KPP Badora Hadirkan “One Stop Services Hub”, Wajib Pajak Kini Lebih Mudah Konsultasi

IKPI, Jakarta: Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing (KPP Badora) meresmikan ruang layanan dan konsultasi baru di lantai 1 gedung KPP Badora, Jalan Taman Makam Pahlawan Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan, pada Rabu (26/11). Ruang yang diberi nama “Badora One Stop Services Hub” ini dibuka langsung oleh Kepala KPP Badora, Natalius, dikutip Senin (8/12/2025).

Dalam peresmian tersebut, Natalius menyampaikan bahwa pembaruan fasilitas menjadi langkah strategis untuk memperkuat kualitas layanan perpajakan sekaligus mendukung optimalisasi penerimaan negara. Ia berharap fasilitas baru yang lebih modern dan representatif dapat meningkatkan kenyamanan wajib pajak serta mendorong kepatuhan yang lebih baik.

Ruang layanan baru ini merupakan hasil revitalisasi Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) lama yang sebelumnya berada di lokasi yang sama. Setelah TPT KPP Badora dipindahkan ke TPT Terintegrasi di KPP PMA Dua tahun lalu, ruang lama kemudian dirancang ulang sebagai pusat konsultasi dan ruang temu wajib pajak. Dengan perubahan ini, wajib pajak kini dapat berkonsultasi tanpa harus naik ke lantai atas.

Fasilitas yang tersedia dirancang untuk lebih akomodatif, mulai dari ruang konsultasi wajib pajak, tiga ruang rapat untuk konseling dan pembahasan hasil pemeriksaan, hingga infrastruktur ramah disabilitas. Interiornya didominasi warna putih dan coklat muda, memberi kesan bersih, modern, dan profesional. Renovasi juga mencakup ruang Seksi Pelayanan yang berada di area belakang.

Seorang wajib pajak bernama Garda Budiman turut memberikan kesan positif saat mengunjungi fasilitas baru tersebut. Ia menilai ruangan terlihat jauh lebih modern, bersih, dan nyaman digunakan untuk berdiskusi. Garda berharap peningkatan kualitas layanan seperti ini dapat terus dipertahankan.

KPP Badora merupakan unit vertikal DJP di bawah Kanwil DJP Jakarta Khusus yang menangani berbagai segmen wajib pajak, termasuk Bentuk Usaha Tetap, warga negara asing yang telah menjadi subjek pajak dalam negeri, badan internasional dan pejabatnya, perwakilan negara asing, serta pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik. (alf)

Mulai 2026, Prancis Kenakan Pajak Wisata Kapal Pesiar Rp290 Ribu per Penumpang

IKPI, Jakarta: Prancis bersiap menerapkan pajak baru bagi wisatawan kapal pesiar mulai tahun 2026. Setiap penumpang akan dikenai pungutan sebesar 15 euro, atau sekitar Rp 290 ribu, untuk setiap kali kapal pesiar bersandar di pelabuhan Prancis. Langkah ini menjadikan Prancis sebagai negara Eropa berikutnya yang memperketat regulasi sektor pelayaran wisata.

Kebijakan tersebut bergulir seiring meningkatnya perhatian terhadap dampak lingkungan dari industri kapal pesiar. Kota Cannes sudah lebih dulu mengambil langkah ekstrem dengan melarang kapal pesiar berkapasitas lebih dari 1.000 penumpang mulai 1 Januari mendatang. Sementara Nice membatasi maksimal 65 kunjungan kapal pesiar per tahun untuk mengurangi tekanan terhadap kota.

Senat Prancis telah memberi lampu hijau untuk rencana pajak ini. Senator Jean-Marc Delia menegaskan bahwa kebijakan tersebut diperlukan untuk menekan polusi, mencatat bahwa kapal pesiar di Eropa menghasilkan sekitar tujuh juta ton emisi CO₂ setiap tahun. Laporan organisasi Transport and Environment (T&E) bahkan menyebut jalur pelayaran Carnival menghasilkan lebih banyak emisi CO₂ pada 2023 dibandingkan emisi tahunan kota Glasgow.

Meski demikian, rencana itu belum sepenuhnya mulus. Pemerintahan Presiden Emmanuel Macron menyatakan keberatan. Menteri Anggaran Amélie Montchalin menilai penerapan tarif sulit dibedakan antara kapal pesiar dan feri yang sama-sama melayani penumpang. Kini, rancangan tersebut menunggu pembahasan dan keputusan di Majelis Nasional, yang diperkirakan diumumkan akhir Desember.

Eropa Kian Ketat Atur Kapal Pesiar

Prancis bukan satu-satunya yang memperketat aturan bagi pelayaran wisata.

• Yunani telah menerapkan biaya ketahanan krisis iklim sebesar 5–20 euro, tergantung destinasi.

• Norwegia memberi kewenangan pemerintah kota menetapkan pajak pariwisata 3 persen bagi penumpang kapal pesiar.

• Amsterdam dan Lisbon juga menaikkan pajak turis dan pelayaran untuk mengatasi overtourism serta mendukung pembangunan kota.

Dengan meningkatnya kekhawatiran terhadap emisi dan beban pariwisata massal, kebijakan Prancis menjadi bagian dari tren Eropa yang mendorong industri kapal pesiar berkontribusi lebih besar terhadap keberlanjutan lingkungan. (alf)

SP2DK – Membantu atau Mengganggu Wajib Pajak?

Pengertian SP2DK dan Landasan Hukumnya

Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) adalah surat resmi yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) kepada Wajib Pajak untuk meminta klarifikasi atas data atau informasi yang mengindikasikan dugaan belum dipenuhinya kewajiban perpajakan.

SP2DK merupakan instrumen pengawasan dalam sistem self-assessment, sehingga Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat menguji kewajaran pelaporan tanpa langsung masuk ke tahap pemeriksaan. SP2DK dipahami sebagai surat klarifikasi awal, bukan surat pemeriksaan ataupun surat ketetapan pajak.

Landasan normatifnya bersumber dari kewenangan DJP dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) untuk meminta data, informasi, dan keterangan kepada Wajib Pajak, serta dari kebijakan pengawasan DJP yang diatur lebih teknis dalam berbagai Surat Edaran Dirjen Pajak tentang pengawasan kepatuhan Wajib Pajak. Dengan demikian, SP2DK adalah instrumen hukum yang sah dan terukur dalam rangka menjaga kepatuhan Wajib Pajak.

Proses SP2DK

Proses SP2DK pada dasarnya dimulai dari analisis data yang dimiliki DJP. Melalui sistem informasi dan data matching (misalnya data SPT, pemotongan/pemungutan, perbankan, transaksi pihak ketiga, dan sumber lain yang sah), fiskus mengidentifikasi adanya ketidaksesuaian atau indikasi kurang lapor. Kasus yang dianggap berisiko kemudian dipilih dan dituangkan dalam bentuk SP2DK yang dikirimkan kepada Wajib Pajak melalui pos, jasa pengiriman, atau disampaikan langsung saat kunjungan. Setelah menerima SP2DK, Wajib Pajak diwajibkan memberikan tanggapan atau penjelasan dalam jangka waktu tertentu, misalnya maksimal 14 hari sejak SP2DK diterima, baik melalui surat tanggapan tertulis maupun dengan datang langsung ke KPP.

Berdasarkan tanggapan dan bukti pendukung yang disampaikan Wajib Pajak, fiskus akan menilai apakah kewajiban perpajakan sudah benar, perlu dilakukan pembetulan SPT dan pembayaran kekurangan, atau justru perlu dinaikkan ke tahap pemeriksaan apabila Wajib Pajak tidak kooperatif atau indikasi ketidakpatuhan tetap kuat. Dengan skema ini, SP2DK menjadi tahap pengawasan awal sebelum DJP menggunakan instrumen pemeriksaan formal.

Hak dan Kewajiban Wajib Pajak terhadap SP2DK

Terhadap SP2DK, Wajib Pajak memikul beberapa kewajiban. Secara umum, UU KUP dan peraturan pelaksanaannya mewajibkan Wajib Pajak untuk menyimpan buku, catatan, dan dokumen, serta memenuhi permintaan data, informasi, dan keterangan dalam jangka waktu tertentu setelah diminta oleh DJP. Dalam konteks SP2DK, kewajiban tersebut terwujud dalam bentuk:

• membaca dan memeriksa isi SP2DK dengan saksama;

• menyiapkan dokumen pendukung (bukti transaksi, rekonsiliasi, perhitungan pajak);

• memberikan tanggapan tertulis atau hadir ke KPP sesuai jangka waktu yang ditentukan; dan

• melakukan pembetulan SPT serta pelunasan kekurangan pajak apabila setelah dianalisis memang terdapat kekeliruan pelaporan.

Di sisi lain, Wajib Pajak juga memiliki hak yang harus dihormati:

• meminta penjelasan atas dasar penerbitan SP2DK dan data yang digunakan;

• didampingi kuasa hukum atau konsultan pajak;

• memperoleh perlakuan yang sopan dan profesional dari fiskus;

• dijamin kerahasiaan data dan informasi yang disampaikan; serta

• menggunakan jalur keberatan, banding, atau upaya hukum lain jika pada tahap lanjut DJP menerbitkan surat ketetapan yang tidak disetujui.

Dengan memahami hak dan kewajibannya, Wajib Pajak dapat merespons SP2DK secara proporsional dan strategis.

Hak dan Kewajiban Fiskus terhadap SP2DK

Bagi fiskus, SP2DK juga membawa serangkaian hak dan kewajiban. Hak fiskus antara lain:

• meminta penjelasan, data, dan dokumen kepada Wajib Pajak;

• melakukan klarifikasi atas data yang berasal dari pihak ketiga atau instansi lain; dan

• menindaklanjuti hasil SP2DK dengan usulan pemeriksaan apabila Wajib Pajak tidak menanggapi atau indikasi ketidakpatuhan tidak terjawab.

Hak-hak ini bersumber dari kewenangan DJP dalam UU KUP untuk menghimpun data dan menetapkan pajak yang seharusnya terutang bila ditemukan ketidakwajaran SPT. Namun, hak tersebut harus diimbangi dengan kewajiban fiskus, antara lain:

• menerbitkan SP2DK dengan bahasa yang jelas, spesifik, dan tidak multitafsir;

• menjelaskan sumber data dan logika analisis secara proporsional ketika diminta;

• memberikan kesempatan yang wajar bagi Wajib Pajak untuk menyampaikan penjelasan;

• menjaga kerahasiaan data dan informasi Wajib Pajak; dan

• bersikap profesional, tidak memaksa, serta tidak menjadikan SP2DK sebagai “pemeriksaan terselubung” di luar prosedur formal.

Dengan menyeimbangkan hak dan kewajiban tersebut, fiskus dapat menjadikan SP2DK sebagai sarana pengawasan yang tetap berorientasi pada pelayanan.

Manfaat dan Kerugian SP2DK bagi Wajib Pajak

Bagi Wajib Pajak yang patuh atau beritikad baik, SP2DK sesungguhnya membawa sejumlah manfaat.

Pertama, SP2DK berfungsi sebagai early warning system yang memberi kesempatan bagi Wajib Pajak untuk mengecek kembali kepatuhan pajaknya sebelum DJP masuk ke tahap pemeriksaan, yang biasanya berujung pada sanksi yang lebih berat. Artinya, Wajib Pajak dapat melakukan pembetulan SPT secara sukarela dengan sanksi yang relatif lebih ringan dibanding jika kekurangan pajak ditemukan dalam pemeriksaan.

Kedua, melalui dialog SP2DK, Wajib Pajak dapat memperoleh edukasi teknis dan memahami area-area yang selama ini berisiko.

Namun, dari sisi Wajib Pajak, SP2DK juga berpotensi menimbulkan kerugian atau beban, antara lain munculnya rasa khawatir, kebutuhan alokasi waktu dan biaya (misalnya untuk pendampingan konsultan), ketidaknyamanan jika bahasa surat kurang komunikatif, atau risiko terjadinya kesalahpahaman atas data yang digunakan fiskus sehingga mendorong koreksi yang dirasa kurang adil. Oleh karena itu, manfaat SP2DK akan optimal jika diimbangi dengan komunikasi yang baik dan sikap kooperatif dari kedua belah pihak.

SP2DK Membantu atau Mengganggu Wajib Pajak?

Pertanyaan apakah SP2DK lebih banyak membantu atau mengganggu Wajib Pajak pada akhirnya sangat ditentukan oleh dua faktor utama: niat dan perilaku Wajib Pajak, serta cara fiskus mengimplementasikannya.

Bagi Wajib Pajak yang berupaya patuh, SP2DK dapat dianggap sebagai pengingat resmi yang membantu mengidentifikasi kesalahan administratif atau kekeliruan perhitungan sebelum menjadi sengketa. Dalam perspektif manajemen risiko, menerima SP2DK dan segera menanggapinya dapat menjadi bagian dari tata kelola yang baik.

Sebaliknya, SP2DK akan dirasakan mengganggu apabila disampaikan tanpa komunikasi awal yang memadai, menggunakan bahasa yang terkesan mengancam, meminta data yang terlalu luas dan tidak proporsional, atau ditindaklanjuti secara kaku tanpa mempertimbangkan penjelasan dan itikad baik Wajib Pajak.

Dengan demikian, secara konseptual SP2DK dirancang untuk membantu menyehatkan kepatuhan pajak, tetapi dalam praktik bisa berubah menjadi gangguan bila tidak dijalankan dengan prinsip kejelasan, kewajaran, dan cooperative compliance.

Usulan bagi Fiskus dalam Melaksanakan SP2DK

Agar SP2DK benar-benar menjadi instrumen yang membantu, bukan menakutkan, beberapa perbaikan dapat dipertimbangkan oleh fiskus.

Pertama, penerapan prinsip risk-based approach dan materialitas: SP2DK sebaiknya difokuskan pada perbedaan data yang signifikan secara nilai maupun risiko, sehingga Wajib Pajak tidak merasa “diburu” untuk hal-hal yang sangat kecil.

Kedua, memperbaiki kualitas komunikasi dengan mengedepankan pendekatan edukatif: sebelum atau bersamaan dengan SP2DK, fiskus dapat melakukan kontak awal melalui panggilan telepon, e-mail resmi, atau kanal DJP Online sehingga Wajib Pajak memahami konteks data yang dipermasalahkan.

Ketiga, menyusun SP2DK dengan format yang lebih informatif, misalnya mencantumkan ringkasan perbandingan data (data DJP versus data SPT) secara sederhana.

Keempat, memperkuat kompetensi soft skill Account Representative dan pemeriksa dalam hal komunikasi, negosiasi, serta pemahaman bisnis Wajib Pajak, sehingga diskusi SP2DK bersifat solutif, bukan sekadar formalitas.

Kelima, mengukur keberhasilan SP2DK bukan hanya dari besarnya koreksi penerimaan, tetapi juga dari peningkatan kepatuhan sukarela dan kepuasan Wajib Pajak. Dengan demikian, SP2DK dapat benar-benar menjadi jembatan menuju hubungan otoritas pajak dan Wajib Pajak yang lebih kooperatif dan berkelanjutan.

Penulis adalah Anggota Departemen Humas, IKPI

Donny Danardono

Email: donnydanardono@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Melly Goeslaw Dukung LMKN Didanai APBN demi Perbaikan Tata Kelola Royalti Musisi

IKPI, Jakarta: Musisi senior sekaligus anggota Komisi X DPR, Melly Goeslaw, mendorong agar pendanaan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dialihkan ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Usulan ini disampaikan Melly dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Badan Legislasi DPR, Sabtu (6/12/2025).

Dalam forum tersebut, Melly secara terbuka menyampaikan kelelahan para pelaku industri musik terhadap ketidakpastian tata kelola royalti yang selama puluhan tahun dinilainya sulit diawasi. Menurutnya, pembiayaan LMKN oleh negara akan membuka ruang pengawasan yang lebih ketat dan mendorong transparansi.

“Sebagai pekerja seni, saya sudah lelah. Kalau ada hal yang mencurigakan di LMK atau LMKN, kami tidak pernah bisa berbuat apa-apa. Karena itu saya setuju LMKN dibiayai APBN,” ujar Melly dalam pernyataannya di hadapan Baleg.

Ia menambahkan bahwa keterlibatan negara melalui APBN memungkinkan adanya mekanisme akuntabilitas yang lebih kuat, termasuk potensi pemeriksaan oleh lembaga penegak hukum jika terjadi penyimpangan.

“Kalau ada APBN, mungkin KPK bisa turun tangan. Jadi semua pihak akan berpikir dua kali kalau mau bermain curang,” tegasnya.

Melly menilai perbaikan sistem royalti adalah kebutuhan mendesak, bukan hanya dari sisi nominal, tetapi juga penghargaan terhadap perjalanan kreatif para musisi. Ia menekankan bahwa sistem yang ideal harus mampu melacak perolehan royalti secara real-time dan dapat dipahami dengan jelas oleh para pencipta lagu.

Menurut Melly, LMKN perlu memberikan edukasi yang lebih komprehensif kepada para pencipta mengenai sumber royalti, mekanisme distribusi, dan hak-hak yang melekat pada karya—terutama dalam era digital yang terus berkembang.

“Royalti itu bukan sekadar angka, tapi penghargaan atas waktu, perasaan, tenaga, dan kehidupan kami,” katanya menutup pernyataan. (alf)

Apindo Dorong Insentif Fiskal 2026 Difokuskan ke Padat Karya dan UMKM

IKPI, Jakarta: Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta pemerintah mengarahkan insentif fiskal tahun depan kepada sektor-sektor yang terbukti paling terpukul sepanjang 2025. Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani mengatakan industri padat karya dan UMKM mengalami pelemahan signifikan selama tahun ini, sehingga membutuhkan dukungan fiskal yang lebih terarah.

Dalam keterangannya dikutip, Minggu (7/12/2025), Shinta menilai insentif fiskal seperti tax holiday dan tax allowance memiliki peran penting sebagai peredam gejolak ekonomi. Menurutnya, dua fasilitas itu memberikan ruang bernapas bagi pelaku industri, terutama di fase awal investasi atau saat ekspansi masih menuntut kebutuhan modal yang besar. Karena itu, ia berharap insentif tahun depan diprioritaskan kepada sektor yang paling besar menyerap tenaga kerja.

“Sepanjang 2025, sebagian besar sektor riil melemah, terutama industri padat karya. UMKM juga menghadapi tekanan serupa karena kemampuan ekspansinya terbatas. Padahal, keduanya adalah sumber penyerapan tenaga kerja terbesar,” ujar Shinta.

Shinta menilai insentif tidak cukup hanya diberikan kepada pelaku usaha, tetapi juga harus diarahkan untuk mengurangi tingginya struktur biaya yang menahan pemulihan ekonomi. Ia menyebut tiga komponen besar yang masih membebani dunia industri: suku bunga pinjaman, harga energi, dan biaya logistik. Jika biaya struktural ini tidak turun, kata dia, insentif yang disalurkan melalui APBN tidak akan mencapai dampak optimal.

Di sisi lain, Shinta mengingatkan bahwa insentif hanya akan efektif apabila diterapkan secara konsisten, mudah diakses, dan sejalan dengan perbaikan iklim usaha. Kepastian regulasi, proses perizinan yang efisien, dan penegakan hukum yang kuat menurutnya menjadi prasyarat dalam menarik investasi berkualitas. “Di tengah kompetisi global yang semakin ketat, selective incentives yang dirancang dengan tepat adalah instrumen penting untuk mendapatkan investasi yang berkelanjutan,” tambah CEO Sintesa Group itu.

Buku II Nota Keuangan RAPBN 2026 menunjukkan tren kenaikan belanja perpajakan sepanjang lima tahun terakhir. Nilainya naik dari Rp293 triliun pada 2021 menjadi Rp530,3 triliun pada 2025, atau melonjak 32,5% secara tahunan. Pada 2026, anggaran belanja perpajakan kembali meningkat menjadi Rp563,6 triliun. Porsi terbesar masih berasal dari PPN dan PPnBM serta PPh, dengan estimasi mencapai Rp343,3 triliun pada 2025 dan naik menjadi Rp371,9 triliun pada 2026.

Belanja perpajakan untuk mendorong investasi tercatat Rp84,3 triliun pada 2025 dan naik menjadi Rp84,7 triliun pada 2026. Sementara dukungan perpajakan bagi dunia bisnis meningkat dari Rp56,9 triliun menjadi Rp58,1 triliun pada periode yang sama.

Sebelumnya, dalam Media Gathering pada November 2025, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto mengungkapkan rencana pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh insentif perpajakan. Evaluasi tersebut akan melibatkan BPKP dan lembaga penegak hukum seperti KPK, guna memastikan kebijakan tidak disalahgunakan dan tetap mampu mendorong penerimaan negara. “Perlu dilihat apakah proses bisnisnya sudah tepat, atau ada hal yang harus diperbaiki sehingga manfaat insentif bisa lebih optimal,” kata Bimo di Kanwil DJP Bali pada Selasa (25/11/2025). (alf)

Kemenkeu Siapkan Insentif Pajak untuk Aksi Korporasi BUMN

IKPI, Jakarta: Pemerintah tengah merampungkan kebijakan fiskal baru berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang akan memberikan keringanan pajak bagi BUMN yang melakukan aksi korporasi. Aturan ini ditargetkan terbit pada Desember 2025, sebagaimana disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto usai mengikuti Rapat Dewan Pengawas Danantara di Jakarta Selatan, Jumat (5/12/2025).

Airlangga menekankan bahwa restrukturisasi dan konsolidasi berbagai BUMN, termasuk Pertamina, membutuhkan kepastian perpajakan agar proses merger, akuisisi, dan penataan ulang lainnya tidak menghambat kinerja perusahaan.

“Butuh penyesuaian PMK tentang perpajakan. Itu yang kita selesaikan, bukan hanya untuk Pertamina, tetapi keseluruhan proses BUMN,” ujarnya.

Ia berharap beleid tersebut rampung tepat waktu. “Kalau PMK-nya sih mudah-mudahan Desember ini selesai.”

Rencana tersebut selaras dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto yang menargetkan penyederhanaan jumlah BUMN dari hampir 1.000 entitas menjadi sekitar 200 perusahaan aktif. Proses perampingan besar ini dipastikan memicu banyak aksi korporasi sehingga memerlukan dukungan fiskal yang terukur.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menyebut insentif tersebut akan berlaku untuk jangka 3 hingga 4 tahun ke depan. Ia memastikan fasilitas ini bukanlah pengurangan kewajiban pajak atas transaksi restrukturisasi, tetapi mekanisme agar reorganisasi BUMN tidak menggerus potensi dividen.

“Nanti ada kerangka regulasi yang membuat BUMN lebih efisien dan merger-mergernya lebih ekonomis,” jelas Bimo.

Namun, ia menggarisbawahi bahwa pembahasan antara Kemenkeu dan pemangku kepentingan terkait masih belum final. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sebelumnya juga menegaskan bahwa setiap insentif hanya akan diberikan sepanjang sesuai koridor peraturan perundang-undangan.

Dengan penyusunan PMK yang memasuki tahap akhir, pemerintah berharap konsolidasi besar-besaran BUMN dapat berjalan lebih efisien tanpa memberikan tekanan berlebih pada penerimaan negara. (alf)

Pemerintah Tautkan Insentif Pajak dengan Agenda Pembersihan Pasar Modal dan Proteksi Industri

IKPI, Jakarta: Pemerintah mulai menerapkan pendekatan yang lebih selektif dalam pemberian insentif fiskal, dengan mengaitkannya pada kualitas iklim usaha dan kebersihan pasar keuangan. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa bahkan menegaskan bahwa insentif pajak di pasar modal hanya akan mengalir jika OJK dan BEI mampu menindak pelaku “saham gorengan.”

Pernyataan itu menandai babak baru insentif tidak lagi diberikan sekadar untuk mendorong investasi, tetapi sebagai leverage pemerintah untuk mendorong tata kelola ekonomi yang lebih bersih.

“Kalau dalam enam bulan ada penindakan jelas terhadap pelaku saham gorengan, insentif akan kami keluarkan lebih cepat,” kata Purbaya dalam Financial Forum di BEI, baru-baru ini. 

Ia menjelaskan, langkah tersebut diperlukan agar investor ritel masuk ke pasar yang lebih adil dan tidak terjebak manipulasi harga yang selama ini menggerus kepercayaan publik.

Di luar pasar modal, pemerintah juga menargetkan ketertiban perdagangan fisik. Purbaya menegaskan komitmen memperketat pengawasan impor ilegal, mulai dari tekstil thrifting hingga baja murah yang dinilai merusak industri domestik dan menggerus basis pajak jangka panjang. 

“Saya jaga border-nya, karena ini langsung berdampak pada domestic demand dan basis pajak kita,” tegasnya.

Pendekatan baru pemerintah ini semakin relevan mengingat belanja perpajakan Indonesia melonjak signifikan. Pada 2025, nilai insentif diproyeksikan naik 32,5% menjadi Rp530,3 triliun. Di sisi lain, DJP mencatat bahwa kebijakan fiskal menyumbang policy gap sebesar Rp396 triliun per tahun sepanjang 2016–2021.

Artinya, pemerintah kini tidak hanya mempertahankan insentif sebagai alat pengungkit pertumbuhan ekonomi seperti yang ditegaskan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dalam Rapimnas Kadin tetapi juga sebagai alat kontrol. “Insentif ini akan efektif jika ekosistemnya bersih. Kalau pasar modal dan industri kita sehat, multiplier effect-nya jauh lebih tinggi,” ujar Airlangga.

Dengan demikian, insentif fiskal Indonesia memasuki fase baru: tidak diberikan merata, tetapi disesuaikan dengan kualitas tata kelola sektor penerima. Untuk pertama kalinya, pemerintah mengaitkan keringanan pajak dengan agenda penegakan hukum, integritas pasar, hingga perlindungan industri lokal.

Kebijakan ini dinilai para analis sebagai sinyal bahwa pemerintah ingin mengurangi kebocoran ekonomi, memastikan insentif tidak dinikmati oleh pelaku yang tidak berkontribusi terhadap kualitas perekonomian, serta mendorong pertumbuhan yang lebih sehat dan kompetitif menuju 2026. (alf)

Insentif Pajak Dinilai Bukan Lagi Soal Mengerek Investasi, Tetapi Menggeser Struktur Ekonomi ke Sektor Bernilai Tinggi

IKPI, Jakarta: Kebijakan insentif pajak yang selama ini kerap dibaca sebagai “biaya fiskal” kini mulai dilihat pemerintah sebagai instrumen untuk menggeser struktur ekonomi nasional menuju sektor bernilai tambah lebih tinggi. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menegaskan bahwa tax holiday dan tax allowance tidak dapat lagi dipahami sekadar sebagai pengurang penerimaan jangka pendek, melainkan sebagai pendorong transformasi industri secara sistemik.

Pandangan ini muncul di tengah sorotan publik atas meningkatnya belanja perpajakan yang pada 2025 diproyeksikan menembus Rp530,3 triliun dan kembali naik menjadi Rp563,6 triliun pada 2026. Dalam periode yang sama, tax ratio nasional tercatat memiliki gap rata-rata 6,4% terhadap PDB sepanjang 2016–2021, di mana 2,7% di antaranya berasal dari kebijakan fiskal berupa pengecualian dan insentif pajak.

“Dalam jangka panjang, insentif merupakan trade-off agar sektor penerima mampu menghasilkan nilai tambah, memperluas lapangan kerja, dan memperkuat daya saing,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas DJP Rosmauli, dikutip Minggu (7/12/2025). 

Ia menekankan bahwa setiap insentif yang digelontorkan diarahkan untuk menciptakan efek berantai yang lebih besar daripada penerimaan pajak yang “hilang” di tahun berjalan.

Pergeseran cara pandang ini membuat pemerintah semakin fokus menyusun insentif yang terukur. Bukan lagi soal “menarik investasi sebanyak mungkin,” tetapi “menarik investasi yang paling efektif mendorong transformasi struktur ekonomi” mulai dari industri berteknologi tinggi, manufaktur yang berbasis ekspor berkelanjutan, hingga sektor yang mampu memasok kebutuhan domestik agar impor dapat ditekan.

Dalam konteks tersebut, meningkatnya belanja perpajakan justru mencerminkan upaya pemerintah melakukan intervensi pada titik-titik yang selama ini menjadi bottleneck produktivitas. Pada 2025, insentif untuk peningkatan investasi diprioritaskan sebesar Rp84,3 triliun dan meningkat menjadi Rp84,7 triliun pada 2026.

“Pertanyaan utamanya bukan lagi ‘berapa banyak penerimaan yang hilang?’ tetapi ‘berapa besar nilai tambah yang tercipta?’” ujar Rosmauli.

Namun, sejumlah ekonom menilai jika arah kebijakan ini konsisten, maka transformasi ekonomi yang lebih dalam dapat dicapai tanpa harus menunggu penyesuaian tarif atau regulasi baru. Pemerintah, sedang menggunakan insentif pajak sebagai “kemudi” untuk mengarahkan ulang ekonomi Indonesia ke sektor bernilai tinggi, bukan hanya sebagai “pengurang beban” dunia usaha. (alf)

IKPI Serahkan Bantuan Beras, Mie Instan dan Obat-Obat-an untuk Korban Bencana di Pulau Sumatera

IKPI, Pekanbaru: Gelombang kepedulian mengalir dari Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) bagi masyarakat yang terdampak rangkaian bencana alam di wilayah barat Indonesia. Organisasi profesi konsultan pajak terbesar dan tertua di Indonesia itu mengoordinasikan bantuan kemanusiaan untuk korban bencana di tiga provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat yang mengalami kerusakan parah beberapa waktu terakhir.

Sebagai bentuk respons cepat, Pengurus Pusat IKPI melalui Departemen Keagamaan, Seni, Sosial, dan Olahraga (KSSO) bergerak bersama  Pengurus Daerah (Pengda), Sumatera Bagian Tengah (Sumbagteng) dan Pengda Sumatera Bagian Utara (Sumbagut). Koordinasi dilakukan secara intensif selama beberapa hari, hingga pada Minggu, 7 Desember 2025, bantuan resmi disalurkan melalui pusat distribusi di Pekanbaru.

Penyerahan bantuan dipimpin langsung oleh Ketua IKPI Pengda Sumbagteng, Gazali Tjaya Indera, yang mewakili seluruh anggota IKPI di wilayah tersebut. Bantuan kemudian diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Barat (Pemprov Sumbar) melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) agar dapat didistribusikan secara cepat dan tepat sasaran ke daerah yang paling membutuhkan.

(Foto: DOK. IKPI Pengda Sumatera Bagian Tengah)

“Bantuan kami sudah diterima BPBD Pemprov Sumatera Barat dan kebetulan disaksikan langsung oleh Gubernur Sumbar H. Mahyeldi Ansharullah,” kata Gazali.

Donasi Nasional

Bantuan yang dikumpulkan IKPI terbilang besar dan mencerminkan solidaritas para konsultan pajak di seluruh Indonesia. Total bantuan yang disalurkan meliputi:

• 2.000 kilogram beras,

• 200 karton mi instan, dan

• 200 kantong obat-obatan dasar.

Semua bantuan berasal dari donasi para anggota IKPI dari berbagai daerah, yang bergerak spontan setelah mendapat laporan mengenai besarnya dampak bencana.

“Aksi ini lahir dari kepedulian tanpa batas anggota IKPI di seluruh Indonesia. Ketika bencana terjadi, tidak ada lagi batas daerah—yang ada hanya solidaritas. Ini adalah bentuk nyata bahwa profesi kami tidak hanya bekerja di ruang administrasi dan perpajakan, tetapi juga memiliki misi sosial,” ujar Gazali.

Ia menambahkan, kontribusi ini diharapkan dapat membantu masyarakat memenuhi kebutuhan paling mendesak, terutama bagi warga yang masih mengungsi dan belum dapat kembali ke rumah mereka.

Akses Terbatas, Distribusi Lewat Pemda Dinilai Lebih Efektif

Gazali menyampaikan bahwa pihaknya memilih menyalurkan bantuan melalui Pemerintah Daerah karena adanya keterbatasan akses ke sejumlah lokasi terdampak. Beberapa daerah dilaporkan masih terisolasi akibat jalan yang rusak, jembatan terputus, serta kondisi cuaca yang tidak menentu.

“Dalam kondisi seperti ini, pemerintah daerah—melalui BPBD—memiliki jaringan distribusi yang lebih lengkap. Mereka sudah memetakan wilayah prioritas dan memiliki armada yang mampu menjangkau daerah-daerah terluar. Ini membuat bantuan dapat diterima lebih cepat dan tepat sasaran,” jelasnya.

Selain itu, koordinasi dengan pemerintah daerah juga memberikan kepastian bahwa bantuan akan dikelola secara terstruktur dan tidak tumpang tindih dengan bantuan lain.

IKPI Tegaskan Komitmen Kemanusiaan

Peristiwa bencana yang terjadi di tiga provinsi tersebut telah mengakibatkan kerusakan signifikan pada permukiman warga, fasilitas umum, hingga tempat usaha. Sejumlah masyarakat terpaksa mengungsi dan membutuhkan dukungan pangan serta perlengkapan medis dasar.

IKPI menyadari bahwa proses pemulihan wilayah dan masyarakat terdampak membutuhkan waktu yang panjang. Oleh sebab itu, Gazali menegaskan bahwa IKPI siap terus mendukung upaya kemanusiaan, baik dalam bentuk bantuan lanjutan maupun kerja sama dengan pemerintah dan mitra lembaga sosial.

“Kami tidak berhenti di sini. IKPI selalu membuka ruang donasi bagi anggota dan masyarakat luas. Ketika ada kebutuhan tambahan, kami siap kembali bergerak. Ini bukan hanya tanggung jawab organisasi, tetapi juga panggilan kemanusiaan,” ujarnya.

Ia menyampaikan doa bagi ribuan warga yang sedang menghadapi masa sulit pascabencana. Baik mereka yang kehilangan rumah, mengalami kerusakan harta benda, maupun yang masih berada di pengungsian.

“Kami berdoa semoga saudara-saudara kita yang tertimpa bencana diberikan ketabahan, kekuatan, dan kesehatan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Semoga wilayah-wilayah terdampak dapat pulih kembali dan kembali menjadi tempat tinggal yang aman bagi masyarakat,” ungkapnya. (bl)

Seminar IKPI Pengda Banten: Program Tax Amnesty dan PPS Dinilai Belum Berhasil Dongkrak Tax Ratio

IKPI, Sukabumi: Dalam Seminar PPL IKPI Pengda Banten yang digelar di Sukabumi, Sabtu (6/12/2025), Kapusdiklat Pajak BPPK, Muh. Tunjung Nugroho, menyampaikan evaluasi kritis terhadap dua program besar perpajakan Indonesia: Tax Amnesty 2016–2017 dan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) 2022. Meskipun kedua program ini dinilai sukses dalam mengumpulkan penerimaan, Tunjung menegaskan bahwa dampaknya terhadap peningkatan tax ratio nasional belum signifikan.

Dalam pemaparannya, Tunjung merinci capaian Tax Amnesty 2016–2017, yang menghasilkan deklarasi harta sebesar Rp4.855 triliun, repatriasi dana Rp147,1 triliun, serta uang tebusan Rp135 triliun. Realisasi penerimaan negara selama periode program juga cukup tinggi. Namun, tax ratio pasca berakhirnya program justru tidak menunjukkan kenaikan berkelanjutan.

“Secara penerimaan, program ini berhasil. Tetapi secara struktur, tax ratio tidak berubah banyak. Artinya, persoalannya ada pada kemampuan pengawasan negara, bukan pada programnya,” ujarnya.

Dalam PPS 2022, negara kembali mencatat deklarasi harta bersih hingga Rp594,82 triliun dan penerimaan PPh final Rp61,01 triliun. Realisasi penerimaan pada 2022 bahkan melampaui target hingga 133,59%. Namun, seperti pada Tax Amnesty, tax ratio tetap tidak bergerak secara signifikan.

Penyebab Tidak Terjadinya Kenaikan Tax Ratio

Menurut Tunjung, baik Tax Amnesty maupun PPS pada dasarnya hanya menuntaskan masalah kepatuhan masa lalu. Sementara itu, persoalan utama tax ratio rendah justru terletak pada lemahnya kemampuan negara mengawasi perilaku ekonomi ke depan.

“Selama negara belum mampu membaca penghasilan, konsumsi, dan harta kekayaan secara akurat, tax ratio akan tetap rendah. Kita bisa melakukan amnesti berkali-kali, tapi hasilnya tidak akan berubah,” ujarnya.

Ia mencontohkan bahwa pola konsumsi dan gaya hidup masyarakat yang semakin terbuka seharusnya bisa menjadi indikator kemampuan ekonomi. Namun, tanpa integrasi data dan sistem pengawasan yang kuat, potret tersebut tidak dapat digunakan untuk memastikan kepatuhan perpajakan.

Tunjung menegaskan bahwa pajak memiliki fungsi yang jauh lebih besar daripada sekadar sumber dana pembangunan. Pajak adalah instrumen negara untuk memastikan transaksi ekonomi berjalan tertib, mencegah korupsi, dan membangun tata kelola yang bersih.

“Pajak adalah alat negara untuk menjaga integritas ekonomi. Kalau sistem pengawasan lemah, tax ratio tidak akan naik, perekonomian tidak akan governance, dan persepsi korupsi tidak akan membaik,” paparnya.

Ia mengakhiri pemaparannya dengan menekankan bahwa peningkatan tax ratio hanya dapat dicapai jika negara memperkuat otoritas perpajakan agar lebih transparan, independen, dan mampu mengawasi transaksi ekonomi secara menyeluruh. (bl)

id_ID