DJP–Kemenkop Pacu NPWP Koperasi Merah Putih, Target 80 Ribu Badan Usaha Desa

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Kementerian Koperasi memperkuat kolaborasi untuk mempercepat pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) badan bagi Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDKMP). Sinergi ini diharapkan menjadi pengungkit tertib administrasi sekaligus fondasi pengawasan kinerja koperasi di tingkat desa dan kelurahan.

Kerja sama tersebut ditegaskan melalui penandatanganan perjanjian kerja sama (PKS) antara Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto dan Deputi Bidang Kelembagaan dan Digital Koperasi Kementerian Koperasi Henra Saragih, Kamis (18/12/2025), di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta.

PKS ini merupakan tindak lanjut Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025 tentang percepatan pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. Pemerintah menargetkan sekitar 80 ribu koperasi desa dan kelurahan terbentuk di seluruh Indonesia sebagai motor penguatan ekonomi lokal.

“Melalui PKS ini, kami bersepakat mempercepat implementasi integrasi sistem pendaftaran NPWP badan bagi koperasi desa merah putih,” ujar Bimo dalam keterangan resmi, Jumat (19/12/2025).

Bimo menjelaskan, ruang lingkup kerja sama mencakup pertukaran dan pemanfaatan data, sosialisasi serta edukasi perpajakan, hingga kegiatan lain yang disepakati kedua pihak. DJP akan mengakses data profil, keuangan, dan potensi KDKMP sebagai dasar analisis pemenuhan kewajiban pajak. Sebaliknya, Kementerian Koperasi memperoleh data NPWP serta kepatuhan pelaporan SPT Tahunan PPh dan SPT Masa PPh Pasal 21/26 untuk pengawasan kinerja koperasi.

“Basis data bersama ini penting untuk analisis yang prudent, guna mengamankan penerimaan negara sekaligus meningkatkan kepatuhan,” kata Bimo.

Data internal DJP mencatat, hingga 16 Desember 2025 terdapat 81.436 wajib pajak dengan nama berunsur “Koperasi Desa Merah Putih” dari total 83.016 KDKMP yang tercatat di basis data Kementerian Koperasi. Dari jumlah tersebut, sekitar 56.000 koperasi (69,55%) mendaftar NPWP secara sukarela, sementara sekitar 24.000 koperasi (30,45%) terdaftar melalui pengumpulan data lapangan atau ekstensifikasi.

Bimo berharap momentum PKS ini menghadirkan manfaat konkret bagi program pemerintah. “Kami optimistis kolaborasi ini memperkuat tata kelola koperasi desa dan berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat,” ujarnya. (bl)

Penerimaan Pajak Mulai Menguat di November, Wamenkeu Optimistis Tutup Tahun Lebih Baik

IKPI, Jakarta: Kinerja penerimaan pajak menunjukkan sinyal perbaikan memasuki November 2025. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyampaikan bahwa laju pengumpulan pajak pada November lebih solid dibandingkan Oktober, mencerminkan membaiknya aktivitas ekonomi menjelang akhir tahun.

“Di bulan November 2025, progres atau kinerja pengumpulan pajak kita membaik dibandingkan capaian pada bulan Oktober,” ujar Suahasil dalam konferensi pers APBN KiTAedisi Desember 2025 di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (18/12/2025).

Hingga November 2025, realisasi penerimaan pajak bruto tercatat mencapai Rp1.985,48 triliun. Sementara itu, penerimaan pajak neto setelah memperhitungkan restitusi mencapai Rp1.634,43 triliun. Capaian tersebut setara 78,7 persen dari outlook penerimaan pajak 2025.

Meski belum menyentuh target tahunan, Suahasil menekankan adanya akselerasi secara bulanan. Secara month to month (mtm), penerimaan pajak neto November meningkat 2,5 persen dibandingkan Oktober, menjadi indikasi positif di tengah dinamika ekonomi global.

Rincian kinerja penerimaan pajak neto hingga November 2025 menunjukkan variasi antar pos. Pajak Penghasilan (PPh) Badan terealisasi Rp263,58 triliun atau masih terkontraksi 9 persen. PPh Orang Pribadi dan PPh Pasal 21 mencapai Rp218,31 triliun, turun 7,8 persen. Namun, PPh Final, PPh Pasal 22, dan PPh Pasal 26 mencatat pertumbuhan positif 1,4 persen dengan realisasi Rp305,43 triliun.

Dari sisi konsumsi, penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) mencapai Rp660,77 triliun atau terkontraksi 6,6 persen secara tahunan. Meski demikian, angkanya membaik signifikan dibandingkan Oktober yang berada di Rp556,61 triliun. Sementara kategori penerimaan lainnya mencatat kinerja paling kuat dengan pertumbuhan 21,5 persen dan realisasi Rp186,33 triliun.

Suahasil menyatakan harapan besar pada PPN dan PPnBM untuk menopang penerimaan hingga penutupan tahun. Menurutnya, kedua jenis pajak tersebut menjadi indikator denyut nadi perekonomian nasional karena sangat bergantung pada aktivitas transaksi.

“PPN muncul kalau ada transaksi. Kalau tidak ada transaksi, negara tidak menerima PPN. Jadi ketika PPN tumbuh positif, itu menandakan transaksi dan aktivitas ekonomi ikut bergerak,” jelasnya.

Dengan tren perbaikan pada November dan dorongan aktivitas ekonomi di Desember, pemerintah optimistis kinerja penerimaan pajak dapat ditutup lebih kuat, sekaligus menjaga keberlanjutan fiskal menjelang 2026. (alf)

Kebijakan Tarif AS Ringankan Beban Pajak Perdagangan Sawit Malaysia

IKPI, Jakarta: Kebijakan Amerika Serikat (AS) yang mengecualikan minyak sawit Malaysia dari tarif impor sebesar 19 persen dinilai memberikan keringanan signifikan terhadap beban pajak perdagangan sekaligus memperkuat daya saing ekspor komoditas unggulan negeri Jiran tersebut di pasar global.

Pengecualian tarif ini dipandang sebagai sinyal positif bagi industri sawit Malaysia yang sepanjang 2025 menghadapi tekanan eksternal, mulai dari pelemahan permintaan global hingga persaingan harga dengan minyak nabati alternatif. Dengan berkurangnya hambatan tarif, eksportir sawit Malaysia memiliki ruang lebih besar untuk menjaga margin usaha dan efisiensi fiskal dalam aktivitas perdagangan internasional.

Analis komoditas Danni Haizal Danial Donald, dalam laporannya yang dimuat kantor berita nasional Malaysia, Bernama, baru baru ini menilai kebijakan tarif AS tersebut memberi efek langsung terhadap biaya perdagangan. Menurutnya, pembebasan tarif impor menjadi faktor penting dalam menahan tekanan biaya ekspor di tengah ketidakpastian ekonomi global.

Dari sisi harga, minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Malaysia masih bergerak fluktuatif sepanjang 2025. Pada November 2025, harga CPO tercatat sebesar RM4.089,50 per ton, turun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya di level RM5.011,50 per ton. Hingga awal Desember 2025, harga CPO masih berada di kisaran RM4.000 per ton.

Meski demikian, prospek harga ke depan dinilai lebih konstruktif. Danni memproyeksikan harga CPO berpotensi menguat pada awal tahun mendatang dan bergerak menuju kisaran RM4.500 per ton. Proyeksi ini didorong oleh permintaan musiman menjelang perayaan Tahun Baru Imlek dan Ramadan, yang biasanya meningkatkan konsumsi minyak nabati di pasar internasional.

Dari sisi kinerja ekspor, sektor sawit Malaysia masih mencatatkan tren stagnan. Dalam 11 bulan pertama 2025, volume ekspor minyak sawit mencapai 22,55 juta ton dengan nilai RM103,01 miliar, lebih rendah dibandingkan capaian tahun 2024 yang mencapai 26,66 juta ton senilai RM109,39 miliar. Tekanan pajak dan kebijakan perdagangan di sejumlah negara tujuan turut mempengaruhi kinerja ekspor tersebut.

Namun, minyak sawit tetap menjadi tulang punggung sektor komoditas Malaysia. Data menunjukkan peningkatan produktivitas tandan buah segar (FFB) di sektor perkebunan. Pada periode Januari–Oktober 2025, produktivitas FFB mencapai 14,45 ton per hektare, meningkat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 13,96 ton per hektare. Capaian ini mencerminkan efisiensi produksi yang terus membaik.

Di sisi lain, tekanan permintaan global masih terasa, khususnya dari pasar utama seperti China. Konsumen di pasar tersebut cenderung beralih ke minyak nabati alternatif yang lebih murah, seperti minyak kedelai. Kondisi ini berdampak pada penurunan pengiriman minyak sawit Malaysia ke China hingga hampir 30 persen dalam 10 bulan pertama 2025.

Lemahnya serapan ekspor turut menyebabkan penumpukan stok domestik. Persediaan minyak sawit Malaysia tercatat melonjak hingga lebih dari 2,7 juta ton, level tertinggi dalam lebih dari enam tahun terakhir. Peningkatan stok ini mencerminkan ketidakseimbangan antara produksi yang relatif tinggi dan pembelian luar negeri yang melambat.

Dari sisi kebijakan domestik, pemerintah Malaysia memperkuat dukungan fiskal kepada sektor sawit, khususnya bagi pekebun kecil. Dalam Anggaran 2026, hampir RM2,4 miliar dialokasikan untuk melindungi lebih dari 720.000 peneroka dan pekebun kecil di bawah naungan FELDA, RISDA, dan FELCRA. Anggaran ini diarahkan untuk modernisasi agribisnis dan penguatan ketahanan ekonomi pekebun.

Selain itu, sekitar RM20 juta dialokasikan untuk mendukung pengembangan mekanisasi dan otomasi melalui kolaborasi dengan Lembaga Minyak Sawit Malaysia serta perusahaan besar industri sawit. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan terhadap tenaga kerja asing sekaligus meningkatkan efisiensi biaya produksi. (alf)

Optimalisasi Belanja APBN Berbasis Pajak Dorong Ekonomi NTT

IKPI, Jakarta: Optimalisasi belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang bersumber dari penerimaan pajak terus menjadi penggerak utama roda ekonomi Nusa Tenggara Timur (NTT). Sinergi antara Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Provinsi NTT dan Bank Indonesia diperkuat untuk memastikan belanja negara efektif menjaga momentum pertumbuhan ekonomi daerah hingga akhir tahun.

Kepala Kanwil DJPb Provinsi NTT Adi Setiawan mengungkapkan, hingga pertengahan Desember realisasi belanja negara di NTT telah mencapai Rp30,7 triliun. Dana yang dihimpun negara—terutama dari pajak—itu kembali ke daerah melalui belanja pemerintah untuk menopang aktivitas ekonomi dan pelayanan publik.

Dari total realisasi tersebut, sekitar 72,8 persen merupakan Transfer ke Daerah (TKD) yang dikelola pemerintah daerah. Sementara 27,2 persen lainnya berasal dari belanja instansi vertikal kementerian dan lembaga. Keduanya berperan penting dalam menjaga kesinambungan pembangunan dan perputaran ekonomi di wilayah NTT.

Adi menegaskan, APBN berbasis pajak masih menjadi tulang punggung perekonomian di Bumi Flobamora. Pasalnya, tingkat kemandirian fiskal daerah rata-rata masih rendah sehingga belanja negara memiliki dampak signifikan dalam menjaga roda pemerintahan dan mendorong aktivitas ekonomi masyarakat.

“Realisasi belanja APBN sangat berpengaruh. Ketika pemerintah membayarkan gaji pegawai atau menyalurkan bantuan sosial, daya beli masyarakat meningkat. Ini mendorong perputaran uang dan transaksi ekonomi di daerah,” ujarnya baru baru ini.

Dukungan APBN juga dirasakan langsung oleh pelaku usaha melalui pembiayaan berbasis subsidi bunga. Penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) di NTT telah mencapai Rp2,58 triliun kepada lebih dari 60 ribu pelaku UMKM. Sementara Pembiayaan Ultra Mikro (UMi) menjangkau lebih dari 59 ribu debitur yang sebelumnya belum tersentuh layanan perbankan, dengan 99 persen disalurkan melalui pola kelompok tanggung renteng.

“Puluhan ribu pedagang, pengrajin, petani, dan pelaku usaha mikro di NTT terbantu menjalankan usahanya berkat permodalan yang bersumber dari APBN,” kata Adi.

Meski demikian, besarnya aliran dana negara menuntut peningkatan kualitas belanja. Berdasarkan evaluasi 2015–2024, kenaikan alokasi TKD belum sepenuhnya sejalan dengan capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang optimal.

Adi menjelaskan, efektivitas belanja berbeda antar jenis transfer. Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik dan Dana Desa terbukti memiliki daya ungkit langsung terhadap peningkatan IPM karena diarahkan secara spesifik untuk pembangunan infrastruktur layanan dasar, terutama pendidikan dan kesehatan.

Sebaliknya, belanja transfer yang bersifat block grant cenderung kurang berdampak pada IPM karena lebih banyak terserap untuk belanja operasional dan layanan administratif.

Atas kondisi tersebut, Kanwil DJPb NTT merekomendasikan penyesuaian pola belanja ke depan agar lebih berorientasi pada kualitas dan hasil jangka panjang. Optimalisasi belanja APBN berbasis pajak diharapkan tidak hanya menjaga stabilitas ekonomi jangka pendek, tetapi juga memperkuat fondasi pembangunan manusia di NTT. (alf)

Pajak Impor Naik 2026, Produsen Mobil Listrik Pilih Bangun Pabrik di RI

IKPI, Jakarta: Pemerintah bersiap mengetatkan kebijakan fiskal pada sektor kendaraan listrik mulai 2026. Sejumlah produsen mobil listrik global dikabarkan akan memindahkan basis produksi ke Indonesia demi menghindari kenaikan bea masuk impor yang akan diberlakukan tahun depan.

Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Muhammad Rachmat Kaimuddin, menegaskan produsen yang tidak membangun fasilitas produksi di dalam negeri bakal dikenai tarif pajak impor lebih tinggi mulai 2026.

“Kalau mereka enggak berproduksi di Indonesia pada 2026, pajak impor-nya akan naik. Pilihannya beragam, bisa membangun pabrik sendiri atau bekerja sama dengan pabrikan assembler dalam negeri,” ujar Rachmat, Jumat (19/12/2025).

Rachmat mengungkapkan, terdapat sembilan merek otomotif yang telah menyatakan komitmen memproduksi kendaraan listrik di Tanah Air. Kesembilan brand tersebut adalah Geely, BYD, Citroen, VinFast, GWM, Volkswagen, Xpeng, Maxus, dan AION.

Pernyataan tersebut sejalan dengan penjelasan Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Rosan Roeslani. Ia menyebutkan, tujuh produsen kendaraan listrik telah membangun fasilitas produksi di Indonesia, yakni VinFast, Volkswagen, BYD, Citroen, AION, Maxus, dan Geely.

Total investasi dari ketujuh produsen tersebut telah mencapai sekitar Rp15,4 triliun dengan kapasitas produksi gabungan sekitar 281.000 unit per tahun. Capaian ini dinilai memperkuat fondasi industri kendaraan listrik nasional sekaligus memperluas basis penerimaan pajak dari sektor manufaktur.

Sementara itu, GWM diketahui telah memiliki fasilitas perakitan di Wanaherang, Bogor. Adapun Xpeng juga telah mengoperasikan pabrik perakitan di Purwakarta, Jawa Barat. Rachmat menambahkan, BYD saat ini tengah membangun fasilitas perakitannya di Indonesia untuk memenuhi ketentuan produksi lokal.

Dengan semakin masifnya fasilitas perakitan dalam negeri, kesembilan brand tersebut dipastikan tidak terdampak kenaikan bea masuk, sepanjang kendaraan listrik yang dipasarkan tidak lagi diimpor secara utuh (completely built up/CBU), melainkan dirakit di dalam negeri (completely knocked down/CKD).

“Jadi, tidak ada alasan bagi mereka untuk menaikkan harga,” kata Rachmat.

Sebelumnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menegaskan tidak akan memperpanjang insentif bagi kendaraan listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV) yang masuk melalui skema impor CBU pada 2026. Hingga akhir Desember 2025, pemerintah masih memberikan pembebasan bea masuk serta keringanan PPnBM dan PPN, dengan syarat produsen merealisasikan produksi dalam negeri dengan rasio 1:1 dari jumlah kendaraan yang diimpor.

Mulai 1 Januari 2026 hingga 31 Desember 2027, produsen kendaraan listrik diwajibkan memproduksi mobil listrik di Indonesia dengan jumlah setara kuota impor CBU, sesuai ketentuan tingkat komponen dalam negeri (TKDN). Kebijakan ini diharapkan mendorong substitusi impor, memperkuat rantai pasok domestik, dan meningkatkan kontribusi pajak sektor otomotif listrik secara berkelanjutan. (alf)

Indef Ingatkan Bahaya “Ilusi Ruang Fiskal” dari Pemakaian SAL

IKPI, Jakarta: Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengingatkan pemerintah agar penggunaan Saldo Anggaran Lebih (SAL) untuk menutup celah defisit tidak berubah menjadi kebiasaan yang justru menggerus disiplin fiskal jangka menengah.

Peringatan itu muncul seiring langkah Kementerian Keuangan yang mengoptimalkan SAL sebesar Rp85,6 triliun sebagai bantalan pembiayaan APBN 2025. Strategi tersebut ditujukan menjaga defisit tetap sesuai outlook di kisaran 2,78 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), sekaligus menahan tambahan penerbitan surat utang di tengah ketidakpastian global.

Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, M. Rizal Taufikurahman, menilai kebijakan tersebut sah secara pragmatis. Namun, ia mengingatkan risiko “ilusi ruang fiskal” bila SAL terus dijadikan sandaran utama. “Defisit yang tampak terkendali secara angka bisa menyembunyikan masalah struktural jika ditopang oleh pengurasan cadangan,” ujarnya, Jumat (19/12/2025).

Menurut Rizal, penarikan SAL dalam jumlah signifikan mencerminkan tekanan nyata pada sisi penerimaan negara, sementara struktur belanja pemerintah relatif kaku. Jika “tabungan” negara itu terlalu sering dipakai untuk menutup kebutuhan pembiayaan rutin, fungsi SAL sebagai peredam kejut (shock absorber) akan tereduksi.

Dampaknya, ruang gerak fiskal berpotensi menyempit ketika terjadi guncangan eksternal yang lebih besar. “Ada risiko preseden fiskal yang keliru—stabilitas defisit dijaga lewat optimalisasi kas, bukan lewat penguatan kualitas APBN,” tambahnya.

Indef juga menilai ketergantungan pada SAL dapat melemahkan disiplin fiskal karena mendorong penundaan reformasi fundamental, seperti perbaikan rasio pajak terhadap PDB (tax ratio) dan peningkatan efisiensi belanja. Karena itu, Indef mendesak adanya aturan main yang jelas terkait pemanfaatan SAL.

“Idealnya, SAL hanya ditarik untuk menutup guncangan penerimaan yang bersifat sementara, bukan membiayai belanja rutin. Harus ada batas minimum SAL yang dijaga agar tidak menciptakan ilusi ruang fiskal yang semu,” tegas Rizal.

Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyatakan optimalisasi SAL Rp85,6 triliun menjadi salah satu strategi utama pembiayaan APBN 2025 untuk menjaga defisit tetap terkendali tanpa menambah kewajiban utang.

Hingga 30 November 2025, realisasi pembiayaan utang tercatat Rp614,9 triliun atau 84,06 persen dari outlook Laporan Semester (Lapsem) I/2025 sebesar Rp731,5 triliun. Pada periode yang sama, defisit APBN berada di level 2,35 persen PDB dan diproyeksikan bergerak menuju target akhir tahun 2,78 persen PDB.

Suahasil menegaskan penarikan utang tersebut masih berada dalam koridor kehati-hatian fiskal. “Itu on track. Defisit bergerak sesuai desain APBN, sebagaimana laporan semester di DPR,” ujarnya dalam konferensi pers APBN KiTA di Jakarta, Kamis (18/12/2025). (alf)

Dasnin J. Lahay: Investasi SDM dan Lisensi Jadi Fondasi Kantor Konsultan Pajak

IKPI, Jakarta: Anggota Departemen SPPBA Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Dasnin J. Lahay, mengungkapkan bahwa pembangunan kantor konsultan pajak yang berkelanjutan harus dimulai dari investasi sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan berlisensi.

Menurut Dasnin, “mesin” utama dalam bisnis jasa konsultan pajak adalah manusia. Oleh karena itu, langkah awal yang krusial adalah merekrut pegawai dengan pendidikan, keterampilan, dan sikap profesional yang tepat.

“Kalau di perusahaan manufaktur kita beli mesin terbaik, maka di consulting firm kita harus berinvestasi pada orang terbaik,” ujarnya dalam Webinar IKPI bertema ‘Jalan Sukses Menjadi Konsultan Pajak’, Jumat (19/12/2025) pagi.

Ia menyarankan agar kantor konsultan yang baru berdiri mempertimbangkan merekrut tenaga supervisor atau manajer yang sudah berpengalaman dan memiliki lisensi. Hal ini dinilai penting agar pemilik atau partner dapat lebih fokus pada pengembangan klien dan bisnis.

Dasnin juga menekankan pentingnya kepemilikan lisensi USKP sebagai daya tawar profesional. Saat ini, menurutnya, klien tidak lagi hanya melihat pengalaman, tetapi juga legalitas dan sertifikasi konsultan pajak.

“Lisensi menjadi bargaining power. Baik untuk mencari klien maupun meningkatkan performa karier di consulting firm,” jelasnya.

Terkait strategi mendapatkan klien, Dasnin menilai personal branding dan networking jauh lebih efektif dibandingkan promosi konvensional. Ia menegaskan bahwa konsultan pajak terikat kode etik sehingga tidak dapat beriklan secara bebas.

“Branding konsultan itu ada pada CV, latar belakang pendidikan, lisensi, serta keaktifan di asosiasi seperti IKPI,” katanya.

Ia mendorong anggota IKPI untuk aktif mengikuti seminar dan kegiatan organisasi sebagai sarana membangun jejaring dan kolaborasi. Selain itu, penyelenggaraan webinar gratis dinilai efektif untuk menunjukkan kompetensi sekaligus membuka peluang kerja sama jangka panjang.

Menurut Dasnin, membangun kantor konsultan pajak bukan proses instan. “Hasilnya tidak terlihat dalam dua atau tiga tahun. Biasanya setelah lima tahun baru terasa. Yang penting nama kita sudah dikenal dan dipercaya,” pungkasnya.

Hadir sebagai narasumber pada kegiatan ini:

  1. Ebenezer Simamora – Ketua IKPI Cabang Medan
  2. Dasnin J. Lahay – Anggota Departemen SPPBA IKPI
  3. Moderator Laras Setyawita – Anggota IKPI

(bl)

Wajib Pajak Kini Bisa Ajukan Pembebasan Pemotongan PPh Lewat SKB

IKPI, Jakarta: Wajib pajak kini memiliki peluang untuk mengurangi beban administrasi pajak melalui mekanisme Surat Keterangan Bebas (SKB). Melalui fasilitas ini, wajib pajak dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan maupun pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) oleh pihak lain kepada Direktorat Jenderal Pajak.

SKB diberikan untuk sejumlah jenis pajak, mulai dari PPh Pasal 21, PPh Pasal 22 dan Pasal 22 Impor, hingga PPh Pasal 23. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor 8/PJ/2025 yang menjadi acuan terbaru dalam pengajuan pembebasan pemotongan dan/atau pemungutan PPh.

Berdasarkan Pasal 70 dan Pasal 71 regulasi tersebut, terdapat beberapa kategori wajib pajak yang berhak mengajukan SKB. Pertama, wajib pajak yang dapat membuktikan tidak akan terutang PPh karena mengalami kerugian fiskal. Kondisi ini mencakup wajib pajak yang baru berdiri dan masih dalam tahap investasi, belum memasuki tahap produksi komersial, atau mengalami peristiwa di luar kemampuan atau force majeure.

Kategori kedua adalah wajib pajak yang tidak akan terutang PPh karena berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal. Dalam hal ini, kerugian yang dimaksud harus tercantum dalam SPT Tahunan PPh atau dokumen resmi lain seperti surat ketetapan pajak, keputusan keberatan, putusan banding, hingga putusan peninjauan kembali yang masih memiliki kekuatan hukum.

Sementara itu, kategori ketiga mencakup wajib pajak yang dapat membuktikan bahwa PPh yang telah dibayarkan lebih besar dibandingkan PPh yang akan terutang. Selain itu, wajib pajak yang penghasilannya hanya dikenakan pajak bersifat final juga termasuk dalam kelompok yang dapat mengajukan SKB.

Proses pengajuan SKB kini sepenuhnya dapat dilakukan secara elektronik melalui sistem Coretax DJP. Wajib pajak cukup masuk ke akun Coretax, memilih menu layanan administrasi, lalu mengajukan permohonan SKB sesuai dengan jenis PPh yang dimohonkan pembebasannya.

Dalam proses tersebut, wajib pajak diminta mengisi formulir permohonan, menentukan jenis pemotongan atau pemungutan PPh, alasan permohonan, serta tahun pajak yang diajukan. Sistem akan mengisi sebagian data secara otomatis, sementara wajib pajak melengkapi informasi yang diperlukan dan mengunggah dokumen pendukung, termasuk perhitungan PPh yang diperkirakan terutang.

Setelah seluruh data dilengkapi, wajib pajak wajib menyetujui pernyataan, melakukan tanda tangan elektronik dengan passphrase atau kode otorisasi DJP, lalu mengirimkan permohonan. Status permohonan SKB dapat dipantau melalui menu notifikasi atau fitur “Dokumen Saya” di Coretax.

SKB yang diterbitkan berlaku sejak tanggal penerbitan hingga akhir tahun pajak yang bersangkutan. DJP akan memberikan keputusan berupa penerbitan SKB atau surat penolakan paling lama lima hari kerja setelah bukti penerimaan diterbitkan. Apabila permohonan tidak memenuhi ketentuan, wajib pajak akan menerima surat penolakan sebagai dasar perbaikan atau penyesuaian di masa mendatang. (alf)

Menkeu Buka Peluang Insentif Pembiayaan untuk Dongkrak Daya Saing Industri Furnitur

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan permintaan Kamar Dagang dan Industri (Kadin Indonesia) terkait insentif pembiayaan bagi industri furnitur diarahkan untuk memperkuat daya saing pelaku usaha nasional di pasar global. Tekanan kompetisi, terutama dari negara-negara dengan biaya modal lebih murah seperti Vietnam, dinilai menjadi tantangan utama sektor ini.

Usai rapat terbatas bersama Presiden Prabowo Subianto di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Purbaya menjelaskan bahwa perbedaan tingkat bunga pembiayaan menjadi salah satu faktor yang menggerus daya saing industri furnitur dalam negeri. Negara pesaing dinilai mampu menawarkan biaya pendanaan yang lebih rendah bagi pelaku usahanya.

Menanggapi hal tersebut, pemerintah tengah menelaah kemungkinan skema pembiayaan yang dapat menekan beban biaya modal industri furnitur. Salah satu instrumen yang dipertimbangkan adalah optimalisasi peran Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia/LPEI).

Namun demikian, Purbaya mengakui penyaluran pembiayaan LPEI ke sektor furnitur masih terbatas. Saat ini, nilai pembiayaan yang terserap disebut baru sekitar Rp200 miliar, jauh di bawah estimasi kebutuhan industri yang dapat mencapai Rp16 triliun.

“Bukan hanya soal bunga, tetapi juga kapasitas penyaluran dan efektivitas dukungan. Ini yang akan kami evaluasi,” ujar Purbaya, Jumat (19/12/2025). Ia menegaskan evaluasi menyeluruh diperlukan mengingat LPEI sebelumnya menghadapi sejumlah persoalan internal yang perlu dibenahi agar kebijakan yang diambil tepat sasaran.

Pemerintah, lanjut Purbaya, pada prinsipnya terbuka memberikan insentif maupun dukungan pembiayaan sepanjang kebijakan tersebut mampu meningkatkan daya saing industri nasional dan berdampak nyata pada kinerja ekspor, khususnya sektor furnitur yang memiliki potensi besar.

Sebelumnya, pengusaha yang tergabung dalam Kadin Indonesia mengajukan usulan insentif hingga deregulasi kepada pemerintah. Ketua Umum Kadin Indonesia Anindya Bakrie menyebut diskusi dengan Kementerian Keuangan mencakup berbagai opsi, mulai dari pendanaan, deregulasi, hingga penguatan strategi industrialisasi.

Menurut Anindya, peluang pasar furnitur global diperkirakan mencapai sekitar 300 miliar dolar AS. Namun, kontribusi Indonesia saat ini baru sekitar 2,5 miliar dolar AS, menunjukkan ruang pertumbuhan yang masih sangat besar.

Selain dukungan pembiayaan, pengusaha juga mendorong diversifikasi pasar ekspor. Pasalnya, sekitar 60 persen ekspor furnitur Indonesia masih bergantung pada pasar Amerika Serikat. Diversifikasi dinilai penting untuk memperkuat ketahanan industri di tengah dinamika perdagangan global yang kian kompetitif. (alf)

Pemerintah Siapkan Bea Keluar Batu Bara Mulai 2026, Skema Disesuaikan Harga Pasar

IKPI, Jakarta: Pemerintah berencana mengenakan bea keluar terhadap ekspor batu bara mulai 1 Januari 2026 sebagai bagian dari penguatan pengelolaan sumber daya alam dan optimalisasi penerimaan negara. Kebijakan ini digodok Kementerian Keuangan dan mendapat dukungan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan pendekatan yang dinilai adil bagi negara maupun pelaku usaha.

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan, rencana tersebut sejalan dengan amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang menempatkan pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menurutnya, seluruh kementerian mengikuti arahan Presiden agar setiap potensi penerimaan negara dioptimalkan tanpa mengabaikan prinsip keadilan.

“Pasal 33 selalu menjadi rujukan. Kita harus mampu memanfaatkan seluruh potensi, termasuk peningkatan pendapatan negara. Di dalamnya ada bea keluar,” ujar Bahlil di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (19/12/2025).

Meski demikian, Bahlil menekankan bea keluar tidak akan diberlakukan secara menyeluruh. Pemerintah akan mempertimbangkan kondisi harga global dan kemampuan perusahaan sebelum pungutan diterapkan. Artinya, bea keluar baru dikenakan ketika harga pasar mencapai ambang tertentu yang tengah diformulasikan.

“Kalau harga rendah dan profit perusahaan kecil, pengenaan bea keluar justru tidak membantu. Negara harus fair. Tetapi jika harga ekspor tinggi dan nilai jual besar, wajar negara meminta kontribusi melalui bea keluar,” jelasnya.

Dari sisi fiskal, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sebelumnya memaparkan filosofi kebijakan ini di hadapan Komisi XI DPR RI. Ia menilai, selama ini terdapat ketimpangan perlakuan ketika harga batu bara berfluktuasi. Saat harga turun, eksportir ramai mengajukan restitusi pajak; sebaliknya, ketika harga naik, tidak ada bea keluar yang dipungut sehingga menyerupai subsidi tidak langsung.

“Ini jadi aneh. Saat untung besar, seolah-olah disubsidi. Itu filosofi utama di balik rencana bea keluar batu bara,” kata Purbaya dalam rapat kerja pada Senin (8/12/2025).

Purbaya mengungkapkan, pada periode harga rendah, nilai restitusi yang diajukan eksportir batu bara dapat mencapai Rp25 triliun per tahun. Tren tersebut menekan penerimaan negara dan berkontribusi pada penurunan kinerja pajak.

“Akibatnya, bukan masyarakat yang lebih sejahtera, melainkan pengusaha batu bara yang menikmati keuntungan lebih besar. Tahun ini penerimaan pajak turun karena beban restitusi cukup besar,” ujarnya.

Untuk menyeimbangkan kondisi tersebut, pemerintah kini menargetkan penerimaan dari bea keluar batu bara sekitar Rp20 triliun per tahun. Rancangan tarif masih disusun agar responsif terhadap dinamika harga global sekaligus menjaga iklim usaha tetap kondusif. (alf)

id_ID