Dicecar DPR, Purbaya Jelaskan Kenapa Pajak Merosot!

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mendapat sorotan tajam dari anggota Komisi XI DPR RI terkait kinerja penerimaan pajak yang merosot pada 2025. Dalam rapat kerja yang berlangsung Kamis (27/11/2025), Purbaya berulang kali dicecar mengenai anjloknya realisasi pajak hingga Oktober tahun ini.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, penerimaan pajak baru mencapai Rp 1.459 triliun, atau 70,2% dari target Rp 2.076,9 triliun. Dengan sisa waktu satu bulan, capaian tersebut dianggap jauh dari memadai untuk mengejar kekurangan yang mencapai ratusan triliun rupiah.

Menjawab deretan pertanyaan anggota dewan, Purbaya menjelaskan bahwa pelemahan ekonomi pada awal tahun menjadi penyebab utama merosotnya penerimaan negara. Kondisi tersebut membuat banyak perusahaan bergerak lebih hati-hati, bahkan tidak sedikit yang mengalami kerugian.

“Waktu itu lagi susah. Kalau businessman lagi susah, dipajaki ribut pasti. Uangnya juga nggak ada, orang lagi rugi,” tegas Purbaya saat merespons tekanan anggota Komisi XI, Kamis (27/11/2025).

Menurutnya, situasi tersebut membuat pemerintah tidak bisa memaksakan pemungutan pajak secara agresif karena justru akan memperburuk keadaan pelaku usaha.

Enggan Tekan Wajib Pajak 

Purbaya mengakui bahwa realisasi penerimaan negara masih tertinggal dari target. Namun ia menolak mengambil langkah-langkah yang bisa menambah beban masyarakat maupun pengusaha.

“Ekonominya masih susah, apa mau kita tekan masyarakat kita? Pengusaha kita? Kita pasti hancur,” ujarnya.

Ia menekankan bahwa menjaga daya tahan ekonomi lebih penting daripada memaksakan penambahan pajak di tengah situasi yang belum stabil.

Di tengah rapat, Purbaya sempat melontarkan candaan soal kemungkinan menaikkan pajak bagi anggota DPR sebagai cara cepat menambah penerimaan.

“Kalau bisa kita hajar (penerimaan), terutama anggota DPR pajaknya kita naikin ya? Hahaha… saya digebuk nanti,” ucapnya.

Menurut Purbaya, langkah-langkah ekstrem seperti itu tidak tepat diterapkan sekarang karena kondisi ekonomi belum mendukung.

Purbaya menegaskan pemerintah memilih fokus pada pemulihan ekonomi nasional. Jika pertumbuhan ekonomi kembali menguat ke kisaran 6%, barulah pemerintah akan mempertimbangkan kembali pajak-pajak yang selama ini ditunda.

“Kalau sudah 6%, nanti baru kita kenakan pajak-pajak tadi. Kalau orang lebih gampang cari kerja dan agak makmur, dipajaki juga tidak akan marah-marah lagi seperti kemarin ketika ekonomi jatuh,” tutupnya. (alf)

Compliance Gap Pajak RI Tembus Rp 548 Triliun, DJP Siapkan Strategi Pembenahan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengungkapkan bahwa tingkat kesenjangan kepatuhan (compliance gap) pajak di Indonesia masih berada pada level yang mengkhawatirkan. Mengacu pada kalkulasi Bank Dunia, rata-rata potensi penerimaan pajak yang tidak tergali pada periode 2016–2021 mencapai Rp 548 triliun, setara 3,7% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, menyatakan bahwa angka tersebut mencerminkan besarnya potensi ketidakpatuhan yang terjadi, mulai dari penghindaran pajak, ketidakpatuhan administratif, hingga praktik penggelapan.

“Compliance gap ini sebesar 3,7% atau Rp 548 triliun. Hal ini mencerminkan potensi ketidakpatuhan, penghindaran pajak, dan juga penggelapan pajak,” ujar Bimo dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi XI DPR RI di Jakarta, Rabu (26/11/2025).

Jumlah tersebut tercatat lebih tinggi daripada policy gap, yakni potensi penerimaan yang hilang akibat kebijakan fiskal seperti insentif, tarif khusus, atau pengecualian pajak. Nilainya mencapai Rp 396 triliun, atau sekitar 2,7% dari PDB. Menurut Bimo, policy gap merupakan konsekuensi dari pilihan kebijakan pemerintah yang diarahkan untuk mendukung sektor tertentu, tetapi tetap menimbulkan implikasi terhadap ruang penerimaan negara.

Untuk meminimalkan compliance gap, DJP telah menyiapkan pendekatan komprehensif yang mencakup penegakan hukum tertarget dan penguatan manajemen risiko kepatuhan (compliance risk management). Dengan cara ini, wajib pajak berisiko tinggi bisa diprioritaskan, sementara wajib pajak patuh tidak perlu dibebani pemeriksaan yang tidak relevan.

Di sisi lain, DJP juga memperluas strategi edukasi dan soft engagement untuk mengurangi ketidakpatuhan yang bersumber dari kurangnya pemahaman. Upaya digitalisasi turut dipercepat melalui e-Faktur, e-Bukti Potong, e-Filing, implementasi sistem Coretax, pemadanan NIK–NPWP, pembentukan single profile, serta pemanfaatan data internasional lewat Automatic Exchange of Information (AEOI).

Bimo menegaskan bahwa peningkatan kepatuhan merupakan kunci memperkuat basis perpajakan nasional dan memastikan keberlanjutan pembiayaan negara di masa mendatang. (alf)

Mendag Tegas Tolak Kuota Impor Pakaian Bekas: Pemerintah Tak Mau Buka Celah Pajak untuk Barang Ilegal

IKPI, Jakarta: Menteri Perdagangan Budi Santoso menegaskan pemerintah tidak akan membuka skema kuota maupun legalisasi terbatas untuk impor pakaian bekas (thrifting). Selain karena statusnya yang jelas-jelas ilegal, pemerintah menilai pemberian kuota akan menciptakan distorsi besar, termasuk dalam aspek perpajakan dan penerimaan negara.

“Ya namanya ilegal, ya ilegal,” tegas Budi di Kantor Kemendag, Jakarta Pusat, Kamis (27/11/2025). Ia menambahkan, barang bekas impor tidak dapat diubah statusnya menjadi legal hanya karena alasan tingginya permintaan pasar.

Pernyataan itu disampaikan setelah Kemendag merampungkan pemusnahan 19.391 bal pakaian bekas impor ilegal di Bandung. Operasi pemusnahan dilakukan bertahap hingga akhir November sebagai bagian dari penegakan hukum serta menjaga ekosistem industri tekstil dan penerimaan perpajakan dari sektor pakaian baru.

Di balik larangan impor pakaian bekas, pemerintah juga mempertimbangkan risiko hilangnya potensi penerimaan pajak. Industri tekstil dan garmen dalam negeri, yang menyumbang pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penghasilan (PPh) badan, hingga bea masuk dari bahan baku, dinilai bisa tergerus jika pasar dibanjiri barang preloved impor ilegal berharga murah.

Barang thrifting sendiri masuk tanpa mekanisme fiskal apa pun, mulai dari bea masuk, PPN impor, hingga pungutan lainnya. Budi menilai, membuka kuota impor untuk barang bekas akan membuat pengawasan perpajakan sulit dilakukan dan berpotensi menurunkan kepatuhan di sektor perdagangan.

“Kalau dibuka kuota, bagaimana memastikan kepatuhan fiskalnya? Barang bekas itu tidak pernah punya standar nilai pabean yang jelas,” ujar seorang pejabat Kemendag yang mendampingi Budi.

Pedagang Thrifting Klaim Siap Taat Aturan Pajak 

Sementara itu, pedagang pakaian bekas Pasar Senen tetap berharap ruang kompromi. Perwakilan pedagang, Rifai Silalahi, menyebut ekosistem thrifting telah melibatkan sekitar 7,5 juta orang di berbagai daerah. Ia menilai legalisasi akan membuka peluang penerimaan pajak baru bila pemerintah mau mengatur alur impornya.

“Kalau legalisasi tidak memungkinkan, kami hanya berharap ada skema lartas dengan kuota. Pelaku usaha siap ikut aturan dan kewajiban fiskal,” kata Rifai dalam audiensi dengan BAM DPR RI, Rabu (19/11/2025).

Menurut Rifai, pengenaan pajak atas impor pakaian bekas justru berpotensi menjadi sumber penerimaan tambahan apabila pemerintah menyediakan kerangka hukum yang pasti.

Namun bagi Kemendag, risiko terhadap industri nasional dan potensi penyalahgunaan lebih besar dibanding potensi pajaknya. Pemerintah menilai legalisasi atau kuota justru akan menciptakan loophole bagi masuknya barang-barang ilegal dalam volume lebih besar.

“Kalau dibuka sedikit saja, nanti semua masuk lewat pintu itu,” kata Budi menegaskan.

Dengan sikap ini, pemerintah memastikan larangan impor pakaian bekas tetap berlaku tanpa pengecualian. Polemik antara potensi pajak yang bisa dipungut dan kewajiban melindungi industri tekstil dalam negeri pun diperkirakan masih menjadi perdebatan panjang di tengah terus berkembangnya pasar thrifting di Indonesia. (alf)

Kanwil DJP Jawa Timur II Gelar FKP 2025, Fokus Penyerapan Aspirasi dan Penguatan Layanan Publik

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Timur II menggelar Forum Konsultasi Publik (FKP) 2025 di Aula Mojopahit, Gedung Kanwil DJP Jawa Timur II, Rabu (26/11/2025). Forum ini kembali menjadi wadah dialog terbuka antara otoritas pajak dan pemangku kepentingan dari berbagai sektor demi meningkatkan kualitas layanan perpajakan di wilayah Jatim II.

Acara dipimpin oleh Plt. Kepala Kanwil DJP Jatim II, Kindy Rinaldy Syahrir, didampingi para Kepala Bidang dan Kepala Bagian. Turut hadir Kepala KPP Pratama Madya Sidoarjo, Heru Pamungkas, serta jajaran KPP Madya Gresik yang dipimpin langsung Agung Sumaryawan. Secara keseluruhan, forum melibatkan 20 instansi, mulai dari penyelenggara layanan publik, pelaku usaha, perguruan tinggi, asosiasi profesi, pemerintah daerah, hingga media massa.

Dalam sambutannya, Kindy menegaskan bahwa FKP bukan sekadar agenda rutin, melainkan instrumen penting untuk menjaga kualitas pelayanan DJP agar tetap selaras dengan dinamika kebutuhan masyarakat.

“Kami ingin mendengar langsung suara para pengguna layanan. Masukan dari masyarakat adalah dasar bagi DJP dalam membangun layanan yang lebih baik dan responsif,” ujarnya dalam keterangan tertulis dikutip, Kamis (27/11/2025).

Pada kesempatan tersebut, peserta menyampaikan berbagai masukan, termasuk soal kemudahan aktivasi akun, penyederhanaan ketentuan administrasi perpajakan, dan kebutuhan informasi detail terkait fitur-fitur pada sistem layanan terbaru.

Pejabat Kanwil DJP Jatim II menanggapi seluruh masukan secara langsung. Usulan strategis yang muncul akan diteruskan kepada Kantor Pusat sebagai bahan perbaikan kebijakan maupun pengembangan layanan.

Salah satu agenda penting dalam forum adalah penandatanganan Berita Acara Pelaksanaan FKP oleh perwakilan peserta dan jajaran Kanwil DJP Jatim II sebagai bentuk komitmen bersama meningkatkan kualitas layanan perpajakan.

FKP 2025 kembali menegaskan bahwa peningkatan kualitas layanan pajak hanya dapat tercapai melalui kolaborasi kuat antara pemerintah dan masyarakat. Tingginya antusiasme peserta menunjukkan bahwa wadah seperti ini berperan besar dalam memperkuat transparansi, akuntabilitas, dan kepercayaan publik terhadap administrasi perpajakan. (alf)

Waketum IKPI Tegaskan Pemekaran Cabang Adalah Amanat AD/ART dan Kebutuhan Organisasi dalam Menghadapi Dinamika Perpajakan Nasional

IKPI, Kabupaten Bekasi: Wakil Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Nuryadin Rahman, menegaskan bahwa pemekaran dan pembentukan cabang baru merupakan amanat langsung Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), sekaligus kebutuhan mendesak untuk menjawab tantangan perpajakan nasional yang semakin berkembang. Pernyataan tersebut disampaikan dalam Seminar Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) IKPI Cabang Kabupaten Bekasi yang dihadiri puluhan peserta, Kamis (27/11/2025).

Nuryadin menjelaskan bahwa pemekaran bukan merupakan gagasan spontan atau kemauan Pengurus Pusat, melainkan mandat struktural yang telah ditetapkan secara eksplisit dalam AD/ART IKPI, baik periode 2019–2024 maupun 2024–2029.

“Pemekaran dan pembentukan cabang tidak bisa dianggap sebagai isu sensitif. Ini kewajiban organisasi, amanah AD/ART, dan harus dijalankan demi menjawab perkembangan kebutuhan anggota serta masyarakat.” ujar Nuryadin.

Ketentuan AD/ART 

Berdasarkan AD/ART IKPI, aturan mengenai pembentukan dan pemekaran cabang tercantum dalam Pasal 17 (Periode 2024–2029), antara lain:

1. Pembentukan Cabang Baru (Pasal 17 Ayat 1)

• Diusulkan minimal 5 anggota tetap di wilayah cabang yang akan dibentuk.

• Cabang baru harus berkedudukan di tingkat kota/kabupaten.

• Usulan diajukan tertulis kepada Pengurus Pusat dan diproses setelah memperoleh masukan dari pengurus cabang serta pengurus daerah terkait.

2. Pemekaran Cabang (Pasal 17 Ayat 3)

• Cabang existing yang akan dimekarkan harus memiliki minimal 200 anggota tetap.

• Pemekaran dapat diusulkan oleh lima anggota tetap atau dilakukan atas inisiatif Pengurus Pusat.

• Pemekaran harus mendapat persetujuan rapat pleno Pengurus Pusat.

• Cabang hasil pemekaran tetap berada dalam kota/kabupaten yang sama.

“AD/ART telah memberikan kerangka baku. Pengurus Pusat hanya menjalankan apa yang sudah menjadi mandat organisasi.” tegas Nuryadin.

Menurut Nuryadin, perkembangan regulasi perpajakan yang semakin dinamis menuntut IKPI untuk menghadirkan layanan edukasi lebih dekat kepada masyarakat. Dalam sistem self-assessment, wajib pajak wajib memahami perhitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak secara mandiri.

“Oleh karena itu, kehadiran cabang-cabang baru akan memperluas jangkauan edukasi perpajakan, memastikan masyarakat mendapatkan akses yang lebih mudah terhadap informasi terkini,” jelasnya.

Tercatat bahwa terdapat cabang dan pengurus daerah yang wilayah kerjanya terlalu luas. Misalnya:

• Pengda Sulamapua memiliki cakupan 12 provinsi,

• Pengda Sumbagsel dan Kalimantan masing-masing mencakup 5 provinsi,

• Beberapa pengcab seperti Medan, Makassar, Mataram, Bitung, dan Bandar Lampung membawahi wilayah lintas provinsi.

“Dengan kondisi demikian, pemekaran dan pembentukan cabang baru adalah kebutuhan agar pembinaan anggota dapat dilakukan secara optimal,” ujarnya.

Banyak Cabang Tak Mampu Jangkau Anggota

Dalam pemaparannya, Nuryadin mengungkapkan adanya beberapa cabang dengan jumlah anggota yang sangat besar, mencapai lebih dari 400 anggota. Berdasarkan data resmi, terdapat 14 cabang dengan anggota di atas 200 orang.

“Dalam kondisi seperti itu, mencapai 50 persen anggota saja sudah sulit. Ini alasan utama mengapa pemekaran penting agar pelayanan organisasi berjalan efektif,” katanya.

Nuryadin menekankan bahwa setiap pemekaran dilakukan melalui tahapan berlapis:

1. Usulan anggota atau usulan dari Pengurus Pusat,

2. Permintaan masukan dari cabang/pengda existing,

3. Pertimbangan dari pengurus daerah,

4. Keputusan final melalui rapat pleno.

“Semua proses dilakukan berdasarkan kepentingan organisasi dan evaluasi menyeluruh,” tegasnya.

Ia menegaskan pentingnya ekspansi struktural IKPI secara nasional. “Daerah yang tidak kita isi akan terisi oleh organisasi lain. Ketua Umum, Pak Vaudy Starworld, sudah menginstruksikan agar proses pemekaran terus berjalan dari Sabang sampai Merauke. Ini tanggung jawab bersama,” ujarnya. (bl)

Ketum Vaudy Starworld Apresiasi Penyelenggaraan PPL IKPI Mataram: “Sukses dan Relevan Hadapi CoreTax 2026”

IKPI, Mataram: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld memberikan apresiasi tinggi atas penyelenggaraan seminar Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) IKPI Cabang Mataram yang berlangsung di Hotel Aston INN, Rabu (26/11/2025). Vaudy menegaskan bahwa kegiatan tersebut terselenggara dengan sangat baik, tertib, dan berhasil menarik partisipasi luas, buaan hanya anggota IKPI, tetapi peserta umum juga tertarik mengikuti seminar tersebut.

“Saya mengapresiasi penyelenggaraan PPL ini yang sangat rapi dan profesional. IKPI Mataram menunjukkan kualitas organisasi yang solid dalam mempersiapkan forum edukatif seperti ini,” ujar Vaudy.

Peserta Melampaui Target, Cermin Kesiapan Cabang

Seminar ini diikuti oleh lebih dari 100 peserta, dengan sekitar 45 persen di antaranya merupakan anggota IKPI. Vaudy menilai capaian tersebut tidak hanya mencerminkan tingginya minat peserta, tetapi juga keberhasilan panitia dalam memastikan kegiatan tersosialisasi dengan baik.

“Peserta yang hadir melebihi ekspektasi. Ini bukti bahwa panitia bekerja maksimal, dan bahwa konsultan pajak Mataram memiliki semangat belajar yang tinggi,” katanya.

Ia menegaskan, PPL kali ini mengusung tema “Strategi Mitigasi Risiko Penyusunan SPT Tahunan 2025 dengan Coretax System dan Tax Update PPh Pasal 21 DTP Sektor Pariwisata.”

Artinya, tema yang dipilih penyelenggara sangat tepat, mengingat mulai 2026 pelaporan SPT Tahunan wajib menggunakan CoreTax, sistem perpajakan baru yang membutuhkan pemahaman teknis mendalam.

“Penyelenggara memilih tema yang sangat relevan. Dengan CoreTax menjadi kewajiban pada 2026, konsultan pajak harus siap sejak sekarang. Seminar ini menjadi jembatan pengetahuan yang sangat dibutuhkan,” jelasnya.

Vaudy juga menekankan bahwa keberhasilan penyelenggaraan PPL ini menjadi gambaran kualitas kerja organisasi di daerah. Menurutnya, IKPI Mataram telah menunjukkan dedikasi dan koordinasi yang patut dicontoh oleh cabang lain.

“Kinerja penyelenggara patut diapresiasi. Mulai dari persiapan, materi, hingga pelaksanaan berjalan sangat baik. Ini menunjukkan bahwa di daerah, kualitas kegiatan IKPI tetap terjaga dan bahkan terus meningkat,” tegasnya.

Dengan penyelenggaraan yang sukses, partisipasi tinggi, dan tema yang relevan dengan reformasi perpajakan 2026, PPL IKPI Cabang Mataram dinilai menjadi salah satu agenda penting dalam memperkuat kompetensi konsultan konsultan pajak dan kesiapan menghadapi transformasi sistem perpajakan nasional. (bl)

Di Seminar IKPI Mataram, Kepala Kanwil DJP Nusra Tekankan Peran Strategis Konsultan Pajak

IKPI, Mataram: Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Nusa Tenggara, Samon Jaya, menegaskan pentingnya peran konsultan pajak dalam membantu pelaku usaha menghadapi perubahan besar sistem perpajakan nasional. Hal itu ia sampaikan saat menghadiri seminar perpajakan yang digelar Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Mataram, di Hotel Aston INN, Rabu, (26/11/2025).

Menurut Samon, konsultan pajak berperan strategis dalam membantu wajib pajak mengelola administrasi perpajakan secara efisien, terlebih menjelang implementasi penuh Core Tax System (Cortex) pada pelaporan SPT Tahunan 2025.

“Ada konsep opportunity cost. Waktu yang seharusnya digunakan pengusaha untuk mengembangkan bisnis sering habis untuk mengurus pajak. Di sinilah konsultan pajak menjadi sangat relevan,” ujarnya.

Ia mengibaratkan peran konsultan pajak seperti asisten rumah tangga yang meringankan pekerjaan domestik, sehingga pemilik rumah dapat fokus pada hal-hal yang lebih penting.

“Dengan bantuan konsultan pajak, pelaporan menjadi lebih tepat, lebih tertib, dan tidak mengganggu fokus bisnis,” tambahnya.

Samon juga memaparkan kondisi penerimaan pajak di wilayah Nusa Tenggara yang saat ini berada di kisaran 74 persen, dan tingkat kepatuhan wajib pajak yang masih sejalan dengan rata-rata nasional. Ia berharap kolaborasi antara konsultan pajak dan penerapan sistem Core Tax akan meningkatkan kepatuhan ke depan.

“Pajak itu dari kita untuk kita. Dengan sistem baru yang lebih akurat serta dukungan konsultan, kepatuhan wajib pajak pasti bisa meningkat,” tegasnya.

Menurutnya, perubahan cara pandang masyarakat terhadap pajak sangat diperlukan. “Kita tidak bisa lagi melihat pajak sebagai kewajiban administratif biasa. Sistem baru hadir untuk memperbaiki dan mempermudah.”

Ketum IKPI: Literasi Pajak Jadi Kunci Menghadapi SPT 2025

Seminar bertema “Strategi Mitigasi Risiko Penyusunan SPT Tahunan 2025 dengan Core Tax System dan Tax Update PPh 21 Sektor Pariwisata” itu diikuti lebih dari 100 peserta, mulai dari konsultan pajak Bali–NTB hingga pelaku usaha dari berbagai sektor.

Ketua Umum IKPI, Vaudy Starworld, menegaskan bahwa seminar ini merupakan bagian dari upaya nasional IKPI untuk meningkatkan literasi perpajakan menjelang diberlakukannya pelaporan SPT 2025 yang wajib menggunakan Core Tax System.

“Penerimaan negara tidak bisa dibebankan hanya pada DJP sebagai otoritas. Fondasinya adalah wajib pajak, dan edukasi adalah langkah paling penting untuk membangun kepatuhan sukarela,” ujar Vaudy.

Ia menjelaskan bahwa Cortex membawa perubahan signifikan, mulai dari detail harta hingga laporan keuangan berbasis klasifikasi industri, sehingga wajib pajak harus memahami mekanisme baru secara menyeluruh.

“Format dan struktur data dalam sistem ini jauh lebih spesifik. Kesalahan kecil bisa berdampak besar, karena itu pemahaman yang memadai sangat penting,” tegasnya.

Vaudy juga menggarisbawahi bahwa jumlah konsultan pajak di Indonesia kurang dari 8.000, sangat kecil dibandingkan 86 juta wajib pajak yang terdaftar.

“Artinya profesi konsultan pajak memiliki peluang berkembang yang luar biasa. Tapi yang lebih penting adalah meningkatnya kesadaran wajib pajak, karena ini menyangkut keadilan dan pembangunan nasional,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa konsultan pajak berfungsi sebagai jembatan penting antara wajib pajak dan otoritas. “Banyak pelaku usaha fokus mengejar omzet dan lupa administrasi perpajakan. Di sinilah kami hadir, memastikan semuanya tertib dan sesuai aturan,” jelasnya.

Seminar ini menjadi momentum penting dalam mempersiapkan wajib pajak menghadapi musim pelaporan SPT 2025 dengan sistem Cortex yang lebih rinci, terstruktur, dan terintegrasi. (bl)

Musim Pelaporan SPT 2026 Segera Dibuka, DJP Imbau Wajib Pajak Percepat Aktivasi Coretax

IKPI, Jakarta: Tahun 2026 tinggal menghitung minggu. Memasuki tahun baru, jutaan wajib pajak bersiap menghadapi musim pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) yang resmi dimulai pada 1 Januari 2026. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, pelaporan SPT Tahunan 2025 akan sepenuhnya menggunakan sistem administrasi perpajakan terbaru milik Direktorat Jenderal Pajak (DJP), yakni Coretax.

Sistem Coretax dirancang untuk mengintegrasikan seluruh proses bisnis perpajakan dalam satu platform—mulai dari pendaftaran, pelaporan, pembayaran, pemeriksaan, hingga penagihan. Transformasi ini menjadi tonggak penting digitalisasi layanan pajak Indonesia.

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menyampaikan bahwa tingkat aktivasi akun Coretax masih jauh dari harapan. Hingga 20 November 2025, baru sekitar 3,1 juta wajib pajak orang pribadi yang berhasil mendaftar dan memperoleh Kode Otorisasi DJP (KO DJP).

Padahal, DJP mencatat terdapat 14,78 juta wajib pajak pribadi dan badan terdaftar sepanjang 2025. Artinya, masih ada lebih dari 11 juta wajib pajak yang belum menyelesaikan proses aktivasi.

“Kalau kita lihat dari yang sudah aktivasi, persentase yang telah registrasi kode otorisasi atau sertifikat elektronik baru sekitar 12,45%,” ujar Bimo dalam Media Gathering di Kanwil DJP Bali, Selasa (25/11/2025).

Menurutnya, banyak wajib pajak yang telah membuat akun Coretax tetapi belum melanjutkan proses hingga memperoleh KO DJP—komponen penting yang dibutuhkan untuk menandatangani dokumen digital dalam sistem.

Bimo menegaskan bahwa DJP tidak memberikan tenggat khusus bagi wajib pajak untuk mengaktifkan Coretax. Namun, ia mengingatkan pentingnya menyelesaikan aktivasi sebelum batas akhir pelaporan SPT Tahunan pada Maret 2026 agar tidak terkena denda akibat keterlambatan pelaporan.

“Tenggat ini kami kembalikan ke wajib pajak. Prinsip self-assessment mengharuskan wajib pajak segera aktivasi Coretax begitu membutuhkan layanan, seperti klarifikasi bukti potong atau faktur pajak,” tegasnya.

Cara Mudah Aktivasi Coretax

DJP memastikan proses aktivasi akun Coretax dapat dilakukan dengan cepat. Berikut tahapannya:

1. Aktivasi Akun Coretax

Syarat utama: memiliki NPWP aktif.

Langkah-langkah:

1. Akses laman resmi Coretax DJP dan pilih Aktivasi Akun Wajib Pajak.

2. Konfirmasi bahwa wajib pajak telah terdaftar.

3. Masukkan NPWP, klik Cari.

4. Isi email dan nomor ponsel sesuai data di DJP Online.

5. Lakukan verifikasi identitas.

6. Simpan data.

7. Periksa email untuk menerima kata sandi sementara dari domain resmi @pajak.go.id.

8. Login kembali untuk mengganti kata sandi dan membuat passphrase.

2. Mengajukan Kode Otorisasi (KO DJP)

KO DJP berfungsi sebagai tanda tangan elektronik resmi.

Langkah-langkah:

1. Login ke Coretax.

2. Masuk ke Portal Saya → Permintaan Kode Otorisasi/Sertifikat Elektronik.

3. Isi data sertifikat digital dan pilih penyedia sertifikat.

4. Masukkan ID Penandatangan atau buat passphrase.

5. Kirim permohonan.

6. Jika berhasil, muncul notifikasi bahwa sertifikat digital telah dibuat.

7. Unduh bukti penerbitan sertifikat.

3. Validasi Kode Otorisasi

1. Buka Portal Saya → Profil Saya.

2. Pilih Nomor Identifikasi Eksternal → Digital Certificate.

3. Pastikan status sudah VALID.

4. Jika belum, klik Periksa Status.

5. Setelah valid, klik Menghasilkan untuk menerima dokumen penerbitan KO DJP.

Dengan seluruh tahapan tersebut, wajib pajak dapat memastikan akun dan KO DJP telah aktif sehingga proses pelaporan SPT Tahunan pada awal 2026 dapat dilakukan dengan lancar.

Transformasi melalui Coretax merupakan langkah besar dalam modernisasi administrasi perpajakan Indonesia. DJP berharap seluruh wajib pajak segera beradaptasi agar manfaat sistem baru ini dapat dirasakan bersama—mulai dari efisiensi pelaporan hingga peningkatan kualitas layanan.

Dengan waktu tersisa lima minggu menuju 2026, DJP mengingatkan bahwa aktivasi lebih awal akan memudahkan wajib pajak saat memasuki puncak musim pelaporan SPT nanti. (alf)

Kepada Ratusan Peserta PPL Cabang Mataram, Ketum IKPI Tegaskan Urgensi Reformasi Ekosistem Perpajakan

IKPI, Mataram: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, menegaskan bahwa Indonesia perlu segera melakukan reformasi ekosistem perpajakan secara menyeluruh untuk memperkuat fondasi penerimaan negara dan meningkatkan kepercayaan publik. Pesan itu ia sampaikan di hadapan ratusan peserta seminar Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) IKPI Cabang Mataram, di Hotel Aston INN, Mataram, Rabu (26/11/2025).

Dalam paparannya, Vaudy menjelaskan bahwa ekosistem perpajakan Indonesia terdiri dari otoritas pajak, wajib pajak, konsultan pajak, serta berbagai pemangku kepentingan lain. Namun, kondisi di lapangan menunjukkan ketidakseimbangan besar antara jumlah wajib pajak dan pendamping profesional. 

Dengan 80,27 juta wajib pajak orang pribadi dan 5,54 juta wajib pajak badan, ia menegaskan bahwa jumlah konsultan pajak hanya sekitar 7.924 orang, termasuk 6.999 anggota IKPI dan itu masih kurang. Ketimpangan ini menyebabkan edukasi dan pendampingan perpajakan belum berjalan optimal.  

Vaudy juga menyoroti stagnasi tax ratio Indonesia yang dalam satu dekade terakhir hanya berada di kisaran 8–10 persen, sementara kebutuhan belanja negara terus meningkat. Penerimaan pajak belum mampu menutupi total belanja pemerintah, sehingga defisit fiskal masih harus ditutup dengan pembiayaan. 

Ia menjelaskan bahwa rendahnya kepatuhan wajib pajak masih disebabkan oleh administrasi yang rumit, perubahan aturan yang kerap terjadi, peraturan multitafsir, hingga minimnya transparansi pengelolaan pajak di mata publik. Modul pelaporan SPT yang belum stabil serta aturan yang diberlakukan terlalu dekat dengan masa pelaporan juga menjadi hambatan tersendiri.  

Untuk menjawab persoalan tersebut, Vaudy menegaskan perlunya reformasi besar di seluruh ekosistem perpajakan. Ia menyoroti rencana pemerintah membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN) sebagaimana tertuang dalam RPJMN 2025–2029. Lembaga ini diharapkan dapat menyatukan fungsi penerimaan negara dan mendorong rasio penerimaan terhadap PDB hingga 23 persen.  

Vaudy juga menyinggung RUU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) yang sudah masuk Prolegnas sebagai fondasi bagi penguatan basis data perpajakan. Data yang kuat, menurutnya, merupakan prasyarat utama untuk kebijakan perpajakan yang adil dan efektif. 

Selain itu, ia menilai pengaturan kompetensi kuasa wajib pajak dalam UU HPP dan PP 50/2022 menjadi momentum penting untuk memperkuat profesionalisme konsultan pajak dan memastikan standar kompetensi yang setara bagi seluruh pihak yang mewakili wajib pajak.  

Tak hanya itu, ia juga menyoroti pembahasan RUU Redenominasi Rupiah dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal sebagai kebijakan yang dapat memperbaiki kualitas database penerimaan negara sekaligus menekan transaksi tunai tidak tercatat. Kebijakan tersebut dinilai selaras dengan upaya meminimalkan shadow economy, yang selama ini menjadi sumber kebocoran penerimaan. 

Digitalisasi perpajakan dan optimalisasi Coretax System, disebutnya sebagai langkah penting untuk mempersempit ruang ekonomi gelap. Vaudy menegaskan bahwa konsultan pajak memegang peran strategis dalam mendorong perubahan dan menjadi pendamping wajib pajak di tengah percepatan transformasi digital perpajakan. 

Ia menyatakan bahwa reformasi ekosistem perpajakan tidak akan berhasil tanpa kolaborasi erat antara DJP, konsultan pajak, pelaku usaha, perguruan tinggi, serta seluruh pemangku kepentingan.

“Reformasi ekosistem perpajakan bukan sekadar wacana. Ini kebutuhan mendesak agar sistem perpajakan kita semakin adil, sederhana, dan dipercaya masyarakat,” ujarnya. 

Hadir sebagai undangan

Dari DJP:

  1. Samon Jaya – Kepala Kanwil DJP Nusra
  2. Wayan Nuryana – Kepala Bidang Penyuluhan, Pelayanan, & Hubungan Masyarakat Kanwil DJP Nusra
  3. Ruseno Hadi – Kepala KPP Pratama Mataram Timur
  4. Tomo Hendri Purwoko – Kepala KPP Pratama Mataram Barat
  5. Wawan Haryanto – Kepala KPP Pratama Praya

Dari IKPI:

  1. Vaudy Starworld – Ketua Umum 
  2. Nuryadin Rahman – Wakil Ketua Umum 
  3. Handy – Ketua Departemen Kerja Sama Dengan Organisasi dan Asosiasi 
  4. Kadek Sumadi – Dewan Kehormatan 
  5. Kadek Agus Ardika – Ketua Pengurus Daerah Bali Nusra
  6. Made Sujana – Ketua Cabang Denpasar 
  7. I Made Susila Darma – Ketua Cabang Buleleng

Akademisi:

  1. Lalu Kusnawan – Ketua IHGMA NTB
  2. Muhamad Sayuti – Dekan FEB Unizar

(bl)

DJP Siapkan Serah Terima Coretax Tahun 2026, Audit Berlapis Pastikan Sistem Siap Dioperasikan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memastikan proses serah terima sistem perpajakan Coretax dari konsorsium LG CNS–Qualysoft akan dilakukan pada tahun 2026. Saat ini, sistem tengah memasuki tahap krusial berupa latency period atau masa penjaminan, di mana seluruh fitur dan arsitektur teknologi tidak boleh dimodifikasi hingga evaluasi menyeluruh selesai dilakukan.

Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, menjelaskan bahwa masa latensi merupakan fase jeda ketika sistem dipersiapkan untuk migrasi jaringan dan diuji secara ketat di lingkungan internal DJP. Seluruh proses bisnis hingga area pelayanan menjadi ruang uji untuk memastikan Coretax bekerja stabil dan sesuai kebutuhan lembaga.

“Pada masa latensi ini, sistem dites di area pelayanan dan proses bisnis kami. Kami melakukan clearing atas berbagai hal dan akan ada audit deliverables yang bersifat sangat governance oleh pihak independen,” kata Bimo dalam Media Gathering di Kanwil DJP Bali, Rabu (26/11/2025).

Audit Berlapis 

Untuk memastikan sistem memenuhi seluruh kewajiban kontraktual, DJP menunjuk perusahaan konsultan internasional Deloitte sebagai auditor independen. Deloitte akan menguji kesesuaian seluruh deliverables yang disepakati dalam kontrak antara pemerintah dan LG CNS–Qualysoft.

Tak hanya itu, DJP juga menggandeng lembaga independen kedua, yang berasal dari lingkungan perguruan tinggi, untuk melakukan audit dari sisi teknologi informasi. Audit ini mencakup rigiditas dan fleksibilitas sistem, keamanan data, serta kedaulatan teknologi.

“Mulai minggu depan, lembaga independen dari universitas akan mengaudit aspek IT—prosesnya, rigiditas sistem, fleksibilitas, keamanan, hingga kedaulatan data,” jelas Bimo.

Selain audit teknis, DJP juga akan meminta pendapat hukum sebagai bagian dari legal due diligence sebelum proses serah terima dilakukan. Di internal DJP sendiri, telah dibentuk tim khusus yang bertugas mempersiapkan langkah-langkah penyempurnaan sistem setelah Coretax sepenuhnya berada di bawah kendali pemerintah.

Bimo menegaskan bahwa DJP telah menyiapkan berbagai algoritma pengembangan, sehingga sistem dapat segera ditingkatkan begitu proses serah terima selesai.

“Setelah masuk ke kami, Coretax akan langsung kami kembangkan lebih lanjut. Harapannya, sistem ini mampu memberikan dukungan yang lebih baik untuk proses bisnis dan pelayanan kepada wajib pajak,” ujar Bimo. (alf)

id_ID