FISKUS – Kawan atau Lawan?

Jelang Penerapan Cooperative Compliance di Indonesia

Setiap kali mendengar kata “fiskus” atau “kantor pajak”, reaksi sebagian Wajib Pajak sering kali refleks: cemas, waspada, bahkan defensif. Pemeriksa pajak dipersepsikan sebagai pihak yang “mencari-cari kesalahan”, sementara Wajib Pajak melihat dirinya sebagai “korban” regulasi yang rumit. Dari sinilah muncul pertanyaan klasik: apakah fiskus itu sebenarnya kawan atau lawan?

Pertanyaan ini menjadi semakin relevan di era sistem self assessment, di mana negara memberi kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajaknya sendiri. Tanpa hubungan yang sehat antara fiskus dan Wajib Pajak, sistem ini akan pincang: kepatuhan sulit tercapai, sengketa meningkat, dan penerimaan negara berpotensi terganggu.

Seiring berkembangnya praktik perpajakan modern, muncul pendekatan baru yang dikenal dengan istilah cooperative compliance, yang sudah direncanakan akan diaplikasikan secara bertahap dalam beberapa tahun ke depan. Pendekatan ini mencoba menggeser pola hubungan fiskus–Wajib Pajak dari yang semula konfrontatif menjadi kolaboratif, berbasis kepercayaan dan transparansi. Dalam konteks inilah, pertanyaan “FISKUS – Kawan atau Lawan?” perlu dijawab ulang dengan kacamata yang lebih mutakhir.

Siapa Itu Fiskus?

Secara sederhana, fiskus adalah aparatur negara yang diberi kewenangan untuk mengadministrasikan pemungutan pajak. Dalam konteks Indonesia, istilah fiskus umumnya merujuk pada pejabat/pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), seperti Account Representative (AR), Pemeriksa Pajak, Juru Sita Pajak, petugas pelayanan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP), serta pejabat yang berwenang menandatangani ketetapan pajak dan dokumen fiskal lainnya.

Tugas utama fiskus bukan hanya “memungut” pajak, melainkan mengelola keseluruhan sistem administrasi perpajakan, antara lain:

mengadministrasikan pendaftaran, penatausahaan, keberatan, banding, hingga penagihan pajak; mendorong kepatuhan melalui edukasi, pembinaan, pengawasan, dan penegakan hukum; menjamin keadilan dan kepastian hukum pemungutan pajak sesuai peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian, fiskus merupakan bagian dari mekanisme negara yang bertugas memastikan pajak sebagai sumber utama pembiayaan APBN dapat dikumpulkan secara efektif, adil, dan berkelanjutan.

Kerangka Hukum Hubungan Fiskus dan Wajib Pajak

Hubungan antara fiskus dan Wajib Pajak bukan hubungan personal, melainkan hubungan hukum yang diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Di dalamnya terkandung hak dan kewajiban yang bersifat resiprokal.

Di sisi fiskus, hak dan kewajiban antara lain meliputi:

kewenangan melakukan pengawasan, pemeriksaan, dan penagihan pajak; kewajiban menjaga kerahasiaan data dan informasi Wajib Pajak; kewajiban memberikan pelayanan yang baik, jelas, transparan, dan tidak diskriminatif.

Di sisi Wajib Pajak, hak dan kewajiban antara lain meliputi:

kewajiban mendaftarkan diri, menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak dengan benar dan tepat waktu; hak atas pelayanan, penjelasan, dan kejelasan aturan dari fiskus; hak untuk mengajukan keberatan, banding, pengurangan sanksi, restitusi, dan hak-hak lain yang dijamin undang-undang.

Idealnya, hubungan ini bersifat seimbang: fiskus tidak boleh sewenang-wenang, sedangkan Wajib Pajak juga tidak boleh lalai atau memanipulasi kewajiban perpajakannya. Keduanya terikat oleh asas keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.

Mengapa Fiskus Sering Dipersepsikan sebagai “Lawan”?

Dalam praktik, persepsi di lapangan tidak selalu seindah konsep. Tidak sedikit pelaku usaha yang merasa bahwa fiskus adalah “lawan” yang siap menjerat kapan saja. Persepsi ini muncul dari kombinasi beberapa faktor, antara lain:

Pengalaman pertama berinteraksi secara intens dengan fiskus sering kali terjadi pada saat pemeriksaan atau sengketa, yang identik dengan suasana tegang, koreksi pajak, dan potensi sanksi. Gaya komunikasi fiskus yang formal dan penuh istilah teknis dapat terasa kaku dan kurang empatik, sehingga mudah ditafsirkan sebagai sikap mengancam.

Kerumitan, frekuensi perubahan, dan minimnya pemahaman atas regulasi membuat Wajib Pajak merasa “disudutkan” oleh aturan yang sulit diikuti. Kasus-kasus negatif yang melibatkan oknum aparatur pajak dan terekspos media cenderung digeneralisasi, sehingga menurunkan kepercayaan terhadap institusi secara keseluruhan. Masih banyak Wajib Pajak yang lemah dalam pembukuan dan dokumentasi, sehingga ketika diperiksa muncul koreksi besar yang kemudian dipersepsikan sebagai upaya “mencari-cari kesalahan”.

Dari kombinasi faktor-faktor tersebut, wajar jika sebagian pelaku usaha memandang fiskus sebagai pihak yang harus diwaspadai. Di sinilah cooperative compliance menawarkan paradigma baru.

Konsep Cooperative Compliance dalam Perpajakan Modern

Secara global, istilah cooperative compliance diperkenalkan dan dikembangkan oleh berbagai yurisdiksi dan organisasi internasional, termasuk OECD, sebagai pendekatan kepatuhan pajak yang bertumpu pada kepercayaan, transparansi, dan kolaborasi. Pendekatan ini menggeser orientasi hubungan antara otoritas pajak dan Wajib Pajak dari sekadar penegakan hukum pasca pelanggaran menjadi pencegahan dan pengelolaan risiko pajak sejak dini.

Beberapa prinsip utama cooperative compliance antara lain:

Transparansi: Wajib Pajak secara proaktif membuka informasi material terkait struktur dan transaksi yang berpotensi menimbulkan konsekuensi pajak. Kepercayaan: Otoritas pajak merespons keterbukaan tersebut dengan memberikan kepastian hukum yang cepat, jelas, dan proporsional. Kolaborasi: Fokus diarahkan pada pencegahan sengketa dan penyelesaian masalah melalui dialog, bukan semata-mata melalui sanksi dan penindakan.

Dengan demikian, cooperative compliance secara filosofis berusaha mengubah wajah fiskus dari “pencari kesalahan” menjadi “mitra pengelolaan risiko pajak” yang bersifat kritis namun konstruktif.

Arah Penerapan Cooperative Compliance di Indonesia

Indonesia mungkin belum secara eksplisit menggunakan istilah cooperative compliance dalam semua kebijakan tertulisnya, namun arah kebijakan DJP menunjukkan kecenderungan kuat ke sana. Beberapa perkembangan yang dapat dibaca sebagai bagian dari semangat cooperative compliance antara lain:

Pengawasan berbasis risiko (risk-based compliance), di mana Wajib Pajak dikelompokkan berdasarkan profil risiko kepatuhan, sehingga Wajib Pajak berisiko rendah cenderung diperlakukan dengan pendekatan pembinaan dan dialog. Pemanfaatan data dan kerja sama internasional, termasuk melalui pertukaran informasi otomatis, yang memungkinkan DJP memiliki basis data lebih lengkap untuk membangun diskusi yang objektif dan faktual dengan Wajib Pajak. Peningkatan kanal konsultasi dan komunikasi, baik melalui KPP, account representative, maupun layanan digital, yang memberi ruang lebih besar bagi Wajib Pajak untuk berdialog sebelum timbul sengketa. Digitalisasi layanan perpajakan (seperti Coretax System, DJP Online, e-filing, e-faktur, dan lain-lain) yang mendorong transparansi, mengurangi kontak fisik yang berpotensi menimbulkan biaya tidak resmi, dan meningkatkan jejak audit.

Seluruh langkah tersebut, jika dikelola secara konsisten, dapat menjadi fondasi praktik cooperative compliance yang lebih matang di Indonesia.

Fiskus sebagai “Kawan” dalam Kerangka Cooperative Compliance

Dalam kerangka cooperative compliance, posisi fiskus makin jelas sebagai Kawan yang kritis, bukan lawan. Kawan, karena fiskus dapat menjadi mitra dialog strategis dalam mengelola risiko pajak secara berkelanjutan. Kritis, karena fiskus tetap memiliki mandat untuk menguji, mengoreksi, dan menindak pelanggaran jika diperlukan.

Peran fiskus sebagai kawan kritis tercermin dalam beberapa hal berikut:

Fiskus berinteraksi secara lebih intens dan berkelanjutan dengan Wajib Pajak tertentu, terutama Wajib Pajak besar atau strategis, tidak hanya pada saat pemeriksaan, tetapi juga melalui komunikasi pra-transaksi atau pra-pemeriksaan. Fiskus tidak lagi sekadar menunggu kesalahan muncul, melainkan mendorong Wajib Pajak untuk mengungkapkan isu-isu pajak secara terbuka sejak awal sehingga dapat dikelola sebelum menjadi sengketa besar.

Wajib Pajak yang transparan dan kooperatif dapat menikmati manfaat berupa frekuensi pemeriksaan yang lebih proporsional, proses restitusi yang relatif lebih cepat (dengan mekanisme tertentu), dan hubungan kerja yang lebih profesional.

Dalam kerangka ini, citra fiskus sebagai lawan mulai terkikis, digantikan oleh peran sebagai penjaga sistem yang membantu Wajib Pajak mengelola risiko pajaknya secara lebih terukur.

Tantangan Penerapan Cooperative Compliance di Indonesia

Meskipun konsepnya ideal, penerapan cooperative compliance di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan yang harus diakui dan dikelola.

Kesenjangan kapasitas: tidak semua petugas fiskus memiliki kemampuan analitis, pemahaman bisnis, dan keterampilan komunikasi yang memadai untuk berdialog setara dengan Wajib Pajak kompleks. Budaya saling curiga yang masih kuat, baik di pihak fiskus maupun Wajib Pajak, yang membuat keterbukaan dan kepercayaan sulit tumbuh dalam waktu singkat.

Belum seragamnya pemahaman dan implementasi kebijakan di seluruh unit kerja, yang berpotensi memunculkan inkonsistensi perlakuan antar kantor atau antar pejabat. Belum jelas secara konkret yang dirasakan Wajib Pajak jika menerapkan cooperative compliance secara konsisten, sehingga motivasi untuk bertransisi dari pola lama menjadi kurang kuat.

Tanpa pengelolaan yang baik terhadap tantangan-tantangan ini, cooperative compliance berisiko hanya menjadi jargon, bukan praktik nyata yang mengubah wajah hubungan fiskus dan Wajib Pajak.

Peran Konsultan Pajak sebagai Jembatan

Dalam konteks hubungan fiskus dan Wajib Pajak yang bergerak menuju cooperative compliance, konsultan pajak memiliki peran strategis sebagai jembatan dan katalis.

Peran tersebut antara lain:

Menerjemahkan bahasa regulasi fiskal ke dalam bahasa bisnis yang mudah dipahami manajemen, sekaligus menerjemahkan realitas bisnis ke dalam bahasa teknis perpajakan yang dapat dipahami fiskus. Membantu merancang dan mengimplementasikan kerangka pengendalian risiko pajak internal (tax control framework) bagi Wajib Pajak, khususnya perusahaan besar dan kelompok usaha.

Memfasilitasi komunikasi yang profesional dan berbasis data antara fiskus dan Wajib Pajak, sehingga mengurangi potensi konflik emosional. Menjaga integritas proses cooperative compliance dengan menolak praktik-praktik tidak etis, dan mengarahkan Wajib Pajak untuk mengoptimalkan kewajiban pajaknya dalam koridor hukum.

Jika peran ini dijalankan secara profesional, hubungan fiskus–Wajib Pajak–konsultan pajak dapat berubah menjadi segitiga kemitraan yang saling menguatkan, bukan segitiga konflik.

Penutup: Dari Lawan Menjadi Kawan Kritis

Pertanyaan “FISKUS – Kawan atau Lawan?” pada dasarnya menguji kedewasaan sistem perpajakan suatu negara. Secara konseptual dan normatif, fiskus bukanlah musuh bagi Wajib Pajak, melainkan representasi negara yang mengelola pajak untuk membiayai layanan publik dan pembangunan. Cooperative compliance menawarkan kerangka praktis untuk mewujudkan hal tersebut dalam interaksi nyata.

Melalui pendekatan berbasis kepercayaan, transparansi, dan kolaborasi, fiskus diarahkan untuk berperan sebagai kawan kritis: mitra dialog yang membantu Wajib Pajak mengelola risiko pajak, namun tetap tegas menegakkan aturan bila terjadi pelanggaran. Sebaliknya, Wajib Pajak didorong untuk naik kelas, dari pola menghindar menjadi pola mengelola dan mematuhi kewajiban pajak secara dewasa.

Pada akhirnya, apakah fiskus menjadi kawan atau lawan sangat ditentukan oleh sikap kedua belah pihak. Jika fiskus terus memperbaiki integritas, kompetensi, dan kualitas layanan, sementara Wajib Pajak meningkatkan transparansi, literasi, dan kepatuhan, maka dikotomi “kawan atau lawan” akan perlahan memudar. Yang tersisa adalah hubungan profesional yang saling menghormati, saling mengawasi, dan bersama-sama menjaga keberlanjutan sistem perpajakan demi kepentingan negara dan masyarakat.

Penulis adalah Anggota Departemen Humas, IKPI

Donny Danardono

Email: donnydanardono@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

IKPI Apresiasi Langkah Besar Pengda Banten: Vaudy Starworld Puji Terobosan Kunto Wiyono di Rakorda Sukabumi

IKPI, Sukabumi: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, memberikan apresiasi tinggi kepada Ketua IKPI Pengda Banten, Kunto Wiyono, atas kepemimpinan dan inisiatifnya yang dinilai membawa perkembangan signifikan bagi organisasi.

Di hadapan ratusan peserta Rapat Koordinasi Daerah (Rakorda) IKPI Pengda Banten di Sukabumi, Jawa Barat, Sabtu (6/12/2025) Vaudy menegaskan bahwa capaian Pengda Banten dalam beberapa tahun terakhir bukan hanya menunjukkan pertumbuhan, tetapi juga menandai munculnya model pembinaan organisasi yang efektif.

Menurut Vaudy, Kunto layak mendapat pengakuan nasional karena berhasil mendorong lahirnya tiga cabang baru di wilayah Tangerang. “Di tangan Pak Kunto, kita menyaksikan lahirnya Cabang Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, dan Tangerang Selatan. Ini bukan pencapaian kecil, tetapi bukti nyata kerja ikhlas untuk memajukan organisasi,” ujarnya.

Tak berhenti di situ, Vaudy mengungkapkan bahwa sejak pelantikan Pengda Banten dan tiga cabangnya beberapa waktu lalu, ia sudah mendorong pembentukan Cabang Serang. 

(Foto: Istimewa)

“Saat pelantikan, saya sampaikan agar segera dibentuk Cabang Serang, karena Pengda Banten adalah satu-satunya pengda yang belum memiliki cabang di ibu kota provinsi,” jelasnya. Dorongan tersebut kembali ditegaskan dalam Rakorda sebagai bagian dari peta penguatan organisasi.

Ia menambahkan bahwa rencana Kunto untuk mewujudkan Cabang Serang sejalan dengan visi nasional IKPI dan menjadi bagian dari upaya memperkuat keberadaan organisasi di pusat-pusat aktivitas perpajakan.

Vaudy menilai terobosan-terobosan tersebut menjadi contoh nyata bagaimana peran pengurus daerah dapat memperkuat struktur organisasi secara nasional. Ia berharap semangat serupa dapat ditularkan ke pengda lainnya di seluruh Indonesia.

Ia menekankan bahwa pemekaran organisasi dan pembentukan cabang baru bukan sekadar agenda administrasi, melainkan strategi penting untuk memperluas jangkauan layanan IKPI kepada wajib pajak di berbagai daerah. Semakin dekat cabang IKPI dengan komunitas wajib pajak, semakin besar pula kontribusinya dalam meningkatkan kepatuhan, literasi, serta kualitas pendampingan perpajakan di lapangan.

Vaudy menilai bahwa secara ideal jumlah cabang IKPI harus sebanding dengan jumlah Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang tersebar di seluruh Indonesia. Dengan mencerminkan distribusi KPP, keberadaan cabang IKPI dapat lebih merata, mudah dijangkau, dan mampu memenuhi kebutuhan wajib pajak, termasuk di daerah yang selama ini masih minim akses terhadap konsultan pajak profesional.

Vaudy juga menegaskan bahwa perluasan jaringan cabang merupakan investasi jangka panjang bagi keberlanjutan organisasi. “Ketika struktur kita kuat di daerah, maka kontribusi IKPI terhadap sistem perpajakan nasional juga akan semakin besar,” ujarnya.

Ia berkomitmen bersama untuk terus memperkuat peran cabang-cabang IKPI, baik yang sudah ada maupun yang akan dibentuk, demi memberikan layanan terbaik bagi wajib pajak serta mendukung administrasi perpajakan yang lebih modern, inklusif, dan berkeadilan. (bl)

IKPI Sumbagut Jajaki Kerja Sama Strategis dengan Kanwil DJP Aceh

IKPI, Aceh: Upaya memperluas jaringan organisasi konsultan pajak terus dilakukan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Pengda Sumatera Bagian Utara (Sumbagut). Salah satu langkah pentingnya diwujudkan melalui kunjungan Sekretaris IKPI Sumbagut, Lai Han Wie, ke Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Aceh di GKN Gedung B, Banda Aceh, baru-baru ini.

Kedatangan Lai Han Wie mendapat sambutan hangat dari Kepala Kanwil DJP Aceh, Paryan, beserta jajaran pejabat yang membidangi kerja sama dan hubungan masyarakat, yaitu Agung Saptono Hadi, Iswadi Idris, dan Rifqi Mu’afa. 

Dalam pertemuan tersebut, IKPI menegaskan keseriusannya hadir dan berkontribusi di Aceh. Lai Han Wie menyampaikan bahwa daerah ini memiliki potensi besar, baik dari sisi ekonomi maupun pengembangan profesi konsultan pajak.

“Aceh punya potensi yang sangat besar. Kami melihat kebutuhan akan konsultan pajak yang profesional semakin meningkat. Karena itu, IKPI ingin hadir bukan hanya sebagai organisasi, tetapi sebagai mitra yang bisa memberikan nilai tambah bagi otoritas pajak dan masyarakat,” ujar Lai Han Wie.

Ia menambahkan bahwa perluasan cabang IKPI ke Aceh bukan sekadar ekspansi administratif, tetapi bagian dari komitmen untuk memperkuat kapasitas profesi konsultan pajak di berbagai wilayah.

“Kami ingin memastikan konsultan pajak di Aceh memiliki wadah yang jelas, terstruktur, dan dapat mendukung peningkatan kompetensi. Dengan begitu, layanan yang diberikan kepada masyarakat juga semakin berkualitas,” lanjutnya.

Salah satu poin penting dalam pembahasan adalah ajakan kepada para konsultan pajak yang telah berpraktik di Banda Aceh namun belum bernaung dalam organisasi profesi mana pun. Menurut Lai Han Wie, bergabung dalam organisasi resmi tidak hanya penting dari sisi profesionalisme, tetapi juga untuk memperluas jaringan pengetahuan, pelatihan, dan pembinaan yang berkelanjutan.

“Masih banyak konsultan pajak di Banda Aceh yang bekerja sendiri-sendiri. Kami berharap mereka bisa bergabung dengan IKPI agar ekosistem profesi ini semakin hidup dan saling mendukung,” ungkapnya.

Dari pihak Kanwil DJP Aceh, respon yang diberikan cukup positif. Diskusi mengerucut pada peluang kolaborasi yang bisa dilakukan, mulai dari kegiatan edukasi perpajakan, pelatihan bersama, hingga langkah-langkah penguatan kepatuhan wajib pajak di wilayah Aceh.

Pertemuan yang berlangsung hampir dua jam itu ditutup dengan komitmen bersama untuk menindaklanjuti rencana yang telah dibahas. Baik IKPI Sumbagut maupun Kanwil DJP Aceh sepakat bahwa kolaborasi antara organisasi profesi dan otoritas pajak merupakan hal penting untuk memperkuat sistem perpajakan yang sehat dan berkelanjutan.

Kunjungan ini menjadi momentum awal bagi IKPI Pengda Sumbagut dalam memperluas jejaring organisasi ke Aceh. Selain mempererat hubungan dengan otoritas pajak, langkah ini juga membuka ruang baru bagi para konsultan pajak di Aceh untuk berkembang dalam wadah profesi yang resmi dan kredibel.

Dengan semangat kolaborasi dan visi jangka panjang, IKPI menegaskan tekadnya untuk hadir lebih dekat dengan para profesional perpajakan di Aceh sekaligus mendukung pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi melalui optimalisasi penerimaan negara. (bl)

IKPI Ingatkan Wajib Pajak Lebih Selektif Memilih Kuasa Hukum Saat Pengalihan Tata Kelola Pengadilan Pajak

IKPI, Jakarta: Ketua Departemen Advokasi dan Bantuan Hukum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Andreas Budiman, menegaskan pentingnya wajib pajak untuk semakin selektif dalam memilih kuasa hukum atau kuasa wajib pajak. Penegasan ini disampaikan sebagai respons atas proses peralihan tata kelola Pengadilan Pajak dari Kementerian Keuangan ke Mahkamah Agung. Pasalnya, hal tersebut akan membawa perubahan besar yang akan memiliki standar baru dalam proses beracara.

Andreas menjelaskan bahwa peralihan ini merupakan bukti bahwa sistem perpajakan bersifat dinamis dan terus berkembang. Implikasi dari perubahan tersebut bukan hanya pada institusi, tetapi juga pada kualitas para pemegang izin kuasa hukum yang berpraktik di Pengadilan Pajak.

“Ketika tata kelola ini dialihkan, akan muncul standar dan mekanisme baru. Para pemegang izin kuasa hukum harus siap meningkatkan kompetensinya. Tidak boleh ada penurunan kualitas, terutama karena mereka adalah representasi para pencari keadilan,” ujarnya, Sabtu (6/12/2025).

Ia menegaskan, wajib pajak harus memastikan kuasa hukum yang dipilih memiliki kompetensi yang baik, memahami regulasi terbaru, serta memenuhi seluruh persyaratan formal untuk beracara di bawah struktur baru Mahkamah Agung. Kesalahan memilih kuasa hukum berpotensi merugikan wajib pajak dalam proses sengketa.

Perjuangkan Anggota IKPI

Di sisi lain, IKPI berkomitmen memperjuangkan anggotanya yang selama ini aktif berpraktik di Pengadilan Pajak agar tetap dapat melanjutkan peran mereka dalam sistem peradilan yang baru. Andreas menjelaskan bahwa organisasi secara konsisten mengawal proses transisi, memastikan konsultan pajak yang kompeten tetap mendapatkan ruang untuk beracara.

“Pengalihan tata kelola tidak boleh menghambat profesional yang sudah berpengalaman. Justru kualitas mereka harus semakin diperkuat agar wajib pajak mendapat pendampingan hukum yang layak,” kata Andreas.

Ia kembali mengingatkan pentingnya kehati-hatian wajib pajak: “Wajib pajak sebagai pencari keadilan jangan sampai dirugikan karena salah memilih kuasa hukum. Pilihlah yang kompeten, terverifikasi, dan memahami perubahan tata kelola yang sedang berlangsung.” (bl)

DJP Tegaskan SP2DK Berbasis Analitik, Bukan Instrumen Penagihan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali menegaskan bahwa seluruh penerbitan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) dilakukan melalui proses analisis berbasis data, bukan sebagai bentuk penagihan pajak. Penjelasan ini disampaikan Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, dikutip Jumat (5/12/2025).

Rosmauli mengungkapkan, sepanjang 2024 KPP di seluruh Indonesia menangani 688 ribu SP2DK—jumlah yang mencakup penerbitan tahun berjalan serta penyelesaian dokumen dari tahun sebelumnya. Dari serangkaian klarifikasi tersebut, tindak lanjut yang diterbitkan lewat Laporan Hasil Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (LHP2DK) memberi kontribusi penerimaan sebesar Rp37,27 triliun.

“SP2DK adalah ruang dialog antara DJP dan Wajib Pajak ketika ada data yang perlu dikonfirmasi. Ini bukan surat tagihan dan tidak dikaitkan dengan naik-turunnya penerimaan pajak,” ujar Rosmauli.

Ia menjelaskan, mekanisme pengawasan kepatuhan kini dijalankan dengan pendekatan analitik. Sistem DJP akan menandai potensi ketidaklengkapan kewajiban pajak. Berdasarkan temuan itu, petugas mempertimbangkan apakah perlu diterbitkan SP2DK agar Wajib Pajak memberikan klarifikasi.

Rosmauli menambahkan bahwa DJP tidak menetapkan target jumlah SP2DK untuk setiap kantor pelayanan pajak. Namun, dokumen tersebut merupakan bagian dari kegiatan Pengawasan Kepatuhan Material (PKM) yang didesain untuk memastikan kewajiban perpajakan dipenuhi dengan benar. (alf)

KPP Pratama Bantaeng Sita Aset PT KPS Senilai Rp2,1 Miliar, Tujuh Rumah Komersial Dipasang Segel

IKPI, Jakarta: Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Bantaeng mengambil langkah tegas terhadap penunggak pajak dengan menyita aset milik PT KPS di Timbuseng, Kecamatan Pattallassang, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Aset yang disita berupa tujuh unit rumah komersial dengan nilai taksiran mencapai Rp2,1 miliar.

Dalam keterangan yang diterima di Makassar, Kepala KPP Pratama Bantaeng Muhammad Reza Fahmi menyampaikan apresiasi atas sikap kooperatif perusahaan selama proses penyitaan berlangsung.

“Alhamdulillah, PT KPS sangat kooperatif dalam pelaksanaan penyitaan ini. Seluruh prosedur telah dijalankan sesuai ketentuan penagihan perpajakan,” ujarnya baru-baru ini.

Proses Penyitaan Sesuai Prosedur

Penyitaan dilakukan oleh dua Juru Sita Pajak Negara (JSPN), disaksikan oleh Kepala KPP Pratama Bantaeng, Kepala Seksi Pemeriksaan, Penilaian, dan Penagihan (Seksi P3), serta Account Representative yang menangani wajib pajak tersebut.

Tindakan ini dilaksanakan berdasarkan surat perintah penyitaan sebagai konsekuensi atas surat ketetapan dan surat tagihan pajak yang telah melewati jatuh tempo.

Sebelum masuk ke tahap penyitaan, KPP Pratama Bantaeng telah melakukan berbagai upaya penagihan aktif, termasuk penyampaian surat teguran, penerbitan surat paksa, hingga pemblokiran rekening wajib pajak. Namun hingga batas waktu yang diberikan, utang pajak belum juga dilunasi.

“Harapan kami, langkah ini bisa meningkatkan kesadaran wajib pajak bahwa utang pajak yang sudah inkrah wajib segera dilunasi,” kata Reza Fahmi.

DJP: Penyitaan untuk Menjaga Keadilan

Kepala Bidang Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Kanwil DJP Sulselbartra Sigit Purnomo menegaskan bahwa penegakan hukum perpajakan tidak dimaksudkan untuk menghukum, tetapi untuk menjaga keadilan bagi wajib pajak yang selama ini patuh.

“Seluruh proses dilakukan secara transparan dan akuntabel. Penegakan hukum bertujuan memastikan standar kepatuhan yang sama bagi semua pihak,” tegasnya.

Aset Dipasang Segel, Selanjutnya Bisa Dilelang

Proses penyitaan berjalan tertib hingga penandatanganan berita acara oleh Komisaris PT KPS, juru sita, serta dua saksi. JSPN kemudian memasang segel pada objek sitaan sebagai tanda bahwa aset tersebut tidak boleh dipindahtangankan selama masa penyitaan berlangsung.

Apabila utang pajak tetap tidak dilunasi dalam jangka waktu yang ditetapkan, aset tersebut akan diajukan untuk dilelang melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).

Dengan adanya tindakan ini, KPP Pratama Bantaeng menegaskan komitmennya menjalankan penegakan hukum pajak secara tegas, terukur, dan sesuai peraturan. (alf)

Jepang Bahas Pajak Khusus Pertahanan, Publik Mulai Gelisah

IKPI, Jakarta: Pemerintah Jepang tengah menyusun rencana penerapan 防衛特別所得税 (Boue Tokubetsu Shotokuzei) atau Pajak Khusus Pertahanan sebagai sumber pendanaan baru untuk memperkuat sektor keamanan negara. Wacana ini mencuat seiring target Perdana Menteri Sanae Takaichi yang ingin meningkatkan belanja pertahanan hingga 2 persen dari PDB, mengikuti standar negara-negara maju.

Dalam rancangan awal, pemerintah mempertimbangkan penambahan sekitar 1 persen pada pajak penghasilan pribadi mulai tahun fiskal 2027. Namun, waktu penerapannya belum diputuskan karena penyusunan teknis dan perdebatan politik masih berjalan. Seorang politisi senior Jepang mengungkapkan bahwa usulan ini langsung memicu reaksi keras.

”Sebagian masyarakat menyebutnya sebagai pajak militer. Penolakannya cukup kuat,” katanya dikutip, Jumat (5/12/2025).

Selain pungutan individu, pemerintah juga menyiapkan 防衛特別法人税, pajak khusus yang akan dikenakan pada perusahaan untuk menopang biaya pertahanan sebelum skema untuk warga diberlakukan.

Rencana ini muncul di tengah meningkatnya ketegangan di Asia Timur. Isu Taiwan, perselisihan di Laut China Timur, serta aktivitas militer Tiongkok dan Korea Utara membuat Jepang menilai kebutuhan anggaran keamanan harus ditambah secara signifikan. Pemerintah memperkirakan kebutuhan tambahan mencapai triliunan yen per tahun sehingga pembiayaan baru dinilai tak terhindarkan.

Meski begitu, keputusan final belum diambil. Pemerintah masih menimbang dampak ekonomi dan tingkat penerimaan publik, terutama karena kebijakan ini akan langsung menambah beban pajak rumah tangga dan dunia usaha. (alf)

Pengurus Pusat IKPI Dorong Perubahan AD/ART: Pembentukan Pengda Lebih dari Satu di Tiap Provinsi

IKPI, Jawa Timur: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld menyampaikan gagasan besar terkait masa depan organisasi saat menghadiri Rapat Koordinasi Daerah IKPI Pengda Jawa Timur, Jumat (5/12/2025). Dalam forum tersebut, ia mengungkapkan bahwa Pengurus Pusat tengah menyiapkan usulan perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) untuk dibahas pada 2028/2029 untuk disahkan pada Kongres 2029.

Salah satu poin paling strategis adalah rencana memperluas struktur kepengurusan daerah. Jika selama ini satu provinsi atau gabungan provinsi hanya memiliki satu Pengurus Daerah (Pengda), nantinya satu provinsi dapat memiliki lebih dari satu Pengda.

(Foto: DOK. IKPI Pengda Jawa Timur)

“Ke depan, kami ingin struktur organisasi IKPI lebih adaptif dengan dinamika wilayah. Karena itu, usulannya adalah satu provinsi bisa memiliki dua atau tiga Pengda,” ujarnya di hadapan ratusan anggota IKPI se-Jawa Timur.

Vaudy menjelaskan, pembagian tersebut akan menyesuaikan cakupan kerja Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dengan 34 Kantor Wilayah DJP yang tersebar di seluruh Indonesia—beserta ratusan kantor vertikal seperti KPP Wajib Pajak Besar, KPP Madya, KPP Pratama, hingga KP2KP, ia menilai struktur IKPI harus mampu mengikuti pola wilayah perpajakan agar kolaborasi dan pembinaan anggota lebih efektif.

(Foto: DOK. IKPI Pengda Jawa Timur)

Melalui skema baru ini, ia berharap pada periode kepengurusan 2029–2034 dapat lahir susunan baru, misalnya Pengda Jawa Timur 1 hingga Jawa Timur 3 karena di Jawa Timur ada 3 Kanwil DJP, demikian pula Jawa Barat ada 3 Kanwil ke depan diharapkan ada 3 Pengda, nanti DKJ dan daerah lainnya akan mengikuti Kanwil DJP.

“Dengan mengikuti wilayah Kanwil DJP, Pengda di masing-masing provinsi bisa bekerja lebih fokus, menjangkau anggota lebih dekat, dan membangun hubungan yang lebih kuat dengan otoritas pajak,” tambahnya.

(Foto: DOK. IKPI Pengda Jawa Timur)

Saat ini, AD/ART IKPI menetapkan bahwa satu Pengda membawahi satu provinsi atau gabungan provinsi. Namun Vaudy menilai struktur tersebut tidak lagi sepenuhnya sejalan dengan kebutuhan organisasi, yang jumlah anggota dan aktivitasnya terus berkembang.

Usulan perubahan ini akan mulai diformulasikan oleh Pengurus Pusat dalam beberapa tahun ke depan sebelum dibahas resmi pada Mukernas 2028 untuk disahkan di Kongres 2029. Jika disetujui, kebijakan tersebut akan menjadi langkah restrukturisasi terbesar dalam tubuh IKPI selama beberapa dekade terakhir.

Hadir dalam acara tersebut:

1. Ketua Umum IKPI, Vaudy Starworld

2. Wakil Ketua Umum IKPI, Nuryadin Rahman

3. Wakil Ketua Departemen Pengembangan Organisasi, IKPI, Syafrianto. (bl)

Kanwil DJP Sumut I Serahkan Dua Tersangka Kasus Faktur Pajak Fiktif ke Kejaksaan

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Sumatera Utara I resmi menyerahkan dua tersangka berinisial HS dan AZA kepada Kejaksaan Negeri setelah berkas perkara dugaan tindak pidana perpajakan dinyatakan lengkap (P21). Penyerahan dilakukan pada Jumat (5/12/2025), disertai sejumlah barang bukti yang diperoleh selama proses penyidikan.

Dalam keterangan pers yang diterima, kedua tersangka diduga terlibat dalam penerbitan serta penggunaan faktur pajak fiktif yang dipakai untuk menurunkan setoran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) CV MSS pada periode 1 Januari 2017 hingga 31 Desember 2020. Modus ini dilakukan dengan cara mengkreditkan pajak masukan dari faktur yang tidak berdasar pada transaksi nyata.

Barang bukti yang diserahkan meliputi dokumen perpajakan, catatan transaksi, serta berbagai alat bukti lain yang menguatkan dugaan pelanggaran. Penyidik menyimpulkan bahwa tindakan tersebut melanggar ketentuan pidana perpajakan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

HS diduga melanggar Pasal 39A huruf a UU KUP karena menggunakan faktur pajak yang tidak sesuai transaksi sebenarnya untuk pengkreditan pajak masukan melalui CV MSS. Sementara itu, AZA dikenai Pasal 39A huruf a jo. Pasal 43 ayat (1) UU KUP atas perannya sebagai pihak yang menerbitkan faktur fiktif tersebut.

Kanwil DJP Sumatera Utara I menegaskan bahwa penanganan kasus ini merupakan bagian dari upaya berkelanjutan untuk menindak penyimpangan perpajakan, terutama praktik faktur pajak fiktif yang kerap digunakan untuk mengurangi kewajiban PPN secara tidak sah. DJP juga mengingatkan para pelaku usaha untuk selalu mematuhi aturan dan menghindari tindakan yang dapat berujung pada sanksi pidana serta kerugian negara.

Setelah tahap penyerahan ini, perkara akan dilanjutkan oleh jaksa penuntut umum menuju proses penuntutan hingga persidangan di pengadilan. (alf)

Kanwil DJP Sumut II Blokir 107 Rekening Penunggak Pajak, Tunggakan Capai Rp33,9 Miliar

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Sumatera Utara II bersama delapan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di jajarannya melakukan aksi penagihan aktif dengan memblokir 107 rekening milik wajib pajak dan/atau penanggung pajak yang masih memiliki tunggakan. Total nilai tunggakan yang dibidik mencapai sekitar Rp33,9 miliar.

Tindakan tegas tersebut dilaksanakan berlandaskan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) serta Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 61 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak atas Jumlah Pajak yang Masih Harus Dibayar. Regulasi ini memberikan kewenangan kepada DJP untuk melakukan penagihan aktif, termasuk pemblokiran rekening, guna menjamin pelunasan utang pajak.

“Kami melakukan blokir serentak terhadap 107 wajib pajak maupun penanggung pajak yang masih belum melunasi utang pajaknya,” ujar Kepala Bidang Pemeriksaan, Penagihan, Intelijen, dan Penyidikan Kanwil DJP Sumut II, Rundy Satria Nugraha, dalam keterangan tertulis, Jumat (5/12/2025).

Rundy menjelaskan, para penunggak pajak tersebut berasal dari berbagai sektor usaha dan jenis pajak. Hal ini menunjukkan komitmen DJP untuk menegakkan hukum secara adil dan tidak tebang pilih. Pemblokiran rekening dilakukan melalui kerja sama dengan 27 Lembaga Jasa Keuangan (LJK) sebagaimana diatur dalam PMK 61/2023. Berdasarkan Pasal 27, DJP berwenang mengajukan permintaan tertulis kepada bank untuk memblokir dana sebesar jumlah utang pajak berikut biaya penagihan yang masih terutang.

Sebelum sampai pada tahap pemblokiran rekening, aparat pajak terlebih dahulu menempuh seluruh prosedur penagihan yang diamanatkan aturan, mulai dari penerbitan surat teguran, pemberitahuan surat paksa, hingga penerbitan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP). Pemblokiran dilakukan jika wajib pajak tetap tidak menunjukkan itikad baik melunasi kewajiban setelah seluruh tahapan tersebut ditempuh.

Melalui aksi blokir serentak ini, Kanwil DJP Sumut II menegaskan keseriusannya dalam mengamankan penerimaan negara sekaligus mendorong peningkatan kepatuhan sukarela. Wajib pajak yang telah menerima pemberitahuan pemblokiran diimbau segera menghubungi KPP terkait dan menyelesaikan tunggakan untuk menghindari tindakan penagihan lanjutan sesuai ketentuan perundang-undangan.

Rundy menambahkan, pemblokiran rekening tidak bersifat permanen. “Rekening dapat dibuka kembali setelah wajib pajak menyelesaikan kewajiban perpajakannya sesuai ketentuan dalam PMK 61/2023,” tuturnya. Ia berharap, langkah tegas ini menjadi pengingat bagi wajib pajak mengenai pentingnya memenuhi kewajiban perpajakan demi mendukung pembiayaan pembangunan nasional dan penyediaan layanan publik. (alf)

id_ID