KPK Tetapkan Mantan Kakanwil DJP Jakarta Khusus Sebagai Tersangka Gratifikasi Rp21,5 Miliar

IKPI, Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan mantan Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Khusus, Mohamad Haniv, sebagai tersangka dalam kasus dugaan gratifikasi. Haniv, yang sebelumnya menjabat sebagai pejabat di Kementerian Keuangan (Kemenkeu), diduga menerima gratifikasi dengan total mencapai Rp21,5 miliar.

Penyidikan Gratifikasi yang Berkaitan dengan Acara Fashion Show Anak

Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa Haniv ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan penerimaan gratifikasi oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara. Gratifikasi tersebut, menurut Asep, diduga diberikan dalam konteks jabatan Haniv yang berhubungan dengan kewajiban tugasnya sebagai pejabat di DJP.

“Pada 12 Februari 2025, KPK menetapkan tersangka HNV selaku PNS di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan atas dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan gratifikasi yang dianggap pemberian suap,” ujar Asep dalam konferensi pers pada Rabu, 26 Februari 2025.

Modus gratifikasi yang terungkap, kata Asep, terkait dengan kepentingan pribadi Haniv, termasuk meminta sponsorship untuk acara fashion show anaknya, yang memiliki usaha fashion. Salah satu email yang dikirim oleh Haniv pada 5 Desember 2016 kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Penanaman Modal Asing III, YD, mengungkapkan permintaan sponsorship untuk acara tersebut.

Haniv meminta YD untuk mencari dua hingga tiga perusahaan yang dikenalnya agar memberikan sponsor untuk acara fashion show anaknya yang digelar pada 13 Desember 2016. Dalam proposal yang disertakan, disebutkan bahwa dana yang dibutuhkan sebesar Rp150 juta, namun jumlah dana yang diterima ternyata jauh lebih besar, yakni Rp300 juta.

Dana Sponsorship Meningkat Drastis

KPK menyebutkan bahwa dana yang masuk ke rekening pihak yang mengelola keuangan acara, yaitu EP, berasal dari wajib pajak kantor pelayanan pajak Jakarta Khusus dan pegawai KPP Penanaman Modal Asing III. Total dana yang masuk ke rekening EP selama periode 2016-2017 untuk seluruh acara fashion show yang terkait dengan wajib pajak tersebut mencapai Rp387 juta, sementara dana lainnya yang berasal dari pihak non-wajib pajak mencapai Rp417 juta.

Aliran Dana Lain yang Mencurigakan

Selain itu, KPK menemukan bahwa Haniv juga menerima aliran dana dalam bentuk valuta asing (valas) dolar AS dari beberapa pihak melalui saudara BSA. BSA kemudian menempatkan dana tersebut dalam deposito BPR, yang jumlahnya mencapai Rp10,34 miliar. Dana ini akhirnya dicairkan dan dipindahkan ke rekening pribadi Haniv dengan total mencapai Rp14,08 miliar.

Total gratifikasi yang diterima oleh Haniv, yang mencakup dana dari acara fashion show anaknya, valas, dan deposito BPR, diperkirakan mencapai Rp21,5 miliar. Rincian total gratifikasi tersebut adalah Rp804 juta untuk acara fashion show, Rp6,67 miliar dalam bentuk valas, dan Rp14,08 miliar dari deposito BPR.

KPK Terus Lanjutkan Penyidikan

Meski telah ditetapkan sebagai tersangka, hingga saat ini Haniv belum ditahan oleh KPK. Penyidikan kasus ini masih terus berlangsung untuk menelusuri lebih lanjut aliran dana serta kemungkinan adanya pihak lain yang terlibat dalam praktik gratifikasi tersebut.

“Ini baru mulai dinaikkan kepada penyidikan. Kami masih terus menggali lebih dalam,” ungkap Asep.

Atas perbuatannya, Haniv dijerat dengan Pasal 12B Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999. (alf)

Kepala Daerah Serukan Masyarakat Laporkan SPT Tahunan Pajak melalui e-Filing

IKPI, Jakata: Bupati Wonosobo, Afif Nurhidayat, telah memenuhi kewajibannya dengan melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi menggunakan sistem e-Filing. Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka ‘Pekan Panutan Pelaporan SPT Tahunan bersama Bupati Wonosobo,’ yang diselenggarakan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Temanggung dan Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) Wonosobo.

Dalam kesempatan tersebut, Afif mengingatkan kepada seluruh masyarakat Wonosobo untuk segera melaporkan SPT Tahunan PPh orang pribadi masa pajak 2024 sebelum batas waktu yang ditentukan, yaitu 31 Maret 2025. “Ayo, seluruh masyarakat Wonosobo sadar pajak karena pajak kuat, Wonosobo akan maju, sejahtera, dan Indonesia akan maju,” seru Afif dalam keterangan tertulisnya.

Afif juga menunjukkan Bukti Penerimaan Elektronik (BPE) sebagai tanda bahwa ia telah melaporkan SPT Tahunan PPh orang pribadi melalui e-Filing di laman resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP), djponline.pajak.go.id. “Kewajiban pelaporan SPT Tahunan sudah dapat dilakukan sejak 1 Januari 2025. Bagi Wajib Pajak badan, pelaporan SPT Tahunan tahun pajak 2024 memiliki batas waktu hingga 30 April 2025,” jelas Afif.

Dalam acara yang sama, Kepala KPP Pratama Temanggung, Christijanto Wahju Purwoistijoko, memberikan apresiasi kepada Bupati Wonosobo atas pelaporan SPT Tahunan PPh orang pribadi yang dilakukan lebih awal. “Ini menjadi contoh teladan yang baik, tidak hanya bagi masyarakat di Kabupaten Wonosobo, tetapi juga bagi masyarakat secara umum,” ungkap Christijanto.

Pekan Panutan ini sendiri merupakan agenda rutin tahunan yang digelar oleh KPP Pratama Temanggung, dengan tujuan untuk mengingatkan masyarakat bahwa para pemimpin daerah telah melaksanakan kewajiban pelaporan SPT Tahunan secara tepat waktu dan sesuai ketentuan.

Panduan Pelaporan SPT Tahunan Melalui e-Filing
Berikut adalah langkah-langkah untuk melaporkan SPT Tahunan PPh orang pribadi melalui e-Filing:

1. Kunjungi laman www.pajak.go.id dan login menggunakan NPWP, password, dan kode keamanan.
2. Pilih menu “e-Filing” pada dashboard, kemudian klik “Buat SPT”.
3. Isi formulir dengan data yang diminta, seperti tahun pajak dan status SPT.
4. Jika terdapat penghasilan dari perusahaan, sistem akan otomatis mendeteksi dan Anda dapat memilih untuk menggunakan data yang sudah ada atau mengisi secara manual.
5. Isi kolom identitas, status perkawinan, dan status kewajiban pajak, serta NPWP suami/istri jika ada.
6. Periksa status SPT, apakah nihil, kurang bayar, atau lebih bayar.
7. Jika terdapat kekurangan bayar, Anda akan diarahkan ke e-Billing untuk pembayaran.
8. Terakhir, verifikasi data dan kirimkan SPT melalui kode verifikasi yang dikirimkan ke e-mail.

Bagi wajib pajak yang lupa Electronic Filing Identification Number (EFIN), DJP menyediakan beberapa opsi untuk memulihkan EFIN, seperti melalui Kring Pajak di 1500200 atau menggunakan aplikasi M-Pajak.

Afif mengajak seluruh masyarakat Wonosobo untuk memanfaatkan e-Filing dalam pelaporan SPT Tahunan sebagai langkah menuju kesadaran pajak yang lebih tinggi, demi kemajuan daerah dan negara. (alf)

SMK Muhammadiyah 1 Surabaya Kembali Libatkan IKPI Sidoarjo pada Ujian Kompetensi Kejuruan 

IKPI, Sidoarjo: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Sidoarjo kembali menunjukkan kepeduliannya terhadap dunia pendidikan dengan berpartisipasi dalam Ujian Kompetensi Kejuruan (UKK) bagi siswa SMK Muhammadiyah 1 Surabaya. UKK ini dilaksanakan sebagai bagian dari evaluasi keterampilan siswa kelas XII dalam bidang Keahlian Akuntansi & Keuangan Lembaga.

Dalam kegiatan ini, IKPI Cabang Sidoarjo menugaskan dua pengurus yang memiliki kompetensi di bidang akuntansi dan perpajakan sebagai tim penguji pada UKK yang digelar 19 Februari 2025 yakni Raffin Aulia Rahman dan Deddy Pranatha Stiffano N H. Hal ini merupakan bentuk kepercayaan SMK Muhammadiyah 1 Surabaya terhadap kredibilitas dan integritas IKPI Cabang Sidoarjo dalam menilai kemampuan siswa di bidang akuntansi.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Sidoarjo)

“Kerja sama ini telah terjalin sejak tahun 2020 hingga sekarang. Terpilihnya IKPI Cabang Sidoarjo sebagai tim penguji merupakan bentuk kepercayaan SMK Muhammadiyah 1 Surabaya kepada IKPI bahwa organisasi ini memiliki kompetensi tinggi dan berintegritas dalam bidang akuntansi dan perpajakan,” ujar Kepala Sekolah SMK Muhammadiyah 1 Surabaya Irvandy Andriansyah, Rabu (26/2/2025).

Sementara itu, Ketua IKPI Sidoarjo Budi Tjiptono mengatakan, uji kompetensi ini mencakup pemahaman dan keterampilan siswa dalam satu siklus kegiatan akuntansi, mulai dari pencatatan, pengikhtisaran, hingga pelaporan transaksi keuangan perusahaan.

“Sebanyak 63 siswa mengikuti UKK ini, yang dibagi ke dalam dua kelas. Hal tersebut dilakukan untuk memastikan proses ujian berjalan optimal,” kata Budi.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Sidoarjo)

Menurutnya, partisipasi IKPI Sidoarjo dalam kegiatan ini menjadi bukti nyata komitmen organisasi dalam mendukung peningkatan kualitas pendidikan di bidang akuntansi.

“Ke depan, IKPI Cabang Sidoarjo berencana terus aktif dalam berbagai kegiatan edukatif lainnya, baik bagi para anggotanya maupun masyarakat umum, demi mencerdaskan generasi penerus bangsa,” ujarnya. (bl)

Penerimaan Negara dari Barang Kiriman Masih Minim, DJBC Usulkan Relaksasi Bea Masuk Tambahan

IKPI,Jakarta: Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan bahwa penerimaan negara dari barang kiriman tidak memberikan dampak signifikan terhadap total penerimaan negara. Berdasarkan data yang dirilis, realisasi penerimaan Bea Masuk dan Pajak dalam Rangka Impor (PDRI) dari barang kiriman hanya tercatat sebesar Rp1,7 triliun sepanjang tahun 2024.

Kepala Subdirektorat Impor, Direktorat Teknis Kepabeanan DJBC Chotibul Umam, mengungkapkan bahwa dari total PDRI tersebut, kontribusi bea masuk hanya sekitar Rp647 miliar, sementara bea masuk tambahan (BMT) berjumlah sangat kecil, hanya sekitar Rp5 miliar atau setara 0,3 persen dari total PDRI.

Chotibul menambahkan, meskipun jumlahnya kecil, pungutan BMT ini justru menambah kerumitan bagi proses administrasi di DJBC. Oleh karena itu, pihaknya mengusulkan agar bea masuk tambahan ini tidak lagi dipungut, guna menyederhanakan proses dan mempermudah pengelolaan barang kiriman.

“Total bea masuk dan pajak dalam rangka impor ini Rp1,7 triliun. Ini bea masuknya Rp647 miliar, artinya kemudian bea masuk tanpa bahan hanya sekitar Rp5 miliar, hanya 0,3 persen (ke penerimaan), tapi bikin ribet kami, sehingga kami mengusulkan untuk diberikan relaksasi bea masuk tambahan itu tidak dipungut,” jelas Chotibul dalam Media Briefing PMK 4 Tahun 2025, Selasa (25/2/2025).

Meskipun penerimaan dari BMT hanya berkontribusi sedikit terhadap total PDRI, Chotibul menyebutkan bahwa hal ini juga dipengaruhi oleh kompleksitas tarif bea masuk tambahan yang berbeda-beda tergantung pada jenis barang. Misalnya, barang-barang seperti kaos polo dan celana memiliki tarif yang bervariasi, yang menyulitkan proses pemungutan bea masuk tambahan.

Dalam kesempatan yang sama, Chotibul menegaskan bahwa barang kiriman, baik dari penumpang maupun kiriman personal, tidak menjadi target utama pencapaian penerimaan negara. Fokus utama pemerintah lebih pada optimalisasi pungutan dari sektor lainnya yang memiliki kontribusi lebih besar terhadap penerimaan negara.

Selain itu, dalam rangka penyempurnaan regulasi, PMK No.4 Tahun 2025 akan mulai berlaku pada 5 Maret 2025. Peraturan ini merupakan perubahan kedua atas ketentuan barang kiriman yang sebelumnya diatur dalam PMK Nomor 96 Tahun 2023 jo. PMK Nomor 111 Tahun 2023. Perubahan ini bertujuan untuk menyederhanakan pungutan fiskal impor barang kiriman serta mempercepat proses layanan barang kiriman.

Beberapa alasan yang melatarbelakangi terbitnya aturan baru ini adalah perlunya harmonisasi dengan ketentuan lain, seperti larangan dan pembatasan (lartas) sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024. Selain itu, regulasi baru ini juga akan memberikan fasilitas fiskal untuk jemaah haji, mendukung penghargaan internasional untuk WNI, dan meningkatkan dukungan ekspor melalui skema barang kiriman untuk kegiatan ekspor oleh perusahaan berfasilitas.

Perubahan ini diharapkan dapat mempercepat proses dan memberikan kemudahan bagi para pelaku bisnis barang kiriman, serta memberikan insentif bagi sektor-sektor yang dapat berkontribusi pada penguatan perekonomian negara.(alf)

Mulai Maret 2025 Bea Masuk dan Pajak atas Hadiah Perlombaan atau Penghargaan Dibebaskan

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan Republik Indonesia melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 4 Tahun 2025 mengumumkan kebijakan baru yang memberikan pembebasan bea masuk dan pajak dalam rangka impor (PDRI) untuk barang kiriman berupa hadiah perlombaan atau penghargaan. Aturan ini mulai berlaku pada 5 Maret 2025 dan berlaku untuk hadiah yang dikirimkan melalui pos atau perusahaan jasa titipan (PJT) alias ekspedisi.

Kebijakan ini diambil sebagai respons atas beberapa kasus yang menjadi perhatian publik, terkait dengan bea masuk atas hadiah perlombaan yang diterima oleh warga Indonesia dari luar negeri. Kepala Subdirektorat Impor, Direktorat Teknis Kepabeanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan Chotibul Umam, mengungkapkan bahwa pembebasan ini diberikan untuk mempermudah proses pengiriman hadiah tanpa memberatkan penerima.

“Di sini kita secara tegas memberikan perlakuan terkait dengan pembebasan bea masuk dan pajak barang kiriman berupa hadiah dari hasil perlombaan,” kata Umam dalam media briefing di kantornya, Jakarta Timur, Selasa (25/2/2025).

Namun, terdapat beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan. Pembebasan bea masuk dan pajak hanya berlaku untuk barang kiriman hadiah yang tidak melebihi batas tertentu, yaitu satu buah untuk masing-masing jenis barang, seperti medali, trofi, plakat, lencana, atau barang serupa lainnya. Selain itu, hadiah lainnya juga dibatasi satu buah per kiriman.

Hadiah yang dapat dibebaskan bea masuk dan pajak ini tidak terbatas hanya pada bidang olahraga, namun juga mencakup ilmu pengetahuan, kesenian, kebudayaan, dan keagamaan. Meskipun demikian, penerima hadiah harus dapat menunjukkan dokumen atau bukti keikutsertaan dalam perlombaan atau penghargaan internasional yang berasal dari kementerian, lembaga, atau institusi di Indonesia, serta penyelenggara perlombaan di luar negeri.

Dalam hal kiriman hadiah melebihi ketentuan yang telah ditetapkan, bea masuk dan pajak akan dikenakan sesuai dengan aturan yang berlaku. Bea masuk dikenakan tarif flat sebesar 7,5%, namun tetap dikecualikan dari bea masuk tambahan (BMT) dan pajak penghasilan (PPh).

Sebagai catatan, hadiah yang dikecualikan dari pembebasan ini adalah kendaraan bermotor, barang kena cukai, serta hadiah yang berasal dari undian atau perjudian.

Kebijakan ini diharapkan dapat mempermudah para penerima hadiah internasional dan meningkatkan transparansi dalam proses impor barang kiriman, khususnya yang terkait dengan penghargaan dan perlombaan internasional.(alf)

Presiden Prabowo Targetkan Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak 100% pada 2029

IKPI, Jakarta: Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmennya untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak di Indonesia dengan menargetkan rasio kepatuhan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) hingga 100% pada tahun 2029. Hal ini merupakan bagian dari upaya besar pemerintah untuk memperkuat penerimaan negara dan sistem perpajakan Indonesia dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2025.

Dalam RPJMN tersebut, salah satu sasaran utama kebijakan perpajakan adalah peningkatan kepatuhan wajib pajak, baik bagi wajib pajak badan maupun orang pribadi (OP). Target ini diyakini akan memberikan dampak positif terhadap perekonomian negara, khususnya dalam mendongkrak penerimaan negara yang lebih optimal.

Selain meningkatkan kepatuhan pelaporan SPT, Prabowo juga menekankan pentingnya ekstensifikasi wajib pajak, yakni melalui peningkatan jumlah wajib pajak yang terdaftar dengan strategi optimalisasi yang agresif. Pemerintah menargetkan tingkat kinerja organisasi perpajakan mencapai 90% pada tahun 2029, serta efektivitas kebijakan penerimaan negara mencapai 100%.

“Upaya ini merupakan langkah strategis untuk memastikan bahwa sistem perpajakan kita semakin efektif dan berkelanjutan dalam mendukung pembangunan nasional,” tulis dokumen RPJMN yang dikutip pada Rabu (26/2).

Pencapaian target tersebut tentu bukan tanpa tantangan. Mengacu pada data yang dihimpun oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), meski ada kenaikan signifikan dalam kepatuhan wajib pajak dalam beberapa tahun terakhir, namun masih terdapat penurunan rasio kepatuhan formal dalam beberapa tahun terakhir.

Berdasarkan data DJP, total SPT Tahunan yang disampaikan wajib pajak pada 31 Desember 2024 mencapai 16,52 juta SPT, melampaui target yang telah ditetapkan sebesar 16,04 juta SPT. Di tahun yang sama, jumlah wajib pajak yang menyampaikan SPT tercatat mencapai 19,27 juta, dengan rasio kepatuhan formal mencapai 85,72%, lebih tinggi dari target 83,22%. Namun, jika dibandingkan dengan tahun 2023 yang tercatat sebesar 86,97%, ada sedikit penurunan dalam rasio kepatuhan pada 2024.

Tercatat, pada 2022, rasio kepatuhan formal mencapai 86,8%, sementara pada 2017 rasio tersebut hanya berada di angka 72,58%. Meskipun ada fluktuasi, angka tersebut menunjukkan adanya tren peningkatan dalam tingkat kepatuhan wajib pajak dalam beberapa tahun terakhir.

Pemerintah berharap, dengan adanya kebijakan baru ini, akan lebih banyak wajib pajak yang taat melaporkan kewajiban pajaknya, sehingga dapat memberikan kontribusi maksimal dalam pembangunan Indonesia pada tahun-tahun mendatang.(alf)

Penundaan Pajak Karbon Dinilai Ciptakan Ketidakpastian bagi Industri

IKPI, Jakarta: Direktur Riset Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, menyoroti dampak negatif dari penundaan penerapan pajak karbon terhadap industri. Menurutnya, penundaan ini menciptakan ketidakpastian dalam perencanaan strategi bisnis perusahaan.

“Jika kebijakan ini dijalankan sesuai perencanaan, perusahaan akan memiliki stabilitas dan kepastian hukum dalam transisi energi,” ujar Andri pada Rabu (26/2/2025).

Andri juga menegaskan bahwa alasan ketidaksiapan industri tidak seharusnya dijadikan dalih untuk terus menunda penerapan kebijakan ini. Justru, semakin lama pajak karbon ditunda, semakin sulit bagi perusahaan untuk menyesuaikan diri dengan regulasi yang ada.

“Industri tidak akan pernah menemukan waktu yang tepat untuk pajak baru jika terus ditanya soal kesiapan. Justru semakin cepat diterapkan, semakin cepat pula perusahaan dapat menyesuaikan diri,” ujarnya.

Sejatinya lanjut Andri, pajak karbon sudah direncanakan untuk diberlakukan sejak tahun 2022, namun terus mengalami penundaan. Alasan ketidaksiapan industri dan kondisi ekonomi sering digunakan sebagai dasar penangguhan, yang akhirnya menimbulkan ketidakpastian bagi dunia usaha.

Dari sisi penerimaan negara, pajak karbon memiliki potensi yang besar. Dengan total emisi karbon Indonesia mencapai 930 juta ton CO2e per tahun, penerimaan negara bisa mencapai sekitar Rp 27,9 triliun, dengan tarif pajak karbon yang ditetapkan dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) sebesar Rp 30.000 per ton CO2e.

Namun, realisasi penerimaan pajak karbon masih terbatas karena kebijakan ini baru diterapkan pada sektor tertentu, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Andri menjelaskan bahwa sistem cap and trade serta cap and tax yang diterapkan menyebabkan tidak semua emisi dikenakan pajak.

“Pada akhirnya, pajak karbon ini lebih menyerupai cukai yang bertujuan untuk menurunkan emisi, bukan sekadar menambah penerimaan negara,” jelasnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, ekonom Chatib Basri dalam acara SMBC Indonesia Economic Outlook 2025 juga menyinggung penerapan pajak karbon sebagai strategi untuk meningkatkan pendapatan negara serta mendukung program-program sosial.

Menurutnya, kebijakan ini dapat dikaitkan dengan pengenaan cukai terhadap Bahan Bakar Minyak (BBM), sehingga hasil penerimaannya bisa dialokasikan untuk kepentingan sosial dan lingkungan. (alf)

IKPI Balikpapan dan OCBC Beri Edukasi Coretax ke Nasabah Prioritas

IKPI, Balikpapan: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Balikpapan bekerja sama dengan Bank OCBC Cabang Balikpapan menggelar kegiatan edukasi perpajakan mengenai sistem Coretax.

Kegiatan ini diselenggarakan di kantor cabang Bank OCBC Balikpapan di Jalan MT Haryono, Balikpapan, Kalimantan Timur, Selasa (25/2/2025).

Ketua Bidang Diklat IKPI Balikpapan, Yoyok Manuhardi Sunarko, yang juga menjadi narasumber utama pada kegiatan tersebut menyatakan, kegiatan edukasi ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada para nasabah Prioritas Bank OCBC mengenai sistem perpajakan terbaru (Coretax).

Menurut Yoyok, pada edukasi ini, peserta mendapatkan informasi tentang tujuan, manfaat, serta tata cara penggunaan aplikasi Coretax dalam pelaporan pajak mereka. Sebanyak 25 nasabah OCBC turut serta dalam kegiatan ini dan menunjukkan antusiasme tinggi dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan pada sesi diskusi.

Ia menyampaikan bahwa kegiatan edukasi ini sangat penting dalam mendukung kesadaran wajib pajak untuk lebih memahami sistem perpajakan yang semakin berkembang. “Dengan adanya sistem Coretax, diharapkan wajib pajak dapat lebih mudah dalam memenuhi kewajiban pajaknya secara efisien dan akurat. Oleh karena itu, pemahaman terkait sistem ini perlu terus disosialisasikan,” ujar Yoyok, Rabu (26/2/2025).

Sekadar informasi, acara ini juga dihadiri Sekretaris IKPI Balikpapan, Y. Krisbiyantara, serta Ketua IKPI Balikpapan, Juliansyah. Perwakilan dari OCBC Balikpapan yang turut hadir menyampaikan apresiasi mereka kepada IKPI Balikpapan atas kesediaannya menjadi pemateri dalam kegiatan ini.

“Mereka juga berharap edukasi perpajakan serupa dapat terus dilakukan dengan berbagai tema yang relevan di masa mendatang,” ujarnya.

Dengan suksesnya acara ini, diharapkan semakin banyak wajib pajak yang memahami sistem Coretax sehingga dapat mempermudah proses administrasi perpajakan mereka.

“IKPI Balikpapan berkomitmen untuk terus memberikan edukasi perpajakan bagi masyarakat guna meningkatkan kepatuhan pajak dan literasi perpajakan khususnya di Balikpapan,” kata Yoyok. (bl)

DJP Hormati Proses Hukum dalam Kasus Gratifikasi Rp 21,5 Miliar

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan komitmennya dalam mendukung pemberantasan tindak pidana korupsi dan menghormati proses hukum yang sedang berlangsung terkait kasus dugaan gratifikasi yang menjerat mantan pejabatnya.

“DJP menghormati proses hukum yang berlaku serta berkomitmen mendukung pemberantasan tipikor melalui peningkatan integritas pegawai serta penguatan sistem pengawasan internal,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti, dalam keterangannya, Rabu (26/2/2025).

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus, Mohamad Haniv (HNV), sebagai tersangka dalam kasus dugaan gratifikasi senilai Rp 21,5 miliar. Penetapan tersangka terhadap Haniv diumumkan oleh Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, pada Selasa (25/2/2025).

“Pada tanggal 12 Februari 2025, KPK menetapkan tersangka HNV selaku PNS pada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia atas dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan gratifikasi oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara,” ujar Asep.

KPK menduga Haniv menyalahgunakan jabatannya dengan meminta sejumlah uang dari beberapa pihak saat menjabat sebagai Kepala Kanwil DJP Jakarta Khusus pada periode 2015-2018. Uang tersebut diduga digunakan untuk kepentingan bisnis fashion anaknya.

Kasus ini merupakan pengembangan dari proses hukum terhadap tersangka YD, yang lebih dahulu terjerat kasus korupsi pada 2020. KPK terus mendalami perkara ini guna mengungkap pihak-pihak lain yang mungkin terlibat.

DJP juga mengklarifikasi bahwa Haniv sudah tidak aktif bekerja di institusi tersebut sejak 18 Januari 2019. Kasus ini menjadi perhatian publik mengingat besarnya nilai gratifikasi yang diduga diterima oleh tersangka. KPK menegaskan akan terus mengusut kasus ini hingga tuntas untuk memastikan tidak ada pihak lain yang turut terlibat dalam praktik korupsi ini. (alf)

DJP Catat 273.555 Wajib Pajak Terbitkan Faktur hingga 24 Februari 2025

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat perkembangan signifikan dalam penerbitan faktur pajak elektronik hingga 24 Februari 2025. Hingga pukul 04.00 WIB, sebanyak 273.555 Wajib Pajak (WP) telah berhasil menerbitkan faktur pajak, sebuah pencapaian yang menggambarkan peningkatan kepatuhan perpajakan di Indonesia.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, menyampaikan bahwa hingga tanggal tersebut, jumlah Wajib Pajak yang telah memperoleh sertifikat digital untuk keperluan penandatanganan faktur pajak dan bukti potong Pajak Penghasilan (PPh) tercatat sebanyak 876.642 WP.

“Jumlah Wajib Pajak yang telah menerbitkan faktur pajak mencapai 273.555, ini menunjukkan kemajuan dalam sistem administrasi perpajakan yang semakin transparan dan efisien,” ujar Dwi dalam keterangan resminya Selasa (25/2/2025).

Jumlah Faktur Pajak yang Diterbitkan dan Divalidasi

Sebagai bagian dari upaya meningkatkan akuntabilitas dan transparansi, DJP juga mengungkapkan data terkait jumlah faktur pajak yang telah diterbitkan dan divalidasi. Untuk masa Januari 2025, sebanyak 61.521.859 faktur pajak berhasil diterbitkan, sementara untuk masa Februari 2025, angka tersebut tercatat mencapai 19.368.610 faktur.

Penerbitan faktur pajak elektronik menjadi salah satu langkah strategis DJP untuk mendorong kepatuhan pajak. Sistem ini tidak hanya membuat administrasi perpajakan lebih efisien, tetapi juga mengurangi potensi penyalahgunaan dokumen perpajakan.

Imbauan DJP bagi Wajib Pajak

Dwi Astuti juga mengimbau agar seluruh Wajib Pajak terus memperbarui informasi terkait pelaporan pajak dan memanfaatkan aplikasi core tax DJP. Informasi tentang penggunaan aplikasi tersebut dapat diakses melalui laman resmi DJP di [https://pajak.go.id/reformdjp/coretax/](https://pajak.go.id/reformdjp/coretax/).

Masa Transisi Tanpa Sanksi untuk Wajib Pajak

Menanggapi perkembangan ini, Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo sebelumnya juga mengonfirmasi bahwa pemerintah memberikan masa transisi selama 3 bulan untuk Wajib Pajak yang melakukan penyesuaian sistem administrasi faktur pajak, seiring diberlakukannya tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen.

Selama masa transisi ini, DJP memastikan tidak ada sanksi bagi Wajib Pajak yang terlambat atau melakukan kesalahan dalam menerbitkan faktur pajak. Suryo menegaskan, “Kami memberikan kemudahan untuk tidak menerapkan sanksi bila terjadi keterlambatan atau kesalahan penerbitan faktur,” ujarnya dalam konferensi pers APBN 2024.

Namun, setelah masa transisi selesai, keterlambatan atau kesalahan penerbitan faktur pajak dapat dikenakan denda sebesar 1 persen dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP), sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.

Dengan semakin banyaknya Wajib Pajak yang memanfaatkan penerbitan faktur pajak elektronik, diharapkan kepatuhan pajak di Indonesia dapat terus meningkat, mendukung tercapainya target penerimaan negara, serta mempercepat reformasi sistem perpajakan. (alf)

id_ID