya.

Menurutnya, suasana saat itu justru berlangsung hangat. Menteri Keuangan sempat berbincang santai dengan para pegawai dan bahkan meladeni beberapa yang meminta swafoto bersama.

“Kalau kegiatan itu terjadi di jam kerja, tentu sudah langsung ditegur. Tapi faktanya, Pak Menteri justru berinteraksi dengan akrab dan bahkan berfoto bersama para pegawai,” jelasnya.

Rosmauli menambahkan, kegiatan olahraga ringan di lingkungan kantor adalah bagian dari upaya DJP mendorong kebugaran dan keseimbangan kerja, selama dilakukan di luar jam dinas atau sesuai aturan yang berlaku.

“Kami mendukung kegiatan positif pegawai, termasuk menjaga kesehatan. Namun disiplin dan etika kerja tetap prioritas,” tegasnya.

Sebelumnya, sempat beredar kabar di media sosial yang menyebut Menteri Keuangan mendapati pegawai DJP berolahraga di ruang kerja saat jam dinas. Kabar tersebut menuai berbagai tanggapan publik.

Namun klarifikasi resmi dari DJP memastikan bahwa tidak ada pelanggaran disiplin dalam peristiwa itu.

Rosmauli menegaskan bahwa DJP tetap berkomitmen menjaga profesionalisme aparatur dan membangun budaya kerja yang sehat, humanis, serta berintegritas. (bl)

id_ID