Utang Indonesia Tembus Rp7.000 Triliun, Bank Indonesia Pastikan Masih Aman

IKPI, Jakarta: Bank Indonesia (BI) mencatat posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia mencapai US$431,5 miliar atau sekitar Rp7.039,4 triliun per April 2025. Angka ini mencerminkan pertumbuhan tahunan sebesar 8,2 persen (year-on-year), meningkat dibandingkan Maret lalu yang tumbuh 6,4 persen.

Kenaikan ULN ini terutama berasal dari sektor pemerintah, dengan nilai mencapai US$208,8 miliar atau naik 10,4 persen secara tahunan. BI menjelaskan bahwa pertumbuhan utang tersebut dipengaruhi oleh penarikan pinjaman luar negeri serta meningkatnya aliran dana asing ke pasar Surat Berharga Negara (SBN) domestik. Hal ini menjadi sinyal positif atas kepercayaan investor global terhadap stabilitas ekonomi Indonesia, meski pasar keuangan global tengah diliputi ketidakpastian.

Dari sisi pemanfaatannya, ULN pemerintah difokuskan untuk sektor-sektor strategis. Sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial menyerap 22,3 persen dari total utang pemerintah, disusul administrasi pemerintahan dan pertahanan (18,7 persen), jasa pendidikan (16,4 persen), konstruksi (12 persen), serta transportasi dan pergudangan (8,7 persen).

Sementara itu, ULN swasta tercatat sebesar US$194,8 miliar. Meski angkanya tetap besar, ULN swasta justru mengalami kontraksi 0,6 persen (yoy), melandai dari kontraksi 1 persen pada bulan sebelumnya.

Meski total utang meningkat, BI menegaskan posisi ULN Indonesia masih dalam kategori terkendali. Hal ini dikarenakan dominasi utang berjangka panjang. Tercatat, 99,9 persen dari total ULN pemerintah dan 76,9 persen dari ULN swasta merupakan utang jangka panjang, yang dinilai lebih aman bagi ketahanan eksternal negara.

BI memastikan akan terus memantau perkembangan ULN secara cermat guna menjaga stabilitas makroekonomi dan mendukung keberlanjutan pembiayaan pembangunan nasional. (alf)

 

 

Penerimaan PPN dan PPnBM Terkoreksi 19,6%, Restitusi Jadi Penyebab Utama

IKPI, Jakarta: Hingga April 2025, penerimaan neto dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) tercatat sebesar Rp175,7 triliun. Namun, capaian tersebut mengalami kontraksi tajam sebesar 19,6% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Padahal, pemerintah telah menaikkan tarif PPN menjadi 12%, meskipun terbatas untuk penyerahan barang mewah. Kebijakan ini semula diharapkan menjadi pendorong tambahan bagi penerimaan pajak konsumsi, namun realisasi di lapangan belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengakui bahwa dampak dari kenaikan tarif tersebut terhadap total penerimaan PPN dan PPnBM masih dalam tahap evaluasi lebih lanjut. Pihak otoritas fiskal berhati-hati dalam membaca tren karena sejumlah faktor eksternal mempengaruhi arus masuk pajak.

Pengamat perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, turut menanggapi kondisi ini. Ia menyebut bahwa kontribusi kenaikan tarif PPN 12% terhadap barang mewah hanya menyumbang sedikit terhadap penerimaan nasional.

“Simulasi kami menunjukkan potensi tambahan penerimaan hanya sekitar Rp1,7 triliun. Pemerintah memproyeksikan hingga Rp3 triliun, tapi angka itu tetap belum cukup besar secara proporsional,” ujar Fajry, dikutip Minggu (15/6/2025).

Fajry menjelaskan bahwa faktor utama penurunan penerimaan bukan terletak pada lesunya konsumsi, melainkan ledakan klaim restitusi pajak pada awal tahun. Menurutnya, tren peningkatan restitusi PPN telah terjadi dalam dua tahun terakhir.

“Kondisinya mirip dengan tahun lalu. Saat restitusi PPN melonjak di awal tahun, penerimaan neto ikut tertekan. Ini murni karena pajak masukan yang besar, utamanya dari pembelian bahan baku,” jelasnya.

Fenomena yang disebut front loading ini terjadi ketika pelaku usaha melakukan pembelian besar-besaran bahan baku sebelum tren kenaikan harga atau ketidakpastian ekonomi. Tahun ini, ketidakpastian dipicu oleh situasi global pasca-terpilihnya Donald Trump dan memanasnya geopolitik.

Ia juga menyoroti bagaimana pengelolaan kas negara mempengaruhi pola restitusi. Di akhir 2024, beban belanja pemerintah meningkat tajam karena Pemilu dan Pilkada. Untuk menjaga likuiditas, sebagian besar restitusi ditunda pembayarannya dan baru dicairkan di awal 2025.

Meski demikian, ia tetap optimistis kondisi akan membaik seiring berjalannya waktu. “Pertumbuhan restitusi secara tahunan sudah mulai melandai. Artinya, tekanan terhadap penerimaan neto PPN dan PPnBM mulai berkurang di bulan-bulan berikutnya,” kata Fajry. (alf)

 

 

Pemkot Malang akan Kembali Berlakukan Pajak Kos 

IKPI, Jakarta: Setelah setahun kehilangan potensi pendapatan hingga Rp 8 miliar per tahun akibat pembebasan pajak kos, Pemerintah Kota Malang mulai menggodok rencana untuk kembali mengenakan pajak atas bisnis kos-kosan. Langkah ini tengah dipertimbangkan seiring pesatnya pertumbuhan rumah kos (rukos) di kota tersebut.

Pajak kos resmi ditiadakan sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), yang menghapus kategori pajak kos dari daftar pungutan daerah. Namun, perkembangan signifikan sektor kos-kosan mendorong Pemkot Malang untuk mencari celah hukum agar pungutan bisa diberlakukan kembali.

“Dua tahun terakhir ini bisnis rukos berkembang pesat, terutama di kawasan Lowokwaru. Tren rukos menawarkan fasilitas lebih lengkap dan keleluasaan bagi penghuni karena biasanya tanpa pemilik tinggal serumah,” ungkap Kepala Dinas Naker-PMPTSP Kota Malang, Arif Tri Sastyawan, dikutip Senin (16/6/2025).

Melihat geliat sektor ini, Pemkot Malang berharap pemerintah pusat dapat memberikan keringanan atau opsi kebijakan agar pajak kos bisa kembali dipungut. Menurut Arif, tingginya pertumbuhan jumlah kos menjadikan sektor ini sumber pendapatan daerah yang layak dioptimalkan.

Sementara itu, DPRD Kota Malang melalui Komisi B menyatakan tengah membahas rencana ini bersama Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda). Anggota Komisi B, Indra Permana, menilai sudah saatnya ada revisi regulasi lokal untuk mengakomodasi potensi tersebut. “Sebagai kota pendidikan, Malang harus memiliki formulasi kebijakan yang adil namun tetap produktif,” katanya.

Namun, Kepala Bapenda Kota Malang, Handi Priyanto, menegaskan bahwa pihaknya tetap mengacu pada ketentuan UU HKPD. Ia menyebutkan, selama aturan pusat belum berubah, pihaknya belum bisa melakukan pungutan pajak atas kos-kosan.

“Kami masih patuh pada regulasi yang ada. Pajak kos sebelumnya masuk kategori pajak hotel, dengan kriteria lebih dari 10 kamar dan sistem sewa bulanan,” jelasnya.

Dengan potensi penerimaan miliaran rupiah dan kondisi riil di lapangan yang mendukung, wacana pemungutan kembali pajak kos di Kota Malang kini menjadi salah satu isu strategis dalam penyusunan ulang regulasi perpajakan daerah. (alf)

 

PKP Pedagang Eceran Kini Bisa Buat Faktur Pajak 

IKPI, Jakarta: Pemerintah memberi kemudahan bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) pedagang eceran dalam pembuatan faktur pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang memperoleh fasilitas perpajakan.

Berdasarkan Pasal 54 ayat (2) PER-11/PJ/2025, PKP pedagang eceran diperbolehkan membuat faktur pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2), khusus untuk transaksi yang mendapatkan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) tidak dipungut, dibebaskan, atau ditanggung pemerintah (DTP).

Dalam regulasi tersebut juga ditegaskan bahwa faktur pajak jenis ini dapat dilengkapi keterangan mengenai fasilitas yang diberikan, termasuk dasar hukum perpajakan yang mendasarinya. Artinya, transparansi informasi tetap dijaga meskipun format faktur disederhanakan.

Menariknya, PKP pedagang eceran tidak wajib mencantumkan identitas pembeli atau penerima jasa, serta tanda tangan pihak yang berwenang, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 huruf b dan g. Ketentuan ini berlaku khusus untuk penyerahan kepada konsumen akhir, di mana identitas pembeli cenderung tidak relevan untuk keperluan administratif perpajakan.

Meski bersifat ringkas, faktur pajak tersebut tetap harus memuat unsur minimum, yakni nama, alamat, dan NPWP pihak yang menyerahkan BKP atau JKP, jenis dan jumlah barang atau jasa, nilai transaksi, besaran PPN atau PPnBM yang dipungut, serta kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan faktur.

Nama dan alamat pelaku usaha harus sesuai dengan data yang terdaftar dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Selain itu, alamat kegiatan usaha juga dapat dicantumkan jika berbeda dengan alamat pengukuhan PKP.

Kemudahan ini diharapkan mampu meningkatkan kepatuhan PKP eceran dalam pelaporan pajak serta memperlancar administrasi fiskal, khususnya pada transaksi retail yang berfrekuensi tinggi namun nilainya relatif kecil. (alf)

 

Anggota Berperan Aktif Dalam Memilih Logo HUT ke-60

IKPI, Jakarta: Dalam rangka menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) ke-60, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) mengajak seluruh anggotanya untuk turut berpartisipasi dalam proses pemilihan logo resmi perayaan tersebut. Voting terbuka hingga 17 Juni 2025 pukul 23.59 WIB dan dilakukan secara online melalui tautan resmi panitia.

Ketua Panitia HUT, Nuryadin Rahman, menyampaikan pentingnya partisipasi anggota dalam menentukan simbol visual yang akan merepresentasikan perjalanan panjang organisasi. “Partisipasi Bapak/Ibu sangat berarti bagi kesuksesan acara ini,” ujarnya dalam pengumuman resmi kepada seluruh anggota, Senin (16/6/2025).

Anggota diberi kesempatan untuk memilih hingga lima desain logo terbaik dari sejumlah karya yang telah dipilih. Setiap desain dapat dinilai dengan skala 1 sampai 5, di mana 1 berarti tidak menarik dan 5 berarti sangat menarik.

Namun, satu orang hanya dapat melakukan voting satu kali, dan jika memilih lebih dari lima desain, maka hanya lima pilihan pertama yang akan dihitung.

Lima desain dengan suara terbanyak akan masuk ke tahap penilaian akhir oleh dewan juri. Logo pemenang akan ditetapkan oleh juri secara final dan tidak dapat diganggu gugat.

Voting dapat dilakukan melalui tautan berikut: https://bit.ly/VotingLogo_HUTIKPI60

IKPI berharap partisipasi aktif dari seluruh anggota demi memilih logo terbaik yang akan menjadi wajah perayaan 60 tahun kontribusi organisasi di bidang perpajakan nasional. (bl)

IKPI Siap Sukseskan AOTCA International Conference 2025 di Nepal

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menyatakan kesiapan penuh untuk berpartisipasi aktif dalam AOTCA International Tax Conference 2025 yang akan diselenggarakan di Kathmandu, Nepal pada 18–21 November 2025. Konferensi internasional ini mengangkat tema “The Evolution of Taxation Laws in Developing Countries and the Role of Tax Professionals.”

Pernyataan kesiapan tersebut disampaikan oleh Ketua Departemen Hubungan Internasional IKPI, Tjhai Fung Njit.

Ia menegaskan bahwa IKPI akan mengambil peran aktif dalam konferensi, baik sebagai peserta maupun kontributor dalam berbagai forum diskusi dan sesi presentasi. Keterlibatan ini dinilai sebagai langkah strategis dalam upaya meningkatkan kiprah organisasi di tingkat internasional.

“Partisipasi dalam Asia-Oceania Tax Consultants’ Association (AOTCA) 2025 merupakan wujud komitmen IKPI untuk tampil sebagai organisasi konsultan pajak yang adaptif terhadap perubahan global serta terbuka terhadap kolaborasi lintas negara,” ujar Tjhai Fung Njit.

Sebagai anggota aktif AOTCA, IKPI memandang konferensi ini sebagai ajang penting untuk:

  • Meningkatkan eksistensi IKPI di kancah internasional
  • Membangun jejaring global bagi para anggota
  • Mengadopsi praktik terbaik dalam tata kelola perpajakan
  • Mendorong transformasi IKPI menjadi organisasi konsultan pajak kelas dunia
  • Konferensi ini juga akan mengangkat isu-isu krusial seputar perpajakan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Terdapat lima topik utama yang akan dibahas dalam konferensi tersebut, yaitu:

1. Sejarah Evolusi Sistem Perpajakan di Negara Berkembang, yang akan menyoroti transformasi hukum pajak dari masa ke masa, serta dampaknya terhadap pembangunan ekonomi dan pembentukan negara.

2. Tantangan Implementasi Kebijakan Pajak di Negara Berkembang, terkait isu-isu seperti penghindaran pajak, sektor informal yang besar, kapasitas administrasi yang terbatas, dan intervensi politik.

3. Peran dan Cakupan Konsultan Pajak dalam Kepatuhan Pajak Global, yang meliputi peran konsultan pajak dalam membantu pelaku bisnis memenuhi kewajiban lintas negara, seperti BEPS, CRS, dan FATCA, dll

4. Peluang dan Tantangan Transformasi Digital dalam Administrasi Pajak, terkait penggunaan teknologi seperti e-filing, blockchain, dan analitik data dalam meningkatkan efisiensi dan transparansi sistem pajak.

5. Tanggung Jawab Etis dan Profesionalisme Konsultan Pajak di Negara Berkembang, yang menggali tantangan etika, keseimbangan antara kepentingan klien dan tanggung jawab sosial, tax planning serta peran konsultan pajak dalam mendorong keadilan pajak.

IKPI mendorong seluruh anggotanya untuk ikut serta dalam konferensi ini sebagai bagian dari upaya penguatan kapasitas individu dan kolektif.

Menurut Tjhai Fung Njit, AOTCA 2025 tidak hanya menjadi ajang pembelajaran, tetapi juga panggung penting untuk menunjukkan kualitas profesional konsultan pajak Indonesia di mata dunia.

“Kami ingin mendorong partisipasi aktif anggota dalam sesi-sesi yang bersifat substantif, sehingga mereka dapat membawa pulang pengetahuan baru, memperluas perspektif, dan menjalin kerja sama internasional yang saling menguntungkan,” tuturnya.

Lebih lanjut, IKPI menilai forum internasional seperti AOTCA Conference memiliki dampak positif terhadap pembaruan wawasan dan praktik konsultan pajak nasional dalam menghadapi perubahan regulasi global yang semakin kompleks.

“Ini adalah kesempatan emas untuk memperkuat posisi Indonesia dalam komunitas perpajakan internasional, sekaligus mempertegas peran IKPI sebagai organisasi profesi yang mampu menjawab tantangan zaman,” ujarnya. (bl)

Apindo Soroti Kegentingan Fiskal, Tax Amnesty Diklaim Bisa Jadi Terobosan

IKPI, Jakarta: Ketua Komite Tetap Perpajakan Apindo, Ajib Hamdani, menegaskan bahwa Indonesia tengah menghadapi tekanan fiskal yang tidak bisa diatasi dengan kebijakan rutin. Dalam diskusi panel yang diselenggarakan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) bertajuk “Tax Amnesty: Efektifkah Mengakselerasi dan Mendongkrak Penerimaan Pajak?” di Jakarta, Jumat (13/6), ia menyatakan perlunya langkah luar biasa seperti Tax Amnesty Jilid III sebagai solusi konkret.

Ajib menyoroti bahwa target penerimaan pajak tahun 2025 sebesar Rp2.180 triliun meningkat lebih dari 13% dibandingkan realisasi tahun sebelumnya. Namun, capaian kuartal I baru menyentuh 14,7% dari target tahunan jauh di bawah ambang ideal 20%.

Jika tren ini terus berlanjut tanpa kebijakan strategis, Ajib memperkirakan potensi shortfall bisa mencapai Rp130 triliun di akhir tahun. “Kalau hanya mengandalkan pertumbuhan ekonomi 5,2% dan inflasi 2,5%, target itu sulit dicapai. Harus ada terobosan,” ujarnya.

Empat Tekanan Fiskal

Ajib memetakan empat tantangan utama yang membuat situasi fiskal semakin mendesak:

• Pertumbuhan ekonomi yang melambat (hanya 4,87% pada kuartal I-2025).

• Grey economy yang belum terjangkau sistem perpajakan, berpotensi hilangnya ratusan triliun rupiah.

• Beban utang jatuh tempo sebesar Rp800 triliun pada tahun ini.

• Implementasi sistem Cortex yang belum optimal, memicu gangguan cash flow pengusaha.

Ia juga menyinggung banyaknya Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) dan pemeriksaan yang membuat pelaku usaha berada dalam tekanan administrasi, di tengah sistem pelaporan pajak yang belum stabil.

Selain itu, dalam pandangan Ajib, Tax Amnesty Jilid III layak dipertimbangkan sebagai langkah strategis. Ia mengacu pada keberhasilan dua program sebelumnya yang berhasil menghimpun penerimaan total sekitar Rp184 triliun dan memperluas basis pajak nasional.

“Kalau dilakukan dengan tata kelola yang baik, tax amnesty bisa menjadi solusi yang adil dan inklusif, tanpa merugikan wajib pajak yang patuh,” tegasnya.

Ajib menekankan pentingnya mempercepat pembentukan otoritas penerimaan negara untuk menyatukan fungsi perpajakan dan bea cukai secara lebih efisien. Ia juga mendorong insentif fiskal bagi sektor-sektor strategis seperti properti, melalui skema REIT yang lebih fleksibel.

“Fungsi pajak bukan hanya mengejar target, tapi juga mengatur arah ekonomi. Kalau ekonomi tumbuh, penerimaan akan ikut naik,” ujarnya.(bl)

Skema Pemungutan PPN, Berdasarkan Pasal 4(1) atau Pasal 16D UU PPN

Adanya koreksi DPP atas penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri dari fiskus atas penyerahan BKP sering menjadi perdebatan apakah menggunakan dasar hukum Pasal 4 (1) UU PPN atau Pasal 16D UU PPN

Perlu diteliti terlebih dahulu apakah BKP dihasilkan atau diperoleh dengan maksud :

• dijual (kembali)…dikenakan PPN berdasarkan Pasal 4(1)huruf a UU PPN

• tidak ada tujuan untuk menjual namun karena kondisi tertentu (usang, rusak, tidak terpakai lagi, dll) yang menyebabkan PKP akhirnya menjual BKP tersebut…dikenakan PPN berdasarkan Pasal 16D UU PPN

Penggunaan Dasar Hukum Pasal 4(1) UU PPN

Penjelasan Pasal 4 ayat (1 ) huruf a dan huruf c UU PPN, penyerahan BKP/JKP yang terutang PPN harus memenuhi syarat antara lain penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya;

Secara gramatikal, frasa: ‘dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya’ mengandung makna bahwa penyerahan tersebut merupakan kegiatan usaha sesuai dengan proses bisnis usahanya, baik sebagai produk kegiatan usaha utama (core business) maupun produk usaha sampingan;

Hal ini sudah sejalan dengan netralitas PPN bahwa pemungutan PPN tidak menyebabkan distorsi timbulmya perbedaan BKP berupa produk utama atau sampingan; sejalan dengan norma dalam Pasal 8 ayat (4) PP No. 44 Tahun 2022, bahwa penyerahan terutang PPN berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf a merupakan seluruh penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang diserahkan baik dalam aktivitas operasional maupun aktivitas nonoperasional;

Penggunanaan Dasar Hukum Pasal 16D UU PPN

PPN dikenakan atas penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c UU PPN;

Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha yang terutang PPN dan perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan, walaupun kemudian huruf c sudah dihapuskan di UU HPP.

Pemungutan PPN berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU PPN, yaitu penyerahan BKP yang semula memang untuk diperjualbelikan sesuai dengan proses bisnis usahanya, sedangkan pengenaan PPN berdasarkan Pasal 16D UU PPN atas penyerahan BKP yang semula tidak untuk diperjualbelikan, di mana tidak ada tujuan atau maksud awal saat perolehan untuk menjual (kembali) BKP

Pemungutan PPN berdasarkan Pasal 16D UU PPN adalah untuk menetralisasi Pajak Masukan yang telah dikreditkan,tujuan awal perolehan BKP a quo untuk menghasilkan penyerahan yang terutang PPN sehingga dapat mengkreditkan Pajak Masukannya. Ketika BKP ternyata dijual, sesuai dengan prinsip pengkreditan Pajak Masukan atas Pajak Keluaran dalam pemungutan PPN, harus terdapat Pajak Keluaran atas penjualan BKP a quo karena Pengusaha Kena Pajak telah mengkreditkan Pajak Masukannya;

Apabila PKP menghasilkan produk sampingan yang dari awal sudah direncanakan akan dijual, dianggap masih mempunyai nilai ekonomis dan tidak ada niat untuk disimpan sebagai aset, sehingga telah menjadi proses bisnis, ini dapat diartikan produk tersebut memang ditujukan untuk dijual kembali yang terutang Pasal 4(1) huruf a UU PPN.

Sebaliknya apabila atas produk yang sedari awal tidak direncanakan akan dijual yang disimpan sebagai aset, bukan bagian dari proses bisnis dikategorikan sebagai aktiva yang tidak semula untuk diperjual belikan yang terutang Pasal 16D UU PPN.

Penulis adalah anggota Departemen Keanggotaan dan Pembinaan IKPI

Eddy Christian, SE., M.Ak., BKP

Email : eddychris1090@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

IKPI Ingatkan Tax Amnesty Jangan Jadi Agenda Politik, Perlu Jeda Waktu Ideal

IKPI, Jakarta: Rencana pemerintah menggulirkan Tax Amnesty Jilid III menuai tanggapan serius dari kalangan profesional pajak. Ketua Departemen Keanggotaan dan Etika Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Robert Hutapea, mengingatkan pentingnya mempertimbangkan waktu yang tepat sebelum kebijakan pengampunan pajak kembali diluncurkan.

Menurut Robert, keberhasilan program tax amnesty sangat dipengaruhi oleh jarak waktu antara satu program dengan program berikutnya. “Kalau waktunya terlalu dekat dengan amnesti sebelumnya, hasilnya cenderung tidak optimal. Tapi kalau diberi jeda 10 sampai 15 tahun, dampaknya bisa jauh lebih positif, baik dari sisi penerimaan maupun kepatuhan wajib pajak,” kata Robert di sela penyelenggaraan diskusi panel “Tax Amnesty: Efektifkah Mengakselerasi dan Mendongkrak Penerimaan Pajak” di Gedung IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, Jumat (13/6/2025).

Ia mengacu pada pengalaman global dan literatur yang menunjukkan bahwa jarak waktu yang panjang memberi ruang bagi sistem perpajakan untuk berkembang dan membangun kepercayaan publik. Menurutnya, jika terlalu sering diberlakukan, tax amnesty justru berisiko menurunkan moral wajib pajak yang selama ini patuh.

“Jangan sampai wajib pajak yang sudah patuh merasa dikhianati karena pemerintah kembali memberi karpet merah bagi yang tidak patuh,” tegas Robert.

Selain aspek waktu, ia juga menekankan bahwa tujuan dari tax amnesty seharusnya untuk memperbaiki sistem administrasi perpajakan, bukan sekadar menjadi proyek politik sesaat. “Kalau administrasi perpajakan kita sudah baik, data lengkap, dan sistem sudah terintegrasi, kenapa harus mengulang lagi? Jangan sampai ini hanya jadi produk politik atau pencitraan menjelang masa jabatan tertentu,” ujarnya.

Robert juga menyarankan agar rencana ini dikaji secara akademik dan menyeluruh, termasuk melihat tingkat kepatuhan saat ini dan efektivitas sistem pemungutan pajak yang sudah berjalan. Ia menilai, jika semua ekosistem perpajakan sudah tertata, maka urgensi tax amnesty perlu dipertanyakan.

“Kalau pun mau dilakukan, pastikan ini bukan karena alasan politik. Tapi karena memang sudah melalui analisis akademik yang matang, dengan mempertimbangkan waktu yang tepat dan kondisi wajib pajak yang benar-benar membutuhkan solusi,” tutupnya. (bl)

Sah! Kota Malang Pungut Pajak 10% untuk  Usaha Beromzet Rp15 Juta 

IKPI, Jakarta: DPRD Kota Malang akhirnya mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menetapkan usaha dengan omzet minimal Rp15 juta per bulan akan dikenakan pajak sebesar 10 persen. Keputusan ini diambil dalam rapat paripurna yang sempat berlangsung panas dan bahkan diskors selama 15 menit akibat perdebatan tajam antar fraksi.

Salah satu penolakan datang dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang menganggap batasan omzet Rp15 juta terlalu rendah dan dapat memberatkan pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Anggota DPRD dari Fraksi PKB, Arif Wahyudi, menilai seharusnya batas minimum omzet yang dikenai pajak dinaikkan menjadi Rp25 juta per bulan.

“Rp15 juta itu kecil bagi pelaku usaha kecil. Kita dari PKB mengusulkan batasan Rp25 juta agar tidak membebani UMKM,” tegas Arif di sela sidang paripurna.

Namun, usulan PKB tersebut tidak diakomodasi dalam keputusan akhir. DPRD bersama Pemerintah Kota Malang tetap bersikukuh pada angka Rp15 juta, sebagaimana telah dirumuskan oleh Panitia Khusus (Pansus) Raperda.

Arif juga menyoroti ketidakhadiran klausul perlindungan terhadap pedagang kaki lima (PKL) dalam draf perda tersebut. “Tidak ada satu kata pun yang menyebutkan PKL atau usaha tenda bongkar-pasang. Padahal mereka sangat rentan,” ujarnya dengan nada kecewa.

Sementara itu, Ketua DPRD Kota Malang, Amithya Ratnanggani Sirraduhita, menilai ketetapan omzet minimal sebesar Rp15 juta justru sudah merupakan bentuk kompromi. “Dari awalnya Rp5 juta menjadi Rp15 juta itu sudah hasil dari proses evaluasi. Soal teknis pelaksanaan, kita kawal lewat Perwali nantinya,” kata Amithya.

Ia menambahkan bahwa saat ini fokus utama adalah pada penetapan standar omzet. Mengenai jenis usaha yang terdampak, termasuk PKL dan restoran, masih akan dikaji lebih lanjut melalui regulasi pelaksana.

Di pihak eksekutif, Wakil Wali Kota Malang Ali Muthohirin menyampaikan bahwa keberadaan PKL dalam skema pajak ini masih akan dibahas lebih detail. Ia membuka kemungkinan adanya perda tambahan atau ketentuan khusus dalam Peraturan Wali Kota (Perwali) sebagai bentuk perlindungan bagi sektor usaha informal tersebut.

“Soal PKL akan menjadi perhatian. Bisa saja ada Perwali yang mengatur lebih rinci agar mereka tidak dirugikan,” ujar Ali.

Dengan pengesahan perda ini, pelaku usaha di Kota Malang diimbau bersiap menghadapi penerapan pajak 10% yang akan diberlakukan dalam waktu dekat. Pemerintah kota pun berjanji akan terus melakukan sosialisasi dan pendampingan agar kebijakan ini tidak menjadi beban yang menyulitkan pelaku usaha kecil. (alf)

 

 

id_ID