Kebijakan TER Sebabkan Lebih Bayar PPh 21 Rp 16,5 Triliun 

IKPI, Jakarta: Kebijakan Tarif Efektif Rata-Rata (TER) yang mulai berlaku sejak Januari 2024 menimbulkan dampak signifikan pada penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21. Akibat penerapan kebijakan tersebut, terjadi lebih bayar PPh 21 sebesar Rp 16,5 triliun pada tahun 2024.

Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu, dalam konferensi pers APBN KiTa yang digelar pada Kamis (13/3/2025), mengungkapkan bahwa kelebihan pembayaran tersebut dapat memengaruhi penghitungan penerimaan pajak tahun ini.

“Pada 2024 ada lebih bayar sebesar Rp 16,5 triliun. Jika lebih bayar tersebut diklaim kembali atau dinormalisasi pada Januari dan Februari 2025, sebetulnya penerimaan PPh 21 tahun ini lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu,” jelas Anggito.

Lebih bayar pajak ini umumnya terjadi ketika perusahaan atau pemberi kerja membayar pajak lebih besar dari yang seharusnya dibayarkan oleh karyawan mereka. Dengan adanya kebijakan TER yang berlaku sejak awal 2024, perhitungan pajak yang sebelumnya mengacu pada tarif yang lebih rendah kini mengalami penyesuaian, yang menyebabkan pembayaran pajak menjadi lebih besar.

Anggito menambahkan bahwa meski lebih bayar ini terjadi, kondisi tersebut seharusnya tidak diartikan sebagai penurunan kinerja penerimaan pajak.

“Jika kita lihat dampak penyesuaian tersebut secara keseluruhan, justru penerimaan PPh 21 tahun ini memperlihatkan peningkatan yang signifikan,” ujar Anggito.

Kementerian Keuangan juga menyoroti pentingnya sosialisasi terkait kebijakan TER agar wajib pajak memahami mekanisme penghitungan baru ini. Selain itu, pihaknya akan berupaya mempercepat proses pengembalian kelebihan bayar bagi perusahaan yang mengajukan klaim pada awal 2025.

Pemerintah berharap kebijakan TER ini dapat menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan transparan bagi seluruh lapisan masyarakat, serta meningkatkan kepatuhan pajak di masa mendatang. (alf)

 

Wamenkeu Anggap Wajar Penurunan Penerimaan Pajak Awal Tahun 2025: Faktor Musiman dan Kebijakan Baru  

IKPI, Jakarta: Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Anggito Abimanyu, menjelaskan bahwa penurunan penerimaan pajak pada awal tahun 2025 merupakan hal yang wajar. Faktor utama yang memengaruhi penurunan ini adalah hilangnya efek musiman dari perayaan Natal dan Tahun Baru (Nataru) serta perlambatan harga komoditas seperti batu bara, nikel, dan minyak bumi.

Anggito menegaskan bahwa data penerimaan pajak Januari 2025 tidak dapat sepenuhnya dibandingkan dengan tahun sebelumnya karena adanya kebijakan baru, salah satunya penerapan relaksasi PPN Dalam Negeri (PPN DN) selama 10 hari juga memengaruhi penerimaan pajak awal 2025.

Dengan kebijakan ini, pembayaran PPN DN untuk Januari dapat dilakukan hingga 10 Maret 2025. Anggito menyatakan bahwa jika dinormalisasi, rata-rata penerimaan PPN pada periode Desember 2024-Februari 2025 mencapai Rp 69,5 triliun, tumbuh 8,3% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 64,2 triliun.

Penurunan penerimaan pajak juga dipengaruhi oleh perlambatan setoran PPh Pasal 25 Badan, yang terjadi seiring dengan penurunan harga komoditas. Meski demikian, Anggito menegaskan bahwa kondisi ini masih dalam batas normal dan tidak menunjukkan anomali.

“Setoran PPh 25 masih mengikuti pola normal meskipun sedikit melambat karena faktor eksternal penurunan harga-harga komoditas,” kata Anggito dalam pemaparan APBN KiTa di kantor Kemenkeu, Jakarta, Kamis (13/3/2025).

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan bahwa penerimaan pajak hingga Februari 2025 mengalami kontraksi signifikan sebesar 30%, mencapai Rp 187,8 triliun atau 8,6% dari target yang ditetapkan. Angka ini lebih rendah dibandingkan penerimaan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 269,02 triliun.

Meskipun terjadi penurunan, pemerintah menilai kondisi ini masih dalam batas wajar dan dipengaruhi oleh faktor musiman serta kebijakan fiskal baru yang diterapkan. (alf)

 

 

Anggota IKPI Diimbau Segera Sampaikan Laporan Tahunan 2024: Hindari Sanksi Pencabutan Izin

IKPI, Jakarta: Ketua Departemen Keanggotaan dan Etika Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Robert Hutapea, mengimbau seluruh konsultan pajak untuk segera mempersiapkan dan menyampaikan Laporan Tahunan Tahun 2024. Imbauan ini disampaikan menyusul terbitnya Pengumuman Kepala Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK) Nomor PENG-3/PPPK/2025 tentang Imbauan dan Mekanisme Penyampaian Laporan Tahunan Konsultan Pajak Tahun Takwim 2024.

Pengumuman tersebut merujuk pada ketentuan Pasal 25 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 111/PMK.03/2014 tentang Konsultan Pajak, sebagaimana telah diubah dengan PMK Nomor 175/PMK.01/2022. Robert Hutapea meminta agar seluruh anggota IKPI untuk menyebarluaskan informasi ini agar kewajiban pelaporan dapat dipenuhi tepat waktu.

Diungkapkan Robert, adapun kewajiban penyampaian laporan tahunan meliputi:

a. Daftar Wajib Pajak yang diberikan jasa konsultasi di bidang perpajakan;

b. Daftar realisasi Pendidikan Profesi Lanjutan (PPL) yang diterbitkan oleh asosiasi konsultan pajak;

c. Kartu Tanda Anggota (KTA) asosiasi yang masih berlaku pada saat penyampaian laporan tahunan;

d. Surat keterangan bekerja bagi konsultan pajak yang bekerja pada suatu perusahaan dan tidak memberikan jasa konsultasi perpajakan.

Batas Waktu Penyampaian

Sesuai dengan PMK Konsultan Pajak Pasal 25 ayat (3), laporan tahunan konsultan pajak tahun takwim 2024 wajib disampaikan secara elektronik paling lambat tanggal 30 April 2025. PPPK tidak lagi menerima berkas fisik laporan tahunan.

Mekanisme Penyampaian Laporan Tahunan

Saat ini, aplikasi Sistem Informasi Konsultan Pajak (SIKOP) baru mengakomodasi penyampaian daftar wajib pajak yang diberikan jasa konsultasi di bidang perpajakan.

Untuk memenuhi kewajiban penyampaian laporan tahunan secara lengkap, konsultan pajak diharuskan mengisi formulir tambahan di alamat [https://bit.ly/LTKP2024](https://bit.ly/LTKP2024). Formulir tersebut mencakup:

a. Daftar wajib pajak yang telah disampaikan melalui SIKOP;

b. Daftar realisasi PPL (bagi konsultan pajak yang wajib mengikuti PPL);

c. KTA asosiasi yang masih berlaku;

d. Surat keterangan bekerja (jika berlaku).

Robert menegaskan pentingnya kepatuhan terhadap peraturan ini. “Kami memohon bantuan seluruh anggota untuk menyebarluaskan pengumuman ini agar tidak ada yang terlambat memenuhi kewajiban pelaporan,” ujarnya.

Untuk informasi lebih lanjut atau bantuan teknis, konsultan pajak dapat menghubungi:

– Email: kemenkeu.prime@kemenkeu.go.id

– WhatsApp Center: 0813-1000-4134

Robert juga mengingatkan bahwa kepatuhan dalam penyampaian laporan tahunan tidak hanya memenuhi kewajiban regulasi, tetapi juga mencerminkan profesionalisme dan integritas sebagai konsultan pajak.

“Jika tidak patuh dengan regulasi, maka ancaman terberatnya adalah pencabutan izin praktek. Untuk menghindari hal itu, kami minta anggota mematuhi regulasi yang telah ditetapkan pemerintah,” kata Robert. (bl)

Menkeu Umumkan Penerimaan Pajak Menurun 30,19% di Awal Tahun 2025

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan bahwa penerimaan pajak hingga Februari 2025 tercatat sebesar Rp 187,8 triliun. Angka ini menunjukkan penurunan sebesar 30,19% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya yang mencapai Rp 269,02 triliun.

“Penerimaan pajak Rp 187,8 triliun atau 8,6% dari target,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa yang digelar di kantornya, Jakarta Pusat, Kamis (13/3/2025).

Penurunan signifikan juga terlihat pada penerimaan pajak pada Januari 2025, yang hanya mencapai Rp 88,89 triliun. Angka ini lebih rendah 41,86% dibandingkan penerimaan pajak pada Januari 2024 yang mencapai Rp 152,89 triliun.

Secara keseluruhan, pendapatan negara hingga Februari 2025 tercatat sebesar Rp 316,9 triliun, yang setara dengan 10,5% dari target pendapatan tahun ini yang ditetapkan sebesar Rp 3.005,1 triliun.

Lebih rinci, pendapatan negara tersebut terdiri dari:

• Penerimaan pajak: Rp 187,8 triliun

• Kepabeanan dan cukai: Rp 52,6 triliun

• Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP): Rp 76,4 triliun

Penurunan penerimaan pajak ini menjadi perhatian khusus pemerintah yang berupaya menjaga stabilitas keuangan negara di tengah tantangan ekonomi global. (alf)

 

Taxing on Endorsement Income

Instagram seems to have become a widely used outlet for the latest advertising models. Internet users have proven the long-time suspicion that humans are generally attracted more to the looks than anything else, reflected from the typical interest and preference in feeds in the form of visual to text. Consequently, business strategy has changed. It is noticeable that a small number of commercial entities tend to seek endorsement services through influencers, i.e., personas who gained fame on the said media, known as celebgrams (literally a made-up word for “Instagram celebrities”).

And now, what is a celebgram? A celebgram is an individual who has regularly posted creative content on his/her Instagram account and successfully attracted a great number of followers, therefore, he/she is considered to have been perceived as influential based on his/her significant viability appeal.

Commercial entities, in modern times, view a celebrity or person of a certain degree of fame as a tool for marketing potential. Along with the on-growing trend that seems unstoppable, in this era of information technology 4.0, digital advertising services have effectively morphed into its answer, a sort of replacement, to the traditional ones, in promoting products or services in an unthinkable way before: it is a short, grabbing, fast motion picture with charismatic air of spontaneity and relatability making it an attractive and appealing model of marketing. In this way, an endorsement through the service of a celebgram is seen as highly beneficial to attract market targets, i.e. Instagram users, and to build brand awareness.

Social media make it possible and accessible for anyone, with just a smartphone, to be or create a persona or alter ego on the internet, create and upload video content, gain exposure, garner engagements, and monetize it. Because of this phenomenon, the Directorate General Taxation (DGT) noticed the potential of new state revenue stemming from the engagements of social media and technology-based applications.

DGT has developed a tax monitoring application called Social Networks Analytics (SONETA). SONETA is a monitoring system that gathers data from social media, such as Instagram, Youtube, TikTok, Facebook, and Twitter, and analysed them from the amount of followers/subscribers, amount of endorsement, the lifestyle, and then, these data will be compared with Income Tax and Value Added Tax data reported from influencers. The main objective of SONETA is to identify potential cases of tax non-compliance. If there is a discrepancy between the luxurious lifestyle and the income reported, the DGT can initiate a clarification process or even conduct a tax audit. Now SONETA has gone through a transformation by using the name Smartweb, which can connect many indicators and data related to taxpayers who are under the watch of the tax authority.

The Minister of Finance regulation PMK-66/PMK.03/2023 (“PMK-66”) regarding Income Tax treatment of Benefits In-Kinds (“BIKs”) dated 27 June 2023 reveals the tax system for the social-media sector and stipulates the referral income tax for professional artists, celebrities, and influential persons. PMK-66, article 3, paragraph 3, said, “Replacement or compensation in connection with work or services received or obtained in kind and/or enjoyment is income that becomes the object of Income Tax.” This provision explains that endorsement products are also a reward and are categorized as tax objects. Consequently, professional artists, celebrities, and influencers as the endorsement actors who receive products for each promotion, will be subject to income tax. Therefore, they must pay and report.

In addition, Article 22 of PMK-66 explains the regulation of the assessment of income which is received or obtained in the form of products as a reward for work or services provided. This assessment is based on the market value for reimbursement or compensation in kind and the amount of costs incurred or should have been issued by the giver for reimbursement or compensation in the form of products. However, there is a lack of clarity for a system of assessing and determining the value of the currency.

Income Tax Law regulates that there are 3 (three) ways on income tax treatment for endorsement activities; main work income tax, service activity income tax, and side jobs income tax known as wages or honoraria. The tax treatment of this endorsement income may be various, reflecting differences in calculation (tax basis), withholding and reporting, and the final or non-final nature of the tax. Other than being subject to Income Tax, the endorsement activities can be subject to Value Added Tax since the endorsement is included in the category of selling/buying of services. However, this is not be specified for the rate. This tax is not contained whether the rate is the same as a VAT rate (based on VAT regulation dated on January 1st, 2025, the rate is 12%).

One of the strategies needs to be considered by business or commercial entities to hire celebgrams to do endorsement services or individuals posting creative content is to state in the contract for all value including the value of products, travelling expense for overseas or domestic trip for launching products, and all the value and fee is subject to tax.

Furthermore, influencers are advised to manage their records properly and to be orderly in reporting income from endorsements, paid partnerships, and foreign platforms; this way, everything can be traceable and cleared up, making the accountability for the tax reports cannot be denied.

 

Penulis: Anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Timur

Yolanda Ferida

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

Penerimaan Pajak Turun Drastis, Defisit Anggaran 2025 Terancam Melebar

IKPI, Jakarta: Penurunan signifikan pada penerimaan pajak di awal tahun 2025 diprediksi akan berdampak besar terhadap defisit anggaran negara. Pada Januari 2025, kinerja penerimaan pajak tercatat turun hingga 41,9%, yang berpotensi membuat defisit anggaran melebar dari target yang telah ditetapkan sebesar 2,53% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menyebut bahwa jika tren penurunan ini terus berlanjut, penerimaan negara berpotensi mengalami shortfall Rp300 hingga Rp400 triliun. Hal ini secara otomatis akan memperbesar defisit anggaran hingga mencapai Rp800 triliun atau hampir 3% dari PDB.

“Berdasarkan prediksi kami pada akhir Januari 2025 lalu, potensi defisit hingga Rp800 triliun atau hampir 3% PDB adalah skenario yang realistis jika situasi ini terus berlanjut tanpa solusi cepat,” ujar Achmad dalam keterangan resmi pada Rabu (12/3/2025).

Penurunan penerimaan pajak ini terjadi di tengah tingginya kebutuhan belanja negara, terutama untuk program-program yang menjadi janji kampanye Presiden Prabowo-Gibran. Program-program tersebut mencakup belanja sosial dan pangan, yang membuat ruang fiskal untuk pemangkasan belanja menjadi sangat terbatas.

Selain itu, upaya untuk menutup defisit dengan penerbitan utang baru diperkirakan akan lebih mahal karena pasar obligasi mulai bereaksi negatif terhadap kondisi ini. Kenaikan imbal hasil atau yield obligasi negara (SUN) menunjukkan bahwa pasar menuntut premi risiko yang lebih tinggi bagi utang pemerintah, seiring dengan kekhawatiran atas kondisi fiskal yang memburuk.

Achmad memperingatkan bahwa jika pemerintah terus memaksakan belanja tanpa disertai penerimaan yang memadai, maka risiko pembengkakan utang akan meningkat. Hal ini dapat memperbesar beban bunga utang yang saat ini telah mencapai lebih dari Rp500 triliun per tahun.

Peneliti Makroekonomi dan Pasar Keuangan di LPEM FEB UI, Teuku Riefky, juga menyoroti potensi pelebaran defisit akibat kebutuhan belanja yang tinggi di tengah penurunan aktivitas ekonomi. Sementara itu, Ekonom Bahana Sekuritas, Putera Satria Sambijantoro, mengamini bahwa penerimaan pajak mengalami tekanan dari berbagai sisi.

Selain implementasi sistem Coretax yang belum optimal, target penerimaan tahun 2025 juga mengandalkan PPN sebesar 12%. Namun, kebijakan tersebut batal diterapkan dan PPN tetap berada pada level 11%. Daya beli masyarakat yang lemah turut berpengaruh pada penerimaan dari Pajak Penghasilan (PPh) individu maupun badan.

Di sisi lain, penurunan harga komoditas seperti batu bara dan nikel semakin memperbesar potensi shortfall penerimaan negara.

“Jadi tahun ini target defisit sebesar 2,53% dari PDB kemungkinan akan melebar hingga 2,6% hingga 2,8% pada akhir tahun,” ungkap Putera Satria, Rabu (12/3/2025).

Dalam postur APBN 2025, pemerintah menargetkan pendapatan negara senilai Rp3.005,13 triliun, yang utamanya bersumber dari penerimaan pajak sebesar Rp2.189,31 triliun. Sementara itu, belanja negara direncanakan mencapai Rp3.621,3 triliun, yang menambah tantangan bagi pemerintah dalam menjaga stabilitas fiskal di tengah kondisi penerimaan pajak yang tertekan. (alf)

 

Penerimaan Pajak Januari 2025 Turun Jadi 41,86% 

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan bahwa realisasi penerimaan pajak pada Januari 2025 tercatat sebesar Rp 88,89 triliun. Angka ini mengalami penurunan signifikan sebesar 41,86% dibandingkan dengan penerimaan pajak pada Januari 2024 yang mencapai Rp 152,89 triliun.

“Realisasi penerimaan pajak Januari 2025 tercatat Rp 88,89 triliun atau 4,06% dari target, lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya,”

tulis Kemenkeu dalam Laporan APBN Kita Edisi Februari 2025 yang dirilis pada Rabu (12/3/2025).

Rincian penerimaan pajak hingga 31 Januari 2025 adalah sebagai berikut:

• Pajak Penghasilan (PPh) nonmigas: Rp 57,78 triliun atau 5,04% dari target.

• Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM): Rp 24,62 triliun atau 2,60% dari target.

• Pajak Penghasilan (PPh) migas: Rp 4,27 triliun atau 6,79% dari target.

Kinerja penerimaan pada ketiga kelompok pajak tersebut mengalami pelambatan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Di sisi lain, penerimaan dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta pajak lainnya mengalami peningkatan sebagai dampak dari ketentuan baru terkait deposit pajak.

Realisasi PBB dan pajak lainnya tercatat sebesar Rp 2,22 triliun atau 6,37% dari target.

Penurunan signifikan pada penerimaan pajak ini menjadi perhatian serius bagi pemerintah dalam upaya mencapai target penerimaan pajak tahun 2025. (alf)

 

IKPI dan GP Ansor Tandatangani Kerja Sama Strategis untuk Peningkatan Literasi Perpajakan

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld, menegaskan komitmennya untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap kewajiban perpajakan melalui kerja sama strategis dengan Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda (PP GP) Ansor. Pernyataan ini disampaikan Vaudy dalam acara penandatanganan perjanjian kerja sama (PKS) yang berlangsung di Kedai Tempo, Jakarta, pada Rabu (12/3/2025).

Dalam sambutannya, Vaudy menekankan pentingnya kolaborasi lintas organisasi untuk mendorong kesadaran pajak yang lebih luas di kalangan masyarakat. “Melalui kerja sama ini, kami berharap dapat menjangkau komunitas yang lebih luas, khususnya di kalangan pemuda yang merupakan generasi penerus bangsa. Pemahaman yang baik tentang pajak akan menciptakan kesadaran berkontribusi dalam pembangunan nasional,” ujar Vaudy.

Perjanjian kerja sama ini mencakup berbagai program edukasi, pelatihan, dan pendampingan kepada masyarakat terkait kewajiban perpajakan. IKPI akan memberikan bimbingan teknis kepada anggota GP Ansor agar mereka dapat berperan aktif dalam menyebarkan informasi yang benar mengenai pajak di komunitas mereka masing-masing.

Sementara itu, Ketua Umum PP GP Ansor Addin Jauharudin, yang turut hadir dalam acara tersebut, menyambut baik kerja sama ini. Menurutnya, langkah ini sejalan dengan misi GP Ansor dalam memberdayakan pemuda agar memiliki pengetahuan yang memadai dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk soal perpajakan.

“Kami percaya bahwa pemahaman yang baik tentang pajak adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang lebih taat aturan dan berkontribusi pada kemajuan bangsa. Dengan dukungan dari IKPI, kami optimis anggota GP Ansor dapat menjadi agen perubahan yang aktif di tengah masyarakat,” katanya.

Acara penandatanganan kerja sama ini turut dihadiri sejumlah Pengurus Pusat IKPI yakni:

1. Ketua Umum Vaudy Starworld

2. Wakil Ketua Jetty

3. Sekretaris Umum, Associate Professor Edy Gunawan

4. Wakil Sekretaris Umum Nova Tobing

5. Ketua Departemen Pengembangan Organisasi Nuryadin Rahman

6. Ketua Departemen Kerja Sama Antar Asosiasi dan Organisasil Handi

7. Anggota Departemen Hukum Esther Listya Novanty

8. Anggota Departemen Hubungan International Andreas Adoe

9. Direktur Eksekutif Asih Arianto

Dari PP GP Ansor Hadir Ketua Umum Addin Jauharudin dan jajaran pengurusnya.

Hadir juga Mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo dan Ekonom Indef Berly.

Kolaborasi ini diharapkan mampu membawa dampak positif bagi peningkatan kesadaran pajak di kalangan pemuda dan masyarakat umum. (bl)

 

Kemenkeu Satu dan Pemprov DKI Jakarta Perkuat Edukasi Pajak di Sekolah hingga Pertukaran Data Perpajakan

IKPI, Jakarta: Kantor Perwakilan Kemenkeu Satu se-Jakarta Raya menjalin kolaborasi dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dalam upaya memperkuat kebijakan fiskal. Kerja sama ini mencakup beberapa inisiatif utama, di antaranya integrasi edukasi perpajakan di sekolah-sekolah, pertukaran data perpajakan, serta penguatan pemahaman wilayah fiskal di Jakarta.

Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Pusat yang juga menjabat sebagai Kepala Perwakilan Kemenkeu Satu se-Jakarta Raya, Eddi Wahyudi, menyoroti pentingnya harmonisasi antara pajak pusat dan pajak daerah guna memastikan keberlanjutan fiskal nasional dan daerah.

“Pentingnya sinkronisasi antara aparatur Pajak Pusat dan Pajak Daerah demi mencapai APBD dan APBN yang tangguh. Sinergi ini menjadi kunci dalam menjaga stabilitas keuangan negara dan daerah,” ujar Eddi dalam keterangannya pada Rabu (12/3/2025).

Sebelumnya, Eddi Wahyudi bersama perwakilan Kementerian Keuangan lainnya telah mengadakan audiensi dengan Gubernur Daerah Khusus Jakarta, Pramono Anung, di Balai Kota. Audiensi tersebut membahas berbagai bentuk kolaborasi penguatan kebijakan fiskal yang bertujuan untuk mempererat sinergi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah.

Eddi menyampaikan harapannya bahwa pertemuan tersebut dapat semakin mempererat kerja sama antara unit kerja vertikal DJP dengan Pemprov DKI Jakarta, demi mewujudkan sistem perpajakan yang lebih inklusif, transparan, dan berdaya guna bagi pembangunan daerah maupun nasional.

Dalam kesempatan yang sama, Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, menegaskan komitmen Pemprov DKI untuk memperkuat kolaborasi fiskal dengan Kemenkeu.

“Pemprov DKI Jakarta menyambut baik pertemuan ini dan berkomitmen untuk menjadi partner yang bisa berkolaborasi dengan baik, saling respek, dan memberikan apresiasi,” kata Pramono.

Sebagai simbol dukungan terhadap edukasi perpajakan bagi generasi muda, Kanwil DJP Jakarta Barat turut menyematkan jaket Relawan Pajak “Renjani” kepada Pramono. Penyematan jaket ini menjadi simbol kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam meningkatkan literasi pajak di kalangan pelajar dan mahasiswa. (alf)

 

 

Update 11 Maret! Baru 7,49 Juta Wajib Pajak Lapor SPT Tahunan 

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat sebanyak 7,49 juta wajib pajak (WP) telah menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan per 11 Maret 2025 pukul 00.01 WIB. Angka ini tumbuh 2,46% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

“Sampai dengan 11 Maret 2025 pukul 00.01 WIB, total SPT Tahunan PPh tahun pajak 2024 yang sudah disampaikan adalah sebanyak 7,49 juta SPT,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti dalam keterangan resmi, Selasa (11/3/2025).

Dari jumlah tersebut, sebanyak 7,27 juta WP merupakan wajib pajak orang pribadi, sedangkan sisanya 210 ribu merupakan wajib pajak badan.

Batas Akhir Pelaporan SPT

Pelaporan SPT Tahunan pajak tahun 2024 telah dibuka sejak 1 Januari 2025. Berdasarkan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), batas akhir penyampaian SPT Tahunan untuk wajib pajak orang pribadi adalah 31 Maret 2025, sedangkan bagi wajib pajak badan paling lambat 30 April 2025.

Mendekati batas waktu tersebut, DJP mengimbau masyarakat untuk segera melaporkan SPT Tahunan melalui laman resmi djponline.pajak.go.id agar lebih nyaman dan tenang.

“Bagi yang belum lapor, segera lakukan pelaporan SPT Tahunan melalui e-Filing di djponline.pajak.go.id agar lebih nyaman dan tenang,” imbau Dwi.

Sanksi Keterlambatan

Pelaporan Wajib pajak yang terlambat atau tidak melaporkan SPT Tahunan akan dikenakan sanksi administrasi sesuai dengan UU KUP. Pasal 7 UU tersebut mengatur sanksi berupa denda sebesar Rp 100 ribu bagi wajib pajak orang pribadi dan Rp 1 juta bagi wajib pajak badan.

Cara Lapor SPT Tahunan Pajak

Berikut langkah-langkah pelaporan SPT Tahunan secara online melalui e-Filing:

• Buka laman djponline.pajak.go.id

• Login menggunakan NIK/NPWP, password, dan kode keamanan

• Setelah login, klik “Lapor” dan pilih layanan “e-Filing”

• Klik “Buat SPT” dan jawab pertanyaan yang muncul untuk menentukan formulir yang sesuai

• Isi data formulir seperti tahun pajak dan status SPT normal, lalu klik langkah berikutnya

• Isi SPT sesuai dengan bukti potong pajak dari pemberi kerja dan ikuti panduan e-Filing

• Setelah selesai, akan muncul ringkasan SPT dan opsi untuk mendapatkan kode verifikasi

• Klik “Di Sini” untuk mengambil kode verifikasi yang akan dikirimkan melalui email atau SMS

• Masukkan kode verifikasi tersebut dan klik “Kirim SPT”

Setelah proses selesai, laporan SPT akan terekam dalam sistem DJP, dan bukti pelaporan akan dikirim melalui email.

DJP mengingatkan masyarakat untuk tidak menunda pelaporan agar dapat menghindari risiko denda dan sanksi administratif. (alf)

 

id_ID