IKPI Mendorong Adanya Re-desain Peraturan Perpajakan

IKPI, Jakarta: Saat ini kita sering menjumpai pada sudut kantor-kator lembaga pemerintah, tulisan “ASEAN Matters: Epicentrum of Growth”. Bahwa tulisan tersebut merupakan cita-cita luhur bagi Indonesia dan masyarakat ASEAN untuk menjadikan wilayah ASEAN sebagai Epicentrum of Growth. Epicentrum of Growth dapat dimaknai sebagai pusat pertumbuhan ekonomi sehingga ke depannya agar ASEAN menjadi lebih adaptif, responsif, dan berdaya saing.

Cita-cita luhur tersebut, sudah sepantasnya mendapat dukungan dari seluruh kalangan tidak saja Pemerintah selaku pembuat kebijakan namun termasuk pula Konsultan Pajak. Demikian dikatakan Ketua Departemen Hubungan Internasional Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) T. Arsono dalam acara Profesi Keuangan Expo 2023 di Gedung Dhanapala, Kementerian Keuangan, Rabu (26/7/2023).

(Foto: Dok. Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Menurut Arsono, dari sisi kebijakan perpajakan, ada beberapa hal yang harus diperbaiki bila kita menginginkan bersama-sama mewujudkan cita-cita luhur sebagaimana arahan oleh Presiden Joko Widodo.

Salah satu kebijakan perpajakan yang harus diterapkan kata dia, adalah fundamental freedom (antara lain) freedom of movement of capital dan freedom of establishment. Orientasi perpajakan di Indonesia tidak seharusnya berfokus pada capaian target penerimaan saja, melainkan juga menciptakan lingkungan bisnis yang bersahabat dengan arus investasi baik investasi masuk (inbound) maupun investasi keluar (outbound).

Bahwa saat ini ketentuan perpajakan yang ideal masih perlu diupayakan sehingga perlakuan perpajakan lebih menggambarkan utilisasi palayanan public yang diberikan oleh Pemerintah. Pemilihan bentuk usaha seperti Cabang misalnya – masih diberikan perlakukan perpajakan yang kurang menguntungkan bila dibandingkan dengan pemilihan bentuk usaha anak perusahaan (subsidiary). Sehingga pembedaan perlakuan seperti ini mengurangi kebebasan bagi para pelaku usaha. Padahal pemilihan bentuk usaha anak perusahaan (subsidiary) belum tentu cocok bagi para pelaku usaha luar negeri yang ingin masuk ke Indonesia.

(Foto: Dok. Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Sesuai topik Epicentrum of Growth lanjut Arsono, tentu akan muncul pertanyaan apakah perlu untuk melakukan re-design ulang Undang-Undang Perpajakan yang berlaku ?. Mengingat masih ada beberapa peraturan yang belum ideal untuk diterapkan. Namun saya tidak ingin mengatakan bahwa peraturan perpajakan yang berlaku saat ini merupakan peraturan yang salah,” ujarnya.

Jika pemerintah menginginkan ASEAN sebagai wilayah yang punya daya saing tinggi, Arsono menuturkan ada dua fundamental freedom yang seharusnya diterapkan dalam kebijakan perpajakan Indonesia. “Bagi teman-teman yang belajar kebijakan Pajak Penghasilan (PPh) pasti telah mengetahuinya, yang dikenal dengan freedom of movement of capital dan freedom of establishment,” kata dia.

Apa yang dimaksud freedom of movement of capital? Arsono mencontohkan bahwa suatu investasi harus diberikan kebebasan apakah harus melakukan investasi ke dalam maupun keluar (inbound atau outbound). Demikian juga dengan freedom of establishment yang dapat dimaknai sebagai setiap pelaku bisnis harus diberikan kebebasan memilih bentuk usuha yang paling tepat untuk kepentingan bisnis mereka.

(Foto: Dok. Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

“Para pelaku usaha boleh masuk ke Indonesia melalui kantor cabang. Hal ini sebagaimana telah dilakukan berbagai perbankan internasional yang beroprasi di Indonesia melalui bentuk cabang atau mungkin bentuk yang lain seperti pendirian anak perusahaan di Indonesia, dan sebagainya,” kata Arsono.

Untuk itu, Arsono menegaskan bahwa tidak boleh ada perlakuan perpajakan yang berbeda. Meskipun secara legal bentuk usaha tersebut berbeda. Namun sekali lagi pajak akan mendasarkan pada substansi ekonomi-nya.

Inilah kata dia, beberapa persoalan yang harus ditinjau kembali sebagai langkah untuk mencapai ASEAN Matter: Epicentrum of Growth.

Lebih jauh dia mengungkapkan, jika melihat situasi di mana subjek pajak luar negeri memilih untuk melakukan bisnisnya melalui anak perusahaan, maka di sini bisa dilihat ada perbedaan perlakuan dengan mereka yang memilih masuk ke Indonesia melalui cabang, mengapa?

Kita dapat melihat pada Pasal 4 ayat 3 huruf f) Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, dikatakan di sana bahwa dividen yang dibagikan oleh subjek pajak dalam negeri kepada badan bukan merupakan obyek pajak. Dalam situasi ini pengenaan pajak berganda (economy double taxations) akibat penerapan classical system perpajakan dapat dihilangkan.

Namun kata Arsono, ketika dividen itu dibagikan kepada subyek pajak luar negeri, sebagaimana ketentuan sebagaimana Pasal 26 Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, dividen tersebut akan dikenakan pajak penghasilan sebesar 20%. Walaupun demikian besaran tarif pajak sebesar 20% tersebut dapat berkurang menjadi 5%, 10% atau 15% sesuai perjanjian penghindaran perpajakan antara Indonesia dengan mitra treatynya. Dan bisa pula menjadi bukan obyek pajak apabila deviden tersebut diinvestasikan kembali di Indonesia.

“Jadi situasinya sebenarnya sama, tetapi yang membedakan adalah satu sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) dan Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN), namun dalam situasi yang pertama, economy double taxations dapat dihilangkan sedangkan dalam situasi kedua pengenaan pajak berganda (“economic double taxation”) tidak bisa dihindari” katanya.

Saya melihat dalam situasi ini, masih terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara situasi yang pure domestic dengan situasi lintas batas (“cross border”).

Hal kedua menurut Arsono berkaitan dengan kerugian, yang masih terdapat perbedaan perlakuan. Contohnya, dalam situasi pure domestic – kerugian cabang tentu langsung dapat dikonsolidasi dengan kentungan kantor pusat. Namun perlakuan yang berbeda, yakni dalam situasi lintas batas (“cross border”) atas kerugian tersebut tidak dapat dikonsolidasi. Pengaturan yang demikian masih merupakan pengaturan yang belum ideal. Tentu pilihan Undang-Undang Perpajakan yang demikian didasarkan pada pertimbanhgan dan alasan tertentu.

“Namun, jika kembali kepada cita-cita luhur yakni mewujudkan ASEAN sebagai Epicentrum of Growth, maka pembedaan perlakuan perpajakan yang seperti itu harus dipertimbangkan kembali ssehingga terdapat freedom of movement of capital dan freedom of establishment.

Kembali dicontohkan Arsono, jika dirinya memilih mendirikan cabang di Singapura (outbound) dibandingkan mendirikan cabang perusahaan di Medan (inbound) – siituasi ini akan mendapatkan perlakuan perpajakan yang berbeda.

“Karena kantor pusat perusahaan itu berada di Jakarta, maka jika terjadi kerugian pada cabang Medan mereka, kerugian tersebut akan dikonsilodasikan dengan kantor Pusat di Jakarta. Tetapi apabila kerugian itu terjadi di kantor cabang Singapura, maka kerugian tersebut tidak bisa dikonsolidasikan dengan kantor pusat Jakarta. Perbedaan perlakuan perpajakan seperti itu akan menjadi penghalang bagi para pelaku bisnis Indonesia untuk bergerak keluar (ekspansi),” ujarnya.

Padahal kata Arsono, bahwa perluasan usaha keluar (outbound) dengan pembukaan cabang di luar negeri sebagai langkah awal ekspansi demi kejayaan para pelaku usaha Indonesia ke luar negeru, tetapi mereka terbelenggu oleh kebijakan perpajakan yang tidak menguntungkan. “Jadi, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan kembali agar freedom of movement of capital dan freedom of servicemen bisa berjalan dengan baik, sehingga ASEAN sebagai epicentrum of growth itu bisa dicapai,” kata Arsono. (bl)

Dirjen Pajak Ajak Asosiasi Kolaborasi Tingkatkan Penerimaan Pajak

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Suryo Utomo mengajak asosiasi berkolaborasi untuk meningkatkan penerimaan pajak negara.

“Secara prinsip, kehadiran kami bukan untuk ditakuti, tapi jadikan kami counterpart, partnership. Jadi, kewajiban pembayaran pajak yang harus ditunaikan dapat dilakukan dengan cara yang lebih mudah dan sederhana,” kata Suryo Utomo  seperti dikutip Antaranews.com, dalam Seminar Nasional Perpajakan di Jakarta, Rabu (26/7/2023).

Suryo mengatakan perpajakan bukan hanya sekadar mengumpulkan penerimaan negara. Di samping itu, perpajakan juga berfungsi untuk menstimulasi perekonomian secara menyeluruh.

Salah satu yang dilakukan oleh pemerintah dalam upaya menstimulasi perekonomian yaitu melalui penerbitan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Terdapat enam aspek yang dibahas dalam UU HPP, yaitu Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Program Pengungkapan Sukarela (PPS), Pajak Karbon, serta Cukai.

Suryo mencontohkan, wajib pajak orang pribadi yang tergolong pelaku usaha kecil dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun dibebaskan dari PPh. Hal itu sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 yang merupakan aturan turunan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang UU HPP.

Sementara untuk pengusaha dengan omzet hingga Rp4,8 miliar per tahun, UU HPP menetapkan pembayaran PPh dengan diskon tarif sebesar 50 persen.

Suryo menjelaskan peraturan-peraturan tersebut dibuat dengan tujuan untuk mendukung perkembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Dalam konteks itu, asosiasi dapat berkontribusi untuk menyosialisasikan regulasi tersebut agar bisa dimanfaatkan oleh para pengusaha. Misalnya, kata Suryo, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) yang menaungi bibit-bibit pengusaha masa depan. Suryo menilai asosiasi seperti Hipmi memiliki peran penting dalam meningkatkan literasi perpajakan di kalangan para pengusaha.

“Jadi, asosiasi bisa mendorong literasi pajak kepada seluruh pengusaha. Ini adalah strategi agar membayar kewajiban perpajakan lebih prudent dan lebih baik lagi,” ujar Suryo. (bl)

Sri Mulyani Salahkan Krisis Keuangan Imbas Dari Ahli yang Salah Hitung

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani curhat selalu disalahkan dalam setiap krisis keuangan. Padahal, krisis bisa berasal dari para ahli keuangan yang salah hitung.

“Kan enggak pernah waktu krisis 1997-1998 Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) ditanya, kan enggak juga. Padahal banyak representasi yang salah banget. Waktu krisis terjadi asuransi bertumbangan, emang pernah yang ditanya profesi akuntan atau aktuaris, enggak kan? Yang dimarahi menteri keuangan sih sering, yang cuci piring,” ujar Sri Mulyani sembari menunjuk dirinya di Gedung Dhanapala Kemenkeu, Jakarta Pusat, Selasa (25/7/2023).

“Konsekuensinya ada masyarakat yang kehilangan hartanya, ada negara yang harus mengambil dana publik untuk mem-bailout, ada pihak yang betul-betul harus menanggung kerugian yang besar, ada segelintir yang menikmati. Di situ letak keadilan dan ketidakadilan,” imbuhnya.

Ani, sapaan akrabnya, menyebut ciri seorang profesional adalah mampu mengidentifikasi tingkat teknikal kompetensi diri dibandingkan dengan kebutuhan ekonomi serta best practice dunia. Oleh karena itu, ia berpesan agar akuntan, aktuaris, konsultan perpajakan, dan berbagai profesi keuangan lainnya bisa menempatkan diri dengan baik.

Namun, ia kecewa masih banyak orang berlabel profesional yang ternyata sama sekali tidak kompeten di bidangnya. Pada akhirnya, banyak orang berstatus ahli keuangan yang tidak menjaga profesionalitas dan integritas.

“Karena begitu profesi keuangan itu adalah sumber masalah entah karena dia tidak kompeten, dalam bahasa pergaulan bego atau lebih kasar lagi tolol, tapi memiliki predikat profesional. Itu bahaya. Sama seperti kita punya mobil, bus, atau pesawat, tapi yang menyupiri enggak bisa nyupir. Kita semua ada di dalam bahaya,” tutupnya.

Ani mau profesional keuangan Indonesia tidak hanya bertaji di kancah Asia Tenggara dan G20, melainkan juga kancah keuangan global. Namun, tetap kudu menjaga profesionalitas dan integritas.

Adapun ia menyebut ada tiga krisis keuangan yang dilewati Indonesia dan dunia. Pertama, krisis moneter 1997-1998 yang mengguncang Indonesia dan Asia Tenggara, di mana menjadi tonggak sejarah perekonomian tanah air.

Kedua, krisis keuangan global 2008-2009. Ketiga, krisis keuangan imbas pandemi covid-19 yang dimulai sejak 2019 lalu. (bl)

Puluhan Mahasiswa Hadiri Profesi Keuangan Expo 2023, IKPI: Kami Berharap Mereka Siap Hadapi Dunia Kerja

IKPI, Jakarta: Gelaran Profesi Keuangan Expo 2023 yang digagas Kementerian Keuangan (Kemenkeu), rupanya bukan hanya menarik bagi para asosiasi sektor tersebut untuk ikut ambil bagian. Tetapi, puluhan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di wilayah Jabodetabek juga ikut ambil bagian dalam kegiatan tahunan tersebut.

Dzira Mifta Priyandini, mahasiswi dari Universitas Ibnu Khaldun Bogor bersama dengan enam kawannya terlihat antusias mengikuti kegiatan ini. Meski hadir sebagai tamu undangan dari Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), mereka mengaku bahwa acara Profesi Keuangan Expo ini merupakan suatu kegiatan yang menarik untuk diikuti dan menambah ilmu pengetahuan mereka tentang profesi keuangan.

Sebagai mahasiswa yang menjadikan konsultan pajak sebagai cita-citanya, Dzira mengaku sangat tertarik mengetahui lebih jauh mengenai profesi ini. “Cita-cita ini yang membuat saya dan teman-teman sangat antusias mengikuti kegiatan ini,” katanya saat ditemui di Booth IKPI, di acara Profesi Keuangan Expo 2023, Selasa (25/7/2023).

(Foto: Dok Sekretariat PP IKPI)

Lebih lanjut dia mengungkapkan, menggali profesi konsultan pajak langsung pada ahlinya jauh lebih menantang dan menarik dibandingkan hanya mencerna teori. Dengan demikian, dia berharap kegiatan seperti ini rutin diselenggarakan dan mengundang perguruan tinggi.
“Jika pengalaman lapangan sudah kami dapatkan semasa masih di bangku kuliah, maka setelah lulus tentunya kami akan siap menghadapi dunia kerja karena ilmunya sudah didapatkan,” kata Dzira.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Departemen Humas IKPI Henri PD Silalahi mengatakan bahwa tujuan pihaknya melibatkan perguruan tinggi pada kegiatan ini memang bertujuan untuk memberikan pengenalan dan pengetahuan mengenai profesi keuangan khususnya Konsultan Pajak.

Dengan demikian kata Henri, diharapkan nantinya mereka akan mengetahui dan mengenal apa itu Konsultan Pajak, apa itu Ikatan Konsultan Pajak dan bagaimana perannya dalam ekosistem perpajakan Indonesia. “Ini sangat penting, jika nantinya mereka memilih profesi konsultan pajak sebagai pekerjaan atau profesinya, maka langkah mereka menjadi mantap dan mengetahui asosiasi mana yang akan mereka pilih sebagai wadah profesi untuk berkumpul, berdiskusi dengan rekan seprofesi,” kata Henri di lokasi acara.

Person in charge (PIC) Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Hijrah Hafiddudin (kiri) memberikan keterangan kepada mahasiswa/i Universitas Indonesia (UI) yang mengunjungi booth IKPI dalam acara Profesi Keuangan Expo 2023 di Gedung Dhanapala, Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (25/7/2023). (Foto: Dok. Sekretariat PP IKPI/Bayu Legianto)

Lebih lanjut dia mengungkapkan, mengapa profesi konsultan pajak sangat penting? Tentu ini harus diketahui masyarakat khususnya para mahasiswa yang hadir dalam kegiatan ini.
Jika dikaitkan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kata Henri, dengan tingkat tax ratio 10-11% tahun 2022 terhadap PDB, kontribusi sektor perpajakan untuk penerimaan APBN lebih dari 70%. Saat ini jumlah Konsultan Pajak Terdaftar masih 6000an dengan demikian diperlukan pertumbuhan Konsultan Pajak yang cepat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sebagai mitra Wajib Pajak dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya.

Oleh karena itu, masyarakat perlu diedukasi mengenai pajak serta manfaatnya, dan jangan lupa juga ada kontribusi konsultan pajak yang berperan di dalamnya.

“Melibatkan mahasiswa adalah upaya edukasi yang kita lakukan dan akan terus kita lanjutkan dalam rangka edukasi perpajakan serta bersamaan dengan itu juga menumbuhkan minat Mahasiswa terhadap sektor perpajakan khususnya profesi Konsultan Pajak,” ujarnya.

Menurut dia, semakin banyak masyarakat yang mengetahui profesi konsultan pajak dan perannya maka tentunya akan semakin banyak masyarakat yang tertarik dengan profesi Konsultan Pajak dan semakin banyak yang menggunakan jasa konsultan pajak, hal ini tentu akan semakin baik bagi masyarakat khususnya Wajib Pajak dan pada akhirnya akan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Artinya, ini juga bisa berdampak positif bagi penerimaan pajak kedepannya.

Yang tidak kalah pentingnya lanjut Henri, masyarakat tidak lagi memandang pajak adalah sesuatu yang negatif bagi mereka. Karena sesungguhnya, masyarakat bisa merasakan langsung manfaat dari pajak yang mereka bayarkan, seperti pembangunan infrastruktur, kesehatan, pendidikan, bantuan sosial dan berjalannya roda ekonomi serta pemerintahan secara stabil dan berkesinambungan. ujarnya. (bl)

Menkeu Imbau Pelaku Profesi Keuangan Belajar Pahami Krisis

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menekankan bahwa profesi keuangan itu penting dan identik dengan kemajuan ekonomi suatu bangsa. Sehingga menurutnya, perlu bagi para profesi di bidang keuangan untuk belajar memahami krisis keuangan yang telah dihadapi sebagai bekal ke depan.

“Banyak generasi muda milenial yang mungkin tidak, atau kurang familiar dengan apa itu krisis keuangan, baik di Indonesia maupun di dunia. Padahal namanya dua kata, krisis keuangan berarti ada something wrong dengan keuangan yang menimbulkan krisis,” ungkap Menkeu saat membuka Profesi Keuangan Expo 2023 di Dhanapala Jakarta, Selasa (25/07).

Menkeu menjelaskan, terdapat tiga krisis keuangan yang pernah dialami Indonesia. Terjadinya krisis keuangan tahun 1997-1998 menjadi tonggak sejarah perekonomian. Kemudian krisis keuangan dunia di tahun 2008-2009 yang membentuk banyak regulasi dan praktik di bidang profesi keuangan, serta krisis pandemi yang berlangsung dari tahun 2020-2022.

“Krisis, krisis, krisis. Yang satu langsung krisis perbankan keuangan di Indonesia dan Asia tenggara. Yang kedua krisis keuangan global. Yang ketiga krisis kesehatan pandemi tapi dimensinya keuangan,” kata Menkeu seperti dikutip dari Kemenkeu.go.id, Selasa (25/7/2023).

Terkait krisis pandemi, Menkeu menambahkan para profesional dan generasi muda yang ada di bidang keuangan untuk memahami dan mempelajari konsekuensi logis dari adanya krisis kesehatan menjadi krisis keuangan. Hal ini karena menurutnya kejadian pandemi Covid-19 yang lalu bukanlah yang terakhir, adanya kemungkinan pandemi di depan yang perlu diantisipasi guna menentukan langkah dari sektor keuangan yang harus dilakukan.

“Generasi ke depan kalau menghadapi mereka tidak perlu mulai dari nol lagi. Pernah terjadi been there happening and kita sudah bisa menyampaikan,” tandas Menkeu.

Selain itu, Menkeu juga menyampaikan adanya isu lain di sektor keuangan. Yakni syok dari isu perubahan iklim, dimana sektor keuangan akan menjadi penjuru penting. Sehingga, Menkeu berharap profesi keuangan bisa memahami risiko dari isu tersebut.

“Pahami risiko dari perubahan iklim. Dampaknya sangat besar. Aset value bisa drop, asset value bisa naik, karena perubahan iklim. Resiko bisa 0 dan 1,” kata Menkeu. (bl)

Artificial Intelligence Bisa Gantikan Peran Konsultan Pajak? Ini Kata Ketum IKPI

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam sambutannya pada acara Profesi Keuangan Expo 2023 di Gedung Dhanapala, Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (25/7/2023) berkomentar soal perkembangan teknologi digital yang belakangan memungkinkan produktivitas dan bisnis semakin meningkat, khususnya kecerdasan artifisial atau artificial intelligence (AI). Bukan tidak mungkin teknologi tersebut mendisrupsi suatu pekerjaan yang sebelumnya dijalankan manusia, termasuk konsultan pajak atau profesi di sektor keuangan lainnya.

Menanggapi pernyataan itu, Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Ruston Tambunan mengatakan bahwa pada dasarnya konsultan pajak harus memanfaatkan teknologi secara maksimum, termasuk artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Hal ini dikatakannya sangat memudahkan seseorang dalam melakukan pekerjaan.

“Kalau dalam praktiknya, jelas AI akan memudahkan kita sebagai konsultan pajak. Kita akan bisa mengolah data dalam jumlah besar, bekerja secara efisien, cepat dan akurat,” kata Ruston saat menjadi salah satu narasumber di Profesi Keuangan Expo 2023, Selasa (25/7/2023).

(Foto: Dok Sekretariat PP IKPI/Bayu Legianto)

Oleh karena itu kata dia, pekerjaan sebagai konsultan pajak lebih banyak kepada hal-hal yang kompleks. Artinya, konsultan pajak tidak lagi menangani pekerjaan-pekerjaan yang Kognitif, repetitif yang bisa dikerjakan oleh mesin.

“AI bisa bekerja lebih teliti dalam mengukur risiko perpajakan dari satu wajib pajak, misalnya perusahaan. Dengan melakukan analisis yang dimasukan dalam otak mesin, maka risiko-risiko perpajakan, seperti complience dari wajib pajak akan lebih bisa teridentifikasi. Nah, disinilah bagaimana manusia (konsultan pajak) bisa memanfaatkan AI sebagai suatu teknologi yang memudahkan pekerjaan mereka dan bukan menggantikannya,” kata Ruston.

Selain itu lanjut Ruston, bagi konsultan pajak dan wajib pajak AI juga membantu dalam menghadapi pemeriksaan pajak, atau melakukan analisis dalam kita menangani keberatan dan banding. “Nah yang paling mudah lagi yang bermanfaat sebenarnya adalah ChatGPT, dimana ini memudahkan kita menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sudah ada di dalam peraturan dengan cepat,” ujarnya.

Dengan demikian, sebagai konsultan pajak tidak perlu lagi susah-susah mencari jawaban secara manual karena sudah ada ChatGPT yang membantu memudahkan kerja mereka.

(Foto: Dok Sekretariat PP IKPI/Bayu Legianto)

Tetapi kata Ruston, dibalik kemudahan teknologi AI tentu ada hal yang mengancam bagi segelintir konsultan pajak yang tidak mau mengikuti kemajuan teknologi atau masih menggunakan cara konservatif. Kalau hanya pekerjaan-pekerjaan yang compliance atau biasa diistilahkan dengan bread and butter untuk konsultan pajak, itu bisa oleh AI.

Dengan teknologi AI, bisa saja profesi konsultan pajak akhirnya terdisrupsi jika tidak mau mengikuti perkembangan teknologi. Dengan demikian, literasi teknologi digital memang harus terus ditambah, karena tidak bisa dipungkiri kemajuan teknologi memaksa semua orang untuk ikut beradaptasi dan menggunakan jika tidak ingin tergerus dengan kebutuhan.

Ancaman lainnya lanjut dia, adalah berlomba-lomba untuk mengembangkan teknologi berbiaya besar. “Jadi, nanti akan ada persaingan orang yang bisa mengakses teknologi versus miskin teknologi karena masih bertahan dengan cara-cara konservatif. Hal ini bisa menimbulkan persaingan yang sangat-sangat kental di antara konsultan pajak,” ujarnya.

Oleh karena itu, Ruston mengimbau sebagai konsultan pajak AI harus dipandang sebagai teknologi yang bisa mempermudah proses pekerjaan tetapi tidak menggantikan manusia (konsultan pajak) dengan mesin.

“Karena konsultan pajak itu bekerja berdasarkan aturan, interpretasi, argumentasi, hingga pemberian izin praktik hanya bisa diberikan kepada manusia dan bukan mesin. Karena untuk mendapatkan itu, seseorang harus memiliki kompetensi yang standarnya sudah ditetapkan, jadi gak bisa sembarangan. Karena tidak mungkin kita meminta robot untuk mengikuti ujian sertifikasi konsultan pajak,” kata Ruston. (bl)

Menkeu Harapkan Pertumbuhan Tenaga Profesi Keuangan yang Berkualitas

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyinggung soal anggaran pertemuan para profesi keuangan dalam agenda Profesi Keuangan Expo 2023.

“Saya jadi bertanya, ngapain Anda ketemu secara fisik? Tiga tahun saja sudah naik dua kali (jumlah peserta), jangan-jangan anggaran untuk ini enggak perlu juga,” katanya di Gedung Dhanapala Kemenkeu, Jakarta Pusat, Selasa (25/7/2023).

“Kalau Anda profesional keuangan kan melihat cost dan benefit-nya, tapi manusia kan makhluk sosial juga. Jadi ketemu bagus, enggak cuma di screen,” sambung Sri Mulyani.

Dalam pertemuan tersebut, hadir sejumlah orang yang bekerja di bidang keuangan, seperti akuntan, penilai atau appraisal, aktuaris, konsultan pajak, ahli kepabeanan, hingga pejabat lelang kelas dua. Keenam profesi tersebut dilabeli sebagai intermediaries atau perantara yang menghubungkan pemerintah selaku regulator dengan klien.

Ani, sapaan akrabnya, mengingatkan para profesional keuangan ini masih sangat sedikit. Namun, ia tidak mau pertumbuhan terjadi hanya dari segi kuantitas.

“Pesan saya, karena Anda sudah membuat exhibition secara fisik, pikirkan reaching out. Karena kalau kita bicara profesi keuangan cuma 340 ribu dari masyarakat yang 270 juta, dengan ekonomi yang sudah mencapai US$1,5 triliun, ya enggak memadai. Anda itu masih tipis,” tegas Ani.

“Oleh karena itu, saya berharap di satu sisi Indonesia masih butuh banyak sekali profesi-profesi keuangan yang betul-betul kredibel, integritas, dan kompeten. Di sisi lain, kita tidak hanya mengejar kuantitas, tapi kualitas dan antisipasi,” tandasnya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kemenkeu Heru Pambudi melapor kepada Menkeu Sri Mulyani bahwa ini adalah pertemuan fisik pertama dalam lima tahun terakhir. Heru mengatakan selama ini kopi darat terganjal dengan kondisi pandemi covid-19, sehingga harus digelar secara daring.

Heru menyebut ada 79 ribu peserta pada gelaran 2020, meningkat ke 165 ribu peserta di 2021, dan meroket hingga 348 ribu peserta yang hadir pada tahun lalu. Ia berharap jumlah peserta dalam pameran yang dihadiri sejumlah profesi keuangan ini bisa terus bertambah setiap tahunnya.

“Kita sudah berkumpul dan akan terus berkumpul minimal kuartalan. Antara regulator dan klien ini sebenarnya gap-nya masih diperlukan tambahan intermediaries kalau dibanding Australia, Jepang, dan beberapa negara lain, jumlahnya masih terbatas kita Bu (Sri Mulyani),” kata Heru dalam sambutannya. (bl)

 

Realisasi Penerimaan Pajak Semester I/2023 Alami Tren Perlambatan

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mencatat realisasi penerimaan pajak pada semester I/2023 mencapai Rp970,2 triliun, meningkat sebesar 9,9 persen secara tahunan (year-on-year/yoy).

Sri Mulyani menyampaikan bahwa tren dari penerimaan pajak tersebut terus mengalami perlambatan hingga periode Juni 2023. Pada awal tahun 2023, penerimaan pajak masih mencatatkan pertumbuhan pertumbuhan yang tinggi sebesar 48,7 persen (yoy).

“Kinerja penerimaan pajak semester I/2023 masih tumbuh positif, tapi rate of growth-nya terus mengalami normalisasi atau penurunan. Kalau di awal tahun masih tumbuh 48,7 persen, sekarang sudah di 9,9 persen,” katanya seperti dikutip dari Bisnis.com, Senin (24/7/2023).

Sri Mulyani mengatakan perlambatan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya pada 2022 realisasi penerimaan pajak yang tinggi turut didorong oleh Program Pengungkapan sukarela (PPS).

Pasalnya, kata dia program ini tidak berulang di tahun ini, maka realisasi dari PPh Final mengalami kontraksi sebesar 47 persen (yoy).  Selain itu, dia mengungkapkan melambatnya realisasi penerimaan juga dipicu oleh penurunan harga minyak bumi yang menyebabkan PPh migas terkontraksi sebesar 3,86 persen pada semester I/2023.

Penurunan impor pada periode tersebut juga memicu kontraksi PPh 22 impor dan PPN impor yang masing-masing sebesar 2,4 persen dan 0,4 persen.

Sri Mulyani Kantongi Surplus APBN Rp152,3 T per Semester I/2023 Penurunan impor tersebut sejalan dengan perlambatan pertumbuhan sektor industri pengolahan dan perdagangan. Pada saat yang sama, sektor perdagangan juga melambat akibat penurunan harga komoditas.

Adapun, Sri Mulyani mengatakan bahwa PPh nonmigas pada semester I/2023 masih mencatatkan realisasi penerimaan yang tinggi, sebesar Rp565,01 triliun atau tumbuh 7,85 persen. Sejalan dengan itu realisasi PPN dan PPnBM juga tercatat sebesar Rp356,77 triliun atau tumbuh 14,63 persen. (bl)

Dirjen Pajak Sebut Rencana E-commerce Jadi Pemungut Pajak Masih Didiskusikan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mewacanakan penunjukan platform e-commerce sebagai pemungut pajak. Saat ini, wacana e-commerce jadi pemungut pajak masih didiskusikan.

Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengatakan, pihaknya tengah mendiskusikan kemungkinan pengaturan dan implementasinya.

“Terkait dengan rencana penunjukan platform e-commerce untuk menjadi pemungut pajak dalam negeri, saat ini sedang terus kami diskusikan mengenai kemungkinan pengaturan dan juga implementasinya dengan para pihak kami terus berdiskusi,” katanya dalam konferensi pers APBN KiTa, Senin (24/7/2023).

“Sehingga memang belum kita rumuskan seperti apa pemungutan PPN ataupun PPh ke depan oleh platform transaksi dalam negeri,” sambungnya.

Untuk diketahui, pemerintah telah menerbitkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Dalam satu pokok ketentuan dalam UU HPP yaitu mengatur pemotongan, pemungutan, penyetoran atau pelaporan pajak atas produk atau layanan digital.

Selain itu pasal ini juga mengamanatkan marketplace untuk menjadi pihak yang dapat memungut PPN atas barang yang dijual di marketplace serta memotong PPH atas penghasilan seller yang telah masuk Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Ketua Umum idEA Bima Laga mengharapkan agar regulasi tersebut tidak diterapkan mendadak oleh pemerintah karena diperlukan waktu yang cukup untuk melakukan edukasi kepada para pelaku UMKM.

“Perlu diketahui bahwa baru saja disahkan undang-undang PDP yang tidak memiliki waktu dua tahun untuk penerapannya, itu pun setelah undang-undang disiapkan kita juga harus memberikan edukasi kepada para pelaku, begitu juga dengan Undang-Undang HPP ini bagaimana nantinya kita bisa memberikan waktu yang cukup dalam penerapannya,” kata dia, ditulis Jumat (23/9/2022) lalu. (bl)

Kemekeu Catat Restitusi Pajak Orang Kaya Rp 56,32 Miliar

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat jumlah wajib pajak orang pribadi yang menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan dengan lebih bayar sampai Rp 100 juta terdapat 15.419 orang per 14 Juli 2023. Dari jumlah itu nilai restitusinya mencapai Rp 56,32 miliar.

“Jumlah SPT PPh Orang Pribadi yang lebih bayarnya mencapai Rp 100 juta adalah 15.419 orang, dengan total nilai restitusi mencapai Rp 56,32 miliar,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, seperti dikutip dari Detik.com, Senin (24/7/2023).

Bendahara Negara itu menyebut sampai hari ini pihaknya telah melakukan pengembalian kepada 1.895 wajib pajak dengan nilai Rp 7,3 miliar. Pengembalian ini dipastikan akan cepat seiring terbitnya Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Pajak Nomor PER-5/PJ/2023 yang berlaku per 9 Mei 2023.

“Sampai hari ini kami telah melakukan pengembalian kepada 1.895 wajib pajak dan pengembalian sebesar Rp 7,3 miliar,” ucapnya.

Seperti diketahui, per 9 Mei 2023 Kemenkeu melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mempercepat pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau restitusi pajak dari 1 tahun menjadi hanya 15 hari. Kemudahan itu diberikan khusus kepada wajib pajak orang pribadi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp 100 juta.

“Dalam hal ini kami memberikan layanan restitusi secara sederhana, mudah, cepat dan prosesnya juga tidak terlalu intervensionis atau bahkan tidak melalui face to face sehingga menjamin akuntabilitas dan menghindari penyalahgunaan kewenangan,” jelas Sri Mulyani.

Terkait peraturan baru ini, Kemenkeu akan terus melakukan sosialisasi agar wajib pajak dapat memanfaatkan fasilitas secara optimal dan dapat mengurangi biaya kepatuhan (compliance cost) secara signifikan. (bl)

en_US