DJP Sederhanakan Pelaporan SPT dan e-Faktur Coretax Melalui PER-11/2025 

IKPI ,Jakarta: Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi mengesahkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 pada 22 Mei 2025. Regulasi setebal 119 halaman ini dirancang untuk memberikan kepastian hukum, menyederhanakan administrasi, serta mendukung implementasi Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax) yang tengah diperbarui.

Dalam konsiderannya, PER-11/2025 ditegaskan sebagai respon atas kebutuhan sistem pelaporan pajak yang lebih adaptif terhadap dinamika bisnis dan teknologi saat ini. Ketentuan lama dinilai belum memadai dalam menjawab tantangan pelaporan pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), dan bea meterai.

PER-11/2025 menghadirkan pengaturan komprehensif seputar bentuk, isi, dan prosedur pengisian serta penyampaian berbagai jenis Surat Pemberitahuan (SPT), antara lain:

• SPT Masa PPh, mencakup:

• PPh Pasal 21/26;

• SPT Masa PPh Unifikasi;

• Laporan penerimaan negara dari usaha hulu migas.

• SPT Masa PPN, untuk:

• Pengusaha Kena Pajak (PKP);

• PKP dengan pedoman khusus pengkreditan pajak masukan;

• Pemungut PPN yang bukan PKP.

• SPT Masa Bea Meterai.

• SPT Tahunan PPh, termasuk:

• Wajib Pajak orang pribadi;

• Wajib Pajak badan, baik dalam rupiah maupun dolar AS, khususnya bagi entitas usaha hulu migas.

• Laporan Penghitungan Angsuran PPh Pasal 25 untuk bank, BUMN, BUMD, perusahaan terbuka, dan Wajib Pajak lainnya.

• Dokumen Lampiran SPT, termasuk format, jenis, dan sarana penyampaiannya.

• Prosedur Penyampaian dan Pengolahan SPT oleh DJP.

Seluruh SPT wajib memuat elemen dasar seperti jenis pajak, identitas dan NPWP Wajib Pajak, masa/tahun pajak, serta tanda tangan (manual atau elektronik) dari Wajib Pajak atau kuasanya.

Aturan Teknis Pembuatan e-Faktur

Selain pelaporan SPT, PER-11/2025 juga menegaskan ketentuan baru dalam penerbitan faktur pajak elektronik. Dalam Pasal 40 disebutkan bahwa faktur pajak wajib berbentuk dokumen elektronik dan dibuat melalui:

• Portal Wajib Pajak; atau

• Aplikasi lain yang terhubung langsung dengan sistem administrasi DJP.

Faktur tersebut harus mencantumkan tanda tangan elektronik.

Lebih lanjut, Pasal 44 b mengatur bahwa e-Faktur wajib diunggah ke DJP paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah dibuat, menggunakan modul e-Faktur yang telah disediakan. Persetujuan dari DJP menjadi syarat sahnya faktur tersebut.

Transformasi Pajak Lewat Coretax

PER-11/2025 merupakan salah satu pilar penting dalam agenda transformasi digital DJP melalui Coretax. Dengan kejelasan aturan dan kemudahan teknis yang ditawarkan, pemerintah berharap pelaporan pajak makin efisien, akuntabel, dan terintegrasi.

Wajib Pajak baik individu, badan, maupun entitas usaha migas diimbau segera mempelajari dan menyesuaikan diri dengan ketentuan baru ini agar tidak terkendala dalam proses pelaporan pajak. (alf)

 

Norwegia Uji Coba Pemberian Potongan Pajak Kepada100 Ribu Pemuda Terpilih

IKPI, Jakarta: Pemerintah Norwegia akan memberikan fasilitas potongan pajak yang mencapai Rp 43,7 juta pertabun kepada 100 ribu pemuda terpilih. Langkah ini merupakan bagian dari eksperimen nasional untuk mengkaji pengaruh insentif pajak terhadap partisipasi tenaga kerja kaum muda.

Rencana ambisius ini akan menargetkan pekerja kelahiran antara tahun 1990 hingga 2005, dengan pemilihan dilakukan secara acak. Bila disetujui parlemen, mereka yang terpilih akan menikmati keringanan pajak hingga US$ 2.700 per tahun (sekitar Rp 43,7 juta) selama periode tiga hingga lima tahun.

Menurut laporan Reuters pada Rabu (28/5/2025), inisiatif ini diajukan oleh Menteri Keuangan Jens Stoltenberg bersama Menteri Tenaga Kerja Tonje Brenna. Tujuannya adalah menggali data empiris mengenai efektivitas pemotongan pajak dalam mendorong kaum muda untuk memasuki atau tetap berada di dunia kerja formal.

“Langkah ini akan memberi kita bukti konkret apakah pengurangan pajak benar-benar mendorong lebih banyak anak muda untuk bekerja, atau meningkatkan jam kerja mereka yang sudah bekerja,” ungkap Kementerian Keuangan dalam keterangannya.

Sebanyak 100 ribu pekerja muda akan menjadi bagian dari studi berskala nasional, sementara kelompok lainnya akan tetap membayar pajak seperti biasa. Perbandingan antara kedua kelompok ini diharapkan dapat memberikan wawasan mendalam bagi perumusan kebijakan ketenagakerjaan di masa mendatang.

Program ini diperkirakan menelan anggaran sekitar US$ 49 juta per tahun, atau hampir Rp 794 miliar. Meski demikian, biaya ini dinilai kecil jika dibandingkan dengan kekuatan fiskal Norwegia yang ditopang oleh dana kekayaan negara senilai US$ 1,8 triliun yang terbesar di dunia. Negara tersebut secara rutin menarik puluhan miliar dolar dari dana tersebut untuk membiayai kebijakan publik.

Selain menghadapi tekanan jaminan sosial yang meningkat, Norwegia juga tengah bergulat dengan kekurangan tenaga kerja di berbagai sektor. Oleh karena itu, pemerintah gencar mencari solusi, termasuk melalui pelatihan kerja dan reformasi dukungan sosial.

Jika berhasil, program ini berpotensi menjadi model kebijakan baru untuk negara-negara lain yang menghadapi tantangan serupa dalam menarik partisipasi tenaga kerja muda. (alf)

 

 

Pemerintah Pertimbangkan Penerapan Pajak Kekayaan

IKPI, Jakarta: Pemerintah mulai membuka peluang untuk menerapkan pajak kekayaan (wealth tax) sebagai upaya memperkuat penerimaan negara dan menciptakan keadilan sosial. Meski demikian, Kementerian Keuangan menegaskan bahwa wacana tersebut masih membutuhkan proses panjang serta kajian mendalam sebelum dapat diimplementasikan.

Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan, Yon Arsal, menyampaikan bahwa pemerintah tidak menutup mata terhadap pentingnya pajak kekayaan, namun penetapan jenis pajak baru memerlukan tahapan yang hati-hati dan tidak bisa dilakukan secara tergesa-gesa.

“Kita punya arah ke sana, tetapi pengenalan pajak baru bukan perkara sederhana. Butuh waktu, riset, dan tentu saja diskusi publik yang inklusif,” ujar Yon dalam sebuah diskusi bertajuk “Keadilan Pajak dan Reformasi Fiskal’ yang digelar di Hotel Ashley Wahid Hasyim, Jakarta, Selasa (27/5/2025).

Yon menegaskan bahwa regulasi pajak kekayaan nantinya harus melalui proses legislasi karena dikategorikan sebagai jenis pajak baru. Ini berarti pembahasan bersama DPR RI dan penyesuaian dalam Undang-Undang Perpajakan menjadi syarat mutlak.

“Kalau hari ini kita ingin kenakan pajak, lalu besok langsung bikin aturannya, tentu tidak bisa seperti itu. Kita butuh kajian cost-benefit analysis dan melihat beban pajak yang sudah ada,” tambahnya.

Isu pajak kekayaan sendiri terus menjadi sorotan dalam forum-forum internasional sebagai instrumen untuk mengurangi ketimpangan ekonomi. Namun di Indonesia, wacana ini masih berada dalam tahap eksplorasi dan diskursus publik.

Dalam forum yang sama, Yenti Nurhidayat dari Forum Pajak Berkeadilan Indonesia (FPBI) mendorong agar pemerintah tidak hanya mempertimbangkan, tetapi juga segera menindaklanjuti penerapan pajak kekayaan sebagai salah satu alternatif penyumbang penerimaan negara.

“Mereka yang berada di puncak piramida ekonomi menikmati berbagai fasilitas dan akses istimewa dari negara. Sudah saatnya kontribusi mereka juga diatur melalui skema pajak yang lebih adil,” kata Yenti.

Mengutip laporan yang dirilis oleh PRAKARSA dan FPBI, pajak kekayaan diusulkan dikenakan pada individu dengan aset bersih di atas US$ 10 juta atau sekitar Rp 155 miliar. Tarif yang diusulkan bersifat progresif, antara 1% hingga 2%, dengan cakupan aset yang luas, termasuk tabungan, saham, logam mulia, hingga warisan dan hibah.

Diperkirakan terdapat sekitar 4.600 orang Indonesia yang masuk dalam kategori wajib pajak kekayaan ini. Dengan estimasi tersebut, potensi penerimaan negara dari pajak kekayaan bisa mencapai Rp 54 triliun hingga Rp 155 triliun untuk satu kali pengenaan.

Langkah menuju penerapan pajak kekayaan ini menandai titik awal diskusi serius tentang keadilan fiskal di Indonesia. Pemerintah pun ditantang untuk menyeimbangkan kebutuhan penerimaan dengan prinsip inklusivitas dan keberlanjutan ekonomi nasional. (alf)

 

 

 

 

Penerimaan Pajak DJP Jakarta Pusat Tembus Rp35,84 Triliun hingga April 2025

IKPI, Jakarta: Penerimaan pajak di wilayah kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jakarta Pusat menunjukkan kinerja impresif hingga 30 April 2025. Tercatat total penerimaan mencapai Rp35,84 triliun atau setara dengan 32,33% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 sebesar Rp110,85 triliun.

Kepala Kanwil DJP Jakarta Pusat, Eddi Wahyudi, mengungkapkan bahwa Pajak Penghasilan (PPh) mendominasi kontribusi penerimaan dengan angka Rp24,71 triliun atau 42,59% dari target. “Pertumbuhan penerimaan secara tahunan mencapai 7,26% dibanding periode yang sama tahun lalu,” ujarnya dalam keterangan pers di Jakarta, Selasa (27/5/2025).

Selain PPh, sektor Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) turut menyumbang Rp7,81 triliun atau 15,05% dari target. Sementara itu, pos Pajak Lainnya mencatatkan capaian luar biasa sebesar Rp3,28 triliun, melampaui target sebesar Rp75,95 miliar setara dengan 4.323,84% dari target.

Eddi menjelaskan bahwa lonjakan pada Pajak Lainnya disebabkan oleh penerimaan signifikan dari jenis pajak tertentu yang sebelumnya ditargetkan konservatif. “Ini mencerminkan adanya aktivitas ekonomi tertentu yang melonjak tajam dan berhasil ditangkap sistem administrasi perpajakan,” imbuhnya.

Kontribusi terbesar terhadap penerimaan April 2025 berasal dari tiga sektor utama: perdagangan (Rp3,66 triliun), industri pengolahan (Rp1,89 triliun), dan jasa perusahaan (Rp1,65 triliun). Secara bulanan, penerimaan neto April melonjak 32,45% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Pertumbuhan pesat ini turut ditopang oleh peningkatan kinerja sistem Coretax yang semakin stabil. “Peningkatan performa layanan ini sangat membantu wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya,” kata Eddi.

Secara keseluruhan, penerimaan pajak dari seluruh Kanwil DJP di Jakarta hingga akhir April 2025 mencapai Rp421,87 triliun atau 27,54% dari target nasional. Rinciannya meliputi PPh Non-Migas sebesar Rp206,02 triliun (23,83%), PPN sebesar Rp80,65 triliun (14,09%), PPh Migas sebesar Rp9,08 triliun (14,45%), serta PBB dan Pajak Lainnya sebesar Rp126,06 triliun atau 396,98% dari target.

Menariknya, dibandingkan dengan bulan Maret 2025, terjadi lonjakan penerimaan sebesar 210,76 persen pada April. Hal ini mencerminkan keberhasilan akselerasi pemungutan PPh dan PPN serta pengaruh positif dari reformasi sistem administrasi perpajakan melalui Coretax. (alf)

 

 

Siap untuk Diperiksa? Pahami PMK 15/2025 dan Siapkan Strateginya!

Perubahan lanskap bidang perpajakan, kembali mengalami pembaruan yang signifikan dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15 Tahun 2025 tentang Pemeriksaan Pajak (PMK 15/2025). Regulasi ini menggantikan sejumlah peraturan lama dan menyatukan ketentuan tata cara pemeriksaan pajak, termasuk PBB, dalam satu aturan komprehensif.

Latar Belakang PMK 15/2025

Pemeriksaan pajak merupakan salah satu instrumen penting Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam memastikan kepatuhan pajak Wajib Pajak (WP). Namun, selama ini pengaturannya tersebar di berbagai regulasi seperti PMK 17/PMK.03/2013 dan PMK 256/PMK.03/2014. Adanya Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022 menuntut harmonisasi serta penyederhanaan prosedur, yang akhirnya dituangkan dalam PMK 15 Tahun 2025.

PMK 15/2025 memperkuat prinsip kepastian hukum, proporsionalitas, serta pengawasan yang profesional, sekaligus memberikan pedoman baku terhadap hak dan kewajiban para pihak (DJP maupun WP).

Urgensi PMK 15/2025 dalam Reformasi Pajak Nasional

PMK 15/2025 tidak hadir dalam ruang hampa. Ia merupakan kelanjutan dari reformasi administrasi pajak nasional yang berbasis pada transparansi, otomatisasi, dan pengawasan berbasis risiko. Dalam konteks global, Indonesia juga berupaya memenuhi standar kepatuhan internasional seperti OECD Tax Administration dan BEPS Action Plan. Oleh karena itu, PMK ini menjadi instrumen penting untuk menciptakan sistem perpajakan yang tidak hanya kuat, tetapi juga kredibel.

Kehadiran Pemeriksaan sebagai Alat Evaluasi

Bagi sebagian besar WP, pemeriksaan dianggap sebagai bentuk ‘hukuman’. Padahal dalam self assessment system, pemeriksaan adalah bagian penting untuk memastikan pelaporan yang dilakukan benar dan sesuai ketentuan. Melalui PMK 15/2025, pendekatan pembinaan lebih ditekankan, di mana proses pemeriksaan bertujuan membangun pemahaman, bukan sekedar koreksi fiskal.

Pemeriksaan dan Prinsip Risk-Based Audit

Salah satu terobosan penting dalam PMK 15/2025 adalah pendekatan pemeriksaan berbasis risiko (risk based audit). WP yang dianggap berisiko tinggi akan lebih mungkin terpilih untuk diperiksa. Ini menuntut WP untuk tidak hanya patuh secara formal, tetapi juga membangun profil kepatuhan yang baik melalui data yang transparan dan laporan yang akurat.

Klasifikasi Pemeriksaan: Lengkap, Terfokus, dan Spesifik

Pasal 2 ayat (2) PMK 15/2025 membagi pemeriksaan menjadi 3 (tiga) tipe:

1. Pemeriksaan Lengkap : menguji seluruh pos SPT secara mendalam.

2. Pemeriksaan Terfokus : hanya terhadap satu atau beberapa pos dalam SPT.

3. Pemeriksaan Spesifik : atas pos tertentu secara sederhana.

Poin-poin penting:

1. Jangka waktu pengujian:

– Pemeriksaan Lengkap : semula 6 bulan menjadi 5 bulan.

– Pemeriksaan Terfokus : semula 4 bulan menjadi 3 bulan.

– Pemeriksaan Spesifik : semula 2 bulan menjadi 1 bulan. (10 hari kerja untuk kondisi tertentu)

Pembatasan waktu ini ditujukan untuk meningkatkan efisiensi pemeriksaan dan menghindari ketidakpastian yang berkepanjangan.

2. Jangka waktu Tanggapan wajib Pajak terhadap SPHP:

Semula 7 (tujuh) hari kerja dan dapat diperpanjang 3 (tiga) hari kerja sehingga menjadi 10 (sepuluh) hari kerja, menjadi maksimal 5 (lima) hari kerja tanpa ada lagi perpanjangan waktu.

Perubahan ini bertujuan mempercepat proses pemeriksaan dan memberikan kepastian hukum, namun juga menuntut wajib pajak untuk lebih siap dan responsif dalam menyiapkan tanggapan atas hasil pemeriksaan.

3. Jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan (PAHP) dan Pelaporan

Semula 2 (dua) bulan menjadi 30 (tiga puluh) hari kerja.

PAHP adalah tahap akhir dalam proses pemeriksaan pajak di mana wajib pajak dan petugas pajak membahas hasil pemeriksaan sebelum diterbitkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP)

Kriteria Pemeriksaan: Siapa yang Bisa Diperiksa?

– WP mengajukan : restitusi atau menyampaikan SPT lebih bayar.

– WP menyampaikan SPT : Rugi.

– WP mendapat : pengembalian pendahuluan.

– WP tidak menyampaikan : SPOP PBB.

– Terdapat indikasi : kurang bayar PBB berdasarkan data hasil analisis DJP.

– Adanya data konkret dari DJP : faktur pajak/bukti potong PPh yang tidak dilaporkan.

Khususnya, Pasal 4 ayat (1) huruf l menjadi sorotan karena memperkenalkan konsep data konkret yang dapat dijadikan dasar pemeriksaan tanpa melalui proses panjang, misalnya adanya transaksi dari pihak ketiga yang tidak diakui oleh WP dalam SPT.

Hak dan Kewajiban Wajib Pajak

PMK 15/2025 ini menggaris bawahi pentingnya transparansi dan akuntabilitas, dengan memperkuat posisi WP dalam proses pemeriksaan.

WP berhak untuk:

– Mengetahui : alasan dan tujuan pemeriksaan.

– Menghadiri : Pembahasan Temuan Sementara dan Pembahasan Akhir.

– Menghadirkan : saksi atau ahli dalam proses pembahasan.

– Mengajukan : keberatan terhadap hasil koreksi, dan bila tidak ada kesepakatan, WP dapat meminta pembahasan lanjutan melalui forum Tim Quality Assurance Pemeriksaan.

Namun, PMK juga mewajibkan WP untuk kooperatif, seperti memberikan akses terhadap buku, catatan, data elektronik, dan membantu kelancaran proses pemeriksaan.

Standar Pemeriksaan: Profesional dan Terukur

PMK 15/2025 juga memuat ketentuan Standar Pemeriksaan yang terbagi menjadi:

1. Standar Umum Pemeriksaan, menekankan integritas, kompetensi, dan independensi pemeriksa.

2. Standar Pelaksanaan Pemeriksaan, mengharuskan adanya dokumentasi, pembuktian yang kuat, dan pelaksanaan sesuai metode yang sah.

3. Standar Pelaporan, mewajibkan penyusunan laporan pemeriksaan berdasarkan kertas kerja yang rapi dan sistematis.

Tujuannya adalah memastikan hasil pemeriksaan tidak semata menjadi “alat koreksi fiskal”, tetapi benar-benar berdasar hukum dan bukti.

Strategi Menghadapi Pemeriksaan Pajak

Strategi agar WP dapat menghadapi pemeriksaan pasca PMK 15/2025 secara efektif:

1. Evaluasi Internal Kepatuhan Pajak

WP disarankan melakukan self assessment system terhadap pelaporan pajak, metode pembukuan, dan dokumentasi transaksi, khususnya transaksi afiliasi dan potensi risiko transfer pricing.

2. Penguatan Dokumentasi & Data Elektronik

Pemeriksaan saat ini tidak hanya menyoal dokumen fisik, tetapi juga melibatkan akses data elektronik, sehingga WP perlu memastikan sistem IT dan arsip digital mereka memadai dan mudah diakses.

3. Koordinasi dengan Kuasa Pajak Sejak Awal

Kuasa atau konsultan pajak sebaiknya dilibatkan sejak awal, terutama dalam menentukan strategi komunikasi dan klarifikasi atas temuan sementara.

4. Manfaatkan Hak Pembahasan dan QA Forum

WP didorong aktif menggunakan hak untuk membahas hasil pemeriksaan, dan jika perlu, mengajukan pembahasan ke Quality Assurance agar koreksi sepenuhnya adil dan proporsional.

5. Pahami Hak atas Penangguhan atau Penyegelan

Dalam kondisi tertentu, pemeriksa dapat melakukan penyegelan atau menangguhkan pemeriksaan. WP perlu memahami prosedurnya agar tidak dirugikan oleh tindakan yang tidak sesuai ketentuan.

Kesimpulan: Menuju Pemeriksaan yang Lebih Adil dan Profesional

PMK 15/2025 menjadi langkah maju dalam reformasi tata kelola perpajakan. Ia tidak hanya mengatur teknis pemeriksaan, tetapi juga memperkuat prinsip transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi waktu.

Namun, di sisi lain, hal ini menuntut kesiapan lebih besar dari Wajib Pajak. Mereka harus tidak hanya patuh secara administratif, tetapi juga memiliki manajemen data yang baik dan pemahaman mendalam atas hak dan kewajibannya.

Bagi UMKM, PMK ini membuka peluang baru untuk mengelola perpajakan secara lebih baik. Adanya pemeriksaan spesifik berdurasi hanya 10 (sepuluh) hari menjadi bentuk adaptasi terhadap kemampuan administrasi WP skala kecil. Namun di sisi lain, UMKM tetap harus memahami bahwa pemeriksaan tetap dapat berujung sanksi jika ditemukan ketidaksesuaian yang signifikan.

WP perlu menyusun strategi jangka panjang yang meliputi konsistensi pelaporan, pembentukan tim pajak internal, pelatihan berkala, hingga penggunaan teknologi akuntansi modern. Konsultasi rutin dengan konsultan pajak juga menjadi kebutuhan strategis, bukan lagi sekadar solusi saat terjadi sengketa.

Penulis adalah Anggota Dewan Kehormatan IKPI

I Kadek Sumadi (email: kadek_sumadi@yahoo.com)

Hariyasin (email: hariyasin29@yahoo.com)

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DJP Perbarui Batas Waktu Unggah e-Faktur Lewat PER-11/2025: Tak Lagi Tanggal 15!

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi memperpanjang batas waktu unggah faktur pajak elektronik (e-Faktur) berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 (PER-11/2025). Dalam aturan terbaru ini, pengusaha kena pajak (PKP) diberikan kelonggaran waktu hingga tanggal 20 bulan berikutnya untuk mengunggah e-Faktur, menggantikan batas sebelumnya yang jatuh pada tanggal 15 berdasarkan PER-03/PJ/2022 juncto PER-11/PJ/2022.

Langkah ini diambil sebagai bagian dari penyesuaian implementasi sistem inti administrasi perpajakan (coretax system) yang tengah digalakkan DJP. Salah satu perubahan signifikan lainnya adalah penghapusan kewajiban permintaan nomor seri faktur pajak (NSFP) sebelum pengunggahan e-Faktur. Kini, NSFP akan diberikan secara otomatis saat e-Faktur diunggah dan mendapat persetujuan dari DJP, selama unggahan dilakukan dalam rentang waktu yang ditentukan.

“Ini adalah bentuk penyederhanaan dan modernisasi proses administrasi perpajakan. Kami mendorong kepatuhan sekaligus memberikan ruang yang lebih rasional bagi PKP dalam mengelola pelaporan e-Faktur,” ujar seorang pejabat DJP yang tidak disebutkan namanya.

Ilustrasi Kasus

Ambil contoh kasus PT H, sebuah PKP yang melakukan penyerahan barang kena pajak (BKP) pada 11 September 2025. Mereka membuat e-Faktur pada hari yang sama menggunakan modul e-Faktur dan mencantumkan tanggal faktur 11 September. Namun, pengunggahan baru dilakukan pada 14 Oktober 2025. Karena masih dalam batas waktu hingga 20 Oktober 2025, e-Faktur tersebut tetap disetujui DJP.

Sebaliknya, bila PT H baru mengunggah e-Faktur itu pada 21 Oktober 2025, maka DJP akan menolaknya. Alhasil, dokumen itu tidak dianggap sebagai faktur pajak yang sah.

Ketentuan Lama Masih Berlaku Terbatas

Meski aturan baru ini mulai berlaku, ketentuan dalam PER-03/PJ/2022 s.t.d.d. PER-11/PJ/2022 tetap diterapkan dalam konteks tertentu, terutama untuk PKP yang masih menggunakan e-Faktur client desktop atau host-to-host. Artinya, transisi ke sistem baru bersifat bertahap dan mempertimbangkan kesiapan teknologi para PKP.

Dengan diberlakukannya PER-11/2025, DJP berharap wajib pajak makin mudah dalam menjalankan kewajiban perpajakannya tanpa mengorbankan akurasi dan kepatuhan.(alf)

 

Dirjen Pajak Tegaskan Fokus Benahi Coretax dan Integritas SDM

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto menegaskan arah kebijakan perpajakan ke depan akan berfokus pada penguatan integrasi data dan sistem, khususnya optimalisasi sistem Coretax.

Tak hanya itu, Bimo juga menempatkan integritas sumber daya manusia (SDM) dan kelembagaan sebagai pilar utama dalam reformasi perpajakan nasional.

“Fokus kita bukan hanya pada sistem, tapi juga pada manusianya dan integritas institusinya,” ujar Bimo usai rapat bersama Komisi XI DPR RI, Selasa (27/5/2025).

Bimo menyampaikan bahwa dirinya kini tengah melakukan pemetaan terhadap berbagai persoalan dan isu strategis yang dihadapi Ditjen Pajak. Proses ini direncanakan berlangsung selama sebulan sebagai bagian dari masa transisi awal pascapelantikannya, sejalan dengan arahan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

“Detention period sampai Desember ini akan kita manfaatkan untuk mempercepat perbaikan performa Coretax. Kita ingin akselerasi benar-benar terasa,” tegas Bimo.

Lebih lanjut, ia menyebutkan bahwa hasil dari proses pemetaan tersebut nantinya akan disampaikan kepada Menteri Keuangan dan Presiden Prabowo Subianto sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun arah kebijakan fiskal jangka menengah.

“Mudah-mudahan dalam waktu kurang dari sebulan sudah bisa saya update ke rekan-rekan,” tambahnya.(alf)

 

Pemerintah Pangkas PPN Tiket Pesawat 6% Mulai Juni 2025

IKPI, Jakarta: Pemerintah kembali menggulirkan stimulus untuk menggenjot konsumsi masyarakat jelang libur sekolah. Kali ini, insentif hadir dalam bentuk pemotongan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 6% untuk tiket pesawat, yang akan berlaku mulai 5 Juni hingga pertengahan Juli 2025.

Kebijakan ini diumumkan oleh Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, dalam keterangan resminya pada Selasa (27/5/2025). Ia menyebut, langkah ini merupakan bagian dari strategi mendorong pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal II agar tetap berada di kisaran 5 persen.

“Insentif ini dirancang untuk memanfaatkan momentum libur sekolah dengan mendorong mobilitas masyarakat, menjaga daya beli, dan meningkatkan konsumsi dalam negeri,” ujar Susiwijono.

Rencana pemberian insentif tersebut telah melalui pembahasan mendalam dalam Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) tingkat menteri pada Jumat (23/5/2025). Rapat dipimpin langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan dihadiri para menteri terkait serta pimpinan kementerian/lembaga. Seluruh program stimulus disepakati untuk mulai diterapkan pada 5 Juni 2025.

Tak hanya pembebasan PPN tiket pesawat, pemerintah juga menyiapkan sederet stimulus lain untuk mendorong sektor transportasi dan pariwisata. Diskon sebesar 30% akan diberikan untuk tiket kereta api dan 50% untuk angkutan laut selama dua bulan ke depan.

Sementara itu, tarif tol pun ikut dipangkas sebesar 20%, menyasar sekitar 110 juta pengendara. Skema diskon ini mengikuti pola yang sukses diterapkan pada masa mudik Natal-Tahun Baru (Nataru) dan Lebaran sebelumnya.

Dengan rangkaian insentif ini, pemerintah berharap lonjakan aktivitas ekonomi domestik dapat menjadi penopang utama dalam menjaga stabilitas pertumbuhan nasional di tengah dinamika global yang masih fluktuatif.(alf)

 

Kepada Lembaga Pemeringkat Internasional, Menkeu Tegaskan Komitmen Fiskal dan Optimisme Ekonomi Indonesia

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menerima kunjungan resmi dari lembaga pemeringkat internasional Standard & Poor’s (S\&P) di kantor pusat Kementerian Keuangan, dikutip, Selasa (27/5/2025). Pertemuan ini menjadi ajang penting bagi pemerintah Indonesia untuk menegaskan komitmennya terhadap kebijakan fiskal yang hati-hati, kredibel, dan bertanggung jawab di tengah dinamika ekonomi global yang menantang.

Dalam diskusi tersebut, Menkeu memaparkan kondisi fundamental ekonomi Indonesia yang tetap kokoh meskipun dunia tengah menghadapi ketidakpastian. Ia menjelaskan berbagai kebijakan makroekonomi yang telah dan akan diambil pemerintah untuk menjaga stabilitas, meningkatkan daya saing, dan mempercepat pertumbuhan yang inklusif.

“Kami menunjukkan bahwa Indonesia tetap berada di jalur yang tepat, dengan strategi pengendalian inflasi, penguatan sektor fiskal, serta akselerasi reformasi struktural,” ujar Sri Mulyani.

Kepercayaan dari lembaga pemeringkat internasional seperti S\&P dinilai sangat penting untuk menjaga persepsi positif investor global terhadap Indonesia. Dalam pertemuan itu, Sri Mulyani menekankan bahwa stabilitas fiskal bukan hanya soal menjaga angka-angka, tetapi juga soal menciptakan ruang kebijakan yang adaptif dan berkelanjutan.

“Kepercayaan ini adalah modal besar bagi Indonesia. Ia memperkuat daya saing, menarik arus investasi, dan menciptakan iklim usaha yang sehat,” imbuhnya.

Kementerian Keuangan juga menyoroti transformasi digital perpajakan dan pengelolaan keuangan negara yang tengah dijalankan, sebagai bagian dari reformasi yang lebih luas. Langkah-langkah ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam membangun sistem fiskal yang modern dan akuntabel.(alf)

BPK Beri WTP untuk Laporan Keuangan Pemerintah: Ingatkan Ketidaksesuaian Data Pajak

IKPI, Jakarta: Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun Anggaran 2024 kembali meraih predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Meski menjadi bentuk apresiasi atas pengelolaan anggaran negara yang dinilai transparan, laporan tersebut juga memuat sejumlah temuan penting yang harus segera ditindaklanjuti pemerintah.

Ketua BPK Isma Yatun menyebut, salah satu perhatian utama adalah adanya ketidaksesuaian data antara setoran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) yang disampaikan oleh wajib pajak maupun pihak pemungut, dibandingkan dengan catatan yang tercatat dalam sistem administrasi perpajakan pemerintah.

“Temuan kami menunjukkan bahwa perbedaan data penyetoran PPN dan PPh tidak dapat langsung terdeteksi oleh sistem perpajakan yang ada saat ini,” ujar Isma dalam Sidang Paripurna DPR, Selasa (27/5/2025).

Masalah ini menunjukkan perlunya penguatan sistem informasi perpajakan, khususnya dalam aspek konsolidasi dan validasi data secara otomatis untuk meningkatkan akurasi dan keandalan pelaporan pajak.

Tak hanya itu, BPK juga mencatat bahwa pengendalian terhadap belanja pegawai dan pengelolaan dana transfer ke daerah yang telah ditentukan penggunaannya masih belum sepenuhnya memadai. Selain itu, penyajian belanja dibayar di muka dinilai belum tersusun dengan optimal dan penyelesaiannya masih cenderung memakan waktu lama.

“Temuan-temuan ini perlu segera ditindaklanjuti. Efektivitas dan efisiensi pengelolaan APBN adalah fondasi penting dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” tegas Isma.

Isma juga menyoroti perlunya peningkatan dalam penyusunan Catatan atas Laporan Keuangan Pemerintah (CAL LKPP), terutama terkait pelaporan kinerja. Menurutnya, masih terdapat ruang perbaikan dalam aspek sumber daya manusia, metodologi, hingga pedoman penyusunan laporan agar dapat memberikan gambaran menyeluruh terhadap capaian dan dampak penggunaan anggaran negara.

“Informasi yang lebih komprehensif dari laporan kinerja ini akan menjadi dasar yang kuat dalam pengambilan kebijakan fiskal strategis ke depan,” tambahnya.

Dengan capaian WTP ini, pemerintah didorong untuk terus memperbaiki tata kelola, memperkuat integrasi sistem, dan memastikan setiap rupiah dari anggaran negara benar-benar memberi manfaat nyata bagi masyarakat.(alf)

 

en_US