IKPI Jakarta Utara Tekankan Pentingnya Adaptasi Konsultan Pajak terhadap PMK 15/2025 dan Coretax

IKPI, Jakarta: Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Utara, Franky Foreson, mengajak seluruh konsultan pajak untuk terus meningkatkan kompetensi dan kepekaan terhadap dinamika regulasi perpajakan dalam sambutannya pada acara Pendidikan Profesional Berkelanjutan (PPL) yang digelar di El-Hotel, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Selasa (20/5/2025).

Mengangkat tema “Konsultan Pajak Kudu Paham Neh: PMK 15/2025 & Update Aturan Coretax”, kegiatan ini dihadiri oleh 90 peserta yang terdiri dari anggota IKPI se-Jabodetabek dan peserta umum.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Dalam sambutannya, Franky menegaskan bahwa konsultan pajak saat ini dihadapkan pada tantangan besar, tidak hanya dalam memahami aturan teknis seperti PMK 15/2025, tetapi juga dalam beradaptasi dengan sistem digitalisasi pajak yang terus berkembang, salah satunya melalui platform Coretax.

“Kita tidak bisa lagi bekerja dengan pendekatan lama. Dunia perpajakan sudah sangat dinamis. PMK 15/2025 menjadi penanda penting perubahan paradigma, dan Coretax adalah masa depan. Konsultan pajak wajib siap dan paham,” ujar Franky.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Acara ini juga menjadi momen mempererat solidaritas antaranggota IKPI, di samping memperkaya wawasan teknis. Panitia menekankan pentingnya peran konsultan pajak dalam memberikan kontribusi nyata kepada masyarakat melalui pelayanan profesional yang akuntabel dan berbasis regulasi terkini.

Dengan antusiasme peserta dan relevansi tema, PPL kali ini menjadi bukti nyata komitmen IKPI dalam mencetak konsultan pajak yang adaptif, kompeten, dan siap menjawab tantangan zaman.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

(bl)

Penjualan Mobil Menurun, Industri Otomotif Desak Evaluasi Pajak dan Insentif Baru

IKPI, Jakarta: Industri otomotif nasional menghadapi tantangan berat untuk kembali menembus angka penjualan 1 juta unit mobil per tahun. Setelah sempat bangkit usai pandemi, tren penjualan kembali menurun, mendorong pelaku industri mendesak pemerintah agar meninjau ulang kebijakan insentif dan perpajakan kendaraan bermotor.

Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Kukuh Kumara, menyatakan insentif terbukti menjadi penyelamat industri saat terjadi krisis. Ia mengingatkan bagaimana pada masa pandemi COVID-19, insentif pemerintah berhasil mendongkrak penjualan dari 532.000 unit pada 2020 menjadi lebih dari 1 juta unit pada 2022 dan 2023. Namun, tren itu tak bertahan lama. Penjualan kembali turun ke 865.000 unit pada 2024 dan diperkirakan hanya mencapai 850.000 unit pada 2025.

“Insentif jangka pendek memang sangat membantu, tapi daya beli masyarakat dan kondisi ekonomi tetap menjadi penentu utama,” ujar Kukuh dalam diskusi Forum Wartawan Industri, Senin (19/5/2025).

Ia juga menyoroti ketimpangan regulasi perpajakan Indonesia dibanding negara tetangga. Menurut Kukuh, pajak kendaraan di Indonesia tergolong paling tinggi di kawasan, bahkan mencapai 50% dari harga kendaraan. Hal ini membuat harga mobil melonjak tajam dari harga pabrik ke konsumen.

Sebagai perbandingan, ia menyebut di Malaysia, pajak kendaraan seperti PKB dan BBN hanya sekitar Rp 1 juta untuk mobil sekelas Avanza, jauh di bawah Indonesia yang bisa mencapai Rp 6 juta. Malaysia, lanjutnya, masih mempertahankan insentif era pandemi, membuat pasar domestik mereka mampu menjual lebih dari 816 ribu unit mobil tahun lalu, meski jumlah penduduknya jauh lebih sedikit.

Senada dengan Kukuh, Peneliti LPEM FEB UI Riyanto menyatakan industri otomotif nasional telah mengalami stagnasi sejak 2013 dan kini cenderung menurun. Penjualan periode Januari-April 2025 tercatat hanya 256.368 unit, turun hampir 3% dibanding tahun lalu. Bila tren ini berlanjut, total penjualan mobil tahun ini diproyeksikan hanya sekitar 769 ribu unit penurunan lebih dari 11% dari tahun sebelumnya.

“Secara teknikal, industri otomotif kita ini sedang resesi,” ujar Riyanto.

Ia memperingatkan bahwa struktur pajak kendaraan yang terlalu tinggi menjadi beban berat, di mana sekitar 42% dari harga mobil adalah pajak. “Jika harga mobil Rp 300 juta, maka sekitar Rp 126 juta adalah pajak. Ini tidak sehat dalam jangka panjang,” tambahnya.

Riyanto menekankan pentingnya keseimbangan baru dalam kebijakan pajak dan insentif. Ia menyebutkan simulasi yang menunjukkan bahwa insentif PPnBM 0% dapat berkontribusi hingga 0,793% terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Dari sisi pemerintah, Mahardi Tunggul Wicaksono, Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Kementerian Perindustrian, menyampaikan bahwa pemerintah terbuka untuk mengevaluasi berbagai masukan dari pelaku industri. Baik insentif fiskal maupun non-fiskal akan dipertimbangkan, dengan tetap memperhitungkan kondisi keuangan negara.

“Kami juga tidak akan hanya fokus pada satu teknologi saja. Pemerintah sedang mengkaji pemberian insentif bagi semua jenis kendaraan, termasuk mobil berbahan bakar hidrogen,” ungkap Mahardi.

Indonesia saat ini memiliki 32 produsen mobil dan 73 produsen motor, dengan kapasitas produksi tahunan mencapai 2,35 juta unit mobil dan 10,72 juta unit motor. Total investasi sektor ini mencapai Rp 174,31 triliun. Dengan potensi sebesar itu, pelaku industri berharap pemerintah dapat segera merespons dengan kebijakan yang pro-pertumbuhan. (alf)

 

PMK 81/2025 Ubah Cara Hitung Pajak BUMN dan BUMD

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 melakukan reformulasi penghitungan angsuran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Ketentuan yang tertuang dalam Pasal 229 PMK tersebut bertujuan mendorong transparansi dan akurasi pembayaran pajak sepanjang tahun berjalan.

Dalam pasal tersebut, penghitungan angsuran PPh 25 bagi BUMN dan BUMD selain yang berstatus bank, perusahaan terbuka, atau Wajib Pajak tertentu lainnya tidak lagi mengacu hanya pada perhitungan tahun sebelumnya. Kini, dasar penghitungan menggunakan proyeksi penghasilan neto fiskal berdasarkan Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) yang telah disahkan Rapat Umum Pemegang Saham.

Besarnya angsuran dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh terhadap penghasilan neto fiskal tersebut, lalu dikurangi dengan pajak-pajak yang telah dipotong atau dipungut di dalam maupun luar negeri, dan dibagi 12 bulan.

Kementerian Keuangan mewajibkan RKAP disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar sebelum batas waktu pembayaran angsuran PPh 25 Masa Pajak pertama. Jika batas waktu terlewati, penghitungan angsuran tidak dapat mengacu pada RKAP.

Langkah ini diyakini akan mengurangi potensi overpayment atau underpayment pajak, serta mendorong perencanaan keuangan korporasi negara yang lebih disiplin dan terukur.

Kebijakan baru ini menjadi salah satu strategi besar reformasi perpajakan nasional yang tengah digalakkan hingga 2027. (alf)

 

Pengurus Pusat IKPI Dorong Pengcab Aktif Gelar PPL Terbuka, Beberkan Deretan Agenda Strategis

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, melalui sambutan yang dibacakan Ketua Departemen Kerja Sama Organisasi dan Asosiasi, Handy menegaskan komitmen organisasi untuk memperluas jangkauan edukasi perpajakan melalui kegiatan Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) yang lebih inklusif.

Dalam acara PPL IKPI Cabang Jakarta Utara, Selasa (20/5/2025), sebagaimana dalam sambutan tertulis Ketua Umum IKPI mengapresiasi semangat beberapa pengurus cabang yang aktif menggelar PPL terbuka untuk peserta umum. Salah satu contoh sukses datang dari IKPI Cabang Padang yang mampu menarik hingga 150 peserta, meski jumlah anggota resmi hanya 23 orang.

Sementara itu, IKPI Cabang Buleleng, yang baru dilantik 15 Mei lalu, juga berhasil menyelenggarakan kegiatan dengan kehadiran peserta umum mencapai 30 persen dari total peserta.

“Ini adalah bukti bahwa edukasi perpajakan yang berkualitas sangat dibutuhkan masyarakat luas, dan IKPI hadir untuk menjawab kebutuhan itu,” ujar Handy membacakan sambutan Ketua Umum.

Selain mendorong PPL terbuka, Vaudy juga menyampaikan deretan kegiatan strategis yang tengah dan akan dijalankan IKPI. Beberapa di antaranya:

• 9 Mei 2025: Penandatanganan MoU dengan Korea Association of Certified Tax Attorneys by Examination (KACTAE), dilanjutkan dengan sesi tax sharing knowledge seputar perpajakan di Korea Selatan.

• 16 Mei 2025: Webinar edukatif bersama Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI) yang diikuti oleh anggota IKPI yang berminat mengikuti perkuliahan S2 dan S3 di FIA UI.

• 19 Mei 2025: Diskusi panel bertajuk “Membedah Stagnasi Tax Ratio Indonesia: Masalah Struktural, Teknis, atau Ekonomi?” menghadirkan tokoh-tokoh nasional seperti Ken Dwijugiasteadi, Prof. Haula Rosdiana, Berly Martawardaya, dan Agustina Mappadang.

• Di hari yang sama, IKPI juga menandatangani kerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (UPH) yang memberikan harga khusus pendidikan bagi anggota, pegawai, maupun keluarga anggota IKPI yang ingin kuliah di UPH.

• 30 Mei 2025: rencananya akan diadakan Diskusi panel bersama tokoh perpajakan nasional seperti Machfud Sidik dan Prof. Eddy Slamet, membahas pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN).

• Juni 2025: Rencana diskusi panel mengenai kebijakan tax amnesty dengan menghadirkan Robert Pakpahan dan Hotman Paris Hutapea.

Menurut Vaudy, deretan kegiatan ini dirancang untuk memperkuat kapasitas dan wawasan para konsultan pajak anggota IKPI serta sumbangsih IKPI bagi Indonesia. “Kami ingin setiap anggota memiliki akses ke pengetahuan terbaru, baik dari dalam maupun luar negeri, agar selalu siap menghadapi tantangan dunia perpajakan yang dinamis. Ini juga salah satu sumbangsih bagi negeri tercinta Indonesia,” ujarnya.

Dengan semangat kolaborasi dan komitmen tinggi terhadap peningkatan kualitas profesi, IKPI terus menegaskan perannya sebagai garda terdepan dalam edukasi dan reformasi perpajakan nasional. (bl)

IKPI dan UPH Tandatangani Kerja Sama, Anggota hingga Keluarga Bisa Dapatkan Harga Kuliah Khusus

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) dan Universitas Pelita Harapan (UPH) resmi menjalin kemitraan strategis di bidang pendidikan tinggi. Nota kesepahaman ditandatangani oleh Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld dan Dekan Fakultas Hukum UPH, Dr. Velliana Tanaya, dalam sebuah seremoni yang berlangsung di Gedung IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, Senin (19/5/2025)

Kerja sama ini mencakup pemberian biaya studi khusus bagi anggota IKPI, keluarga inti, serta karyawan dari kantor praktik anggota. Program ini berlaku untuk jenjang Strata-1 (S1) kelas karyawan, Strata-2 (S2), hingga Strata-3 (S3), baik melalui skema beasiswa maupun pembayaran mandiri sesuai kesepakatan para pihak.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

“Ini bukan sekadar MoU, tapi langkah konkret dalam menciptakan ekosistem pembelajaran yang mendukung pengembangan profesi konsultan pajak di Indonesia,” ujar Vaudy Starworld. Ia menambahkan bahwa IKPI juga diberi ruang oleh UPH untuk turut serta dalam menjaring calon mahasiswa dari komunitas konsultan pajak melalui kegiatan yang sesuai norma dan hukum yang berlaku.

Dekan Fakultas Hukum UPH, Dr. Velliana Tanaya, turut menyampaikan apresiasinya atas kepercayaan yang diberikan IKPI. Ia berharap kerja sama ini dapat berkembang tidak hanya di bidang pendidikan, tetapi juga penelitian, kewirausahaan, hingga pengabdian kepada masyarakat.

“Kami ingin memberikan kesempatan kepada anggota IKPI dan bahkan keluarga mereka—termasuk anak-anak anggota—untuk bisa mengakses pendidikan di UPH dengan harga khusus yang telah disepakati,” kata Velliana. Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi dalam bidang akademik, khususnya dalam hukum pajak.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

“Kalau kami memerlukan tenaga pengajar untuk hukum pajak, kami mohon bantuan dari Bapak-Ibu di IKPI. Karena hukum pajak ini sangat spesifik, dan hanya bisa diajarkan oleh mereka yang benar-benar memahami perpajakan,” tambahnya.

Kerja sama ini diharapkan memberi manfaat timbal balik bagi kedua institusi, sekaligus menjadi kontribusi nyata dalam membentuk generasi profesional pajak yang lebih kompeten di masa depan.(bl)

DJP Permudah Respons SP2DK Lewat Coretax

IKPI, Jakarta: Pemerintah terus menunjukkan komitmennya dalam memodernisasi layanan perpajakan. Salah satunya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kini menyempurnakan sistem Coretax dengan fitur baru yang memungkinkan Wajib Pajak merespons Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) secara digital.

Fitur ini disampaikan DJP melalui akun resmi X @kring_pajak sebagai respons atas pertanyaan seorang warganet yang menanyakan apakah pengajuan perpanjangan waktu menjawab SP2DK kini bisa dilakukan langsung melalui Coretax atau tetap harus manual ke kantor pajak.

“Min, untuk permohonan perpanjangan waktu menjawab SP2DK saat ini dari Coretax atau pengajuan manual ke KPP, ya?” tulis akun tersebut, dikutip Senin (19/5/2025).

Menjawab itu, DJP memaparkan tahapan menanggapi SP2DK via Coretax. Wajib Pajak cukup masuk ke menu “My Portal – My Cases”, memilih kasus yang ingin direspons, mengisi data yang diminta di menu “Routing”, dan melampirkan dokumen pendukung. Jika status sudah berubah menjadi “The Case Closed”, artinya respons telah diterima dan diproses.

Meski sistem makin canggih, DJP mengingatkan bahwa waktu merespons SP2DK tetap terbatas, yakni 14 hari sejak dikirimkan. Namun jika dibutuhkan, wajib pajak bisa mengajukan permohonan perpanjangan waktu ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdaftar. “Ketentuannya tidak diatur secara khusus, jadi silakan konfirmasi ke KPP masing-masing,” jelas DJP.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, Dwi Astuti, juga menegaskan bahwa SP2DK bukanlah sanksi, melainkan bagian dari proses pengawasan rutin. Dokumen ini diterbitkan jika ada dugaan ketidaksesuaian data perpajakan berdasarkan analisis material yang dilakukan petugas pajak.

“SP2DK diterbitkan untuk klarifikasi, bukan untuk menghukum. Ini hasil dari penelitian yang mendalam sesuai dengan SE-05/PJ/2022,” ujar Dwi. (alf)

 

 

 

MK Kembali Gelar Sidang Uji Materi Pajak LPG 3 Kg, Pemerintah Tegaskan Dasar Hukum Pemajakan

 

IKPI, Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan perkara Nomor 188/PUU-XXII/2024 terkait uji materi dua undang-undang perpajakan: Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM. Permohonan ini diajukan oleh dua badan usaha, PT Gemilang Prima Semesta dan CV Belilas Permai, yang mempersoalkan kejelasan dasar pemungutan pajak atas penyerahan LPG bersubsidi tabung 3 kilogram.

Sidang yang digelar di Ruang Sidang MK pada Senin (19/5/2025) itu dipimpin langsung oleh Ketua MK Suhartoyo bersama delapan Hakim Konstitusi lainnya. Dalam persidangan, Pemerintah melalui keterangan Direktur Jenderal Pajak, Yon Arsal, menegaskan bahwa pemajakan atas penyerahan LPG 3 kg telah sesuai dengan prinsip legalitas dalam perpajakan dan tidak bertentangan dengan konstitusi.

“LPG 3 kg adalah barang kebutuhan strategis yang telah disubsidi oleh pemerintah. Namun, keuntungan yang diperoleh agen atau penyalur atas penjualannya tetap merupakan objek pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh,” ujar Yon Arsal, dikutip dari website resmi MK.

Ia menjelaskan bahwa pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tidak mengacu pada kebijakan lokal seperti Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh pemerintah daerah, melainkan berdasarkan nilai ekonomi sesungguhnya dari transaksi yang terjadi. Menurutnya, dasar pengenaan pajak dalam kasus ini adalah harga jual — termasuk seluruh biaya yang dibebankan kepada konsumen, kecuali PPN itu sendiri dan potongan harga.

Perbedaan Penafsiran Jadi Sorotan

Dalam gugatannya, para Pemohon menilai bahwa ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh dan UU PPN menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak secara eksplisit mencantumkan bahwa objek pajak harus ditentukan berdasarkan perundang-undangan. Akibatnya, pungutan pajak atas biaya transportasi yang diatur dalam peraturan daerah dianggap merugikan, terutama bagi agen LPG 3 kg yang dibebani pajak atas biaya yang bukan merupakan keuntungan langsung mereka.

“Jika frasa tersebut tidak dipertegas, maka penafsiran bisa menjadi terlalu luas dan membuka ruang penyimpangan terhadap prinsip legalitas perpajakan,” tulis para Pemohon dalam petitumnya.

Namun Pemerintah berpendapat bahwa menambahkan frasa “berdasarkan perundang-undangan perpajakan” dalam pasal-pasal tersebut justru akan menimbulkan implikasi hukum yang kompleks. “Hal itu bisa memperluas atau bahkan mempersempit cakupan objek pajak, serta mengubah penafsiran sebelum dan sesudah putusan,” tegas Yon Arsal.

Tarik Ulur antara Keadilan dan Kepastian Hukum

Perkara ini mencerminkan tarik-ulur antara perlindungan hak konstitusional wajib pajak dengan kebutuhan negara untuk menjaga basis pajaknya. LPG 3 kg sebagai komoditas bersubsidi memang mendapat perlakuan khusus dalam hal distribusi dan harga, namun keuntungan dari aktivitas komersialnya tetap dinilai sebagai tambahan kemampuan ekonomis yang sah dikenai pajak.

Pemerintah mengingatkan bahwa prinsip utama perpajakan bukan semata-mata pada sumber biaya, tetapi pada nilai ekonomi yang diterima pelaku usaha. Maka, sekalipun biaya transportasi ditentukan oleh kepala daerah, ketika biaya itu dimasukkan dalam harga jual kepada konsumen, maka secara hukum menjadi bagian dari dasar pengenaan pajak.

Mahkamah Konstitusi belum memutuskan perkara ini. Sidang-sidang lanjutan masih akan digelar untuk mendalami argumen kedua belah pihak. Putusan MK nantinya diperkirakan akan menjadi penentu penting dalam memberikan kejelasan hukum atas pemajakan barang bersubsidi yang distribusinya melibatkan banyak pihak, mulai dari pusat hingga daerah. (alf)

Foto: IKPI Gelar Diskusi Panel Bahas Stagnansi Tax Ratio Indonesia

Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menggelar diskusi panel bertajuk “Membedah Stagnansi Tax Ratio Indonesia: Masalah Struktural, Teknis, Atau Ekonomi?” pada Senin, 19 Mei 2025 pukul 10.00–13.00 WIB.

Hadir sebagai pembicara kunci Ketua Umum IKPI, Vaudy Starworld, serta narasumber:

  1. Ken Dwijugiasteadi – Dirjen Pajak 2015–2017
  2. Prof. Dr. Haula Rosdiana, M.Si – Guru Besar Universitas Indonesia
  3. Dr. Berly Martawardaya, S.E, M.Sc. – Ekonom Indef
  4. Dr. Agoestina Mappadang, SE., MM – Anggota Departemen FGD IKPI

Diskusi dipandu oleh moderator Ridho Ribbon Hutapea dan berlangsung dinamis dengan mengulas berbagai sudut pandang atas kinerja rasio perpajakan nasional yang stagnan.

Diskusi ini juga diikuti ratusan anggota IKPI dari seluruh Indonesia melalui aplikasi Zoom Meeting.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

 

Desakan Kenaikan PTKP Meningkat, Pemerintah Diminta Respons Cepat untuk Jaga Daya Beli Rakyat

IKPI, Jakarta: Usulan untuk menaikkan ambang batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari Rp 4,5 juta menjadi Rp 10 juta per bulan kembali mencuat ke permukaan. Kali ini, dorongan datang tidak hanya dari kalangan buruh, tetapi juga pengusaha dan analis kebijakan fiskal. Mereka menilai kebijakan ini menjadi krusial di tengah perlambatan ekonomi dan meningkatnya tekanan biaya hidup.

Peneliti dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Badiul Hadi, menyebut bahwa revisi PTKP mendesak untuk segera dilakukan. Menurutnya, PTKP yang tidak berubah sejak 2016 sudah tidak lagi mencerminkan realitas ekonomi masyarakat saat ini.

“Daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah, semakin tergerus. Rp 4,5 juta hari ini tidak lagi memiliki nilai yang sama seperti delapan tahun lalu,” ujar Badiul, Minggu (18/5/2025).

Badiul mengingatkan bahwa kelas menengah merupakan tulang punggung perekonomian nasional, baik sebagai tenaga kerja produktif maupun konsumen utama sektor barang dan jasa. Jika penghasilan mereka terus tergerus pajak tanpa penyesuaian yang adil, dampaknya bisa meluas ke berbagai sektor.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia menyusut drastis dalam lima tahun terakhir. Dari 57,33 juta orang pada 2019, turun menjadi hanya 47,85 juta pada 2024. Penurunan ini menjadi sinyal serius bahwa daya beli dan kualitas hidup masyarakat mengalami penurunan.

Ia menyarankan agar pemerintah tidak harus langsung menaikkan PTKP ke Rp 10 juta, namun bisa dilakukan secara bertahap—misalnya ke Rp 5 juta atau Rp 7 juta terlebih dahulu—sembari mengkaji dampak fiskalnya.

Namun ia menekankan, revisi PTKP tidak boleh menjadi langkah tunggal. “Kenaikan ini harus diiringi dengan reformasi perpajakan yang menyeluruh, termasuk memperluas basis pajak, meningkatkan kepatuhan dari kelompok atas dan korporasi, serta menata ulang insentif perpajakan agar lebih tepat sasaran,” paparnya.

Meskipun usulan ini dinilai mendesak, pemerintah tampak masih berhati-hati. Salah satu kekhawatiran adalah potensi berkurangnya penerimaan dari Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi, yang selama ini menjadi sumber utama pendanaan berbagai program prioritas pemerintah.

“Pemerintah mungkin masih mengandalkan penerimaan PPh untuk menopang belanja subsidi dan pembangunan infrastruktur. Itu sebabnya mereka belum memberikan sinyal jelas terhadap usulan ini,” kata Badiul.

Ia menegaskan bahwa kebijakan fiskal harus diarahkan tidak hanya untuk menjaga pendapatan negara, tetapi juga menjaga stabilitas ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, penyesuaian PTKP harus disinergikan dengan kebijakan lain, seperti perlindungan sosial dan dukungan bagi sektor produktif.

“Langkah ini bukan semata keringanan pajak, tetapi bagian dari strategi untuk menstimulasi konsumsi dan memperkuat fondasi ekonomi domestik,” katanya. (alf)

 

Tak Ada APBN-P 2025, DPR dan Pemerintah Sepakat Gunakan Fleksibilitas Anggaran

IKPI, Jakarta: Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, menegaskan bahwa pemerintah dan DPR telah mencapai kesepakatan bulat untuk tidak melakukan revisi terhadap postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Meski realisasi penerimaan pajak menunjukkan tanda-tanda kontraksi di awal tahun, perubahan postur anggaran dinilai belum diperlukan.

“Kita sudah memutuskan tidak ada APBN-P,” kata Misbakhun saat memberi keterangan kepada media di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (19/5/2025).

Menurutnya, fleksibilitas tetap terjaga berkat kewenangan yang dimiliki Presiden dalam menyesuaikan alokasi anggaran. Hal ini telah diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 62 Tahun 2024 tentang APBN 2025, yang memberikan ruang bagi kepala pemerintahan untuk mengatur ulang anggaran sesuai kebutuhan kementerian dan struktur kabinet baru.

“Presiden memiliki kewenangan untuk melakukan penyesuaian anggaran sesuai dengan kebutuhan kementerian dan lembaga, sejalan dengan struktur pemerintahan yang telah dibentuk,” jelasnya.

Misbakhun juga menilai bahwa tren penerimaan negara yang melambat di awal tahun bukanlah hal yang luar biasa. Ia menekankan bahwa pemerintah telah menyiapkan berbagai strategi untuk mengejar target penerimaan, terutama dari sektor perpajakan.

“Pemerintah punya instrumen dan langkah-langkah untuk memperkuat kinerja penerimaan negara. Ini hanya soal waktu dan strategi yang tepat,” ujar politisi dari Partai Golkar itu. (alf)

 

id_ID