IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memastikan implementasi kebijakan Pajak Minimum Global atau Global Minimum Tax (GMT) akan berlaku penuh di Indonesia mulai 2026. Kepastian ini disampaikan Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Senin (24/11/2025).
Penerapan GMT mengacu pada PMK Nomor 136 Tahun 2024, yang telah mengatur kerangka dasar kebijakan. Namun, aturan teknis mengenai administrasi dan tata cara pelaporan GMT masih difinalisasi DJP dan ditargetkan rampung tahun ini.
Indonesia akan menerapkan top up tax terhadap perusahaan multinasional (PMN/MNE) dengan peredaran bruto konsolidasi minimal 750 juta euro yang membayar pajak di yurisdiksi tempat beroperasi kurang dari tarif minimum 15%.
“Untuk tahun pajak 2025, pembayaran top up tax dilakukan paling lambat 31 Desember 2026,” ujar Bimo.
Skema pemajakan GMT akan dijalankan melalui tiga instrumen utama:
Income Inclusion Rules (IIR) Membebankan pajak tambahan di level induk grup jika entitas anak membayar pajak di bawah 15%
Qualified Domestic Minimum Top Up Tax (QDMTT) Memastikan pajak minimum 15% dibayarkan di negara tempat entitas beroperasi
Undertaxed Payment Rules (UTPR) Dikenakan jika negara induk tidak menerapkan IIR, pajak tambahan dialokasikan ke yurisdiksi lain
Tahapan Implementasi GMT
Bimo merinci peta jalan implementasi GMT di Indonesia:
Tahun Agenda
2025 Perhitungan IIR & QDMTT mulai berlaku, sosialisasi ke wajib pajak & fiskus, penyiapan infrastruktur IT, finalisasi aturan teknis, persiapan exchange of information (EOI)
2026 UTPR mulai berlaku dan pembayaran pajak minimum global untuk tahun pajak 2025 dimulai
2027 Pengiriman GloBE Information Return (GIR), notifikasi entitas konstituen, penyampaian SPT GloBE, implementasi EOI
2028 Risk assessment serta pertukaran GIR dan notifikasi antarnegara yang mengadopsi GMT
Bimo mengakui pemberlakuan GMT akan memengaruhi efektivitas insentif pajak, khususnya bagi perusahaan yang masuk cakupan GloBE. Namun, perusahaan multinasional di luar cakupan GMT tidak akan terdampak.
GMT juga diprediksi mengubah pola kompetisi negara dalam menarik investasi. Jika sebelumnya negara berlomba menawarkan tax holiday atau tax allowance, ke depan persaingan lebih condong menjadi refundable tax credit.
Bimo memberi contoh, bila perusahaan penerima tax holiday di Indonesia menikmati tarif pajak efektif 5%, negara induk dapat mengenakan pajak tambahan 10% sehingga total tetap mencapai 15% sesuai standar GMT.
“Perusahaan tetap membayar 15% pajak secara total. Akibatnya, tax holiday menjadi tidak lagi menarik bagi MNE sebagai strategi penarikan investasi,” tegasnya.
Dengan begitu, strategi insentif pajak global akan bergerak ke arah kompensasi fiskal yang bersifat refundable, bukan lagi pengurangan tarif yang mengurangi efektivitas pemungutan pajak. (alf)


