Anggota IKPI Raih Podium di Capital Market Run 2025

IKPI, Jakarta: Ajang Capital Market Run 2025 kembali menyedot perhatian ribuan pecinta olahraga lari. Digelar di Plaza Timur Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta, pada Minggu (30/11/2025), kompetisi berskala nasional ini menghadirkan sekitar 3.500 peserta dari berbagai daerah. Tahun ini, panitia membuka enam kategori lomba, yakni 5K Umum, 5K Master A (40–49 tahun), 5K Master B (50+), 10K Umum, 10K Master A (40–49 tahun), dan 10K Master B (50+).

Salah satu prestasi membanggakan datang dari anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Tiurma Melanita, anggota IKPI Cabang Jakarta Timur. Ia berhasil naik podium dengan menempati peringkat ketiga di kategori 5K Master A (40–49 tahun). Atas pencapaian tersebut, ia berhak membawa pulang hadiah sebesar Rp4.000.000.

(Foto: Istimewa)

Melanita menuturkan bahwa keikutsertaannya sebenarnya bukan semata-mata mengejar kemenangan, melainkan untuk menguji kemampuan fisik di usia yang kini berada di kelompok master.

“Saya mengikuti event tersebut hanya untuk mencoba seberapa kuat stamina saya dengan usia yang sudah masuk kategori 40–49 tahun,” ujarnya, Senin (1/12/2025).

Meski demikian, hasil yang diraih justru melebihi ekspektasi dan menjadi penyemangat tersendiri baginya. Ia berharap pengalaman ini dapat memotivasi anggota IKPI lainnya untuk aktif menjaga kesehatan melalui kegiatan olahraga.

Ia juga menyampaikan harapan khusus kepada IKPI, terutama komunitas runner. Ia mengusulkan agar dibuat jadwal rutin latihan bersama, baik pada akhir pekan di pagi hari maupun malam hari setelah jam kantor pada hari kerja.

(Foto: Istimewa)

Menurutnya, lokasi seperti GBK atau titik-titik strategis di berbagai kota dapat menjadi tempat yang ideal. “Supaya saling mempererat hubungan baik antaranggota IKPI dan membangun stamina tubuh yang sehat. Dan juga ketika ada event-event besar, anggota IKPI bisa ikut berpartisipasi bersama-sama,” katanya.

Lebih jauh, ia menyarankan agar komunitas runner IKPI bersama pengurus pusat membentuk event lari tahunan, misalnya bertepatan dengan perayaan HUT IKPI. Selain memperkuat solidaritas, ajang tersebut dinilai mampu menjadi sarana promosi IKPI kepada masyarakat luas. Melanita juga membuka peluang kolaborasi lebih besar dengan instansi perpajakan.

“Event seperti itu bisa menggandeng DJP, supaya masyarakat awam lebih mengenal lagi mengenai perpajakan Indonesia,” ujarnya.

Prestasi Melanita tak hanya menjadi kebanggaan personal, tetapi juga inspirasi bagi para anggota IKPI untuk terus mengedepankan gaya hidup sehat serta memperkuat kekompakan antarprofesi melalui olahraga. (bl)

Diskusi Panel IKPI: Suwardi Hasan Ungkap Pro-Kontra Pajak Kekayaan dan Tantangan Politik dalam Penerapannya

IKPI, Jakarta: Ketua Departemen FGD IKPI, Suwardi Hasan, menguraikan secara lugas berbagai persoalan teknis, politik, dan sosial yang membuat pembahasan pajak kekayaan atau wealth tax selalu memicu perdebatan panjang. Dalam Diskusi Panel IKPI “Di Balik Harta Para Konglomerat: Menemukan Celah Keadilan Pajak”, Jumat (28/11/2025) ia menegaskan bahwa kebijakan ini bukan hanya soal potensi penerimaan negara, tetapi juga menyangkut desain, kepastian hukum, hingga resistensi dari kelompok yang terdampak.

Suwardi menyebut bahwa jurang kesenjangan yang ada saat ini membuat isu wealth tax kembali relevan. Namun ia mengingatkan bahwa pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada kemampuan administrasi negara dalam menilai aset, mengelola data, dan menetapkan ambang batas yang rasional.

Ia mencontohkan Italia, yang tidak menerapkan wealth tax umum tetapi memajaki properti dan aset keuangan milik penduduknya di luar negeri. Tarifnya bahkan meningkat pada 2024 menjadi 1,06 persen untuk properti luar negeri dan 0,2 persen untuk aset finansial.

Menurutnya, model seperti Italia bisa dipertimbangkan jika Indonesia ingin menargetkan kelompok tertentu tanpa harus memajaki seluruh aset domestik. Namun ia menekankan bahwa tantangan terbesar selalu ada pada proses valuasi. “Aset yang dipajaki bukan hanya properti, tapi juga barang koleksi bernilai tinggi atau aset finansial yang rumit. Menilai itu semua tidak sederhana,” ujarnya.

Selain tantangan teknis, Suwardi menyinggung dimensi politik yang kerap menjadi hambatan tak terlihat. Menurutnya, banyak rancangan kebijakan fiskal seperti pajak kekayaan menghadapi resistensi dari pemilik modal dan bahkan para pengambil keputusan. “Banyak anggota legislatif juga punya tanah atau properti besar. Mereka tentu tidak ingin kena. Jadi produk hukumnya sulit lahir,” katanya, memancing tawa peserta diskusi.

Hal lain yang menjadi keberatan kelompok HWI adalah isu pajak berganda. Mereka berargumen bahwa penghasilan sudah dipajaki, sehingga aset yang dibeli dari penghasilan itu tidak seharusnya dipajaki lagi setiap tahun. Jika tarif terlalu tinggi, tambah Suwardi, para pemilik kekayaan besar dapat memutuskan untuk memindahkan domisili atau asetnya ke negara dengan beban pajak lebih rendah.

Menurut Suwardi, pengalaman negara-negara Eropa yang menghapus wealth tax menjadi pelajaran penting bagi Indonesia. “Mereka gagal bukan karena idenya jelek, tetapi karena desainnya tidak kuat, administrasinya tidak siap, dan risikonya lebih besar dari manfaatnya,” ujarnya.

Meski demikian, ia menegaskan bahwa diskusi mengenai wealth tax tidak boleh berhenti. Dengan desain yang tepat, kebijakan ini dapat menjadi instrumen untuk memperluas basis pajak dan mengurangi ketimpangan. “Yang paling penting adalah desainnya. Apa yang dipajaki, ambang batasnya berapa, pengecualiannya apa, dan bagaimana mitigasi capital flight,” tegasnya.

Suwardi menutup paparannya dengan menekankan bahwa Indonesia perlu belajar dari keberhasilan dan kegagalan negara lain sebelum mengambil langkah besar. “Jangan hanya melihat potensi penerimaan. Harus dilihat risikonya juga. Pajak kekayaan harus adil bagi negara dan adil bagi wajib pajak,” katanya. (bl)

DJP Percepat Modernisasi Pembayaran Pajak, Siapkan Kanal QRIS Terintegrasi

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan terus memacu transformasi digital dengan mempercepat pengembangan kanal pembayaran pajak berbasis Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS). Langkah ini diambil sebagai respons atas hasil evaluasi Tax Administration Diagnostic Assessment Tool (TADAT) 2023, yang menilai perlunya peningkatan signifikan pada aspek pembayaran elektronik.

Menurut Laporan Tahunan DJP 2024, yang dipublikasikan pada Senin (1/12/2025), DJP telah menyelesaikan kajian awal pengembangan kanal QRIS pada sistem legacy. Kajian tersebut menjadi landasan bagi rencana jangka panjang menghadirkan kanal pembayaran modern yang sepenuhnya terintegrasi dengan proses bisnis penyetoran pajak.

Dalam laporan itu dijelaskan, pengembangan kanal QRIS dirancang untuk menghadirkan proses pembayaran yang lebih sederhana, cepat, dan seamless, sejalan dengan kebutuhan masyarakat di era layanan digital. Integrasi ini juga diharapkan mampu mengatasi kendala pada sistem pembayaran konvensional, sekaligus memperluas opsi pembayaran bagi wajib pajak.

DJP menargetkan kehadiran kanal QRIS tidak hanya memudahkan wajib pajak, tetapi juga meningkatkan skor Indonesia pada indikator pembayaran elektronik dalam penilaian TADAT mendatang.

Implementasi QRIS diyakini akan memperkuat kualitas layanan administrasi perpajakan dan mendukung percepatan penerimaan negara melalui sistem pembayaran yang lebih efisien.

“Implementasi kanal QRIS diharapkan menjadikan pengalaman pembayaran pajak semakin praktis, efisien, serta sesuai dengan kebutuhan masyarakat digital saat ini, sekaligus meningkatkan penilaian pada indikator pembayaran elektronik,” tulis DJP dalam laporannya. (alf)

Deklarasi Belém: Sejumlah Negara Berpendapatan Rendah Desak Pajak Emisi pada Produksi Daging

IKPI, Jakarta: Sejumlah negara berpendapatan rendah, termasuk Nigeria, Fiji, Uganda, Chad, Papua Nugini, dan Liberia, resmi menandatangani Deklarasi Belém, sebuah seruan global untuk menerapkan penetapan harga emisi gas rumah kaca (GRK) pada sistem pertanian dan pangan, khususnya produksi daging industri di negara-negara berpenghasilan tinggi.

Deklarasi ini mendesak ekonomi besar dunia mulai dari Komisi Uni Eropa, 30 negara anggota OECD, hingga China untuk segera memperkenalkan mekanisme harga emisi GRK pada industri daging dan produk turunannya. Langkah tersebut dinilai penting untuk mengurangi ketimpangan iklim antara negara kaya dan negara berkembang.

Inisiatif ini digagas oleh TAPP Coalition. Dilansir dari Down to Earth, Senin (1/12/2025), Direktur sekaligus pendirinya, Jeroom Remmers, menyatakan bahwa tujuh negara Afrika yang ikut menandatangani mewakili sekitar 30 persen populasi benua tersebut. Ia menambahkan, deklarasi ini juga mencakup 21 negara pulau kecil di Pasifik yang kini berada di garis depan ancaman kenaikan permukaan laut akibat pemanasan global.

Ketimpangan Konsumsi dan Beban Perubahan Iklim

Negara-negara berkembang menegaskan bahwa konsumsi daging berlebih di negara maju menimbulkan emisi GRK tinggi, sementara mereka yang menanggung dampak harian dari perubahan iklim. Jika negara berpenghasilan tinggi tidak bersedia menurunkan emisi sektor peternakan secara sukarela, maka mereka harus membayar kerusakan iklim melalui mekanisme harga emisi.

Para penandatangan juga mendorong penerapan asas pencemar membayar, di mana setidaknya 20 persen pendapatan dari kebijakan penetapan harga emisi disalurkan ke Dana Kerugian dan Kerusakan untuk membantu negara-negara rentan.

Sektor pertanian dan pangan saat ini menyumbang sekitar sepertiga emisi GRK global, dengan produksi ternak sebagai penyumbang terbesar. Jejak karbon daging sapi mencapai 70 kg GRK per kg, babi 12 kg, ayam 9,9 kg, jauh lebih tinggi dibandingkan sumber protein nabati seperti legume (2 kg) dan kacang-kacangan (0,4 kg).

Kesenjangan konsumsi daging pun masih lebar: rata-rata negara OECD mencapai 71,4 kg/kapita/tahun, China 61,98 kg, sementara negara berkembang hanya 26,6 kg. FAO memproyeksikan jumlah ternak global akan meningkat lebih dari 50 persen pada 2050, sebuah tren yang bertolak belakang dengan target Net Zero Emissions.

Produksi ternak juga menyerap 80 persen penggunaan lahan global, sehingga penerapan harga emisi pada daging dan produk susu di negara maju diyakini dapat mengurangi emisi sekaligus membuka peluang pemulihan lahan menjadi kawasan yang mampu menyerap karbon secara alami.

Deklarasi Belém menjadi seruan kuat dari negara-negara rentan agar negara kaya segera mengambil langkah konkret dalam pembenahan sistem pangan global demi keadilan iklim dan keberlanjutan bumi. (alf)

Kemenekraf Matangkan Reformasi PPh Royalti Penulis, Dorong Ekosistem Literasi Lebih Ramah Kreator

IKPI, Jakarta: Kementerian Ekonomi Kreatif (Kemenekraf) mulai mempercepat proses rekonstruksi kebijakan Pajak Penghasilan (PPh) atas royalti penulis. Langkah ini ditempuh sebagai respons atas berbagai keluhan terkait kerumitan aturan perpajakan yang selama ini dirasakan para penulis, penerbit, hingga pelaku industri buku lainnya. Pemerintah menilai penyederhanaan skema perpajakan merupakan elemen kunci untuk memperkuat ekosistem literasi nasional.

Deputi Bidang Kreativitas Media Kemenekraf, Agustini Rahayu, menegaskan bahwa penulis adalah aktor fundamental dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya Indonesia. Karena itu, kata dia, kebijakan perpajakan yang mengatur mereka harus adil, sederhana, dan tidak menghambat kreativitas.

“Penulis adalah fondasi utama perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya. Kebijakan yang menaungi mereka harus adil dan memudahkan, bukan membatasi,” ujar Agustini, Senin (1/12/2025).

Ia menambahkan, penyederhanaan aturan perpajakan sangat penting agar penulis bisa fokus berkarya tanpa terbebani kerumitan administrasi.

Sementara itu, Direktur Penerbitan dan Fotografi Kemenparekraf, Iman Santoso, mengungkapkan bahwa proses perumusan kebijakan kini memasuki tahap penting. Tahun ini, pemerintah menargetkan selesainya naskah akademik sebagai fondasi penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) pada 2026.

“Kami berharap kebijakan yang nantinya ditetapkan dapat memberikan manfaat nyata dan meningkatkan kesejahteraan seluruh pelaku di subsektor ini,” ujarnya.

Saat ini, royalti penulis dikenakan PPh melalui skema Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN). Namun, skema tersebut dinilai kurang sesuai dengan karakter kerja penulis yang bersifat kreatif dan mandiri. Selain itu, NPPN dianggap menambah beban administratif yang tidak sebanding dengan pola pendapatan penulis yang cenderung fluktuatif.

Guru Besar Kebijakan Pajak Universitas Indonesia, Haula Rosdiana, menilai industri literasi seharusnya diperlakukan dengan prinsip perpajakan yang sederhana dan efisien. Ia menekankan bahwa pengetahuan tidak selayaknya dibebani pajak yang rumit.

“Jika kita berbicara mengenai industri literasi, seharusnya prinsipnya adalah No Tax on Knowledge,” tegas Haula.

Dari sisi pelaku industri, penulis senior Asma Nadia menyambut baik keseriusan pemerintah memproses penyederhanaan aturan tersebut. Ia menyebut perjuangan untuk mendorong revisi kebijakan perpajakan bagi penulis sudah berlangsung sekitar tujuh tahun.

“Kami benar-benar berterima kasih atas kesungguhan pemerintah dalam mengupayakan perubahan. Bertahan sebagai penulis tidak mudah, dan kebijakan yang lebih ramah tentu sangat berarti,” ujarnya. (alf)

DJP dan Ditjen Minerba Wajibkan Tax Clearance dalam Pengajuan RKAB, 1.800 Pengusaha Tambang Disosialisasi

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan bersama Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM mewajibkan pemenuhan komitmen pelunasan pajak sebagai syarat tambahan dalam pengajuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB). Kebijakan ini disampaikan dalam sosialisasi hybrid kepada sekitar 1.800 pengusaha tambang.

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menegaskan, mulai periode perpanjangan tahun mendatang, dokumen RKAB harus disertai bukti tax clearance. Ketentuan baru ini menjadi bagian dari penyelarasan administrasi antara DJP dan Ditjen Minerba.

“Bapak Ibu silakan mempersiapkan diri. Mulai perpanjangan tahun berikutnya, RKAB akan mensyaratkan kewajiban tax clearance,” ujar Bimo dalam keterangan tertulis, Senin (1/12/2025)

RKAB merupakan laporan tahunan yang wajib disusun perusahaan tambang, mencakup aspek pengusahaan, teknis, hingga lingkungan. Kewajiban ini diatur dalam Permen ESDM Nomor 17/2025. Perusahaan yang tidak menyampaikan RKAB dilarang menjalankan kegiatan pertambangan.

Dengan memasukkan aspek perpajakan sebagai syarat, pemerintah ingin memastikan kepatuhan fiskal berjalan seiring dengan kepatuhan perizinan tambang.

Integrasi Data melalui Coretax dan Minerba-One

Bimo menjelaskan bahwa DJP terus memperkuat basis data melalui integrasi informasi antarinstansi, termasuk sinkronisasi sistem Coretax DJP dengan aplikasi Minerba-One milik Kementerian ESDM. Integrasi ini diharapkan mampu memberikan gambaran lebih komprehensif untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor minerba.

“Ini adalah upaya bersama mengelola kekayaan negara. Pemerintah sebagai regulator dan wajib pajak sebagai pelaku ekonomi harus sejalan,” ujarnya.

Ia kembali menekankan arahan Presiden agar kebijakan fiskal dan tata kelola sumber daya mengacu pada Pasal 33 UUD 1945, dengan semangat gotong royong dalam membangun ekonomi nasional.

Populasi Wajib Pajak dan Penerimaan Minerba Terus Meningkat

Berdasarkan data internal DJP, jumlah wajib pajak di sektor pertambangan minerba menunjukkan tren kenaikan rata-rata 3% per tahun dalam lima tahun terakhir. Dari 6.321 wajib pajak pada 2021, jumlahnya naik menjadi 7.128 pada 2025.

Sementara itu, penerimaan pajak dari sektor pertambangan mineral logam melonjak signifikan—dari Rp4 triliun pada 2016 menjadi Rp45 triliun pada 2024, atau meningkat lebih dari sepuluh kali lipat. Pada sektor batubara, penerimaan mengalami fluktuasi mengikuti pergerakan harga komoditas global.

“Kami tidak bisa berdiri sendiri tanpa kontribusi dari Bapak Ibu pelaku usaha minerba yang menyumbang 20–25% penerimaan negara,” tutup Bimo.

Kebijakan integrasi data dan syarat tax clearance untuk RKAB ini diharapkan dapat memperkuat kepatuhan pajak sekaligus meningkatkan transparansi pengelolaan sektor pertambangan di Indonesia. (alf)

IKPI Cabang Tegal Sukses Selenggarakan PPL Bertema CoreTax System dan Sengketa Pajak

IKPI, Tegal: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Tegal sukses menyelenggarakan seninar Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) di Metro Park View Hotel, Semarang, Sabtu (29/11/2025). Kegiatan ini mengusung tema “SPT Tahunan PPh dengan CoreTax System serta Permohonan Keberatan dan Banding” dengan menghadirkan narasumber berpengalaman, Nurkholik.

Selain anggota cabang Tegal, acara ini dihadiri anggota IKPI dari sejumlah cabang di wilayah Jawa Tengah, serta mendapat apresiasi langsung dari Wakil Ketua Umum IKPI Pusat, Nuryadin Rahman, yang turut hadir memberikan sambutan. 

(Foto: DOK. IKPI Cabang Tegal)

Dalam pesannya, Nuryadin menekankan pentingnya keseriusan seluruh peserta dalam mengikuti materi yang disampaikan, mengingat dinamika perpajakan yang terus berkembang.

“Saya berharap seluruh peserta PPL serius dan betul-betul mengikuti materi yang disajikan narasumber. Sinergi IKPI Cabang dengan IKPI Pusat juga harus terus diperkuat. Mohon doa dan dukungan agar kami dapat mengembangkan IKPI hingga mencapai 100 cabang di seluruh Indonesia,” ujar Nuryadin.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Tegal)

Sementara itu, Ketua IKPI Cabang Tegal, H. Imron, menyampaikan terima kasih atas kepercayaan yang diberikan serta mengajak seluruh jajaran untuk semakin memperkokoh kerja sama organisasi.

“Kami berharap sinergi antara IKPI Pusat, Pengda Jawa Tengah, dan seluruh IKPI Cabang dapat terus ditingkatkan sehingga organisasi kita semakin solid dan mampu menjawab kebutuhan anggota serta perkembangan industri jasa perpajakan yang semakin kompleks,” ungkapnya.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Tegal)

Sementara itu, Ketua IKPI Pengda Jawa Tengah, Slamet Umbaran, dalam sambutannya menyoroti tantangan profesi konsultan pajak yang semakin dinamis, khususnya pada penerapan sistem perpajakan berbasis teknologi.

“Implementasi CoreTax System, terutama dalam proses pelaporan SPT Tahunan PPh, menuntut kita untuk terus meningkatkan kompetensi, pemahaman, serta kemampuan dalam memberikan layanan terbaik kepada wajib pajak,” tegasnya.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Tegal)

Melalui PPL ini, diharapkan para konsultan pajak dapat meningkatkan keahlian dan pengetahuan, khususnya terkait CoreTax System serta penanganan keberatan dan banding pajak, sehingga semakin mampu mendukung wajib pajak dalam memenuhi hak dan kewajiban perpajakannya secara profesional.

Acara berjalan dengan lancar dan interaktif, serta menjadi momentum penting dalam memperkuat profesionalisme dan solidaritas antaranggota IKPI di wilayah Jawa Tengah dan sekitarnya. (bl)

Dari SP2DK ke Data Konkret: Menguji Keadilan di Era Pajak Digital

Modernisasi administrasi perpajakan tidak terelakkan. Di tengah kompleksitas ekonomi digital dan derasnya arus data transaksi, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dituntut untuk bekerja semakin presisi. Salah satu langkah strategis terbaru adalah penerbitan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-18/PJ/2025 tentang Tindak Lanjut atas Data Konkret—sebuah regulasi teknis yang berpotensi mengubah relasi antara negara dan Wajib Pajak.
Perubahan ini mungkin terdengar administratif. Namun sesungguhnya, ia menyentuh soal yang lebih mendasar: bagaimana negara mengelola kekuasaan fiskal di era digital tanpa mengorbankan rasa keadilan.

Pergeseran dari Klarifikasi ke Penegakan

Selama ini, publik mengenal SP2DK (Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan) sebagai pintu awal komunikasi fiskus dengan Wajib Pajak. SP2DK secara normatif ditempatkan dalam kerangka klarifikasi: negara meminta penjelasan, Wajib Pajak memberikan respons. Di ruang ini, masalah kepatuhan kerap dapat diselesaikan tanpa eskalasi ke pemeriksaan.


Namun PER-18/PJ/2025 memperkenalkan konsep baru: data konkret. Data konkret didefinisikan sebagai data yang dimiliki DJP dan cukup kuat untuk diuji secara sederhana, lalu langsung ditindaklanjuti melalui pengawasan atau pemeriksaan spesifik.

Contohnya adalah faktur pajak yang telah disetujui sistem tetapi tidak dilaporkan di SPT, bukti potong/pungut pajak yang belum dilaporkan, pengkreditan Pajak Masukan yang tidak sesuai ketentuan, hingga hasil SP2DK yang telah disepakati tetapi tidak direalisasikan oleh Wajib Pajak.


Di titik inilah terjadi pergeseran fundamental. Negara tidak lagi sekadar bertanya atas dasar dugaan, melainkan bertindak atas dasar data yang telah dianggap cukup kuat. SP2DK tidak dihapus, tetapi perannya berubah: dari ruang dialog, menjadi bagian dari rantai penegakan.

Data sebagai Otoritas

Dalam rezim baru ini, data tidak lagi netral. Data menjadi otoritas. Data menjadi dasar legitimasi tindakan. Bagi DJP, ini adalah manifestasi dari reformasi administrasi perpajakan berbasis teknologi.

Sistem seperti e-Faktur, e-Bupot, dan penguatan core tax system menghasilkan volume data besar yang tak mungkin dibiarkan mengendap. Pemanfaatannya untuk pengawasan adalah keniscayaan.

Namun, persoalan muncul ketika data yang kuat tidak diimbangi oleh mekanisme perlindungan yang memadai. Dalam praktik, kesalahan data bukan hal mustahil. Ketidaksesuaian laporan dapat timbul dari berbagai faktor: kesalahan input, keterlambatan sinkronisasi, kelalaian pihak ketiga, atau problem teknis pada sistem itu sendiri.


Jika data yang belum sepenuhnya steril dari kesalahan langsung diberi status sebagai “data konkret”, maka risiko keadilan prosedural menjadi taruhan.

Keadilan Prosedural dan Asimetri Informasi

Dalam negara hukum, kekuasaan tidak cukup hanya sah secara formal, tetapi juga harus adil dalam prosedur. PER-18/PJ/2025 membawa implikasi terhadap apa yang dikenal sebagai keadilan prosedural (procedural justice). Jika data konkret menjadi dasar tindakan, pertanyaannya: seberapa besar ruang Wajib Pajak untuk memeriksa, menguji, dan membantah data tersebut? Apakah akses terhadap data yang digunakan negara tersedia secara memadai bagi Wajib Pajak? Ataukah hanya sebagian yang diperlihatkan? Di sinilah risiko asimetri informasi muncul. Negara memegang seluruh infrastruktur data, sementara Wajib Pajak berada pada posisi reaktif. Jika kesenjangan ini tidak dikelola hati-hati, relasi fiskus–Wajib Pajak akan semakin timpang.

Kepatuhan yang lahir dari ketimpangan bukanlah kepatuhan yang berkelanjutan. Ia hanya melahirkan rasa takut, bukan kesadaran.

Efisiensi Negara vs Rasa Keadilan Warga

Dari sudut pandang fiskal, PER-18/PJ/2025 dapat mempercepat proses koreksi potensi pajak yang tidak atau kurang dibayar. Negara membutuhkan penerimaan yang optimal untuk membiayai pembangunan. Namun bagi Wajib Pajak—terutama UMKM dan pelaku usaha yang belum sepenuhnya siap digital—kebijakan ini bisa menambah tekanan administratif. Mereka tidak hanya dituntut patuh membayar pajak, tetapi juga harus piawai mengelola data, memastikan sinkronisasi sistem, dan meminimalkan risiko mismatch.
Tanpa dukungan edukasi dan asistensi yang memadai, kebijakan ini berpotensi menciptakan beban baru bagi kelompok usaha yang rentan.

Legitimasi Lebih Penting dari Sekadar Efektivitas

Pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa keberhasilan modernisasi pajak tidak semata diukur dari peningkatan rasio penerimaan. Lebih dari itu, ia diukur dari seberapa jauh sistem tersebut dipercaya publik.
Efektivitas tanpa legitimasi hanya menghasilkan kepatuhan semu.
Legitimasi tanpa efektivitas menghasilkan sistem yang rapuh.
PER-18/PJ/2025 berada di persimpangan itu.
Agar regulasi ini tidak sekadar menjadi alat tekan, tetapi juga instrumen transformasi yang adil, setidaknya ada tiga prasyarat penting:

  1. Transparansi data
    Wajib Pajak harus diberi akses yang jelas terhadap data konkret yang digunakan sebagai dasar pengawasan atau pemeriksaan.
  2. Ruang klarifikasi yang manusiawi
    Meskipun data konkret bisa langsung ditindaklanjuti, mekanisme dialog tetap harus dijaga agar tidak berubah menjadi proses sepihak.
  3. Standar kualitas data internal yang ketat
    Negara harus memastikan bahwa data yang dikualifikasi sebagai “konkret” benar-benar memiliki kualitas dan validitas yang tinggi.
    Tanpa tiga hal ini, penggunaan data justru berpotensi melahirkan sengketa dan memukul kepercayaan.

Penutup: Membangun Negara Digital yang Berkeadilan

Transformasi digital dalam perpajakan adalah keniscayaan. Negara tidak mungkin kembali ke cara-cara lama yang lambat, manual, dan penuh celah.
Namun negara digital tidak boleh kehilangan sisi manusianya.
Di balik angka, ada usaha.
Di balik data, ada keringat.
Di balik faktur, ada kehidupan ekonomi riil.
PER-18/PJ/2025 adalah ujian bagi kedewasaan institusi perpajakan kita:
mampukah negara menggunakan kekuatan data bukan sekadar untuk mengawasi, tetapi juga untuk memperkuat legitimasi dan keadilan?
Jika jawabannya ya, maka data konkret bukan ancaman, melainkan fondasi baru bagi sistem pajak yang modern, adil, dan beradab.

Penulis adalah Ketua Departemen Humas IKPI, Dosen, dan Praktisi Perpajakan

Jemmi Sutiono

Email:   jemmi.sutiono@gmail.com

 Disclaimer: Tulisan ini merupakan pandangan dan pendapat pribadi penulis

Komunitas Rider Bali Jadi Ruang Sharing Perpajakan dan Jembatan Kolaborasi Lintas Komunitas

IKPI, Mataram: Komunitas Rider Bali, yang beranggotakan puluhan anggota IKPI se-Bali, resmi diperkenalkan pada 26 November 2025 di Mataram oleh Ketua Umum IKPI, Vaudy Starworld. Meski baru diresmikan, komunitas ini langsung menunjukkan orientasi yang lebih luas dari sekadar menyalurkan hobi touring.

Koordinator Rider Bali, Dedy Kesuma, menjelaskan bahwa komunitas ini dibentuk sebagai wadah kebersamaan sesama anggota IKPI yang memiliki minat sama di dunia riding, sekaligus ruang untuk memperdalam wawasan profesional di bidang perpajakan.

(Foto: Istimewa)

“Awalnya memang karena hobi riding. Tapi dalam kegiatan kami, justru banyak diskusi soal perpajakan, membahas kasus, pengembangan kantor, dan profesionalisme konsultan pajak,” ujar Dedy, Kamis (27/11/2025).
Ia menekankan bahwa suasana santai saat touring justru membuat pertukaran pengetahuan berlangsung lebih cair dan efektif. Agenda touring Rider Bali biasanya ditetapkan setiap pekan keempat atau melalui kesepakatan para anggota. Namun menurut Dedy, esensi komunitas ini jauh melampaui rute perjalanan.

Ia menyebut bahwa kehadiran Rider Bali diharapkan mampu membuka jalur komunikasi dan kolaborasi dengan komunitas motor lain di luar IKPI termasuk dari unsur pemerintahan maupun kalangan wajib pajak, baik badan maupun perorangan, yang memiliki komunitas riding sejenis.

(Foto: Istimewa)

“Kalau ada komunitas luar, baik dari instansi pemerintah maupun wajib pajak yang juga punya hobi touring, kegiatan bersama sangat mungkin dilakukan. Ini bisa jadi ruang untuk membangun relasi, menyatukan pemahaman, sekaligus memberikan edukasi perpajakan dalam suasana yang jauh lebih santai,” jelasnya.

Selain itu, Dedy menargetkan terbentuknya sinergi dengan komunitas IKPI Rider dari provinsi lain. Setelah resmi diperkenalkan oleh Ketum IKPI, langkah berikutnya adalah memperkuat jaringan lintas daerah.

(Foto: Istimewa)

“Ke depan kami berharap Rider Bali bisa berkolaborasi dengan IKPI Rider dari provinsi lain. Bisa saling mengunjungi atau menggelar touring bersama agar kebersamaan semakin kuat,” katanya.

Dengan diluncurkannya Rider Bali, IKPI tidak hanya memperluas bidang kegiatan anggotanya, tetapi juga membuka cara baru dalam membangun kebersamaan, meningkatkan kapasitas profesional, dan menjalin hubungan lintas komunitas melalui pendekatan yang lebih humanis dan berbasis hobi bersama. (bl)

IKPI Peduli Banjir Sumatera, Ajak Seluruh Anggota Berdonasi

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) kembali menunjukkan komitmen sosial melalui gerakan “IKPI Peduli Banjir di Sumatera” untuk membantu korban bencana banjir yang melanda beberapa wilayah di Pulau Sumatera. Ketua Departemen Keagamaan, Sosial, Seni dan Olahraga (KSSO) IKPI, Rusmadi mengimbau seluruh anggota di seluruh Indonesia agar mengambil bagian dalam penggalangan donasi nasional ini.

Rusmadi menyampaikan bahwa banjir yang terjadi telah berdampak pada masyarakat luas, termasuk sejumlah anggota IKPI di wilayah terdampak. Karena itu, solidaritas antaranggota menjadi sangat penting untuk membantu proses pemulihan.

Bantuan Akan Disalurkan ke Empat Wilayah Utama

Dana yang terkumpul akan difokuskan untuk membantu Anggota IKPI dan masyarakat yang terdampak banjir di empat lokasi berikut:

• Aceh

• Sumatera Utara

• Sumatera Barat

Penyaluran bantuan akan dilakukan melalui IKPI Pengda Sumbagut dan Sumbagteng agar lebih terkoordinasi dan tepat sasaran.

Penyaluran Donasi Melalui Rekening Resmi

IKPI mengajak seluruh anggota untuk menyalurkan sumbangan melalui rekening resmi:

Rekening Bank IKPI – Pengda Sumbagut

Bank : BCA

Cabang : Asia

Nomor Rekening : 195-598-3388

Nama : Ikatan Konsultan Pajak Indonesia

Untuk memudahkan koordinasi dan konfirmasi donasi, IKPI menunjuk empat PIC:

• Widya : 0851-8605-8388

• Mona : 0858-9138-0651

• Johanes Santoso : 0811-213-727

• Han Wie : 08161-6850005

Penggalangan Donasi Ditutup pada 8 Desember 2025

Batas waktu pengumpulan donasi ditetapkan hingga Senin, 08 Desember 2025. Setelah periode tersebut, seluruh bantuan akan segera disalurkan ke daerah terdampak untuk membantu kebutuhan darurat dan pemulihan.

Ia menegaskan bahwa aksi ini merupakan wujud nyata kepedulian dan kekompakan IKPI. “Kontribusi sekecil apa pun sangat berarti bagi saudara-saudara kita yang sedang menghadapi masa sulit di Sumatera,” ujarnya. (bl)

id_ID