Coretax Dibenahi Total, DJP Targetkan Rampung Sebelum Juli 2025

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus menggeber perbaikan besar-besaran pada Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax). Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo memastikan, seluruh proses pemulihan dan peningkatan sistem ini ditargetkan rampung paling lambat pada Juli 2025.

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi XI DPR RI pada Rabu (7/5/2025), Suryo mengungkapkan bahwa 21 proses bisnis terdampak error atau bugs sedang dibenahi. Tiga di antaranya—yakni Business Intelligence, Knowledge Management, dan Data Pihak Ketiga telah sukses diperbaiki. Sisanya, sebanyak 18 proses bisnis, tengah dikebut agar selesai maksimal sebelum akhir Juli.

“Ekspektasinya sebelum Juli selesai. Bahkan ada yang bisa lebih cepat, mungkin Mei atau Juni,” kata Suryo.

Tak hanya memperbaiki error, DJP juga menyempurnakan performa Coretax lewat penyelarasan logika aplikasi, penyesuaian konfigurasi infrastruktur, serta peningkatan kapasitas jaringan, database, dan penyimpanan data.

Sejumlah kendala yang sebelumnya dikeluhkan pengguna telah menunjukkan perbaikan signifikan. Misalnya, proses login yang sebelumnya lamban, kini dipercepat hingga hanya 0,011 detik. Masalah update profil yang dulu menimbulkan ratusan laporan error, kini hanya tersisa 18 kasus dalam rentang 1-6 Mei 2025 turun drastis dari 397 kasus pada awal tahun.

Perbaikan juga dilakukan terhadap kode otorisasi untuk tanda tangan elektronik, pengiriman OTP, hingga impersonate akun wajib pajak badan. Kasus impersonate, misalnya, anjlok dari 3.281 kasus (sampai 10 Februari) menjadi hanya 41 kasus di awal Mei.

“Alhamdulillah, progresnya luar biasa. Sistem jauh lebih stabil dan responsif dibandingkan awal tahun,” ujar Suryo.

Kapasitas bandwidth yang ditingkatkan dua kali lipat dari 9 Gbps ke 18 Gbps turut menyumbang kecepatan layanan. Contohnya, pembuatan faktur pajak kini hanya butuh 0,3 detik dari sebelumnya 9,8 detik. Pembuatan e-Bupot pun dipersingkat dari 16 detik menjadi hanya 0,434 detik.

Dengan tren perbaikan yang konsisten dan peningkatan infrastruktur yang terus dilakukan, DJP optimistis Coretax akan beroperasi optimal sesuai target. (alf)

Kejar Target Rp 2.189 Triliun, Dirjen Pajak: Tahun 2025 Jadi Ujian Nyata Reformasi Perpajakan

IKPI, Jakarta: Tahun 2025 menjadi tahun penentuan bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam mengakselerasi reformasi perpajakan. Pasalnya, target penerimaan pajak dalam APBN 2025 dipatok mencapai Rp 2.189,3 triliun melonjak 13,3% dari realisasi tahun sebelumnya.

Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo, menyebut angka tersebut sebagai tantangan besar yang menuntut kerja keras, konsistensi, dan kolaborasi seluruh pihak.

“Ini bukan sekadar angka, tapi sebuah tantangan sekaligus usaha kolektif yang harus kita jalani bersama. Cerita pengumpulan penerimaan negara 2025 ini tidak bisa dijalani sendiri,” ujar Suryo saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (7/5/2025).

Untuk mencapai target tersebut, DJP telah menyiapkan lima strategi utama. Pertama, memperluas basis perpajakan lewat intensifikasi dan ekstensifikasi. Kedua, menggenjot kepatuhan melalui pemanfaatan teknologi, sinergi program bersama, dan penegakan hukum. Ketiga, menjaga kesinambungan reformasi dan menyelaraskan kebijakan pajak dengan standar global.

“Upaya ini kami lakukan bukan hanya demi target, tapi juga untuk memperbaiki sistem dan memperluas jangkauan perpajakan secara berkelanjutan,” ungkap Suryo.

Keempat, DJP juga berkomitmen memberikan insentif pajak yang lebih tepat sasaran demi menopang daya saing usaha dan mendorong transformasi ekonomi bernilai tambah tinggi. Kelima, penguatan SDM dan organisasi yang adaptif terhadap dinamika ekonomi menjadi fokus penting.

Suryo juga menekankan peluncuran sistem administrasi perpajakan terintegrasi Coretax pada tahun ini sebagai salah satu terobosan penting. “Kami ingin sistem perpajakan ke depan lebih sederhana, lebih cepat, dan lebih efisien,” ujarnya.

Hingga akhir Maret 2025, penerimaan pajak telah mencapai Rp 322,6 triliun atau 14,7% dari target. Tren pertumbuhan tercatat positif secara tahunan maupun sektoral.

“Selama ekonomi tetap bergerak stabil atau bahkan lebih baik dari bulan-bulan sebelumnya, kami optimistis tren positif ini bisa terus berlanjut hingga akhir tahun,” tutup Suryo. (alf)

 

Penerimaan Pajak Kripto dan Fintech Tembus Rp4,48 Triliun per Maret 2025

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Kementerian Keuangan mencatat lonjakan signifikan dalam penerimaan pajak dari sektor ekonomi digital. Hingga Maret 2025, kontribusi pajak dari transaksi aset kripto dan layanan keuangan berbasis teknologi (fintech peer-to-peer lending) telah mencapai angka total Rp4,48 triliun. Angka ini menegaskan geliat ekonomi digital yang semakin kuat dan terpantau oleh otoritas pajak.

Pajak kripto menyumbang sebesar Rp1,2 triliun sejak pertama kali dipungut pada 2022. Rinciannya, Rp246,45 miliar dikumpulkan pada 2022, disusul Rp220,83 miliar di tahun 2023, kemudian melonjak drastis menjadi Rp620,4 miliar pada 2024, dan telah mencapai Rp115,1 miliar hanya dalam tiga bulan pertama tahun ini. Dari total tersebut, Rp560,61 miliar berasal dari PPh 22 atas transaksi penjualan aset kripto melalui exchanger, sementara Rp642,17 miliar berasal dari PPN Dalam Negeri (PPN DN) atas pembelian kripto.

Sementara itu, sektor fintech memberikan sumbangan lebih besar, mencapai Rp3,28 triliun. Rinciannya, Rp446,39 miliar pada 2022, Rp1,11 triliun pada 2023, Rp1,48 triliun pada 2024, dan Rp241,88 miliar pada awal tahun 2025. Penerimaan ini terdiri dari PPh 23 atas bunga pinjaman untuk wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap (Rp834,63 miliar), PPh 26 untuk wajib pajak luar negeri (Rp720,74 miliar), serta PPN DN atas setoran masa senilai Rp1,72 triliun.

Secara keseluruhan, pajak dari sektor usaha ekonomi digital telah menghasilkan penerimaan negara sebesar Rp34,91 triliun hingga akhir Maret 2025. Kontribusi terbesar masih berasal dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang menyentuh Rp27,48 triliun, disusul pajak fintech, pajak kripto, dan pajak dari Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) sebesar Rp2,94 triliun.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, mengungkapkan bahwa hingga saat ini sebanyak 211 pelaku usaha PMSE telah ditunjuk sebagai pemungut PPN. Dari jumlah itu, 190 entitas telah aktif melakukan pemungutan dan penyetoran pajak, termasuk setoran sebesar Rp2,14 triliun pada kuartal pertama 2025.

“Angka ini menjadi bukti nyata bahwa pengawasan dan pengenaan pajak terhadap aktivitas digital mampu mengikuti laju pertumbuhan teknologi,” ujar Dwi dalam keterangannya, Rabu (7/5/2025).

Pemerintah pun terus memperbarui data pemungut pajak digital, termasuk mencatat adanya perubahan data pemungut dari perusahaan global seperti Zoom Communications, Inc. Hal ini menunjukkan komitmen berkelanjutan dalam optimalisasi penerimaan negara di tengah transformasi ekonomi digital yang pesat. (alf)

 

DPR Panggil Dirjen Pajak, Bahas Coretax dan Realisasi Penerimaan Negara

IKPI, Jakarta: Komisi XI DPR RI menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan jajaran Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan untuk mengupas tuntas soal realisasi penerimaan negara serta perkembangan sistem perpajakan berbasis teknologi, Coretax.

Rapat yang dijadwalkan pukul 10.00 WIB itu baru dimulai sekitar pukul 10.58 WIB di Gedung DPR RI, Jakarta. Dipimpin langsung oleh Ketua Komisi XI, Mukhamad Misbakhun, pertemuan ini dihadiri oleh 17 anggota DPR dari enam fraksi dan dibuka untuk umum.

“Pajak adalah tulang punggung pembiayaan negara melalui APBN. Meskipun capaian realisasi penerimaan pajak tahun 2024 mencapai 100,5 persen, kita masih menghadapi tantangan besar dalam menaikkan rasio pajak,” ujar Misbakhun dalam pembukaan rapat, Rabu (7/5/2025).

Dirjen Pajak Suryo Utomo hadir bersama jajarannya untuk memaparkan berbagai langkah strategis DJP dalam mendorong optimalisasi penerimaan dan transformasi digital lewat sistem Coretax, yang digadang-gadang akan memperkuat transparansi dan efisiensi perpajakan nasional. (alf)

 

 

 

PMK 15/2025 Atur Penangguhan Pemeriksaan Pajak Jika Ada Dugaan Tindak Pidana

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2025 menetapkan kebijakan baru terkait proses pemeriksaan pajak.

Pasal 23 PMK ini mengatur bahwa pemeriksaan untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak dapat ditangguhkan apabila ditemukan dugaan tindak pidana di bidang perpajakan.

Penangguhan pemeriksaan dilakukan ketika Direktorat Jenderal Pajak menindaklanjuti dugaan tersebut dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka atau penyidikan pidana pajak. Pemeriksaan yang ditangguhkan berlaku untuk tahun pajak yang sama dengan tahun terjadinya dugaan pelanggaran.

PMK ini juga menjelaskan bahwa, surat pemberitahuan penangguhan wajib disampaikan secara tertulis kepada Wajib Pajak atau pihak terkait, bersamaan dengan surat pemberitahuan dimulainya proses hukum. Seluruh dokumen yang telah dipinjam selama proses pemeriksaan harus dikembalikan kepada Wajib Pajak dengan tanda terima resmi.

PMK ini juga mengatur ketentuan lanjutan pemeriksaan dapat diteruskan apabila proses hukum dihentikan karena tidak cukup bukti, peristiwa bukan merupakan tindak pidana, tersangka meninggal dunia, atau telah ada putusan pengadilan yang menyatakan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.

Selain itu, pemeriksaan juga dapat dihentikan jika Wajib Pajak secara sukarela mengungkapkan ketidakbenaran perbuatan atau melakukan pelunasan kewajiban sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Namun, apabila masih terdapat kelebihan pembayaran pajak, pemeriksaan yang sebelumnya ditangguhkan dapat dilanjutkan, dengan syarat hanya menggunakan data di luar yang telah diungkap dalam proses hukum. Wajib Pajak juga akan menerima surat pemberitahuan pemeriksaan lanjutan paling lambat lima hari kerja setelah proses hukum dinyatakan selesai.

Dengan demikian, ketentuan ini memperjelas hubungan antara pemeriksaan administratif dan proses penegakan hukum pidana di bidang perpajakan, sekaligus memberikan kerangka prosedural yang lebih transparan bagi Wajib Pajak. (alf)

 

Uplift dan Pengalihan Saham Migas Kena Pajak Final hingga 20%

IKPI, Jakarta:Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 menetapkan ketentuan terkait perpajakan bagi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di sektor minyak dan gas bumi. Aturan ini mengatur secara tegas pemajakan atas penghasilan lain yang diperoleh KKKS di luar Kontrak Kerja Sama utama, termasuk Uplift dan pengalihan Partisipasi Interes.

Pasal 208 PMK 81/2024 menyebutkan bahwa setiap penghasilan lain seperti Uplift atau imbalan serupa akan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) bersifat final sebesar 20% dari jumlah bruto. Uplift sendiri merupakan kompensasi finansial yang diberikan kepada kontraktor dalam skema kontrak migas tertentu, yang biasanya di luar sistem cost recovery atau gross split.

Lebih lanjut, untuk penghasilan dari pengalihan Partisipasi Interes, tarif pajaknya bervariasi tergantung pada fase kegiatan. Jika pengalihan dilakukan selama masa eksplorasi, tarif final yang dikenakan adalah 5%. Namun, jika dilakukan pada masa eksploitasi, tarif meningkat menjadi 7% dari jumlah bruto.

Adapun masa eksplorasi dihitung sejak kontrak efektif sampai persetujuan rencana pengembangan lapangan pertama. Sementara masa eksploitasi dimulai setelah masa eksplorasi berakhir hingga habisnya masa kontrak.

Kebijakan ini bertujuan memberikan kepastian hukum dan perlakuan perpajakan yang adil atas aktivitas di luar kontrak utama yang dilakukan oleh para pelaku industri migas. (alf)

 

IKPI Jajaki Kerja Sama Eksklusif dengan FIA UI untuk Buka Program Magister Khusus Anggota

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) tengah menjajaki kerja sama eksklusif dengan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI) untuk membuka kelas khusus Program Magister Ilmu Administrasi, dengan konsentrasi kebijakan fiskal dan perpajakan, yang ditujukan bagi anggota IKPI.

Ketua Umum IKPI, Vaudy Starworld, menyampaikan bahwa pertemuan penjajakan telah berlangsung pada Senin (6/5/2025) pukul 15.00 WIB di Kampus FIA UI Depok, dan menjadi langkah awal dari rencana strategis peningkatan kualitas sumber daya manusia di tubuh organisasi.

“Pertemuan ini menjadi bagian dari program kami untuk meningkatkan kompetensi anggota IKPI, khususnya di bidang perpajakan dan kebijakan fiskal. Kerja sama ini diharapkan dapat membuka akses pendidikan tinggi berkualitas bagi anggota yang ingin melanjutkan ke jenjang S2,” ujar Vaudy.

(Foto: Istimewa)

Sebagai tindak lanjut, FIA UI direncanakan akan memberikan pemaparan teknis kepada anggota IKPI pada Jumat, 16 Mei 2025 pukul 13.30 WIB. Sosialisasi ini akan menjadi momen penting bagi anggota yang berminat mengikuti program magister tersebut.

Program ini dirancang dalam format hybrid mayoritas daring, dengan dua kali pertemuan tatap muka setiap semester sehingga memungkinkan anggota dari seluruh Indonesia untuk berpartisipasi. Untuk membuka kelas khusus, dibutuhkan minimal 20 peserta dari kalangan anggota IKPI.

UI juga membuka kemungkinan program double degree bekerja sama dengan University of Melbourne dan Victoria University of Wellington, bagi peserta yang memenuhi syarat akademik lanjutan.

“Ini adalah langkah awal yang menjanjikan. Kami berharap kerja sama ini dapat segera terwujud dan menjadi bagian dari transformasi profesionalisme anggota IKPI,” tutup Vaudy.

Hadir pada pertemuan tersebut dari IKPI:

1. Ketua Umum, Vaudy Starworld

2. Ketua Departemen PPL, Benny Wibowo

3. Ketua Departemen Hubungan Khusus, Harun Pandapotan

4. Anggota Departemen Humas, Ronsianus B Daur

5. Anggota Departemen PPL, Andi Mohammad Johan

6. Direktur Eksekutif, Asih Ariyanto

Dari FIA UI

1. Dekan, Prof Retno Kusumastuti

2. Wakil Dekan 2, Prof Milla Sepliana Setyowati

3. Ketua Program Pascasarjana, Dr. Eko Sakapurnama

4. Ketua Departemen Administrasi Fiskal, Dr. Inayati

5. Kepala IO dan Kerjasama Akademik, Krisna Puji PhD

6. Perwakilan Tax Center

(bl)

Trump Siapkan Pajak Baru untuk Industri Farmasi Asing

IKPI, Jakarta: Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan rencana pengenaan pajak terhadap barang-barang farmasi impor, sebagai bagian dari strategi besar untuk memperkuat kemandirian industri obat dalam negeri. Langkah ini akan diumumkan secara resmi dalam dua pekan ke depan.

“Kami akan umumkan rinciannya dalam waktu dekat,” ujar Trump kepada wartawan di Gedung Putih, seperti dikutip dari Antara, Senin (5/5/2025).

Rencana ini diyakini sebagai kelanjutan dari perintah eksekutif yang baru saja ditekennya untuk mempercepat pembangunan dan pengoperasian pabrik obat dalam negeri.

Melalui perintah tersebut, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) diberi mandat untuk menyederhanakan prosedur persetujuan bagi fasilitas produksi farmasi domestik, dengan menghapus regulasi yang dinilai tumpang tindih serta mempercepat proses peninjauan.

Tidak hanya itu, perintah tersebut juga memperketat pengawasan terhadap fasilitas produksi obat di luar negeri dan meningkatkan beban biaya kepatuhan mereka. Menurut Trump, ketergantungan pada pasokan obat dari luar negeri merupakan risiko strategis yang tidak bisa diabaikan.

“Bayangkan jika kita berperang dan tidak bisa mendapatkan obat dari luar negeri. Kita harus bisa memproduksi sendiri,” tegasnya dalam pernyataan resmi dari Gedung Putih.

Kebijakan ini dipandang sebagai langkah proteksionis yang kuat dan berpotensi mengubah peta industri farmasi global, dengan memberikan insentif besar bagi manufaktur domestik sekaligus menekan dominasi pemasok asing. (alf)

 

Insentif PPN Belum Cukup Dongkrak Minat, Usul Subsidi PBB dan IPL untuk Apartemen Murah

IKPI, Jakarta: Meski pemerintah telah menggelontorkan insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) demi menggairahkan pasar hunian vertikal, nyatanya penjualan apartemen masih lesu. Data dari Colliers Indonesia menunjukkan peluncuran proyek baru hampir tidak ada di kuartal I-2025, sementara stok apartemen yang belum terjual menumpuk hingga 27.000 unit.

Presiden Direktur Riyadh Group Indonesia, Bally Saputra Datuk Janosati, menyebut insentif PPN DTP memang membantu, tetapi belum cukup untuk menghidupkan pasar. Ia mengusulkan agar pemerintah, khususnya pemerintah daerah, turut memberikan stimulus tambahan seperti penghapusan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk unit di bawah Rp 2 miliar, serta subsidi biaya layanan (IPL) bagi apartemen di bawah Rp 1 miliar.

“Kalau DKI Jakarta saja bisa gunakan sebagian dari SiLPA yang hampir Rp 5 triliun per tahun, subsidi IPL ini sangat mungkin dilakukan. Dengan Rp 200 miliar per bulan, bisa bantu 200.000 unit apartemen,” kata Bally.

Menurutnya, kebijakan ini tidak perlu berlaku permanen. Subsidi penuh bisa diberlakukan lima tahun, lalu dilanjutkan dengan subsidi sebagian hingga pasar kembali stabil. Bally menilai, langkah ini tidak hanya meringankan beban penghuni, tapi juga meningkatkan daya tarik tinggal di apartemen.

Selain fiskal, ia mendorong sinergi antara pengembang dan pemerintah untuk menyukseskan program rumah vertikal di perkotaan.

“Pengembang lokal sanggup bangun hingga 3 juta rumah. Tapi kalau regulasinya belum jelas, bagaimana kami bisa mulai?” tegasnya.

Pasar apartemen kini menanti lebih dari sekadar potongan pajak. Tanpa strategi insentif yang menyentuh kebutuhan sehari-hari penghuni, hunian vertikal bisa terus sepi peminat di tengah krisis lahan perkotaan. (alf)

 

Mau Bebas PBB-P2 2025 di Jakarta? Ini Syaratnya

IKPI, Jakarta: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberikan angin segar bagi warga ibu kota dengan mengeluarkan kebijakan pembebasan pokok Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) tahun 2025. Melalui Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 281 Tahun 2025, insentif ini diberikan 100% bagi wajib pajak orang pribadi yang memenuhi sejumlah syarat, terutama terkait validasi Nomor Induk Kependudukan (NIK).

Siapa Saja yang Berhak Mendapatkan Pembebasan PBB-P2?

Pembebasan pajak ini berlaku bagi warga yang memiliki rumah tinggal dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tertentu. Untuk rumah tapak, batas maksimal NJOP adalah Rp2 miliar, sedangkan untuk rumah susun maksimal Rp650 juta. Namun, insentif ini hanya bisa diterapkan pada satu objek pajak, yakni yang memiliki NJOP tertinggi apabila wajib pajak memiliki lebih dari satu properti.

Syarat penting lainnya adalah keharusan melakukan pemutakhiran NIK di sistem Pajak Online milik Pemprov DKI. Jika data belum tervalidasi, insentif belum bisa diberikan.

Cara Mudah Validasi NIK secara Online

Wajib pajak cukup mengakses laman https://pajakonline.jakarta.go.id dan memastikan data NIK sesuai dengan nama di Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Validasi akan dilakukan secara otomatis melalui sistem yang terhubung dengan data kependudukan nasional. NIK yang tidak sesuai, tidak tercatat, atau milik orang yang sudah meninggal akan ditolak secara sistem.

Dalam kasus wajib pajak yang sudah meninggal, proses balik nama atau mutasi PBB-P2 menjadi syarat utama sebelum bisa menikmati insentif pajak.

Balik Nama PBB-P2: Penting dan Perlu Segera Dilakukan

Perubahan kepemilikan properti akibat warisan, jual beli, atau hibah harus segera dilaporkan melalui mekanisme balik nama. Langkah ini penting untuk memperbarui identitas di SPPT sehingga pemilik baru bisa menikmati kemudahan pajak termasuk insentif dari Kepgub 281/2025.

Hasil Penetapan Ulang: Nol Rupiah atau Tetap Sama

Setelah proses validasi selesai, Pemprov DKI akan menetapkan ulang besaran PBB-P2. Jika seluruh syarat terpenuhi, nilai yang tertera di SPPT akan menjadi Rp0. Namun jika tidak memenuhi kriteria, maka jumlah pajak akan tetap seperti semula.

Kebijakan ini tak hanya meringankan beban warga, tapi juga mendorong tata kelola data perpajakan yang lebih akurat. Pemprov DKI Jakarta mengajak seluruh masyarakat untuk segera memperbarui data secara online dan menjadi bagian dari warga yang peduli, taat pajak, dan berkontribusi dalam pembangunan kota.(alf)

 

en_US