IKPI, Jakarta: Kepatuhan pajak yang adil dan berkelanjutan hanya bisa tercapai bila sistem perpajakan dibangun & diimplementasikan di atas asas keadilan dan kemudahan administratif. Hal ini ditegaskan anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Arifin Halim dalam Focus Group Discussion (FGD) bersubtema “Faktor dan Solusi Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak yang Berkeadilan” yang digelar secara daring dan terbuka untuk umum oleh IKPI pada Rabu (30/7/2025).
Acara ini diikuti ratusan peserta dari berbagai kalangan, mulai dari konsultan pajak, pelaku usaha, hingga mahasiswa. FGD menjadi ajang diskusi terbuka dalam mencari solusi konkret untuk meningkatkan kepatuhan pajak secara adil di tengah tantangan ekonomi global.
Dalam pemaparannya, Arifin mengingatkan bahwa pajak yang dibayarkan masyarakat digunakan untuk menjalankan roda pemerintahan, membiayai pembangunan, serta meningkatkan kecerdasan, kesehatan masyarakat, dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Karena itu, pajak harus dikelola secara adil dan transparan agar wajib pajak merasa memiliki andil dalam kemajuan bangsa.
Ia mengutip empat asas perpajakan menurut Adam Smith yang harus terus dipegang teguh dalam pembentukan peraturan perundang-undangan perpajakan: asas keadilan (equity), kepastian hukum (certainty), kemudahan pembayaran (convenience of payment ), dan efisiensi pemungutan (economic of collection efficiency).
Penyebab Rendahnya Kepatuhan Wajib Pajak
Arifin menyoroti sejumlah faktor utama yang menyebabkan kepatuhan pajak masih rendah, antara lain:
• Rumitnya administrasi perpajakan seperti pengisian faktur pajak dan bukti potong PPh,
• Peraturan perpajakan yang sering berubah dan membingungkan,
• Modul pelaporan SPT yang sering bermasalah atau berubah-ubah,
• Peraturan yang tidak sinkronisasi/ tidak harmonis, juga adanya kebijakan antarinstansi yang berujung pada multitafsir.
“Bayangkan, dalam perang dagang AS-Tiongkok tahun 2019, ada 33 perusahaan Tiongkok yang relokasi ke luar negeri, tapi tak satu pun yang memilih Indonesia. Yang memilih Vietnam ada 23 perusahaan dan 10 lainnya menyebar ke Kamboja, India, Malaysia, Mexiko, Serbia, dan Thailand. Ini indikasi penting: sistem & kepastian hukum perpajakan kita belum cukup menarik dan ramah investasi,” ujarnya.
Untuk menjawab tantangan tersebut, Arifin mengusulkan sejumlah solusi, di antaranya:
• Penyederhanaan faktur pajak, termasuk penerapan faktur gabungan dan batas waktu terbit akhir bulan, Penerbitan Faktur Pajak Gabungan yang saat ini hanya diperkenankan 1 dalam satu bulan kalender, perlu diberikan kemudahan untuk mendukung proses bisnis dengan diterbitkan sesuai kebutuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP), agar proses bisnis PKP dalam penagihan piutang berjalan lebih lancar, misalnya diterbitkan FP Gabungan per hari atau untuk beberapa hari,
• Pelaporan PEB (Pemberitahuan Ekspor Barang) bukan berdasarkan tanggal pendaftaran PEB, namun sesuai tanggal Shipped on Board.
• Penerbitan Faktur Pajak penganti tidak perlu membatalkan retur penjualan yang telah terjadi, karena pencatatan retur penjualan dapat saja terjadi di tahun pajak yang berbeda. Ini menambahkan keruwetan dalam pelaporan SPT Masa PPN,
• Penyederhanaan Bukti Pemotongan. Penerbitan Bukpot cukup dilakukan kepada lawan transaksi non-PKP, sedangkan untuk lawan transaksi PKP tidak perlu dipotong namun mereka menyetor sendiri dari omset mereka selama satu bulan/masa pajak berdasarkan Faktur Pajak yang telah mereka terbitkan.
• Regulasi yang agar tidak sering berubah-ubah, serta disusun secara sinkron dan harmonis dan adil bagi masyarakat, khususnya yang berpenghasilan rendah,
• Besarnya PTKP juga perlu ditinjau kembali, khususnya untuk tambahan Wajib Pajak Kawin dan tanggungan, yang setiap tambahannya hanya sebesar Rp4,5juta setahun yang dirasa sangat minim untuk dapat memenuhi hidup standar yang paling minim sekalipun,
• Perlu tetap memperlakukan penghasilan seorang istri yang memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja (PT BH) yang mendapat 2 bukpot 1721, yaitu 1721-A1 karena sumber pembayaran dari non APBN, dan 1721-A2 yang sumber pembayaran dari APBN, ini terjadi di Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PT BH), bila tidak diperlakukan sebagai penghasilan final maka akan berimplikasi keluarga dosen tersebut akan mengalami kurang bayar PPh yang cukup besar bagi ukuran mereka dan ini akan berpotensi menurunkan semangat dosen untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,
• PPh UMKM perlu dipertimbangkan untuk tetap memakai tarif final dengan mengunakan 2 tarif, tarif awal 7 tahun pertama (bagi OP) dengan tarif 0,5% dan tahun berikutnya dengan tarif yang lebih besar dari 0,5%,
• Untuk argo dapat menggunakan tarif UMKM agar dimulai saat menjalankan usaha UMKM dan tidak dari sejak memiliki NPWP, hal ini agar memberikan keadilan bagi karyawan yang akhirnya kelak memilih menjalankan usaha UMKM, mereka juga perlu ditopang untuk bisa menjalankan usaha,
• Modul pelaporan SPT yang bebas bug dan diimplementasikan bertahap. Bisa mencontoh implementasi e-Faktur yang berjalan lancar,
• SP2DK sebaiknya dikirim setelah tenggat pelaporan SPT berakhir, agar memberi ruang yang cukup bagi WP menyelesaikan kewajiban SPT Tahunannya.
Arifin menyampaikan, memang tidak semua orang membayar pajak penghasilan (PPh) karena PPh dikenai bila penghasilan orang tersebut telah di atas PTKP, dimana PTKP adalah besaran bagi yang berpenghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara normal/layak. Namun hampir semua orang membayar PPN. Bahkan seorang pengemispun membayar PPN. Oleh karena itu PTKP perlu ditinjau ulang agar dapat meningkatkan daya beli masyarakat golongan bawah. Ini juga akan mengurangi stunting bila daya beli masyarakat bawah meningkat guna meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Ia juga menekankan perlunya tenggak waktu perberlakuan suatu peraturan, akan lebih baik bila waktu pemberlakuan regulasi dipilih waktu yang tepat, misalnya Juli tahun berikutnya, agar dunia usaha bisa menyesuaikan diri. Pemberlakuan regulasi dalam periode Januari sampai dengan April tentu menambah beban kerja karena wajib pajak sedang menyampaikan SPT Tahunan.
Menurut Arifin, investor dan wajib pajak sejatinya hanya membutuhkan tiga hal: kepastian hukum perpajakan, beban administrasi yang ringan, dan kenyamanan dalam menjalankan usaha, sehingga bisa focus untuk meningkatkan persaingan bisnis dan merebut pasar.
Bila tiga faktor itu terpenuhi, investasi akan tumbuh, omzet perusahaan lokal meningkat, dan multiplier efek ekonomi akan memperkuat pertumbuhan ekonomi nasional.
Calon Hakim Agung di Kamar Tata Usaha Negara (khusus pajak) ini juga menyampaikan pandangan filosofisnya: “Sumber daya alam kita melimpah, dan kita diberkahi alam yang indah. Namun untuk mengelola semua itu, kita butuh sistem perpajakan yang adil, efisien, dan berpihak pada peningkatan kesejahteraan rakyat.”
Arifin juga mengajak agar kita semua mendukung pajak untuk Indonesia maju dan masyarakat sejahtera.
Sekadar informasi, FGD ini merupakan bagian dari komitmen IKPI untuk terus mengedukasi publik dan mendorong reformasi perpajakan yang lebih adil dan inklusif di Indonesia. (bl)