Pajak Kekayaan, Obat atau Racun?

Pajak kekayaan kembali mengemuka sebagai opsi kebijakan di berbagai negara, termasuk Indonesia, untuk mengurangi ketimpangan dan meningkatkan penerimaan negara, apalagi realisasi penerimaan pajak sampai dengan 11 Agustus 2025 baru mencapai 996 triliun atau 45,5% dari target sehingga sebagian pihak mengusulkan agar Pemerintah menetapkan pajak kekayaan.

Namun, efektivitasnya dan manfaatnya diperdebatkan baik secara teori maupun prakteknya di beberapa negara, sehingga jika jadi diterapkan : apakah pajak kekayaan benar-benar menjadi instrumen solusi (obat) atau justru menimbulkan masalah baru (racun).

Dalam pengklasifikasian mengenai orang kaya, ada 2 pendekatan yang umum dipakai di dunia yaitu (asumsi 1 usd – Rp. 15.000,-) :

1.      HNWI = High Net Worth Individual, yaitu individu yang memiliki asset > 1 juta USD (Rp. 15 milyar  atau lebih, termasuk tempat tinggal utama.

2.      UHNWI = Ultra High Net Worth Individual, yaitu individu yang memiliki asset > 30 juta USD (Rp. 450 milyar, atau lebih termasuk tempat tinggal utama.

Pajak Kekayaan Obat atau Racun

1.      Pajak Kekayaan sebagai Obat

a)      Alasan Normatif & Keadilan

·        Mengurangi ketimpangan: Di negara dengan konsentrasi kekayaan tinggi pada kelompok 1% teratas, pajak kekayaan dianggap adil untuk redistribusi. Dimana 1% orang kaya Indonesia menguasai 36% perekonomian nasional (CNN : 5 Feb 2025).

Prinsip kemampuan membayar (ability to pay): Wajib pajak yang memiliki akumulasi aset besar dianggap punya kewajiban lebih besar untuk berkontribusi.

b)      Alasan Fiskal

Potensi penerimaan tambahan: Pajak kekayaan bisa membuka ruang fiskal baru di tengah keterbatasan basis pajak penghasilan (karena banyak sektor informal).

Sumber jangka panjang: Bila dirancang baik, bisa menopang belanja sosial, pendidikan, dan kesehatan, yang terbukti efektif menurunkan kemiskinan (lihat kajian Bank Dunia dan OECD).

c)       Alasan Politik-Ekonomi

Simbol keadilan sosial: Mengirim sinyal bahwa negara serius menekan oligarki dan memperluas rasa keadilan.

Legitimasi pemerintah: Dalam konteks demokrasi, dapat memperkuat kepercayaan publik terhadap institusi fiskal.

2.      Pajak Kekayaan sebagai Racun

a)      Masalah Teknis & Administratif

Sulit valuasi aset: Kekayaan berbentuk tanah, saham perusahaan tertutup, karya seni, atau aset digital sulit diukur secara tepat.

Biaya administrasi tinggi: Pemungutan dan penegakan hukum lebih mahal dibandingkan pajak konsumsi/PPh.

b)      Masalah Ekonomi

Capital flight & tax avoidance: Orang kaya bisa dengan mudah mengalihkan kekayaannya ke luar negeri (contoh: Prancis, yang akhirnya mencabut wealth tax pada 2017 karena banyak miliarder pindah domisili).

Dampak pada investasi: Bisa mengurangi insentif menanam modal di dalam negeri, jika tidak ada insentif yang menyeimbanginya.

c)       Masalah Politik

Resistensi kelompok elit: Potensi lobi kuat dari kelompok kaya untuk melemahkan atau menggagalkan implementasi.

Distorsi kebijakan: Bisa memicu kompromi politik yang justru menghasilkan aturan setengah hati, sehingga manfaatnya minim, tapi biayanya besar.

Matriks: Pajak Kekayaan, Obat atau Racun?

Aspek

Manfaat (Obat)

Kerugian (Racun)

Keadilan Sosial

Mengurangi ketimpangan, sesuai prinsip ability to pay.

Resistensi politik dari elit, berpotensi melemahkan legitimasi jika gagal.

Fiskal

Sumber penerimaan tambahan untuk membiayai belanja sosial & infrastruktur.

Penerimaan cenderung kecil di banyak negara; biaya administrasi relatif tinggi.

Ekonomi

Redistribusi bisa meningkatkan daya beli kelas menengah & miskin.

Risiko capital flight, penghindaran pajak, menurunkan insentif investasi.

Administrasi

Mendorong transparansi aset & perbaikan sistem data kekayaan.

Sulit valuasi aset (tanah, saham tertutup, karya seni, aset digital).

Politik-Ekonomi

Menjadi simbol komitmen pemerintah melawan ketimpangan & oligarki.

Bisa dipolitisasi; jika gagal, menurunkan kepercayaan publik terhadap fiskus.

Pengalaman Negara

Norwegia & Spanyol masih menerapkan dengan tingkat keberhasilan tertentu.

Prancis, Jerman, Swedia, Denmark mencabut karena biaya > manfaat.

3.      Pengalaman Negara Lain

• Berhasil (sebagian):

• Spanyol: Wealth tax digunakan kembali pasca krisis 2008 sebagai instrumen darurat penerimaan.

• Norwegia: Masih memberlakukan pajak kekayaan, tapi didukung sistem informasi pajak yang transparan dan budaya kepatuhan tinggi.

• Gagal / Dihapus:

• Prancis: Dicabut pada 2017 karena mendorong eksodus kapital.

• Jerman, Swedia, Denmark: Menghapus karena biaya administrasi lebih besar daripada penerimaan.

4.      Analisis Pragmatik

• Jika diterapkan di Indonesia, tantangan besar:

• Kapasitas administrasi pajak masih terbatas (data aset belum terintegrasi penuh).

• Potensi penghindaran pajak tinggi karena lemahnya regulasi harta luar negeri.

• Kultur kepatuhan pajak di kalangan HNWI (high net worth individuals) masih rendah.

• Namun, manfaatnya bisa signifikan, jika:

• Basis data harta nasional (wealth registry) kuat dan transparan.

• Diiringi kerja sama internasional (automatic exchange of information/AEOI).

• Disertai strategi komunikasi publik yang menekankan keadilan sosial.

5.      Berapa potensi Pajak Kekayaan :

Simulasi Pajak Kekayaan di Indonesia

A.      Asumsi Dasar

1.      Jumlah HNWI (High Net Worth Individuals)

o   Menurut Knight Frank (2022), jumlah HNWI di Indonesia sekitar 36.742 orang (memiliki kekayaan > USD 1 juta ≈ Rp 15 miliar). Sedangkan menurut The Wealth Report 2022 estimasi HNWI di Indonesia sebanyak 134.015 orang.

2.      Total kekayaan HNWI Indonesia

o   Pada faktanya tidak ditemukan riel asset dari seluruh HNWI + UNHWI di Indonesia, namun kita bisa membuat estimasi secara konservatif. Dengan menggabungkan beberapa data dari forbes, dan Knight Frank.

o   Total asset 50 orang terkaya Indonesia menurut Forbes sebanyak USD 262,57 Milyar.

o   Total asset UNHWI = 1.479 orang – 50 terkaya = 1.229 orang x USD 50 juta = USD 61,45 milyar.

o   Total asset NHWI = 134.015 orang x USD 2 juta = USD 268 milyar

o   Sehingga total estimasi asset = USD 595,02 milyar

o   Jika angka 595,02 Milyar dibulatkan menjadi USD 600 miliar (≈ Rp 9.000 triliun). Dengan asumsi kurs 1 USD = Rp. 15.000,- total kekayaan sebesar Rp. 9.000 triliun.

3.      Skema pajak kekayaan (hipotetis)

o   Tarif 1% per tahun untuk kekayaan bersih di atas Rp 100 miliar.

o   Diasumsikan 20% dari total kekayaan HNWI masuk kategori > Rp 100 miliar (karena distribusi sangat terkonsentrasi di top tier).

B.      2. Perhitungan Kasar

• Kekayaan yang kena pajak:

20% × Rp 9.000 triliun = Rp 1.800 triliun

• Potensi penerimaan pajak (1%):

1% × Rp 1.800 triliun = Rp 18 triliun per tahun

3. Interpretasi

• Angka Rp 18 triliun ≈ setara dengan:

• Hampir 1,5 kali anggaran Program Keluarga Harapan (PKH) tahun 2024.

• Dapat membiayai pembangunan ribuan sekolah atau puskesmas.

• Namun, potensi ini bisa berkurang drastis karena:

• Tax avoidance: HNWI memindahkan aset ke luar negeri atau menyamarkannya.

• Kapasitas administrasi pajak: Sulit mendata dan menilai nilai wajar aset (tanah, saham non-publik, dll).

• Biaya kepatuhan: Tinggi bagi fiskus untuk mengawasi kepemilikan aset global.

6.      Kesimpulan

Apakah pajak kekayaan obat atau racun?

• Sebagai obat, pajak kekayaan bisa memperluas penerimaan negara dan menekan ketimpangan, terutama bila didukung sistem data aset yang kuat dan budaya kepatuhan tinggi.

• Sebagai racun, ia bisa kontraproduktif bila diterapkan dengan administrasi lemah, menimbulkan eksodus modal, dan hanya menghasilkan penerimaan kecil dengan biaya tinggi.

Ringkasan

• Lebih banyak risikonya jika diterapkan dengan sistem perpajakan yang lemah (contoh: Indonesia saat ini).

• Lebih banyak manfaatnya bila diterapkan di negara dengan administrasi pajak yang kuat, basis data aset jelas, dan kepatuhan tinggi (contoh: Norwegia).

• Alternatif lebih realistis untuk Indonesia: memperkuat pajak penghasilan progresif, pajak warisan, dan pajak kapital gain, serta mengoptimalkan belanja negara yang efektif.

Penulis Ketua Departemen Litbang dan Pengkajian Kebijakan Fiskal IKPI

Pino Siddharta

Email: pinosiddharta@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini adalah pribadi penulis

pendapat

Purbaya Yudhi Sadewa Resmi Gantikan Menkeu Sri Mulyani, Simak Rekam Jejaknya

IKPI, Jakarta: Nama Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa resmi menggantikan Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan. Hal itu dipastikan setelah Presiden Prabowo Subianto melantiknya pada Senin (8/9/2025) sore di Istana Negara.

Menurut keterangan Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, reshuffle kali ini mencakup lima menteri. Mereka adalah:

• Budi Gunawan (Menko Polhukam)

• Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan)

• Abdul Kadir Karding (Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia)

• Budi Arie Setiadi (Menteri Koperasi)

• Dito Ariotedjo (Menteri Pemuda dan Olahraga)

Selain itu, Presiden juga melantik pejabat untuk Kementerian Haji dan Umrah, sebuah kementerian baru hasil transformasi dari Badan Pengelola Haji.

Rekam Jejak Panjang

Purbaya Yudhi Sadewa bukan sosok asing di dunia ekonomi maupun pemerintahan. Lulusan Teknik Elektro ITB yang meraih gelar Master dan Doktor di Purdue University, Amerika Serikat, ini pernah menduduki berbagai posisi penting, mulai dari Deputi di Kemenko Marves, Staf Khusus bidang ekonomi di beberapa kementerian, hingga Deputi Kantor Staf Presiden. Pada 2020, ia dipercaya menjadi Ketua Dewan Komisioner LPS.

Di sektor swasta, Purbaya dikenal lewat kiprahnya di Danareksa, baik sebagai ekonom utama, Direktur Utama Danareksa Securities, hingga anggota dewan direksi PT Danareksa (Persero).

Purbaya saat ini resmi menggantikan Sri Mulyani yang sudah menjabat sebagai Menteri Keuangan sejak era Presiden Joko Widodo. Pergantian ini dipandang sebagai titik krusial bagi arah kebijakan ekonomi Indonesia, terutama dalam menjaga stabilitas fiskal, dan keberlanjutan agenda pemerintahan Prabowo.

Publik kini menanti apakah reshuffle besar ini akan membawa energi baru dalam tata kelola pemerintahan, khususnya di bidang keuangan negara yang strategis. (bl)

 

Ekonom: Kenaikan PTKP Rp7,5 Juta Bisa Pangkas Basis Pajak

IKPI, Jakarta: Usulan serikat buruh agar ambang batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dinaikkan dari Rp4,5 juta menjadi Rp7,5 juta per bulan memicu perhatian kalangan ekonom. Kenaikan ambang batas pajak tersebut diyakini dapat meringankan beban pekerja, namun di sisi lain berpotensi mempersempit basis pajak formal.

Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai langkah menaikkan PTKP terlalu tinggi justru berisiko menekan penerimaan negara. “Jika PTKP dinaikkan menjadi Rp7,5 juta, itu artinya kenaikan sekitar 70%. Dampaknya, basis pajak orang pribadi bisa menyusut drastis,” ujar Yusuf, Senin (8/9/2025).

Yusuf mengingatkan pengalaman pada 2013 ketika pemerintah menaikkan PTKP sebesar 53%. Saat itu, penerimaan negara dari Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi turun hingga Rp13 triliun. “Dengan usulan yang lebih besar kali ini, potensi kehilangan penerimaan jelas jauh lebih besar,” tambahnya.

Di tengah belanja pemerintah yang meningkat untuk subsidi energi, bantuan sosial, kesehatan, hingga pendidikan, penurunan penerimaan pajak bisa memperlebar defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Yusuf menilai, jika celah itu tidak ditutup dengan efisiensi belanja, negara berpotensi menambah utang atau menaikkan tarif pajak lain seperti PPN maupun cukai.

Meski begitu, Yusuf menekankan bahwa dampak negatif dari kenaikan PTKP tidak berlangsung permanen. Ia merujuk pada kajian Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan yang menunjukkan penurunan penerimaan hanya terjadi dalam 1–2 tahun setelah kenaikan. Setelah ekonomi pulih, penerimaan pajak kembali normal, bahkan konsumsi dan investasi meningkat.

“Kenaikan PTKP memang bisa jadi stimulus daya beli masyarakat, tapi di sisi fiskal jangka pendek, basis pajak akan menyempit. Jadi pemerintah perlu berhitung cermat sebelum mengambil keputusan,” tutup Yusuf. (alf)

 

 

 

 

 

Podcast Edukasi Perpajakan: IKPI Tekankan Pentingnya Pemahaman Pajak e-Commerce di Era Digital

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) kembali menunjukkan konsistensinya dalam memberikan edukasi perpajakan kepada masyarakat. Pada Kamis (4/9/2025), IKPI menggelar Podcast Edukasi Perpajakan dengan tema “Aspek Pajak e-Commerce” yang diikuti lebih dari 300 peserta secara daring.

Faryanti Tjandra, sebagai salah satu narasumber pada kegiatan ini menegaskan bahwa forum diskusi ini bukan sekadar ajang berbagi ilmu, tetapi juga sarana penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai kewajiban perpajakan.

“Kegiatan FGD ini sangat penting untuk diketahui dan diikuti oleh para Wajib Pajak, terutama mereka yang terjun langsung dalam perdagangan melalui sistem elektronik. Banyak yang belum memahami detail kewajiban pajaknya, baik dari sisi pedagang maupun penyelenggara marketplace. Padahal, kepatuhan pajak di sektor digital akan sangat menentukan iklim usaha yang sehat,” ujar Faryanti, Senin (8/9/2025).

Ia juga menambahkan bahwa langkah ini mencerminkan komitmen nyata IKPI dalam mendukung kebijakan fiskal pemerintah. “Inisiatif ini adalah bentuk konsistensi IKPI untuk selalu hadir membantu pemerintah dalam memberikan edukasi perpajakan secara gratis kepada masyarakat luas. Kami ingin agar setiap pelaku usaha, dari skala kecil hingga besar, memiliki akses informasi yang benar mengenai aturan pajak yang berlaku,” tambahnya.

Diketahui, Podcast Edukasi Perpajakan yang dikemas dalam format Forum Discussion Group (FGD) ini menghadirkan Faryanti Tjandra bersama Debi Citra Dewi dari IKPI Cabang Jakarta Selatan, serta Fathur Rosi dari IKPI Cabang Surabaya sebagai narasumber. Para konsultan pajak tersebut membedah kewajiban perpajakan dari sisi penyelenggara marketplace (PPMSE) maupun pedagang (PMSE).

Dikatakan Faryanti, FGD ini juga menyoroti regulasi terbaru, PMK Nomor 37 Tahun 2025 tentang Penunjukan Pihak Lain sebagai Pemungut PPh, yang mengatur tata cara pemungutan, penyetoran, hingga pelaporan pajak penghasilan dalam transaksi digital. Narasumber turut memberikan ilustrasi kasus nyata yang kerap dihadapi merchant di platform e-commerce.

Diungkapkannya, FGD berlangsung interaktif, dengan peserta aktif mengajukan pertanyaan seputar penerapan pajak di dunia digital. Faryanti kembali menekankan peran IKPI dalam meningkatkan literasi perpajakan.

“Kami ingin masyarakat melihat bahwa pajak bukan sekadar kewajiban, tetapi juga kontribusi nyata untuk pembangunan. Dengan memahami aturan sejak dini, para pelaku usaha akan lebih siap menghadapi tantangan era digital,” ujarnya. (bl)

 

Yunani Reformasi Pajak Besar, Fokus Ringankan Beban Kelas Menengah

IKPI, Jakarta: Perdana Menteri Yunani Kyriakos Mitsotakis mengumumkan reformasi pajak penghasilan berskala besar sebagai upaya meredakan tekanan biaya hidup dan menopang pemulihan kelas menengah dari krisis utang berkepanjangan. Kebijakan tersebut dipaparkannya dalam pidato tahunan di Thessaloniki International Fair, Sabtu (6/9/2025).

Mengutip Bloomberg, Minggu (7/9/2025), Mitsotakis menekankan bahwa tingginya harga kebutuhan pokok masih menjadi persoalan utama warga. “Saya tahu betul harga tinggi adalah masalah terbesar. Reformasi pajak ini dirancang untuk menjawab itu,” ujarnya.

Salah satu langkah paling menonjol adalah penghapusan pajak penghasilan bagi keluarga dengan empat anak atau lebih untuk penghasilan hingga 20.000 euro (sekitar Rp384 juta) per tahun. Kebijakan ini sekaligus ditujukan untuk mendorong kenaikan angka kelahiran di Yunani yang terus menurun.

Selain itu, pemerintah juga menawarkan lima keringanan pajak tambahan:

1. Penurunan tarif untuk kelompok berpenghasilan 40.000—60.000 euro per tahun (Rp768 juta—Rp1,15 miliar).

2. Pembebasan pajak bagi pekerja di bawah usia 25 tahun dengan pendapatan hingga 20.000 euro.

3. Penurunan tarif pajak atas penghasilan dari sewa properti.

4. Diskon 50% pajak properti di desa berpenduduk kurang dari 1.500 orang pada 2026, yang akan dihapus sepenuhnya mulai 2027.

5. Pemangkasan PPN sebesar 30% di pulau-pulau kecil dengan populasi di bawah 20.000 jiwa.

Mitsotakis, yang kini memasuki tahun keenam masa jabatannya, disebut tengah berupaya memperbaiki citra politiknya jelang rencana maju kembali dalam pemilu 2027. Reformasi ini dianggap sebagai wujud nyata janji peningkatan pendapatan masyarakat.

Pemerintah Yunani mampu melaksanakan reformasi ini berkat performa fiskal yang lebih baik dari perkiraan. Penerimaan negara dari upaya pemberantasan penghindaran pajak pada 2024 meningkat tajam dan diprediksi berlanjut sepanjang 2025. “Cara terbaik mengembalikan dividen pertumbuhan kepada rakyat bukan lewat subsidi, melainkan lewat pemotongan pajak,” kata Mitsotakis menutup pidatonya. (alf)

 

 

 

 

DJP Sempurnakan Aturan Restitusi Pajak, SPC dan KIK Masuk Daftar PKP Risiko Rendah

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2025 yang berlaku sejak 13 Agustus 2025. Regulasi ini menyempurnakan ketentuan sebelumnya dalam PER-6/PJ/2025 mengenai pelaksanaan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak (restitusi) bagi Wajib Pajak tertentu, Wajib Pajak dengan persyaratan tertentu, serta Pengusaha Kena Pajak (PKP) berisiko rendah.

Perubahan terbaru ini memperluas cakupan hingga mencakup special purpose company (SPC) dan Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang ditetapkan sebagai PKP berisiko rendah. Menurut Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto, langkah ini diambil untuk memperkuat kepastian hukum dan mempercepat layanan restitusi pajak.

“Penyempurnaan aturan ini dimaksudkan agar pelaksanaan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak lebih jelas, termasuk bagi SPC maupun KIK yang berstatus PKP berisiko rendah,” ujar Bimo dalam keterangan resmi, dikutip Minggu (7/9/2025).

Poin Penting dalam PER-16/PJ/2025

Salah satu perubahan signifikan adalah penambahan ayat (2a) pada Pasal 6 yang mengatur lebih rinci mengenai dokumen Pajak Masukan. Kini, hanya Pajak Masukan yang tercatat dalam faktur atau dokumen sah, dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT), dan tervalidasi di sistem DJP yang dapat dikreditkan dalam permohonan restitusi.

Selain itu, DJP menegaskan bahwa sebelum menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan, dilakukan penelitian mendalam terhadap status PKP berisiko rendah, keabsahan Pajak Masukan, serta kebenaran pembayaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Bila tidak ditemukan kelebihan bayar atau permohonan tidak memenuhi syarat, DJP akan menerbitkan surat pemberitahuan tanpa melanjutkan ke tahap Pasal 17B UU KUP.

Peraturan baru ini juga memberikan penekanan khusus pada permohonan restitusi yang bersumber dari SPT Tahunan PPh 2024. Jika terdapat kesalahan pencantuman PPh Pasal 21, maka permohonan dianggap tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak. Dalam kondisi tersebut, tidak akan diterbitkan surat keputusan restitusi, melainkan hanya pemberitahuan kepada Wajib Pajak pemohon.

DJP turut memperjelas kategori Wajib Pajak orang pribadi tertentu yang bisa mengajukan restitusi. Mereka adalah individu yang:

• bukan PNS, anggota TNI/Polri, pejabat negara, maupun pensiunan;

• hanya memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja atau dana pensiun;

• tidak memiliki pengurang penghasilan berupa zakat atau sumbangan keagamaan di luar pemberi kerja;

• mengalami kelebihan bayar karena perhitungan PPh terutang lebih kecil dari PPh Pasal 21 yang dipotong pemberi kerja.

“Dalam hal ini, permohonan dianggap tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak dan tidak ditindaklanjuti berdasarkan Pasal 17B UU KUP” . (alf)

 

 

 

 

 

 

Ribuan Warga Yunani Demo Tolak Reformasi Pajak Mitsotakis

IKPI, Jakarta: Ribuan demonstran memadati jalanan Kota Thessaloniki, Sabtu (6/9/2025), saat Perdana Menteri Yunani Kyriakos Mitsotakis menyampaikan pidato ekonomi tahunannya di Pameran Dagang Internasional. Aksi protes yang dipimpin serikat pekerja itu menuduh pemerintah lebih memihak pengusaha melalui kebijakan keringanan pajak, sementara layanan publik terus mengalami kemunduran.

“Mereka sudah merusak pendidikan, layanan kesehatan, dan pendapatan kami. Pemerintah ini harus digulingkan,” teriak seorang pengunjuk rasa yang ikut dalam barisan aksi, dikutip dari Reuters, Senin (8/9/2025).

Unjuk rasa tersebut menjadi penanda kuatnya ketidakpuasan publik terhadap arah kebijakan ekonomi Yunani. Serikat pekerja menilai langkah pemerintah justru memperlebar jurang sosial, dengan memberi keuntungan bagi kalangan bisnis dan mengabaikan kebutuhan dasar masyarakat.

Dalam pidatonya, Mitsotakis mengumumkan paket reformasi pajak senilai 1,6 miliar euro (setara US$1,87 miliar). Program itu mencakup pemotongan pajak penghasilan untuk keluarga dengan anak serta penghapusan pajak properti di kawasan terpencil guna menarik generasi muda kembali tinggal di wilayah tersebut. Kebijakan baru ini direncanakan mulai berlaku pada 2026.

Mitsotakis menegaskan bahwa pembiayaan program akan bersumber dari pertumbuhan ekonomi yang solid dan peningkatan penerimaan negara. Ia menyatakan, tujuan pemerintah adalah menjaga stabilitas fiskal sekaligus memberi dukungan bagi keluarga dan daerah yang tengah mengalami penurunan populasi.

Namun, pengumuman tersebut datang di tengah menurunnya kepercayaan publik terhadap partai berkuasa, Demokrasi Baru. Survei terbaru menunjukkan elektabilitas partai hanya berada di kisaran 22–25%, merosot tajam dari raihan 41% pada pemilu 2019.

Gelombang protes di Thessaloniki menjadi cerminan jurang yang kian lebar antara visi ekonomi pemerintah dan keresahan masyarakat. Tantangan menjaga legitimasi politik diperkirakan bakal semakin berat bagi Mitsotakis apabila ketidakpuasan publik terhadap layanan sosial tidak segera teratasi. (alf)

 

Apindo Ingatkan Pemerintah Jangan Ada Cukai Baru di 2026

IKPI, Jakarta: Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta pemerintah konsisten dengan janji tidak menambah beban fiskal bagi dunia usaha pada 2026. Permintaan ini muncul setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa tahun depan tidak akan ada pajak baru maupun kenaikan tarif pajak yang berlaku saat ini.

Ketua Umum Apindo, Shinta W Kamdani, menyambut baik sikap pemerintah tersebut. Menurutnya, kepastian kebijakan perpajakan menjadi kunci dalam menjaga stabilitas usaha, menarik investasi, dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

“Optimalisasi penerimaan negara lebih tepat ditempuh melalui peningkatan kepatuhan dan perbaikan administrasi pajak, bukan dengan menambah jenis pajak baru atau menaikkan tarif yang sudah ada,” ujar Shinta dalam keterangannya, Minggu (7/9/2025).

Meski begitu, Shinta menyoroti tekanan yang masih membayangi industri padat karya, terutama makanan, minuman, dan hasil tembakau. Sektor tersebut, kata dia, berpotensi terpukul jika pemerintah tetap melanjutkan rencana kenaikan cukai atau memperluas objek cukai baru.

“Kalau beban tambahan ini tidak melihat kondisi riil industri padat karya, maka dampaknya bisa melemahkan daya saing sekaligus mengurangi lapangan kerja. Padahal sektor ini yang selama ini menopang penerimaan negara sekaligus menyerap jutaan pekerja,” tegasnya.

Apindo juga berharap kebijakan tanpa kenaikan pajak mencakup cukai, mengingat penerimaan dari cukai merupakan bagian dari pajak. Shinta menambahkan, perbaikan mekanisme restitusi pajak, pemberian insentif energi, logistik, hingga percepatan PPN restitusi sangat dibutuhkan untuk menjaga likuiditas perusahaan.

Selain itu, Apindo mengusulkan insentif tambahan seperti penurunan harga gas industri, diskon listrik LWBP, insentif energi terbarukan, hingga perluasan PPh 21 Ditanggung Pemerintah (DTP). Menurut Shinta, dukungan semacam itu akan memberi ruang bagi sektor padat karya untuk bertahan di tengah ketidakpastian global.

“Dengan kebijakan yang konsisten dan implementasi yang efektif, penerimaan negara bisa tetap optimal tanpa mengorbankan keberlanjutan usaha dan penciptaan lapangan kerja,” jelasnya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan meski target pendapatan negara pada 2026 naik 9,8% menjadi Rp 3.147,7 triliun, pemerintah tidak akan menempuh jalur penambahan atau kenaikan tarif pajak.

Fokus kebijakan, kata dia, adalah memperkuat kepatuhan sukarela, memperluas basis pajak termasuk dari ekonomi bayangan, serta meningkatkan layanan kepada wajib pajak. (alf)

 

 

IKPI Surabaya Gelar Aksi Sosial, Ajak Masyarakat Jaga Warisan Kota dan Tolak Anarkisme

IKPI, Surabaya: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Surabaya kembali menunjukkan kepeduliannya terhadap kota Pahlawan. Kali ini, Bunker Tegalsari dipilih sebagai lokasi kegiatan sosial.

Di dalam kegiatan yang dilaksanakan Sabtu (6/9/2025), mereka memberikan pesan kuat kepada masyarakat untuk ikut melestarikan bangunan bersejarah sekaligus mengajak warga menjauhi tindakan anarkis maupun perusakan cagar budaya.

Ketua IKP Cabang Surabaya, Enggan Nursanti menyatakan, pemilihan Bunker Tegalsari bukan tanpa alasan. Tempat ini sebelumnya telah menjadi saksi dua agenda besar IKPI Surabaya, mulai dari edukasi bagi pelaku UMKM hingga aksi donor darah.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Surabaya)

“Dengan kembali hadir di lokasi yang sama, IKPI menegaskan bahwa kepedulian sosial dapat berjalan seiring dengan upaya menjaga warisan sejarah kota,” kata Enggan.

Pada kesempatan itu, IKPI mengajak warga yang hadir untuk memahami pentingnya melindungi bangunan heritage di Surabaya. Enggan menekankan bahwa keberadaan cagar budaya bukan sekadar peninggalan masa lalu, melainkan juga penopang identitas dan kebanggaan arek Suroboyo.

“Melalui kegiatan ini, kami mengajak seluruh warga Surabaya untuk bersama-sama merawat dan mencintai bangunan bersejarah yang kita miliki. Bunker Tegalsari bukan hanya peninggalan masa lalu, tetapi juga simbol kebanggaan kita sebagai arek Suroboyo. Dengan menjaganya, kita sekaligus mewariskan nilai sejarah berharga untuk generasi mendatang,” ujarnya.

Di lokasi tersebut, IKPI Surabaya juga menempelkan banner berisi ajakan untuk merawat kota secara bersama-sama. Harapannya, masyarakat tidak hanya menikmati keberadaan bangunan bersejarah, tetapi juga aktif melindunginya dari kerusakan dan aksi tidak bertanggung jawab.

“Melalui langkah ini, IKPI Cabang Surabaya menegaskan bahwa kontribusi organisasi tidak hanya berhenti pada bidang perpajakan, tetapi juga nyata dalam menjaga lingkungan, warisan budaya, dan nilai kebersamaan demi masa depan Surabaya yang lebih baik,” kata Enggan. (bl)

#WargaJagaWarga #SipilJagaSipil

 

Dorong Konsumsi Domestik, India Turunkan Pajak Energi Terbarukan Jadi 5%

IKPI, Jakarta: India mengambil langkah besar dalam mendukung transisi energi bersih dengan memangkas tarif pajak barang dan jasa (GST) untuk perangkat energi terbarukan dari 12% menjadi hanya 5%. Kebijakan ini mulai berlaku pada 22 September 2025 dan mencakup panel surya, komponen turbin angin, serta instalasi biogas.

Menurut Kementerian Keuangan India, keputusan tersebut bertujuan menekan biaya bagi konsumen sekaligus mempercepat pertumbuhan kapasitas energi hijau di dalam negeri. Dengan harga yang lebih terjangkau, masyarakat dan pelaku usaha diharapkan semakin terdorong memanfaatkan energi terbarukan.

“Ini memberikan sinyal kuat kepada investor, serta meningkatkan daya tarik finansial sektor energi terbarukan,” ujar Amit Paithankar, CEO Waaree Energies Ltd., salah satu eksportir panel surya terbesar India, dikutip dari Bloomberg, Minggu (7/9/2025).

Selain mendorong konsumsi domestik, pemangkasan tarif juga menjadi strategi India untuk meredam dampak tarif tambahan yang diterapkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap produk ekspor asal India. Dengan demikian, kebijakan ini sekaligus menjaga daya saing industri energi terbarukan di pasar global.

India sendiri menargetkan kapasitas energi bersih mencapai 500 gigawatt (GW) pada akhir dekade ini, sebelum menuju ambisi lebih besar yakni netral karbon pada 2070.

Mitra pajak dan energi baru di EY India, Saurabh Agarwal, menilai penurunan tarif bisa memicu peninjauan kembali perjanjian jual-beli listrik dari proyek yang sedang dibangun.

“Namun dalam jangka panjang, keuntungan dari biaya peralatan yang lebih rendah serta meningkatnya investasi sektor energi terbarukan akan lebih besar daripada tantangan awal,” jelasnya.

Dengan kebijakan ini, India tidak hanya memperkuat ketahanan ekonominya, tetapi juga mempercepat langkah menuju masa depan energi hijau yang lebih inklusif dan berkelanjutan. (alf)

 

 

id_ID