IKPI Sumbagteng Dorong Kepatuhan Pajak Lewat Pemahaman Coretax, Gazali Tjaya Indra : Ajak Wajib Pajak Lapor SPT Lebih Awal

IKPI, Pekanbaru: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Pengda Sumatera Bagian Tengah (Sumbagteng) terus memperkuat peran edukatifnya dalam meningkatkan kepatuhan perpajakan masyarakat. Hal ini ditekankan oleh Ketua Pengda IKPI Sumbagteng, Gazali Tjaya Indera, dalam Seminar Perpajakan bertema “Persiapan Kertas Kerja PPh 21, PPh Unifikasi, PPN, SPT Tahunan Orang Pribadi & Badan serta Antisipasi Timbulnya SP2DK Pemeriksaan Pajak” yang digelar di Hotel Pangeran, Pekanbaru, Rabu (3/12/2025).

Gazali menegaskan bahwa upaya mendongkrak penerimaan pajak harus diawali dengan peningkatan pengetahuan wajib pajak. Salah satunya adalah pemahaman terhadap sistem Coretax, sistem inti administrasi perpajakan yang kini digunakan Direktorat Jenderal Pajak.

“Kita ingin penerimaan pajak naik. Tapi sebelum itu, masyarakat harus paham dulu Coretax. Jangan sampai mereka tidak tahu cara menggunakannya lalu akhirnya tidak lapor SPT. Kalau SPT tidak masuk, penerimaan negara juga tidak masuk,” ujarnya.

(Foto: DOK. IKPI Pengda Sumbagteng)

Untuk itu, IKPI Sumbagteng menghadirkan Kanwil DJP Riau serta para pemateri berpengalaman agar peserta seminar mendapat pembekalan yang benar dan praktis.

Selain seminar ini, Gazali juga mengumumkan adanya acara edukasi perpajakan gratis pada 6 Desember 2025 di PMSTI AutonetMagasar Angkasa, yang terbuka untuk masyarakat umum namun dibatasi hanya 100 peserta.

“Tanggal 6 nanti ada acara gratis, tapi kuotanya hanya 100 orang. Ini kesempatan bagi masyarakat untuk memahami Coretax sehingga pelaporan SPT ke depan bisa lebih lancar,” jelasnya.

Gazali juga mengingatkan masyarakat agar tidak menunda pelaporan SPT hingga mendekati batas waktu.

“Jangan menunggu hari terakhir. Biasanya jaringan penuh dan bisa bermasalah. Lebih baik lapor lebih awal,” tutupnya.

Acara ini menjadi bagian dari rangkaian komitmen IKPI Sumbagteng dalam memperluas literasi perpajakan serta mendukung kepatuhan wajib pajak demi optimalnya kontribusi terhadap penerimaan negara. (bl)

IKPI Jakarta Pusat bersama KPP Pratama Menteng Tiga Bahas Peningkatan Pelayanan Pajak

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Pusat mengadakan pertemuan resmi dengan KPP Pratama Menteng Tiga untuk memperkuat koordinasi, komunikasi, serta menyamakan persepsi terkait peningkatan pelayanan dan kepatuhan perpajakan di wilayah kerja KPP di KPP Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (3/12/2025). 

Ketua IKPI Jakarta Pusat, Suryani, menegaskan pentingnya kemitraan yang sehat antara konsultan pajak dan otoritas pajak agar edukasi dan asistensi kepada Wajib Pajak dapat berjalan lebih optimal.

“Kami berkomitmen menjaga hubungan yang saling menghormati dan mendukung. Kolaborasi erat antara IKPI dan KPP adalah kunci untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan kepatuhan perpajakan,” ujar Suryani.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Jakarta Pusat)

Edukasi & Kendala Coretax 

Salah satu topik utama dalam diskusi adalah perlunya memberikan edukasi kepada Wajib Pajak terkait tantangan yang masih muncul dalam penggunaan sistem Coretax. KPP Pratama Menteng Tiga mengharapkan dukungan IKPI untuk membantu memberikan pemahaman yang lebih luas, terutama menjelang masa pelaporan SPT Tahunan.

Suryani menyampaikan bahwa IKPI siap aktif membantu menyebarkan informasi dan memberikan bimbingan.

“Coretax merupakan sistem baru yang membutuhkan adaptasi. IKPI siap terlibat dalam memberikan edukasi praktis kepada Wajib Pajak agar proses pelaporan tidak mengalami kendala,” jelasnya.

Selain itu, KPP mengimbau agar Wajib Pajak didorong untuk melaporkan SPT Tahunan lebih awal, tidak menunggu hingga akhir Maret, guna menghindari antrean dan gangguan sistem. IKPI menyepakati pentingnya langkah ini demi kenyamanan pelaporan.

Dalam pertemuan tersebut, KPP Pratama Menteng Tiga juga memaparkan data potensi Wajib Pajak, yakni sekitar 3.000 Wajib Pajak Orang Pribadi dan 10.000 Wajib Pajak Badan. Informasi ini menjadi dasar bagi IKPI untuk memperkuat strategi pendampingan dan literasi perpajakan.

KPP menegaskan kembali pentingnya konsultan pajak memastikan pembuatan Surat Kuasa dan Surat Penunjukan sesuai ketentuan ketika mewakili Wajib Pajak. Hal ini diperlukan untuk menghindari hambatan dalam pelayanan administrasi.

Selain itu, konsultan pajak juga diimbau membantu Wajib Pajak memenuhi permintaan dokumen pemeriksaan secara lengkap dan tepat waktu serta menjaga sikap kooperatif dengan Fungsional Pemeriksa.

Suryani menilai penguatan prosedur ini selaras dengan standar profesionalisme IKPI.

“Kami selalu mengingatkan anggota untuk menjalankan tugas secara tertib administrasi dan patuh ketentuan. Kelengkapan dokumen dan komunikasi yang baik sangat penting dalam proses pemeriksaan,” ujarnya.

Hadir pada pertemuan tersebut:

Dari IKPI:

  1. Suryani (Ketua Cabang Jakpus)
  2. Hery Juwana (Humas Pengda DKJ)
  3. Kosasih (Humas Pengda DKJ)
  4. Meykel Susanto (Humas Cabang Jakarta Pusat
  5. Edwin Setiadi (Humas Cabang Jakarta Pusat)
  6. Tri Muryani (PPL)
  7. Sanraso kasoema Aliwarga (Sekretaris I)

KPP Pratama Menteng 3: 

  1. Reza Soleh (Kepala KPP)
  2. Mufron (Kasi Was I)
  3. Bruce li’e (Was 4)
  4. Dwidasi H (P3)
  5. Frintin (Was 5)
  6. Randhani Setiawan (SUKJ)
  7. Syaifudin (Was 2)
  8. M Taufik (Was VI)
  9. Rido Hamdallah M (FPD)
  10. Januar (Was 3)

(bl)

DJP Ingatkan ASN, TNI dan Polri Segera Aktifkan Akun Coretax

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan kembali mengingatkan Aparatur Sipil Negara (ASN), prajurit TNI, dan anggota Polri untuk segera mengaktifkan akun Coretax sebelum 31 Desember 2025. Imbauan ini disampaikan seiring dengan rencana implementasi penuh sistem Coretax sebagai tulang punggung seluruh layanan perpajakan mulai tahun 2026.

Mulai 1 Januari 2026, seluruh proses administrasi pajak termasuk pelaporan SPT Tahunan Tahun Pajak 2025, akan dilakukan melalui sistem Coretax. Artinya, tanpa akun yang sudah aktif dan tervalidasi, wajib pajak tidak bisa menyampaikan SPT dan mengakses layanan perpajakan secara daring.

Melalui akun Instagram resminya, @ditjenpajakri, DJP menegaskan bahwa ASN, TNI, dan Polri wajib sudah terdaftar dalam sistem Coretax sebelum pergantian tahun. Ketentuan ini juga merujuk pada Surat Edaran Menteri PANRB Nomor 7 Tahun 2025 yang menekankan kewajiban aparatur negara untuk memastikan kepatuhan perpajakan melalui pemanfaatan sistem digital DJP.

“Rekan-rekan yang berprofesi sebagai ASN, anggota TNI, atau Polri diharapkan memastikan sudah terdaftar di Coretax DJP, melakukan aktivasi akun wajib pajak, dan memperoleh kode otorisasi atau sertifikat elektronik,” demikian imbauan yang disampaikan DJP, Rabu (3/12/2025).

Aktivasi Akun Coretax, Syarat Wajib Punya NPWP

Untuk dapat mengaktifkan akun Coretax, ASN, TNI, dan Polri wajib sudah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Proses aktivasi dilakukan melalui laman resmi Coretax DJP dengan alur sebagai berikut:

• Wajib pajak membuka laman Coretax dan memilih menu Aktivasi Akun Wajib Pajak.

• Mengonfirmasi bahwa dirinya sudah terdaftar sebagai wajib pajak, kemudian memasukkan NPWP dan menekan tombol Cari.

• Mengisikan alamat email dan nomor ponsel yang sebelumnya terdaftar di DJP Online. Jika ada perubahan data, pembaruan dapat dilakukan melalui Kring Pajak 1500200 atau dengan mendatangi kantor pajak terdekat.

• Selanjutnya, wajib pajak melakukan verifikasi identitas, menyetujui pernyataan yang ada, lalu menyimpan data.

• Sistem kemudian mengirimkan Surat Penerbitan Akun Wajib Pajak berisi kata sandi sementara ke email resmi wajib pajak, yang harus dipastikan berasal dari domain @pajak.go.id.

• Setelah menerima email, wajib pajak login kembali ke Coretax, mengganti kata sandi, dan membuat passphrase sebagai pengaman tambahan.

Wajib Punya Kode Otorisasi untuk Tanda Tangan Elektronik

Aktivasi akun saja belum cukup. Agar dapat menandatangani dokumen perpajakan secara elektronik di Coretax, ASN, TNI, dan Polri juga wajib memiliki Kode Otorisasi (KO) DJP. KO ini merupakan tanda tangan elektronik resmi yang diterbitkan DJP dan menjadi syarat sah dokumen perpajakan digital.

Pengajuan KO dilakukan melalui menu Portal Saya di Coretax, dengan memilih layanan Permintaan Kode Otorisasi/Sertifikat Elektronik. Wajib pajak kemudian mengisi rincian sertifikat digital, memilih penyedia sertifikat (termasuk yang dikelola langsung oleh DJP), memasukkan ID penandatangan atau passphrase, dan mengirim permohonan. Jika permintaan disetujui, sistem akan menampilkan notifikasi bahwa sertifikat digital berhasil dibuat, beserta bukti tanda terima dan surat penerbitan yang dapat diunduh.

Langkah berikutnya adalah memastikan status sertifikat digital sudah valid. Hal ini dilakukan melalui menu Profil Saya, kemudian memilih Nomor Identifikasi Eksternal dan membuka tab Digital Certificate. Jika status masih “INVALID”, wajib pajak perlu menekan tombol Periksa Status. Setelah status berubah menjadi “VALID”, dokumen Penerbitan Kode Otorisasi DJP akan tersedia di menu Dokumen Saya dan dapat diunduh. (alf)

IKPI Sumbagteng Sukses Gelar Seminar Pajak Akhir Tahun, Narpika Yendra: 109 Peserta Terlihat Antusias

IKPI, Pekanbaru: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Pengda Sumatera Bagian Tengah (Sumbagteng) kembali menunjukkan komitmennya dalam meningkatkan literasi perpajakan dengan sukses menggelar seminar bertema “Persiapan Kertas Kerja PPh 21, PPh Unifikasi, PPN, SPT Tahunan Orang Pribadi & Badan Serta Antisipasi Timbulnya SP2DK/Pemeriksaan Pajak.” Kegiatan ini berlangsung di Balerung Room Hotel Pangeran, Jl. Jenderal Sudirman, Pekanbaru, dan diikuti 109 peserta, yang terdiri dari anggota IKPI serta masyarakat umum.

Ketua Panitia, Narpika Yendra, menyampaikan bahwa seminar ini menjadi momentum penting bagi wajib pajak dan praktisi perpajakan menjelang masa pelaporan awal tahun.

“Materi ini sangat dibutuhkan para peserta, baik konsultan pajak maupun masyarakat umum, karena kertas kerja adalah fondasi utama dalam penyusunan laporan pajak. Ketika ada penelitian atau pemeriksaan, kertas kerja yang lengkap akan memudahkan wajib pajak memberikan penjelasan rinci atas transaksi mereka,” ujar Narpika.

(Foto: DOK. IKPI Pengda Sumbagteng)

Ia menambahkan bahwa antusiasme peserta menunjukkan tingginya kebutuhan terhadap edukasi teknis perpajakan, terutama terkait PPh 21, unifikasi, hingga SPT Tahunan OP dan Badan tahun 2025. “Sebanyak 109 peserta hari ini mengikuti seminar dengan serius dan penuh semangat. Ini bukti bahwa pembekalan seperti ini sangat relevan,” ujarnya.

Dihadiri Pejabat DJP dan Pengurus IKPI

Acara ini turut menghadirkan tamu undangan penting, yaitu:
• Kepala Kanwil DJP Riau, Ardiyanto Basuki, beserta jajaran Penyuluh Pajak Kanwil DJP Riau
• Ketua Departemen Pengembangan Organisasi IKPI, Lilisen
• Ketua Pengda IKPI Sumbagteng, Gazali Tjaya Indera

Materi Berjalan Dinamis, Peserta Aktif Bertanya

Sesi materi dibawakan oleh Sapto Windi Argo, dengan Chandra Irawan sebagai moderator. Pembahasan berlangsung komprehensif, meliputi penyusunan kertas kerja PPh 21, PPN, serta langkah antisipatif menghadapi SP2DK dan pemeriksaan pajak. Sesi tanya jawab berlangsung hidup karena banyak peserta yang ingin menggali studi kasus nyata.

Suasana seminar tampak serius namun penuh semangat. Peserta yang datang baik dari kalangan konsultan pajak maupun masyarakat umum tampak antusias mencatat materi yang dinilai sangat aplikatif untuk kebutuhan pelaporan awal tahun.

“Seminar ini memberikan manfaat besar bagi seluruh peserta. IKPI Sumbagteng akan terus menghadirkan kegiatan berkualitas yang memperkuat kompetensi perpajakan di wilayah ini,” kata Narpika. (bl)

DKI Siapkan Skema PKB Berbasis Emisi, Kendaraan Tak Lolos Uji Bisa Kena Beban Tambahan

IKPI, Jakarta: Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tengah mengebut penyusunan kebijakan baru yang akan mengubah struktur Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) di Ibu Kota. Melalui mekanisme berbasis emisi, kendaraan yang gagal uji emisi akan dikenai koefisien tambahan, sehingga pajak tahunannya berpotensi lebih tinggi dibanding kendaraan yang memenuhi standar.

Kebijakan ini digadang sebagai langkah strategis Jakarta untuk menekan tingkat polusi udara yang dalam beberapa tahun terakhir kerap berada di level mengkhawatirkan. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI kini tengah menyempurnakan Kajian Nilai Koefisien Pencemaran Lingkungan (KPL) yang akan menjadi landasan pengenaan PKB berbasis tingkat pencemaran.

Dalam keterangan resminya dikutip Rabu (3/12/2025), DLH menyebut penyusunan kajian ini dilakukan secara multipihak, melibatkan peneliti, akademisi, organisasi perangkat daerah (OPD) lintas sektor, pelaku industri otomotif, asosiasi, hingga lembaga non-pemerintah. Proses kolaboratif ini diharapkan memastikan metodologi yang dipilih valid secara ilmiah dan layak diterapkan sebagai kebijakan publik.

Staf Khusus Gubernur DKI Jakarta Bidang Pembangunan dan Tata Kota, Nirwono Joga, menegaskan bahwa kajian KPL bukanlah langkah parsial, melainkan bagian dari strategi besar pengendalian emisi karbon di Jakarta. 

Menurutnya, mobilitas kendaraan di Jakarta tidak semata dipengaruhi warga Ibu Kota, tetapi juga limpahan arus kendaraan harian dari Bodetabek.

“Jakarta tidak bisa bekerja sendiri. Polusi bersifat lintas-batas, sehingga pendekatannya harus lintas-wilayah. Selain perhitungan teknis, faktor politis juga perlu diperhitungkan agar kebijakan berjalan efektif,” ujar Nirwono.

Ia menambahkan, kebijakan berbasis emisi ini tidak hanya bertujuan meningkatkan kepatuhan uji emisi, tetapi juga mendorong masyarakat mulai beralih ke transportasi publik yang lebih ramah lingkungan.

Amanat Regulasi Nasional

Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Asep Kuswanto, menjelaskan bahwa penyusunan KPL merupakan tindak lanjut dari amanat regulasi nasional, terutama PP Nomor 22 Tahun 2021 mengenai baku mutu emisi dan Permendagri Nomor 8 Tahun 2024 yang mengatur skema PKB berbasis emisi.

“Dengan adanya dasar hukum nasional, penerapan pajak kendaraan berbasis emisi menjadi momentum penting untuk memperkuat komitmen daerah dalam memperbaiki kualitas udara dan lingkungannya,” kata Asep.

Pemprov DKI menargetkan kajian ini tuntas dalam waktu dekat sehingga implementasi koefisien emisi dapat mulai disiapkan dalam kebijakan PKB tahun berikutnya. Jika berjalan sesuai rencana, Jakarta akan menjadi daerah pertama yang menerapkan pajak kendaraan berbasis emisi secara sistematis. (alf)

IKPI Ajak Anggota Pecinta Billiard Ramaikan “Peresmian Billiarder Community IKPI & Fun Match”

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) kembali menggelar kegiatan positif untuk mempererat kebersamaan antaranggota. Ketua Bidang Olahraga IKPI, Wisnu Sambhoro, mengajak seluruh anggota yang memiliki hobi billiard untuk hadir dan meramaikan acara Peresmian Billiarder Community IKPI dan Fun Match yang akan digelar di Good Game Billiard & Café, Melawai Plaza Lantai 2, Jakarta Selatan, Senin, (8/12/2025).

Wisnu menyampaikan bahwa agenda ini bukan sekadar kompetisi, tetapi momentum untuk menjalin silaturahmi dan memperkuat kekompakan antaranggota dari berbagai cabang IKPI.

“Selain untuk olahraga dan fun, acara ini kami siapkan sebagai ajang berkumpul dan mengakrabkan seluruh anggota IKPI, khususnya yang memiliki minat di dunia billiard,” ujar Wisnu, Rabu (3/12/2025).

Acara ini terbuka bagi seluruh anggota IKPI dengan free entry dan turut menghadirkan guest star Ayu Lixui. Selain itu, panitia menyediakan 4 meja gratis yang dapat digunakan peserta selama kegiatan berlangsung.

Untuk memeriahkan acara, IKPI juga menggelar Fun Match 9 Ball khusus anggota, dengan hadiah menarik:
Juara 1: Rp750.000
Juara 2: Rp500.000
Juara 3: Rp250.000

Biaya pendaftaran Fun Match ditetapkan sebesar Rp100.000, dan satu nama diperbolehkan mendaftar hingga dua kali. Pendaftaran dapat dilakukan melalui tautan resmi: bit.ly/funmatch-billiarder-IKPI.

Wisnu menegaskan bahwa komunitas ini dirancang sebagai ruang aktivitas positif dan sarana komunikasi anggota. Oleh karena itu, ia mendorong seluruh peserta untuk bergabung dalam grup WhatsApp Billiarder Community IKPI agar selalu mendapat informasi terbaru.

“Kami ingin membangun wadah yang fun, aktif, dan memperkuat hubungan kekeluargaan di tubuh IKPI. Jadi jangan ragu, ayo bergabung dan ramaikan!” katanya.

Acara dipastikan berlangsung meriah dan menjadi salah satu langkah IKPI dalam memperkuat solidaritas serta memperluas ruang kebersamaan melalui hobi dan olahraga. (bl)

Edukasi Perpajakan: Anggun Dewi Tekankan Tanggung Jawab Pemotong Pajak di Era Cortex

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) terus memperluas komitmennya dalam meningkatkan literasi perpajakan bagi masyarakat luas, melalui program edukasi perpajakan yang digelar secara daring setiap minggu. Program ini terbuka bagi seluruh anggota IKPI maupun peserta umum yang ingin memahami perpajakan secara lebih praktis dan tepat secara gratis.

Anggun Dewi Santosa, selaku narasumber, menyampaikan materi mendalam mengenai perlakuan akuntansi atas withholding tax, atau yang lebih dikenal dengan PPh potong dan pungut. Dari awal sesi, Anggun menegaskan pentingnya pemahaman menyeluruh atas mekanisme potong-pungut, karena jenis pajak ini merupakan salah satu kewajiban yang paling sering ditemui wajib pajak, baik oleh perusahaan maupun individu.

“Hari ini kita akan belajar bersama apa yang dimaksud dengan PPh potong dan pungut serta bagaimana perlakuannya dalam akuntansi perpajakan,” ujar Anggun saat membuka diskusi baru-baru ini.

Dalam paparannya, Anggun menjelaskan bahwa pemotongan pajak bukanlah sekadar kegiatan administratif mengurangi jumlah pembayaran kepada penerima penghasilan. Terdapat kewajiban yang melekat pada pihak pemotong, mulai dari pemotongan, penyetoran, hingga pelaporan pajak.

“Pemberi penghasilan wajib bertanggung jawab penuh atas seluruh proses pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak melalui sistem Cortex,” tegasnya.

Ia menerangkan bahwa pemotongan pajak merupakan pengurangan pajak terutang dari total pembayaran yang seharusnya diterima penerima penghasilan. Sementara pemungutan pajak dilakukan atas transaksi barang atau jasa tertentu dan nilainya menambah total pembayaran yang harus dikeluarkan pihak pembeli atau pengguna jasa.

Anggun juga memaparkan aturan terbaru mengenai tenggat waktu penyetoran dan pelaporan. Berdasarkan ketentuan di PMK 381 Tahun 2024, penyetoran PPh potong–pungut wajib dilakukan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya. Khusus untuk PPh 22, tenggat penyetoran lebih cepat, yaitu satu hari kerja setelah pemungutan.

Selain itu, pelaporan masa pajak melalui Cortex harus disampaikan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya. Penjelasan ini disambut antusias peserta yang mengaku sering berhadapan dengan tenggat pelaporan. (bl)

Saat Algoritma Menggantikan Intuisi Fiskal: Menguji Peran Manusia di Tengah Otomatisasi Pengawasan Pajak

Negara modern sedang berubah cara kerjanya. Jika dulu pajak dijalankan melalui kombinasi intuisi fiskal, pengalaman manusia, dan dokumen fisik, kini ia bergerak ke wilayah yang lebih sunyi namun lebih menentukan: algoritma. Melalui rezim baru pengawasan berbasis data konkret, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menandai fase penting dalam modernisasi administrasi fiskal Indonesia, fase ketika mesin bukan lagi pendukung, melainkan aktor utama dalam menentukan arah penegakan kepatuhan.

Perubahan ini sering disambut dengan optimisme teknokratis: pajak menjadi lebih presisi, lebih objektif, lebih sulit dimanipulasi. Namun di balik itu, muncul pertanyaan mendasar yang jarang dibicarakan di ruang publik: apa yang terjadi pada intuisi, diskresi, dan etika fiskal ketika logika mesin menjadi poros utama?

1. Negara Algoritmik dan Ilusi Objektivitas

Dengan pendekatan data konkret, negara tidak lagi menunggu klarifikasi wajib pajak. Ia mulai dari data: faktur pajak yang sudah disetujui sistem tetapi belum dilaporkan, bukti potong yang tidak tercermin dalam SPT, atau transaksi tertentu yang menurut sistem memenuhi kriteria uji sederhana dan dapat langsung ditindaklanjuti.

Secara administratif, pendekatan ini efektif. 

Negara dapat memetakan potensi ketidakpatuhan lebih cepat, lebih luas, dan relatif lebih efisien. Namun, di sinilah paradoks muncul. Ketika analisis berbasis algoritma dianggap netral dan objektif, publik sering lupa bahwa algoritma tidak pernah benar-benar netral. Ia dibangun dari desain, asumsi, dan parameter yang disusun manusia.

Dalam konteks fiskal, desain data mencerminkan cara negara memandang risiko. Sistem membaca realitas melalui kategori yang telah ditentukan: mana yang dianggap anomali, mana yang masuk high risk, mana yang perlu segera ditindaklanjuti. Padahal, realitas bisnis tidak selalu tunduk pada pola linear yang dapat ditangkap oleh model statistik.

Bahaya terbesarnya bukan pada kesalahan teknis semata, melainkan pada ilusi objektivitas. Ketika hasil analisis sistem dianggap “pasti benar”, ruang koreksi manusia justru menyempit. Fiskus berpotensi lebih tunduk pada layar komputer daripada pada nalar profesionalnya sendiri. Wajib pajak, di sisi lain, merasa berhadapan dengan putusan mesin, bukan ruang dialog administratif.

Jika tidak dikawal dengan prinsip kehati-hatian, negara algoritmik berisiko menjelma menjadi negara yang efisien tetapi miskin empati. Dan keadilan fiskal tidak bisa diukur semata dari kecepatan notifikasi atau jumlah data yang dikoreksi.

2. Reposisi Konsultan Pajak: Dari Intuisi ke Interpretasi Sistem

Perubahan ini paling nyata terasa oleh profesi konsultan pajak. Selama ini, profesi ini berdiri di antara dunia usaha dan negara menerjemahkan regulasi ke praktik bisnis, dan kepentingan bisnis ke dalam bahasa fiskal. Nilai tambah utama mereka bukan sekadar hafal pasal, tetapi kemampuan membaca konteks, risiko, dan implikasi strategis.

Namun di era algoritmik, intuisi profesional menghadapi kompetitor baru: sistem prediktif DJP.

Jika dulu konsultan diminta menyusun strategi kepatuhan, kini mereka dituntut memahami bagaimana sistem memersepsikan kepatuhan itu sendiri. Mereka harus memahami bagaimana data klien diolah, dikaitkan, dan diberi skor risiko oleh mesin. 

Profesi ini bergeser dari sekadar “penasihat pajak” menjadi penerjemah logika algoritmik negara ke dalam bahasa bisnis klien.

Perubahan ini menghadirkan dua kemungkinan. Pertama, profesi konsultan pajak naik kelas: lebih berbasis data, lebih strategis, lebih sistemik. 

Kedua, jika gagal beradaptasi, mereka terancam tergerus oleh otomatisasi. Klien bisa saja bertanya: “Jika sistem sudah tahu semuanya, untuk apa lagi saya perlu konsultan?”

Jawaban atas pertanyaan itu terletak pada satu hal yang tidak dimiliki mesin: penilaian etis dan kontekstual. Algoritma tidak memahami dinamika bisnis, tekanan pasar, atau dilema kepatuhan dalam sektor-sektor tertentu. Ia tidak tahu kapan kesalahan bersifat administratif, dan kapan harus dibaca sebagai niat menghindar.

Di situlah ruang manusia tetap relevan. Konsultan pajak harus menjadi penjaga keseimbangan antara logika teknologi dan rasa keadilan klien. Bukan sebagai pelawan sistem, tetapi sebagai penafsir yang etis.

3. Dunia Usaha dan Risiko Dehumanisasi Pajak

Bagi dunia usaha, era baru ini menuntut lebih dari sekadar kepatuhan formal. Ia menuntut kepatuhan digital-struktural. Artinya, bukan hanya benar secara hukum, tetapi juga sinkron secara sistem.

Kesalahan input, perbedaan waktu pencatatan, atau keterlambatan pelaporan yang dulu dapat dijelaskan dengan surat klarifikasi kini berpotensi langsung dikenai tindak lanjut berbasis data sistem. Margin koreksi manusia semakin sempit. Dunia usaha bergerak di bawah radar yang nyaris real-time.

Dalam jangka pendek, ini mungkin meningkatkan kepatuhan formal. Namun dalam jangka panjang, ada risiko yang lebih subtil: dehumanisasi relasi perpajakan.

Jika setiap transaksi dianggap “berisiko” hanya karena menyimpang dari pola data, wajib pajak bisa merasa selalu dalam posisi terancam. Kepatuhan yang lahir dari rasa takut cenderung rapuh. Ia menciptakan ketaatan semu, bukan loyalitas fiskal.

Padahal, berbagai riset kepatuhan menunjukkan bahwa keadilan prosedural merasakan didengar, diperlakukan wajar, diberi ruang klarifikasi berperan besar dalam menciptakan kepatuhan sukarela. Jika ruang itu tersubstitusi sepenuhnya oleh mesin, kontrak sosial fiskal berpotensi terkikis.

Di sinilah desain kebijakan memegang peran penting. Pengawasan berbasis data harus diimbangi dengan mekanisme dialog administratif yang manusiawi. Sistem boleh memberi sinyal, tetapi keputusan harus tetap memberi ruang bagi pertimbangan manusia.

Menjaga Mesin dalam Bingkai Etika Fiskal

Modernisasi perpajakan adalah keniscayaan. Tidak ada negara yang bisa mundur dari digitalisasi pajak. Namun yang sering luput adalah memastikan bahwa modernisasi tidak menggerus nilai dasar yang membuat sistem pajak tetap sah secara moral: keadilan, proporsionalitas, dan partisipasi warga.

Algoritma sangat andal menghitung. Tapi ia tidak punya rasa keadilan. Di sinilah manusia tak bisa dikeluarkan dari persamaan.

DJP perlu memastikan bahwa sistem baru tidak hanya efisien, tetapi juga dapat dijelaskan (explainable). Wajib pajak harus tahu: mengapa suatu data dianggap menyimpang, parameter apa yang dipakai, dan di mana ruang keberatan atau klarifikasi diberikan.

Konsultan pajak, di sisi lain, harus bertransformasi menjadi ethical data interpreter. Dunia usaha pun harus membangun tata kelola pajak internal yang tidak hanya patuh, tetapi juga transparan dan terintegrasi dengan sistem. Karena pajak bukan sekadar soal kecocokan angka, tetapi soal kepercayaan. Dan kepercayaan tidak tumbuh dari mesin, melainkan dari relasi manusia yang adil.

Penutup

Saat algoritma mulai menggantikan intuisi fiskal, yang dipertaruhkan bukan hanya efisiensi penerimaan negara, melainkan kualitas relasi antara negara dan pembayar pajaknya. Mesin boleh berbicara dalam bahasa data, tetapi keadilan tetap harus berbicara dalam bahasa manusia.

Penulis adalah Ketua Departemen Humas IKPI, Dosen, dan Praktisi Perpajakan

Jemmi Sutiono

Email:   jemmi.sutiono@gmail.com

 Disclaimer: Tulisan ini merupakan pandangan dan pendapat pribadi penulis

Menkeu Pastikan Anggaran Bencana Aman, Tambahan Dana Siap Digelontorkan Jika Dibutuhkan

IKPI, Jakarta: Pemerintah memastikan ketersediaan anggaran untuk penanganan bencana di Sumatera tetap aman, meskipun terjadi penurunan realisasi dari sekitar Rp2 triliun menjadi Rp491 miliar. Kementerian Keuangan menegaskan bahwa penyesuaian tersebut bukan pengurangan prioritas, melainkan menyesuaikan permintaan dana dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan hal itu dalam Rapimnas Kadin di Park Hyatt Jakarta, Senin (1/12/2025). Ia menegaskan bahwa anggaran yang tersedia masih mencukupi untuk mendukung operasi tanggap darurat, pemulihan infrastruktur, hingga perlindungan sosial bagi warga terdampak.

“Anggaran BNPB masih ada lebih dari Rp500 miliar yang siap digunakan. Nanti kalau butuh dana tambahan, kita siap menambah. Sudah ada di anggarannya,” kata Purbaya.

Ia menjelaskan bahwa cadangan fiskal pemerintah masih sangat memadai sehingga Kemenkeu dapat langsung menambah anggaran jika BNPB mengajukan kebutuhan tambahan melalui skema anggaran belanja tambahan (ABT). Menurutnya, pemerintah memberikan ruang seluas-luasnya agar penanganan bencana tidak terhambat persoalan anggaran.

Purbaya menegaskan bahwa kesiapan pendanaan ini merupakan bentuk komitmen pemerintah dalam menangani bencana secara cepat dan terkoordinasi. “Kita siap terus,” ujarnya.

Berdasarkan data per Senin (1/12/2025), banjir yang melanda Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh telah berdampak pada 104.901 keluarga atau 526.098 jiwa. Selain itu, ratusan fasilitas umum seperti sekolah, perkantoran, rumah ibadah, dan pesantren mengalami kerusakan.

Pemerintah memastikan proses penanganan dan pemulihan di wilayah terdampak akan dipercepat, dengan dukungan anggaran yang dapat ditambah kapan saja sesuai kebutuhan lapangan. (alf)

Purbaya Siapkan Langkah Lanjutan Usai Tutup Keran Balpres: Baja hingga Sepatu Jadi Target Pengawasan

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa langkah pemerintah menutup pintu masuk barang ilegal ke Indonesia tidak akan berhenti pada kebijakan penertiban impor pakaian bekas (balpres). Dalam waktu dekat, produk lain seperti baja dan sepatu juga akan menjadi fokus pengawasan.

Saat membuka Rapimnas Kadin 2025, Senin (1/12/2025), Purbaya menekankan bahwa kebijakan ini bukan soal pro-kontra tren thrifting, melainkan murni upaya menjaga pasar domestik dari serbuan barang ilegal.

“Kalau kemarin ribut-ribut thrifting, saya enggak peduli thrifting-nya. Pokoknya baju bekas ilegal masuk, kita tutup. Nanti habis itu baja, habis itu sepatu, habis itu yang lain-lain,” ujarnya dalam acara yang disiarkan secara virtual.

Menurut dia, menjaga kekuatan domestik menjadi kunci agar Indonesia tidak mudah terpengaruh gejolak global. Apalagi, kontribusi permintaan dalam negeri (domestic demand) terhadap perekonomian nasional mencapai sekitar 90 persen.

“Kita enggak usah takut dengan global uncertainty. Tiap tahun pasti ada dan tidak bisa kita kendalikan. Ngapain pusing? Kita fokus saja ke domestik demand. Kalau itu dijaga, ekonomi kita tidak akan goyah walaupun ekonomi global hancur,” kata Purbaya.

Purbaya kemudian mengulas pengalaman Indonesia dalam menghadapi krisis keuangan global 2008–2009. Saat sejumlah negara seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Korea Selatan, Jepang, negara-negara Eropa, hingga Amerika Serikat mengalami kontraksi ekonomi, Indonesia justru tumbuh 4,6 persen. Saat itu, hanya China dan India yang mencatatkan kinerja serupa.

Ia menjelaskan bahwa kebijakan menjaga permintaan domestik sudah terbukti efektif. Pada krisis 1997–1998, suku bunga naik mengikuti rekomendasi pengetatan IMF. Namun pada 2008–2009, pemerintah mengambil arah sebaliknya: menurunkan suku bunga dan mendorong ekspansi fiskal.

“Selama kita jaga domestic demand, ekonomi kita bagus. Tapi kalau domestic demand dikuasai asing, buat apa?” ujarnya. (alf)

id_ID