DJP Permudah Respons SP2DK Lewat Coretax

IKPI, Jakarta: Pemerintah terus menunjukkan komitmennya dalam memodernisasi layanan perpajakan. Salah satunya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kini menyempurnakan sistem Coretax dengan fitur baru yang memungkinkan Wajib Pajak merespons Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) secara digital.

Fitur ini disampaikan DJP melalui akun resmi X @kring_pajak sebagai respons atas pertanyaan seorang warganet yang menanyakan apakah pengajuan perpanjangan waktu menjawab SP2DK kini bisa dilakukan langsung melalui Coretax atau tetap harus manual ke kantor pajak.

“Min, untuk permohonan perpanjangan waktu menjawab SP2DK saat ini dari Coretax atau pengajuan manual ke KPP, ya?” tulis akun tersebut, dikutip Senin (19/5/2025).

Menjawab itu, DJP memaparkan tahapan menanggapi SP2DK via Coretax. Wajib Pajak cukup masuk ke menu “My Portal – My Cases”, memilih kasus yang ingin direspons, mengisi data yang diminta di menu “Routing”, dan melampirkan dokumen pendukung. Jika status sudah berubah menjadi “The Case Closed”, artinya respons telah diterima dan diproses.

Meski sistem makin canggih, DJP mengingatkan bahwa waktu merespons SP2DK tetap terbatas, yakni 14 hari sejak dikirimkan. Namun jika dibutuhkan, wajib pajak bisa mengajukan permohonan perpanjangan waktu ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdaftar. “Ketentuannya tidak diatur secara khusus, jadi silakan konfirmasi ke KPP masing-masing,” jelas DJP.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, Dwi Astuti, juga menegaskan bahwa SP2DK bukanlah sanksi, melainkan bagian dari proses pengawasan rutin. Dokumen ini diterbitkan jika ada dugaan ketidaksesuaian data perpajakan berdasarkan analisis material yang dilakukan petugas pajak.

“SP2DK diterbitkan untuk klarifikasi, bukan untuk menghukum. Ini hasil dari penelitian yang mendalam sesuai dengan SE-05/PJ/2022,” ujar Dwi. (alf)

 

 

 

MK Kembali Gelar Sidang Uji Materi Pajak LPG 3 Kg, Pemerintah Tegaskan Dasar Hukum Pemajakan

 

IKPI, Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan perkara Nomor 188/PUU-XXII/2024 terkait uji materi dua undang-undang perpajakan: Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM. Permohonan ini diajukan oleh dua badan usaha, PT Gemilang Prima Semesta dan CV Belilas Permai, yang mempersoalkan kejelasan dasar pemungutan pajak atas penyerahan LPG bersubsidi tabung 3 kilogram.

Sidang yang digelar di Ruang Sidang MK pada Senin (19/5/2025) itu dipimpin langsung oleh Ketua MK Suhartoyo bersama delapan Hakim Konstitusi lainnya. Dalam persidangan, Pemerintah melalui keterangan Direktur Jenderal Pajak, Yon Arsal, menegaskan bahwa pemajakan atas penyerahan LPG 3 kg telah sesuai dengan prinsip legalitas dalam perpajakan dan tidak bertentangan dengan konstitusi.

“LPG 3 kg adalah barang kebutuhan strategis yang telah disubsidi oleh pemerintah. Namun, keuntungan yang diperoleh agen atau penyalur atas penjualannya tetap merupakan objek pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh,” ujar Yon Arsal, dikutip dari website resmi MK.

Ia menjelaskan bahwa pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tidak mengacu pada kebijakan lokal seperti Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh pemerintah daerah, melainkan berdasarkan nilai ekonomi sesungguhnya dari transaksi yang terjadi. Menurutnya, dasar pengenaan pajak dalam kasus ini adalah harga jual — termasuk seluruh biaya yang dibebankan kepada konsumen, kecuali PPN itu sendiri dan potongan harga.

Perbedaan Penafsiran Jadi Sorotan

Dalam gugatannya, para Pemohon menilai bahwa ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh dan UU PPN menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak secara eksplisit mencantumkan bahwa objek pajak harus ditentukan berdasarkan perundang-undangan. Akibatnya, pungutan pajak atas biaya transportasi yang diatur dalam peraturan daerah dianggap merugikan, terutama bagi agen LPG 3 kg yang dibebani pajak atas biaya yang bukan merupakan keuntungan langsung mereka.

“Jika frasa tersebut tidak dipertegas, maka penafsiran bisa menjadi terlalu luas dan membuka ruang penyimpangan terhadap prinsip legalitas perpajakan,” tulis para Pemohon dalam petitumnya.

Namun Pemerintah berpendapat bahwa menambahkan frasa “berdasarkan perundang-undangan perpajakan” dalam pasal-pasal tersebut justru akan menimbulkan implikasi hukum yang kompleks. “Hal itu bisa memperluas atau bahkan mempersempit cakupan objek pajak, serta mengubah penafsiran sebelum dan sesudah putusan,” tegas Yon Arsal.

Tarik Ulur antara Keadilan dan Kepastian Hukum

Perkara ini mencerminkan tarik-ulur antara perlindungan hak konstitusional wajib pajak dengan kebutuhan negara untuk menjaga basis pajaknya. LPG 3 kg sebagai komoditas bersubsidi memang mendapat perlakuan khusus dalam hal distribusi dan harga, namun keuntungan dari aktivitas komersialnya tetap dinilai sebagai tambahan kemampuan ekonomis yang sah dikenai pajak.

Pemerintah mengingatkan bahwa prinsip utama perpajakan bukan semata-mata pada sumber biaya, tetapi pada nilai ekonomi yang diterima pelaku usaha. Maka, sekalipun biaya transportasi ditentukan oleh kepala daerah, ketika biaya itu dimasukkan dalam harga jual kepada konsumen, maka secara hukum menjadi bagian dari dasar pengenaan pajak.

Mahkamah Konstitusi belum memutuskan perkara ini. Sidang-sidang lanjutan masih akan digelar untuk mendalami argumen kedua belah pihak. Putusan MK nantinya diperkirakan akan menjadi penentu penting dalam memberikan kejelasan hukum atas pemajakan barang bersubsidi yang distribusinya melibatkan banyak pihak, mulai dari pusat hingga daerah. (alf)

Desakan Kenaikan PTKP Meningkat, Pemerintah Diminta Respons Cepat untuk Jaga Daya Beli Rakyat

IKPI, Jakarta: Usulan untuk menaikkan ambang batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari Rp 4,5 juta menjadi Rp 10 juta per bulan kembali mencuat ke permukaan. Kali ini, dorongan datang tidak hanya dari kalangan buruh, tetapi juga pengusaha dan analis kebijakan fiskal. Mereka menilai kebijakan ini menjadi krusial di tengah perlambatan ekonomi dan meningkatnya tekanan biaya hidup.

Peneliti dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Badiul Hadi, menyebut bahwa revisi PTKP mendesak untuk segera dilakukan. Menurutnya, PTKP yang tidak berubah sejak 2016 sudah tidak lagi mencerminkan realitas ekonomi masyarakat saat ini.

“Daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah, semakin tergerus. Rp 4,5 juta hari ini tidak lagi memiliki nilai yang sama seperti delapan tahun lalu,” ujar Badiul, Minggu (18/5/2025).

Badiul mengingatkan bahwa kelas menengah merupakan tulang punggung perekonomian nasional, baik sebagai tenaga kerja produktif maupun konsumen utama sektor barang dan jasa. Jika penghasilan mereka terus tergerus pajak tanpa penyesuaian yang adil, dampaknya bisa meluas ke berbagai sektor.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia menyusut drastis dalam lima tahun terakhir. Dari 57,33 juta orang pada 2019, turun menjadi hanya 47,85 juta pada 2024. Penurunan ini menjadi sinyal serius bahwa daya beli dan kualitas hidup masyarakat mengalami penurunan.

Ia menyarankan agar pemerintah tidak harus langsung menaikkan PTKP ke Rp 10 juta, namun bisa dilakukan secara bertahap—misalnya ke Rp 5 juta atau Rp 7 juta terlebih dahulu—sembari mengkaji dampak fiskalnya.

Namun ia menekankan, revisi PTKP tidak boleh menjadi langkah tunggal. “Kenaikan ini harus diiringi dengan reformasi perpajakan yang menyeluruh, termasuk memperluas basis pajak, meningkatkan kepatuhan dari kelompok atas dan korporasi, serta menata ulang insentif perpajakan agar lebih tepat sasaran,” paparnya.

Meskipun usulan ini dinilai mendesak, pemerintah tampak masih berhati-hati. Salah satu kekhawatiran adalah potensi berkurangnya penerimaan dari Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi, yang selama ini menjadi sumber utama pendanaan berbagai program prioritas pemerintah.

“Pemerintah mungkin masih mengandalkan penerimaan PPh untuk menopang belanja subsidi dan pembangunan infrastruktur. Itu sebabnya mereka belum memberikan sinyal jelas terhadap usulan ini,” kata Badiul.

Ia menegaskan bahwa kebijakan fiskal harus diarahkan tidak hanya untuk menjaga pendapatan negara, tetapi juga menjaga stabilitas ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, penyesuaian PTKP harus disinergikan dengan kebijakan lain, seperti perlindungan sosial dan dukungan bagi sektor produktif.

“Langkah ini bukan semata keringanan pajak, tetapi bagian dari strategi untuk menstimulasi konsumsi dan memperkuat fondasi ekonomi domestik,” katanya. (alf)

 

Tak Ada APBN-P 2025, DPR dan Pemerintah Sepakat Gunakan Fleksibilitas Anggaran

IKPI, Jakarta: Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, menegaskan bahwa pemerintah dan DPR telah mencapai kesepakatan bulat untuk tidak melakukan revisi terhadap postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Meski realisasi penerimaan pajak menunjukkan tanda-tanda kontraksi di awal tahun, perubahan postur anggaran dinilai belum diperlukan.

“Kita sudah memutuskan tidak ada APBN-P,” kata Misbakhun saat memberi keterangan kepada media di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (19/5/2025).

Menurutnya, fleksibilitas tetap terjaga berkat kewenangan yang dimiliki Presiden dalam menyesuaikan alokasi anggaran. Hal ini telah diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 62 Tahun 2024 tentang APBN 2025, yang memberikan ruang bagi kepala pemerintahan untuk mengatur ulang anggaran sesuai kebutuhan kementerian dan struktur kabinet baru.

“Presiden memiliki kewenangan untuk melakukan penyesuaian anggaran sesuai dengan kebutuhan kementerian dan lembaga, sejalan dengan struktur pemerintahan yang telah dibentuk,” jelasnya.

Misbakhun juga menilai bahwa tren penerimaan negara yang melambat di awal tahun bukanlah hal yang luar biasa. Ia menekankan bahwa pemerintah telah menyiapkan berbagai strategi untuk mengejar target penerimaan, terutama dari sektor perpajakan.

“Pemerintah punya instrumen dan langkah-langkah untuk memperkuat kinerja penerimaan negara. Ini hanya soal waktu dan strategi yang tepat,” ujar politisi dari Partai Golkar itu. (alf)

 

Pemerintah Siapkan Pungutan Ekspor Kelapa Bulat

IKPI, Jakarta: Pemerintah bersiap menerapkan kebijakan pungutan ekspor terhadap kelapa bulat, menyusul keluhan terkait kelangkaan pasokan di dalam negeri akibat meningkatnya ekspor komoditas tersebut. Kebijakan ini diharapkan tak hanya menjaga ketersediaan kelapa di pasar lokal, tetapi juga memperkuat instrumen fiskal negara melalui pengenaan beban ekspor.

Menteri Perdagangan Budi Santoso mengungkapkan, tingginya volume ekspor kelapa bulat telah menyebabkan pasokan dalam negeri menipis dan berdampak pada lonjakan harga. Untuk itu, pemerintah akan memberlakukan pungutan ekspor guna mengendalikan arus keluar komoditas ini.

“Sekarang banyak keluhan karena kelapa terlalu banyak diekspor, padahal kebutuhan dalam negeri meningkat. Kita sudah bicara dengan pelaku industri dan memutuskan akan memakai instrumen pungutan ekspor,” kata Budi usai acara Harkornas 5K di TMII, Jakarta Timur, Minggu (18/5/2025).

Meskipun bukan termasuk pajak dalam arti umum, pungutan ekspor ini merupakan bagian dari kebijakan fiskal pemerintah. Selain berfungsi sebagai alat pengendalian (regulatif), kebijakan ini juga memberikan tambahan pemasukan bagi kas negara dari sektor ekspor pertanian yang selama ini dinilai masih kurang tergarap.

“Dengan diberlakukannya pungutan ini, ekspor kelapa akan berkurang secara alami. Pasokan dalam negeri akan kembali seimbang, harga bisa stabil, dan negara pun mendapat manfaat fiskal dari pungutan tersebut,” ujar Budi.

Rencana ini telah mendapatkan dukungan dari kementerian dan lembaga terkait, dan saat ini sedang difinalisasi dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang akan menjadi dasar hukum pelaksanaannya.

“Semua pihak sudah sepakat. Tinggal tunggu PMK dari Kementerian Keuangan. Mudah-mudahan segera keluar, karena urgensinya sudah sangat jelas,” tambahnya.

Langkah ini menunjukkan bagaimana pemerintah mencoba menyeimbangkan antara dorongan ekspor dan kebutuhan dalam negeri, sekaligus menjadikan sektor pertanian sebagai salah satu sumber penerimaan negara yang lebih berkelanjutan.(alf)

 

Legalisasi Kasino: Antara Devisa dan Pajak, Pemerintah Diminta Belajar dari UEA dan Malaysia

IKPI, Jakarta: Wacana legalisasi kasino kembali mencuat ke permukaan, kali ini disuarakan oleh Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana. Ia menilai, pemerintah Indonesia perlu melakukan kajian serius terhadap kemungkinan membuka kasino di kawasan ekonomi khusus, dengan merujuk pada pengalaman negara-negara mayoritas Muslim seperti Uni Emirat Arab (UEA) dan Malaysia.

Menurut Hikmahanto, pemerintah harus membuka mata terhadap realitas perputaran uang dalam aktivitas perjudian, terutama judi online yang marak dilakukan secara ilegal. Temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan bahwa aliran dana judi online sangat besar, terutama di negara-negara seperti Kamboja dan Myanmar yang telah melegalkan kasino secara terbuka.

“Ada tiga hal penting yang perlu diasesmen pemerintah. Pertama, soal besarnya perputaran uang judi online di luar negeri. Kedua, soal realita bahwa masyarakat kita masih belum bisa melepaskan diri dari praktik judi, meskipun secara normatif dilarang. Dan ketiga, soal penegakan hukum, yang hingga kini lemah karena lokasinya berada di luar yurisdiksi kita,” ujar Hikmahanto, Sabtu (17/5/2025).

Ia menekankan bahwa legalisasi kasino bukan berarti melegalkan perjudian secara bebas. Pemerintah, lanjutnya, bisa mengadopsi pendekatan seperti Malaysia atau Singapura yang hanya membuka kasino di kawasan tertentu dengan pengawasan ketat. “Di Singapura, warga negaranya sendiri harus memenuhi syarat tertentu untuk masuk ke kasino. Pendekatan ini bisa menjadi model yang relevan bagi Indonesia,” jelasnya.

Dari sisi fiskal, pembukaan kasino di kawasan ekonomi khusus dapat menjadi sumber pemasukan baru melalui pungutan pajak dan retribusi. Hikmahanto mengusulkan agar dana yang diperoleh diarahkan untuk program-program pembangunan, namun tidak menyentuh sektor-sektor sensitif yang berkaitan dengan agama atau moralitas.

“Jika negara bisa mengatur dan menarik pajak dari aktivitas ini, mengapa tidak dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat? Apalagi selama ini judi ilegal justru merajalela dan tidak menyumbang apa pun ke kas negara,” tambahnya.

Ia juga mengingatkan bahwa Indonesia pernah memiliki sejarah toleransi terhadap perjudian terbatas, seperti melalui program Porkas dan SDSB pada era Gubernur Ali Sadikin. Saat itu, pemasukan dari aktivitas tersebut digunakan untuk membiayai pembangunan fasilitas umum.

Hikmahanto menekankan pentingnya keberanian politik pemerintah untuk bersikap realistis dan solutif. “Uni Emirat Arab saja yang melarang judi bisa membuka kasino dalam kawasan khusus. Indonesia seharusnya juga bisa membuat kebijakan yang rasional, tanpa mengabaikan nilai-nilai dasar bangsa. Yang penting, ilegalitas harus diberantas dan pajaknya dimanfaatkan sebaik mungkin,” tegasnya.

Dengan potensi devisa dan penerimaan pajak yang signifikan, legalisasi kasino di wilayah terbatas bisa menjadi solusi pragmatis, asalkan dilengkapi dengan pengawasan ketat, aturan yang jelas, serta perlindungan terhadap masyarakat dari dampak negatif perjudian. (alf)

 

 

Pajak Pesangon Naik tapi Setoran Pajak Turun: Apa yang Terjadi?

IKPI, Jakarta: Meski jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) meningkat tajam awal tahun ini, penerimaan pajak justru mengalami penurunan signifikan. Fenomena ini mengundang pertanyaan: mengapa setoran pajak turun di tengah potensi kenaikan penerimaan dari pajak pesangon?

Data Apindo mencatat hampir 74 ribu pekerja di-PHK sepanjang 1 Januari–10 Maret 2025. Jika tiap korban rata-rata menerima Rp100 juta pesangon, dan dikenakan pajak 5%, negara bisa mengantongi sekitar Rp370 miliar dari potongan pajak pesangon semata.

Namun, dalam laporan APBN KiTa edisi Februari 2025, penerimaan pajak Januari hanya mencapai Rp88,89 triliun—anjlok 41,86% dibandingkan periode sama tahun lalu. PPh Pasal 21, yang mencakup gaji dan pesangon karyawan, juga turun dari Rp28,3 triliun (Januari 2024) menjadi hanya Rp15,95 triliun tahun ini.

Ekonom CELIOS Nailul Huda menyebut PHK masif sebagai penyebab utama. “Ketika pendapatan masyarakat menurun, konsumsi juga turun. Itu berimbas langsung ke penerimaan PPh 21 dan PPN,” ujarnya baru-baru ini.

Situasi ini menunjukkan dilema: meski pajak pesangon bisa menambah kas negara, daya beli masyarakat tertekan akibat hilangnya pekerjaan dan tingginya potongan. Jika tak diatasi, penerimaan pajak berpotensi terus turun karena melemahnya ekonomi riil.

Pemerintah pun dihadapkan pada dua pilihan, tetap mengandalkan potensi penerimaan dari pesangon atau memberikan keringanan fiskal agar ekonomi masyarakat tetap bergerak. (alf)

Pajak Pesangon Korban PHK Diprotes, Pemerintah Diminta Tinjau Ulang Tarif Progresif

IKPI, Jakarta: Pengenaan pajak atas pesangon yang diterima korban pemutusan hubungan kerja (PHK) memicu protes dari berbagai kalangan, terutama serikat pekerja. Mereka menilai, sistem pajak progresif atas pesangon memperberat beban korban PHK yang tengah berjuang bertahan hidup tanpa pendapatan tetap.

Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI), Mirah Sumirat, mengatakan bahwa potongan pajak pada uang pesangon, meski mengikuti aturan yang berlaku, sangat tidak berpihak pada kondisi pekerja yang baru saja kehilangan pekerjaan.

“Korban PHK itu butuh uang pesangon untuk bertahan hidup, bayar makan, listrik, hingga pendidikan anak. Ketika pesangon mereka dipotong pajak 5% atau bahkan 25%, itu sangat menyulitkan,” kata Mirah, Kamis (15/05/2025).

Ia mendesak pemerintah untuk mengevaluasi tarif pajak pesangon, terutama bagi mereka yang menerima di bawah Rp100 juta. “Harusnya dibebaskan dari pajak. Mereka sudah rutin bayar PPh selama bekerja, masa setelah di-PHK masih juga dikenakan pajak?”, ujarnya.

Dalam PMK Nomor 16/PMK.03/2010, pesangon memang dikenai PPh Pasal 21 final dengan tarif progresif: mulai dari 0% untuk penghasilan hingga Rp50 juta, dan bisa mencapai 25% bila di atas Rp500 juta.

Namun, Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, mengusulkan agar tarifnya disesuaikan dengan kondisi khusus korban PHK. “Sebaiknya tarifnya lebih ringan dibandingkan pajak penghasilan rutin karena ini bukan pendapatan reguler, melainkan kompensasi terakhir,” ujarnya, Jumat (16/05/2025). (alf)

Pemerintah Genjot Efektivitas Pajak sebagai Instrumen Stabilitas

IKPI, Jakarta: Di tengah ketidakpastian global yang masih membayangi perekonomian dunia, Pemerintah Indonesia bersikap proaktif dengan merancang kebijakan strategis untuk menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Salah satu instrumen yang kembali mendapat sorotan sebagai pilar penting stabilitas ekonomi adalah kebijakan perpajakan.

Juru Bicara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Haryo Limanseto, menyampaikan bahwa kebijakan fiskal, termasuk perpajakan, akan menjadi tulang punggung dalam menjaga daya beli masyarakat, memperkuat pembiayaan sektor produktif, dan menopang belanja negara secara efisien.

“Efektivitas kebijakan pajak sangat krusial dalam konteks saat ini. Bukan hanya sebagai sumber pendapatan negara, tetapi juga sebagai alat distribusi dan stimulus yang bisa diarahkan secara presisi untuk menopang konsumsi dan investasi,” jelas Haryo dalam keterangan resminya, diterima Minggu (17/5/2025).

Sejalan dengan kebijakan jangka pendek yang difokuskan pada penguatan konsumsi rumah tangga dan peningkatan kemudahan berusaha, insentif perpajakan seperti pengurangan tarif PPh UMKM dan fasilitas tax holiday untuk sektor industri strategis kembali disorot sebagai langkah konkret mendukung pemulihan ekonomi.

Tak hanya itu, Pemerintah juga mempercepat proses digitalisasi administrasi perpajakan guna memperluas basis pajak sekaligus meningkatkan kepatuhan. Implementasi sistem perpajakan berbasis data dan teknologi, seperti integrasi NIK-NPWP dan perluasan e-faktur, menjadi bagian dari transformasi struktural yang dijalankan secara paralel dengan kebijakan deregulasi investasi.

“Pajak bukan semata-mata kewajiban, tetapi instrumen kolaboratif antara negara dan pelaku usaha untuk mendorong pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan,” tambah Haryo.

Pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan tetap tumbuh sehat di atas 10% pada tahun 2025, ditopang oleh reformasi sistem perpajakan, peningkatan efektivitas pengawasan, dan sinergi antar-lembaga dalam pengumpulan data ekonomi.

Dengan kombinasi kebijakan fiskal adaptif dan strategi jangka menengah seperti hilirisasi industri, transisi energi, dan transformasi digital, Pemerintah optimistis target pertumbuhan ekonomi sebesar 5% masih dalam jangkauan, meski gejolak global belum sepenuhnya mereda. (alf)

 

 

 

 

 

PPh Final 0,5% untuk Pengalihan Real Estat ke KIK-DIRE

IKPI, Jakarta: Pemerintah kembali mengatur perlakuan pajak yang lebih kompetitif bagi pelaku usaha properti dan investor institusi melalui skema investasi pasar modal. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024, ditetapkan bahwa penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari pengalihan real estat ke Special Purpose Company (SPC) atau Kontrak Investasi Kolektif (KIK) dalam skema Dana Investasi Real Estat (DIRE) dikenai Pajak Penghasilan (PPh) final sebesar 0,5% dari nilai bruto pengalihan.

Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 201 dan Pasal 202 PMK 81/2024, dan secara khusus menyasar transaksi pengalihan aset properti dalam kerangka KIK tertentu, yakni Kontrak Investasi Kolektif dengan wadah Dana Investasi Real Estat (DIRE). Skema ini dapat melibatkan atau tidak melibatkan SPC sebagai entitas khusus dalam struktur kepemilikan aset.

Dalam Pasal 202 disebutkan bahwa tarif PPh final sebesar 0,5% dikenakan atas jumlah bruto nilai pengalihan real estat, yang meliputi:

• Seluruh jumlah sesungguhnya diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari SPC atau KIK, jika tidak terdapat hubungan istimewa antara pihak-pihak tersebut; atau

• Seluruh jumlah yang seharusnya diterima atau diperoleh dalam hal terdapat hubungan istimewa antara Wajib Pajak dengan SPC atau KIK.

Penjelasan ini menandakan pentingnya perhatian terhadap aspek transfer pricing dan penilaian kewajaran harga pengalihan aset, terutama ketika pihak pengalihan dan pihak penerima berada dalam satu grup usaha atau memiliki keterkaitan kepemilikan.

Ketidaksesuaian dengan nilai pasar dapat memicu koreksi fiskus, sehingga konsultan pajak perlu memastikan dokumentasi dan pembuktian arm’s length principle (ALP) dilakukan secara tepat.

Kebijakan ini sekaligus membuka ruang perencanaan pajak yang sah (tax planning) bagi korporasi properti dan investor besar. Dengan tarif PPh final yang relatif rendah dibandingkan skema pengalihan biasa, pemanfaatan struktur KIK-DIRE menjadi lebih menarik, apalagi jika digabungkan dengan potensi yield dari pengelolaan portofolio aset properti dalam skema investasi kolektif.

Skema DIRE sebelumnya dianggap belum tumbuh optimal di Indonesia karena tantangan regulasi dan insentif fiskal yang belum cukup menarik. Dengan hadirnya PMK 81/2024 ini, arah kebijakan pemerintah tampaknya makin mendukung pertumbuhan Real Estate Investment Trusts (REITs) versi lokal, dengan penekanan pada transparansi, likuiditas aset, dan efisiensi perpajakan. (alf)

 

id_ID