DJP Terbitkan SE-7/PJ/2025: Indonesia dan Tunisia Sepakati Modifikasi Tax Treaty Melalui MLI

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi menerbitkan Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-7/PJ/2025 sebagai pedoman implementasi Multilateral Instrument (MLI) terhadap Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dan Tunisia. Surat edaran ini merupakan langkah strategis dalam rangka memperkuat kerja sama perpajakan internasional dan mengantisipasi praktik penghindaran pajak lintas negara.

Dalam surat edaran tersebut, DJP merinci waktu berlakunya MLI untuk kedua negara. Indonesia telah mengesahkan MLI sejak 1 Agustus 2020, sementara Tunisia menyusul pada 1 November 2023. Adapun ketentuan MLI mulai berlaku efektif untuk pajak yang dipotong di negara sumber sejak 1 Januari 2025.

Untuk jenis pajak lainnya, ketentuan mulai berlaku efektif pada 1 Januari 2026 di Indonesia dan 28 Agustus 2025 di Tunisia.

“Surat Edaran Direktur Jenderal ini dimaksudkan untuk memberitahukan seluruh unit di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak mengenai saat berlaku dan saat berlaku efektif MLI untuk P3B Indonesia-Tunisia,” demikian isi kutipan SE-7/PJ/2025.

Tak hanya menjelaskan teknis pemberlakuan, SE-7/PJ/2025 juga menyertakan naskah sintesis hasil modifikasi P3B Indonesia-Tunisia dalam Bahasa Inggris. Naskah ini ditujukan sebagai panduan untuk memahami dampak MLI terhadap ketentuan dalam tax treaty tersebut.

MLI sendiri merupakan instrumen global yang memungkinkan modifikasi massal terhadap tax treaty tanpa perlu melalui jalur negosiasi bilateral yang biasanya memakan waktu lama. Dengan diberlakukannya MLI, Indonesia dan Tunisia dapat langsung menyesuaikan klausul-klausul dalam P3B guna mencegah praktik penghindaran pajak yang agresif.

Sebagai informasi, Indonesia telah meratifikasi MLI sejak 2019 melalui Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2019. Dalam perpres tersebut, Indonesia memasukkan P3B dengan berbagai negara sebagai covered tax agreement (CTA), termasuk dengan Tunisia. (alf)

 

 

IMF Sarankan Rumania Lakukan Reformasi Pajak untuk Tekan Defisit Anggaran

IKPI, Jakarta: Dana Moneter Internasional (IMF) menyarankan Pemerintah Rumania untuk segera melakukan reformasi struktural di sektor perpajakan guna meredam lonjakan defisit anggaran negara yang kian mengkhawatirkan. Dalam laporan terbarunya, IMF menggarisbawahi bahwa tanpa langkah konkret, Rumania berisiko terus melampaui batas defisit yang ditetapkan Uni Eropa.

“Mobilisasi pendapatan sudah menjadi keharusan,” tulis IMF dalam laporan tersebut, yang dikutip, Sabtu (7/6/2025).

Lembaga keuangan internasional itu mengusulkan serangkaian kebijakan seperti kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan cukai, penghapusan berbagai insentif PPN, serta penerapan sistem Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi progresif.

Naikkan PPN dan Cukai, Hapus Diskon PPN

IMF menyebut tarif umum PPN di Rumania yang saat ini sebesar 19% masih di bawah rata-rata Uni Eropa, yakni 22%. Laporan itu menyarankan agar tarif dinaikkan menjadi 20% tahun ini, dan meningkat menjadi 21% dalam waktu dekat.

Lebih lanjut, fasilitas pengurangan tarif PPN untuk berbagai barang dan jasa juga dinilai perlu dihapus, kecuali untuk makanan pokok. “Kebijakan ini akan membantu memperkuat basis pajak dan mendorong keadilan fiskal,” sebut IMF.

Di sisi lain, cukai atas minuman beralkohol dan produk tembakau yang tergolong rendah dibanding negara-negara Uni Eropa juga menjadi sorotan. Meski kontribusinya pada PDB mencapai 1,2% pada 2022, tarifnya dinilai belum optimal.

IMF mengusulkan agar tarif cukai disesuaikan secara berkala mengikuti inflasi, termasuk cukai bahan bakar kecuali untuk gas alam, demi mendukung kebijakan lingkungan hidup.

PPh Progresif Gantikan Tarif Tunggal

IMF juga merekomendasikan agar Rumania meninggalkan sistem PPh orang pribadi dengan tarif tunggal 10%, dan beralih ke skema tarif marjinal progresif, yakni 15% dan 25%. Langkah ini dinilai dapat meningkatkan keadilan pajak sekaligus memperkuat penerimaan negara.

Desakan ini mencuat di tengah sorotan tajam terhadap kondisi fiskal Rumania. Komisi Eropa sebelumnya menyatakan bahwa negara tersebut gagal mengendalikan defisit sejak 2020. Pada 2024, defisit APBN Rumania mencapai 9,3% dari Produk Domestik Bruto (PDB), tertinggi di antara seluruh negara anggota Uni Eropa, dan jauh melampaui target 7,9%.

Kondisi ini memburuk dari tahun sebelumnya yang mencatat defisit 6,6%. Tanpa reformasi kebijakan yang mendalam, Rumania berpotensi menghadapi sanksi fiskal dari Brussels dan tekanan pasar yang lebih besar di masa mendatang. (alf)

 

Pemerintah Longgarkan Pajak Barang Bawaan Penumpang, Aturan Baru Berlaku 6 Juni 2025

IKPI, Jakarta: Ada kabar gembira bagi para pelancong dari luar negeri. Pemerintah resmi melonggarkan aturan perpajakan atas barang bawaan penumpang internasional melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 34 Tahun 2025. Regulasi anyar ini menjadi revisi total atas PMK 203 Tahun 2017, dan akan mulai diterapkan pada 6 Juni 2025.

PMK 34/2025 membawa angin segar bagi pelaku perjalanan internasional, dengan memberikan sejumlah kemudahan serta kejelasan hukum dalam proses kepabeanan. Diundangkan pada 28 Mei lalu, aturan ini mempertegas hak dan kewajiban penumpang serta awak sarana pengangkut, sekaligus menyederhanakan sejumlah prosedur yang sebelumnya dianggap rumit dan memberatkan.

Salah satu hal utama adalah perluasan fasilitas pemberitahuan lisan. Jika sebelumnya hanya bisa dilakukan di tempat tertentu, kini kelompok rentan seperti lansia, penyandang disabilitas, jemaah haji reguler, hingga tamu negara kategori VVIP mendapat kemudahan menyampaikan pemberitahuan secara langsung tanpa prosedur rumit.

Yang juga patut dicatat, dalam aturan baru ini barang pribadi yang melebihi batas nilai bebas bea (FOB US$500) tetap dikenai bea masuk dan PPN/PPnBM, namun tidak lagi dipungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22. Ini artinya, beban fiskal bagi penumpang jadi lebih ringan dan jelas.

Bagi jemaah haji, kebijakan ini adalah bentuk nyata perhatian pemerintah. Jemaah reguler kini bebas dari bea masuk untuk seluruh barang pribadi. Sementara jemaah haji khusus mendapat pembebasan hingga FOB US$2.500 per orang, per kedatangan.

PMK ini juga mengakomodasi penghargaan internasional. Bagi WNI yang menerima medali, trofi, atau hadiah lain dari ajang resmi luar negeri, bea masuk akan dibebaskan selama penerima bisa menunjukkan bukti sah partisipasi.

Tak kalah penting, tarif untuk barang nonpribadi kini lebih spesifik. Ketimbang mengikuti tarif umum, barang-barang tersebut dikenakan bea masuk 10%, PPN/PPnBM, serta PPh 5%. Sementara untuk barang pribadi yang melebihi batas bebas bea, tarif tetap 10% dengan penghapusan pungutan PPh.

Pemerintah juga memperjelas dasar pengenaan pajak. Dokumen Customs Declaration (CD) dan PIBK ditetapkan sebagai acuan resmi untuk perhitungan nilai dan pungutan pajak. Hal ini memberikan kepastian hukum dan meminimalisir potensi sengketa.

Aturan Berlaku Surut, Mulai Januari 2025

Yang cukup mengejutkan, PMK 34/2025 berlaku surut. Artinya, penghapusan PPh juga berlaku bagi barang pribadi penumpang dan awak sarana pengangkut yang sudah diimpor sejak 1 Januari 2025—selama mendapat pembebasan bea masuk.

Pemerintah juga menegaskan bahwa bea masuk tambahan tidak dikenakan pada barang pribadi penumpang dan awak, sebuah ketentuan baru yang memberikan rasa aman tambahan bagi pelancong.

Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai, Nirwala Dwi Heryanto, menyatakan bahwa terbitnya PMK 34/2025 adalah wujud komitmen pemerintah untuk terus menyempurnakan pelayanan.

“Aturan ini hadir sebagai respons atas kebutuhan masyarakat dan demi memberikan kepastian hukum dalam proses kepabeanan barang bawaan penumpang,” ujar Nirwala saat media briefing di Jakarta, Rabu (4/6/2025).

Dengan kebijakan ini, Bea Cukai berharap arus masuk barang bawaan akan lebih terkendali, sesuai dengan arah kebijakan ekonomi dan perdagangan nasional, tanpa mengorbankan kenyamanan masyarakat. (alf)

 

Faktur Pajak Gabungan jadi Solusi Praktis PKP dengan Banyak Transaksi Bulanan

IKPI, Jakarta: Pelaku usaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib menyusun faktur pajak setiap kali melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP). Namun, bagi PKP yang kerap melakukan transaksi berulang kepada pelanggan yang sama dalam satu bulan, kini ada solusi efisien dengan menggunakan faktur pajak gabungan.

Ketentuan terbaru mengenai faktur pajak gabungan diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025, yang memberikan kemudahan dalam penyusunan administrasi pajak. Faktur ini memperbolehkan PKP menggabungkan seluruh transaksi kepada satu pembeli dalam sebulan menjadi satu dokumen pajak.

Apa Itu Faktur Pajak Gabungan?

Faktur pajak gabungan adalah faktur yang memuat akumulasi penyerahan BKP dan/atau JKP kepada satu pihak yang sama dalam satu bulan kalender. Misalnya, jika PT A menjual barang kepada PT B sebanyak tiga kali selama bulan April, PT A dapat menyusun satu faktur gabungan yang mencakup semua transaksi tersebut.

Berbeda dari faktur pajak pedagang eceran (faktur digunggung), faktur gabungan bisa digunakan tanpa mempersoalkan apakah pembelinya merupakan konsumen akhir atau bukan. Ini menjadikannya fleksibel dan sangat berguna untuk pelaku usaha menengah hingga besar.

Beberapa hal yang wajib diperhatikan PKP saat membuat faktur pajak gabungan antara lain:

• Satu Pembeli, Satu Bulan: Faktur hanya boleh dibuat jika seluruh transaksi ditujukan kepada pembeli yang sama dan terjadi dalam bulan yang sama.

• Satu Kode Transaksi: Jika terdapat transaksi dengan kode berbeda (misalnya kode untuk penjualan biasa dan penjualan barang mewah), maka harus dibuat faktur terpisah per kode.

• Informasi Wajib: Nama, NPWP, alamat penjual dan pembeli, rincian transaksi, nominal PPN dan PPnBM, serta nomor seri dan tanda tangan penanggung jawab wajib tercantum lengkap.

Namun, tidak semua transaksi bisa digabung. Penyerahan BKP/JKP yang mendapat fasilitas PPN tidak dipungut atau dibebaskan tidak boleh dimasukkan dalam faktur gabungan.

Faktur pajak gabungan harus diterbitkan paling lambat akhir bulan saat penyerahan BKP/JKP dilakukan. Uang muka yang diterima pada bulan tersebut juga wajib dimasukkan ke dalam faktur gabungan.

Sebagai ilustrasi, PT X melakukan beberapa penyerahan BKP kepada PT B sepanjang September 2025 dengan total nilai transaksi dan uang muka sebesar Rp10.250.000. Seluruh transaksi tersebut dapat dijadikan satu faktur gabungan yang dibuat maksimal tanggal 30 September 2025. (alf)

 

 

DJP Ubah Aturan Main Pelaporan PPN Melalui Formulir C 

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi meluncurkan Formulir C sebagai bagian dari reformasi administrasi perpajakan melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 (PER-11/2025). Formulir baru ini diperkenalkan sebagai instrumen pelaporan khusus bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) atas nama pihak lain.

Langkah ini menandai berakhirnya masa berlaku PER-29/PJ/2015 yang selama satu dekade menjadi pedoman penyampaian SPT Masa PPN. Dengan demikian, Formulir 1111 AB—yang sebelumnya digunakan untuk merekap penyerahan, perolehan, dan penghitungan pajak masukan—resmi ditinggalkan.

Menurut Lampiran E dalam aturan baru tersebut, Formulir C diwajibkan bagi PKP yang memfasilitasi transaksi penjualan Barang Kena Pajak (BKP) maupun Jasa Kena Pajak (JKP), baik berwujud maupun tidak. Formulir ini harus mencantumkan secara rinci data penjual dan pembeli, nomor faktur pajak, tipe transaksi, nilai transaksi, hingga jumlah PPN atau PPnBM yang dipungut.

Berbagai jenis transaksi telah diklasifikasikan secara spesifik menggunakan kode transaksi, antara lain:

• 001: Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar negeri melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).

• 002: Pengadaan barang atau jasa melalui sistem informasi pengadaan pemerintah.

• 003: Transaksi terkait perdagangan aset kripto.

• 100: Jenis transaksi lainnya sesuai petunjuk teknis di portal wajib pajak.

Penunjukan “pihak lain” dalam konteks ini merujuk pada pihak yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewajiban pemungutan atau pelaporan pajak berdasarkan Pasal 32A Undang-Undang KUP. Mereka bertindak sebagai penghubung langsung dalam transaksi yang melibatkan pemungutan pajak, termasuk pelaku platform digital atau marketplace.

Dengan Formulir C, DJP menegaskan komitmennya dalam menciptakan sistem pelaporan PPN yang lebih transparan, akuntabel, dan adaptif terhadap perkembangan model bisnis digital. Reformasi ini diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan sekaligus menyederhanakan proses administrasi perpajakan bagi pelaku usaha dan pemungut PPN non-tradisional. (alf)

 

 

Mulai 1 Juli Pengusaha Wajib Pusatkan PPN

IKPI, Jakarta: Dunia usaha perlu bersiap menghadapi transformasi besar dalam sistem administrasi perpajakan. Mulai 1 Juli 2024, pengusaha kena pajak (PKP) wajib melakukan pemusatan tempat Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terutang. Ketentuan ini merupakan bagian dari implementasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2023 yang sekaligus menghapus penggunaan NPWP cabang.

Dalam aturan tersebut, setiap transaksi penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) antarunit usaha, baik dari pusat ke cabang maupun antarcabang secara resmi diakui sebagai penyerahan BKP sebagaimana tertuang dalam Pasal 1A ayat (1) huruf f UU PPN. Artinya, jika tidak dilakukan pemusatan, masing-masing cabang dapat dikenai PPN secara terpisah.

Namun, dengan berlakunya PMK 136/2023 yang merevisi PMK 112/2022, pemerintah menegaskan bahwa pemusatan bukan lagi bersifat opsional, melainkan kewajiban administratif. Seluruh kegiatan usaha harus dilaporkan secara terintegrasi, terlepas dari lokasi cabang.

Selain menekan potensi penghindaran pajak, pemusatan juga memberikan manfaat efisiensi, khususnya bagi perusahaan yang beroperasi di wilayah terpencil. Pengumpulan data dan pelaporan SPT Masa PPN yang sebelumnya memakan biaya dan waktu, kini dapat dilakukan secara lebih ringkas melalui satu titik pusat.

Dengan sistem baru ini, transaksi internal antarunit usaha tidak lagi dianggap sebagai penyerahan kena pajak. Konsekuensinya, PKP tidak perlu menerbitkan faktur pajak untuk transaksi antarcabang, yang secara signifikan mengurangi beban administrasi.

Sebagai langkah antisipasi, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah mengeluarkan ketentuan PENG-4/PJ.09/2024, yang menyatakan bahwa bila PKP tidak menyampaikan pemberitahuan pemusatan hingga 30 April 2024, DJP akan menetapkannya secara jabatan berdasarkan tempat kedudukan PKP.

Di sisi lain, pemerintah kini memperkenalkan Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha (NITKU) sebagai pengganti identitas cabang. NITKU digunakan sebagai penanda lokasi usaha, namun seluruh kewajiban perpajakan tetap dipusatkan dan ditangani melalui NPWP pusat.

Seiring dengan diberlakukannya sistem Coretax sejak 1 Januari 2025, yang mewajibkan seluruh pelaporan dilakukan secara digital dan terpusat, pelaku usaha dituntut untuk menyesuaikan sistem pelaporan internal mereka. (alf)

 

IKPI Gelar Diskusi Panel Nasional: Kupas Efektivitas Tax Amnesty untuk Dorong Penerimaan Negara

IKPI, Jakarta: Dalam rangka melanjutkan kajian strategis terhadap peningkatan penerimaan pajak dan reformasi kebijakan fiskal di Indonesia, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) kembali menggelar sebuah forum diskusi panel nasional bertajuk “Tax Amnesty: Efektifkah Mengakselerasi dan Mendongkrak Penerimaan Pajak?”. Kegiatan ini menjadi bagian dari rangkaian seri diskusi yang telah dilaksanakan oleh IKPI untuk membedah isu-isu krusial dalam sistem perpajakan Indonesia, yang sebelumnya telah mengangkat topik tentang Tax Ratio dan optimalisasi peran Badan Penerimaan Negara.

Ketua Umum IKPI, Vaudy Starworld, menyampaikan bahwa penyelenggaraan forum ini merupakan bentuk komitmen IKPI untuk terus berkontribusi secara aktif dalam pembangunan sistem perpajakan yang lebih adil, transparan, dan efektif.

Menurutnya, isu tax amnesty atau pengampunan pajak kembali menjadi sorotan di tengah upaya pemerintah untuk mencari strategi baru dalam mengakselerasi penerimaan negara, terutama di tengah dinamika ekonomi global dan kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin besar.

“Tema Tax Ratio dan Badan Penerimaan Negara telah kita dalami bersama dalam dua seri diskusi sebelumnya. Kini, IKPI menghadirkan forum diskusi yang membahas efektivitas kebijakan tax amnesty sebagai salah satu instrumen untuk mendongkrak penerimaan pajak. Diskusi ini diharapkan tidak hanya menjadi ruang tukar gagasan, tetapi juga memberikan rekomendasi konkret dalam perumusan kebijakan fiskal nasional,” ungkap Vaudy, Sabtu (7/6/2025).

Diskusi panel yang akan digelar pada Jumat, 13 Juni 2025 pukul 15.00–18.00 WIB melalui platform Zoom Meeting ini, menghadirkan para narasumber yang memiliki rekam jejak dan keahlian mumpuni di bidang perpajakan dan kebijakan publik. Mereka antara lain:

• Dr. Robert Pakpahan, Ak., Direktur Jenderal Pajak RI periode 2017–2019, yang dikenal sebagai salah satu arsitek reformasi pajak digital. Saat ini merupakan Anggota Kehormatan IKPI.

• Ir. Harry Gumelar, M.Sc., Direktur dan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (2011–2024), sekaligus Ketua Umum Persatuan Ahli Digitalisasi Pajak Indonesia (2024–sekarang). Saat ini merupakan Anggota Kehormatan IKPI.

• Ajib Hamdani, S.E., analis kebijakan ekonomi dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), yang aktif mengawal isu reformasi fiskal dan investasi.

• Dr. Heru R. Hadi, Ak., S.H., M.H., C.P.A., akademisi dari Universitas Brawijaya Malang, yang juga pakar hukum perpajakan dan tata kelola fiskal. Saat ini merupakan Anggota Dewan Penasehat IKPI.

Diskusi ini akan dipandu oleh moderator berpengalaman, Hung Hung Natalya, S.E., S.H., Ms in Finance, C.Med., merupakan anggota IKPI dan pernah menjadi pengurus pada Departemen Pendidikan Pengurus Pusat IKPI periode 2019–2024.

Selain menjadi forum ilmiah, kegiatan ini juga diharapkan dapat menjadi ajang peningkatan kompetensi dan wawasan praktisi perpajakan, baik anggota IKPI maupun masyarakat luas yang berkecimpung di sektor perpajakan, hukum, ekonomi, hingga pemerintahan. Oleh karena itu, acara ini terbuka untuk umum dan tidak dipungut biaya (gratis), sebagai bagian dari kontribusi IKPI dalam mencerdaskan dan memperkuat ekosistem perpajakan nasional.

Bagi masyarakat yang ingin bergabung, dapat melakukan registrasi melalui tautan berikut: https://bit.ly/DiskusiPanelTaxAmnesty

Dengan semakin meningkatnya tantangan penerimaan negara dan kebutuhan akan reformasi kebijakan fiskal yang adaptif, Vaudy berharap diskusi ini dapat memberikan perspektif baru dalam menjawab pertanyaan kunci: apakah tax amnesty benar-benar mampu menjadi solusi jangka panjang atau sekadar tambalan sesaat bagi penerimaan negara?. (bl)

Tax Amnesty Jilid III: Pilihan Logis atau Sekadar Ilusi Kebijakan?

Ketika tahun 2025 baru saja bergulir, publik dikejutkan oleh kemunculan wacana yang cukup kontroversial: pengampunan pajak atau Tax Amnesty Jilid III. Wacana ini tidak datang dari ruang hampa. Ia mengemuka setelah Rancangan Undang-Undang (RUU) Tax Amnesty resmi masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025. Sorotan semakin tajam ketika Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Budi Gunawan, secara terbuka menyatakan bahwa pemerintah tengah menyiapkan skema pengampunan pajak terbaru tersebut.

Dalam konferensi pers Rapat Tingkat Menteri Desk Koordinasi Pencegahan Korupsi dan Tata Kelola di Kejaksaan Agung pada 2 Januari 2025, Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan RI, Budi Gunawan menegaskan bahwa program ini dirancang sebagai solusi strategis untuk menarik kembali aset dan devisa negara, terutama yang terkait dengan kasus-kasus korupsi besar. Ia menyebut bahwa saat ini Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Keuangan tengah menggodok secara serius kerangka kebijakan ini.

Kemunculan wacana ini tidak bisa dilepaskan dari realitas fiskal yang tengah dihadapi negara. Penerimaan pajak yang menjadi tulang punggung pembiayaan negara masih menunjukkan tren melemah. Berdasarkan laporan dari CNBC Indonesia, hingga April 2025 penerimaan pajak tercatat hanya mencapai Rp 557,1 triliun. Angka ini mengalami penurunan cukup tajam, yakni 10,74% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu Rp 624,19 triliun per April 2024.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui tantangan ini. Dalam konferensi pers APBN di Kantor Pusat Kementerian Keuangan, Jakarta, pada 23 Mei 2025, ia menjelaskan bahwa angka penerimaan tersebut baru mencapai 25,4% dari target APBN 2025 yang sebesar Rp 2.189,3 triliun. Dengan kata lain, pemerintah menghadapi tekanan berat untuk menutup potensi defisit yang bisa membengkak jika penerimaan pajak tidak segera diperbaiki.

Dalam konteks ini, Tax Amnesty Jilid III muncul sebagai opsi cepat untuk memperbaiki likuiditas negara. Dalam teori kebijakan fiskal, extraordinary times call for extraordinary measures. Namun, apakah pengampunan pajak masih bisa dikategorikan sebagai langkah luar biasa jika dilakukan terlalu sering?

Tarik Ulur Antara Rasionalitas Fiskal dan Keadilan Publik

Di satu sisi, para pendukung kebijakan ini menyambut positif. Mereka menilai pengampunan pajak bisa menjadi instrumen jitu untuk mempercepat penerimaan negara. Tak hanya itu, kehadiran sistem administrasi perpajakan digital terbaru, yakni coretax, yang diluncurkan pemerintah pada awal 2025, memberi harapan bahwa program ini tidak hanya mengumpulkan dana sesaat, tetapi juga memperkuat basis data dan kepatuhan pajak jangka panjang.

Mereka berargumen bahwa di tengah perlambatan ekonomi global dan ketidakpastian geopolitik yang berdampak pada perekonomian domestik, fleksibilitas fiskal adalah suatu keharusan. Tax Amnesty diyakini bisa mendorong repatriasi aset, meningkatkan likuiditas domestik, dan membuka jalan bagi reformasi struktural di bidang perpajakan. Apalagi jika program ini dibarengi dengan peningkatan kapasitas pengawasan dan penegakan hukum yang lebih tegas setelahnya.

Namun, sisi gelap dari kebijakan ini tidak bisa diabaikan. Kritik tajam datang dari kelompok yang menilai Tax Amnesty sebagai bentuk pengkhianatan terhadap prinsip keadilan pajak. Kebijakan ini dianggap menyuburkan moral hazard: memberi sinyal bahwa ketidakpatuhan bisa dimaafkan dan bahkan diuntungkan. Para wajib pajak patuh merasa dianaktirikan, karena mereka yang sengaja menyembunyikan kekayaan malah mendapat pintu masuk untuk “cuci dosa” tanpa sanksi tegas.

Yang menjadi kekhawatiran lebih besar adalah jarak waktu yang terlalu pendek dari program Tax Amnesty sebelumnya. Jika pengampunan pajak dilakukan terlalu sering, maka akan menimbulkan persepsi publik bahwa pemerintah tidak serius menegakkan aturan perpajakan. Ini justru bisa mendorong tingkat ketidakpatuhan yang lebih tinggi ke depan, karena pelaku ekonomi bisa berspekulasi bahwa akan selalu ada “pengampunan jilid selanjutnya.”

Tax Amnesty Bukan Obat Mujarab

Indonesia telah dua kali menjalankan program Tax Amnesty: pertama pada 1984 (bersamaan dengan reformasi sistem self-assessment), dan kedua pada 2016-2017 yang digagas oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo. Program Tax Amnesty 2016 berhasil menghimpun deklarasi harta hingga Rp 4.865 triliun dan penerimaan uang tebusan sebesar Rp 114 triliun. Meskipun secara nominal tergolong besar, kritik tetap muncul karena sebagian besar harta yang dideklarasikan tidak benar-benar direpatriasi, dan dampak jangka panjang terhadap kepatuhan pajak dinilai minim.

Oleh karena itu, pelajaran penting dari pengalaman tersebut adalah bahwa Tax Amnesty hanya bisa berhasil jika disertai reformasi struktural yang berkelanjutan. Tanpa itu, ia hanya menjadi tambal sulam fiskal yang bersifat sementara.

Perdebatan soal Tax Amnesty Jilid III mungkin tidak akan pernah menemukan titik temu. Masing-masing pihak membawa sudut pandang, kepentingan, dan pengalaman yang berbeda. Namun satu hal yang pasti: keputusan akhir dari wacana ini akan sangat politis. Pemerintah dan DPR tentu memiliki kalkulasi tersendiri, baik fiskal, ekonomi, maupun elektoral.

Apakah Tax Amnesty Jilid III adalah pilihan yang logis atau tidak logis? Itu bukan semata soal angka atau opini teknokrat. Pada akhirnya, logis atau tidaknya kebijakan ini akan diukur dari dampaknya terhadap keadilan sosial, kepatuhan jangka panjang, dan kepercayaan publik terhadap institusi negara.

Jika pemerintah tetap memilih untuk melanjutkan wacana ini menjadi kebijakan nyata, maka transparansi, integritas, dan ketegasan dalam menindak ketidakpatuhan pasca-program akan menjadi ujian terbesar. Tanpa itu, Tax Amnesty hanya akan menjadi ilusi kebijakan: terlihat masuk akal di atas kertas, tapi gagal dalam pelaksanaan.

Penulis adalah Ketua Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)

Pino Siddharta

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

DJP Jaksus Ajak Mahasiswa UBSI Lihat Pajak sebagai Kontribusi Bangsa

IKPI, Jakarta: Pajak bukanlah beban, melainkan bentuk kontribusi nyata untuk membangun negeri. Pesan inilah yang disampaikan oleh Kepala Bidang Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Khusus, Ani Natalia, saat memberikan pembekalan kepada 400 mahasiswa Program Studi Manajemen Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI), Selasa (6/5/2025) di Jakarta.

Di hadapan para mahasiswa, Ani mengajak generasi muda untuk menumbuhkan growth mindset, pola pikir berkembang yang dinilainya sangat penting dalam menghadapi tantangan dunia kerja. Menurutnya, pola pikir ini tak hanya menunjang kesuksesan karier, tetapi juga membentuk kesadaran akan pentingnya pajak bagi kemajuan bangsa.

“Di dunia kerja yang terus berubah, growth mindset bukan sekadar pilihan, tapi keharusan. Mereka yang mampu belajar dan beradaptasi akan melaju lebih cepat. Begitu juga dalam memandang pajak—harus dilihat sebagai kontribusi, bukan beban,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat (6/6/2025).

Ani menyayangkan masih banyak kalangan, termasuk generasi muda, yang terjebak dalam fixed mindset, yakni pola pikir tetap yang menganggap pajak sebagai sekadar kewajiban yang membebani. Padahal, menurutnya, membayar pajak adalah bentuk nyata cinta pada Tanah Air.

“Dengan growth mindset, kita dapat melihat pajak dari sudut pandang yang lebih luas, sebagai bagian dari tanggung jawab moral dan sosial,” tegas Ani.

Senada dengan itu, Rektor UBSI Mochamad Wahyudi menegaskan pentingnya membangun budaya sadar pajak di lingkungan kampus. Ia menyebut UBSI berkomitmen mendidik mahasiswa agar tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga memiliki semangat kontribusi melalui pemahaman perpajakan sejak dini.

“Mahasiswa UBSI harus siap menghadapi dunia kerja, tapi juga sadar peran sosialnya. Pajak bukan sekadar urusan administratif, tapi bentuk pengabdian untuk negeri,” tutur Wahyudi.

Dukungan UBSI terhadap literasi perpajakan telah diwujudkan lewat berbagai kerja sama strategis dengan Kanwil DJP Jaksus, termasuk pelaksanaan Bimbingan Teknis Aplikasi Core Tax di Kampus UBSI Kalimalang pada Februari lalu. Kegiatan itu diikuti puluhan pegawai UBSI yang mempelajari fitur-fitur layanan Coretax.

Melalui edukasi berkelanjutan seperti ini, diharapkan mahasiswa UBSI tumbuh menjadi generasi sadar pajak yang tidak hanya cerdas, tetapi juga bertanggung jawab terhadap masa depan bangsa. (alf)

 

Urus Balik Nama PBB Kini Lebih Mudah, Pemilik Properti di Jakarta Bisa Ajukan Secara Online

IKPI, Jakarta: Kabar baik bagi para pemilik properti di Ibu Kota! Mulai sekarang, proses pengajuan balik nama atau mutasi Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dapat dilakukan secara daring melalui situs Pajak Online Jakarta. Inovasi digital ini diharapkan mempercepat pelayanan publik dan mengurangi antrian di kantor pajak.

Mutasi PBB, atau biasa dikenal dengan balik nama, merupakan langkah penting untuk memperbarui data kepemilikan atas suatu objek pajak setelah terjadi perpindahan hak, seperti akibat jual beli, hibah, atau warisan. Dengan melakukan mutasi, Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) akan mencantumkan nama pemilik yang sah dan terbaru.

Tak perlu lagi datang langsung ke kantor pelayanan pajak. Cukup dari rumah, Anda sudah bisa mengurusnya dengan mudah. Berikut panduan praktis untuk mengajukan permohonan mutasi PBB-P2 secara online:

Panduan Singkat Mutasi PBB-P2 via Pajak Online Jakarta

1. Akses Situs Pajak Online

Buka laman resmi di https://pajakonline.jakarta.go.id

2. Login ke Akun Anda

Klik “Masuk” dan gunakan email serta password yang sudah terdaftar. Jangan lupa centang “I’m Not A Robot”.

3. Pilih Jenis Pajak PBB

Di menu utama, klik “Jenis Pajak” lalu pilih “PBB”.

4. Ajukan Layanan Mutasi

Masuk ke menu “Pelayanan”, kemudian klik “Tambah Permohonan Pelayanan”.

5. Lengkapi Formulir Digital

Pilih “Mutasi” pada kolom Jenis Pelayanan

Isi data pribadi dan data objek pajak secara lengkap

Unggah dokumen-dokumen pendukung yang diminta

6. Konfirmasi dan Simpan

Cek ulang semua informasi. Setelah yakin benar, centang pernyataan persetujuan, lalu klik “Simpan”.

7. Pantau Proses Secara Real-Time

Lihat perkembangan permohonan Anda di halaman “Pelayanan PBB”, yang akan menampilkan status terbaru, mulai dari “Proses Verifikasi” hingga “Berkas Selesai”.

8. Unduh Bukti Tanda Terima

Jika permohonan telah disetujui, Anda bisa langsung mengunduh dan mencetak Surat Tanda Terima dari sistem.

Tips Sukses Mengajukan Mutasi Online

  • Pastikan dokumen yang diunggah lengkap dan sesuai ketentuan.
  • Gunakan koneksi internet yang stabil saat mengisi data.
  • Cek secara berkala status permohonan melalui akun Anda.

Langkah digital ini merupakan bagian dari komitmen Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menghadirkan pelayanan pajak yang modern, transparan, dan mudah diakses. Dengan sistem online, pengurusan PBB kini lebih hemat waktu dan tenaga.

Untuk informasi selengkapnya, masyarakat dapat mengunjungi situs resmi Pajak Online Jakarta, atau menyimak video panduan resmi yang tersedia di platform tersebut. (alf)

 

.

 

 

id_ID