Menkeu Pastikan Anggaran Bencana Aman, Tambahan Dana Siap Digelontorkan Jika Dibutuhkan

IKPI, Jakarta: Pemerintah memastikan ketersediaan anggaran untuk penanganan bencana di Sumatera tetap aman, meskipun terjadi penurunan realisasi dari sekitar Rp2 triliun menjadi Rp491 miliar. Kementerian Keuangan menegaskan bahwa penyesuaian tersebut bukan pengurangan prioritas, melainkan menyesuaikan permintaan dana dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan hal itu dalam Rapimnas Kadin di Park Hyatt Jakarta, Senin (1/12/2025). Ia menegaskan bahwa anggaran yang tersedia masih mencukupi untuk mendukung operasi tanggap darurat, pemulihan infrastruktur, hingga perlindungan sosial bagi warga terdampak.

“Anggaran BNPB masih ada lebih dari Rp500 miliar yang siap digunakan. Nanti kalau butuh dana tambahan, kita siap menambah. Sudah ada di anggarannya,” kata Purbaya.

Ia menjelaskan bahwa cadangan fiskal pemerintah masih sangat memadai sehingga Kemenkeu dapat langsung menambah anggaran jika BNPB mengajukan kebutuhan tambahan melalui skema anggaran belanja tambahan (ABT). Menurutnya, pemerintah memberikan ruang seluas-luasnya agar penanganan bencana tidak terhambat persoalan anggaran.

Purbaya menegaskan bahwa kesiapan pendanaan ini merupakan bentuk komitmen pemerintah dalam menangani bencana secara cepat dan terkoordinasi. “Kita siap terus,” ujarnya.

Berdasarkan data per Senin (1/12/2025), banjir yang melanda Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh telah berdampak pada 104.901 keluarga atau 526.098 jiwa. Selain itu, ratusan fasilitas umum seperti sekolah, perkantoran, rumah ibadah, dan pesantren mengalami kerusakan.

Pemerintah memastikan proses penanganan dan pemulihan di wilayah terdampak akan dipercepat, dengan dukungan anggaran yang dapat ditambah kapan saja sesuai kebutuhan lapangan. (alf)

Purbaya Siapkan Langkah Lanjutan Usai Tutup Keran Balpres: Baja hingga Sepatu Jadi Target Pengawasan

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa langkah pemerintah menutup pintu masuk barang ilegal ke Indonesia tidak akan berhenti pada kebijakan penertiban impor pakaian bekas (balpres). Dalam waktu dekat, produk lain seperti baja dan sepatu juga akan menjadi fokus pengawasan.

Saat membuka Rapimnas Kadin 2025, Senin (1/12/2025), Purbaya menekankan bahwa kebijakan ini bukan soal pro-kontra tren thrifting, melainkan murni upaya menjaga pasar domestik dari serbuan barang ilegal.

“Kalau kemarin ribut-ribut thrifting, saya enggak peduli thrifting-nya. Pokoknya baju bekas ilegal masuk, kita tutup. Nanti habis itu baja, habis itu sepatu, habis itu yang lain-lain,” ujarnya dalam acara yang disiarkan secara virtual.

Menurut dia, menjaga kekuatan domestik menjadi kunci agar Indonesia tidak mudah terpengaruh gejolak global. Apalagi, kontribusi permintaan dalam negeri (domestic demand) terhadap perekonomian nasional mencapai sekitar 90 persen.

“Kita enggak usah takut dengan global uncertainty. Tiap tahun pasti ada dan tidak bisa kita kendalikan. Ngapain pusing? Kita fokus saja ke domestik demand. Kalau itu dijaga, ekonomi kita tidak akan goyah walaupun ekonomi global hancur,” kata Purbaya.

Purbaya kemudian mengulas pengalaman Indonesia dalam menghadapi krisis keuangan global 2008–2009. Saat sejumlah negara seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Korea Selatan, Jepang, negara-negara Eropa, hingga Amerika Serikat mengalami kontraksi ekonomi, Indonesia justru tumbuh 4,6 persen. Saat itu, hanya China dan India yang mencatatkan kinerja serupa.

Ia menjelaskan bahwa kebijakan menjaga permintaan domestik sudah terbukti efektif. Pada krisis 1997–1998, suku bunga naik mengikuti rekomendasi pengetatan IMF. Namun pada 2008–2009, pemerintah mengambil arah sebaliknya: menurunkan suku bunga dan mendorong ekspansi fiskal.

“Selama kita jaga domestic demand, ekonomi kita bagus. Tapi kalau domestic demand dikuasai asing, buat apa?” ujarnya. (alf)

Purbaya Ungkap Strategi Genjot Pertumbuhan Ekonomi di Rapimnas Kadin 2025

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memaparkan strategi percepatan ekonomi yang langsung ia jalankan sejak dipercaya Presiden Prabowo Subianto memimpin Kementerian Keuangan pada 8 September 2025. Di hadapan para pelaku usaha dalam Pembukaan Rapimnas Kadin 2025, Jakarta, Senin (1/12/2025), Purbaya menjelaskan bahwa langkah pertamanya adalah menghidupkan kembali peredaran uang primer (M0) yang selama ini stagnan.

Menurut Purbaya, lemahnya pertumbuhan uang primer menjadi sinyal jelas bahwa aktivitas ekonomi masyarakat tertekan. Kondisi itu, katanya, menjadi salah satu faktor yang memicu munculnya aksi demonstrasi besar-besaran pada Agustus hingga September 2025.

Ia mengungkapkan bahwa gejolak sosial saat itu membuat pemerintah perlu melakukan penilaian khusus terhadap risiko ekonomi dan politik.

“Orang-orang turun ke jalan, demo besar-besaran, dan kami perlu melihat apakah situasi itu akan mereda atau justru berlanjut,” kata Purbaya.

Dari analisis pemerintah, protes tidak akan hilang jika tekanan ekonomi tidak segera diatasi. Bahkan, ia menyebut potensi instabilitas politik dapat muncul jika kondisi tersebut berlanjut hingga tahun berikutnya.

“Kalau ekonominya tidak diperbaiki, demonstrasi bisa berlarut-larut dan awal tahun depan bisa saja timbul pergantian kekuasaan yang biayanya besar sekali bagi masyarakat,” ujarnya.

Purbaya menegaskan bahwa ekonomi saat itu seperti “direm”, sehingga kebijakan ekspansif diperlukan untuk menggerakkan kembali aktivitas di tingkat rumah tangga dan dunia usaha.

Salah satu kebijakan paling krusial adalah mengalirkan dana pemerintah yang selama ini mengendap di Bank Indonesia. Total dana menganggur yang dilepas ke sistem keuangan mencapai Rp276 triliun, dan disalurkan melalui perbankan agar dapat mendorong likuiditas serta kredit kepada masyarakat.

Kebijakan tersebut mulai menunjukkan hasil. Purbaya menyampaikan bahwa peredaran uang primer sudah kembali meningkat hingga sekitar 13%. Ia melihat pulihnya likuiditas tersebut berdampak langsung pada meredanya ketegangan sosial yang sebelumnya sempat memuncak.

Langkah mempercepat aliran uang primer, menurut Purbaya, merupakan strategi awal untuk memulihkan kepercayaan publik sekaligus memperkuat fondasi pertumbuhan ekonomi ke depan. (alf)

Jepang Siapkan Pajak Flat 20% untuk Keuntungan Kripto

IKPI, Jakarta: Pemerintah Jepang dikabarkan memberi dukungan terhadap rencana penerapan flat tax 20% atas keuntungan aset kripto, sebuah perubahan besar yang berpotensi menata ulang pasar digital di negara tersebut. Rencana ini merupakan kelanjutan dari usulan Financial Services Agency (FSA) pada pertengahan November, dengan target pengajuan rancangan undang-undang pada awal 2026.

Menurut laporan Nikkei Asia, kebijakan baru ini bertujuan menyamakan perlakuan pajak kripto dengan instrumen keuangan seperti saham dan reksa dana. Saat ini, transaksi kripto dikategorikan sebagai “pendapatan lain-lain” dengan tarif progresif 5% hingga 45%, ditambah pajak daerah 10% untuk kelompok berpenghasilan tinggi. Total beban pajak dapat mencapai 55%, jauh lebih tinggi dibandingkan skema pajak 20% untuk saham.

Dengan tarif baru 20%, pelaku industri menilai beban pajak yang lebih ringan akan meningkatkan partisipasi investor dan memberi dorongan bagi pasar kripto domestik.

Reformasi pajak ini juga akan dimasukkan dalam kerangka perlindungan investor dalam revisi atas Financial Instruments and Exchange Act. FSA berencana mengajukan RUU tersebut pada sesi reguler Diet 2026, termasuk ketentuan pengawasan seperti larangan penggunaan informasi non-publik dan transparansi investasi yang lebih ketat.

Upaya ini merupakan hasil dari proses lobi panjang industri. Japan Blockchain Association (JBA) telah mendorong perubahan pajak sejak tiga tahun lalu. Pada Juli 2023, JBA menerbitkan rekomendasi resmi yang meminta pemerintah memberlakukan tarif pajak 20% agar selaras dengan instrumen investasi lainnya. Perubahan sikap FSA mulai terlihat sejak September 2024.

Jika disahkan, reformasi pajak ini diprediksi membuat Jepang semakin kompetitif dalam industri aset digital dan menarik kembali investor ritel maupun institusional. Meski begitu, implementasinya tetap bergantung pada proses politik di Parlemen Jepang pada 2026. Reformasi ini kian menegaskan peran Jepang sebagai negara yang aktif membangun regulasi kripto secara ketat namun progresif untuk mendukung pertumbuhan industri. (alf)

DPRD Kotabaru Sahkan Perubahan Perda Pajak dan Retribusi Daerah, Sesuaikan dengan Regulasi Nasional

IKPI, Jakarta: DPRD Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, resmi mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) perubahan atas Perda Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pengesahan dilakukan dalam rapat paripurna di Kotabaru, Senin, (1/12/2025) sebagai langkah untuk memastikan regulasi daerah selaras dengan ketentuan nasional.

Ketua DPRD Kotabaru, Suwanti, menjelaskan bahwa pembentukan Raperda ini berangkat dari kebutuhan masyarakat atas pembaruan aturan pajak daerah. Dari sisi sosiologis, katanya, masyarakat menuntut adanya kepastian hukum yang sesuai dengan dinamika regulasi terbaru.

“Maka pemerintah daerah harus segera menyesuaikan dengan menerbitkan peraturan daerah guna menindaklanjuti amanah undang-undang yang dimaksud,” ujarnya.

Suwanti menambahkan, Panitia Khusus (Pansus) II telah melakukan kajian mendalam sebelum akhirnya menyepakati Raperda tersebut untuk ditetapkan sebagai Peraturan Daerah Kabupaten Kotabaru.

Dari pihak eksekutif, Asisten Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Masyarakat, Minggu Basuki, mengungkapkan bahwa Kementerian Dalam Negeri telah melakukan evaluasi terhadap Perda Nomor 10 Tahun 2023. Hasilnya, ditemukan sejumlah ketentuan yang tidak lagi sejalan dengan UU Nomor 1 Tahun 2022 maupun PP Nomor 35 Tahun 2023.

“Hasil evaluasi menunjukkan beberapa ketentuan dalam perda tidak sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 2022 dan PP Nomor 35 Tahun 2023 sehingga harus dilakukan penyesuaian,” jelasnya.

Ia menegaskan bahwa perubahan ini diperlukan untuk memastikan keselarasan Perda dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta memenuhi catatan evaluasi dari Kemendagri.

Adapun ruang lingkup perubahan meliputi penyesuaian objek dan pengecualian pajak, dasar pengenaan, tarif pajak, ketentuan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), kewajiban notaris dan pejabat lelang, pengaturan opsen, hingga penyempurnaan aturan retribusi. Seluruh pembaruan ini diharapkan dapat memperkuat tata kelola keuangan daerah. (alf)

Layanan Pajak Terdampak Banjir di Aceh dan Sumut, DJP Pastikan Evakuasi dan Pemulihan Berjalan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan melaporkan bahwa sejumlah kantor pelayanan pajak di Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) terendam banjir akibat cuaca ekstrem beberapa hari terakhir. Jajaran DJP dari pusat kini tengah mengevakuasi pegawai beserta keluarga yang terdampak.

“Beberapa unit kerja DJP di Aceh dan Sumatera Utara terdampak banjir dan saat ini sedang dalam proses penanganan,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, dikutip Selasa (2/12/2025).

Di Sumatera Utara, layanan tatap muka dihentikan sementara di KPP Pratama Sibolga serta KP2KP Pandan. Penghentian layanan diumumkan sejak 28 November 2025 dan belum dapat dipastikan kapan akan kembali beroperasi.

Sementara itu, di Aceh terdapat lebih banyak kantor pajak yang operasionalnya terganggu. Lokasi terdampak meliputi KPP Pratama Langsa, KP2KP Karang Baru, KP2KP Blangkejeren, KPP Pratama Lhokseumawe, KP2KP Lhoksukon, KP2KP Aceh Singkil, KP2KP Sigli, KP2KP Takengon, serta KP2KP Rimba Raya.

Meski pelayanan langsung terhambat, DJP memastikan konsultasi perpajakan melalui kanal online tetap berjalan normal. Pegawai yang tidak terdampak diminta tetap bekerja dari lokasi masing-masing untuk menjaga kelancaran layanan.

Prosedur Darurat Diaktifkan

Rosmauli menegaskan bahwa DJP telah mengaktifkan prosedur darurat sebagai bagian dari manajemen keberlangsungan bisnis. Upaya ini mencakup pengalihan layanan administrasi ke unit terdekat bila diperlukan.

“Kami akan memastikan agar layanan administrasi perpajakan dapat segera pulih. Prosedur darurat telah diaktifkan untuk menjaga keberlangsungan pelayanan,” ungkapnya.

Selain evakuasi, penyaluran bantuan logistik kepada pegawai dan keluarga yang terdampak juga terus dilakukan. Distribusi kebutuhan darurat turut dibantu oleh kapal patroli Bea Cukai yang mengangkut pasokan dari pusat.

“Di situasi seperti ini, yang terpenting adalah keselamatan dan terpenuhinya kebutuhan dasar warga. Kami terus berkoordinasi agar dukungan logistik dapat benar-benar membantu meringankan beban saudara-saudara kita di daerah terdampak,” tutur Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai, Nirwala Dwi Heryanto.

DJP menyatakan akan memberikan informasi lanjutan mengenai pemulihan layanan seiring membaiknya kondisi di wilayah terdampak. (alf)

Penyebab Bunching dan Firm-Splitting di Kalangan Pengusaha UMKM

Timbulnya praktik menahan omzet (bunching) hingga pemecahan usaha (firm-splitting) menunjukkan bahwa fasilitas ini rawan disalahgunakan oleh pelaku usaha yang sebenarnya sudah tidak lagi memenuhi kriteria UMKM.

Pengusaha UMKM yang dalam hal ini nota bene merupakan wajib pajak orang pribadi, menurut penulis tidak semata-mata melakukan atau menyalahgunakan fasilitas ini untuk menghindari pembayaran PPh yang lebih besar termasuk menghindari kewajiban pembukuan atau memilih perhitungan norma. Justru, praktik tersebut lebih sering dipicu oleh keinginan menghindari kewajiban pemungutan PPN.

Pengusaha UMKM yang bergerak di berbagai sektor dan jenis industri, baik produsen maupun pedagang, akan bermain di berbagai segmen produk yang membentuk pasar dengan tingkat kompetisi cukup ketat atas produk-produk selevel.

Bagi pelaku usaha (penjual) yang memasarkan produk tertentu dengan level yang sama seperti kompetitor lainnya yang mayoritas bukan PKP (omzet di bawah Rp4,8 miliar per tahun), serta melayani pembeli yang umumnya merupakan orang pribadi (pedagang/end-user) berstatus non-PKP, maka ketika salah satu pengusaha UMKM tersebut omzetnya melebihi Rp4,8 miliar dan mengukuhkan diri sebagai PKP, ia akan menghadapi kesulitan dalam memungut PPN. Hal ini kemudian menimbulkan tekanan pada arus kas (cash flow).

Mayoritas pembeli yang notabene pedagang/end-user cenderung menolak dipungut PPN karena adanya kenaikan harga pokok. Akibatnya, daya jual menurun sehingga pembeli akan beralih ke penjual lain yang masih berstatus non-PKP.

Kesulitan PKP dalam memungut PPN terjadi karena belum terciptanya bargaining power yang memadai bagi pengusaha tersebut dalam mempengaruhi pembeli. Sebaliknya, justru pembeli yang dapat mengendalikan harga karena pasar dipenuhi oleh kompetitor non-PKP dengan produk selevel.

Pengusaha UMKM yang taat menjalankan kewajiban PPN dan telah berstatus PKP di tengah persaingan atas produk sejenis yang mayoritas tidak memungut PPN, berpotensi merusak bisnisnya sendiri karena pelanggan akan lari. Jika tetap ingin bertahan, pengusaha biasanya harus menetapkan harga jual termasuk PPN sehingga nilai penjualan (DPP) yang dibukukan menjadi lebih kecil karena sebagian nilai tersebut terserap sebagai PPN seolah termasuk di dalam harga jual.

Kesimpulan

Perlu adanya perbaikan kebijakan oleh pemerintah untuk menciptakan pemerataan PKP antar kompetitor dalam sektor-sektor usaha sejenis dengan produk selevel. Tujuannya, agar karakteristik pasar (pembeli) tidak memiliki pilihan untuk membeli dari penjual non-PKP, sehingga pemerintah dapat selalu selangkah lebih maju dalam menekan praktik penghindaran pajak.

Pemerataan PKP dapat ditempuh, misalnya, melalui kebijakan penurunan threshold batasan PKP menjadi Rp3,6 miliar per tahun, atau kebijakan lain yang relevan. Ke depannya, pengusaha dengan skala usaha yang sebenarnya sudah melampaui batasan UMKM dapat melaporkan kondisinya secara aktual tanpa perlu khawatir bisnisnya tergerus atau bahkan mati karena menanggung PPN secara berkepanjangan.

Persaingan usaha pun menjadi lebih sehat karena tidak seharusnya persaingan pada produk selevel ditentukan oleh faktor pajak (PPN).

Pada akhirnya, jika mayoritas pelaku usaha sudah berada dalam posisi PKP yang lebih merata, maka penerapan tarif PPh Final 0,5% secara permanen akan lebih efektif dan tepat sasaran hanya bagi pengusaha UMKM yang benar-benar berhak menikmati fasilitas tersebut karena tidak lagi ada dorongan untuk melakukan praktik bunching maupun firm-splitting.

Penulis adalah Anggota Departemen Keanggotaan dan Pembinaan IKPI

Eddy Christian, SE, MSi, BKP

Email: eddychris1090@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

Anggota IKPI Raih Podium di Capital Market Run 2025

IKPI, Jakarta: Ajang Capital Market Run 2025 kembali menyedot perhatian ribuan pecinta olahraga lari. Digelar di Plaza Timur Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta, pada Minggu (30/11/2025), kompetisi berskala nasional ini menghadirkan sekitar 3.500 peserta dari berbagai daerah. Tahun ini, panitia membuka enam kategori lomba, yakni 5K Umum, 5K Master A (40–49 tahun), 5K Master B (50+), 10K Umum, 10K Master A (40–49 tahun), dan 10K Master B (50+).

Salah satu prestasi membanggakan datang dari anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Tiurma Melanita, anggota IKPI Cabang Jakarta Timur. Ia berhasil naik podium dengan menempati peringkat ketiga di kategori 5K Master A (40–49 tahun). Atas pencapaian tersebut, ia berhak membawa pulang hadiah sebesar Rp4.000.000.

(Foto: Istimewa)

Melanita menuturkan bahwa keikutsertaannya sebenarnya bukan semata-mata mengejar kemenangan, melainkan untuk menguji kemampuan fisik di usia yang kini berada di kelompok master.

“Saya mengikuti event tersebut hanya untuk mencoba seberapa kuat stamina saya dengan usia yang sudah masuk kategori 40–49 tahun,” ujarnya, Senin (1/12/2025).

Meski demikian, hasil yang diraih justru melebihi ekspektasi dan menjadi penyemangat tersendiri baginya. Ia berharap pengalaman ini dapat memotivasi anggota IKPI lainnya untuk aktif menjaga kesehatan melalui kegiatan olahraga.

Ia juga menyampaikan harapan khusus kepada IKPI, terutama komunitas runner. Ia mengusulkan agar dibuat jadwal rutin latihan bersama, baik pada akhir pekan di pagi hari maupun malam hari setelah jam kantor pada hari kerja.

(Foto: Istimewa)

Menurutnya, lokasi seperti GBK atau titik-titik strategis di berbagai kota dapat menjadi tempat yang ideal. “Supaya saling mempererat hubungan baik antaranggota IKPI dan membangun stamina tubuh yang sehat. Dan juga ketika ada event-event besar, anggota IKPI bisa ikut berpartisipasi bersama-sama,” katanya.

Lebih jauh, ia menyarankan agar komunitas runner IKPI bersama pengurus pusat membentuk event lari tahunan, misalnya bertepatan dengan perayaan HUT IKPI. Selain memperkuat solidaritas, ajang tersebut dinilai mampu menjadi sarana promosi IKPI kepada masyarakat luas. Melanita juga membuka peluang kolaborasi lebih besar dengan instansi perpajakan.

“Event seperti itu bisa menggandeng DJP, supaya masyarakat awam lebih mengenal lagi mengenai perpajakan Indonesia,” ujarnya.

Prestasi Melanita tak hanya menjadi kebanggaan personal, tetapi juga inspirasi bagi para anggota IKPI untuk terus mengedepankan gaya hidup sehat serta memperkuat kekompakan antarprofesi melalui olahraga. (bl)

Diskusi Panel IKPI: Suwardi Hasan Ungkap Pro-Kontra Pajak Kekayaan dan Tantangan Politik dalam Penerapannya

IKPI, Jakarta: Ketua Departemen FGD IKPI, Suwardi Hasan, menguraikan secara lugas berbagai persoalan teknis, politik, dan sosial yang membuat pembahasan pajak kekayaan atau wealth tax selalu memicu perdebatan panjang. Dalam Diskusi Panel IKPI “Di Balik Harta Para Konglomerat: Menemukan Celah Keadilan Pajak”, Jumat (28/11/2025) ia menegaskan bahwa kebijakan ini bukan hanya soal potensi penerimaan negara, tetapi juga menyangkut desain, kepastian hukum, hingga resistensi dari kelompok yang terdampak.

Suwardi menyebut bahwa jurang kesenjangan yang ada saat ini membuat isu wealth tax kembali relevan. Namun ia mengingatkan bahwa pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada kemampuan administrasi negara dalam menilai aset, mengelola data, dan menetapkan ambang batas yang rasional.

Ia mencontohkan Italia, yang tidak menerapkan wealth tax umum tetapi memajaki properti dan aset keuangan milik penduduknya di luar negeri. Tarifnya bahkan meningkat pada 2024 menjadi 1,06 persen untuk properti luar negeri dan 0,2 persen untuk aset finansial.

Menurutnya, model seperti Italia bisa dipertimbangkan jika Indonesia ingin menargetkan kelompok tertentu tanpa harus memajaki seluruh aset domestik. Namun ia menekankan bahwa tantangan terbesar selalu ada pada proses valuasi. “Aset yang dipajaki bukan hanya properti, tapi juga barang koleksi bernilai tinggi atau aset finansial yang rumit. Menilai itu semua tidak sederhana,” ujarnya.

Selain tantangan teknis, Suwardi menyinggung dimensi politik yang kerap menjadi hambatan tak terlihat. Menurutnya, banyak rancangan kebijakan fiskal seperti pajak kekayaan menghadapi resistensi dari pemilik modal dan bahkan para pengambil keputusan. “Banyak anggota legislatif juga punya tanah atau properti besar. Mereka tentu tidak ingin kena. Jadi produk hukumnya sulit lahir,” katanya, memancing tawa peserta diskusi.

Hal lain yang menjadi keberatan kelompok HWI adalah isu pajak berganda. Mereka berargumen bahwa penghasilan sudah dipajaki, sehingga aset yang dibeli dari penghasilan itu tidak seharusnya dipajaki lagi setiap tahun. Jika tarif terlalu tinggi, tambah Suwardi, para pemilik kekayaan besar dapat memutuskan untuk memindahkan domisili atau asetnya ke negara dengan beban pajak lebih rendah.

Menurut Suwardi, pengalaman negara-negara Eropa yang menghapus wealth tax menjadi pelajaran penting bagi Indonesia. “Mereka gagal bukan karena idenya jelek, tetapi karena desainnya tidak kuat, administrasinya tidak siap, dan risikonya lebih besar dari manfaatnya,” ujarnya.

Meski demikian, ia menegaskan bahwa diskusi mengenai wealth tax tidak boleh berhenti. Dengan desain yang tepat, kebijakan ini dapat menjadi instrumen untuk memperluas basis pajak dan mengurangi ketimpangan. “Yang paling penting adalah desainnya. Apa yang dipajaki, ambang batasnya berapa, pengecualiannya apa, dan bagaimana mitigasi capital flight,” tegasnya.

Suwardi menutup paparannya dengan menekankan bahwa Indonesia perlu belajar dari keberhasilan dan kegagalan negara lain sebelum mengambil langkah besar. “Jangan hanya melihat potensi penerimaan. Harus dilihat risikonya juga. Pajak kekayaan harus adil bagi negara dan adil bagi wajib pajak,” katanya. (bl)

DJP Percepat Modernisasi Pembayaran Pajak, Siapkan Kanal QRIS Terintegrasi

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan terus memacu transformasi digital dengan mempercepat pengembangan kanal pembayaran pajak berbasis Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS). Langkah ini diambil sebagai respons atas hasil evaluasi Tax Administration Diagnostic Assessment Tool (TADAT) 2023, yang menilai perlunya peningkatan signifikan pada aspek pembayaran elektronik.

Menurut Laporan Tahunan DJP 2024, yang dipublikasikan pada Senin (1/12/2025), DJP telah menyelesaikan kajian awal pengembangan kanal QRIS pada sistem legacy. Kajian tersebut menjadi landasan bagi rencana jangka panjang menghadirkan kanal pembayaran modern yang sepenuhnya terintegrasi dengan proses bisnis penyetoran pajak.

Dalam laporan itu dijelaskan, pengembangan kanal QRIS dirancang untuk menghadirkan proses pembayaran yang lebih sederhana, cepat, dan seamless, sejalan dengan kebutuhan masyarakat di era layanan digital. Integrasi ini juga diharapkan mampu mengatasi kendala pada sistem pembayaran konvensional, sekaligus memperluas opsi pembayaran bagi wajib pajak.

DJP menargetkan kehadiran kanal QRIS tidak hanya memudahkan wajib pajak, tetapi juga meningkatkan skor Indonesia pada indikator pembayaran elektronik dalam penilaian TADAT mendatang.

Implementasi QRIS diyakini akan memperkuat kualitas layanan administrasi perpajakan dan mendukung percepatan penerimaan negara melalui sistem pembayaran yang lebih efisien.

“Implementasi kanal QRIS diharapkan menjadikan pengalaman pembayaran pajak semakin praktis, efisien, serta sesuai dengan kebutuhan masyarakat digital saat ini, sekaligus meningkatkan penilaian pada indikator pembayaran elektronik,” tulis DJP dalam laporannya. (alf)

id_ID