DJP Riau Resmikan 23 Tax Center di Kampus, Perluas Edukasi Pajak

IKPI, Jakarta: Kolaborasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan perguruan tinggi di Riau kian menguat. Sepanjang 2025, Kanwil DJP Riau telah membentuk 23 tax center di berbagai kampus guna memperluas edukasi dan inklusi perpajakan.

Kepala Kanwil DJP Riau, Ardiyanto Basuki, menjelaskan bahwa sejumlah kerja sama baru telah ditandatangani, termasuk perpanjangan kemitraan dengan tax center yang sudah berjalan.

“Kampus untuk Riau sudah 23, artinya sudah ada 23 tax center juga,” ujarnya, Kamis (19/11/2025).

Ia menilai perguruan tinggi adalah mitra strategis DJP dalam menyampaikan informasi perpajakan kepada masyarakat. Layanan tax center, katanya, akan berjalan di kampus mitra dan dapat pula dilaksanakan di kantor pajak maupun lokasi lain agar jangkauannya makin luas.

Ardiyanto menyebut tax center sebagai wadah penting untuk menjadikan ilmu perpajakan lebih hidup tidak hanya dipelajari, tetapi juga dipraktikkan dan diajarkan kembali oleh para dosen serta mahasiswa, termasuk relawan pajak yang aktif mengikuti program Renjani Gathering di Riau.

Rektor Universitas Pasir Pengaraian, Prof. Hardianto, mengapresiasi kontribusi DJP dalam meningkatkan kompetensi mahasiswa melalui keberadaan tax center dan program edukasi.

“Kampus harus berdampak, dan kegiatan ini salah satu cara agar perguruan tinggi memberi manfaat nyata bagi masyarakat,” ujarnya.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, Rosmauli, turut memuji antusiasme peserta. Ia menyebut sinergi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat sebagai fondasi penting dalam membangun budaya sadar pajak yang modern dan transparan.

Rosmauli menyampaikan bahwa secara nasional terdapat sekitar 510 tax center, sementara jumlah relawan pajak mencapai 15.000 orang. Di Riau, relawan pajak yang kini berjumlah 226 ditargetkan meningkat menjadi 441 pada tahun depan.

Ia meyakini perluasan peran perguruan tinggi dalam edukasi pajak akan berdampak positif bagi penerimaan negara.

“Kami membutuhkan para rektor, dosen, mahasiswa, dan relawan pajak untuk memperkuat kepercayaan publik terhadap administrasi perpajakan,” tegasnya. (alf)

Kolaborasi DJP Jateng I–Undip Sukses Bikin Ribuan Dosen Aktivasi Akun Coretax

IKPI, Jakarta: Kolaborasi antara Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Tengah I dan Universitas Diponegoro (Undip) membuahkan hasil signifikan. Lebih dari seribu dosen dan tenaga pendidik Undip sukses mengikuti edukasi serta aktivasi akun Coretax DJP yang digelar di Moeladi Dome, Kamis (19/11/2025).

Seluruh peserta tercatat berhasil mengaktifkan akun dan memperoleh kode otorisasi yang menjadi langkah penting dalam persiapan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Tahun Pajak 2025 yang akan disampaikan pada 2026 mendatang. Mulai tahun tersebut, pelaporan SPT sudah sepenuhnya beralih menggunakan sistem Coretax DJP.

Kepala Kanwil DJP Jateng I, Nurbaeti Munawaroh, menegaskan pentingnya kegiatan ini dalam proses transisi menuju administrasi pajak berbasis sistem terintegrasi.

“Coretax DJP merupakan platform utama wajib pajak. Aktivasi akun menjadi tahap pertama agar ke depan seluruh hak dan kewajiban perpajakan dapat dilakukan melalui sistem ini,” paparnya.

Nurbaeti juga menekankan besarnya peran penerimaan pajak bagi APBN dan perekonomian nasional. Karena itu, DJP Jateng I terus mendorong aktivasi massal Coretax bekerja sama dengan para pemberi kerja.

“Upaya ini kami lakukan untuk meningkatkan kepatuhan pajak masyarakat, terutama di wilayah Jawa Tengah,” jelasnya.

Wakil Rektor II Undip, Dr. Warsito Kawedar, menyambut baik inisiatif DJP yang dinilai sangat membantu sivitas akademika dalam memahami penggunaan Coretax.

“Kami berharap seluruh dosen dan tenaga pendidik dapat mengakses Coretax dengan mudah dan memanfaatkan seluruh fiturnya. Ini penting untuk mendukung kepatuhan pajak di lingkungan kampus,” ujarnya.

Dengan terlaksananya aktivasi massal ini, Undip menjadi salah satu perguruan tinggi yang bergerak cepat dalam menyesuaikan diri dengan sistem perpajakan digital yang akan berlaku penuh pada 2026. (alf)

UMKM Sambut Positif Skema Permanen PPh Final 0,5 Persen

IKPI, Jakarta: Pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menyambut baik keputusan pemerintah yang menetapkan Pajak Penghasilan (PPh) final 0,5 persen sebagai skema permanen. Kebijakan ini dianggap memberikan kepastian usaha sekaligus menjaga beban pajak tetap ringan bagi sektor UMKM yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional.

Ketua Asosiasi Industri UMKM Indonesia (Akumandiri), Hermawati Setyorinny, mengatakan kepastian tersebut menjadi dukungan penting bagi pelaku usaha yang selama ini membutuhkan aturan pajak yang sederhana dan stabil. Meski demikian, ia mengingatkan perlunya sosialisasi lebih intensif mengenai batasan omzet yang dikenai pajak.

“Yang perlu disosialisasikan adalah bahwa pajak ini berlaku bagi usaha dengan omzet Rp500 juta sampai Rp4,8 miliar. Informasi ini masih kurang didengar oleh pelaku usaha mikro,” ujarnya, Rabu, (19/11/2025).

Dalam ketentuan saat ini, UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun dibebaskan dari pajak, sementara pelaku usaha dengan omzet Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar dikenai PPh final 0,5 persen. Hermawati menilai sosialisasi yang jelas penting untuk mencegah munculnya tindakan memecah omzet atau usaha demi agar tetap terlihat kecil. “Jangan sampai dijadikan peluang munculnya moral hazard,” katanya.

Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, sebelumnya mengungkap adanya praktik bunching (menahan omzet) dan firm-splitting (pemecahan usaha) yang dilakukan sebagian wajib pajak untuk tetap mendapatkan fasilitas PPh final. Untuk itu, Kementerian Keuangan mengusulkan perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022, terutama pada Pasal 57, guna memperjelas subjek yang berhak serta menutup celah penghindaran pajak.

Selain itu, pemerintah juga mengusulkan revisi Pasal 59 terkait penghapusan batas waktu pemanfaatan fasilitas bagi wajib pajak orang pribadi maupun perseroan perorangan agar tidak ada lagi pelaku usaha yang secara administratif terhambat untuk menggunakan skema tersebut.

Kepastian pemberlakuan permanen skema ini sebelumnya ditegaskan oleh Menteri UMKM Maman Abdurrahman, yang memastikan PPh final 0,5 persen tidak lagi memiliki masa berlaku tertentu. “Permanen, sampai batas waktu yang tidak ditentukan,” kata Maman di Jakarta, Senin, 17 November 2025.

Dengan skema yang kini bersifat tetap, pemerintah berharap UMKM memiliki pijakan lebih kuat untuk bertumbuh, sekaligus memastikan ekosistem perpajakan yang lebih adil dan akuntabel. (alf)

BRMS Pastikan Pendapatan Tak Terdampak Rencana Pajak Ekspor Emas

IKPI, Jakarta: PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS) menegaskan bahwa rencana pemerintah mengenakan pajak ekspor emas sebesar 15 persen mulai tahun depan tidak akan memengaruhi kinerja pendapatan perusahaan. Alasannya, seluruh hasil produksi emas dan perak dari entitas anak PT Citra Palu Minerals (CPM) dijual secara penuh ke pasar domestik.

Penegasan tersebut disampaikan manajemen BRMS setelah muncul pertanyaan dari investor terkait potensi dampak kebijakan fiskal baru itu terhadap prospek bisnis perseroan. BRMS menilai sentimen tersebut perlu diluruskan agar tidak menimbulkan mispersepsi di pasar.

CPM merupakan operator tambang emas dan perak di Poboya, Sulawesi Tengah, serta sejumlah wilayah di Sulawesi Selatan. Berdasarkan laporan keuangan konsolidasian per 30 September 2025, seluruh produk emas murni dan perak murni dari fasilitas Carbon in Leach (CIL) di Blok 1 dipasarkan secara eksklusif kepada pembeli dalam negeri.

Pembeli yang tercatat antara lain produsen perhiasan dan logam mulia seperti Hartadinata Abadi (HRTA), PT Simba Jaya Utama, PT Swarnim Murni Mulia, PT Pegadaian Galeri Dua Empat, dan PT Elang Mulia Abadi Sempurna. Untuk komoditas perak, daftar pembeli domestik tersebut juga mencakup Garuda Internasional Multitrade. Seluruh transaksi menunjukkan tidak adanya eksposur terhadap pasar ekspor.

CEO BRMS, Agus Projosasmito, menegaskan kembali bahwa pola penjualan tersebut membuat perusahaan berada di luar cakupan kebijakan pajak ekspor.

“Dalam menjual produk emas dan perak, kami selalu berusaha mengoptimalkan laba dan memberikan nilai tambah bagi para pemegang saham,” ujarnya dalam keterangan resmi, Rabu (19/11/2025).

Agus menambahkan bahwa produk akhir yang dipasarkan CPM merupakan emas dan perak murni, bukan dore bullion, sehingga distribusinya langsung dilakukan ke industri dalam negeri. Ia menyebutkan klarifikasi ini diberikan untuk menanggapi pertanyaan dari pasar seiring pengumuman rencana penerapan pajak ekspor oleh pemerintah.

Saat ini CPM mengoperasikan kegiatan penambangan bijih berkadar emas dan perak di Blok 1 Poboya, ditunjang dua fasilitas pemrosesan CIL. Seluruh produk yang dihasilkan telah memiliki pembeli tetap, sebagaimana tercantum dalam laporan keuangan perseroan.

Dengan struktur penjualan yang sepenuhnya berorientasi domestik, BRMS memastikan bahwa rencana penerapan pajak ekspor emas tidak akan berdampak terhadap pendapatan maupun rencana operasional perusahaan. Manajemen menegaskan fokus perseroan tetap pada optimalisasi produksi dan peningkatan nilai tambah logam mulia di pasar lokal. (alf)

Tingkatkan Layanan dan Tata Kelola Organisasi, IKPI Siapkan Pemekaran Cabang Jakarta Barat dan Surabaya

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) tengah mempersiapkan langkah strategis berupa pemekaran dua cabang besarnya, yakni IKPI Cabang Jakarta Barat dan IKPI Cabang Surabaya. Ketua Departemen Pengembangan Organisasi IKPI, Lilisen, menegaskan bahwa pemekaran ini merupakan kebutuhan mendesak untuk meningkatkan kualitas pelayanan serta memperkuat tata kelola organisasi di wilayah dengan jumlah anggota yang sangat besar.

Lilisen memaparkan bahwa kedua cabang tersebut kini telah memiliki anggota yang jauh melampaui batas minimal organisasi untuk melakukan pemekaran.

• Jakarta Barat: 869 anggota

• Surabaya: 675 anggota

“Dengan jumlah anggota sebesar ini, pelayanan organisasi harus mampu menjangkau lebih dekat, lebih cepat, dan lebih efektif. Pemekaran menjadi langkah logis agar pembinaan dan koordinasi dapat berjalan optimal,” ujar Lilisen, Kamis (20/11/2025).

Dasar Hukum

Rencana pemekaran didasarkan pada ketentuan resmi yang tertuang dalam Pasal 17 Ayat (3) Anggaran Dasar IKPI, yang mengatur mekanisme pemekaran cabang.

Syarat Pemekaran Cabang (Pasal 17 Ayat 3):

• Cabang induk memiliki minimal 200 anggota tetap

(Jakarta Barat dan Surabaya telah melampaui angka tersebut)

• Diusulkan oleh minimal 5 anggota tetap atau oleh Pengurus Pusat

• Mendapat persetujuan Rapat Pleno Pengurus Pusat

• Cabang baru berkedudukan di kota atau kabupaten yang sama

• Usulan pemekaran disampaikan secara tertulis untuk diproses dan diterbitkan Surat Keputusan

Lilisen memastikan bahwa seluruh syarat tersebut telah terpenuhi, sehingga proses kini memasuki fase kajian wilayah dan penyusunan rancangan struktur cabang baru.

Mantan ketua Cabang Pekanbaru ini juga menyoroti kondisi ekosistem perpajakan nasional yang semakin kompleks. Berdasarkan data DJP, terdapat:

• 352 Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di seluruh Indonesia

• 34 Kantor Wilayah DJP yang membawahi KPP dan KP2KP

Menurutnya, pemekaran cabang akan membantu IKPI memastikan pembinaan anggota dapat mengikuti dinamika layanan perpajakan yang terus berkembang.

IKPI menilai pemekaran sebagai langkah penting untuk:

• memperpendek rantai koordinasi,

• meningkatkan kualitas pendidikan berkelanjutan (continuing professional development),

• memperkuat penegakan etika profesi,

• meningkatkan respons organisasi terhadap kebutuhan anggota.

“Ini bukan hanya soal memecah cabang besar menjadi lebih kecil. Ini tentang menghadirkan layanan yang lebih dekat dan membangun tata kelola yang lebih sehat dan adaptif,” tegas Lilisen.

Saat ini kata Lilisen, rencana pemekaran Cabang Jakarta Barat dan Surabaya sedang disiapkan untuk diajukan dalam Rapat Pleno Pengurus Pusat IKPI. Jika disetujui, kedua wilayah tersebut akan menjadi contoh pemekaran cabang terbesar dalam sejarah IKPI.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum IKPI, Nuryadin Rahman, yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Departemen Pengembangan Organisasi, memberikan dukungan penuh atas rencana pemekaran ini. Nuryadin menyebut langkah tersebut merupakan lanjutan dari peta jalan pengembangan organisasi yang sudah dirumuskan.

“Pemekaran cabang adalah proses natural ketika jumlah anggota tumbuh pesat. Ini bukan hanya pembagian wilayah, tetapi bagian dari strategi jangka panjang memperkuat fondasi organisasi,” ujar Nuryadin.

Ia menegaskan bahwa cabang-cabang besar seperti Jakarta Barat dan Surabaya memang telah lama disiapkan untuk pemekaran, mengingat tingginya intensitas kegiatan, kebutuhan layanan administratif, dan meningkatnya kompleksitas profesi di dua kota tersebut.

“Konsultan pajak di lapangan semakin membutuhkan dukungan organisasi yang cepat dan tepat. Dengan adanya cabang baru hasil pemekaran, pelayanan kepada anggota akan menjadi lebih responsif, program pendidikan dapat merata, dan penegakan etika profesi semakin optimal,” tambahnya.

Nuryadin juga menekankan bahwa pemekaran ini tidak hanya memperluas jangkauan IKPI, tetapi sekaligus meningkatkan kualitas tata kelola melalui pembagian beban kerja organisasi yang lebih seimbang. (bl)

Siap Bayar Pajak, Pedagang Barang Bekas Pasar Senen Minta Dilegalkan

IKPI, Jakarta: Para pedagang barang bekas atau thrifting di Pasar Senen kembali menyuarakan aspirasi mereka kepada pemerintah. Mereka meminta legalisasi penuh atas kegiatan impor pakaian bekas, sekaligus menyatakan kesediaan untuk membayar pajak asalkan usaha mereka tidak lagi dianggap ilegal.

Aspirasi itu disampaikan langsung oleh Rifai Silalahi, perwakilan pedagang thrifting, saat menyampaikan keluhan kepada Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR di Kompleks Parlemen, Rabu (19/11/2025).

“Kami ini sudah puluhan tahun hidup dari thrifting. Ada sekitar 7,5 juta orang yang bergantung pada usaha ini. Kalau dimatikan, bagaimana nasib kami?” kata Rifai di depan pimpinan BAM DPR.

Menurut Rifai, bisnis thrifting bukan sekadar perdagangan barang bekas. Di banyak daerah, usaha ini sudah diwariskan lintas generasi dan menjadi sumber penghasilan utama keluarga.

“Dari Sabang sampai Merauke, kami hidup dari thrifting. Dari hasil jualan inilah kami sekolah dan bertahan hidup. Karena itu kami berharap pemerintah melegalkan usaha ini. Kami tidak keberatan bayar pajak,” tegasnya.

Ia menyebut selama larangan berlaku, pedagang justru terjebak pada praktik ilegal yang melibatkan oknum tertentu. Setiap kontainer, ujarnya, bisa dipungut hingga Rp 550 juta agar bisa lolos melalui jalur tidak resmi.

“Bayar pajak justru jauh lebih murah. Pajak itu jelas persentasenya. Masalahnya sekarang yang menikmati keuntungan justru oknum-oknum itu. Makanya bisa masuk sekitar 100 kontainer per bulan secara ilegal,” ungkapnya.

Rifai menilai pemerintah bisa memilih opsi selain legalisasi penuh, yakni menerapkan larangan terbatas (lartas) atau pemberian kuota impor. Dengan skema ini, impor tetap dikontrol tanpa mematikan mata pencaharian jutaan orang.

“Yang kami inginkan bukan kebebasan tanpa aturan. Silakan dibatasi, tapi jangan dimatikan. Kuota bisa jadi solusi,” tambahnya.

Wakil Ketua BAM DPR, Adian Napitupulu, menyambut aspirasi tersebut dengan menekankan pentingnya kajian menyeluruh sebelum pemerintah mengambil keputusan.

Ia memaparkan data riset global yang menunjukkan bahwa 67% generasi milenial dan Gen Z memilih thrifting bukan karena sekadar harga murah, melainkan karena pertimbangan lingkungan hidup.

“Satu celana saja membutuhkan 3.781 liter air bersih untuk diproduksi. Anak-anak muda sekarang menyadari dampak itu. Ada pergeseran cara pandang soal konsumsi,” jelas Adian.

Selain tren dalam negeri, Adian juga mengingatkan bahwa impor thrifting bukan hal asing di dunia. Beberapa negara bahkan menjadi importir besar, seperti:

• Amerika Serikat – Rp 2,19 triliun

• Belanda – Rp 2,76 triliun

• Rusia – Rp 2,184 triliun

“Bukan cuma Indonesia yang impor barang bekas. Banyak negara lain juga melakukan hal yang sama. Artinya ada ekosistem perdagangan global yang harus kita pahami,” ujarnya.

Adian menekankan bahwa keputusan pemerintah nantinya harus mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan keberlanjutan lingkungan secara seimbang.

“Sebagai regulator, kita harus mengambil keputusan yang hadir dengan pemahaman komprehensif dan mewakili keadilan di masyarakat,” tutupnya. (alf)

IKPI Bawa Isu Etika Profesi dan Kebijakan Pajak di AOTCA 2025

IKPI, Kathmandu, Nepal: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) kembali menunjukkan peran strategisnya dalam percaturan perpajakan internasional. Pada gelaran Asia Oceania Tax Consultants’ Association (AOTCA) International Tax Conference 2025, dua delegasi IKPI tampil sebagai pembicara dengan membawa dua isu utama: etika profesi dan tantangan implementasi kebijakan pajak di negara berkembang.

Konferensi yang berlangsung 18–21 November 2025 di The Soaltee Kathmandu ini dihadiri lebih dari 500 delegasi dari 30 negara di Asia, Oseania, dan Afrika. Dengan tema besar “Evolution of Tax Laws in Developing Countries and the Role of Tax Professionals”, forum ini menjadi ruang bagi negara berkembang untuk berbagi pengalaman dalam memperkuat fondasi administrasi dan kebijakan perpajakan.

Wakil Ketua Departemen Hubungan Internasional IKPI, Ichwan Sukardi, yang tampil pada sesi Ethics and Professional Conduct, menyoroti pentingnya menjaga standar integritas di tengah pesatnya perubahan global. Ethics and Professional Conduct berlaku universal – sedangkan aturan perpajakan, umumnya berlaku domestic dan berbeda-beda tiap negara.

“Teknologi berubah, kebijakan berubah, tetapi etika tidak boleh ikut berubah. Integritas adalah fondasi profesi pajak. Tanpa itu, seluruh sistem bisa runtuh,” tegas Ichwan, Rabu (19/11/2025).

Ia menekankan bahwa negara berkembang menghadapi tekanan globalisasi, disrupsi digital, dan peningkatan kompleksitas transaksi. Kondisi tersebut membuat peran profesional pajak semakin krusial sebagai penjaga kredibilitas sistem perpajakan..

Selain etika, IKPI juga membawa isu penting mengenai implementasi kebijakan pajak. Melalui paparan David Tjhai, IKPI membahas bagaimana negara berkembang kerap berada di persimpangan antara kebutuhan peningkatan penerimaan dan kemampuan administrasi pajaknya.

David mengangkat berbagai hambatan yang sering muncul, seperti keterbatasan infrastruktur digital, resistensi wajib pajak, serta ketidaksinkronan antara kebijakan dan realitas ekonomi. Dalam paparannya, David menekankan perlunya harmonisasi kebijakan antara pusat dan daerah, serta perlunya penguatan kapasitas aparatur pajak.

Selain dua materi yang dibawa IKPI, konferensi ini juga mengupas berbagai isu strategis seperti:
• evolusi sistem pajak di negara berkembang
• tantangan dalam implementasi kebijakan
• peran profesional pajak dalam memastikan kepatuhan global
• transformasi digital administrasi pajak
• Green Taxes (pajak lingkungan) dan kebijakan pembangunan berkelanjutan

Isu-isu tersebut menjadi relevan karena banyak negara anggota AOTCA menghadapi tantangan yang serupa.

Selain itu, Presiden AOTCA Ruston Tambunan, yang juga merupakan Ketua Umum IKPI periode 2022-2024 menegaskan pentingnya kerja sama antarnegara untuk menghadapi tantangan global. Ia mengingatkan bahwa AOTCA terus berkontribusi dalam pembahasan kebijakan internasional, termasuk pada isu Pillar 1 & 2 OECD.

Sementara, Presiden GTAP, Prof. Piergiorgio Valente, menambahkan bahwa transfer pricing kini menjadi isu paling kritis bagi negara berkembang. Ia juga mendorong pemanfaatan Advanced Pricing Agreement (APA) untuk mengurangi sengketa pajak internasional.

Sebagai penyelenggara, Nepal Tax Consultants’ Chamber (NCTC) memanfaatkan AOTCA 2025 untuk menampilkan pencapaian reformasi perpajakannya dan memperkuat posisi Nepal sebagai destinasi konferensi skala internasional.

Menurut Ichwan, kehadiran delegasi IKPI di sesi pembicara AOTCA 2025 menunjukkan posisi penting Indonesia dalam dialog perpajakan internasional. Dengan membawa isu fundamental seperti etika profesi dan kebijakan pajak, IKPI menegaskan komitmennya pada standar tinggi profesionalisme dan kontribusi aktif pada perkembangan perpajakan global. (bl)

Kupas Tuntas Penanggung Pajak, Humala Napitupulu: Surat Paksa Bisa Batal Demi Hukum

IKPI, Jakarta: Seminar perpajakan IKPI Pengda DKJ pada Rabu (19/11/2025) berlangsung dinamis ketika Humala Napitupulu memaparkan analisis mendalam mengenai batasan tanggung jawab penanggung pajak, khususnya terkait penerbitan surat paksa dan proses penagihan aktif.

Humala menjelaskan bahwa dalam kerangka hukum pajak modern, surat paksa merupakan tindakan penagihan yang memiliki kekuatan eksekutorial setara putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Namun kekuatan tersebut tetap tunduk pada prinsip due process of law.

“Kalau wajib pajak sedang mengajukan keberatan atau banding, tindakan penagihan tidak boleh dilakukan. Kalau surat paksa diterbitkan dalam kondisi itu, tindakan tersebut inkonstitusional dan surat paksanya batal demi hukum,” tegasnya.

Ia mencontohkan beberapa kasus di lapangan di mana wajib pajak menerima surat paksa sementara proses keberatan masih berjalan. Menurut Humala, kondisi tersebut merugikan wajib pajak karena berdampak pada perhitungan daluarsa penagihan.

“Kalau surat paksa batal demi hukum, maka daluarsa dihitung kembali dari awal. Ibarat kilometer mobil di-reset,” ujarnya.

Dalam sesi diskusi, ia menekankan bahwa DJP memang memiliki hak melakukan penagihan aktif sepanjang wajib pajak tidak berada dalam proses keberatan atau banding. Namun setiap tindakan paksa wajib memenuhi tiga prinsip:

• Wajib pajak diberi tahu,

• Diberi kesempatan menyanggah, dan

• Disediakan mekanisme penyelesaian.

“Kalau tiga prinsip ini dilanggar, tindakan penagihan bisa dibatalkan,” jelasnya.

Humala juga menyinggung luasnya cakupan penanggung pajak dalam Pasal 32 dan 32A UU KUP yang memungkinkan tanggung jawab meluas hingga harta pribadi pengurus. Hal inilah yang menurutnya sering menimbulkan perdebatan terkait keadilan dan batas kewenangan negara.

Isu lain yang menjadi perhatian Humala adalah kebutuhan perlindungan hukum dalam rezim penagihan modern. Ia mengingatkan bahwa banyak tindakan paksa seperti blokir rekening kini dilakukan oleh pihak lain di luar pemerintah, sehingga pengawasan dan akuntabilitas harus diperkuat.

Menanggapi pertanyaan soal penerapan restorative justice dalam perpajakan, Humala menilai pendekatan tersebut pernah dicoba namun belum sepenuhnya efektif. 

“Restorative justice menekankan pemulihan, bukan penghukuman. Tapi dalam perpajakan, kita tetap berhadapan dengan batas waktu penagihan yang kaku,” ujarnya.

Ia kembali menegaskan pentingnya memahami alur hukum penagihan agar penanggung pajak tidak dirugikan: “Kita harus paham dulu aturan dan batasannya. Baru kita bisa tahu apakah kita benar-benar harus bertanggung jawab atau tidak,” katanya. (bl)

Singapura Jadi Pelopor Pajak Bahan Bakar Hijau untuk Penumpang Pesawat Mulai 2026

IKPI, Jakarta: Singapura resmi menjadi negara pertama di dunia yang menerapkan pajak bahan bakar hijau atau green fuel levy bagi penumpang pesawat. Kebijakan ini merupakan bagian dari strategi besar negeri tersebut untuk mempercepat dekarbonisasi sektor penerbangan dan berkontribusi pada target emisi global.

Mengutip laporan Independent, Otoritas Penerbangan Sipil Singapura (CAAS) akan memberlakukan biaya bahan bakar penerbangan berkelanjutan (SAF levy) bagi seluruh penumpang yang berangkat dari Singapura mulai 1 Oktober 2026. Adapun mulai 1 April 2026, seluruh tiket, layanan kargo, hingga penerbangan bisnis yang dijual wajib memasukkan komponen biaya ini.

Tarif Berdasarkan Jarak dan Kelas Kabin

Besaran pungutan akan disesuaikan dengan jarak penerbangan dan kelas perjalanan, serta dikelompokkan dalam empat wilayah geografis:

1. Kelompok 1: Asia Tenggara

2. Kelompok 2: Asia Timur Laut, Asia Selatan, Australia, Papua Nugini

3. Kelompok 3: Afrika, Asia Tengah dan Barat, Eropa, Timur Tengah, Kepulauan Pasifik, Selandia Baru

4. Kelompok 4: Amerika

Sebagai gambaran, penumpang kelas ekonomi akan dikenakan biaya:

• S$1 untuk rute Singapura–Bangkok

• S$2,80 untuk Singapura–Tokyo

• S$6,40 untuk Singapura–London

• S$10,40 untuk Singapura–New York

Maskapai diwajibkan mencantumkan komponen biaya ini sebagai baris terpisah pada tiket pesawat yang dijual. Namun, pungutan SAF tidak berlaku bagi penumpang yang hanya transit di Singapura.

Komitmen Menuju Emisi Nol Bersih

Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) telah menargetkan emisi karbon nol bersih pada 2050 untuk penerbangan internasional. Singapura menegaskan dukungannya terhadap target tersebut melalui kebijakan SAF levy ini.

Direktur Jenderal CAAS, Han Kok Juan, menyebut kebijakan tersebut sebagai tonggak penting dalam transformasi sektor penerbangan.

“Pengenalan Retribusi SAF menandai langkah signifikan dalam upaya Singapura membangun pusat udara yang lebih berkelanjutan dan kompetitif,” ujarnya.

“Kita perlu memulai. Kita melakukannya secara terukur, dan memberi waktu bagi industri, bisnis, dan publik untuk beradaptasi,” tambahnya.

Dengan langkah ini, Singapura berambisi tidak hanya mengurangi jejak karbon, tetapi juga menjadi contoh global dalam transisi energi bersih untuk sektor penerbangan. (alf)

Dirjen Pajak Kembali Pertegas Strategi Kejar Target Penerimaan Pajak 2026

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, kembali menegaskan strategi besar Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam mengejar target penerimaan tahun 2026 yang dipatok mencapai Rp 2.357,7 triliun. Kepastian ini ia sampaikan pada tayangan Tax Time CNBC Indonesia, Selasa (18/11/2025). 

Bimo memastikan bahwa upaya mengejar target tersebut tidak akan dilakukan dengan menambah jenis pajak baru ataupun menaikkan tarif pajak.

“Sesuai arahan Menteri Keuangan, kita tidak akan mengeluarkan kebijakan materi perpajakan baru,” ujar Bimo.

Bimo menyebut strategi pertama adalah memastikan pemulihan daya beli masyarakat agar aktivitas ekonomi kembali bergerak cepat. Pemerintah mendorong percepatan belanja negara serta memanfaatkan dana pemerintah yang sebelumnya mengendap di Bank Indonesia.

Sebanyak Rp 276 triliun ditempatkan ke perbankan untuk disalurkan sebagai kredit produktif—Rp 200 triliun pada September dan tambahan Rp 76 triliun pada November 2025.

“Dampaknya mulai terlihat pada konsumsi, investasi, hingga pertumbuhan ekonomi, yang akhirnya ikut mendongkrak penerimaan perpajakan,” jelasnya.

Insentif perpajakan juga akan disusun lebih terukur agar sektor strategis mampu mempertahankan daya beli dan terus tumbuh.

Strategi kedua adalah memperkuat sistem administrasi perpajakan dengan terus menyempurnakan layanan digital melalui Coretax.

“Coretax kita benahi terus, kita sempurnakan terus,” tegas Bimo.

Digitalisasi diyakini mampu meningkatkan kepatuhan wajib pajak sekaligus efisiensi layanan.

Bangun Kepercayaan Publik, Tegaskan Zero Tolerance terhadap Fraud

Dalam strategi ketiga, DJP berkomitmen memperkuat integritas internal. Bimo menegaskan tidak ada toleransi bagi pegawai pajak yang melakukan penyimpangan.

“Fiskus adalah garda terdepan. Dari 44 ribu pegawai di DJP, kalau ada satu saja yang melakukan fraud, saya tidak akan mentoleransi,” ujar Bimo.

Ia menilai kepercayaan publik adalah pondasi penerimaan negara, sehingga perbaikan tata kelola menjadi kunci.

Strategi keempat adalah mendesain ulang insentif perpajakan agar semakin terarah dan benar-benar menyentuh sektor usaha yang membutuhkan stimulus. Langkah ini diharapkan tidak hanya menjaga iklim usaha, tetapi juga memastikan wajib pajak tetap patuh.

Strategi kelima adalah memperkuat pengawasan kepatuhan material melalui audit, pengujian pembayaran, serta menutup berbagai celah kebocoran pajak, seperti base erosion, tax avoidance, hingga pengalihan aset ke luar negeri.

DJP juga memperkuat kerja sama dengan berbagai lembaga seperti Bea Cukai, DJA, Polri, Kejaksaan Agung, KPK, PPATK, dan BPKP.

“Kolaborasi lintas lembaga akan terus diperkuat untuk menjaga penerimaan negara,” tegas Bimo.

Dengan lima strategi tersebut, DJP optimistis target penerimaan pajak 2026 dapat tercapai tanpa menambah beban masyarakat melalui pajak baru. (alf)

id_ID