Subsidi Dinikmati Orang Kaya, Purbaya Siapkan Desain Ulang Skema Bantuan Pemerintah

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkap temuan mengejutkan terkait penyaluran subsidi nasional. Dalam rapat bersama Komisi XI DPR, Purbaya menyebut masih banyak kelompok masyarakat berada pada desil 8, 9, bahkan 10—yang dikategorikan sebagai golongan menengah, menengah atas, hingga paling sejahtera, ternyata masih menikmati subsidi yang semestinya diperuntukkan bagi kelompok rentan.

Temuan tersebut muncul saat rapat evaluasi efisiensi subsidi yang digelar Kamis (4/12), bersama sejumlah BUMN strategis seperti Danantara, PLN, Pertamina, KAI, Pertamina Patra Niaga, hingga MIND ID. Dari data yang disampaikan, terlihat masih adanya kebocoran penyaluran subsidi yang bahkan menjangkau kelompok super kaya.

“Setelah kita lihat, ternyata yang kaya masih dapat. Itu aja. Saya dikasih waktu enam bulan ke depan untuk mendesain itu, mengoordinasikan desain tadi,” ujar Purbaya dalam rapat lanjutan di DPR, Jakarta, Jumat (5/12/2025).

Ia menjelaskan, persoalan salah sasaran ini dipengaruhi oleh desain subsidi yang belum sepenuhnya presisi serta keterbatasan sistem penyaluran di sejumlah sektor. Akibatnya, kelompok yang secara ekonomi mandiri masih mendapat manfaat subsidi yang seharusnya fokus pada masyarakat dalam desil 1 hingga 4.

“Masih ada orang yang relatif kaya, atau super kaya mungkin kalau di Indonesia, yang masih mendapat subsidi. Nanti ke depan akan kita lihat gimana perbaikannya,” tegasnya.

DPR telah memberikan target kepada Purbaya untuk menyelesaikan konsep desain ulang subsidi maksimal pada semester I-2026. Implementasinya akan dijalankan secara bertahap selama dua tahun berikutnya, dengan melibatkan koordinasi berbagai BUMN pengelola layanan publik.

Purbaya menegaskan bahwa rancangan baru tersebut akan memuat skema pengetatan penyaluran secara signifikan bagi kelompok mampu, terutama mereka yang masuk dalam desil 8–10. Anggaran subsidi yang berkurang dari kelompok kaya direncanakan akan dialihkan kepada masyarakat yang lebih membutuhkan.

“Yang kaya sekali, mungkin desil 8, 9, 10, subsidi akan dikurangin secara signifikan. Kalau perlu uangnya kita balikin ke yang desil 1, 2, 3, 4 yang lebih miskin. Itu utamanya, dan perlu desain khusus karena melibatkan BUMN-BUMN Danantara,” kata Purbaya.

Dengan desain ulang ini, pemerintah berharap kebijakan subsidi ke depan akan jauh lebih tepat sasaran, mengurangi kebocoran, dan memperkuat perlindungan bagi masyarakat berpendapatan rendah. (alf)

Ekonom Ingatkan Alarm Fiskal Imbas Beban Utang dan Lambatnya Pertumbuhan Pajak

IKPI, Jakarta: Peringatan mengenai ketahanan fiskal Indonesia kembali mengemuka setelah Tim Ekonom Bank Mandiri menyoroti ketidakseimbangan antara beban bunga utang yang meningkat pesat dan pertumbuhan penerimaan pajak yang berjalan lebih lambat. Kondisi tersebut dinilai menjadi sinyal serius bahwa struktur fiskal Indonesia membutuhkan penguatan segera agar ruang belanja negara tidak semakin terhimpit.

Kepala Riset Makroekonomi dan Pasar Keuangan Bank Mandiri, Dian Ayu Yustina, menjelaskan bahwa tren yang tampak dalam satu dekade terakhir menunjukkan divergensi yang semakin lebar. Menurutnya, pembayaran bunga utang pemerintah bergerak jauh lebih cepat dibandingkan kenaikan pendapatan pajak, sehingga menciptakan risiko jangka panjang bagi keberlanjutan APBN.

“Beban bunga utang terus naik secara signifikan, sementara pertumbuhan penerimaan pajak tidak cukup kuat untuk mengimbanginya. Ini harus menjadi alarm fiskal bagi pemerintah,” ujar Dian dalam paparan Economic Outlook kuartal IV, Jumat (5/12/2025).

Bank Mandiri mencatat bahwa pada 2016, indeks pembayaran bunga utang (basis 2010 = 100) berada pada angka 207, sedikit lebih tinggi dari indeks pendapatan pajak yang mencapai 178. Namun dalam proyeksi 2026, pembayaran bunga diperkirakan naik drastis hingga ke level 678, sedangkan pendapatan pajak hanya diprediksi mencapai 372. Selisih yang pada 2016 hanya 29 poin diperkirakan melebar hingga 306 poin dalam satu dekade.

Dian menegaskan bahwa pelebaran gap tersebut merupakan sinyal bahwa peningkatan pendapatan negara, terutama pajak, harus dipercepat. Apalagi, tekanan juga terlihat dari pergeseran keseimbangan primer. Jika pada Januari–Oktober 2024 pemerintah masih mampu mencatatkan surplus Rp97,3 triliun, periode yang sama pada 2025 justru menunjukkan defisit Rp45 triliun. Tren ini menunjukkan melemahnya kapasitas fiskal untuk menutup belanja rutin tanpa menambah utang.

Rasio pajak yang masih tertahan di kisaran 8,6%–8,7% dari PDB turut memperkuat kekhawatiran tersebut. Dengan kebutuhan belanja negara yang berada di sekitar 15% PDB, pemerintah dituntut mempercepat reformasi agar tax ratio dapat bergerak menuju 15%. Tanpa itu, beban bunga utang yang terus membesar dapat menggerus anggaran pembangunan.

“Kalau pertumbuhan pajak tetap berjalan lambat seperti sekarang, sementara bunga utang terus naik, ruang fiskal kita akan semakin sempit,” jelas Dian.

Untuk itu, Bank Mandiri merekomendasikan rangkaian langkah paralel guna memperkuat struktur penerimaan negara. Strategi tersebut mencakup perluasan basis pajak melalui integrasi NIK–NPWP dan ekstensifikasi sektor digital, peningkatan produktivitas PPN melalui penguatan C-efficiency dan wajib e-payment tracing, serta penutupan celah kepatuhan lewat pemanfaatan CTAS, pre-filled return, dan perluasan e-invoicing. Di sisi kebijakan, pemerintah juga didorong untuk mengoptimalkan bauran kebijakan mulai dari rasionalisasi insentif hingga implementasi pajak hijau seperti carbon tax dan cukai plastik.

Menurut Dian, seluruh langkah tersebut harus dijalankan bersamaan. Tanpa penguatan penerimaan pajak, APBN akan semakin rentan terhadap gejolak eksternal maupun tekanan pembiayaan dalam negeri. “Mempercepat pertumbuhan pajak adalah kunci untuk menjaga stabilitas fiskal dan memastikan APBN tetap mampu mendukung prioritas pembangunan,” ujarnya. (alf)

Pengamat Sebut Reformasi Fiskal Jadi Kunci Dongkrak Produksi Migas Nasional

IKPI, Jakarta: Upaya pemerintah meningkatkan kembali produksi minyak dan gas bumi (migas) menghadapi tantangan besar. Mayoritas lapangan migas nasional kini berada pada fase mature, sehingga kemampuan produksinya terus menurun. Dampaknya terlihat jelas: sepanjang 2014–2024, produksi minyak turun rata-rata 3,42% per tahun, sementara produksi gas merosot 1,72% per tahun.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, kondisi ini hanya bisa diperbaiki jika pemerintah melakukan reformasi fiskal secara serius di sektor hulu migas. Tanpa langkah tersebut, iklim investasi sulit membaik. “Laporan IHS Markit (S&P Global) Juni 2025 menempatkan Indonesia di peringkat 9 dari 14 negara Asia Pasifik dalam daya tarik investasi hulu migas. Aspek fiskal dan legal kita yang paling lemah,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (6/12/2025).

Komaidi menjelaskan bahwa akar persoalan fiskal terletak pada hilangnya prinsip utama pengelolaan PSC, yakni assume and discharge serta asas lex specialis. Sejak berlakunya UU Migas No.22/2001, skema perpajakan hulu migas mengikuti ketentuan perpajakan umum, sehingga tidak lagi mencerminkan karakteristik khusus industri migas.

Menurut dia, revisi UU Migas menjadi kebutuhan mendesak untuk mengembalikan kepastian fiskal. Prinsip assume and discharge, yang memastikan kontraktor hanya menanggung pajak langsung sementara pajak tidak langsung ditanggung negara, harus ditegaskan kembali agar porsi bagi hasil benar-benar mencerminkan penerimaan bersih negara.

ReforMiner juga merekomendasikan penyempurnaan teknis pada dua skema PSC. Pada PSC Cost Recovery, usulan meliputi pengembalian prinsip assume & discharge untuk pajak tidak langsung, penyederhanaan insentif melalui revisi PP 79/2010 jo. PP 27/2017, serta penegasan aturan PBB, PPN, dan PPNBM. Sedangkan pada PSC Gross Split, ReforMiner mendorong perluasan pembebasan pajak hingga tahap eksploitasi, penghapusan SKFP, dan pembebasan PBB secara otomatis.

Mekanisme transisi fiskal juga perlu diperjelas, termasuk pengelolaan Tax Loss Carry Forward (TLCF), pemberlakuan surut, serta pengakuan kembali biaya komitmen pasti (K3P) dalam skema Cost Recovery, agar tidak menimbulkan lonjakan beban pajak bagi kontraktor.

Komaidi menekankan bahwa berbagai negara telah membuktikan keberhasilan reformasi fiskal dalam menjaga produksi pada lapangan tua. Brasil menurunkan royalti hingga 5% untuk lapangan mature, memberi insentif EOR, dan menyediakan percepatan depresiasi. Kebijakan tersebut berhasil mendorong pertumbuhan produksi minyak sebesar 3,8% per tahun selama 2013–2023. Malaysia juga sukses mempertahankan produksi di atas 500 ribu barel per hari selama dua dekade melalui penerapan beragam skema PSC seperti RSC, LLA dan SFA yang diatur khusus untuk lapangan mature maupun lapangan kecil.

Dari pengalaman berbagai negara tersebut, Komaidi menyimpulkan bahwa insentif fiskal merupakan kunci untuk menjaga keekonomian lapangan mature. “Sering kali satu-satunya cara mempertahankan produksi pada mature field adalah dengan memberikan insentif yang membuat keekonomian proyek tetap memenuhi batas toleransi bisnis,” katanya.

Ia menilai, jika reformasi fiskal tidak segera dijalankan, tren penurunan produksi akan semakin sulit ditahan dan Indonesia berisiko kehilangan daya saing dalam menarik investasi migas jangka panjang. (alf)

Prabowo Ultimatum Pengemplang Pajak, Tegaskan Negara Tak Akan “Dipermainkan” Lagi

IKPI, Jakarta: Presiden Prabowo Subianto mengirim sinyal keras kepada kalangan dunia usaha yang masih mengabaikan kewajiban perpajakan. Dalam pidatonya pada puncak HUT ke-61 Partai Golkar di Istora Senayan, Jakarta, Jumat (5/12/2025), kepala negara menegaskan bahwa era “main-main” terhadap aturan dan kewajiban kepada rakyat sudah berakhir.

Prabowo menyampaikan bahwa ketidakpatuhan pajak bukan sekadar pelanggaran administrasi, melainkan tindakan yang langsung merugikan rakyat. Ia menegaskan pemerintah tidak akan ragu mengambil langkah tegas bila masih ada pihak-pihak yang mencoba menghindari kewajiban tersebut.

“Kalau ada yang bermain-main, jangan salahkan ketika aparat hukum bertindak. Saya dan tim bekerja atas mandat rakyat. Tujuan kami hanya satu: menyejahterakan rakyat. Maka siapa pun yang merugikan rakyat, kembalilah ke jalan yang benar,” ujar Prabowo, menegaskan peringatan tersebut sebagai bagian dari sumpah jabatan yang ia emban.

Prabowo juga menyinggung kritik yang kerap diarahkan kepadanya. Ia menyatakan sering dianggap hanya berani bersuara di podium, tetapi justru disalahkan ketika penegakan hukum berjalan tegas. “Tapi saya bilang: siapa pun yang melanggar hukum, tobatlah,” katanya.

Menurut Prabowo, rakyat saat ini menghadapi tekanan hidup yang nyata. Kebutuhan akan rumah layak, sekolah yang baik, serta berbagai layanan dasar membutuhkan dukungan fiskal yang kuat—dan pajak adalah tulang punggungnya. Ia menegaskan pembangunan tidak mungkin berjalan hanya dengan retorika.

Bangga dengan Capaian Program Makan Bergizi Gratis

Dalam kesempatan yang sama, Prabowo juga menyampaikan kebanggaannya terhadap progres program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang telah berjalan selama 12 bulan. Ia menyebut capaian tersebut sebagai prestasi logistik besar yang mampu menempatkan Indonesia di atas negara-negara besar dalam hal jangkauan penerima manfaat.

“Hari ini sudah 49 juta makanan diberikan setiap hari. Itu lebih dari tujuh kali jumlah penduduk Singapura. Dan program ini sampai ke daerah terpencil,” kata Prabowo.

Ia bahkan menantang para akademisi yang sempat meragukan kemampuan pemerintah menjalankan program tersebut. Prabowo menegaskan bahwa dalam satu tahun, Indonesia mampu melampaui rekor Brasil yang baru mencapai 40 juta penerima manfaat dalam 11 tahun.

“Bukan soal angkanya, tapi soal wajah-wajah anak yang dulu jarang makan dengan layak, sekarang bisa menerima MBG dengan gembira,” ungkapnya. (alf)

DJP Batasi Cuti Pegawai di Desember 2025, Fokus Amankan Target Penerimaan Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengeluarkan kebijakan baru terkait penjadwalan cuti tahunan pegawai pada akhir tahun. Melalui Nota Dinas Nomor ND-338/PJ/PJ.01/2025, DJP meminta seluruh jajaran pimpinan unit untuk tidak mengajukan cuti tahunan sepanjang Desember 2025, kecuali untuk kebutuhan hari besar keagamaan atau keperluan mendesak yang tidak dapat ditunda.

Instruksi tersebut ditujukan kepada seluruh lini organisasi, mulai dari Sekretaris Ditjen Pajak, para direktur, kepala kantor wilayah, hingga pimpinan unit pelaksana teknis. Langkah ini diambil sebagai bagian dari strategi menjaga kelancaran pelayanan dan memastikan optimalisasi upaya pengamanan penerimaan pajak menjelang tutup tahun.

Dalam nota dinas tersebut dijelaskan bahwa pembatasan cuti diperlukan agar pelayanan terhadap wajib pajak tetap berjalan penuh dan responsif pada periode yang dikenal sebagai fase krusial penagihan dan finalisasi penerimaan negara. Pergerakan pegawai yang terkendali dinilai membantu unit-unit kerja menjaga ritme operasional tetap stabil di tengah meningkatnya aktivitas wajib pajak.

Saat dimintai keterangan, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Rosmauli menjelaskan bahwa nota dinas tersebut merupakan bagian dari manajemen internal yang rutin dilakukan DJP, terutama pada momen-momen dengan beban kerja tinggi.

“Ini praktik rutin yang selalu kami lakukan. Pengaturan serupa juga diberlakukan menjelang perayaan Idulfitri,” ujar Rosmauli, dikutip, Sabtu (6/12/2025).

Ia menegaskan bahwa DJP setiap tahun melakukan penataan sumber daya manusia (SDM) menjelang akhir tahun fiskal guna menjaga kualitas pelayanan publik dan memastikan angka penerimaan negara dapat diamankan sesuai target yang telah ditetapkan pemerintah.

“Prinsip DJP adalah menjaga pelayanan tetap berjalan tanpa mengganggu hak pegawai, khususnya cuti hari besar keagamaan. Fokus kami saat ini adalah memastikan penerimaan negara dan layanan kepada masyarakat tetap terjaga dengan baik,” tegasnya. (alf)

IKPI Apresiasi Sinergi DJP Riau dan PSMTI: Antusiasme Kelas Coretax

IKPI, Pekanbaru: Ketua Departemen Pengembangan Organisasi Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Lilisen, menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya pada IKPI Pengda Sumbagteng atas kolaborasi dengan Kanwil DJP Riau dan PSMTI Riau dalam penyelenggaraan kelas pajak bertema Persiapan Implementasi Coretax dalam Penyampaian SPT Orang Pribadi Tahun Pajak 2025 yang digelar pada Sabtu (6/12/2025) di Pekanbaru.

Kegiatan yang semula membuka 100 kuota peserta ini mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat. Hanya dalam dua hari, seluruh slot pendaftaran langsung terisi penuh. Melihat tingginya permintaan, panitia memutuskan hanya bisa menambah 10 kursi, dikarenakan keterbatasan ruangan, sehingga total peserta yang mengikuti kelas pajak ini menjadi 110 orang.

Lonjakan minat ini mencerminkan tingginya kebutuhan wajib pajak terhadap pemahaman sistem Coretax yang akan mulai diterapkan pada Tahun Pajak 2025.

Dalam sambutannya, Lilisen menyampaikan rasa terima kasih dan apresiasi mendalam atas sinergi semua pihak yang telah turut menyukseskan kegiatan edukatif ini.

“Kami dari IKPI menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kanwil DJP Riau dan PSMTI Riau yang telah berkolaborasi dalam kegiatan ini. Sinergi, dukungan, dan partisipasi aktif dari semua pihak sangat berkontribusi terhadap terlaksananya acara ini,” ujar Lilisen.

Ia menegaskan bahwa kerja sama tersebut bukan hanya mendukung kelancaran kegiatan, tetapi juga memperkuat komitmen bersama dalam meningkatkan pemahaman, kualitas layanan, dan kepatuhan perpajakan di Indonesia.

Dalam kesempatan itu, Lilisen menyoroti peran strategis IKPI sebagai mitra Direktorat Jenderal Pajak dalam menyebarkan edukasi perpajakan kepada masyarakat. Program pendampingan, sosialisasi, dan edukasi berkelanjutan yang dilakukan IKPI dianggap mampu membantu wajib pajak memahami kebijakan dan sistem perpajakan terbaru, termasuk transformasi digital melalui Coretax DJP.

“Sinergi antara IKPI dan DJP diharapkan dapat memperkuat literasi perpajakan, memudahkan wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya, serta mendorong peningkatan kepatuhan sukarela,” tambahnya.

Dengan hadirnya sistem Coretax, Lilisen menilai konsultan pajak memiliki peranan yang semakin penting dalam membantu masyarakat menavigasi perubahan prosedur pelaporan SPT, aktivasi akun, hingga penggunaan sertifikat elektronik dalam sistem perpajakan baru.

Mantan Ketua IKPI Pengda Sumbagteng ini juga mengajak seluruh anggota IKPI di seluruh Indonesia untuk terus meningkatkan kompetensi dan menjaga integritas.

“Dengan kerja sama yang baik, kita dapat mewujudkan administrasi perpajakan yang lebih modern, transparan, dan efektif. Semoga kolaborasi hari ini memberikan manfaat nyata bagi kemajuan perpajakan Indonesia,” tutupnya.

Sekadar informasi, kelas pajak yang berlangsung di Edelweiss Ballroom, Angkasa Garden Hotel Pekanbaru, tersebut menjadi salah satu kegiatan with antusiasme tertinggi di wilayah Riau, menandai tingginya kebutuhan pelatihan perpajakan menjelang implementasi penuh sistem Coretax pada Tahun Pajak 2025. (bl)

FISKUS – Kawan atau Lawan?

Jelang Penerapan Cooperative Compliance di Indonesia

Setiap kali mendengar kata “fiskus” atau “kantor pajak”, reaksi sebagian Wajib Pajak sering kali refleks: cemas, waspada, bahkan defensif. Pemeriksa pajak dipersepsikan sebagai pihak yang “mencari-cari kesalahan”, sementara Wajib Pajak melihat dirinya sebagai “korban” regulasi yang rumit. Dari sinilah muncul pertanyaan klasik: apakah fiskus itu sebenarnya kawan atau lawan?

Pertanyaan ini menjadi semakin relevan di era sistem self assessment, di mana negara memberi kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajaknya sendiri. Tanpa hubungan yang sehat antara fiskus dan Wajib Pajak, sistem ini akan pincang: kepatuhan sulit tercapai, sengketa meningkat, dan penerimaan negara berpotensi terganggu.

Seiring berkembangnya praktik perpajakan modern, muncul pendekatan baru yang dikenal dengan istilah cooperative compliance, yang sudah direncanakan akan diaplikasikan secara bertahap dalam beberapa tahun ke depan. Pendekatan ini mencoba menggeser pola hubungan fiskus–Wajib Pajak dari yang semula konfrontatif menjadi kolaboratif, berbasis kepercayaan dan transparansi. Dalam konteks inilah, pertanyaan “FISKUS – Kawan atau Lawan?” perlu dijawab ulang dengan kacamata yang lebih mutakhir.

Siapa Itu Fiskus?

Secara sederhana, fiskus adalah aparatur negara yang diberi kewenangan untuk mengadministrasikan pemungutan pajak. Dalam konteks Indonesia, istilah fiskus umumnya merujuk pada pejabat/pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), seperti Account Representative (AR), Pemeriksa Pajak, Juru Sita Pajak, petugas pelayanan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP), serta pejabat yang berwenang menandatangani ketetapan pajak dan dokumen fiskal lainnya.

Tugas utama fiskus bukan hanya “memungut” pajak, melainkan mengelola keseluruhan sistem administrasi perpajakan, antara lain:

mengadministrasikan pendaftaran, penatausahaan, keberatan, banding, hingga penagihan pajak; mendorong kepatuhan melalui edukasi, pembinaan, pengawasan, dan penegakan hukum; menjamin keadilan dan kepastian hukum pemungutan pajak sesuai peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian, fiskus merupakan bagian dari mekanisme negara yang bertugas memastikan pajak sebagai sumber utama pembiayaan APBN dapat dikumpulkan secara efektif, adil, dan berkelanjutan.

Kerangka Hukum Hubungan Fiskus dan Wajib Pajak

Hubungan antara fiskus dan Wajib Pajak bukan hubungan personal, melainkan hubungan hukum yang diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Di dalamnya terkandung hak dan kewajiban yang bersifat resiprokal.

Di sisi fiskus, hak dan kewajiban antara lain meliputi:

kewenangan melakukan pengawasan, pemeriksaan, dan penagihan pajak; kewajiban menjaga kerahasiaan data dan informasi Wajib Pajak; kewajiban memberikan pelayanan yang baik, jelas, transparan, dan tidak diskriminatif.

Di sisi Wajib Pajak, hak dan kewajiban antara lain meliputi:

kewajiban mendaftarkan diri, menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak dengan benar dan tepat waktu; hak atas pelayanan, penjelasan, dan kejelasan aturan dari fiskus; hak untuk mengajukan keberatan, banding, pengurangan sanksi, restitusi, dan hak-hak lain yang dijamin undang-undang.

Idealnya, hubungan ini bersifat seimbang: fiskus tidak boleh sewenang-wenang, sedangkan Wajib Pajak juga tidak boleh lalai atau memanipulasi kewajiban perpajakannya. Keduanya terikat oleh asas keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.

Mengapa Fiskus Sering Dipersepsikan sebagai “Lawan”?

Dalam praktik, persepsi di lapangan tidak selalu seindah konsep. Tidak sedikit pelaku usaha yang merasa bahwa fiskus adalah “lawan” yang siap menjerat kapan saja. Persepsi ini muncul dari kombinasi beberapa faktor, antara lain:

Pengalaman pertama berinteraksi secara intens dengan fiskus sering kali terjadi pada saat pemeriksaan atau sengketa, yang identik dengan suasana tegang, koreksi pajak, dan potensi sanksi. Gaya komunikasi fiskus yang formal dan penuh istilah teknis dapat terasa kaku dan kurang empatik, sehingga mudah ditafsirkan sebagai sikap mengancam.

Kerumitan, frekuensi perubahan, dan minimnya pemahaman atas regulasi membuat Wajib Pajak merasa “disudutkan” oleh aturan yang sulit diikuti. Kasus-kasus negatif yang melibatkan oknum aparatur pajak dan terekspos media cenderung digeneralisasi, sehingga menurunkan kepercayaan terhadap institusi secara keseluruhan. Masih banyak Wajib Pajak yang lemah dalam pembukuan dan dokumentasi, sehingga ketika diperiksa muncul koreksi besar yang kemudian dipersepsikan sebagai upaya “mencari-cari kesalahan”.

Dari kombinasi faktor-faktor tersebut, wajar jika sebagian pelaku usaha memandang fiskus sebagai pihak yang harus diwaspadai. Di sinilah cooperative compliance menawarkan paradigma baru.

Konsep Cooperative Compliance dalam Perpajakan Modern

Secara global, istilah cooperative compliance diperkenalkan dan dikembangkan oleh berbagai yurisdiksi dan organisasi internasional, termasuk OECD, sebagai pendekatan kepatuhan pajak yang bertumpu pada kepercayaan, transparansi, dan kolaborasi. Pendekatan ini menggeser orientasi hubungan antara otoritas pajak dan Wajib Pajak dari sekadar penegakan hukum pasca pelanggaran menjadi pencegahan dan pengelolaan risiko pajak sejak dini.

Beberapa prinsip utama cooperative compliance antara lain:

Transparansi: Wajib Pajak secara proaktif membuka informasi material terkait struktur dan transaksi yang berpotensi menimbulkan konsekuensi pajak. Kepercayaan: Otoritas pajak merespons keterbukaan tersebut dengan memberikan kepastian hukum yang cepat, jelas, dan proporsional. Kolaborasi: Fokus diarahkan pada pencegahan sengketa dan penyelesaian masalah melalui dialog, bukan semata-mata melalui sanksi dan penindakan.

Dengan demikian, cooperative compliance secara filosofis berusaha mengubah wajah fiskus dari “pencari kesalahan” menjadi “mitra pengelolaan risiko pajak” yang bersifat kritis namun konstruktif.

Arah Penerapan Cooperative Compliance di Indonesia

Indonesia mungkin belum secara eksplisit menggunakan istilah cooperative compliance dalam semua kebijakan tertulisnya, namun arah kebijakan DJP menunjukkan kecenderungan kuat ke sana. Beberapa perkembangan yang dapat dibaca sebagai bagian dari semangat cooperative compliance antara lain:

Pengawasan berbasis risiko (risk-based compliance), di mana Wajib Pajak dikelompokkan berdasarkan profil risiko kepatuhan, sehingga Wajib Pajak berisiko rendah cenderung diperlakukan dengan pendekatan pembinaan dan dialog. Pemanfaatan data dan kerja sama internasional, termasuk melalui pertukaran informasi otomatis, yang memungkinkan DJP memiliki basis data lebih lengkap untuk membangun diskusi yang objektif dan faktual dengan Wajib Pajak. Peningkatan kanal konsultasi dan komunikasi, baik melalui KPP, account representative, maupun layanan digital, yang memberi ruang lebih besar bagi Wajib Pajak untuk berdialog sebelum timbul sengketa. Digitalisasi layanan perpajakan (seperti Coretax System, DJP Online, e-filing, e-faktur, dan lain-lain) yang mendorong transparansi, mengurangi kontak fisik yang berpotensi menimbulkan biaya tidak resmi, dan meningkatkan jejak audit.

Seluruh langkah tersebut, jika dikelola secara konsisten, dapat menjadi fondasi praktik cooperative compliance yang lebih matang di Indonesia.

Fiskus sebagai “Kawan” dalam Kerangka Cooperative Compliance

Dalam kerangka cooperative compliance, posisi fiskus makin jelas sebagai Kawan yang kritis, bukan lawan. Kawan, karena fiskus dapat menjadi mitra dialog strategis dalam mengelola risiko pajak secara berkelanjutan. Kritis, karena fiskus tetap memiliki mandat untuk menguji, mengoreksi, dan menindak pelanggaran jika diperlukan.

Peran fiskus sebagai kawan kritis tercermin dalam beberapa hal berikut:

Fiskus berinteraksi secara lebih intens dan berkelanjutan dengan Wajib Pajak tertentu, terutama Wajib Pajak besar atau strategis, tidak hanya pada saat pemeriksaan, tetapi juga melalui komunikasi pra-transaksi atau pra-pemeriksaan. Fiskus tidak lagi sekadar menunggu kesalahan muncul, melainkan mendorong Wajib Pajak untuk mengungkapkan isu-isu pajak secara terbuka sejak awal sehingga dapat dikelola sebelum menjadi sengketa besar.

Wajib Pajak yang transparan dan kooperatif dapat menikmati manfaat berupa frekuensi pemeriksaan yang lebih proporsional, proses restitusi yang relatif lebih cepat (dengan mekanisme tertentu), dan hubungan kerja yang lebih profesional.

Dalam kerangka ini, citra fiskus sebagai lawan mulai terkikis, digantikan oleh peran sebagai penjaga sistem yang membantu Wajib Pajak mengelola risiko pajaknya secara lebih terukur.

Tantangan Penerapan Cooperative Compliance di Indonesia

Meskipun konsepnya ideal, penerapan cooperative compliance di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan yang harus diakui dan dikelola.

Kesenjangan kapasitas: tidak semua petugas fiskus memiliki kemampuan analitis, pemahaman bisnis, dan keterampilan komunikasi yang memadai untuk berdialog setara dengan Wajib Pajak kompleks. Budaya saling curiga yang masih kuat, baik di pihak fiskus maupun Wajib Pajak, yang membuat keterbukaan dan kepercayaan sulit tumbuh dalam waktu singkat.

Belum seragamnya pemahaman dan implementasi kebijakan di seluruh unit kerja, yang berpotensi memunculkan inkonsistensi perlakuan antar kantor atau antar pejabat. Belum jelas secara konkret yang dirasakan Wajib Pajak jika menerapkan cooperative compliance secara konsisten, sehingga motivasi untuk bertransisi dari pola lama menjadi kurang kuat.

Tanpa pengelolaan yang baik terhadap tantangan-tantangan ini, cooperative compliance berisiko hanya menjadi jargon, bukan praktik nyata yang mengubah wajah hubungan fiskus dan Wajib Pajak.

Peran Konsultan Pajak sebagai Jembatan

Dalam konteks hubungan fiskus dan Wajib Pajak yang bergerak menuju cooperative compliance, konsultan pajak memiliki peran strategis sebagai jembatan dan katalis.

Peran tersebut antara lain:

Menerjemahkan bahasa regulasi fiskal ke dalam bahasa bisnis yang mudah dipahami manajemen, sekaligus menerjemahkan realitas bisnis ke dalam bahasa teknis perpajakan yang dapat dipahami fiskus. Membantu merancang dan mengimplementasikan kerangka pengendalian risiko pajak internal (tax control framework) bagi Wajib Pajak, khususnya perusahaan besar dan kelompok usaha.

Memfasilitasi komunikasi yang profesional dan berbasis data antara fiskus dan Wajib Pajak, sehingga mengurangi potensi konflik emosional. Menjaga integritas proses cooperative compliance dengan menolak praktik-praktik tidak etis, dan mengarahkan Wajib Pajak untuk mengoptimalkan kewajiban pajaknya dalam koridor hukum.

Jika peran ini dijalankan secara profesional, hubungan fiskus–Wajib Pajak–konsultan pajak dapat berubah menjadi segitiga kemitraan yang saling menguatkan, bukan segitiga konflik.

Penutup: Dari Lawan Menjadi Kawan Kritis

Pertanyaan “FISKUS – Kawan atau Lawan?” pada dasarnya menguji kedewasaan sistem perpajakan suatu negara. Secara konseptual dan normatif, fiskus bukanlah musuh bagi Wajib Pajak, melainkan representasi negara yang mengelola pajak untuk membiayai layanan publik dan pembangunan. Cooperative compliance menawarkan kerangka praktis untuk mewujudkan hal tersebut dalam interaksi nyata.

Melalui pendekatan berbasis kepercayaan, transparansi, dan kolaborasi, fiskus diarahkan untuk berperan sebagai kawan kritis: mitra dialog yang membantu Wajib Pajak mengelola risiko pajak, namun tetap tegas menegakkan aturan bila terjadi pelanggaran. Sebaliknya, Wajib Pajak didorong untuk naik kelas, dari pola menghindar menjadi pola mengelola dan mematuhi kewajiban pajak secara dewasa.

Pada akhirnya, apakah fiskus menjadi kawan atau lawan sangat ditentukan oleh sikap kedua belah pihak. Jika fiskus terus memperbaiki integritas, kompetensi, dan kualitas layanan, sementara Wajib Pajak meningkatkan transparansi, literasi, dan kepatuhan, maka dikotomi “kawan atau lawan” akan perlahan memudar. Yang tersisa adalah hubungan profesional yang saling menghormati, saling mengawasi, dan bersama-sama menjaga keberlanjutan sistem perpajakan demi kepentingan negara dan masyarakat.

Penulis adalah Anggota Departemen Humas, IKPI

Donny Danardono

Email: donnydanardono@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

IKPI Apresiasi Langkah Besar Pengda Banten: Vaudy Starworld Puji Terobosan Kunto Wiyono di Rakorda Sukabumi

IKPI, Sukabumi: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, memberikan apresiasi tinggi kepada Ketua IKPI Pengda Banten, Kunto Wiyono, atas kepemimpinan dan inisiatifnya yang dinilai membawa perkembangan signifikan bagi organisasi.

Di hadapan ratusan peserta Rapat Koordinasi Daerah (Rakorda) IKPI Pengda Banten di Sukabumi, Jawa Barat, Sabtu (6/12/2025) Vaudy menegaskan bahwa capaian Pengda Banten dalam beberapa tahun terakhir bukan hanya menunjukkan pertumbuhan, tetapi juga menandai munculnya model pembinaan organisasi yang efektif.

Menurut Vaudy, Kunto layak mendapat pengakuan nasional karena berhasil mendorong lahirnya tiga cabang baru di wilayah Tangerang. “Di tangan Pak Kunto, kita menyaksikan lahirnya Cabang Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, dan Tangerang Selatan. Ini bukan pencapaian kecil, tetapi bukti nyata kerja ikhlas untuk memajukan organisasi,” ujarnya.

Tak berhenti di situ, Vaudy mengungkapkan bahwa sejak pelantikan Pengda Banten dan tiga cabangnya beberapa waktu lalu, ia sudah mendorong pembentukan Cabang Serang. 

(Foto: Istimewa)

“Saat pelantikan, saya sampaikan agar segera dibentuk Cabang Serang, karena Pengda Banten adalah satu-satunya pengda yang belum memiliki cabang di ibu kota provinsi,” jelasnya. Dorongan tersebut kembali ditegaskan dalam Rakorda sebagai bagian dari peta penguatan organisasi.

Ia menambahkan bahwa rencana Kunto untuk mewujudkan Cabang Serang sejalan dengan visi nasional IKPI dan menjadi bagian dari upaya memperkuat keberadaan organisasi di pusat-pusat aktivitas perpajakan.

Vaudy menilai terobosan-terobosan tersebut menjadi contoh nyata bagaimana peran pengurus daerah dapat memperkuat struktur organisasi secara nasional. Ia berharap semangat serupa dapat ditularkan ke pengda lainnya di seluruh Indonesia.

Ia menekankan bahwa pemekaran organisasi dan pembentukan cabang baru bukan sekadar agenda administrasi, melainkan strategi penting untuk memperluas jangkauan layanan IKPI kepada wajib pajak di berbagai daerah. Semakin dekat cabang IKPI dengan komunitas wajib pajak, semakin besar pula kontribusinya dalam meningkatkan kepatuhan, literasi, serta kualitas pendampingan perpajakan di lapangan.

Vaudy menilai bahwa secara ideal jumlah cabang IKPI harus sebanding dengan jumlah Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang tersebar di seluruh Indonesia. Dengan mencerminkan distribusi KPP, keberadaan cabang IKPI dapat lebih merata, mudah dijangkau, dan mampu memenuhi kebutuhan wajib pajak, termasuk di daerah yang selama ini masih minim akses terhadap konsultan pajak profesional.

Vaudy juga menegaskan bahwa perluasan jaringan cabang merupakan investasi jangka panjang bagi keberlanjutan organisasi. “Ketika struktur kita kuat di daerah, maka kontribusi IKPI terhadap sistem perpajakan nasional juga akan semakin besar,” ujarnya.

Ia berkomitmen bersama untuk terus memperkuat peran cabang-cabang IKPI, baik yang sudah ada maupun yang akan dibentuk, demi memberikan layanan terbaik bagi wajib pajak serta mendukung administrasi perpajakan yang lebih modern, inklusif, dan berkeadilan. (bl)

IKPI Sumbagut Jajaki Kerja Sama Strategis dengan Kanwil DJP Aceh

IKPI, Aceh: Upaya memperluas jaringan organisasi konsultan pajak terus dilakukan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Pengda Sumatera Bagian Utara (Sumbagut). Salah satu langkah pentingnya diwujudkan melalui kunjungan Sekretaris IKPI Sumbagut, Lai Han Wie, ke Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Aceh di GKN Gedung B, Banda Aceh, baru-baru ini.

Kedatangan Lai Han Wie mendapat sambutan hangat dari Kepala Kanwil DJP Aceh, Paryan, beserta jajaran pejabat yang membidangi kerja sama dan hubungan masyarakat, yaitu Agung Saptono Hadi, Iswadi Idris, dan Rifqi Mu’afa. 

Dalam pertemuan tersebut, IKPI menegaskan keseriusannya hadir dan berkontribusi di Aceh. Lai Han Wie menyampaikan bahwa daerah ini memiliki potensi besar, baik dari sisi ekonomi maupun pengembangan profesi konsultan pajak.

“Aceh punya potensi yang sangat besar. Kami melihat kebutuhan akan konsultan pajak yang profesional semakin meningkat. Karena itu, IKPI ingin hadir bukan hanya sebagai organisasi, tetapi sebagai mitra yang bisa memberikan nilai tambah bagi otoritas pajak dan masyarakat,” ujar Lai Han Wie.

Ia menambahkan bahwa perluasan cabang IKPI ke Aceh bukan sekadar ekspansi administratif, tetapi bagian dari komitmen untuk memperkuat kapasitas profesi konsultan pajak di berbagai wilayah.

“Kami ingin memastikan konsultan pajak di Aceh memiliki wadah yang jelas, terstruktur, dan dapat mendukung peningkatan kompetensi. Dengan begitu, layanan yang diberikan kepada masyarakat juga semakin berkualitas,” lanjutnya.

Salah satu poin penting dalam pembahasan adalah ajakan kepada para konsultan pajak yang telah berpraktik di Banda Aceh namun belum bernaung dalam organisasi profesi mana pun. Menurut Lai Han Wie, bergabung dalam organisasi resmi tidak hanya penting dari sisi profesionalisme, tetapi juga untuk memperluas jaringan pengetahuan, pelatihan, dan pembinaan yang berkelanjutan.

“Masih banyak konsultan pajak di Banda Aceh yang bekerja sendiri-sendiri. Kami berharap mereka bisa bergabung dengan IKPI agar ekosistem profesi ini semakin hidup dan saling mendukung,” ungkapnya.

Dari pihak Kanwil DJP Aceh, respon yang diberikan cukup positif. Diskusi mengerucut pada peluang kolaborasi yang bisa dilakukan, mulai dari kegiatan edukasi perpajakan, pelatihan bersama, hingga langkah-langkah penguatan kepatuhan wajib pajak di wilayah Aceh.

Pertemuan yang berlangsung hampir dua jam itu ditutup dengan komitmen bersama untuk menindaklanjuti rencana yang telah dibahas. Baik IKPI Sumbagut maupun Kanwil DJP Aceh sepakat bahwa kolaborasi antara organisasi profesi dan otoritas pajak merupakan hal penting untuk memperkuat sistem perpajakan yang sehat dan berkelanjutan.

Kunjungan ini menjadi momentum awal bagi IKPI Pengda Sumbagut dalam memperluas jejaring organisasi ke Aceh. Selain mempererat hubungan dengan otoritas pajak, langkah ini juga membuka ruang baru bagi para konsultan pajak di Aceh untuk berkembang dalam wadah profesi yang resmi dan kredibel.

Dengan semangat kolaborasi dan visi jangka panjang, IKPI menegaskan tekadnya untuk hadir lebih dekat dengan para profesional perpajakan di Aceh sekaligus mendukung pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi melalui optimalisasi penerimaan negara. (bl)

IKPI Ingatkan Wajib Pajak Lebih Selektif Memilih Kuasa Hukum Saat Pengalihan Tata Kelola Pengadilan Pajak

IKPI, Jakarta: Ketua Departemen Advokasi dan Bantuan Hukum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Andreas Budiman, menegaskan pentingnya wajib pajak untuk semakin selektif dalam memilih kuasa hukum atau kuasa wajib pajak. Penegasan ini disampaikan sebagai respons atas proses peralihan tata kelola Pengadilan Pajak dari Kementerian Keuangan ke Mahkamah Agung. Pasalnya, hal tersebut akan membawa perubahan besar yang akan memiliki standar baru dalam proses beracara.

Andreas menjelaskan bahwa peralihan ini merupakan bukti bahwa sistem perpajakan bersifat dinamis dan terus berkembang. Implikasi dari perubahan tersebut bukan hanya pada institusi, tetapi juga pada kualitas para pemegang izin kuasa hukum yang berpraktik di Pengadilan Pajak.

“Ketika tata kelola ini dialihkan, akan muncul standar dan mekanisme baru. Para pemegang izin kuasa hukum harus siap meningkatkan kompetensinya. Tidak boleh ada penurunan kualitas, terutama karena mereka adalah representasi para pencari keadilan,” ujarnya, Sabtu (6/12/2025).

Ia menegaskan, wajib pajak harus memastikan kuasa hukum yang dipilih memiliki kompetensi yang baik, memahami regulasi terbaru, serta memenuhi seluruh persyaratan formal untuk beracara di bawah struktur baru Mahkamah Agung. Kesalahan memilih kuasa hukum berpotensi merugikan wajib pajak dalam proses sengketa.

Perjuangkan Anggota IKPI

Di sisi lain, IKPI berkomitmen memperjuangkan anggotanya yang selama ini aktif berpraktik di Pengadilan Pajak agar tetap dapat melanjutkan peran mereka dalam sistem peradilan yang baru. Andreas menjelaskan bahwa organisasi secara konsisten mengawal proses transisi, memastikan konsultan pajak yang kompeten tetap mendapatkan ruang untuk beracara.

“Pengalihan tata kelola tidak boleh menghambat profesional yang sudah berpengalaman. Justru kualitas mereka harus semakin diperkuat agar wajib pajak mendapat pendampingan hukum yang layak,” kata Andreas.

Ia kembali mengingatkan pentingnya kehati-hatian wajib pajak: “Wajib pajak sebagai pencari keadilan jangan sampai dirugikan karena salah memilih kuasa hukum. Pilihlah yang kompeten, terverifikasi, dan memahami perubahan tata kelola yang sedang berlangsung.” (bl)

id_ID