Pajak Kripto Tembus Rp1,55 Triliun, Jadi Penopang Baru Penerimaan Pajak Digital

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat penerimaan pajak dari transaksi aset kripto terus menunjukkan tren positif. Sejak pertama kali dipungut pada 2022 hingga akhir November 2025, totalnya sudah mencapai sekitar Rp1,55 triliun.

Angka tersebut memberi kontribusi sekitar 4,06% terhadap keseluruhan penerimaan pajak sektor ekonomi digital sejak 2020, yang kini telah menembus Rp44,55 triliun.

“Penerimaan pajak kripto telah terkumpul sebesar Rp1,81 triliun sampai dengan November 2025,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, dalam keterangan resmi, Senin (29/12/2025).

Naik–turun, lalu melesat

Jika dirinci per tahun, penerimaan pajak kripto mencerminkan dinamika pasar aset digital:

• 2022 (tahun pertama pemungutan): Rp246,4 miliar

• 2023: turun menjadi Rp220,8 miliar

• 2024: melonjak ke Rp620,4 miliar

• 2025: kembali meningkat menjadi Rp719,6 miliar

Lompatan pada dua tahun terakhir menunjukkan aktivitas transaksi kripto yang kembali bergairah, seiring penyesuaian kebijakan dan membaiknya minat investor.

Payung hukum dan skema pungutan

Penguatan pajak kripto berawal dari PMK No. 68/PMK.03/2022, yang menjadi tonggak pertama pengenaan pajak atas transaksi aset digital tersebut.

Saat ini, penerimaan pajak kripto terdiri dari:

• PPh Pasal 22 Final: Rp730,41 miliar

• PPN Dalam Negeri: Rp819,94 miliar

Selanjutnya, pemerintah memperbarui kebijakan melalui PMK No. 50 Tahun 2025 sebagai tindak lanjut perubahan status aset kripto dalam UU P2SK, dari komoditas menjadi aset keuangan digital.

Melalui aturan baru tersebut, tarif PPh Pasal 22 Final ditetapkan 0,21% untuk transaksi melalui Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) dalam negeri, dan 1% untuk transaksi yang dilakukan lewat PPMSE luar negeri.

Konsisten memberi kontribusi

Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, sebelumnya menyebut penerimaan pajak kripto rata-rata sudah berada di kisaran Rp500–600 miliar per tahun sejak kebijakan diberlakukan.

Menurutnya, tren tersebut menegaskan bahwa regulasi pajak kripto tidak hanya memperluas basis pajak, tetapi juga memberi kepastian bagi pelaku pasar.

“Dalam dua hingga tiga tahun sejak pengenalan, penerimaan terus tumbuh,” ujarnya.

Meski kontribusinya masih relatif kecil dibanding sektor lain, pajak kripto kini menjadi salah satu sumber baru penerimaan negara dari ekonomi digital.

Tantangannya ke depan adalah memastikan kepatuhan pelaku transaksi, sinkronisasi data dengan platform perdagangan, serta menjaga keseimbangan antara perlindungan investor dan keberlanjutan penerimaan negara. (alf)

Tiga Pemain Baru Masuk Daftar Pemungut PPN Digital, Total Penunjukan DJP Capai 254 Perusahaan

IKPI, Jakarta: Upaya pemerintah memperkuat penerimaan pajak di sektor digital kembali bertambah kuat. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan resmi menunjuk tiga perusahaan baru sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).

Ketiga perusahaan tersebut adalah:

• International Bureau of Fiscal Documentation

• Bespin Global

• OpenAI OpCo LLC

Dengan penunjukan ini, jumlah pemungut PPN PMSE yang terdaftar hingga November 2025 meningkat menjadi 254 perusahaan. Namun, DJP juga melakukan penataan data dengan mencabut penunjukan Amazon Services Europe S.a.r.l.

“Bersamaan dengan itu, pemerintah juga melakukan satu pencabutan data pemungut PPN PMSE,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, Senin (29/12/2025).

Ekosistem Digital Kian Tertib Pajak

DJP menilai, bertambahnya penunjukan menunjukkan makin luasnya kepatuhan pelaku usaha digital global terhadap ketentuan perpajakan di Indonesia.

Dari seluruh pemungut yang telah ditunjuk, 215 perusahaan telah aktif memungut dan menyetor PPN PMSE. Hingga November 2025, total setoran mencapai Rp34,54 triliun, dengan tren meningkat setiap tahun.

Penambahan pemungut PPN PMSE ini juga berkontribusi pada total penerimaan pajak ekonomi digital yang menembus Rp44,55 triliun, termasuk pajak kripto, pajak fintech, dan pajak melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP).

Rosmauli menegaskan, kebijakan ini bukan semata menambah daftar perusahaan, tetapi memastikan aktivitas perdagangan digital di Indonesia berjalan adil dan setara dengan sektor konvensional.

“Realisasi penerimaan pajak digital yang mencapai Rp44,55 triliun mencerminkan semakin besarnya kontribusi ekonomi digital terhadap penerimaan negara,” ujarnya. (alf)

Pajak Ekonomi Digital Tembus Rp 44,55 Triliun, Lampaui Setoran Tahun Lalu

IKPI, Jakarta: Kontribusi ekonomi digital terhadap kantong negara terus menanjak. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan melaporkan, hingga 30 November 2025, penerimaan negara dari sektor usaha ekonomi digital mencapai Rp 44,55 triliun jauh lebih tinggi dibandingkan realisasi sepanjang 2024 yang sebesar Rp 32,32 triliun.

Lonjakan tersebut terutama ditopang oleh beberapa pos pajak. Penerimaan terbesar datang dari pajak pertambahan nilai perdagangan melalui sistem elektronik (PPN PMSE) yang menembus Rp 34,54 triliun. Di bawahnya menyusul pajak atas aset kripto sebesar Rp 1,81 triliun, serta pajak fintech (peer to peer lending) yang mencapai Rp 4,27 triliun. Adapun pajak yang dipungut melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) menyumbang tambahan Rp 3,94 triliun.

“Capaian ini menggambarkan kian besarnya peran ekonomi digital dalam menopang penerimaan negara,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, dalam keterangan resmi, Senin (29/12/2025).

254 Perusahaan Jadi Pemungut PPN PMSE

Pemerintah hingga kini telah menunjuk 254 perusahaan sebagai pemungut PPN PMSE. Pada November 2025, tiga entitas kembali ditambahkan ke daftar, yakni International Bureau of Fiscal Documentation, Bespin Global, serta OpenAI OpCo, LLC. Di saat yang sama, penunjukan terhadap Amazon Services Europe S.a.r.l dicabut.

Dari seluruh pemungut yang telah ditetapkan, 215 perusahaan tercatat aktif memungut dan menyetor PPN PMSE. Total setoran sejak kebijakan ini berjalan mencapai Rp 34,54 triliun, dengan rincian:

• 2020: Rp 731,4 miliar

• 2021: Rp 3,9 triliun

• 2022: Rp 5,51 triliun

• 2023: Rp 6,76 triliun

• 2024: Rp 8,44 triliun

• 2025 (hingga November): Rp 9,19 triliun

Menurut Rosmauli, penunjukan pemungut dari perusahaan berbasis artificial intelligence (AI) menegaskan bahwa transformasi digital tidak hanya mendorong aktivitas ekonomi, tetapi juga memberi nilai tambah bagi penerimaan negara.

Pajak Kripto dan Fintech Terus Menguat

Di sisi lain, pajak dari transaksi aset kripto hingga November 2025 telah mengumpulkan Rp 1,81 triliun. Penerimaan tersebut berasal dari:

• 2022: Rp 246,45 miliar

• 2023: Rp 220,83 miliar

• 2024: Rp 620,4 miliar

• 2025: Rp 719,61 miliar

Struktur penerimaannya terdiri atas PPh Pasal 22 sebesar Rp 932,06 miliar, dan PPN Dalam Negeri sebesar Rp 875,23 miliar.

Pajak dari sektor fintech tidak kalah signifikan. Hingga November 2025, setoran pajak fintech membukukan Rp 4,27 triliun, terdiri atas:

• 2022: Rp 446,39 miliar

• 2023: Rp 1,11 triliun

• 2024: Rp 1,48 triliun

• 2025: Rp 1,24 triliun

Penerimaan tersebut mencakup PPh Pasal 23 atas bunga pinjaman untuk WPDN dan BUT sebesar Rp 1,17 triliun, PPh Pasal 26 atas bunga pinjaman untuk WPLN sebesar Rp 724,5 miliar, serta PPN Dalam Negeri dari setoran masa sebesar Rp 2,37 triliun.

Kontribusi Tambahan dari Pajak SIPP

Pelengkap lain berasal dari pajak yang dipungut lewat Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP), dengan realisasi Rp 3,94 triliun hingga November 2025. Angka tersebut berasal dari:

• 2022: Rp 402,38 miliar

• 2023: Rp 1,12 triliun

• 2024: Rp 1,33 triliun

• 2025: Rp 1,09 triliun

Struktur Pajak SIPP tersebut terdiri atas PPh Pasal 22 sebesar Rp 284,42 miliar dan PPN sebesar Rp 3,65 triliun.

Rangkaian capaian ini menunjukkan bahwa penguatan ekosistem digital mulai dari perdagangan daring, layanan keuangan berbasis teknologi, hingga aset kripto semakin memberi dampak nyata terhadap penerimaan negara. Ke depan, optimalisasi regulasi sekaligus peningkatan kepatuhan diharapkan dapat menjaga tren pertumbuhan tersebut tetap berkelanjutan. (alf)

Tahun 2026 Era baru perpajakan Indonesia

Tak sampai hitungan hari kita akan meninggalkan tahun 2025 dan akan Memasuki tahun 2026. Otomatis 2026 menandakan era baru perpajakan Indonesia. 

Berkaca dari pencapaian APBN (Pajak) 2025 yang belum maksimal, tahun 2026 akan lebih seru lagi. Ditambahnya anggaran untuk penanggulangan bencana di sumatera dan lanjutan proyek MBG, target APBN 2026 sekitar Rp 3.100 Triliun dan target pajak 2026 sekitar Rp 2.600 Triliun. Akan ada beberapa gebrak Yang akan dilakukan oleh Otoritas Pajak antara lain;

1. Penggunaan Coretax , Pada tahun 2026, seluruh administrasi perpajakan di Indonesia akan sepenuhnya menggunakan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax System). Ini berarti pelaporan SPT Tahunan untuk tahun pajak 2025 (yang dilaporkan pada awal 2026) wajib dilakukan melalui aplikasi Coretax, menggantikan sistem DJP Online yang lama. 

2. Penegakan Hukum Pajak, penegakan hukum pajak di Indonesia akan berfokus pada peningkatan kepatuhan wajib pajak dan optimalisasi basis data, tanpa adanya kenaikan tarif pajak atau pengenaan jenis pajak baru. Penegakan hukum akan melibatkan kerja sama erat dengan berbagai lembaga, termasuk BPKP, Polri, PPATK, OJK, Kejaksaan Agung, dan KPK. Kolaborasi ini tidak hanya menyasar tindak pidana perpajakan, tetapi juga kegiatan ilegal yang berdampak pada penerimaan negara.

3. Pengawasan Wajib Pajak, di 2026 diprediksi akan banjir SP2DK dalam rangka pengawasan Wajib Pajak terutama wajib pajak besar. Terlebih para wajib pajak yg belum tersentuh, dengan berlaku NIk sbg NPWP akan menjaring banyak Wajib Pajak wajib pajak baru. DJP akan memaksimalkan intensifikasi dan ekstensifikasi pengawasan wajib pajak berdasarkan analisis data yang mendalam. Hal ini bertujuan agar penegakan hukum menjadi lebih tepat sasaran.

4. Perluasan akses informasi keuangan, Mulai tahun 2026, DJP berencana untuk memperluas akses informasi rekening digital dan uang elektronik masyarakat, sejalan dengan standar global Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Hal ini untuk mencegah penghindaran dan pengelakan pajak.

Sebagai wajib pajak tentu ada beberapa hal yang harus dipersiapkan, antara lain:

Untuk mempersiapkan diri menghadapi penerapan penuh Coretax di tahun 2026, wajib pajak diimbau untuk:

1. Aktivasi Akun: Segera lakukan aktivasi akun Coretax Anda melalui portal resmi coretaxdjp.pajak.go.id. DJP tidak menetapkan batas akhir aktivasi, namun aktivasi diperlukan untuk pelaporan SPT tahunan 2026.

2. Edukasi: Memanfaatkan layanan edukasi yang disediakan oleh DJP melalui KPP atau mencari Jasa Konsultan Pajak Terdaftar. 

3. Persiapan Data: Memastikan semua pencatatan perpajakan rapi dan siap untuk diinput ke dalam sistem yang baru. Data yang akurat akan sangat membantu wajib pajak sendiri menghadapi pemeriksaan pajak dan atau menghadapi pengawasan yg dilakukan oleh KPP.

Sebagai konsultan pajak terdaftar kita juga harus selalu mengupgrade pengetahuan kita dimana di era baru ini konsultan pajak dituntut harus semakin profesional dan tak lupa berdoa semoga mimpi kita untuk ada nya Undang-undang Konsultan Pajak terwujud.

Penulis adalah Ketua Departemen Advokasi dan Bantuan Hukum IKPI

Andreas Budiman

Email:

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Jepang Bakal Naikkan Pajak Turis Tiga Kali Lipat Mulai 2026

IKPI, Jakarta: Pemerintah Jepang berencana menaikkan pajak yang dikenakan kepada seluruh wisatawan mancanegara mulai Juli 2026. Langkah ini menjadi bagian dari strategi pemerintah untuk memperkuat penerimaan negara sekaligus mengatasi tekanan fiskal yang terus meningkat.

Mengutip laporan sejumlah media Jepang, kebijakan tersebut nantinya juga akan dibarengi dengan rencana penambahan biaya pemeriksaan masuk pada periode berikutnya. Kebijakan ini mencuat seiring kabinet yang dipimpin Perdana Menteri Sanae Takahashi tengah menyiapkan anggaran terbesar dalam sejarah Jepang untuk tahun fiskal 2026, sementara beban utang nasional terus menanjak.

Saat ini, wisatawan yang keluar dari Jepang dikenakan pajak keberangkatan sebesar 1.000 yen per orang. Mulai 2026, jumlah itu diproyeksikan melonjak menjadi 3.000 yen, atau naik tiga kali lipat. Dengan kenaikan tersebut, pemerintah memperkirakan pemasukan bisa meningkat hingga 130 miliar yen pada tahun fiskal 2026–2027.

Pajak ini berlaku bagi semua penumpang berusia dua tahun ke atas yang meninggalkan Jepang melalui bandara maupun pelabuhan. Biaya akan otomatis masuk ke dalam harga tiket. Pengecualian hanya diberikan untuk awak kapal serta penumpang transit yang melanjutkan penerbangan dalam waktu 24 jam.

Pemerintah menegaskan, tambahan dana dari pajak turis akan diarahkan untuk membiayai berbagai kebutuhan sektor pariwisata: mulai dari peningkatan infrastruktur perjalanan, promosi destinasi di daerah, pengelolaan sampah di kawasan wisata, hingga upaya mengurangi kemacetan.

Di sisi lain, kebijakan ini juga dipandang sebagai cara Jepang menghadapi fenomena overtourism lonjakan kunjungan wisata yang kerap menimbulkan tekanan pada lingkungan, transportasi publik, dan warga setempat. (alf)

Insentif Fiskal Jadi Pemicu Daerah Percepat Realisasi APBD

IKPI, Jakarta: Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mendorong percepatan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) melalui skema insentif fiskal. Strategi ini diharapkan mampu memperkuat kinerja ekonomi daerah, sekaligus menjawab tantangan pengelolaan Transfer ke Daerah (TKD) yang semakin ketat.

Sejumlah pengamat menilai langkah tersebut berada di jalur tepat. Analis politik dari Indonesian Public Institute (IPI), Karyono Wibowo, menilai pemberian insentif dapat mendorong pemerintah daerah lebih serius mengelola APBD secara efektif.

Menurut Karyono, kompetisi antardaerah akan tumbuh secara sehat ketika kinerja diberi penghargaan. Namun, ia mengingatkan agar penilaian tidak sekadar menitikberatkan pada angka serapan anggaran.

“Serapan tinggi belum tentu identik dengan keberhasilan. Kualitas belanja dan manfaat bagi publik harus menjadi indikator utama,” ujarnya.

Pendapat serupa disampaikan dosen Administrasi Bisnis Universitas Nusa Cendana, Ricky Ekaputra Foeh. Ia menilai kebijakan insentif fiskal merupakan respons rasional terhadap potensi perlambatan ekonomi. Namun ia menekankan, dorongan mempercepat belanja harus diimbangi perencanaan yang matang.

Ricky menilai, tekanan mengejar realisasi pada akhir tahun sering memunculkan belanja yang dipaksakan.

“APBD bisa saja terserap 95–100 persen, tetapi persoalan kemiskinan dan pengangguran tidak otomatis selesai,” kata Ricky.

Sebelumnya, Tito mengingatkan kepala daerah agar memaksimalkan realisasi pendapatan dan belanja hingga penutupan tahun anggaran 31 Desember 2025. Pemerintah menyiapkan insentif fiskal sebesar Rp1 triliun bagi daerah dengan kinerja terbaik, salah satunya dilihat dari kualitas pengelolaan APBD.

Ia menyebutkan, kemungkinan akan dipilih dua provinsi, dua kota, dan lima kabupaten sebagai penerima penghargaan pada Januari mendatang.

“Masih ada waktu untuk menggenjot pendapatan dan belanja. Ini bukan sekadar mengejar angka, tetapi memastikan ekonomi daerah bergerak,” ujar Tito dalam rapat evaluasi APBD yang digelar secara virtual dari Kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta.

Mendagri juga menegaskan pentingnya keseimbangan antara pendapatan dan belanja agar defisit dapat dihindari dan roda ekonomi tetap berputar. Pada Januari, seluruh kepala daerah akan dikumpulkan, dan penghargaan rencananya akan diberikan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto. (alf)

Insentif Fiskal Jadi Pemicu Daerah Percepat Realisasi APBD

IKPI, Jakarta: Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mendorong percepatan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) melalui skema insentif fiskal. Strategi ini diharapkan mampu memperkuat kinerja ekonomi daerah, sekaligus menjawab tantangan pengelolaan Transfer ke Daerah (TKD) yang semakin ketat.

Sejumlah pengamat menilai langkah tersebut berada di jalur tepat. Analis politik dari Indonesian Public Institute (IPI), Karyono Wibowo, menilai pemberian insentif dapat mendorong pemerintah daerah lebih serius mengelola APBD secara efektif.

Menurut Karyono, kompetisi antardaerah akan tumbuh secara sehat ketika kinerja diberi penghargaan. Namun, ia mengingatkan agar penilaian tidak sekadar menitikberatkan pada angka serapan anggaran.

“Serapan tinggi belum tentu identik dengan keberhasilan. Kualitas belanja dan manfaat bagi publik harus menjadi indikator utama,” ujarnya.

Pendapat serupa disampaikan dosen Administrasi Bisnis Universitas Nusa Cendana, Ricky Ekaputra Foeh. Ia menilai kebijakan insentif fiskal merupakan respons rasional terhadap potensi perlambatan ekonomi. Namun ia menekankan, dorongan mempercepat belanja harus diimbangi perencanaan yang matang.

Ricky menilai, tekanan mengejar realisasi pada akhir tahun sering memunculkan belanja yang dipaksakan.

“APBD bisa saja terserap 95–100 persen, tetapi persoalan kemiskinan dan pengangguran tidak otomatis selesai,” kata Ricky.

Sebelumnya, Tito mengingatkan kepala daerah agar memaksimalkan realisasi pendapatan dan belanja hingga penutupan tahun anggaran 31 Desember 2025. Pemerintah menyiapkan insentif fiskal sebesar Rp1 triliun bagi daerah dengan kinerja terbaik, salah satunya dilihat dari kualitas pengelolaan APBD.

Ia menyebutkan, kemungkinan akan dipilih dua provinsi, dua kota, dan lima kabupaten sebagai penerima penghargaan pada Januari mendatang.

“Masih ada waktu untuk menggenjot pendapatan dan belanja. Ini bukan sekadar mengejar angka, tetapi memastikan ekonomi daerah bergerak,” ujar Tito dalam rapat evaluasi APBD yang digelar secara virtual dari Kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta.

Mendagri juga menegaskan pentingnya keseimbangan antara pendapatan dan belanja agar defisit dapat dihindari dan roda ekonomi tetap berputar. Pada Januari, seluruh kepala daerah akan dikumpulkan, dan penghargaan rencananya akan diberikan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto. (alf)

China Siapkan Kebijakan Fiskal Lebih Agresif pada 2026, Dorong Konsumsi dan Inovasi

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan China menyatakan akan menempuh kebijakan fiskal yang lebih proaktif pada 2026 guna menjaga momentum pemulihan ekonomi. Fokus utama diarahkan pada penguatan permintaan dalam negeri, percepatan inovasi teknologi, serta perluasan jaring pengaman sosial bagi masyarakat.

Pernyataan tersebut disampaikan setelah pertemuan dua hari yang membahas arah kebijakan ekonomi tahun depan. Di tengah tuntutan mitra dagang agar China tidak terlalu bergantung pada ekspor, Beijing kini berupaya memulihkan kepercayaan domestik yang sempat tertekan oleh krisis properti berkepanjangan.

Pemerintah menegaskan akan mendorong konsumsi serta memperluas investasi pada sektor-sektor produktif baru. Pengembangan kualitas sumber daya manusia disebut menjadi salah satu prioritas, seiring upaya menciptakan “mesin pertumbuhan” baru melalui riset dan inovasi.

Pada aspek sosial, otoritas berencana memperkuat sistem jaminan sosial, termasuk peningkatan akses layanan kesehatan dan pendidikan. Agenda lain mencakup integrasi pembangunan kota dan desa, serta percepatan transisi menuju ekonomi yang lebih ramah lingkungan.

Sejumlah analis memperkirakan, China akan tetap menargetkan pertumbuhan ekonomi sekitar 5% pada 2026. Untuk mencapai sasaran tersebut, ruang kebijakan fiskal dan moneter diperkirakan masih akan dimanfaatkan guna meredam tekanan deflasi dan menjaga aktivitas ekonomi.

Sebelumnya, para pemimpin China telah menggarisbawahi komitmen untuk mempertahankan kebijakan fiskal yang proaktif, dengan harapan konsumsi dan investasi dapat terus terjaga dan menopang laju pertumbuhan. (alf)

APBN 2026 Ditargetkan Capai Rp3.153 Triliun, Pemerintah Diingatkan Tidak Hanya Mengandalkan Kenaikan Pajak

IKPI, Jakarta: Target penerimaan negara dalam APBN 2026 dipatok tinggi. Pemerintah menyiapkan proyeksi pendapatan hingga Rp3.153,6 triliun, angka yang menurut Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede bukan perkara mudah untuk dicapai.

Josua menilai, postur tersebut menunjukkan ambisi besar pemerintah namun pada saat yang sama menuntut strategi yang lebih matang. Sebab, sebagian besar tambahan penerimaan masih diarahkan dari sektor perpajakan.

Berdasarkan riset Permata Institute for Economic Research (PIER), pemerintah berharap lonjakan penerimaan terutama datang dari PPN dan PPh melalui berbagai langkah optimalisasi. Hanya saja, Josua mengingatkan pengalaman pada 2025: penerimaan pajak bersih terbukti bisa melemah ketika harga komoditas menurun, restitusi meningkat, dan aturan administrasi berubah.

“Pendekatan yang lebih sehat adalah memperluas basis pajak dan memperbaiki kepatuhan, bukan sekadar menekan wajib pajak yang selama ini sudah patuh,” jelasnya.

Rencana pemerintah memperluas jangkauan perpajakan lewat Coretax, memetakan potensi dari ekonomi bayangan, hingga menggunakan AI dinilai berada di jalur yang benar. Namun, Josua menekankan bahwa keberhasilan akan sangat bergantung pada:

• kualitas dan kelengkapan data,

• integrasi antar-sistem,

• serta kemampuan menekan kebocoran penerimaan.

Ia juga mengingatkan, perubahan sistem yang besar hampir selalu menimbulkan risiko gangguan layanan pada tahap awal. Karena itu, masa transisi, pendampingan wajib pajak, serta tata kelola data lintas instansi harus disiapkan dengan serius agar kepatuhan meningkat tanpa menambah beban administrasi.

Pengawasan tak boleh tertinggal

Dalam dokumen APBN Kita, disebutkan bahwa pemanfaatan teknologi di sektor kepabeanan dapat memunculkan tantangan baru, seperti praktik undervaluasi. Bagi Josua, pelajaran ini relevan untuk pajak: jika pengawasan lambat, teknologi justru berpotensi dimanfaatkan untuk menghindari kewajiban.

Karena itu, aturan baru di bidang pajak dan cukai, menurutnya, perlu menjaga keseimbangan memperlebar basis dan menutup celah, tetapi tetap menjaga iklim usaha serta daya beli kelompok menengah.

PNBP, minerba, dan risiko rokok ilegal

Di luar pajak, penerimaan negara bukan pajak juga diproyeksikan meningkat. APBN Kita mencatat tambahan PNBP minerba seiring penyesuaian tarif lewat PP No. 19/2025. Kebijakan ini dipandang membantu fiskal, namun tetap membutuhkan konsistensi agar minat investasi, khususnya di hilirisasi, tidak tersendat.

Sementara pada sektor cukai, Josua menilai ancaman rokok ilegal perlu terus diwaspadai. Kebocoran dari peredaran produk tanpa pita cukai bukan hanya mengurangi penerimaan, tetapi juga mengacaukan tujuan kebijakan kesehatan.

“Operasi besar terhadap rokok ilegal menunjukkan bahwa penegakan hukum merupakan fondasi keberhasilan kebijakan cukai,” ujarnya. (alf)

KALEIDOSKOP IKPI 2025: Tahun Ketika Suara Profesi Mulai Didengar

Tahun 2025 datang tanpa banyak gemuruh. Namun bagi Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), tahun ini pelan-pelan berubah menjadi panggung penting: panggung untuk bersuara, memperjuangkan, dan membuktikan bahwa profesi konsultan pajak bukan sekadar pelengkap sistem perpajakan melainkan bagian inti yang perlu dihormati dan dilindungi.

Semua bermula dari kegelisahan sederhana: sebuah profesi besar, bergerak di sektor strategis, melayani jutaan wajib pajak, tetapi belum memiliki payung hukum setingkat undang-undang. Dari sinilah percakapan berkembang. Diskusi mengalir. Dokumen disusun. Argumen dirangkai.

IKPI kemudian melangkah ke berbagai ruang dialog untuk mendorong lahirnya Rancangan Undang-Undang Konsultan Pajak. Bukan untuk kepentingan segelintir orang, melainkan untuk memberi kepastian hukum, standar kompetensi yang jelas, dan perlindungan bagi masyarakat yang menggunakan jasa konsultan pajak. Saat gagasan ini disampaikan ke para pemangku kepentingan termasuk ke Komisi XI DPR sambutan yang datang tidak bernada penolakan. Justru sebaliknya: banyak pihak menilai sudah waktunya profesi ini berdiri di atas landasan hukum yang kuat.

Bertemu P2PK: Dari Diskusi Menjadi Solusi

Perjalanan tidak berhenti di sana. Di tengah upaya memperjuangkan regulasi, IKPI menyempatkan diri duduk bersama Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (P2PK). Bukan dengan nada menyalahkan, melainkan dengan semangat berdiskusi dan mencari jalan tengah.

Di ruang pertemuan itu, dibicarakan hal-hal yang mungkin tampak teknis, tetapi sesungguhnya menentukan masa depan profesi: mekanisme izin, tata kelola sertifikasi, penyelenggaraan ujian, hingga nasib para anggota yang terdampak kebijakan lama.

IKPI hadir dengan sikap yang tenang: mengkritisi bila perlu, namun tetap menawarkan solusi. Karena sejak awal, tujuan utamanya bukan memperpanjang masalah melainkan memastikan profesi ini tetap terjaga martabatnya.

PMK 111: Ketika Regulasi Menghancurkan Rekan Seprofesi

Lalu muncul satu isu yang menyentuh sisi kemanusiaan: kebijakan PMK 111. Bagi sebagian orang, regulasi hanyalah pasal dan angka. Namun bagi beberapa anggota, aturan itu berarti hilangnya kesempatan untuk berpraktik, hanya karena tidak sempat melakukan pendaftaran ulang.

Di sinilah IKPI berdiri paling depan. Organisasi ini mengetuk pintu, menjelaskan dampaknya, meminta kesempatan baru bagi mereka yang terhimpit situasi. Sebab, di balik satu izin yang hilang, ada keluarga, karyawan, reputasi, dan masa depan yang ikut terguncang.

Cuti Profesi: Bukan Privilege, Tetapi Penghargaan

Di tengah dinamika tersebut, IKPI juga mengajukan satu gagasan yang jarang dibahas: hak cuti bagi konsultan pajak. Sebuah pertanyaan mendasar diajukan: ketika seorang konsultan harus menjalankan tugas negara, memasuki jabatan publik, atau mengalami sakit berkepanjangan, apakah ia harus “menghilang” begitu saja dari profesi?

Usulan itu bukan soal privilese, tetapi bentuk penghargaan terhadap tugas, pengabdian, dan kemanusiaan. Dan gagasan itu diterima dengan cukup positif tanda bahwa perspektif profesi mulai benar-benar diperhatikan.

Kuasa Wajib Pajak: Profesional, Jelas, dan Bertanggung Jawab

Seiring waktu, pembahasan mengarah pada area yang jauh lebih sensitif: siapa yang sebenarnya boleh menjadi kuasa wajib pajak?

IKPI memandang perlu ada kejelasan. Bukan untuk membatasi orang lain, tetapi karena berbicara mengenai wajib pajak maka perlu pengaturan mengenai kompetensi. Dari sini muncul dorongan agar standar kompetensi diseragamkan baik bagi kuasa hukum di Pengadilan Pajak, konsultan pajak, maupun pihak lain yang mengaku mampu mewakili wajib pajak. Pada titik ini, dukungan dari berbagai pihak, termasuk KMA, menguatkan keyakinan bahwa sistem perpajakan membutuhkan pondasi profesionalisme yang sama-sama disepakati.

Suara yang Melangkah ke Meja Kebijakan

Di sisi lain, IKPI tidak hanya berbicara tentang urusan internal profesi. Pada beberapa kesempatan, organisasi ini juga menyampaikan catatan kepada pemerintah bahkan hingga tingkat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Ada usulan, ada masukan, dan ada pandangan yang dikirimkan agar kebijakan ekonomi dan perpajakan berjalan selaras dengan kondisi nyata di lapangan.

Tidak semuanya menjadi berita besar, tetapi perannya terasa. IKPI hadir sebagai mitra dialog, bukan sekadar pengkritik.

Menyentuh UMKM: Pajak yang Adil, Bukan Sekadar Seragam

Pada 2025, suara IKPI juga bergerak sedikit lebih jauh menyentuh kepentingan pelaku UMKM.

Dalam berbagai forum bersama otoritas pajak, IKPI menyampaikan pandangan bahwa rencana perpanjangan PPh Final UMKM penting, tetapi perlu dirancang lebih adil. UMKM tidak semuanya sama: industri memiliki risiko besar dan margin tipis, perdagangan memiliki dinamika tersendiri, sementara jasa sering menikmati margin yang lebih tinggi.

Karena itu, IKPI mendorong pendekatan yang lebih proporsional tarif yang disesuaikan dengan karakter usaha agar pelaku yang rentan tetap terlindungi, penerimaan negara tetap sehat, dan fasilitas pajak tidak disalahgunakan oleh mereka yang sebenarnya sudah “naik kelas”.

Melalui pandangan ini, IKPI menunjukkan bahwa suara organisasi bukan hanya berbicara tentang perlindungan profesi, tetapi juga tentang ekosistem perpajakan yang adil, rasional, dan manusiawi.

Tahun Ketika Suara Itu Mulai Didengar

Jika seluruh perjalanan ini disusun kembali seperti potongan kaca dalam kaleidoskop, akan tampak satu gambar utuh: gambar tentang organisasi yang pelan-pelan menemukan suaranya.

RUU diperjuangkan.

P2PK diajak berdialog.

Komisi XI didatangi.

PMK 111 : perjuangan bagi “para korban”.

Cuti profesi diusulkan.

Kuasa wajib pajak diperjelas.

Kompetensi diseragamkan.

UMKM diperjuangkan agar mendapat perlakuan pajak yang adil.

Pada akhirnya, 2025 bukan sekadar tahun penuh agenda. Ia adalah tahun ketika profesi ini memantapkan langkahnya perlahan, tenang, tetapi pasti menuju pengakuan yang lebih kuat dan peran yang lebih besar dalam sistem perpajakan nasional.

Dan mungkin, beberapa tahun ke depan, ketika kita menoleh kembali, kita akan mengingat 2025 sebagai titik awal: saat suara IKPI tidak hanya terdengar… tetapi mulai diperhitungkan.

id_ID