BI Revisi Turun Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi 2025 jadi 4,6% hingga 5,4%

IKPI, Jakarta: Bank Indonesia (BI) menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional untuk tahun 2025. Dalam konferensi pers yang digelar Kamis (21/5/2025), Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan bahwa proyeksi terbaru kini berada pada kisaran 4,6% hingga 5,4%, lebih rendah dari perkiraan sebelumnya yang berada di rentang 4,7% hingga 5,5%.

Penyesuaian ini dilakukan setelah melihat data pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2025 yang hanya mencapai 4,87%, lebih rendah dibandingkan kuartal IV-2024 yang mencatat angka 5,02%. Perry menilai dinamika global, termasuk ketidakpastian akibat negosiasi tarif impor Amerika Serikat, menjadi tantangan yang harus diantisipasi.

“Perkembangan indikator ekonomi di kuartal II-2025 menunjukkan pentingnya memperkuat upaya untuk mendorong aktivitas ekonomi domestik,” ujar Perry dalam konferensi pengumuman BI Rate di Jakarta.

Ia menyampaikan bahwa pemulihan diprediksi akan mulai menguat pada paruh kedua 2025, seiring dengan meningkatnya permintaan dalam negeri dan belanja pemerintah. Namun, untuk mengakselerasi pertumbuhan tersebut, Perry menekankan perlunya sinergi lintas sektor.

“Kebijakan harus diperkuat, mulai dari peningkatan konsumsi domestik hingga pemanfaatan peluang ekspor. Dalam hal ini, bauran kebijakan moneter dan makroprudensial BI akan didukung oleh digitalisasi sistem pembayaran, stimulus fiskal pemerintah, serta program prioritas nasional seperti Asta Cita,” jelasnya.

Dengan kondisi global yang masih dibayangi ketidakpastian, BI menegaskan pentingnya konsistensi dan kolaborasi dalam menjaga momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2025. (alf)

 

 

 

 

Tegas! Prabowo Perintahkan Bimo Wijayanto Jadikan Sistem Pajak Lebih Akuntabel dan Independen

IKPI, Jakarta: Presiden Prabowo Subianto memberikan sinyal tegas bahwa reformasi perpajakan akan menjadi prioritas utama pemerintahannya. Dalam pertemuan tertutup di Istana Negara, Selasa (20/5/2025), Prabowo memanggil dua sosok kunci: Bimo Wijayanto dan Letjen Djaka Budi Utama, yang disebut-sebut bakal menempati posisi strategis sebagai Dirjen Pajak dan Dirjen Bea Cukai.

Pertemuan yang berlangsung selama tiga jam itu berisi arahan langsung dari Presiden. Usai pertemuan, hanya Bimo yang menemui awak media, membagikan pesan penting dari Prabowo.

“Bapak Presiden menegaskan agar sistem perpajakan ke depan lebih akuntabel, lebih berintegritas, dan lebih independen. Tujuannya jelas mengamankan pendanaan program-program strategis nasional,” kata Bimo.

Meski belum mengonfirmasi secara resmi penunjukannya sebagai Direktur Jenderal Pajak, Bimo menyiratkan bahwa ia sedang bersiap untuk tanggung jawab besar itu. Salah satu langkah awalnya adalah mempercepat perbaikan sistem Coretax yang hingga kini masih menyimpan banyak persoalan.

“Masih ada 18 isu teknis dalam Coretax yang harus segera kami benahi. Tiga sudah selesai, dan sisanya kami target rampung dalam tiga bulan,” ungkapnya.

Masalah pada Coretax bukan hal sepele. Sistem ini sempat mengganggu arus likuiditas pelaku usaha karena hambatan dalam penerbitan faktur pajak. Menurut data Apindo, sebelum Coretax, sistem e-faktur bisa menerbitkan hingga 60 juta faktur per bulan. Namun setelah Coretax diberlakukan, angka itu anjlok menjadi hanya 30–40 juta.

Ajib Hamdani dari Apindo menyebut kondisi ini telah memperlambat aktivitas ekonomi nasional. “Cash flow pengusaha terganggu karena penerbitan invoice tersendat. Ini membuat perputaran ekonomi melambat di kuartal pertama 2025,” jelasnya.

Di sisi lain, kinerja penerimaan pajak juga masih jauh dari target. Hingga akhir Maret 2025, total penerimaan baru mencapai Rp 322,6 triliun atau 14,7% dari target tahunan. Hal ini turut dipengaruhi implementasi kebijakan Tarif Efektif Rata-Rata (TER) untuk PPh 21 sejak Januari 2024, yang disebut masih menyisakan tantangan adaptasi.

Dengan sorotan yang tajam dari Presiden, reformasi di tubuh Direktorat Jenderal Pajak tampaknya tak lagi bisa ditunda. Jika resmi menjabat, Bimo diharapkan mampu menghadirkan transformasi yang membawa sistem pajak Indonesia menuju era baru: transparan, tangguh, dan berwibawa. (alf)

 

 

Ketua Umum IKPI: Dirjen Pajak Baru Hadapi Tantangan Berat namun Punya Bekal Strategis

IKPI, Jakarta: Isu pergantian Direktur Jenderal Pajak di Kementerian Keuangan semakin menguat, dengan nama Bimo Wijayanto disebut-sebut sebagai kandidat kuat pengganti Suryo Utomo. Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, menilai jika pergantian itu benar terjadi, maka tantangan yang menanti Dirjen Pajak baru sangat kompleks dan strategis.

“Kalau benar Pak Bimo yang akan menjabat, tantangan beliau berbeda dari Pak Suryo. Ini bukan hanya melanjutkan capaian, tapi juga membuktikan mampu menghadapi tantangan baru,” ujar Vaudy, Rabu (21/5/2025).

Ia menyebut setidaknya ada empat tantangan besar yang akan langsung dihadapi oleh Dirjen Pajak baru:

1. Implementasi Penuh Core Tax Administration System (CTAS)

“Core Tax atau Korteks harus segera diimplementasikan secara penuh. Harapan publik tinggi dan layanan pajak harus optimal,” jelasnya.

2. Mempertahankan Target Penerimaan Pajak

Di bawah kepemimpinan Suryo Utomo, penerimaan pajak tercapai selama empat tahun berturut-turut. Menurut Vaudy, hal ini menciptakan ekspektasi tinggi terhadap penerusnya.

3. Peningkatan Tax Ratio ke 15% PDB

Target peningkatan rasio pajak menjadi 15% dari Produk Domestik Bruto dipandang cukup ambisius. “Ini bukan tugas DJP saja, tapi DJP tetap akan jadi sorotan utama,” tambahnya.

4. Pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN)

Isu pembentukan BPN kembali mengemuka sejak awal masa pemerintahan Presiden Prabowo. “Sinkronisasi peran DJP dalam transisi menuju BPN akan jadi ujian tersendiri,” kata Vaudy.

Vaudy mengakui bahwa Bimo Wijayanto memiliki latar belakang kuat di bidang perpajakan. Pernah menjabat di Direktorat Jenderal Pajak pada 2003–2010, serta berperan dalam lahirnya UU Pengampunan Pajak dan UU Akses Informasi Keuangan.

“Pengalaman beliau di Kantor Staf Presiden dan Kemenkomarves memperlihatkan kemampuannya di level strategis. Namun, tantangannya kini lebih berat, karena seluruh mata publik akan menilai apakah reformasi perpajakan benar-benar berlanjut,” ujarnya.

IKPI juga menyoroti perlunya kesetaraan regulasi bagi kuasa wajib pajak. “Jalur kuasa wajib pajak non-konsultan tidak diatur, padahal dalam UU HPP dan PPSK posisi konsultan pajak sangat jelas sebagai profesi penunjang sektor keuangan. Ini harus segera ditata agar ada level playing field,” tegas Vaudy.

Ia juga berharap pembahasan RUU Pengampunan Pajak yang sudah masuk Prolegnas Prioritas bisa diselesaikan dengan matang di bawah kepemimpinan Dirjen Pajak yang baru. “RUU ini harus selesai tahun ini, dan tentu akan jadi PR besar yang harus diantar oleh Dirjen Pajak berikutnya,” ujarnya. (bl)

Bimo Wijayanto, Teknokrat Reformis yang Disiapkan Prabowo Pimpin Direktorat Jenderal Pajak

IKPI, Jakarta: Di tengah dinamika politik dan ekonomi nasional, satu nama mencuat sebagai calon pemimpin baru Direktorat Jenderal Pajak: Bimo Wijayanto. Figur teknokrat muda yang dikenal cerdas, bersih, dan strategis ini dikabarkan telah mendapat restu dari Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk mengemban jabatan Dirjen Pajak periode mendatang.

Bimo bukan sosok baru di lingkaran pengambil kebijakan. Lahir di Ngada, Nusa Tenggara Timur, 5 Juli 1977, ia tumbuh sebagai anak bangsa yang menapaki karier dari bawah, bermodal disiplin dan kecintaan terhadap ilmu. Alumni SMA Taruna Nusantara ini melanjutkan studinya di Universitas Gadjah Mada jurusan Akuntansi sebelum meraih gelar MBA di University of Queensland, Australia, dan menyelesaikan program doktoral di University of Canberra.

Namanya mulai diperhitungkan saat menerima Hadi Soesastro Australia Award pada 2014 sebuah penghargaan prestisius bagi peneliti muda dengan kontribusi besar di bidang reformasi kebijakan ekonomi dan perpajakan. Tidak hanya akademisi, Bimo dikenal sebagai eksekutor kebijakan.

Ia pernah menjabat sebagai tenaga ahli di Kantor Staf Presiden, lalu menduduki posisi strategis di Kemenko Maritim dan Investasi, dan kini sebagai Sekretaris Deputi Bidang Investasi di Kemenko Perekonomian.

Dalam bidang perpajakan, Bimo memiliki rekam jejak panjang. Ia pernah bertugas sebagai analis senior di Direktorat Jenderal Pajak dan terlibat dalam desain awal sistem digitalisasi perpajakan. Visi Bimo tentang pajak bukan hanya soal mengejar penerimaan, tetapi membangun kepercayaan publik lewat transparansi dan kemudahan.

Tak hanya itu, laporan LHKPN 2021 menunjukkan Bimo sebagai pejabat yang hidup sederhana dengan total kekayaan sekitar Rp6,6 miliar angka yang relatif rendah dibanding banyak pejabat negara. Ini menjadi catatan positif di tengah upaya membangun integritas dan kepercayaan publik terhadap DJP.

Restu dari Presiden Prabowo kepada Bimo menjadi sinyal bahwa pemerintahan baru ingin menempatkan sosok profesional dan bebas kepentingan politik untuk memimpin lembaga vital ini. Dalam beberapa kesempatan, Bimo menegaskan bahwa pajak harus menjadi alat pembangunan, bukan sekadar alat pemaksaan.

Jika resmi diangkat, Bimo Wijayanto akan menjadi Dirjen Pajak dengan latar belakang akademik dan reformis yang kuat, sekaligus harapan baru dalam membangun sistem perpajakan yang adil, modern, dan dipercaya rakyat. (bl)

Penerimaan Pajak Merosot, Sri Mulyani Optimistis APBN 2025 Tetap Jadi Penyangga Ekonomi

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan melaporkan bahwa realisasi penerimaan pajak hingga 30 April 2025 mencapai Rp557,1 triliun. Angka tersebut mencatat penurunan 10,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yang mencapai Rp624,2 triliun. Meski begitu, capaian ini menunjukkan tren pemulihan dibandingkan realisasi Maret 2025 yang hanya sebesar Rp322,6 triliun.

Dengan capaian tersebut, penerimaan pajak baru mencapai 25,4% dari target tahun ini yang dipatok dalam APBN sebesar Rp2.189,3 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam paparannya menyebutkan bahwa total pendapatan negara hingga akhir April 2025 adalah Rp810,5 triliun, turun 12,4% secara tahunan dari Rp925,2 triliun tahun sebelumnya.

“Penerimaan negara, khususnya dari sektor perpajakan, memang mengalami tekanan. Namun, kita tetap melihat adanya sinyal pemulihan ekonomi yang mulai menguat,” ungkap Sri Mulyani dalam rapat paripurna DPR, Rabu (21/5/2025).

Secara lebih rinci, penerimaan perpajakan tercatat sebesar Rp657 triliun termasuk di dalamnya penerimaan pajak sebesar Rp557,1 triliun dan kepabeanan serta cukai sebesar Rp100 triliun. Menariknya, sektor kepabeanan dan cukai justru tumbuh 4,4% dibandingkan tahun lalu yang sebesar Rp95,7 triliun.

Sementara itu, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mengalami penurunan tajam sebesar 24,7% menjadi Rp153,3 triliun, dibandingkan dengan Rp203,6 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Dari sisi pengeluaran, belanja negara hingga April 2025 mencapai Rp806,2 triliun terkontraksi 5,1% secara tahunan. Angka ini terdiri atas belanja pemerintah pusat sebesar Rp546,8 triliun, turun 7,6%, dan transfer ke daerah sebesar Rp259,4 triliun yang tumbuh tipis 0,7%.

Kendati demikian, APBN 2025 mencatatkan kejutan positif. Setelah tiga bulan berturut-turut defisit, kini APBN mencatatkan surplus sebesar Rp4,3 triliun per April. Bahkan, keseimbangan primer mencatatkan surplus Rp173,9 triliun, dan posisi kas negara menguat dengan SILPA sebesar Rp283,6 triliun.

“Ini menandakan APBN tetap menjadi instrumen yang efektif sebagai shock absorber. Ia menjaga stabilitas ekonomi, melindungi rakyat, dan mendukung dunia usaha dalam menghadapi tekanan global,” tegas Sri Mulyani.

Kinerja APBN yang menunjukkan ketahanan fiskal di tengah tekanan global ini menjadi sinyal positif bahwa pemerintah masih memiliki ruang gerak untuk menjalankan program prioritas nasional tanpa mengorbankan stabilitas makroekonomi. (alf)

 

Strategi Penagihan Pajak Daerah Menjadi Penghambat Pertumbuhan Ekonomi

Beberapa waktu lalu, klien saya melakukan pembelian sebuah Bangunan melalui laman yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) atas Bangunan sitaan salah satu Bank di Jakarta. Pada saat proses pelelangan tersebut menimbulkan hak dan kewajiban perpajakan yang harus diselesaikan masing-masing pihak, antara lain Pajak Penjualan (PPh Final 2,5%) yang harus dilunasi oleh Penjual dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB 5%) yang harus dilunasi oleh Pembeli.

Namun, kewajiban BPHTB yang hendak dilunasi oleh Pembeli terhambat oleh salah satu syarat yaitu atas tunggakan yang belum dibayar selama lima tahun terakhir atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang merupakan kewajiban dari yang memanfaatkan dan/atau menguasai bangunan tersebut pada saat terutang.

Hambatan tersebut tertuang dalam Pasal 3 Ayat (1) Peraturan Gubernur (Per-Gub) Provinsi DKI Jakarta No. 34 Tahun 2022 yang menyatakan sebagai berikut:
“Wajib Pajak atau Kuasa Wajib Pajak yang sudah melunasi ketetapan PBB-P2 atas objek perolehan untuk 5 (tahun) pajak terakhir membuat akun pajak online dan melakukan pengisian data SSPD BPHTB secara elektronik, dst…”

Sementara dalam Pasal 2 Per-Gub yang sama juga disebutkan:
“Wajib Pajak wajib membayar dan melaporkan sendiri BPHTB yang terutang melalui sistem e-BPHTB”.

Dua pasal ini menimbulkan kontradiksi: Siapa yang seharusnya dianggap sebagai Wajib Pajak dalam konteks pelunasan tunggakan PBB? Penjual sebagai pihak yang sebelumnya menguasai aset, atau Pembeli yang akan mencatat perolehan hak?
Definisi dalam Pasal 1 Angka 1 Per-Gub menegaskan bahwa Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang memiliki hak dan kewajiban sesuai peraturan perpajakan.

Maka jelas, dalam konteks BPHTB, Pembeli adalah Wajib Pajak. Namun dalam konteks pelunasan PBB lima tahun ke belakang, seharusnya yang bertanggung jawab adalah Penjual. Inilah yang menunjukkan bagaimana strategi penagihan pajak daerah, khususnya lewat syarat administratif yang tidak fleksibel, justru dapat menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi.

Pembeli yang telah siap menginvestasikan dana dan mengaktifkan kembali aset yang dibeli nya, terkendala karena harus menanggung kewajiban yang bukan menjadi tanggung jawabnya.

Dampaknya? Aset tidak dapat segera dimanfaatkan. Jika bangunan tersebut hendak dijadikan hotel, maka hilanglah kesempatan untuk menyerap tenaga kerja lokal, menghasilkan Pajak Hotel 10%, Pajak Restoran 10%, PPh pusat 22%, PPh Pasal 21 atas penghasilan karyawan, dan berbagai retribusi lainnya. Potensi Pendapatan Asli Daerah pun melayang.

Pemerintah daerah perlu menyadari bahwa penagihan pajak seharusnya tidak mematikan potensi ekonomi. Ketika peraturan daerah justru menempatkan investor baru dalam posisi serba salah, maka strategi fiskal yang dimaksudkan untuk mendorong pendapatan daerah malah menjadi kontra-produktif.

Revisi kebijakan diperlukan. Idealnya, penetapan subjek pajak harus jelas dan tidak membebani pihak yang tidak semestinya. Selain itu, perlunya mekanisme khusus untuk objek hasil sitaan atau lelang DJKN, agar proses transaksinya tidak tersandera masalah historis perpajakan yang tidak relevan dengan pihak baru.

Tanpa pembenahan semacam ini, strategi penagihan pajak daerah hanya akan menjadi lingkaran birokrasi yang mengorbankan momentum investasi dan memupus harapan terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi, baik di tingkat lokal maupun nasional.

Penulis adalah Anggota Departemen Pengembangan Organisasi, IKPI

Muhammad Fadhil, S.Ak., S.AP., Ak., BKP

Email: fadhilalhinduan@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

IKPI Sebut Suryo Utomo Berhasil Pimpin DJP: Bawa Banyak Perubahan Positif

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, menyampaikan apresiasi atas kepemimpinan Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo yang dinilai berhasil membawa berbagai perubahan positif selama menjabat. Dari capaian penerimaan hingga reformasi sistem, Suryo dianggap sukses memimpin Ditjen Pajak (DJP) di masa penuh tantangan.

“Pak Suryo Utomo mencatat sejarah dengan empat tahun berturut-turut berhasil melampaui target penerimaan pajak nasional, dari 2020 sampai 2024. Ini yang kami sebut sebagai ‘quadtrick’ dan sangat jarang terjadi,” ujar Vaudy dalam pernyataannya, Rabu (21/5/2025).

Vaudy juga menyoroti masa awal jabatan Suryo yang dimulai , pada 1 November 2019 menggantikan Robert Pakpahan. Meski pada tahun 2020 Indonesia dan dunia berada dalam situasi pandemi Covid-19, penerimaan negara dari sektor pajak tetap tercapai bahkan selama empat tahun berturut .

Menurutnya, hal itu menunjukkan strategi adaptif yang diterapkan oleh Suryo cukup efektif dalam menjaga stabilitas fiskal.

Tak hanya soal capaian penerimaan, Vaudy menggarisbawahi keberhasilan Suryo dalam mendorong integrasi dan modernisasi sistem administrasi perpajakan melalui peluncuran Coretax Administration System. “Meskipun implementasinya masih berproses, ini langkah besar menuju efisiensi dan transparansi yang lebih baik,” jelasnya.

Suryo Utomo juga membidani lahirnya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada tahun 2021. “UU HPP adalah upaya besar untuk menyatukan berbagai aturan perpajakan dalam satu kerangka hukum yang lebih jelas dan konsisten,” katanya.

Menurut Vaudy, Suryo juga aktif dalam memperluas basis pajak, termasuk dengan menyasar sektor digital yang semakin dominan dalam perekonomian. Upaya ini dinilai sebagai bagian dari strategi jangka panjang untuk keberlanjutan penerimaan negara.

Lebih jauh, IKPI menilai hubungan antara DJP dan konsultan pajak selama masa kepemimpinan Suryo berlangsung baik. “DJP sangat terbuka terhadap dialog, dan bahkan menghadiri pelantikan-pelantikan pengurus IKPI di berbagai daerah.

Hubungan yang erat ini perlu dipertahankan,” ungkap Vaudy.

Menutup pernyataannya, Vaudy berharap jika benar ada pergantian Dirjen Pajak diharapkan hubungan IKPI yang sudah terjalin sangat baik dengan DJP dapat terus dilanjutkan bahkan dengan semangat kolaboratif dan agenda reformasi yang sudah dirintis.

“Tantangannya tidak kecil, tapi fondasi yang dibangun Pak Suryo sudah kuat,” pungkasnya. (bl)

Pemerintah Siapkan RAPBN 2026: Menkeu Sebut Penyusunan di Tengah Ketidakpastian Global

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi menetapkan asumsi dasar makroekonomi sebagai pijakan awal penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2026. Penetapan ini tertuang dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2026 yang dipaparkan dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-18 Masa Persidangan III Tahun Sidang 2024–2025.

Dalam pidato pengantarnya, Menteri Keuangan Sri (Menkeu) Mulyani Indrawati menegaskan bahwa penyusunan RAPBN 2026 tidak dilakukan dalam kondisi normal. Ia menyebut bahwa dunia tengah mengalami transformasi global yang bersifat drastis, fundamental, bahkan dramatis.

“Dalam lanskap tatanan dunia saat ini, globalisasi yang dulu menjadi fondasi kerja sama antarnegara kini bergeser menjadi fragmentasi dan persaingan yang sangat tajam di berbagai lini,” ungkap Sri Mulyani di hadapan anggota dewan, Selasa (20/5/2025)

Ia menjelaskan bahwa tren proteksionisme dan kebijakan ekonomi yang berfokus ke dalam negeri (inward-looking) telah menggantikan semangat kolaborasi global yang dibangun pasca Perang Dunia II. Blok-blok dagang dan investasi internasional yang sebelumnya dijunjung tinggi, kini ditinggalkan dan diabaikan.

“Akibatnya, rantai pasok global mengalami gangguan serius. Ini tidak hanya menghambat distribusi barang, tetapi juga menambah biaya transaksi internasional secara signifikan,” paparnya.

Sri Mulyani juga menyoroti dampak lanjutan dari gejolak global tersebut, mulai dari pelemahan aktivitas ekspor-impor, hingga tekanan terhadap stabilitas keuangan dalam negeri.

“Volatilitas global telah mendorong arus modal keluar dan memberikan tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Ini memicu risiko inflasi, sementara suku bunga global tetap berada pada level tinggi,” ujar dia.

KEM-PPKF 2026 menjadi fondasi penting dalam menyusun RAPBN tahun depan, yang diharapkan mampu menjaga stabilitas ekonomi nasional di tengah gelombang tantangan internasional yang terus berkembang. (alf)

 

Penerimaan Pajak Turun, Sri Mulyani Pede APBN Masih Tangguh

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan mengungkapkan penerimaan pajak negara hingga April 2025 mencapai Rp 557,1 triliun. Angka ini baru memenuhi 25,4% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, sekaligus menunjukkan penurunan signifikan sebesar 10,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang menyentuh Rp 624,2 triliun.

Data tersebut disampaikan langsung oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Sidang Paripurna DPR RI saat memaparkan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2026, Selasa (20/5/2025).

Meski tekanan penerimaan masih terasa, APBN hingga April 2025 tetap mencatatkan surplus sebesar Rp 4,3 triliun atau setara 0,02% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Surplus ini didorong oleh pendapatan negara yang mencapai Rp 810,5 triliun, sedikit lebih tinggi dibanding belanja negara yang berada di angka Rp 806,2 triliun.

“Hal ini menunjukkan bahwa di tengah masa transisi pemerintahan, APBN 2025 tetap mampu menjalankan peran strategisnya dalam mendukung program-program prioritas yang manfaatnya dirasakan langsung oleh masyarakat,” ujar Sri Mulyani di hadapan anggota dewan.

Namun demikian, pendapatan negara secara keseluruhan tetap mengalami penurunan tahunan sebesar 12,4%, dari Rp 719,9 triliun menjadi Rp 810,5 triliun.

Penurunan ini disebut sebagai cerminan dari tantangan global dan domestik yang turut menekan aktivitas ekonomi nasional.

Pemerintah menyatakan akan terus memperkuat strategi pengelolaan fiskal dan menjaga keseimbangan belanja agar tetap produktif, serta responsif terhadap dinamika perekonomian yang terus berkembang. (alf)

 

 

Jangan Kejar Tax Ratio dengan Bebani Rakyat, Ekonom Kritik Rencana BMAD Benang Tekstil

IKPI, Jakarta: Pengamat ekonomi senior Ichsanuddin Noorsy menyoroti rencana pemerintah mengenakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk benang Partially Oriented Yarn (POY) dan Drawn Textured Yarn (DTY) yang dianggapnya bisa menjadi pukulan telak bagi industri tekstil nasional. Menurut Ichsanuddin, kebijakan tersebut berpotensi mendorong restrukturisasi biaya besar-besaran di sektor tekstil, yang pada akhirnya bisa memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Kalau BMAD diterapkan, jalan keluar satu-satunya adalah restrukturisasi biaya. Dan langkah paling cepat adalah PHK,” ujarnya kepada wartawan, Selasa (20/5/2025).

Ia menyebut kebijakan fiskal semacam itu tidak adil. Industri tekstil, katanya, tidak bisa disamakan dengan sektor lain karena menyangkut kebutuhan pokok masyarakat, yakni sandang. “Industri tekstil tidak bisa sepenuhnya dilepas ke mekanisme pasar. Ini soal hajat hidup orang banyak,” tegasnya.

Kebijakan Pajak Dinilai Usang

Ichsanuddin juga menilai sistem perpajakan Indonesia saat ini sudah tertinggal jauh dibandingkan negara-negara lain. Ia mencontohkan negara seperti Jepang, India, Bangladesh, dan Vietnam yang masih memberikan insentif fiskal untuk melindungi industri tekstil mereka.

“Di banyak negara, industri tekstil diperlakukan sebagai sektor strategis. Pemerintah mereka memberi berbagai bentuk keringanan pajak untuk menjaga daya saing,” jelasnya.

Ia mengingatkan pemerintah agar tidak menjadikan BMAD sebagai solusi tunggal untuk meningkatkan rasio pajak nasional. Menurutnya, peningkatan penerimaan negara seharusnya difokuskan pada pembenahan sistem pengawasan dan penegakan hukum pajak, terutama terhadap korporasi besar yang kerap menghindari kewajiban mereka.

“Masalah utamanya adalah lemahnya penindakan terhadap kejahatan perpajakan oleh korporasi, baik dalam maupun luar negeri. Jangan sampai rakyat terus dibebani, sementara korporasi besar dibiarkan lolos,” pungkasnya. (alf)

 

 

id_ID