Gagasan Pembentukan BPN Tak Jamin Naikkan Rasio Pajak, INDEF: Tergantung Arah Kebijakan

IKPI, Jakarta: Gagasan Presiden Terpilih Prabowo Subianto untuk membentuk Badan Penerimaan Negara sebagai upaya mendongkrak rasio penerimaan hingga 23 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menuai catatan kritis dari kalangan ekonom. Salah satunya datang dari Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Berly Martawardaya.

Dalam diskusi panel bertajuk “Membedah Stagnasi Tax Ratio Indonesia: Masalah Struktural, Teknis, atau Ekonomi?” yang digelar Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) pada 19 Mei 2025, Berly menyatakan bahwa pendirian lembaga baru belum tentu berdampak langsung terhadap peningkatan rasio pajak.

“Di beberapa negara, pengubahan struktur kelembagaan dari Direktorat Jenderal Pajak menjadi badan semi otonom seperti SARA [Semi-Autonomous Revenue Authority] tidak selalu berhasil menaikkan rasio penerimaan. Semua tergantung pada arah kebijakan, wewenang yang jelas, serta pelaksanaan yang konsisten,” ujar Berly.

Menurut Berly, pembentukan badan khusus seperti Badan Penerimaan Negara hanyalah salah satu opsi dalam kerangka reformasi perpajakan. Ia justru mendorong pendekatan yang lebih holistik dengan mengoptimalkan mesin pertumbuhan ekonomi nasional seperti konsumsi rumah tangga, investasi, belanja pemerintah, dan ekspor.

“Kalau mau meningkatkan pajak, kita harus melihat ke sektor riil. Misalnya sektor pertanian yang kontribusinya ke PDB cukup besar lebih dari 12 persen namun minim dalam penerimaan pajak karena sifatnya masih sangat informal,” jelasnya.

Berly menyoroti bahwa struktur ekonomi Indonesia yang masih didominasi sektor informal menjadi tantangan utama dalam memperluas basis pajak. Ia juga menilai sektor-sektor potensial seperti transportasi, logistik, dan teknologi informasi belum sepenuhnya tergarap optimal dari sisi perpajakan.

Lebih jauh, ia mengungkapkan kekhawatirannya atas tren penurunan konsumsi rumah tangga di kuartal I-2025, yang kini berada di bawah lima persen. Padahal, konsumsi rumah tangga selama ini menyumbang lebih dari separuh PDB nasional.

“Jika konsumsi dan investasi terus melambat, maka wajar bila penerimaan negara ikut tertekan. Pemerintah harus merancang kebijakan yang mampu memulihkan daya beli masyarakat,” tegasnya.

Dengan demikian, Berly menilai bahwa memperkuat basis ekonomi produktif dan memberantas sektor informal yang tidak tersentuh pajak menjadi kunci, bukan semata-mata membentuk institusi baru. (bl)

 

 

 

Guru Besar UI Desak Presiden Segera Bentuk Badan Penerimaan Negara

IKPI, Jakarta: Stagnasi rasio pajak Indonesia kembali menjadi perbincangan hangat di tengah publik. Dalam Diskusi Panel yang diselenggarakan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) bertajuk “Membedah Stagnasi Tax Ratio Indonesia: Masalah Struktural, Teknis, atau Ekonomi?”, Senin (19/5/2025), Guru Besar Kebijakan Publik Perpajakan FIA UI, Prof. Haula Rosdiana, menyampaikan desakan kepada Presiden Prabowo Subianto agar segera merealisasikan pembentukan Badan Penerimaan Negara.

“Sudah saatnya kita jujur melihat persoalan tata kelola perpajakan. Teman-teman di Direktorat Jenderal Pajak terus didorong berada di garis depan, padahal secara struktural dan kelembagaan mereka belum diberi ruang gerak yang cukup. Kita butuh lembaga yang benar-benar agile, mampu beradaptasi dengan cepat di tengah perubahan,” ujar Haula dalam paparannya.

Haula menekankan bahwa pembentukan Badan Penerimaan Negara bukan sekadar janji kampanye, melainkan kebutuhan strategis untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan pendapatan negara.

Menurutnya, lembaga ini tidak hanya menyatukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), melainkan menjadi bagian dari transformasi kelembagaan secara menyeluruh.

Ia menyoroti bahwa reformasi perpajakan yang sudah berjalan sejak 1983 dan proyek modernisasi sistem seperti Coretax belum menunjukkan hasil signifikan terhadap peningkatan tax ratio. “IT itu hanya komponen kecil. Transformasi kelembagaan jauh lebih mendasar,” tegasnya.

Lebih lanjut, Haula menjelaskan bahwa Badan Penerimaan Negara nantinya akan mengintegrasikan seluruh sumber penerimaan, termasuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang selama ini berada di bawah kendali Direktorat Jenderal Anggaran. (bl)

 

Jangan Kejar Tax Ratio dengan Bebani Rakyat, Ekonom Kritik Rencana BMAD Benang Tekstil

IKPI, Jakarta: Pengamat ekonomi senior Ichsanuddin Noorsy menyoroti rencana pemerintah mengenakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk benang Partially Oriented Yarn (POY) dan Drawn Textured Yarn (DTY) yang dianggapnya bisa menjadi pukulan telak bagi industri tekstil nasional. Menurut Ichsanuddin, kebijakan tersebut berpotensi mendorong restrukturisasi biaya besar-besaran di sektor tekstil, yang pada akhirnya bisa memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Kalau BMAD diterapkan, jalan keluar satu-satunya adalah restrukturisasi biaya. Dan langkah paling cepat adalah PHK,” ujarnya kepada wartawan, Selasa (20/5/2025).

Ia menyebut kebijakan fiskal semacam itu tidak adil. Industri tekstil, katanya, tidak bisa disamakan dengan sektor lain karena menyangkut kebutuhan pokok masyarakat, yakni sandang. “Industri tekstil tidak bisa sepenuhnya dilepas ke mekanisme pasar. Ini soal hajat hidup orang banyak,” tegasnya.

Kebijakan Pajak Dinilai Usang

Ichsanuddin juga menilai sistem perpajakan Indonesia saat ini sudah tertinggal jauh dibandingkan negara-negara lain. Ia mencontohkan negara seperti Jepang, India, Bangladesh, dan Vietnam yang masih memberikan insentif fiskal untuk melindungi industri tekstil mereka.

“Di banyak negara, industri tekstil diperlakukan sebagai sektor strategis. Pemerintah mereka memberi berbagai bentuk keringanan pajak untuk menjaga daya saing,” jelasnya.

Ia mengingatkan pemerintah agar tidak menjadikan BMAD sebagai solusi tunggal untuk meningkatkan rasio pajak nasional. Menurutnya, peningkatan penerimaan negara seharusnya difokuskan pada pembenahan sistem pengawasan dan penegakan hukum pajak, terutama terhadap korporasi besar yang kerap menghindari kewajiban mereka.

“Masalah utamanya adalah lemahnya penindakan terhadap kejahatan perpajakan oleh korporasi, baik dalam maupun luar negeri. Jangan sampai rakyat terus dibebani, sementara korporasi besar dibiarkan lolos,” pungkasnya. (alf)

 

 

id_ID