Seminar IKPI Pengda Sumbagteng Bahas Persiapan Hadapi Coretax hingga Antisipasi SP2DK

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Pengda Sumatera Bagian Tengah (Sumbagteng) menggelar seminar 2 hari (16 dan 17 Desember 2024) dengan tema “Update Aturan PMK 81/2024, Persiapan Coretax, Kertas Kerja PPh 21 Desember 2024, Persiapan SPT OP dan Badan serta Antisipasi Timbulnya SP2DK dan Pemeriksaan Pajak.” di Bukittinggi, Sumatera Barat.

Ketua IKPI Pengda Sumbagteng Lilisen, mengungkapkan kegiatan ini bertujuan memberikan pemahaman lebih dalam mengenai peraturan perpajakan terbaru kepada wajib pajak (WP) di wilayah Sumbagteng.

Dikatakannya, acara ini menghadirkan berbagai narasumber kompeten dalam bidang perpajakan, yaitu Bapak Sapto Windi Argo, SE, M.Ak, CA, BKP

“Kami ingin memberi pemahaman yang jelas tentang PMK 81/2024, Coretax, serta persiapan PPh 21 masa Desember, SPT OP dan Badan yang harus dilaporkan oleh wajib pajak di Bukittinggi,” kata Lilisen, Selasa (17/12/2024).

Lebih lanjut ia mengatakan, seminar ini juga merupakan bagian dari persiapan para wajib pajak mengenai pelaksanaan Coretax yang akan berlaku pada Januari 2025, serta kesiapan wajib pajak dalam melaporkan pajak mereka pada akhir tahun ini, khususnya terkait PPh 21 bulan Desember dan pelaporan SPT OP dan Badan Tahun 2024.

“Kami ingin memastikan bahwa wajib pajak, terutama di Bukittinggi, dapat mempersiapkan diri dengan baik sebelum implementasi aturan baru ini dimulai,” jelasnya

Diceritakan Lilisen, seminar ini dihadiri 33 peserta yang terdiri dari berbagai kalangan, mulai dari karyawan perusahaan di Bukittinggi, konsultan pajak dari Padang, hingga Pekanbaru.

“Antusiasme peserta sangat tinggi. Banyak dari mereka yang aktif bertanya dan berdiskusi langsung dengan narasumber, terutama terkait dengan SP2DK dan pemeriksaan pajak yang sedang mereka hadapi,” kata Lilisen.

Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa seminar tidak hanya memberikan teori, tetapi juga berbagi solusi praktis bagi masalah perpajakan yang sering terjadi di lapangan. Peserta pun banyak yang meminta klarifikasi lebih lanjut mengenai berbagai peraturan perpajakan yang belum sepenuhnya dipahami.

Lilisen menilai seminar ini sangat efektif dalam meningkatkan kompetensi peserta, khususnya dalam memahami regulasi perpajakan yang berlaku. “Seminar ini bukan hanya sekadar menyampaikan informasi, tetapi juga memberikan kesempatan bagi peserta untuk berdiskusi dan menyelesaikan permasalahan mereka secara langsung dengan narasumber,” katanya.

Melalui seminar ini, ia berharap dapat meningkatkan pemahaman masyarakat, khususnya wajib pajak, mengenai berbagai aspek perpajakan yang diperlukan dalam rangka pelaporan pajak yang akurat dan tepat waktu.

“Kami berharap seminar ini dapat meningkatkan kesadaran wajib pajak dalam melakukan pembayaran dan pelaporan pajak yang benar. Semoga ini juga dapat berdampak positif pada kesadaran perpajakan di masyarakat luas,” ujarnya.

Selain itu, Lilisen juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung terselenggaranya acara ini. “Kami ingin menyampaikan terima kasih atas dukungan semua pihak, sehingga kami dapat membantu Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam sosialisasi perpajakan di wilayah Sumbagteng, khususnya di Kota Bukittinggi,” katanya.

Sekadar informasi, seminar ini merupakan bagian dari upaya berkelanjutan IKPI Pengda Sumbagteng dalam meningkatkan pengetahuan perpajakan di kalangan wajib pajak, serta membantu pemerintah dalam sosialisasi kebijakan perpajakan yang lebih baik di tingkat daerah. (bl)

Pemerintah Tanggung PPh 21 Sektor Padat Karya, Jaga Daya Beli Masyarakat pada 2025

IKPI, Jakarta: Pemerintah Indonesia mengumumkan kebijakan untuk menanggung Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 bagi pekerja di sektor padat karya mulai tahun 2025. Kebijakan ini berlaku bagi pekerja dengan gaji hingga Rp 10 juta, sebagai upaya untuk mendongkrak daya beli masyarakat, terutama kelas menengah yang mengalami penurunan daya beli dalam beberapa waktu terakhir.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, menyampaikan bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari stimulus ekonomi yang akan diterapkan untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional pada 2025. Dalam keterangannya, Airlangga menjelaskan bahwa insentif ini khusus ditujukan untuk pegawai dengan gaji antara Rp 4,8 juta hingga Rp 10 juta per bulan.

“Memperhatikan juga masyarakat kelas menengah, di sektor padat karya pemerintah memberikan insentif PPh Pasal 21 ditanggung oleh pemerintah, yaitu yang gajinya sampai Rp 10 juta,” ujar Airlangga dalam konferensi pers Paket Kebijakan Ekonomi untuk Kesejahteraan pada Senin (16/12/2024).

Selain itu, pemerintah juga akan mengoptimalkan jaminan kehilangan pekerjaan dari BPJS Ketenagakerjaan. Airlangga menyebutkan, perubahan dalam mekanisme jaminan ini akan memberikan perpanjangan masa klaim hingga 6 bulan dengan manfaat sebesar 60% dari gaji selama periode tersebut.

Bagi industri padat karya, pemerintah juga memberikan insentif dalam bentuk diskon 50% untuk jaminan kecelakaan kerja selama 6 bulan. Kebijakan ini diharapkan dapat meringankan beban pengusaha di sektor-sektor seperti tekstil, furnitur, dan alas kaki, yang membutuhkan perlindungan sosial untuk para pekerjanya.

Di sisi lain, bagi dunia usaha, khususnya pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), pemerintah juga memperpanjang kebijakan PPh final sebesar 0,5% hingga 2025. Kebijakan ini sebelumnya hanya berlaku hingga akhir tahun 2024.

Pemerintah juga akan memberikan fasilitas kredit investasi bagi pelaku industri padat karya, untuk mendukung revitalisasi permesinan di sektor tersebut. Dalam hal ini, pemerintah akan memberikan subsidi 5% bagi pelaku usaha yang melakukan investasi untuk memperbarui peralatan dan mesin produksinya. Kredit ini menjadi bagian dari program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing industri padat karya di Indonesia.

Kebijakan ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam mendorong pemulihan ekonomi dan memperkuat daya beli masyarakat, terutama di sektor-sektor yang berpotensi menyerap banyak tenaga kerja. (alf)

Pemerintah Siapkan Rp265,6 Triliun untuk Insentif PPN Tahun 2025

IKPI, Jakarta: Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah mengalokasikan anggaran untuk insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dibebaskan pada tahun 2025 sebesar Rp265,6 triliun. Langkah ini bertujuan untuk menjaga daya beli masyarakat dan mendukung pemulihan sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Proyeksi insentif anggaran tersebut mencakup berbagai sektor yang dianggap penting dalam menjaga kesejahteraan rakyat, antara lain sektor kebutuhan pokok, transportasi, pendidikan, kesehatan, jasa keuangan, serta energi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani, menyebutkan ada sejumlah sektor yang menerima insentif PPN diantaranya:

Sektor Kebutuhan Pokok dan UMKM

Sebesar Rp77,1 triliun dari total insentif akan dialokasikan untuk pembebasan PPN atas barang-barang kebutuhan pokok. Di antaranya, beras, jagung, kedelai, gula, susu segar, kacang-kacangan, unggas, dan hasil perikanan dan kelautan.

Pemerintah juga memberi perhatian khusus kepada UMKM, dengan membebaskan PPN untuk pengusaha kecil dengan omzet tahunan tidak lebih dari Rp4,8 miliar, yang diperkirakan akan menyedot anggaran Rp61,2 triliun.

Transportasi dan Pendidikan

Insentif juga diberikan untuk sektor transportasi dengan alokasi sebesar Rp34,4 triliun. Sebagian besar dari jumlah ini (Rp23,4 triliun) ditujukan untuk pembebasan PPN atas jasa angkutan umum, sementara tarif khusus PPN akan diterapkan pada jasa freight forwarding dan pengiriman paket. Selain itu, PPN juga dibebaskan atas jasa pendidikan dengan nilai Rp26,0 triliun dan jasa kesehatan yang mencapai Rp4,3 triliun.

Sektor Jasa Keuangan dan Energi

Sebesar Rp27,9 triliun dialokasikan untuk pembebasan PPN atas jasa keuangan dan asuransi. Di antaranya, Rp19,1 triliun untuk jasa keuangan, dan Rp8,7 triliun untuk asuransi. Tidak kalah penting, pemerintah juga memberikan insentif untuk sektor energi, di mana PPN atas listrik untuk rumah dengan daya di bawah 6600 VA dan air bersih dibebaskan dengan total estimasi Rp14,1 triliun.

Sektor Otomotif dan Properti

Pemerintah juga memberikan insentif kepada sektor otomotif dan properti dengan total anggaran Rp15,7 triliun. Insentif untuk otomotif diperkirakan mencapai Rp11,4 triliun, sementara sektor properti akan mendapat PPN DTP (Ditanggung Pemerintah) sebesar Rp2,1 triliun.

Insentif Lain-lain

Selain sektor-sektor di atas, terdapat insentif PPN lain-lain yang diperkirakan mencapai Rp4,4 triliun. Ini termasuk insentif untuk kawasan bebas dan jasa keagamaan serta pelayanan sosial.

“Dengan alokasi yang besar, pemerintah berharap insentif ini dapat membantu meningkatkan daya beli masyarakat, memperkuat UMKM, serta mendorong pemulihan ekonomi nasional. Proyeksi total insentif PPN untuk tahun 2025 ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi dan sosial di tengah tantangan global yang terus berkembang,” kata Sri Mulyani di Jakarta, Senin (16/12/2024). (alf)

Menkeu: PPN 12% Dikenakan pada Barang dan Jasa Mewah untuk Masyarakat Mampu sebagai Upaya Keadilan Ekonomi

IKPI, Jakarta: Sejalan dengan prinsip azas keadilan dan gotong royong, pemerintah mengumumkan penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% pada sejumlah barang dan jasa mewah yang dikonsumsi oleh masyarakat mampu. Kebijakan ini bertujuan untuk memastikan distribusi pajak yang lebih adil, terutama terhadap barang-barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, dan pendidikan yang sebelumnya tidak dikenakan PPN.

Demikian dikatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani di Jakarta, Senin (16/12/2024).

Diungkapkannya, beberapa kategori barang dan jasa yang akan dikenakan PPN 12% meliputi bahan makanan premium, jasa pendidikan, serta jasa pelayanan kesehatan yang memiliki kualitas dan harga tinggi. Barang-barang yang dimaksud antara lain:

• Bahan makanan premium, seperti beras premium, buah-buahan kelas atas, daging premium (misalnya wagyu atau kobe), ikan mahal seperti salmon dan tuna premium, serta udang dan crustacea premium seperti king crab.

• Jasa pendidikan premium, yang mencakup sekolah-sekolah dengan fasilitas dan biaya tinggi yang melayani segmen pasar masyarakat mampu.

• Jasa pelayanan kesehatan premium, yang mencakup rumah sakit mewah dan fasilitas medis dengan harga tinggi.

Selain itu, listrik untuk pelanggan rumah tangga dengan daya 3500-6600 VA juga akan dikenakan PPN.

Tujuan Kebijakan untuk Meningkatkan Keadilan Ekonomi

Menurut bendahara negara itu, pengenaan PPN pada barang dan jasa mewah ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap keadilan ekonomi dengan membebani lebih banyak pada konsumen yang mampu, sekaligus mengurangi ketimpangan dalam pemungutan pajak.

“Saat ini, sebagian besar insentif PPN yang ada dinikmati oleh masyarakat dengan daya beli tinggi. Dengan kebijakan ini, diharapkan akan tercipta sistem perpajakan yang lebih progresif, yang mampu mendukung perekonomian negara secara keseluruhan,” ujarnya. (alf)

Menkeu Sebut Tarif PPN RI Relatif Rendah, Tetap Optimis Meski Menjadi 12% pada 2025

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang saat ini berlaku di Indonesia relatif lebih rendah dibandingkan dengan banyak negara lain. Dalam konferensi pers terkait paket stimulus ekonomi dan kesejahteraan masyarakat pada Senin (16/12/2024), Sri Mulyani menyampaikan bahwa tarif PPN di Indonesia saat ini sebesar 11%, sementara tax ratio berada di kisaran 10,4%.

Bendahara negara ini.mengungkapkan, dibandingkan dengan negara-negara emerging seperti Brasil dengan tarif PPN 17% dan tax ratio 24,67%, atau Afrika Selatan dengan PPN 15% dan tax ratio 21,4%, Indonesia masih memiliki tarif yang tergolong rendah. Bahkan negara seperti India, Turki, dan Filipina yang memiliki tarif PPN lebih tinggi dari Indonesia, menunjukkan bahwa tingkat pajak yang diterapkan di Indonesia masih lebih rendah meskipun tax ratio mereka lebih tinggi.

Namun, ia menegaskan bahwa meskipun tarif PPN Indonesia lebih rendah, pemerintah tidak memandang perlu untuk menaikkan tarif PPN secara signifikan seperti yang diterapkan negara lain. Karena akan lebih fokus pada perbaikan dan upaya meningkatkan tax ratio, agar dapat mendukung keberlanjutan fiskal negara.

“Tarif PPN kita saat ini 11%, tax ratio kita masih di 10,4%. Ini menggambarkan pekerjaan rumah yang perlu kita lakukan,” ujar Sri Mulyani.

Di sisi lain, Indonesia juga tidak sendiri dalam menghadapi kenaikan tarif PPN. Mulai 1 Januari 2025, tarif PPN Indonesia akan meningkat menjadi 12% sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Meski tarif PPN mengalami kenaikan, Indonesia masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara seperti Thailand (7%), Singapura (9%), dan Australia (10%). Kenaikan tarif PPN ini diharapkan dapat membantu meningkatkan pendapatan negara, yang pada gilirannya mendukung pembiayaan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

Pemerintah tetap optimis bahwa peningkatan ini dapat berjalan seiring dengan upaya untuk memperbaiki sistem perpajakan secara menyeluruh, guna menciptakan basis pajak yang lebih inklusif dan berkelanjutan. (alf)

Rumah Sakit Kelas VIP hingga Pendidikan Internasional Kena PPN 12%

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa pemerintah akan menanggung kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 1% untuk beberapa barang penting, setelah tarif PPN dinaikkan menjadi 12% mulai Januari 2025. Sementara untukrumah sakit kelas VIP dan Pendidikan internasional, mengikuti tarif PPN 12%.

Kenaikan ini, kata Sri Mulyani, telah mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang menginginkan pemerintah untuk tetap menjaga asas gotong royong dalam kebijakan perpajakan.

Menurut Sri Mulyani, PPN 12% akan dikenakan pada barang-barang yang dikategorikan mewah, seperti rumah sakit kelas VIP dan pendidikan internasional yang berbayar mahal. Namun, barang-barang dan jasa yang penting untuk kehidupan sehari-hari, seperti beras, daging, sayur, transportasi, dan kesehatan, tetap akan dibebaskan dari PPN.

“Pemerintah memutuskan untuk menanggung kenaikan tarif PPN bagi barang-barang yang dibutuhkan oleh masyarakat, seperti tepung terigu, gula pasir untuk industri, dan minyak goreng curah,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers pada Senin, 16 Desember 2024.

Untuk barang-barang tersebut, PPN yang semula 10% akan naik menjadi 12%. Namun, pemerintah akan menanggung 1% dari kenaikan tersebut, sehingga konsumen hanya akan dikenakan PPN sebesar 11%.

Keputusan ini diambil sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk menjaga kesejahteraan masyarakat di tengah rencana reformasi perpajakan yang lebih besar.

Sri Mulyani menegaskan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk menyeimbangkan antara kebutuhan fiskal negara dan perlindungan bagi masyarakat yang rentan terhadap inflasi barang-barang pokok. (alf)

Pemerintah Tanggung 1% PPN Barang Kebutuhan Pokok

IKPI, Jakarta: Pemerintah mengumumkan berbagai paket stimulus ekonomi untuk mendukung rumah tangga berpendapatan rendah dan sektor masyarakat lainnya, dengan tujuan menjaga daya beli dan mengurangi beban pengeluaran masyarakat. Langkah ini diambil menyusul dampak ketidakpastian ekonomi global dan tantangan dalam negeri.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan bahwa stimulus ini mencakup beberapa kebijakan, di antaranya pengurangan PPN untuk rumah tangga berpendapatan rendah. PPN untuk barang-barang pokok, termasuk minyak goreng, akan ditanggung pemerintah hingga 1%, sehingga harga barang kebutuhan sehari-hari ini tidak akan naik ke 12% seperti yang seharusnya terjadi.

“Jadi tidak naik ke 12% (PPN),” ujar Airlangga dalam konferensi pers yang digelar Senin (16/12/2024).

Selain itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan bahwa penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan difokuskan untuk menjaga daya beli masyarakat melalui berbagai kebijakan, meskipun tantangan ekonomi global terus membayangi.

“Ekonomi kita tetap jalan meski kita pahami banyak dinamika global yang terjadi dan dalam negeri yang terus kita waspadai,” tambah Sri Mulyani.

Sebagai bagian dari paket stimulus, pemerintah juga memutuskan untuk memberikan diskon tarif listrik sebesar 50% untuk pelanggan listrik dengan daya terpasang di bawah 2.200 Volt Amphere (VA), seperti pelanggan dengan daya 1.300 VA dan 900 VA. Diskon ini berlaku untuk dua bulan, mulai 1 Januari 2025, dan bertujuan untuk meringankan beban pengeluaran rumah tangga.

“Diskon tarif listrik ini diberikan untuk mengurangi beban pengeluaran rumah tangga, khususnya bagi mereka yang memiliki daya listrik di bawah 2.200 VA,” ungkap Airlangga.

Dengan berbagai kebijakan ini, pemerintah berharap dapat menstabilkan kondisi perekonomian domestik sekaligus menjaga kesejahteraan masyarakat di tengah tantangan ekonomi global yang terus berkembang. (alf)

Pemerintah Perketat Pengawasan Pajak, Fokus pada Sektor Pertambangan untuk Capai Target APBN 2024

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan terus memperketat pengawasan terhadap penerimaan pajak di akhir tahun ini, dengan fokus utama pada wajib pajak yang memperoleh keuntungan signifikan, salah satunya dari sektor pertambangan. Hal ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Pajak Suryo, Minggu (15/12/2024).

Suryo menegaskan bahwa sektor pertambangan, terutama yang terkait dengan bijih logam, menunjukkan peningkatan yang signifikan. Meskipun kinerja setoran pajak dari sektor ini hingga November 2024 masih tercatat terkontraksi 37,3% secara neto dibandingkan tahun sebelumnya, dengan nilai Rp 96,35 triliun, terjadi perbaikan signifikan dalam beberapa bulan terakhir.

Pada kuartal III-2024, setoran pajak sektor pertambangan bahkan tumbuh 23,3%, dan lebih mencolok lagi pada bulan-bulan terakhir, dengan September mencatatkan pertumbuhan sebesar 56,5%, Oktober 80,4%, dan November 49,6%.

Dengan perkembangan ini, Suryo menegaskan bahwa strategi dinamisasi pajak menjadi kunci bagi DJP untuk mengejar target penerimaan. Dinamisasi pajak adalah upaya menghitung ulang angsuran pajak penghasilan (PPh) Pasal 25, terutama ketika perusahaan mengalami lonjakan keuntungan.

“Kami terus memantau kondisi terkini perusahaan, dan apabila kinerja mereka membaik, kami akan menyesuaikan setoran pajak mereka,” ujar Suryo.

Sekadar informasi, hingga 30 November 2024, total penerimaan pajak tercatat mencapai Rp 1.688,9 triliun, namun masih kurang sekitar Rp 300 triliun dari target yang ditetapkan dalam APBN 2024, yaitu Rp 1.988,9 triliun. Dengan hanya beberapa hari tersisa sebelum tahun 2024 berakhir, DJP berupaya keras untuk memastikan target pajak tercapai.

Suryo berharap, melalui pengawasan yang lebih ketat dan dinamisasi setoran pajak, pihaknya dapat mengoptimalkan penerimaan pajak dari sektor-sektor yang mengalami pertumbuhan, seperti pertambangan, dan memenuhi target yang ditetapkan dalam APBN 2024. (alf)

Indonesia Akan Tetap Berikan Tax Holiday untuk Perusahaan Multinasional meski Berlaku Global Minimum Tax (GMT)

IKPI, Jakarta: Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan bahwa meskipun penerapan prinsip pajak global minimum (GMT) akan memengaruhi sentimen investor asing, Indonesia tetap berkomitmen untuk tidak kehilangan potensi penerimaan pajak dari perusahaan multinasional yang beroperasi di tanah air.

Airlangga menjelaskan, meski negara memberikan insentif fiskal berupa pembebasan pajak atau tax holiday, pemerintah tidak ingin perusahaan multinasional yang mendapatkan fasilitas tersebut justru dikenakan pajak di negara asalnya. “Kita tidak ingin kalau perusahaan multinasional diberikan tax holiday kemudian dipajakin oleh negaranya,” tegas Airlangga di Istana Negara, Senin (16/12/2024).

Terkait dengan kebijakan tax holiday tersebut, pemerintah memastikan bahwa meski ada perubahan dengan diterapkannya GMT, perusahaan asing tetap akan mendapatkan insentif fiskal, namun dengan aturan yang mengacu pada besaran tarif GMT.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, menegaskan bahwa kebijakan tax holiday yang ada tidak akan mengalami disrupsi. “Dengan Menteri Investasi, kita pastikan itu tidak ada disrupsi. Jadi kita perpanjang dengan existing terms. Jadi tidak akan ada disrupsi,” kata Febrio, baru-baru ini.
Namun, peraturan baru terkait GMT yang akan berlaku pada 2025 ini menuntut perubahan dalam besaran tax holiday yang diberikan. Pasalnya, pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) Badan tetap akan dikenakan dengan tarif minimum 15%.

Sebagai contoh, jika tarif PPh Badan Indonesia adalah 22%, maka perusahaan yang mendapatkan fasilitas tax holiday hanya dapat menikmati pembebasan sebesar maksimal 7% (22% dikurangi 15%).
Penerapan GMT ini merupakan bagian dari komitmen Indonesia untuk mengikuti kesepakatan internasional yang diusulkan oleh Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), yang menetapkan tarif pajak minimum sebesar 15%. Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional dengan meminimalkan perbedaan tarif pajak antarnegara. (alf)

Mantan Staf Khusus Menkeu Jelaskan Potensi Skema Multitarif PPN dan Tantangan Implementasinya

IKPI, Jakarta: Mantan Staf Khusus Menteri Keuangan (Menkeu) Yustinus Prastowo, mengungkapkan bahwa ide penerapan skema multitarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebenarnya telah dipertimbangkan sejak penyusunan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Dalam sebuah diskusi yang digelar oleh DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Sabtu (14/12 2024,) Prastowo menjelaskan bahwa konsep multitarif PPN, yang meniru sistem negara-negara maju dimaksudkan untuk menciptakan kebijakan pajak yang lebih fleksibel dan adil.

Prastowo menjelaskan, ide ini muncul dalam upaya untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan, terutama antara masyarakat kaya dan miskin. Sebagai contoh, pembebasan PPN pada sektor kesehatan dianggap tidak sepenuhnya adil, mengingat banyak warga miskin yang berobat di fasilitas kesehatan dasar seperti Puskesmas, sementara warga kaya juga bisa memanfaatkan fasilitas tersebut untuk prosedur estetika seperti operasi plastik.

“Rela nggak, yang makan daging wagyu satu porsi Rp5 juta, dengan yang makan sate madura satu porsi Rp10.000, sama-sama nggak bayar pajak. Nggak rela kan? Maka dari itu, beras premium dan daging premium sebenarnya bisa dikenai PPN,” ujarnya.

Namun, Prastowo mengingatkan bahwa meskipun konsep ini sudah ada dalam rencana awal UU HPP, beberapa pakar berpendapat bahwa penerapan PPN multitarif seharusnya dilakukan secara bertahap, dengan administrasi yang lebih matang. Ia menyoroti ketidaksiapan hukum saat ini, mengingat penerapan PPN multitarif belum dijadikan dasar hukum yang jelas dalam perancangan UU HPP.

“Keputusannya waktu itu tidak perlu. Nah, kejadian sekarang. Giliran ada ribut-ribut 12%, mau nyantolin barang mewah di mana, nggak ada pasalnya,” ujar Prastowo.

Menurutnya, penerimaan negara dari kenaikan PPN 12% dengan hanya mencakup barang mewah diperkirakan tidak akan signifikan, hanya sekitar Rp2 triliun.

Lebih lanjut, Prastowo menekankan bahwa meskipun UU HPP memiliki banyak keputusan positif, seperti pajak karbon dan pajak penghasilan untuk orang kaya, ketidaktegasan soal penerapan PPN multitarif menjadi salah satu kekurangan dalam perancangannya. Ia menyarankan pemerintah untuk lebih fokus pada kebijakan seperti PPN DTP (Ditanggung Pemerintah) pada beberapa objek tertentu untuk membantu mengurangi beban masyarakat.

Prastowo juga menyampaikan bahwa perancangan UU HPP memberikan pelajaran penting bagi pengambil kebijakan, terutama dalam merumuskan proyeksi yang lebih realistis. Menurutnya, penerapan kebijakan kenaikan PPN yang begitu mendadak pada saat daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih setelah pandemi Covid-19 dapat menimbulkan dampak yang tidak diinginkan. (alf)

id_ID