Pecah Usaha vs Desentralisasi Sehat

Tulisan ini membahas perbedaan antara fenomena ‘pecah usaha’ yang disorot oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan konsep desentralisasi usaha yang sehat sebagaimana sejalan dengan gagasan dalam buku Company of One karya Paul Jarvis. 

Fenomena pecah usaha muncul sebagai bentuk manipulasi administratif untuk tetap menikmati fasilitas pajak UMKM, sedangkan desentralisasi usaha dan prinsip Company of One menekankan pentingnya efisiensi, kemandirian, dan keberlanjutan usaha kecil tanpa harus melakukan ekspansi berlebihan. 

Kajian ini menunjukkan bahwa membangun banyak unit usaha kecil yang mandiri dan saling menopang akan memperkuat ketahanan ekonomi nasional serta menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan transparan.

Dalam konteks perpajakan di Indonesia, pemerintah memberikan fasilitas pajak final 0,5% bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dengan omzet hingga Rp4,8 miliar per tahun. Namun, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menemukan praktik ‘pecah usaha’, yaitu tindakan memecah satu entitas bisnis menjadi beberapa unit usaha secara administratif untuk tetap menikmati insentif tersebut. Praktik ini tidak hanya menyalahi semangat regulasi, tetapi juga menghambat perkembangan ekosistem usaha yang sehat dan berintegritas.

Konsep Pecah Usaha dalam Perspektif Fiskal

‘Pecah usaha’ merupakan strategi yang dilakukan oleh wajib pajak untuk mempertahankan status UMKM secara semu. Meski secara administratif tampak sebagai beberapa badan usaha, pada kenyataannya entitas tersebut dikendalikan oleh pihak yang sama dan beroperasi dengan tujuan yang serupa. 

Fenomena ini menimbulkan distorsi fiskal karena mengurangi potensi penerimaan pajak dan menciptakan ketidakadilan antar pelaku usaha. Menurut DJP, praktik ini bertentangan dengan tujuan insentif pajak, yang seharusnya mendorong pertumbuhan usaha kecil agar dapat naik kelas dan berkontribusi lebih besar terhadap ekonomi nasional (DJP, 2024).

Desentralisasi Usaha yang Sehat

Sebaliknya, desentralisasi usaha yang sehat bukanlah upaya memecah entitas untuk keuntungan fiskal, melainkan pengembangan struktur bisnis yang terdiri dari beberapa unit kecil yang otonom dan saling mendukung. Desentralisasi ini bertujuan untuk meningkatkan daya tahan bisnis, memperluas jaringan pasar, serta menciptakan efisiensi operasional. Setiap unit usaha memiliki tanggung jawab dan nilai tambahnya sendiri, membentuk ekosistem yang tangguh dan adaptif terhadap perubahan lingkungan ekonomi (Schumacher, 1973).

Prinsip Company of One dan Relevansinya

Dalam buku Company of One, Paul Jarvis (2019) menekankan bahwa kesuksesan bisnis tidak harus diukur dari seberapa besar skala perusahaan, melainkan dari seberapa efisien dan mandiri usaha tersebut dijalankan. Prinsip utamanya adalah ‘growth by purpose’, yaitu hanya bertumbuh jika pertumbuhan tersebut memberikan nilai nyata, bukan sekadar ekspansi kuantitatif. 

Usaha kecil dapat bertahan dan bahkan unggul jika mampu menjaga efisiensi, kualitas layanan, dan keseimbangan hidup pemiliknya. Konsep ini sejalan dengan semangat desentralisasi sehat, di mana banyak unit usaha kecil beroperasi secara mandiri namun berkontribusi bersama dalam memperkuat ekosistem ekonomi nasional.

Analisis Komparatif

Jika dibandingkan, ‘pecah usaha’ bersifat manipulatif karena dianggap hanya memanfaatkan celah kebijakan pajak untuk mempertahankan keuntungan pribadi dan berpotensi merusak proses proses bisnis itu sendiri, sedangkan prinsip Company of One dan desentralisasi sehat bersifat produktif dan beretika. ‘Pecah usaha’ hanya meniru bentuk kecil tanpa substansi efisiensi, sementara pendekatan Company of One berfokus pada kualitas, kejujuran, dan keberlanjutan. Dalam kerangka ekonomi makro, desentralisasi yang sehat akan memperkuat basis pajak dan meningkatkan ketahanan ekonomi melalui banyak entitas kecil yang benar-benar produktif.

Kesimpulan

Pecah usaha dapat dianggap sebagai penyalahgunaan insentif fiskal yang menghambat pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan jika hanya sekedar membentuk unit usaha secara formal (paper) namun secara substantif kegiatan usaha tidak dijalankan oleh unit usaha tersebut. 

Sebaliknya, desentralisasi usaha yang sehat sebagaimana diterapkan dalam prinsip Company of One menegaskan bahwa usaha kecil tidak harus menjadi besar untuk menjadi kuat namun mengandalkan pertumbuhan berkualitas yang sangat mungkin diterapkan melalui desentralisasi. 

Pendekatan ini mendukung efisiensi, keberlanjutan, dan kolaborasi yang memperkuat ekosistem ekonomi nasional. Pemerintah bersama para pihak terkait diharapkan terus memperkuat edukasi kepada pelaku usaha agar memahami perbedaan antara pertumbuhan yang manipulatif dan pertumbuhan yang bermakna.

Referensi

• Direktorat Jenderal Pajak (2024). ‘DJP Tegaskan Stop Akal-akalan Pecah Usaha Demi Nikmati Pajak 0,5%’. Diakses dari https://ikpi.or.id/

• Jarvis, P. (2019). Company of One: Why Staying Small Is the Next Big Thing for Business. Houghton Mifflin Harcourt.

• Schumacher, E. F. (1973). Small Is Beautiful: Economics as if People Mattered. Blond & Briggs.

• DDTC News (2024). ‘DJP Imbau UMKM Tak Akali Pajak dengan Pecah Usaha’. Diakses dari https://news.ddtc.co.id/

Penulis adalah Anggota IKPI Cabang Jakarta Utara

Toto

Email:toto@akuprim.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

DPR Soroti Dana Mengendap di Kas Daerah, Misbakhun Minta Sinkronisasi Kebijakan Fiskal

IKPI, Jakarta: Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menyoroti masih tingginya dana pemerintah daerah yang mengendap di perbankan. Berdasarkan data Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia, hingga akhir September 2025 jumlahnya mencapai Rp234 triliun.

“Rp234 triliun bukan angka kecil. Dana sebesar itu seharusnya bisa dimanfaatkan optimal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan mempercepat realisasi belanja daerah,” ujar Misbakhun di Jakarta, Sabtu (25/10/2025).

Menurut Misbakhun, angka tersebut menunjukkan masih adanya persoalan dalam pengelolaan fiskal di tingkat daerah. Ia menekankan perlunya sinkronisasi kebijakan fiskal antara pemerintah pusat dan daerah agar dana transfer ke daerah (TKD) dapat memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat.

“Dana TKD itu dirancang sebagai motor penggerak ekonomi daerah. Kalau dikelola cepat dan tepat, dampaknya akan terasa langsung melalui pembangunan infrastruktur, peningkatan layanan publik, dan penciptaan lapangan kerja,” jelasnya.

Politikus Partai Golkar itu mengingatkan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) sudah menegaskan pentingnya pengelolaan fiskal yang efisien, transparan, dan produktif. Karena itu, dana besar yang hanya mengendap di bank justru berpotensi menghambat laju ekonomi.

Meski begitu, Misbakhun menilai dana mengendap tidak sepenuhnya akibat kelalaian pemerintah daerah. Ia menilai perlu dilakukan evaluasi menyeluruh untuk menelusuri akar masalahnya. “Perlu ditelusuri apakah ini karena perencanaan APBD yang belum sinkron dengan APBN, aturan teknis yang terlambat, atau justru sikap kehati-hatian daerah dalam menjaga kas,” ujarnya.

Untuk itu, Misbakhun mendorong Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri memperkuat koordinasi serta pembinaan terhadap pelaksanaan APBD di seluruh daerah.

“Sinkronisasi kebijakan fiskal sangat penting. Jangan sampai dana besar yang seharusnya menggerakkan ekonomi justru tidur di bank menjelang akhir tahun anggaran,” tegasnya.

Ia menambahkan, percepatan realisasi belanja daerah sangat dibutuhkan guna menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional. “Setiap rupiah yang mengendap terlalu lama berarti kesempatan pembangunan yang tertunda,” pungkasnya. (alf)

Pelaporan SPT 2025 Dijamin Lebih Mudah, DJP Hadirkan Fitur “Prepopulated” di Coretax

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memastikan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Orang Pribadi (OP) untuk tahun pajak 2025 akan jauh lebih mudah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Inovasi ini berkat hadirnya fitur data pra-isi (prepopulated) dalam sistem Coretax, yang kini menjadi tulang punggung transformasi digital perpajakan nasional.

Melalui fitur ini, data penghasilan dan pajak yang telah dipotong atau disetor akan muncul otomatis di formulir SPT. Wajib pajak tak lagi perlu menginput manual data dari bukti potong atau setoran bulanan, karena sistem sudah menariknya langsung dari basis data DJP.

“Fitur prepopulated ini merupakan kemudahan paling signifikan dalam pelaporan SPT. Bagi wajib pajak karyawan, sistem Coretax akan otomatis menampilkan data penghasilan dan bukti potong PPh Pasal 21 yang sudah dilaporkan oleh perusahaan,” jelas Penyuluh Pajak Agung Meliananda, dikutip dari laman resmi pajak.go.id, Minggu (26/10/2025).

Tak hanya untuk pegawai, kemudahan ini juga berlaku bagi pelaku usaha. Untuk UMKM yang menyetor PPh final setiap bulan, sistem Coretax akan secara otomatis merekap riwayat setoran tersebut selama satu tahun pajak. Dengan demikian, pelaku usaha tidak lagi perlu menelusuri catatan pembayaran secara manual.

“Data dari pemberi kerja untuk karyawan itu prepopulated, sedangkan untuk UMKM, data pembayaran pajak yang sudah dilakukan sebelumnya akan otomatis masuk ke sistem. Jadi enggak perlu diinput ulang,” tegas Agung.

Meski prosesnya makin sederhana, Agung mengingatkan bahwa wajib pajak tetap memiliki tanggung jawab untuk memverifikasi dan melengkapi data pribadi, seperti daftar harta, utang, serta penghasilan lain yang belum tercatat dalam sistem. Setelah memastikan semuanya akurat, barulah SPT bisa dilaporkan secara resmi.

Sementara itu, Penyuluh Pajak Anggita Rahayu mengimbau masyarakat untuk tidak menunggu hingga batas akhir pelaporan. Persiapan dini akan membuat proses semakin lancar.

“Mumpung masih ada waktu, disiapkan dulu datanya. Bisa juga pelajari tutorial di situs DJP supaya nanti ketika masa pelaporan tiba, enggak bingung dan bisa langsung lapor,” ujarnya.

Dengan fitur baru di Coretax ini, DJP optimistis pelaporan SPT 2025 akan lebih cepat, praktis, dan bebas dari kerumitan teknis. Langkah ini juga menjadi bagian dari komitmen pemerintah untuk membangun sistem perpajakan yang lebih modern, transparan, dan berorientasi pada kemudahan wajib pajak. (alf)

Dorong Transparansi, Pemkot Ambon Pasang Ratusan Alat Perekam Pajak Digital

IKPI, Jakarta: Pemerintah Kota Ambon, Maluku, melangkah makin jauh dalam mewujudkan tata kelola pajak yang transparan dan akuntabel. Melalui pemanfaatan teknologi digital, Pemkot Ambon kini dapat memantau transaksi wajib pajak secara real time tanpa harus menunggu laporan manual.

Kepala Dinas Komunikasi, Informatika, dan Persandian Kota Ambon, Ronald Lekransy, mengatakan inisiatif digitalisasi pajak ini merupakan bagian dari upaya memperkuat sistem keamanan siber sekaligus mendukung transformasi digital di lingkungan pemerintah kota.

“Pemanfaatan teknologi digital ini bukan hanya untuk pengawasan, tapi juga untuk memastikan setiap data wajib pajak tercatat secara akurat dan transparan,” ujar Ronald, Jumat (25/10/2025).

Menurut Ronald, Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah (BPPRD) Kota Ambon telah memasang 227 perangkat perekaman digital atau Online Transaction Monitoring (OTM) di berbagai titik strategis, termasuk hotel, restoran, dan tempat hiburan.

Dari total tersebut, terdapat 161 unit online POS, 50 unit Client Reader, dan 16 unit Interceptor Box yang semuanya terhubung langsung dengan sistem pusat di Pemkot Ambon.

Melalui teknologi OTM, seluruh transaksi wajib pajak kini dapat terekam secara otomatis dan dilaporkan langsung ke server pemerintah daerah. Dengan begitu, potensi kebocoran pajak bisa diminimalkan, sementara proses pengawasan menjadi lebih cepat dan efisien.

“Data dari perangkat ini langsung masuk ke command center Diskominfosandi. Dari sana, petugas bisa memantau aktivitas transaksi secara digital dan segera melakukan tindak lanjut bila ditemukan kejanggalan,” jelas Ronald.

Selain memperkuat pengawasan pajak, langkah ini juga menjadi bagian dari strategi transformasi digital Pemkot Ambon yang meliputi berbagai sektor layanan publik. Digitalisasi dipandang sebagai kunci untuk mendorong efisiensi birokrasi dan memperluas basis Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Ronald menegaskan, penggunaan teknologi digital bukan sekadar tren, melainkan kebutuhan mendesak untuk memastikan pemerintahan yang bersih dan transparan. “Transformasi digital ini adalah pondasi menuju kemandirian fiskal dan keberlanjutan pembangunan ekonomi Kota Ambon,” katanya. (alf)

Pengacara di Pakistan Gugat “Pajak Menstruasi”

IKPI, Jakarta: Seorang perempuan muda asal Pakistan, Mahnoor Omer, menjadi sorotan publik setelah berani menantang negaranya sendiri lewat sebuah petisi yang mengguncang: ia menuntut penghapusan “pajak menstruasi”beban fiskal yang selama ini membuat pembalut wanita menjadi barang mahal di Pakistan.

Mahnoor, seorang pengacara muda yang vokal memperjuangkan keadilan gender, mengajukan petisi tersebut pada September lalu. Ia menilai, kebijakan pajak yang dikenakan terhadap produk kebersihan perempuan bukan hanya tidak adil, tapi juga mencerminkan diskriminasi negara terhadap kebutuhan biologis setengah populasi rakyatnya.

Berdasarkan Undang-Undang Pajak Penjualan Pakistan Tahun 1990, pemerintah mengenakan pajak 18 persen untuk pembalut lokal, serta bea impor hingga 25 persen bagi produk dari luar negeri. Bahkan bahan baku pembuatan pembalut pun ikut dikenai pajak. Alhasil, menurut perhitungan UNICEF Pakistan, total beban pajak yang menempel pada produk kebersihan perempuan bisa mencapai 40 persen.

“Rasanya seperti perempuan melawan negara Pakistan,” ujar Mahnoor kepada media internasional dikutip, Minggu (26/10/2025) menggambarkan frustrasinya terhadap sistem yang seolah menghukum perempuan hanya karena mereka menstruasi.

Dampak kebijakan ini sangat nyata. Studi UNICEF dan WaterAid tahun 2024 menemukan, hanya 12 persen perempuan Pakistan yang menggunakan pembalut komersial. Sebagian besar lainnya terpaksa memakai kain bekas atau bahan seadanya — bukan karena pilihan, tetapi karena harga pembalut yang terlalu mahal.

Mahnoor mengaku, sejak kecil ia telah merasakan stigma dan tekanan sosial terkait menstruasi. “Saya biasa menyembunyikan pembalut di lengan seragam, seperti sedang menyelundupkan narkoba ke kamar mandi,” kenangnya getir. “Jika ada yang membicarakan menstruasi, guru akan menegur seolah itu hal memalukan.”

Meski lahir di keluarga kelas menengah di Rawalpindi, Mahnoor tetap merasakan betapa tabu dan mahalnya isu ini. Ia bahkan mengingat ucapan teman sekelasnya, bahwa ibunya menganggap pembalut sebagai “pemborosan uang.”

“Itu membuat saya sadar, jika keluarga menengah saja berpikir seperti itu, bayangkan betapa sulitnya perempuan dari keluarga miskin,” ujarnya.

Kini, harga satu bungkus pembalut bermerek di Pakistan mencapai 450 rupee (sekitar Rp26 ribu) untuk 10 lembar. Di negara dengan pendapatan per kapita hanya sekitar Rp1,9 juta per bulan, harga tersebut setara dengan biaya makan satu keluarga beranggotakan empat orang dari kalangan berpenghasilan rendah.

Omer berharap, jika pajak 40 persen itu dihapus, perempuan di seluruh Pakistan bisa mengakses produk kebersihan dengan harga lebih manusiawi. “Menstruasi bukan kemewahan,” tegasnya. 

“Tidak seharusnya perempuan dihukum karena memiliki tubuh yang berfungsi sebagaimana mestinya.”

Dengan keberanian dan suaranya yang lantang, Mahnoor Omer kini menjadi simbol perlawanan perempuan muda Pakistan terhadap ketidakadilan yang terbungkus dalam aturan ekonomi. Sebuah perjuangan sederhana namun berani menuntut negara agar tak lagi menjadikan darah perempuan sebagai sumber pendapatan. (alf)

Menkeu Diminta Hapus Pajak Industri Gym: “Olahraga Bukan Hiburan, Ini Investasi Kesehatan Bangsa!”

IKPI, Jakarta: Principal PT Precision Gym Indonesia, Harryadin Mahardika, menyerukan langkah berani kepada pemerintah untuk hapuskan pajak untuk industri gym yang selama ini disamakan dengan pajak hiburan. Ia menilai kebijakan tersebut menjadi penghambat serius bagi perkembangan industri kebugaran nasional yang berpotensi besar menopang kesehatan dan produktivitas masyarakat.

“Saya menantang Menkeu Pak Purbaya untuk mencabut pajak untuk gym. Pajak yang disamakan dengan hiburan membuat pelaku usaha sulit berkembang. Bahkan alat-alat gym seharusnya tidak dikenakan pajak — kalau bisa justru disubsidi,” tegas Harryadin di Jakarta Selatan, Sabtu (25/10/2025).

Acara peluncuran tersebut diisi talkshow bertema “Potensi Industri Gym Indonesia”, menghadirkan berbagai narasumber dari sektor kebugaran, kesehatan, dan teknologi. Precision Gym sendiri hadir sebagai pusat riset kebugaran modern yang menggabungkan pendekatan sains, mental, dan spiritual, bekerja sama dengan Widya Genomic dan Pause & Play.

Menurut Harryadin, industri gym di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan potensi pasarnya. “Saat ini hanya sekitar 3.000 gym berkualitas memadai, padahal penduduk kita lebih dari 300 juta jiwa. Artinya satu gym melayani 100 ribu orang jelas tidak seimbang,” ujarnya.

Ia menilai, pemerintah perlu mengubah paradigma dalam memandang gym, bukan sebagai hiburan atau konsumsi mewah, melainkan sebagai investasi kesehatan publik dan pembangunan sumber daya manusia. “Bangsa yang sehat dimulai dari masyarakat yang sehat. Negara seharusnya berinvestasi di situ,” ujarnya lantang.

Harryadin juga menyoroti bahwa pajak tinggi dan minimnya insentif fiskal membuat banyak investor enggan menanamkan modal di industri kebugaran. Padahal, sektor ini memiliki efek berganda dari peningkatan kesehatan masyarakat, pertumbuhan industri alat fitness, hingga mendukung prestasi olahraga nasional.

Selain itu, Precision Gym ingin mempelopori “revolusi raga”: gerakan membangun keseimbangan tubuh, pikiran, dan jiwa melalui kolaborasi lintas sektor. “Industri ini tidak bisa dibangun sendirian. Kami ingin menghadirkan pendekatan baru yang berbasis data dan personalisasi, agar setiap orang dapat menemukan versi terbaik dirinya,” jelasnya.

Precision Gym diklaim sebagai gym pertama di Indonesia yang mengintegrasikan teknologi uji epigenetik dan analisis performa tubuh untuk personalisasi program latihan. Dalam waktu dekat, Harryadin menargetkan ekspansi ke berbagai daerah, dimulai dari pembukaan cabang di Bali.

Ia berharap pemerintah dapat memberi dukungan nyata terhadap industri kebugaran agar lebih terjangkau, terutama bagi generasi muda. “Kami ingin olahraga bukan lagi gaya hidup eksklusif, tapi kebutuhan dasar bagi semua warga,” tandasnya. (alf)

IKPI Runner Community Siap Pecahkan Rekor MURI, Tahun Depan Gelar Event Lari Akbar di Jakarta

IKPI, Jakarta: Semangat baru tengah mengalir di tubuh Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI). Setelah resmi meluncurkan IKPI Runner Community (IRC) di Gedung IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, Minggu (26/10/2025), organisasi profesi konsultan pajak tertua dan terbesar ini kini bersiap mencetak sejarah baru. Melalui komunitas lari tersebut, IKPI berencana menggelar event lari akbar pada tahun 2026 di Jakarta dengan target memecahkan Rekor MURI sebagai kegiatan lari dengan peserta profesi konsultan pajak terbanyak di Indonesia.

Koordinator IRC, Taslim Syahputra, menyampaikan bahwa langkah ini bukan sekadar kegiatan olahraga biasa, melainkan bentuk nyata transformasi IKPI menuju organisasi yang lebih sehat, dinamis, dan berenergi.

“Kami ingin membangun citra baru bahwa konsultan pajak bukan hanya berkutat di meja kerja, laporan, dan angka. Kami juga komunitas yang aktif, sehat, dan memiliki semangat kebersamaan tinggi. Melalui IRC, kami ingin menunjukkan bahwa profesionalisme dan gaya hidup sehat bisa berjalan beriringan,” ujar Taslim.

Taslim menjelaskan, gagasan untuk membentuk komunitas pelari di lingkungan IKPI sudah lama muncul, namun baru kini diwujudkan secara resmi di bawah kepemimpinan Ketua Umum IKPI, Vaudy Starworld. Dukungan penuh dari pengurus pusat membuat IRC menjadi wadah yang inklusif, terbuka bagi seluruh anggota IKPI dari berbagai cabang daerah, tanpa memandang usia atau tingkat kemampuan berlari.

“Di IRC, yang penting bukan seberapa cepat kita berlari, tapi bagaimana kita bergerak bersama. Filosofi lari sejatinya adalah tentang konsistensi dan daya tahan dua hal yang juga sangat relevan dengan profesi konsultan pajak,” tambahnya.

Event besar yang direncanakan tahun depan di Jakarta, lanjut Taslim, akan menjadi ajang unjuk kebersamaan sekaligus bentuk promosi positif profesi konsultan pajak kepada masyarakat luas. Selain mengejar target Rekor MURI, panitia juga menyiapkan konsep acara yang menarik dengan perpaduan antara olahraga, edukasi perpajakan ringan, dan kegiatan sosial.

“Kami ingin kegiatan ini menjadi perayaan kebersamaan. Nanti akan ada edukasi pajak untuk publik, sesi fun run, hingga penggalangan dana untuk kegiatan sosial. Jadi, tidak hanya sehat, tapi juga bermanfaat bagi sesama,” ungkapnya.

Taslim menilai bahwa pembentukan IRC juga merupakan bentuk implementasi nyata dari nilai-nilai yang selalu dijunjung tinggi IKPI integritas, profesionalisme, dan kebersamaan. Melalui olahraga, para anggota dapat saling mengenal lebih dekat di luar konteks pekerjaan, membangun relasi yang lebih kuat, dan memperkuat solidaritas lintas cabang maupun generasi.

“Berlari bersama itu melatih empati dan kebersamaan. Kadang kita harus melambat untuk menunggu rekan yang tertinggal, kadang kita harus memberi semangat bagi yang hampir menyerah. Itulah semangat yang ingin kami tanamkan di IRC,” kata Taslim.

Ketua Umum IKPI, Vaudy Starworld, dalam sambutannya saat peluncuran IRC menegaskan bahwa komunitas ini merupakan bagian dari upaya organisasi untuk menyeimbangkan antara kesehatan fisik dan mental anggota. Menurutnya, profesi konsultan pajak kerap menghadapi tekanan tinggi dalam pekerjaan, sehingga kegiatan positif seperti olahraga sangat penting untuk menjaga keseimbangan hidup.

“Kita ingin konsultan pajak Indonesia bukan hanya cerdas dan berintegritas, tetapi juga sehat, bugar, dan bahagia. IRC adalah simbol energi baru IKPI,” ujar Vaudy di hadapan para anggota yang hadir.

Vaudy berharap bisa menambah rekor MURI yang telah dimiliki IKPI. “Kami telah mendapatkan dua rekor MURI pada 2025 ini, sebagai organisasi profesi yang menggelar aksi donor darah nasional dengan jumlah pendonor lebih dari 6.000 dan sebagai asosiasi konsultan pajak dengan jumlah terbesar di Indonesia yakni mencapai lebih dari 7.200 anggota, katanya.

Dengan semangat Run Together, Grow Stronger, IKPI Runner Community diharapkan menjadi wadah inspiratif bagi para profesional pajak di seluruh Indonesia. Komunitas ini tidak hanya berlari untuk rekor, tetapi juga berlari untuk membangun kesehatan, mempererat persaudaraan, dan menegaskan eksistensi konsultan pajak sebagai profesi yang aktif berkontribusi positif bagi masyarakat dan bangsa.

“Kami berlari bukan untuk meninggalkan siapa pun di belakang, tapi untuk memastikan semua bisa sampai di garis akhir bersama-sama,” tutup Taslim Syahputra dengan penuh optimisme. (bl)

Resmikan IKPI Runners, Ketum Vaudy: Lari Jadi Simbol Solidaritas dan Profesionalisme Konsultan Pajak

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld meresmikan pembentukan IKPI Runners Community, Minggu (26/10/2025), di Kantor Pusat IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan. Ia mengajak seluruh anggota untuk menjadikan olahraga bukan sekadar rutinitas, melainkan ruang silaturahmi, solidaritas, dan jejaring profesional lintas generasi.

“IKPI Runners bukan sekadar olahraga, tetapi jejaring hati dan persaudaraan,” seru Vaudy di kepada anggota yang ikut hadir via Zoom Meeting dari berbagai daerah, termasuk Bali, Surabaya, dan Semarang.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Seperti biasanya, Vaudy membuka acara dengan pantun jenaka:

“Sepatu dipakai semana umpada,

Berkeringat tapi hati bahagia,

IKPI Runners wadah bersama,

Untuk sehat, bersahabat, dan meningkatkan IKPI tercinta.”

Ia menegaskan, komunitas olahraga seperti IKPI Runners merupakan bukti bahwa organisasi konsultan pajak terbesar di Indonesia ini bukan hanya fokus pada dunia perpajakan, tetapi juga keseimbangan antara kesehatan jasmani, mental, dan kolaborasi sosial.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Dari Lari ke Relasi dan Bangun Jaringan di Luar Dunia Pajak

Menurut Vaudy, komunitas-komunitas di bawah IKPI – mulai dari golf, lari, hingga rencana pembentukan komunitas tenis dan padel – diharapkan menjadi jembatan kolaborasi antaranggota, sekaligus sarana memperluas relasi dengan masyarakat di luar profesi konsultan pajak.

“Tujuannya jelas yakni membuka relasi baru. Ketika mereka butuh konsultan pajak, nama anggota IKPI yang sudah dikenal akan menjadi prioritas,” jelasnya.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Vaudy juga berharap komunitas-komunitas olahraga serupa dan seni untuk memperkuat semangat kebersamaan dan memperluas jaringan.

Lintas Generasi

IKPI Runners disebut Vaudy sebagai wadah lintas generasi. Ia menyoroti kehadiran para senior berusia 70-an tahun seperti Koderi dan Rusmadi yang masih aktif berlari. “Luar biasa, mereka guru sekaligus inspirasi bagi yang muda. Di IKPI, usia bukan penghalang untuk tetap aktif dan bersemangat,” katanya disambut tepuk tangan.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Incar Rekor MURI Lagi

Usai sukses mencatat dua rekor MURI sebelumnya sebagai asosiasi pendonor darah terbanyak (6.400 orang) dan asosiasi profesi dengan anggota terbanyak Vaudy menargetkan pencapaian baru.

“Tahun depan, saat HUT ke-61 IKPI, kita kejar rekor MURI lagi. Kali ini untuk penyelenggara maraton profesi keuangan terbanyak di Indonesia,” ujarnya penuh antusias.

Ia berpesan agar komunitas ini adalah cerminan IKPI sebagai rumah besar para konsultan pajak tempat bernaung, bersahabat, dan berkolaborasi. Mari kita jaga semangat profesionalisme, jadikan IKPI organisasi yang dinamis, inklusif, dan solid di seluruh Indonesia. (bl)

Dari Foto Bongkar Kapal hingga Transfer Antar Rekening: Catur Rini Bicara Tantangan Pembuktian PPN dan Ekspor

IKPI, Jakarta: Tantangan dalam membuktikan kebenaran transaksi pajak, terutama yang berkaitan dengan ekspor dan PPN, masih menjadi pekerjaan besar bagi aparat pajak maupun wajib pajak. Hal ini diungkapkan Kakanwil DJP Jabar 3 (tahun 2018 sd 2021) Catur Rini Widosari, mantan pejabat tinggi DJP, saat menjadi narasumber dalam Diskusi Panel “Substance Over Form: Saat Fiskus dan Wajib Pajak Beradu Makna di Balik Transaksi” di Gedung IKPI Pejaten, Jakarta Selatan, Jumat (24/10/2025).

Dalam paparannya, Catur menceritakan sejumlah kasus nyata di mana form dan substance saling bertolak belakang. Ia mencontohkan transaksi yang diklaim sebagai ekspor di luar daerah pabean, padahal bukti fisiknya tidak dapat diverifikasi. “Kontraknya ada, dokumennya lengkap. Tapi bagaimana membuktikan bahwa barang benar-benar diserahkan di luar 200 mil pantai? Foto saja tidak cukup,” ujarnya.

Menurut Catur, contoh semacam itu menunjukkan betapa pentingnya pembuktian substansial dalam setiap transaksi. Ia menekankan bahwa keabsahan pajak tidak cukup hanya dengan memenuhi syarat formalitas dokumen, tetapi harus dapat menunjukkan bukti ekonomi yang nyata. “Legal form hanya menunjukkan niat, tapi substance memperlihatkan kenyataan,” katanya.

Ia menambahkan, di era digital seperti sekarang, pembuktian transaksi menjadi lebih kompleks sekaligus lebih mudah. Otoritas pajak kini dapat mengakses data perbankan, laporan keuangan lintas negara, serta informasi beneficial ownership melalui skema pertukaran data global. “Dulu tracing aliran dana butuh waktu berbulan-bulan, sekarang dengan data EOI bisa langsung terlihat siapa yang sebenarnya menerima uang itu,” ujar Catur.

Namun, Catur mengingatkan bahwa kemudahan memperoleh data tidak serta-merta menjamin ketepatan analisis. Setiap data harus diuji konteksnya: apakah sesuai dengan kontrak, dengan realitas bisnis, dan dengan logika ekonomi. “Data tanpa analisis bisa menyesatkan. Jangan sampai alat bukti digital digunakan tanpa pemahaman konteksnya,” pesannya.

Catur juga menyoroti bahwa proses pembuktian tidak hanya tanggung jawab wajib pajak. Fiskus pun harus mampu menunjukkan bukti dan argumentasi yang solid. “Jangan cuma ngomong ‘ini tidak benar’ tanpa data pendukung. Fiskus juga harus punya bukti,” ujarnya.

Dalam konteks sengketa, lanjutnya, banyak kasus yang sesungguhnya hanya masalah waktu pengakuan pendapatan atau beban, bukan penghindaran pajak. “Kadang cuma beda timing saja, yang seharusnya dibayar di 2026 tapi dicatat 2028. Itu bukan niat menghindar, tapi perbedaan interpretasi,” katanya.

Ia menilai, prinsip substance over form bukan berarti meniadakan form, melainkan menempatkannya secara proporsional. Ia berharap pendekatan ini bisa memperkuat kepastian hukum sekaligus mendorong keadilan bagi wajib pajak. “Substansi ekonomi harus jadi inti penilaian, tapi jangan abaikan bentuk hukumnya. Keduanya harus berjalan bersama,” tutupnya. (bl)

 

Prof. Haula Rosdiana: Jangan Jadikan “Substance Over Form” Alat Pemukul Wajib Pajak

IKPI, Jakarta: Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (UI), Prof. Dr. Haula Rosdiana, M.Si, mengingatkan agar penerapan prinsip substance over form dalam perpajakan tidak berubah menjadi alat pemukul yang menimbulkan ketidakpastian dan merusak kepercayaan wajib pajak terhadap otoritas pajak.

Dalam Diskusi Panel bertajuk “Substance Over Form: Saat Fiskus dan Wajib Pajak Beradu Makna di Balik Transaksi?” yang diselenggarakan secara hybrid oleh Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) pada Jumat (24/10/2025), Prof. Haula menegaskan bahwa tujuan utama dari penerapan substance over form adalah menciptakan “level playing field” kesetaraan perlakuan antara wajib pajak yang jujur dan yang melakukan rekayasa pajak.

“Kalau hanya memperhatikan bentuk tanpa melihat esensinya, justru akan menciptakan ketidakadilan. Prinsip ini lahir untuk mencegah aggressive tax planning, bukan untuk memukul wajib pajak yang taat,” ujar Haula.

Ia menyoroti praktik di lapangan yang kerap keliru, di mana substance over form diterapkan bahkan pada transaksi yang tidak memiliki hubungan istimewa. Menurutnya, hal ini justru melanggar filosofi dasar perpajakan yang menekankan kepastian hukum dan keadilan.

“Kalau dasar argumentasinya tidak kuat, penerapan substance over form bisa menimbulkan trust issue. Dan kalau trust melemah, maka compliance ikut runtuh,” tegasnya.

Prof. Haula juga menyinggung ketidakkonsistenan penerapan prinsip dalam sistem perpajakan.

“Lucunya, di PPh berlaku substance over form, tapi di PPN malah form over substance. Dulu faktur pajak cacat bisa bikin pengusaha rugi besar, padahal pajaknya sudah dibayar,” ungkapnya.

Ia mendorong agar penerapan prinsip tersebut dilakukan dengan kehati-hatian, transparansi, dan deliberasi demokratis, agar tidak menciptakan masalah baru.

“Kebijakan pajak itu seharusnya seperti pegadaian, menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru,” ujarnya. (bl)

id_ID