SPT Tahunan Kini Wajib Cantumkan Detail Harta dalam 7 Tabel, Ini Penjelasan Lengkapnya

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak memperluas cakupan pelaporan kekayaan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan wajib pajak orang pribadi. Ketentuan tersebut tertuang dalam Peraturan Dirjen Pajak (Perdirjen) Nomor PER-11/PJ/2025.

Melalui regulasi ini, wajib pajak diwajibkan mengisi tujuh tabel harta secara rinci dalam Lampiran 1 Bagian A SPT Tahunan, yang mencakup informasi harta pada akhir tahun pajak. Ketujuh tabel tersebut mencakup: kas dan setara kas, piutang, investasi/sekuritas, harta bergerak, harta tidak bergerak, harta lainnya, dan ikhtisar harta.

Dalam dokumen lampiran peraturan, dijelaskan bahwa “harta” mencakup seluruh kekayaan yang menambah kemampuan ekonomis, baik berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, serta berada di dalam maupun luar negeri.

Rincian Isi Tabel-Tabel Harta

  1. Kas dan Setara Kas: Mencakup uang tunai, simpanan bank, deposito, uang elektronik, hingga cek dan commercial paper. Wajib pajak harus mencantumkan nomor rekening, nama lembaga keuangan, lokasi, serta nama pemilik rekening.
  2. Piutang: Meliputi piutang usaha, piutang kepada pihak afiliasi, dan lainnya. Informasi yang dilaporkan termasuk identitas dan lokasi penerima pinjaman, tahun dimulainya piutang, serta saldo terakhir.
  3. Investasi/Sekuritas: Berisi informasi investasi seperti saham, reksa dana, obligasi, kripto, hingga polis unit link. Wajib pajak melaporkan lokasi investasi, institusi terkait, harga perolehan, dan nilai terkini.
  4. Harta Bergerak: Seperti kendaraan bermotor, kapal, hingga pesawat. Detail meliputi tipe, merk, model, nomor registrasi, jenis kepemilikan, serta nilai dan harga perolehan.
  5. Harta Tidak Bergerak: Tanah dan bangunan untuk berbagai keperluan, seperti tempat tinggal atau usaha. Diperlukan rincian lokasi, ukuran, sumber kepemilikan, nomor sertifikat, tahun dan harga perolehan, serta nilai terkini.
  6. Harta Lainnya: Termasuk emas, perhiasan, NFT, hak kekayaan intelektual, barang seni, persediaan usaha, dan lainnya. Informasi yang diminta antara lain bukti kepemilikan, harga, dan nilai saat ini.
  7. Ikhtisar Harta: Berfungsi sebagai rekapitulasi seluruh harta yang sudah dilaporkan dalam tabel-tabel sebelumnya, baik harga perolehan maupun nilai saat ini.

Seluruh tabel tersebut wajib diisi oleh setiap wajib pajak orang pribadi tanpa terkecuali, terlepas dari besar kecilnya kekayaan yang dimiliki.

Perubahan Format Koreksi Fiskal

Selain ketentuan mengenai pelaporan harta, PER-11/PJ/2025 juga membawa perubahan penting dalam mekanisme pelaporan koreksi fiskal.

Kini, koreksi fiskal tidak lagi dilaporkan melalui lampiran tersendiri, tetapi langsung dimasukkan dalam laporan laba rugi pada Lampiran Rekonsiliasi Laporan Keuangan. Untuk wajib pajak orang pribadi, digunakan Lampiran 3A-1 hingga 3A-3, sedangkan untuk badan usaha digunakan Lampiran 1A hingga 1L.

Perubahan ini bertujuan untuk menyederhanakan proses pelaporan dan memperkuat integrasi antara laporan komersial dan fiskal.

Sorotan Pajak Lainnya

Selain aturan baru pelaporan harta, isu perpajakan lainnya juga mencuat hari ini. Pemerintah terus mendorong agenda keanggotaan penuh di OECD. Di sisi lain, laporan terbaru dari Asian Development Bank (ADB) menyoroti pentingnya konsistensi kebijakan pajak untuk menopang pertumbuhan ekonomi di kawasan.

Pemerintah juga dikabarkan tengah mengkaji pemberian insentif PPN untuk sektor-sektor strategis, sebagai bagian dari reformasi pajak yang lebih luas. (alf)

 

 

 

DJP Pastikan Pembelian Hewan Kurban Bebas PPN, Ini Syaratnya!

IKPI, Jakarta: Di Hari Raya Iduladha, antusiasme masyarakat dalam membeli hewan kurban terus meningkat. Pasar hewan mulai dipadati pembeli yang berburu sapi, kambing, maupun domba untuk keperluan kurban. Di tengah euforia itu, muncul pertanyaan: apakah pembelian hewan kurban dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)?

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memastikan bahwa transaksi jual beli hewan kurban tidak dikenai PPN. Kabar ini disampaikan melalui unggahan di akun resmi Instagram @ditjenpajakri pada Rabu (4/6/2025).

“Impor dan/atau penyerahan hewan ternak seperti sapi, kerbau, kambing, domba, dan sejenisnya diberikan fasilitas PPN dibebaskan,” tulis DJP dalam unggahan tersebut.

Namun, fasilitas bebas pajak ini tidak serta-merta berlaku untuk semua jenis hewan. Ada sejumlah syarat yang wajib dipenuhi agar pembelian hewan kurban benar-benar terbebas dari pungutan PPN.

Lima Syarat Hewan Kurban Bebas PPN:

1. Kondisi Sehat: Hewan harus dalam keadaan sehat, tidak menunjukkan tanda-tanda penyakit.

2. Kemampuan Reproduksi: Harus memiliki organ reproduksi yang normal dan berfungsi baik.

3. Usia: Umur hewan berada di kisaran 2 hingga 4 tahun.

4. Bebas Cacat: Tidak mengalami cacat fisik maupun kelainan genetik.

5. Sertifikat Resmi: Wajib dibuktikan dengan sertifikat kesehatan hewan dari otoritas veteriner. (alf)

 

 

Bagi hewan ternak impor, sertifikat kesehatan dan asal usul harus dikeluarkan oleh lembaga resmi di negara asal. Sedangkan untuk ternak dalam negeri, dibutuhkan sertifikat dari otoritas veteriner di kabupaten/kota atau provinsi asal hewan tersebut.

 

Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong kemudahan bagi masyarakat dalam menjalankan ibadah kurban, sekaligus menjaga standar kesehatan hewan yang beredar di pasaran. Jadi, pastikan hewan kurban Anda memenuhi syarat agar transaksi tetap sah dan bebas dari pungutan PPN! (alf)

 

 

 

 

China Perluas Jangkauan Pajak Global, Incar Warga Beraset Kelas Menengah

IKPI, Jakarta: Pemerintah China memperketat pengawasan terhadap penghasilan warga negaranya yang disimpan di luar negeri. Setelah sebelumnya menyasar kalangan miliarder, kini otoritas pajak mulai mengincar individu dengan aset yang lebih kecil tanda bahwa kampanye pajak global Negeri Tirai Bambu memasuki babak baru.

Menurut sejumlah sumber yang mengetahui kebijakan tersebut, pemerintah akan lebih aktif memeriksa berbagai jenis pendapatan luar negeri, mulai dari dividen, keuntungan investasi hingga saham kompensasi dari perusahaan asing. Langkah ini dilakukan di tengah tekanan fiskal yang meningkat, menyusul membengkaknya defisit anggaran dan menurunnya pendapatan negara.

“Fokus utama kini bergeser dari individu ultra-kaya ke kelompok beraset menengah, termasuk mereka yang memiliki investasi di saham-saham AS dan Hong Kong,” ungkap salah satu sumber seperti dikutip dari Bloomberg, Jumat (6/6/2025).

Penerapan pajak atas keuntungan investasi dapat mencapai 20%, dan kantor-kantor pajak setempat telah mencatat lonjakan permintaan konsultasi dari warga dengan aset di bawah US$1 juta sebuah lonjakan signifikan dibandingkan tahun lalu, saat fokus penegakan hukum lebih diarahkan kepada individu dengan kekayaan lebih dari US$10 juta.

Langkah ini merupakan bagian dari strategi yang lebih besar untuk menambal kekurangan kas negara. Pada empat bulan pertama tahun ini, pendapatan gabungan dua buku fiskal utama China turun 1,3% secara tahunan, sementara pengeluaran negara naik 7,2%. Hasilnya, defisit anggaran melonjak lebih dari 50% dan melampaui US$360 miliar rekor tertinggi sepanjang sejarah untuk periode tersebut.

Pemerintah daerah, yang sebelumnya banyak bergantung pada penjualan tanah dan utang untuk membiayai proyek, kini menghadapi tekanan untuk mencari sumber penerimaan baru. Dalam beberapa kasus, otoritas setempat telah mengidentifikasi wajib pajak yang tidak melaporkan penghasilan luar negeri, dengan total denda dan tunggakan yang harus dibayar kembali mencapai puluhan ribu dolar.

Upaya ini juga mendapat dorongan dari penerapan Common Reporting Standard (CRS) sejak 2018 sistem internasional yang memungkinkan pertukaran otomatis informasi finansial lintas negara. Berkat sistem ini, otoritas pajak China kini bisa mengakses data rekening warga di hampir 150 yurisdiksi.

Sementara itu, Kantor Administrasi Pajak Negara masih bungkam atas laporan ini. Namun sejumlah biro pajak daerah seperti Beijing, Shanghai, dan Zhejiang sudah mengimbau masyarakat untuk menyerahkan laporan pendapatan luar negeri sebelum tenggat 30 Juni akhir masa pelaporan pajak tahun fiskal 2024.

Di tengah gejolak ekonomi dan ketidakpastian kebijakan, arus investasi warga China ke luar negeri terus mengalir. Tahun ini saja, lebih dari US$83 miliar telah dikucurkan investor daratan ke pasar saham Hong Kong dua kali lipat dibanding periode yang sama tahun lalu.

Dengan ambisi Presiden Xi Jinping untuk menciptakan “kemakmuran bersama”, serta proyeksi bahwa aset investasi rumah tangga dapat mencapai US$80 triliun pada 2030, maka pajak atas pendapatan global kemungkinan besar akan menjadi salah satu pilar kebijakan fiskal China ke depan. (alf)

 

RUU Pajak Trump Dinilai Hambat Pertumbuhan Energi Bersih AS

IKPI, Jakarta: Masa depan energi bersih Amerika Serikat menghadapi tantangan besar. Bloomberg New Energy Finance (BNEF) memperkirakan bahwa kebijakan fiskal terbaru yang diajukan pemerintahan Presiden Donald Trump akan memangkas laju pertumbuhan energi surya, angin, dan sistem penyimpanan energi hingga 10% pada tahun 2035.

Penurunan ini terkait erat dengan isi rancangan undang-undang pajak dan belanja besar-besaran yang disebut One Big Beautiful Bill. Versi awal RUU tersebut yang telah lolos di Dewan Perwakilan Rakyat kini tengah dibahas di Senat, dan isinya memicu kekhawatiran luas di kalangan pegiat energi terbarukan.

Menurut analisis BNEF, sektor tenaga angin akan terkena pukulan terberat dengan proyeksi penyusutan kapasitas hingga 35%, bahkan tidak ada lagi proyek angin lepas pantai yang direncanakan setelah 2028. Sementara itu, sektor surya dan penyimpanan energi masing-masing diperkirakan turun 5% dan 7%.

Tak hanya itu, kebijakan ini juga berpotensi meningkatkan emisi karbon dari sektor kelistrikan AS sebesar 3,8 juta ton pada 2050. Hal ini terutama disebabkan oleh penghapusan cepat insentif pajak untuk proyek listrik bersih non-nuklir yang sebelumnya diberikan melalui Undang-Undang Pengurangan Inflasi pada masa pemerintahan Joe Biden.

“RUU ini membatasi akses terhadap kredit pajak hanya untuk proyek yang memulai pembangunan dalam waktu 60 hari setelah undang-undang berlaku, dan harus mulai beroperasi sebelum akhir 2028,” jelas Derrick Flakoll, analis kebijakan senior di BNEF seperti dikutip dari Bloomberg, Jumat (6/6/2025)

Ia menambahkan bahwa kredit 30% untuk sistem surya perumahan juga akan berakhir pada akhir tahun ini, menimbulkan risiko penurunan adopsi energi surya oleh rumah tangga.

Flakoll menekankan bahwa energi terbarukan sejatinya lebih cepat diintegrasikan ke jaringan listrik dibandingkan pembangkit baru berbasis gas, yang saat ini menghadapi kelangkaan turbin dan hambatan investasi.

“Tanpa keringanan pajak, biaya modal untuk proyek energi bersih naik signifikan. Dan itu berarti konsumen akan menanggung harga listrik yang lebih tinggi, baik rumah tangga maupun pelaku bisnis,” tambahnya.

Namun, di balik pesimisme jangka pendek, BNEF melihat harapan jangka panjang. Menjelang 2050, permintaan listrik diprediksi melonjak karena pertumbuhan pusat data dan kendaraan listrik, yang pada akhirnya mendorong kembali investasi di energi terbarukan. Penurunan kapasitas pada tahun tersebut hanya diperkirakan sebesar 1%.

Meski demikian, nasib industri energi bersih AS kini sangat bergantung pada pembahasan lanjutan di Senat. Banyak pihak berharap versi final RUU akan mengembalikan insentif penting bagi transisi energi yang berkelanjutan. (alf)

 

 

 

 

 

Tarif Bunga Sanksi Pajak Juni 2025 Diperbarui, Pengusaha Wajib Waspada!

IKPI, Jakarta: Transformasi digital di sektor perpajakan tak hanya mempercepat proses pelaporan, namun juga membawa pembaruan signifikan pada aspek penegakan kepatuhan. Salah satu yang krusial dan perlu dicermati oleh pelaku usaha adalah penyesuaian tarif bunga sanksi pajak yang ditetapkan secara berkala oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Per 1 Juni 2025, DJP kembali menetapkan tarif bunga administrasi untuk berbagai pelanggaran kewajiban perpajakan. Ketentuan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No. 27/KM.10/2025 dan berlaku hingga 30 Juni 2025.

Apa Itu Bunga Sanksi Pajak?

Bunga sanksi pajak adalah denda administratif berupa bunga yang dikenakan kepada Wajib Pajak atas pelanggaran seperti keterlambatan pembayaran, penyampaian SPT, hingga hasil koreksi fiskal DJP. Selain itu, bunga juga dikenakan bila permohonan pengembalian pajak ditolak, atau dalam proses keberatan dan banding yang tidak dikabulkan.

Uniknya, tarif bunga ini bersifat variabel—dihitung per bulan dan ditetapkan berdasarkan suku bunga acuan Bank Indonesia ditambah margin tertentu sesuai peraturan Menteri Keuangan. Artinya, tarif bisa berubah setiap bulan.

Rincian Tarif Bunga Pajak Juni 2025

Berikut ini adalah daftar tarif bunga sanksi administrasi yang berlaku sepanjang Juni 2025:

Dasar Aturan dan Mekanisme Penghitungan

Ketentuan ini bersandar pada:

  • UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP)
  • PMK No. 18/PMK.03/2021
  • KMK No. 27/KM.10/2025

Tarif dihitung berdasarkan bulan kalender, bukan hari kerja. Bila keterlambatan tidak genap sebulan, maka pengenaan bunga dilakukan secara proporsional.

Dampaknya bagi Dunia Usaha

Bagi perusahaan, pemahaman terhadap tarif bunga ini penting untuk:

  • Mengantisipasi beban bunga dari tunggakan atau keterlambatan pembayaran
  • Mengelola proses keberatan atau banding secara cermat
  • Merancang arus kas yang lebih akurat agar tidak terganggu oleh denda administratif

Dengan kata lain, update ini bukan sekadar regulasi teknis, tapi bagian dari strategi pengelolaan risiko finansial perusahaan.

Pantau Secara Berkala, Hindari Risiko Tak Perlu

Karena tarif bunga bisa berubah tiap awal bulan, DJP menganjurkan para Wajib Pajak untuk rutin mengecek informasi resmi melalui kanal digital DJP. Kesadaran dan kesiapan menghadapi fluktuasi tarif akan membantu pengusaha menjaga likuiditas dan menghindari kerugian yang seharusnya bisa dicegah. (alf)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

UU Konsultan Pajak: Antara Profesionalisme, Kepastian Hukum, dan Perlindungan

Membangun Fondasi untuk Tata Kelola Perpajakan yang Berkeadilan

Di tengah gelombang reformasi perpajakan nasional yang menuntut sistem yang lebih berkeadilan, transparan, dan berbasis kepatuhan sukarela, profesi konsultan pajak menempati posisi yang semakin strategis. Mereka bukan hanya penyedia jasa teknis, tetapi juga memainkan peran kunci sebagai perantara antara negara dan Wajib Pajak.

Sayangnya, peran vital ini masih beroperasi tanpa dukungan regulasi yang kuat. Belum ada satu pun undang-undang yang secara komprehensif mengatur posisi, kewenangan, maupun tanggung jawab hukum konsultan pajak. Dalam konteks inilah, kehadiran Undang-Undang Konsultan Pajak (UU KP) menjadi sebuah keniscayaan.

Perlindungan Nyata bagi Wajib Pajak

Ketiadaan payung hukum membuat masyarakat sulit membedakan antara konsultan pajak profesional dan pihak-pihak yang tidak memiliki kompetensi. Tak jarang, Wajib Pajak menjadi korban praktik manipulatif yang berujung pada sanksi pidana atau denda administratif, akibat kesalahan konsultan tidak bertanggung jawab.

UU Konsultan Pajak hadir untuk menegaskan standar minimum yang harus dimiliki setiap konsultan pajak, termasuk keharusan sertifikasi, kepatuhan pada kode etik, dan sistem pengawasan yang tegas. Dengan demikian, Wajib Pajak memiliki landasan hukum yang kuat dalam memilih pendamping pajak yang sah dan kompeten.

Hubungan antara klien dan konsultan pun akan dibingkai dalam kerangka perlindungan hukum yang setara. Informasi sensitif tidak boleh disalahgunakan, dan Wajib Pajak tidak seharusnya dimintai pertanggungjawaban atas kesalahan profesional pihak ketiga.

Menegakkan Profesionalisme dan Kepastian Hukum bagi Konsultan

UU ini juga merupakan pengakuan atas eksistensi dan martabat profesi konsultan pajak. Tidak semua praktisi saat ini memiliki kualifikasi dan standar kompetensi yang sama. UU Konsultan Pajak akan mengakhiri ketimpangan ini dengan membangun sistem sertifikasi, jenjang pendidikan formal, serta aturan kode etik profesi yang mengikat secara hukum.

Lebih penting lagi, undang-undang ini harus memberikan perlindungan hukum dalam bentuk imunitas terbatas, terutama bagi konsultan yang menjalankan tugasnya sebagai penasihat hukum berdasarkan informasi dari klien. Tanpa perlindungan semacam ini, profesi konsultan akan selalu berada dalam posisi rawan kriminalisasi.

Konsultan Pajak sebagai Mitra Strategis Negara

Bagi pemerintah, khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP), UU Konsultan Pajak berfungsi sebagai instrumen penguatan struktur perpajakan nasional. Konsultan pajak yang profesional dan patuh akan menjadi mitra negara dalam:

1. Mendorong kepatuhan sukarela melalui edukasi dan pendampingan Wajib Pajak secara sah dan transparan.

2. Menghasilkan data kredibel yang berguna bagi sistem audit dan pengawasan.

3. Mencegah praktik penghindaran pajak yang merugikan penerimaan negara melalui mekanisme pencegahan peran-peran manipulatif.

Dengan demikian, UU ini bukan hanya regulasi teknis, tetapi juga bagian dari strategi besar negara untuk meningkatkan efektivitas sistem perpajakan.

Pentingnya Proses Partisipatif dalam Penyusunan UU

Undang-Undang Konsultan Pajak tidak boleh disusun secara tertutup. Keterlibatan aktif dari seluruh pemangku kepentingan—pemerintah, DPR, organisasi profesi, akademisi, praktisi, dan masyarakat—merupakan syarat mutlak agar regulasi ini inklusif, adil, dan aplikatif.

Seminar publik, focus group discussion, serta diskusi terbuka adalah instrumen demokratis yang harus ditempuh dalam proses perumusannya. Dengan begitu, UU yang dihasilkan tidak hanya memiliki legitimasi formal, tetapi juga legitimasi sosial.

Penutup: Pilar Menuju Sistem Pajak Modern

UU Konsultan Pajak bukan hanya soal administrasi profesi, melainkan instrumen besar untuk membangun tata kelola perpajakan modern yang berpihak pada kepentingan nasional. Ia akan:

– Memperkuat profesionalisme,

– Menjamin kepastian hukum,

– Melindungi hak-hak masyarakat,

– Menjadi alat negara untuk memperluas basis penerimaan pajak secara adil dan berkelanjutan.

Sudah saatnya konsultan pajak tidak lagi berada dalam bayang-bayang ketidakpastian hukum. Mereka harus menjadi pilar penting dalam membangun sistem perpajakan yang kredibel, adil, dan berorientasi pada pelayanan publik.

Penulis adalah Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Lampung

Teten Dharmawan

Email: tetendharmawan@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

Uji Materi UU Pajak di MK: Pemerintah Tegaskan Pajak Berdasarkan Konstitusi 

IKPI, Jakarta: Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang lanjutan perkara pengujian materiil atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN), Kamis (5/6/2025). Sidang yang berlangsung di ruang utama MK ini mengadili perkara Nomor 188/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh dua entitas usaha, PT Gemilang Prima Semesta dan CV Belilas Permai.

Dipimpin langsung oleh Ketua MK Suhartoyo bersama delapan hakim konstitusi lainnya, sidang menghadirkan Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo sebagai ahli dari pemerintah. Dalam paparannya, Yustinus menegaskan bahwa sistem perpajakan Indonesia dibangun di atas fondasi konstitusional yang kokoh, sebagaimana diatur dalam Pasal 23A UUD 1945.

“Pemungutan pajak yang bersifat memaksa harus diatur melalui undang-undang. Hal ini demi menjamin keadilan dan menghindari potensi penyalahgunaan kewenangan,” jelas Yustinus. Ia menambahkan bahwa aturan turunan seperti tarif, subjek, dan objek pajak harus merujuk pada undang-undang sebagai dasar legalitas utama.

Yustinus juga menanggapi keberatan pemohon terkait definisi penghasilan dan objek pajak yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh dan Pasal 4 ayat (1) UU PPN. Menurutnya, ketentuan tersebut merujuk pada teori Schanz-Haig-Simons yang mengartikan penghasilan sebagai setiap tambahan kemampuan ekonomis, tanpa memperhitungkan sumber dan penggunaannya.

“Definisi luas ini justru dimaksudkan untuk menjamin keadilan horizontal—yakni agar setiap wajib pajak dengan penghasilan setara menanggung beban yang sama,” ujarnya.

Namun, ia juga menekankan bahwa aturan tersebut tidak bersifat mutlak karena sejumlah jenis penghasilan tertentu seperti hibah, warisan, dan sumbangan telah dikecualikan dalam Pasal 4 ayat (3) UU PPh.

Dalam sidang yang sama, isu Harga Eceran Tertinggi (HET) turut mencuat. Yustinus menjelaskan bahwa HET merupakan bagian dari kebijakan pengendalian harga oleh pemerintah dan bukan dasar penetapan objek pajak. “HET adalah instrumen stabilisasi dan bukan fiskal. Tujuannya mengatur agar harga barang strategis seperti LPG 3 kg tetap terjangkau,” jelasnya.

Ia juga menegaskan bahwa peraturan daerah (Perda) yang mengatur HET tidak dimaksudkan untuk memperluas cakupan objek pajak. “HET dan pemajakan margin laba adalah dua ranah yang berbeda. Perda soal HET bukan dasar pungutan pajak, tetapi pengendalian harga di daerah,” kata Yustinus.

Sementara itu, dalam sidang pendahuluan yang digelar sebelumnya pada 4 Maret 2025, para pemohon mengungkapkan bahwa mereka mengalami kerugian konstitusional akibat ketidakpastian hukum dalam penerapan pasal-pasal pajak yang diuji.

Mereka menilai bahwa pengenaan pajak atas biaya transportasi yang ditetapkan oleh kepala daerah—dan bukan melalui undang-undang—telah menimbulkan kerugian yang nyata, terutama dalam distribusi gas LPG 3 kg.

Pemohon menuntut agar Mahkamah menyatakan frasa “… diterima atau diperoleh Wajib Pajak …” dalam Pasal 4 Ayat (1) UU PPh bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mengikat, kecuali dimaknai sebagai penghasilan yang secara langsung diperoleh melalui perbuatan berdasarkan undang-undang.

Dengan sorotan terhadap ketidaksinkronan antara kebijakan fiskal dan aturan daerah, perkara ini menjadi salah satu uji materi strategis yang menguji batas konstitusional dalam sistem perpajakan nasional.

Putusan akhir MK atas perkara ini akan menjadi preseden penting bagi harmonisasi antara regulasi perpajakan dan kebijakan pengendalian harga, terutama dalam sektor barang kebutuhan pokok. (alf)

 

 

Mulai 6 Juni 2025, Tiga Jenis Hadiah Lomba dari Luar Negeri Tak Lagi Bebas Pajak

IKPI, Jakarta: Mulai 6 Juni 2025, tidak semua hadiah lomba dari luar negeri bisa masuk ke Indonesia tanpa pungutan pajak. Pemerintah, melalui Kementerian Keuangan, resmi mengeluarkan kebijakan baru yang mencabut fasilitas pembebasan bea masuk dan pajak bagi tiga jenis hadiah tertentu.

Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 34 Tahun 2025 yang mengatur ekspor-impor barang bawaan penumpang dan awak sarana pengangkut. Direktur Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) menegaskan bahwa ketentuan baru ini merupakan penyempurnaan dari aturan sebelumnya yang tercantum dalam PMK 203/PMK.04/2017.

“Dulu tidak diatur secara spesifik, sekarang kami buatkan negative list agar lebih jelas barang apa saja yang tidak mendapat fasilitas fiskal,” ujar Chairul, Pelaksana Harian Kasubdit Impor Direktorat Teknis Kepabeanan, dalam media briefing virtual pada Rabu (4/6/2025).

Tiga jenis hadiah yang masuk dalam daftar hitam atau negative list tersebut adalah:

1. Kendaraan bermotor, baik mobil maupun sepeda motor, meski didapat sebagai hadiah dari luar negeri.

2. Barang kena cukai (BKC), seperti minuman beralkohol.

3. Hadiah dari undian atau perjudian, yang tidak termasuk kategori penghargaan resmi dari kompetisi.

Chairul menekankan bahwa meski barang-barang tersebut diperoleh sebagai “hadiah,” jika termasuk dalam daftar negatif, maka tetap akan dikenai bea masuk, PPN, PPnBM, dan PPh saat tiba di Indonesia.

Namun, tidak semua hadiah bernasib serupa. Pemerintah tetap memberi pembebasan bea dan pajak untuk hadiah berupa medali, trofi, plakat, lencana, dan barang sejenis, asalkan memenuhi tiga kriteria:

1. Penerima hadiah adalah Warga Negara Indonesia (WNI).

2. Hadiah berasal dari ajang kompetisi atau penghargaan internasional di bidang olahraga, ilmu pengetahuan, seni, budaya, atau keagamaan.

3. Terdapat bukti resmi keikutsertaan dari salah satu pihak berikut: kementerian atau lembaga di Indonesia, penyelenggara kompetisi di luar negeri, atau media massa nasional/internasional.

Kebijakan ini diharapkan bisa memperjelas batas antara hadiah prestasi dan barang mewah pribadi, sekaligus menjaga keadilan fiskal di tengah meningkatnya lalu lintas barang antarnegara. (alf)

 

 

 

Pembentukan Ditjen SPSK Momentum Strategis Perkuat Profesi Keuangan

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan resmi membentuk Direktorat Jenderal Stabilitas dan Penguatan Sektor Keuangan (Ditjen SPSK) sebagai bagian dari reorganisasi kelembagaan yang lebih luas. Pembentukan direktorat baru ini dinilai sebagai momentum strategis untuk memperkuat ketahanan sistem keuangan sekaligus memberdayakan profesi keuangan di Indonesia.

Hal ini disampaikan Research Fellow dari Universitas Islam Internasional Indonesia, Lury Sofyan dalam keterangan tertulis yang diterima, Rabu (3/6/2025).

“Reorganisasi ini bukan hanya tentang struktur, tapi soal strategi. Ditjen SPSK punya peran ganda, menjaga stabilitas makro keuangan dan membina profesi keuangan yang menjadi ujung tombak sistem keuangan nasional,” ujar Lury.

Menurutnya, Ditjen SPSK merupakan hasil penggabungan fungsi dari sejumlah institusi, seperti sebagian Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), serta Pusat Pembinaan Profesi Keuangan. Langkah ini dianggap sebagai respons terhadap kebutuhan pengelolaan risiko keuangan yang semakin kompleks di tengah gejolak global.

Profesi Keuangan, Pilar Stabilitas

Lury menekankan bahwa profesi keuangan memiliki peran yang tak kalah penting dibanding institusi perbankan dalam menjaga integritas sistem keuangan.

“Skandal-skandal besar di dunia keuangan mulai dari Enron, Subprime Mortgage, hingga praktik penghindaran pajak global membuktikan bahwa profesi seperti akuntan, penilai, konsultan pajak, dan aktuaris adalah garda terdepan. Jika peran mereka dikelola dengan baik, mereka bisa jadi pelindung stabilitas,” ujarnya.

Namun, lanjut Lury, jumlah profesi keuangan di Indonesia masih jauh dari ideal. Berdasarkan data Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK) per 2024, Indonesia hanya memiliki 1.633 akuntan publik, 833 penilai publik, 7.390 konsultan pajak, dan 242 aktuaris.

“Dengan ekonomi yang makin dinamis dan jumlah pelaku usaha yang terus bertambah, angka ini jelas tidak mencukupi. Ditjen SPSK harus memimpin upaya percepatan pengembangan SDM di bidang ini,” tegasnya.

“Ditjen SPSK harus memfasilitasi link-and match antara kurikulum pendidikan dan kebutuhan pasar profesi keuangan. Ini bukan semata urusan teknis, tetapi menyangkut masa depan stabilitas ekonomi nasional,” ujarnya.(bl)

Kemenkeu: Penerimaan Pajak Daerah Tembus Rp 64,1 Triliun Hingga April 2025

IKPI, Jakarta: Hingga akhir April 2025, realisasi penerimaan pajak daerah tercatat mencapai Rp 64,1 triliun, menurut data yang dirilis Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan. Angka ini menunjukkan peran signifikan pajak daerah dalam menopang pendanaan pembangunan regional. Meski demikian, DJPK belum membeberkan apakah capaian tersebut mengalami pertumbuhan atau penurunan dibanding periode yang sama tahun lalu.

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, Askolani, mengungkapkan bahwa beberapa jenis pajak menjadi kontributor utama dari total penerimaan tersebut. Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Opsen PKB mendominasi dengan sumbangan mencapai 23,41%. Sementara itu, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) menyusul dengan kontribusi sebesar 14,52%.

Di sektor jasa, Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) dari industri perhotelan turut memberi andil sebesar Rp 3,1 triliun. Namun, Askolani tidak memberikan keterangan apakah angka ini mengalami pertumbuhan atau justru penurunan dibanding tahun lalu.

Kinerja pajak dari sektor perhotelan turut menjadi sorotan, mengingat industri ini tengah mengalami tekanan akibat kebijakan efisiensi belanja yang diterapkan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Langkah penghematan anggaran tersebut berdampak langsung pada okupansi hotel, khususnya yang selama ini mengandalkan belanja perjalanan dinas dan rapat instansi pemerintah.

Di tengah dinamika tersebut, optimalisasi penerimaan dari pajak daerah tetap menjadi fokus pemerintah dalam menjaga kesinambungan fiskal daerah, terutama untuk mendukung pelayanan publik dan pembangunan infrastruktur lokal. (alf)

 

 

 

 

id_ID