Eksistensi Modal Sosial Atas Kewajiban PPN Dalam Menjaga Kelangsungan Usaha

ABSTRACT

Berdasarkan uraian diatas bahwa modal sosial di Indonesia sangat berpengaruh besar bagi pengusaha kena pajak terhadap perubahan regulasi PPN. Adanya keberagaman pada masyarakat Indonesia ini membuat peneliti sangat tertarik untuk membahasnya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tentang respon pelaku usaha atas peraturan perpajakan khususnya PPN yang dilakukan oleh PKP dalam upaya mempertahankan usahanya dengan memaksimalkan nilai-nilai modal sosial yang dimiliki.Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologis. Penelitian dilakukan pada empat distrik yang berbeda di Provinsi Nusa tenggara Timur Larantuka, Waiwerang, Lembata & Maumere. Untuk memperoleh informasi peneliti melakukan pengamatan lapangan dan wawancara. Informan memanfaatkan modal sosial yang terbentuk melalui interaksi sosial dengan relasinya dalam berbagai tindakan sosial baik dengan masyarakat sekitar, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan pelanggan. Hubungan ini bertujuan untuk mewujudkan cita-cita bersama dalam kegiatan ekonomi. Sebagai upaya menjaga kelangsungan usaha pemanfaatan modal sosial yang terbentuk melalui interaksi sosial berupa hubungan kekerabatan, kepercayaan, nilai dan norma.

Keywords: PKP, VAT, Social Capital, Business Continuity

PENDAHULUAN

Sejak tahun 1984 Indonesia telah menerapkan Self Assessment System yang berarti memberikan kewenangan dan kepercayaan penuh kepada wajib pajak mulai dari mencatat, menghitung, membayar dan melaporkan pajaknya. Pemberlakuan self assesment system ini bertujuan kepada para Wajib Pajak mempunyai tanggung jawab, kesadaran diri dan kejujuran dalam melakukan kewajibannya agar patuh pada hukum perpajakan. Selain itu, self assesment system juga meningkatkan profesionalisme aparatur perpajakan, meningkatkan keterbukaan administrasi perpajakan dan meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak. Wajib Pajak tidak secara sukarela membayar pajak sehingga mereka melakukan berbagai tindakan untuk mengurangi beban pajak mereka (Celikay, 2020).

Setidaknya perilaku ketidakpatuhan wajib pajak ada empat yaitu sikap, norma subjektif, kewajiban moral, dan kontrol perilaku yang dipersepsikan artinya perilaku wajib pajak juga terdapat norma-norma sosial yang berlaku di sekitarnya terutama bagi para pelaku usaha yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) terhadap kewajibannya atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PKP wajib mengenakan pajak atas penyerahan barang dan jasa dengan konsumen, maka dari situ timbul kenaikan harga jual yang diterapkan. Hal tersebut memungkinkan Wajib pajak akan melakukan perencanaan pajak dengan tujuan untuk meminimalkan beban PPN wajib pajak.

Kecenderungan seseorang dalam berperilaku terdapat adanya kepercayaan atau keyakinan dalam diri individu terhadap seseorang yang menjadi referensinya, misalnya rekan, sanak saudara, serta kerabat terdekat (Sinarwati et al., 2019). Sikap percaya ini dapat menciptakan hubungan individu dengan individu lain, kelompok dan masyarakat yang lebih luas, sehingga hubungan ini merupakan salah satu aspek dalam modal sosial.

Dalam modal sosial, kepercayaan menjadi elemen yang penting karena didalamnya terdapat ikatan sosial dan saling percaya antar individu dengan lembaga. Hal ini dapat tercermin dari kualitas pelayanan publik yang merupakan salah satu fungsi penting disamping regulasi yang bisa meningkatkan kepatuhan wajib pajak, dalam pemenuhan kebutuhan pelayanan bagi masyarakat dapat menumbuhkan kesaling-percayaan sebagai upaya mengelola modal sosial yang bermanfaat untuk mendukung keberlanjutan usaha.

Indeks Modal Sosial yang ada Indonesia tentunya beragam, hal ini disebabkan karena adanya berbagai macam ras, suku, dan budaya di setiap wilayah (Sinarwati et al., 2019). Keanekaragaman budaya tersebut menyebabkan adanya perbedaan perilaku antara masyarakat di lingkungan kota dengan masyarakat di lingkungan pedesaan. Misalnya kebiasaan masyarakat di suatu tempat yang menjunjung tinggi religiusitas akan berbeda dengan kebiasaan masyarakat di tempat lainnya juga berlaku dalam urusan perpajakan. Namun seiring dengan berkembangnya norma sosial di masyarakat Indonesia, maka dapat berdampak pada perilaku individu sehingga juga berdampak secara khusus pada perilaku kepatuhan pajak di Indonesia (Permata & Kristanto, 2020). Namun jika para wajib pajak dengan sikap moral tertentu akan beranggapan bahwa pajak merupakan sesuatu yang tidak penting, sehingga dapat menjalankan penghindaran pajak (Zhang & Cain, 2017). Dengan begitu wajib pajak akan terus berusaha mencari celah membayarkan pajak dalam jumlah yang sekecil-kecilnya dan menghindari pembayaran pajak yang besar.

Berdasarkan uraian diatas bahwa modal sosial di Indonesia sangat berpengaruh besar bagi pengusaha kena pajak terhadap perubahan regulasi PPN. Adanya keberagaman pada masyarakat Indonesia ini membuat peneliti sangat tertarik untuk membahasnya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tentang respon pelaku usaha atas peraturan perpajakan khususnya PPN yang dilakukan oleh PKP dalam upaya mempertahankan usahanya dengan memaksimalkan nilai-nilai modal sosial yang dimiliki.

STUDI LITERATUR

Peningkatan kepatuhan sukarela terhadap undang-undang perpajakan suatu negara tampaknya paling erat kaitannya dengan demokrasi yang sehat di mana watak budaya dan norma hukum mendorong toleransi, kerja sama, dan rasa tanggung jawab pribadi dan sosial untuk orang lain (Santoso et al., 2019).

Interaksi sosial baik bersifat ekonomi ataupun non-ekonomi ditentukan dengan adanya kepercayaan dari pihak-pihak yang ada. Terdapat potensi kelompok dan pola hubungan antar individu dalam suatu kelompok dan antar kelompok yang menjadi norma kelompok tersebut (Kragh, 2016). Modal sosial khususnya keragaman budaya yang dimiliki oleh pengusaha akan menimbulkan perbedaan sikap terhadap perpajakan (Permata & Kristanto, 2020).

Modal sosial menurut Putnam (2015) bahwa tiap individu dalam kelompok telah memiliki ikatan timbal balik dan kepercayaan. Dengan adanya modal sosial ini maka seseorang akan memiliki beberapa keuntungan atau privilege. Yong et al., (2019) berpendapat kelompok dapat menjadi sumber keuangan dan sumber daya manusia untuk berwirausaha dikarenakan adanya hubungan kekerabatan. Teori norma sosial berpendapat bahwa perilaku individu sering kali dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana anggota lain dalam suatu kelompok berpikir dan bertindak termasuk dalam urusan perpajakan (Salmivaara et al., 2021).

Peran modal sosial dapat dikatakan penting untuk kehidupan bermasyarakat lantaran merupakan aset sosial yang memungkinkan individu dan masyarakat bekerja lebih efisien. Menurut Putnam (2015) modal sosial merupakan komponen organisasi sosial yang meliputi kepercayaan, norma, serta jaringan yang dapat menumbuhkan efisiensi dalam bermasyarakat.

Modal sosial mendorong penguatan individu, kolektifitas, organisasi dan negara dalam menjalankan interaksi yang berulang melalui jaringan, kepercayaan dan norma. Jaringan membentuk modal sosial sebagai saluran arus informasi yang bermanfaat untuk memfasilitasi pencapaian tujuan (Baykal & Hesapci, 2022).

Robert D. Putnam menganalogikan modal sosial sama dengan modal sosial lainnya, seperti modal fisik dan pendidikan sebagai modal manusia. Menurut Putnam (2015) ide inti dari teori modal sosial adalah bahwa jaringan sosial memiliki nilai. Jaringan yang membentuk modal sosial juga berfungsi sebagai saluran informasi yang memfasilitasi pencapaian tujuan yang hendak dicapai. Kepercayaan, norma dan jaringan sosial adalah konsep inti dalam modal sosial (Baykal & Hesapci, 2022).

Putnam (2015) mendefinisikan modal sosial sebagai suatu fitur organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma, dan jaringan yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan terkoordinasi. Modal sosial mengacu pada hubungan antara individu-individu serta jaringan sosial dan norma-norma juga kepercayaan sehingga ia beranggapan bahwa jejaring sosial memiliki nilai dan kontak sosial mempengaruhi produktivitas individu dan kelompok (Putnam, 2015)

METODE

Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologis. Dengan metode ini penulis bermaksud mengumpulkan informasi historis, mengamati fenomena dan mendegarkan langsung pengalaman-pengalaman lapangan individual tertentu berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti oleh penulis. Penelitian dilakukan pada empat distrik yang berbeda di Provinsi Nusa tenggara Timur; Larantuka, Waiwerang, Lembata & Maumere yang dilaksanakan pada bulan Januari 2021 sampai dengan bulan Juli 2022. Untuk memperoleh informasi peneliti melakukan pengamatan lapangan dan wawancara kepada informan yang relevan.

Wawancara dilakukan dengan persetujuan informan dan dilakukan lebih dari satu kali dengan waktu dan kondisi yang berebeda, hal ini peneliti lakukan selain karena keterbatasan waktu dari para informan juga sebagai bahan evaluasi dan analisis singklonisasi atas informasi yang diperoleh dari fenomena dan pertanyaan penelitian. Namun dikarenakan kondisi pandemi covid-19 yang sedang terjadi maka dalam proses wawancara ini dilakukan secara daring yakni melalui aplikasi zoom virtual meeting (daring) namun untuk beberapa sesi wawancara berikutnya peneliti melakukan wawancara secara tatap muka (luring) dan melihat langsung kondisi lapangan dengan tetap menjaga protokol kesehatan.

Metode Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis data kualitatif lebih kepada fenomenologi yang terjadi pada lingkungan target penelitian. Jenis Fenomenologi tidak terbatas pada kehidupan dari individu tetapi lebih pada konsep atau fenomena. Sebuah studi fenomenologis menggambarkan makna bagi beberapa individu mengenai pengalaman bersama mereka tentang sebuah konsep atau fenomena Creswell (2015) dalam bentuk deskriptif dengan fokus penelitian berkaitan atas fenomena perubahan regulasi PPN sebagai PKP dalam memanfaatkan modal sosial yang dimiliki.

HASIL

Eksistensi Modal Sosial

Modal sosial dianggap sebagai aset penting di kehidupan bermasyarakat, sehingga dalam konteks ini modal sosial tidak diartikan hanya sebatas modal berbentuk uang atau harta kekayaan, melainkan keseluruhan sumber daya berunsur sosial yang dimiliki masyarakat terurama bagi para pelaku usaha. Hubungan sosial merupakan tindakan saling mengakui dan saling mengenal antar manusia, sehingga dalam hubungan tersebut dapat terbangun relasi, kepercayaan, solidaritas, dan membantu dalam menyelesaikan masalah. Hal tersebut juga kemudian akan memberikan dampak terhadap fenomena-fenomena yang akan dihadapi oleh masyarakat khususnya bagi para pelaku usaha dalam menghadapi beberapa tantangan (Vecchio et al., 2017). Salah satu tantangan yang akan dibahas adalah tantangan para pelaku usaha dalam menghadapi regulasi pajak. Dalam hal ini, para pelaku usaha khususnya yang sudah bertatus PKP harus  bersaing dengan keadaan pasar dan harga setelah dikukuhkan sebagai PKP. Untuk tetap menarik konsumen, maka salah satu harapan yang dimiliki oleh para pelaku usaha adalah modal sosial

Modal sosial akan terbentuk jika terdapat jaringan, kepercayaan, norma, dan pemahaman bahasa dan istilah dalam suatu hubungan. Modal sosial dapat dijadikan sebagai strategi bagi para pelaku usaha dalam memanfaatkan hubungan baik sebagai pembentuk sebuah jaringan dalam usaha dengan harapan modal sosial yang tinggi dapat mempertahankan konsumen. Menurut Putnam (2015) Setiap individu dalam kelompok telah memiliki ikatan timbal balik dan kepercayaan.

Menjaga kepercayaan konsumen penting dilakukan oleh para pelaku usaha karena menjadi sebuah fondasi dari hubungan interaksi antara penjual dengan pembeli terutama bagi pengusaha dengan status pengusaha kena pajak atas harga barang yang dijual lebih tinggi dari pada penjual lain dikarenakan penambahan harga yang lebih tinggi dampak dari penambahan tarif PPN terhadap harga jual. Dampak harga yang tinggi tersebut pada akhirnya membentuk norma berperilaku para konsumen karena norma muncul dari pertukaran yang saling menguntungkan atau dalam istilah lain dikenal juga hubungan simbiosis mutualisme. Dengan demikian, apabila para pelaku yang terlibat dalam suatu hubungan, tidak adanya sikap saling merugikan dan dirugikan maka modal sosial akan timbul dengan sendirinya.

Secara umum kita mengenal modal sosial yang terdapat di Indonesia dapat tercermin dalam hal budaya gotong royong antar masyarakatnya. Tingginya Indeks modal sosial juga semakin terasa dengan tingkat solidaritas masyarakat dilingkungan tersebut. Modal sosial terjadi melalui hubungan sosial antar sesama manusia serta mengarah kepada norma dan jejaring antar manusia di dalam kelompok atau pada lingkungan sekitar tempat kegiatan usaha beroperasi.

”…penting menjaga hubungan sosial karena mereka merupakan pihak paling penting yang membantu kelancaran usaha saya. Dan menurut saya hubungan baik dengan relasi-relasi ini dapat menjadi jembatan rejeki saya dalam jangka panjang. Karena dengan adanya relasi yang baik, maka usaha saya bisa tetap eksis dan bisa membentuk jaringan usaha di masa depan”. (Informan TK1).

”…Begitupun dengan lingkungan sosial yang tidak bisa saya lihat sebelah mata, karena kita adalah makhluk sosial yang pasti akan membutuhkan orang lain juga, jadi selama saya mampu untuk melakukan hal itu, saya akan memberikan sumbangsi terbaik saya untuk lingkungan sosial saya karena disini tempat saya membangun usaha saya, jadi saya juga punya kewajiban untuk tetap membangun lingkungan sosial saya”. (Informan TK2)

”Bagi saya relasi merupakan hal yang paling penting dalam menjaga keberlangsungan usaha saya, baik relasi secara usaha maupun relasi dengan masyarakat sosial sekitar. Dengan menjaga hubungan relasi yang baik, maka dapat memberikan dampak secara jangka panjang bagi usaha saya”. (Informan HM3)

”Saya pun sering ikut aktif dengan kegiatan-kegiatan kampung, bahkan dengan anak-anak muda di kampung. Begitupun misalnya dengan kegiatan-kegiatan bersih-bersih atau dekat-dekat ini kegiatan 17 san, saya ikut memberikan sumbangan dana juga buat meramaikan kegiatan 17 Agustus besok”. (Informan NS5)

Modal sosial berpotensi memberikan keuntungan berhubungan dalam rangka  memperoleh potensi hidup yang lebih baik dapat ditopang oleh norma yang baik. Berdasarkan hal tersebut, modal sosial dianggap sebagai sumber daya yang berharga dalam relasi antar manusia, yang bermanfaat bagi mereka untuk mengembangkan diri atau kelompoknya.

Oleh karena itu modal sosial mengacu pada keadaan sosial, nilai, norma serta budaya di masyarakat yang mengatur interaksi antar individu atau lembaga dimana modal sosial tertanam juga termasuknya didalamnya adalah tentang bagaimana kultur, budaya serta pengiplementasian sebuah percayaan. Individu wajib memiliki modal sosial yang baik untuk menjalankan kehidupannya sebagai makhluk sosial. Sehingga dalam kehidupan bermasyarakat harus terakit dengan moral tradisional seperti bertanggung jawab terhadap norma dan pekerjaan bersifat jujur serta dapat memegang komitmen.

Interaksi sosial baik bersifat ekonomi ataupun non-ekonomi ditentukan dengan adanya trust atau kepercayaan dari pihak-pihak yang ada (Baykal & Hesapci, 2022). Kepercayaan sebagai keyakinan bahwa hasil seseorang yang ditujukan dengan tindakan akan sesuai dari sudut pandang. Ada interaksi dua arah antara kepercayaan dan kerjasama. Kepercayaan melumasi kerjasama dan kerjasama itu sendiri akan melahirkan kepercayaan. Pemahaman trust meliputi bagaimana para pelaku usaha membangun kepercayaan dengan konsumen dan identifikasi bentuk kepercayaan yang dibangun.

Kepercayaan akan terbangun jika ada hubungan yang erat antar individu, antar individu dengan kelompok, dan antar kelompok dengan alasan tertentu misalnya percaya karena sudah kenal lama atau pernah bekerjasama dengan orang yang sama. Kepercayaan bisa luntur apabila ada salah satu pihak yang tidak menjalankan kewajibannya. Baykal & Hesapci (2022) menggambarkan kepercayaan sebagai kualitas hubungan khusus, yaitu, mitra yang berinteraksi menganggap satu sama lain aspek positif dan motivasi intrinsik untuk mempertahankan hubungan.

Modal Sosial atas Regulasi PPN

Peraturan perpajakan yang mengalami perubahan selalu diikuti dengan berbagai respon termasuk didalamnya adalah mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sesuai dengan fokus pada penelitian ini. Pajak pertambahan nilai menjadi pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang dalam peredarannya yang pengenaannya berkaitan dengan kegiatan jual beli yang dilakukan oleh konsumen dan produsen.

Dinamika regulasi pajak mengharuskan setiap Wajib Pajak beradaptasi di lingkungan internal dan eksternal, namun dengan peraturan perpajakan yang ada, memungkinkan bagi beberapa wajib pajak untuk melakukan berbagai cara agar tetap diuntungkan. Tindakan tersebut muncul dikarenakan adanya faktor dari stimulus lingkungan, dorongan fisiologis, genetis, pengalaman, dan usia. Faktor-faktor tersebut dapat diukur dan diobservasi dari pelaku usaha itu sendiri. Para informan selalu mencari kepentingannya sendiri, oleh karena itu pajak akan dianggap sebagai biaya yang dapat dihindari, kecuali kemungkinan terdeteksi tinggi dan beratnya denda.

Menurut Permata & Kristanto (2020) bahwa kontrol perilaku berpengaruh terhadap sikap perpajakan. Selain itu, tingkat kepercayaan terhadap pihak berwenang juga berpengaruh terhadap sikap wajib pajak karena unsur modal sosial tidak hanya terbatas pada perilaku individu tetapi juga dapat dipengaruhi dan mempengaruhi oleh pihak yang berkaitan dengan urusan pelaksanaan perpajakan (pertugas pajak) maupun dari rekan sesama profesi di lingkungan sekitar. Apabila didalam lingkungan masyarakat terdapat norma yang saling berbalas, membantu, serta terjalin kerjasama yang baik melalui jaringan sosial masyarakat termasuk dalam keputusan perpajakan.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi beban yang dimungkinkan untuk dilakukan penghindaran oleh pengusaha kena pajak, karena menilai pengenaan PPN 10% yang tidak berkeadilan dan tidak memihak kepada para PKP, maka hal tersebut mendorong pelaku usaha untuk mencoba mencari celah-celah dalam regulasi PPN yang dapat dimanfaatkan dengan tujuan memaksimalkan pendapatan dengan tetap mempertimbangankan resiko yang akan terjadi.

”Sejauh ini saya belum ada keinginan mencoba-coba melakukan hal itu, jadi sekalipun mungkin ada peluang besar untuk melakukan itu, untuk saat ini seperti itu pak, ndak tau lagi habis ini jika memang dirasa perlu dilakukan penghindaran pajak oleh perusahaan saya, ya saya melihatlihat terlebih dahulu dampak yang akan ditimbulkan terhadap perilaku ini (Praktik penghindaran pajak)”. (Informan TK2).

“Sejujurnya ada keinginan dari saya untuk kedepan akan mencoba-coba melakukan penghindaran pajak, jadi sebelum itu saya harus lihat-lihat dulu barang kali ada celah yang kemudian nanti dapat saya manfaatkan, tapi pada saat yang bersamaan saya juga ada rasa kekhawatiran juga salah satunya disebabkan adanya sanksi perpajakan yang nantinya malah dapat mempersulit usaha saya. Jadi saya lihat-lihat peluang dulu, dan jika peluang tersebut ada maka waktu itu juga saya mencobanya”. (Informan TK3).

”…beberapa kali telah saya coba praktekan juga, ya pastinya saya melihat-lihat terlebih dahulu dampaknya nanti kepada usaha saya”. (Informan HM4).

“Terutama di usaha toko saya ini saya sangat tidak setuju, apalagi dengan banyaknya macam-macam permasalahan yang saya katakan tadi membuat saya semakin enggan dan banyak cara yang akan dilakukan. toh itu bukan hanya saya sendirian kok yang melakukan ini masih banyak teman-teman sesama pengusaha yang melakukan ini dan banyak yang beralasan ini demi kelangsungan usaha termasuk saya sendiri seperti itu”. (Informan TK1).

Respon tersebut timbul sebagai bentuk tindakan dari perilaku yang ditunjukan dalam merespon rangsangan yang ada. Wajib pajak dalam posisinya sebagai pelaku usaha terhadap adanya PPN dipandang sebagai beban yang mengurangi keuntungan.

Besaran tarif PPN yang ada saat ini para informan menilai tarif tersebut perlu disesuaikan kembali dengan anggapan bahwa tarif yang ada saat ini terlalu memberatkan para pengusa terutama bagi mereka yang telah berstatus sebagai pengusaha kena pajak. Besaran nilai PPN 10% memaksa informan untuk melakukan pejualan tanpa PPN yang padahal sisi lain daya konsumsi masyarat menurun akibat harga yang terlalu mahal.

Keputusan menaikkan harga akibat dari pengenaan PPN tersebut yang dilakukan oleh informan dikhawatirkan akan mempengaruhi jumlah konsumen akibat kepuasan yang menurun yang menyatakan bahwa harga barang memiliki pengaruh yang besar terhadap kepuasan konsumen (Schoeman et al., 2022). Umar et al., (2019) berpendapat bahwa penghindaran pajak termasuk tindakan pengendalian pajak agar terbebas dari konsekuensi kewajiban pajak yang tidak diinginkan. Sedangkan upaya untuk meminimalisir jumlah pajak dibayar, dianggap tidak menyalahi aturan. Sedangkan dengan melakukan tindakan tersebut dapat mempengaruhi dimensi modal sosial yang berdampak kondisi usaha. Ketika perusahaan tidak melakukan penghindaran pajak, maka perusahaan akan memperoleh legitimasi oleh masyarakat berupa kerpercayaan pada operasional usaha.

Trust atau kepercayaan menjadi suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain   melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung atas tindakan yang dilakukan seperti pelaku usaha yang terpaksa menaikan harga jualnya yang akan menjadi pertimbangan pembeli.

Kepercayaan dalam lingkup jaringan sosial memungkinkan adanya koordinasi dan komunikasi yang dapat menumbuhkan rasa saling percaya di antara anggota masyarakat. Kepercayaan juga memiliki implikasi positif dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini dibuktikan dengan suatu kenyataan bagaimana keterkaitan perlaku usaha yang turut aktif dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan dilingkungan sekitar tempat usaha. Selain itu, Berbagai keberhasilan yang dicapai melalui kegiatan sosial yang dilakukan informan pada waktu sebelumnya dalam hubungan sosial akan mendorong bagi keberlangsungan kerjasama pada waktu selanjutnya yang kemudian berdampak pada kelangsungan usaha informan.

Norma Sosial dan Nilai Kepercayan

Norma sosial individu sering kali dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana anggota lain dalam suatu kelompok berpikir dan bertindak, ketika mempertimbangkan pengaruh norma terhadap perilaku, penting untuk membedakan antara norma sosial yang tertanam, diyakini, atau dipercaya oleh seseorang dan norma sosial yang tergambarkan atau yang telah dilakukan oleh banyak orang dan didukung oleh bukti-bukti seperti  tindakan-tindakan orang lain yang paling umum dan sesuai untuk suatu situasi.

Jika kebanyakan orang melakukan hal tersebut, maka hal tersebut adalah bijaksana untuk dilakukan juga. Kragh (2016) berpendapat bahwa praduga seperti itu memberikan informasi dan pengambilan keputusan secara cepat untuk seseorang menentukan bagaimana berperilaku pada situasi tertentu. Hanya dengan memperhatikan apa yang dilakukan oleh banyak orang maka seseorang dapat menentukan dengan baik dan efisien untuk dilakukannya sendiri.

Norma sosial injunctive mengacu pada peraturan atau keyakinan tentang perilaku apa yang secara moral diterima dan ditolak. Berbeda dengan norma descriptive yang berdasarkan pada perilaku yang sudah muncul dan telah dilakukan, norma injunctive berdasarkan pada apa yang seharusnya dilakukan (Salmivaara et al., 2021). Artinya norma injunctive lebih berperan melalui peraturan dan sanksi sosial pada umumnya daripada melalui perilaku umum yang muncul. Maksud dari kedua norma diatas cukup serupa antara keduanya karena perilaku yang dapat diterima adalah perilaku yang biasanya dilakukan oleh banyak orang. Termasuk pandangan para informan terhadap penilain perilaku perpajakan pelaku usaha disekitar tempat operasional usaha.

Menjaga hubungan baik dengan semua orang tentu memiliki danpak tersendiri bagi pelakunya, perutama dalam dunia usaha beragamnya faktor kepentingan mendorong para pelaku usaha melakukan banyak hal untuk mencapai tujuan usaha, karena diyakini dapat menjadi sumber keuntungan dan kekuatan daya saing usaha.

”…kami melakukan pendekatan kepada masyarakat sekitar dengan ikut serta dalam kegiatan kemasyarakatan atau kegiatan sosial semisalnya ada pembangunan sarana umum kampung di sekitar maka pihak perusahaan kami akan mengambil andil, dan tak jarang kami melakukan kegiatan bersama sebagai bentuk perhatian perusahaan kepada masyarakat”. (Informan HM4).

”…Menjaga hubungan baik itu penting bagi saya pak. Begitulah yang saya rasakan meskipun tidak sebesar yang kita harapkan tapi paling tidak ada keakraban dengan orang disekitar kita, saling membantu satu sama lain. Jadi sangat senang sekali ketika ada kegiatan bersama dengan masyarakat kami bisa melakukan banyak hal ketika kami bekerja dengan gotong royong, dan hal bukan hanya memberikan pengaruh positif untuk kebaikan usaha saja melainkan juga untuk tubuh agar tetap sehat”. (Informan NS5).

Peran penting yang diperoleh dari hasil interakasi yang baik dengan masyarakat dilingkungan sekitar tempat usaha para informan yang memberikan dampak positif bagi berjalannya usaha informan. Karena kelompok dapat menjadi sumber keuangan dan sumber daya manusia untuk berwirausaha dikarenakan adanya hubungan kekerabatan. Dengan adanya interaksi secara berkala dan terciptanya hubungan kekerabatan tersebut dapat menimbulkan kepercayaan dari kelompok. Hal tersebut menjadi salah satu aspek penting dalam norma sosial yang dibangun oleh informan dengan masyarakat dilingkungan sekitar tempat usahanya yang menjadikan salah satu modal sosial yang diciptakan informan.

Unsur modal sosial dalam pasar berupa jaringan sosial, kepercayaan, dan norma memiliki peran dalam perdagangan (Putnam, 2015). Partisipasi para pelaku usaha dalam kegiatan sosial memberikan dampak positif terhadap kelangsungan usaha. Hubungan kerjasama tersebut merupakan fungsi kelompok yang digunakan untuk mempertahankan usaha yang menunjukan kemampuan masyarakat dalam kelompok untuk bekerjasama membangun jaringan untuk tujuan bersama.

Putnam (2015) menjelaskan modal sosial sebagai jaringan-jaringan, nilai-nilai, norma dan kepercayaan yang timbul diantara para anggota perkumpulan yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama untuk manfaat bersama. Dalam penelitian ini, penliti melihat bahwa informan tidak terlepas dari peran orang lain terutama keluarga yang membentuk sebuah ikatan kerjasamayang saling terikat antara satu dengan yang lain dan saling menguntungkan, sehingga pengusahs mampu mempertahankan eksistensinya.

Informan memanfaatkan sumber daya sosial yang terbentuk melalui intraksi sosial dengan relasinya dalam berbagai tindakan sosial baik dengan masyarakat sekitar, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan pelanggan. Hubungan ini bertujuan untuk mewujudkan cita-cita bersama dalam kegiatan ekonomi yang telah mereka jalankan, sehingga kedua pihak dapat memperoleh keuntungan dan keuntungan tersebut dapat memenuhi keberlangsungan hidup mereka yang lebih baik bahkan dengan adanya tarif PPN yang menjadikan harga jual yang lebih mahal dari para non-PKP, bahkan fakta lapangan bahwa konsumen terpaksa mengurangi daya konsumsi mereka, artinya konsumen akan menunda pembelian barang, kecuali terpaksa dilakukan pada saat kondisi yang mendesak bagi konsumen.

Bentuk modal sosial para informan pada keberlangsungan usaha berdasarkan adanya unsur jaringan, kepercayaan, norma dan nilai. Dalam penelitian ini hubungan yang terjalin antara informan dengan pelaku usaha lain dalam suatu perkumpulan dilandasi oleh jaringan, kepercayaan, nilai dan norma dari individu yang bertujuan untuk mempertahankan dan memperluas hubungan sosial. Membangun dan mempertahankan hubungan dengan pihak-pihak lain dianggap penting termasuk didalamnya adalah nilai kepercayaan dengan anggota keluarga.

Hubungan yang dimiliki informan dengan lingkungan terdekatnya seperti teman atau keluarga sehingga hubungan tersebut bersifat terkuat. Keluarga dimanfaatkan oleh informan sebagai sebuah cara yang diharapkan dapat terus berjalan hingga kegenarasi berikutnya, nilai keyakinan tersebut di gambarkan pada keterlibatan anggota keluarga yang lainnya dalam operasional usaha. Selain diyakini dapat memperkuat kelangsungan usaha juga bertujuan sebagai cara meminimalisir beban perpajakan dengan membagi usaha kepada keluarga yang lainnya namun tetap pada pengontrolan informan.

Norma sosial merepresentasikan sebuah kelompok karena berperan sebagai karakteristik yang menggambarkan sesuatu yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan oleh sebuah kelompok. Dengan demikian, untuk membentuk norma, harus ada kelompok yang menggambarkan karakteristik norma tersebut. Karakterisitik dari norma itu sendiri dapat menjadi suatu bentuk kekuatan norma sosial dan menjadi unsur pendukung dalam membangkitkan semangat dalam menghadapi regulasi pajak. Kekuatan norma sosial dalam membentuk perilaku terdapat dalam dinamika psikologi sosial yang muncul dalam sebuah kelompok, seperti kecenderungan anggota kelompok untuk melihat satu sama lain untuk mendapat panduan, penegasan, dan persetujuan, dan juga tekanan untuk mencapai keseragaman yang dihasilkan oleh kelompok (Yong et al., 2019). Kelompok yang dimaksud dapat berupa anggota keluarga, komunitas , lingkungan sosial, atau jaringan, dapat berupa kelompok formal atau informal dalam bentuk interaksi secara langsung atau virtual. Unsur paling penting adalah anggota kelompok mempertimbangkan dirinya sebagai teman sebaya yang setara, serupa dalam kepentingan tertentu, dan menganggap pendapat dan perilaku dari anggota kelompok lain relevan dengan dirinya.

Kesimpulan

Secara umum kita mengenal modal sosial yang terdapat di Indonesia dapat tercermin dalam hal budaya gotong royong. Tingginya Indeks modal sosial juga semakin terasa dengan tingkat solidaritas masyarakat dilingkungan tersebut. Modal sosial terjadi melalui hubungan sosial antar sesama manusia serta mengarah kepada norma dan nilai-nilai kehidupan bermasyarakat.

Modal sosial dapat terbentuk apabila dalam lingkungkan sosial tersebut terdapat kepercayaan terhadap satu sama lain, norma yang disepati bersama menjadi nilai universal, serta adanya jaringan sosial yang terjalin baik dalam lingkup internal maupun dengan ekternal dengan kelompok tertentu. Berbicara tentang modal sosial, tidak hanya akan terbatas pada sesuatu yang bernalai secara material atau financial belaka, lebih dari itu modal sosial dapat memberikan nilai keuntungan sosial yang lebih besar dan berpotensi besar menajaga kelangsungan usaha. Menjaga kepercayaan konsumen penting dilakukan karena menjadi sebuah fondasi hubungan interaksi antara penjual dengan pembeli. Interaksi sosial baik bersifat ekonomi ataupun non-ekonomi ditentukan dengan adanya trust atau kepercayaan dari pihak-pihak yang ada termasuk dalam urusan perpajakan yang menjadi kewajiban pelaku usaha terutama dalam hal PPN bagi para PKP.

Modal sosial yang ditinjau dari norma berperilaku dalam perpajakan bahwa kepercayaan terhadap pihak berwenang juga berpengaruh terhadap sikap wajib pajak karena unsur modal sosial tidak hanya terbatas pada perilaku individu tetapi juga dapat dipengaruhi dan mempengaruhi oleh pihak yang berkaitan dengan cara petugas pajak menunjukan kenerjanya kepada para wajib pajak yang merupakan sebuah norma kewajaran atas kondisi lingkungan sekitar. Hal tersebut turut membentuk nilai kepercayaan para wajib pajak dalam pelaksanaan kewajiban perpajakannya, selain itu dari rekan sesama profesi di lingkungan sekitar juga berperan dalam membentuk norma atau kewajaran dalam berperilaku. Sementara itu, bagi PKP regulasi PPN menjadi beban yang dimungkinkan untuk dilakukan penghindaran oleh pengusaha kena pajak, karena menilai pengenaan PPN 10% yang tidak berpihak kepada para PKP yang kemudian mendorong tindakan coba-caba oleh PKP dengan perhitungan resiko yang ada.

Sebagai upaya menjaga kelangsungan usaha pemanfaatan sumber daya sosial yang terbentuk melalui intraksi sosial dengan relasinya dalam berbagai tindakan dan keterlibatan dalam kegiatan sosial lingkungan sekitar untuk memperoleh serta mempertahankan legistimasi berupa hubungan kekerabatan, kepercayaan, nilai dan norma kepada PKP meskipun adanya tarif PPN yang menjadikan harga jual yang lebih mahal dari para non-PKP.

Referensi

Baykal, B., & Hesapci, K. (2022). Recommendation matters: how does your social capital engage you in eWOM? Journal of Consumer Marketing, 9(11). https://doi.org/https://doi.org/10.1108/JCM-08-2021-4842

Celikay, F. (2020). Dimensions of tax burden: a review on OECD countries. Journal of Economics, Finance and Administrative Science, 25(49), 27–43. https://doi.org/10.1108/JEFAS-12-2018-0138

Creswell, J. W. (2015). Penelitian kualitatif & Desain Riset (3rd ed.). Pustaka Pelajar.

Kragh, S. U. (2016). Tribe and village in African organizations and business. Personnel Review, 45(1), 51–66. https://doi.org/10.1108/PR-08-2012-0140

Permata, I. D., & Kristanto, A. B. (2020). Pengaruh Modal Sosial Terhadap Penghindaran Pajak Di Indonesia. Jurnal Akuntansi, 5(2), 168. https://doi.org/10.30736/.v5i2.332

Putnam, R. D. (2015). Bowling alone: America’s declining social capital (6th ed., Vol. 21, Issue 1). Routledge. http://journal.um-surabaya.ac.id/index.php/JKM/article/view/2203

Salmivaara, L., Lombardini, C., & Lankoski, L. (2021). Examining social norms among other motives for sustainable food choice: The promise of descriptive norms. Journal of Cleaner Production, 311, 127508. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2021.127508

Santoso, D., Indarto, I., & Sadewisasi, W. (2019). Pola Peningkatan Kinerja Bisnis Ukm Melalui Modal Sosial Dan Modal Manusia Dengan Kebijakan Pemerintah Sebagai Moderating. Jurnal Dinamika Sosial Budaya, 21(2), 152. https://doi.org/10.26623/jdsb.v21i2.1764

Schoeman, A. H. A., Evans, C. C., & Du Preez, H. (2022). To register or not to register for value-added tax? How tax rate changes can influence the decisions of small businesses in South Africa. Meditari Accountancy Research, 30(7), 213–236. https://doi.org/10.1108/MEDAR-05-2021-1309

Sinarwati, N. K., Yuliarmi, N. N., & Utama, M. S. (2019). Social Capital And Sustainability of MSMEs. Jurnal UNMUH Jember, 2(2), 53–70.

Umar, M. A., Derashid, C., Ibrahim, I., & Bidin, Z. (2019). Public governance quality and tax compliance behavior in developing countries: The mediating role of socioeconomic conditions. International Journal of Social Economics, 46(3), 338–351. https://doi.org/10.1108/IJSE-11-2016-0338

Vecchio, P. Del, Minin, A. Di, Petruzzelli, A. M., Pannielo, U., & Pirri, S. (2017). Big data for open innovation in SMEs and large corporations: Trends, opportunities, and challenges. Creativity and Innovation Management, 27(1), 6–22. https://doi.org/10.1111/caim.12224

Yong, S., Sawyer, A. J., & Freudenberg, B. (2019). Tac Compliance in the New Millenium: Understanding the Variables. ResearchGate,Australian Tax Forum, 31, 2.

Zhang, P., & Cain, K. W. (2017). Reassessing the link between risk aversion and entrepreneurial intention: The mediating role of the determinants of planned behavior. International Journal of Entrepreneurial Behaviour and Research, 23(5), 793–811. https://doi.org/10.1108/IJEBR-08-2016-0248

Penulis adalah Anggota IKPI Cabang Surabaya

Danny Wibowo

Email: –

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Catatan: Tulisan ini pernah dipublikasikan pada Riset dan Jurnal Akuntansi (SINTA 3) Tahun 2023

PNBP Bertambah Rp 6,62 Triliun, Pemerintah Bidik Perbaikan Defisit APBN

IKPI, Jakarta: Pemerintah memastikan dana yang dikumpulkan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) dan diserahkan ke Kejaksaan Agung akan masuk sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Nilainya mencapai Rp 6,62 triliun.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menilai tambahan penerimaan ini memberi ruang napas bagi pengelolaan fiskal, terutama saat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 masih cukup lebar.

Defisit APBN tahun depan diperkirakan sekitar Rp 662 triliun atau 2,78 persen PDB. Hingga November, realisasi defisit sudah berada di Rp 560,3 triliun atau 2,35 persen PDB.

Purbaya menegaskan dana yang baru diterima tersebut akan diarahkan terlebih dulu untuk memperbaiki posisi keuangan negara.

Ia menambahkan, sebagian dana tetap bisa dialokasikan untuk mendukung program pembangunan, namun desain pemanfaatannya akan disesuaikan setelah pemerintah melakukan perhitungan lebih detail.

Dari total Rp 6,62 triliun tersebut:

• Rp 2,34 triliun berasal dari denda administratif pelanggaran kehutanan yang diproses Satgas PKH.

• Rp 4,28 triliun berasal dari uang rampasan perkara korupsi yang ditangani Kejaksaan Agung.

Penyerahan dana dilakukan secara resmi dan turut disaksikan Presiden Prabowo Subianto.

Selain penyetoran dana, Satgas PKH juga menyerahkan kembali 896.969 hektare kawasan hutan pada tahap kelima.

Dalam waktu sekitar sepuluh bulan, Satgas menyebut telah menguasai kembali 4,08 juta hektare lahan perkebunan di kawasan hutan jauh di atas target awal dengan nilai indikasi lebih dari Rp 150 triliun.

Dari luas tersebut:

• 2,48 juta hektare sudah dikembalikan ke kementerian teknis,

• 1,70 juta hektare lahan sawit dialokasikan untuk PT Agrinas Palma Nusantara,

• 688.427 hektare ditetapkan sebagai kawasan konservasi,

• 81.793 hektare di Taman Nasional Tesso Nilo disiapkan untuk direstorasi.

Masuknya dana ini dinilai penting bukan hanya sebagai pemasukan negara, tetapi juga sebagai bukti penegakan aturan pengelolaan hutan. Dengan dicatat sebagai PNBP, pemerintah memperoleh tambahan bantalan untuk menekan defisit sekaligus memperkuat kredibilitas kebijakan fiskal. (alf)

PNBP Ruang Laut Melonjak, KKP Catat Realisasi 155% dari Target

IKPi, Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat kinerja positif dari sektor penataan ruang laut. Hingga 22 Desember 2025, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang bersumber dari persetujuan pemanfaatan ruang laut menembus Rp775,60 miliar, atau setara 155,12 persen dari target yang ditetapkan.

Direktur Jenderal Penataan Ruang Laut (PRL) KKP, Kartika Listriana, menyebut capaian tersebut menunjukkan bahwa kebijakan penataan ruang laut tidak hanya menghadirkan kepastian hukum, tetapi juga berkontribusi nyata pada penerimaan negara.

“PNBP dari sektor penataan ruang laut setiap tahun menunjukkan tren peningkatan. Hingga 22 Desember 2025 nilainya mencapai Rp775,60 miliar,” ujar Kartika dalam konferensi pers Capaian Kinerja DJPRL di Jakarta, baru baru ini.

Kinerja Melebihi Target di Berbagai Indikator

Kartika memaparkan, sejumlah indikator kinerja Direktorat Jenderal PRL pada 2025 berhasil melampaui target, antara lain:

• Penataan ruang laut kewenangan pusat tercapai 122,23%

• Zonasi pesisir kewenangan daerah tercapai 100%

• PNBP Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) mencapai 155,12%

• Indeks kepatuhan pengendalian ruang laut berada di level 114,71%

• Efektivitas penyelenggaraan penataan ruang laut tercapai 100%

Menurut Kartika, KKPRL kini menjadi instrumen perizinan utama yang memastikan kegiatan ekonomi di laut berjalan tertib sekaligus menjaga ekosistem.

Sejak pemberlakuannya, tercatat 3.484 permohonan KKPRL yang masuk melalui OSS dan E-Sea. Tren penerbitan izin meningkat sejak 2022, dan pada 2025 saja telah terbit 773 KKPRL berupa persetujuan maupun konfirmasi.

Tata Ruang Terintegrasi Semakin Luas

KKP mencatat hingga kini terdapat 25 provinsi yang sudah memiliki Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) terintegrasi, termasuk Maluku, Papua Selatan, dan Sumatera Barat. Sementara 11 provinsi masih dalam proses integrasi, satu provinsi menyusun materi teknis, dan satu provinsi tidak memiliki wilayah laut.

Sejumlah pendampingan teknis juga dilakukan, mulai dari Jawa Barat, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, hingga Kalimantan. Di sisi lain, penyusunan Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional (KSN) terus berlanjut, termasuk pembaruan dokumen KSN Aceh dan Selat Sunda.

Kaltim Jadi Proyek Percontohan “Karbon Biru”

Salah satu program prioritas tahun ini adalah penyusunan dokumen zonasi KSN Karbon Biru Perairan Derawan di Kalimantan Timur, yang didorong menjadi percontohan nasional. Inisiatif ini diharapkan memperkuat perlindungan ekosistem sekaligus mendukung agenda pembangunan rendah karbon.

Pengawasan dan Kepatuhan Diperketat

Pengawasan terhadap pelaku usaha di ruang laut turut diperkuat. Dari 138 subjek hukum yang dinilai:

• 51% dinyatakan taat,

• 36% taat dengan catatan, dan

• 13% masih tidak taat.

Laporan tahunan melalui sistem e-SEA juga meningkat dengan 2.008 laporan yang seluruhnya telah dinilai. KKP melakukan penilaian realisasi tata ruang di 10 lokasi dan memberikan insentif kepada 71 pihak yang patuh.

Selain itu, peningkatan kapasitas dilakukan melalui pelatihan bagi 100 peserta dan sosialisasi penataan ruang laut di berbagai wilayah pesisir.

“Melalui pembinaan ini, KKP memastikan perencanaan ruang laut berjalan terintegrasi, berbasis data, dan berkelanjutan,” tegas Kartika.

Bukan Sekadar Izin, Tapi Instrumen Fiskal Negara

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono sebelumnya menekankan bahwa penataan ruang laut tidak hanya menjadi alat pengendalian aktivitas ekonomi, namun juga bagian penting dalam memperkuat arsitektur fiskal negara melalui PNBP, sambil tetap menjaga keberlanjutan ekosistem.

Dengan pencapaian yang melampaui target, sektor kelautan kembali membuktikan potensinya sebagai sumber penerimaan negara yang strategis tanpa mengorbankan kelestarian laut Indonesia. (alf)

Layanan Tatap Muka Kantor Pajak Tutup Sementara, Wajib Pajak Diminta Manfaatkan Kanal Daring

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menghentikan sementara layanan tatap muka di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) selama masa libur Natal dan cuti bersama akhir tahun.

Penutupan layanan berlangsung pada 25–26 Desember 2025 dan 1 Januari 2026, sejalan dengan ketetapan pemerintah mengenai hari libur nasional. Sementara itu, layanan tatap muka akan kembali berjalan normal pada 29–31 Desember 2025 dan dilanjutkan kembali setelah libur Tahun Baru.

Melalui akun resmi X Kring Pajak, DJP menegaskan bahwa kebijakan ini dilakukan agar pelayanan publik tetap tertata, tanpa mengurangi akses masyarakat terhadap layanan perpajakan.

“Kantor Pajak buka pada tanggal 29 sampai dengan 31 Desember 2025 dan 2 Januari 2026. Layanan KPP/KP2KP tutup pada tanggal 25–26 Desember 2025 serta 1 Januari 2026 karena hari libur nasional,” demikian keterangan DJP.

Layanan dibuka secara digital

Meski loket tatap muka ditutup sementara, wajib pajak tetap dapat memperoleh bantuan dan informasi melalui berbagai kanal resmi DJP, di antarnya:

• Kring Pajak 1500200

• Live chat di situs pajak.go.id pada hari kerja pukul 08.00–16.00 WIB

• Aplikasi M-Pajak

• Instagram @kringpajak1500200 untuk informasi umum perpajakan

• TikTok @kring_pajak / KringPajak1500200

• Faksimile (021) 5251245 serta kanal pengaduan di www.pajak.go.id

Kehadiran kanal daring ini memungkinkan wajib pajak tetap melaporkan kewajiban, melakukan konsultasi, hingga menyampaikan pengaduan tanpa harus datang langsung ke kantor.

DJP mengimbau masyarakat memanfaatkan momen libur ini untuk menyiapkan administrasi perpajakan sejak dini, agar tidak menumpuk saat layanan tatap muka kembali dibuka. Dengan kepatuhan yang terjaga, penerimaan negara dapat tetap terkelola dan pelayanan publik berjalan lebih optimal. (alf)

DJP Pastikan Penagihan Pajak Konglomerat Berlanjut hingga 2026

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menegaskan bahwa upaya penagihan aktif terhadap para wajib pajak penunggak terbesar akan terus berlanjut pada 2026. Kebijakan ini menjadi bagian dari strategi pemerintah untuk menjaga stabilitas penerimaan negara, khususnya dari kelompok Wajib Pajak Besar.

Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar (Kanwil LTO) mengungkapkan bahwa tahun depan pihaknya tetap memprioritaskan penagihan kepada 35 wajib pajak yang termasuk dalam daftar penunggak terbesar secara nasional. Langkah tersebut merupakan kelanjutan dari program pengejaran pelunasan tunggakan yang sebelumnya menyasar 200 penunggak pajak utama.

Hingga akhir tahun, total tunggakan dari 35 wajib pajak tersebut tercatat mencapai Rp7,52 triliun. Dari rangkaian penagihan yang dilakukan sejak daftar penunggak diumumkan pada Agustus 2025 hingga 12 Desember 2025, Kanwil LTO berhasil mendorong pelunasan sebesar Rp3,69 triliun, atau sekitar 49 persen dari total tunggakan.

Meski demikian, masih terdapat sisa kewajiban yang cukup besar sehingga menjadi fokus penagihan pada tahun berikutnya.

“Kanwil DJP Wajib Pajak Besar akan melanjutkan kegiatan penagihan aktif atas 35 wajib pajak penunggak terbesar nasional pada 2026,” tulis Kanwil LTO dalam keterangannya.

DJP menegaskan, seluruh proses penagihan akan ditempuh secara bertahap mulai dari pendekatan persuasif hingga tindakan aktif dengan tetap berpegangan pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Prinsip profesionalitas, keadilan, akuntabilitas, dan kepastian hukum disebut menjadi landasan dalam mendorong kepatuhan pajak, terutama dari para konglomerat yang berperan besar terhadap penerimaan negara. (alf)

Kanwil DJP Perkuat Penegakan Hukum, Sita Aset Wajib Pajak dan Prioritas Lindungi Penerimaan Negara

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar memperkuat langkah penegakan hukum terhadap para penunggak pajak. Sepanjang 2025, tindakan penyitaan aset mulai ditempuh setelah berbagai upaya persuasif tidak berbuah pelunasan utang.

Dalam keterangan resminya, DJP menyebut hingga 12 Desember 2025 telah dilakukan penyitaan terhadap 35 aset milik Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak. Aset yang disita meliputi satu bidang tanah, tiga kendaraan roda empat, dua unit mesin/peralatan, serta 29 rekening bank.

Sejumlah aset bernilai tinggi juga ikut masuk daftar penyitaan. Di antaranya sebidang tanah seluas 10 hektare milik salah satu Wajib Pajak di Gresik, serta peralatan teknologi informasi milik Wajib Pajak di Bali.

Tindakan tersebut dilaksanakan oleh Juru Sita Pajak Negara (JSPN) sesuai prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Kepala Seksi Pemeriksaan, Penilaian, dan Penagihan KPP Wajib Pajak Besar Dua, Johan Elvin Saragih, menegaskan bahwa penyitaan bukanlah langkah pertama. Menurutnya, DJP baru bertindak setelah seluruh tahapan penagihan ditempuh secara bertahap dan proporsional.

“Imbauan, panggilan, kunjungan, hingga penagihan aktif berdasarkan UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sudah dilakukan. Termasuk penyampaian Surat Teguran dan Surat Paksa. Karena tetap tidak dipenuhi, penyitaan akhirnya dilaksanakan,” ujar Johan, Jumat (26/12/2025).

Kanwil DJP Wajib Pajak Besar menegaskan akan terus mengedepankan pendekatan persuasif, namun siap melakukan penegakan tegas bila kewajiban tetap diabaikan. Langkah ini dinilai penting untuk menjaga stabilitas penerimaan negara sekaligus memastikan keadilan bagi wajib pajak yang patuh.

Sebagai informasi, Kanwil DJP Wajib Pajak Besar atau Large Tax Office (LTO) menangani perusahaan skala raksasa, grup usaha, dan konglomerasi nasional yang memberi kontribusi besar terhadap penerimaan pajak. Pengawasan ketat diharapkan mendorong kepatuhan dan memperkuat basis fiskal Indonesia. (alf)

Dr Irwan Wisanggeni Beri Rahasia Membuat Judul Penulisan Menarik

IKPI, Jakarta: Dalam sesi pelatihan penulisan artikel, Dr. Irwan Wisanggeni  yang digelar secara daring oleh Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Selasa (23/12/2025) ditegaskan bahwa judul memiliki peran penting sebagai pintu pertama pembaca memasuki sebuah tulisan. Karena itu, kesalahan umum penulis pemula yakni membuat judul panjang, kaku, dan terlalu teknis perlu dihindari.

Dosen yang juga merupakan Anggota IKPI ini juga menyatakan, sebuah judul idealnya, pertama, singkat namun bermakna, sehingga mudah diingat dan tidak melelahkan pembaca.

Kedua, membangkitkan rasa ingin tahu, tanpa harus memanipulasi atau berlebihan.

Ketiga, mengandung unsur kebaruan, sehingga pembaca merasa memperoleh perspektif baru.

Keempat, tetap relevan dengan isu yang sedang berkembang, terutama isu yang memiliki dampak luas.

Ia mencontohkan sejumlah judul opininya yang pernah dimuat media nasional, seperti “Jalan Terjal Penerimaan Pajak”, “Jejak Insentif Pajak”, dan “Kaji Ulang PTKP”. Judul-judul tersebut singkat, langsung pada inti isu, namun tetap mengundang pembaca untuk mengetahui lebih jauh.

Irwan juga menekankan bahwa tulisan untuk media umum tidak perlu terlalu teknis. Pendekatan makro, analitis, namun mudah dipahami, dianggap lebih efektif.

“Kalau menulis untuk publik, jangan terlalu rumit. Gunakan bahasa yang sederhana, tapi tetap memberikan pencerahan,” ujarnya.

Sementara itu, untuk tulisan ilmiah seperti jurnal atau publikasi internasional, menurut Irwan, diperlukan struktur berbeda: metodologi jelas, data kuat, dan analisis mendalam.

Ia juga kembali mengingatkan pentingnya membaca sebagai fondasi menulis.

“Makin banyak membaca, makin terbentuk logika dan bahasa tulisan. Dari situ, tulisan akan mengalir dengan sendirinya,” katanya. (bl)

Menulis Bukan Sekadar Hobi, Tetapi Cara Tinggalkan Jejak dan Mengabdi pada Ilmu

IKPI, Jakarta: Menulis bukan hanya soal merangkai kata, tetapi cara meninggalkan jejak pemikiran di dunia. Hal ini disampaikan Anggota IKPI dan juga Dosen di Univesrsitas Pelita Harapan, Dr. Irwan Wisanggeni dalam sesi pelatihan penulisan artikel dan buku yang digelar IKPI secara daring, Selasa (23/12/2025).

Mengutip pemikiran sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer, Irwan menegaskan bahwa siapa pun betapapun pandainya akan hilang dari sejarah bila tidak menuliskan gagasannya.

“Menulis adalah bekerja untuk keabadian,” kata Irwan pada sesi hang dihadiri hampir 300 peserta tersebut.

Menurut Irwan, banyak tokoh Indonesia dikenang bukan hanya karena ide-idenya, tetapi karena mereka menuliskannya. Ia mencontohkan Pram dan Suhogi yang meninggalkan warisan buku, artikel, dan gagasan besar yang masih dibaca hingga kini.

Ia menekankan bahwa menulis tidak harus selalu berat. Artikel di media bisa menjadi sarana menyampaikan gagasan sederhana, tetapi bermanfaat.

Namun yang terpenting, kata dia, tulisan harus memberi nilai:

• membuka wawasan,

• memberi solusi,

• dan mendorong pembaca berpikir.

“Kalau tulisan tidak memberi pencerahan, redaksi biasanya enggan memuat. Kritik boleh tapi harus ada solusi,” ujarnya.

Selain itu, Irwan mengingatkan agar penulis tidak takut ditolak. Ia mengaku berkali-kali ditolak media besar sebelum akhirnya dimuat.

“Semakin sering ditolak, seharusnya kita semakin kuat. Itu bagian dari proses.”

Bagi Irwan, menulis adalah ladang amal berbagi ilmu, pengalaman, dan pemikiran meski tanpa imbalan. (bl)

Kilas Balik Perpajakan Indonesia 2025 dan Tantangan 2026

Tahun 2025 adalah tahun terpenting dan penuh tantangan, khususnya bagi dunia Perpajakan Indonesia. Kondisi perekonomian dunia yang tentunya berimbas ke dalam Negeri dan pada akhirnya berdampak kepada penerimaan pajak yang masih menjadi penopang utama penerimaan Negara. Modernisasi administrasi Perpajakan Indonesia, dan pastinya Coretax menjadi primadona dan trending topic selama tahun 2025. Tiada hari tanpa pembahasan Coretax yang mulai digunakan sejak 1 Januari 2025. Transformasi ini membawa dua wajah sekaligus: harapan terhadap layanan yang terintegrasi dan berbasis data, serta dinamika transisi yang menimbulkan kegaduhan teknis, ketidakpastian operasional, dan penyesuaian besar di sisi wajib pajak.

Revolusi Sistem Perpajakan 2025: Coretax dan “Riuh Rendah” Masa Transisi

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan bahwa wajib pajak dapat memanfaatkan seluruh layanan Coretax mulai 1 Januari 2025. Coretax didesain untuk melayani administrasi perpajakan terintegrasi, mulai dari registrasi, penyampaian SPT, pembayaran, hingga layanan lain dalam satu ekosistem. Dalam komunikasi resminya, DJP juga menjelaskan mekanisme akses (misalnya set ulang kata sandi/pembuatan passphrase) dan pentingnya pemutakhiran data profil.

Namun, implementasi sistem skala nasional hampir selalu memunculkan friksi pada fase awal. Pada 2025, tantangan yang banyak muncul di praktik meliputi: aktivasi akun dan autentikasi (email/nomor gawai tidak sinkron), pengelolaan kewenangan akun (PIC/penanggung jawab badan), serta adaptasi kanal administrasi PPN. DJP merespons dinamika transisi ini dengan memberikan fleksibilitas kanal, termasuk membuka kembali penggunaan e-Faktur Client Desktop bagi seluruh PKP sejak 12 Februari 2025 berdasarkan KEP-54/PJ/2025, disertai pengaturan pengecualian tertentu dan penegasan bahwa retur, pembatalan, serta pelaporan SPT Masa PPN tetap dilakukan melalui Coretax.

Di saat yang sama, DJP menerbitkan kebijakan penghapusan sanksi administratif atas keterlambatan pembayaran/penyetoran dan penyampaian SPT tertentu sehubungan implementasi Coretax. Kebijakan ini pada prinsipnya memberikan relaksasi ketika sanksi timbul karena kekhilafan wajib pajak atau bukan karena kesalahannya, dengan cakupan dan periode yang dirinci dalam pengumuman DJP. Secara tata kelola, langkah semacam ini penting untuk menjaga kepastian hukum dan mengurangi beban kepatuhan pada masa transisi sistem.

Tantangan Penerimaan Pajak 2025: Tekanan Siklus, Restitusi, dan Kualitas Basis Pajak

Di sisi penerimaan, 2025 memperlihatkan tantangan yang tidak sederhana. Dalam konferensi pers APBN (Desember 2025), diberitakan penerimaan pajak sampai dengan November 2025 berada pada kisaran Rp1.634,4 triliun (sekitar 78,7% dari target/outlook), dengan dinamika komponen yang bervariasi antar jenis pajak. Angka ini memperlihatkan perlunya akselerasi di akhir tahun sekaligus menandakan bahwa kinerja penerimaan sangat dipengaruhi kondisi sektor riil dan pola pembayaran pada masing-masing jenis pajak.

Salah satu isu yang sering memunculkan salah persepsi publik adalah restitusi pajak. Dari perspektif wajib pajak, restitusi merupakan hak ketika terjadi kelebihan pembayaran dan dapat menopang arus kas dunia usaha. Namun, dari sudut pandang kas negara, peningkatan restitusi dapat menekan penerimaan pajak neto pada tahun berjalan. ANTARA mencatat bahwa hingga Oktober 2025 restitusi pajak mencapai Rp340,52 triliun dan meningkat 36,4% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Artinya, evaluasi penerimaan perlu memisahkan isu basis pajak (aktivitas ekonomi dan kepatuhan) dari isu arus kas (timing restitusi dan pembayaran).

Tantangan berikutnya adalah kualitas basis pajak dan efektivitas administrasi. Ketika sistem administrasi berpindah, beban kerja bukan hanya di pihak otoritas, tetapi juga di sisi korporasi dan pelaku usaha: penyesuaian proses bisnis, rekonsiliasi data transaksi, serta konsistensi pelaporan. Dalam konteks ini, stabilitas layanan Coretax dan kesiapan ekosistem menjadi faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi kenyamanan kepatuhan dan ketepatan pembayaran. Tidak sedikit Wajib Pajak yang apatis dengan Coretax, bisa karena ketidaktahuan atau ketidakpedulian. Tantangan ini sangat mempengaruhi kinerja penerimaan pajak 2025.

Prediksi Tantangan Perpajakan 2026: Revolusi Coretax Gelombang Berikutnya dan Integrasi CEISA

Tahun 2026 diperkirakan menjadi fase “pengetatan berbasis data” setelah fase transisi 2025. DJP telah mengumumkan bahwa mulai 2026, pelaporan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2025 dilakukan melalui Coretax, serta menghentikan penggunaan media sebelumnya seperti e-Filing dan e-Form untuk SPT Tahunan PPh. Perubahan ini menempatkan aktivasi akun Coretax dan aktivasi Kode Otorisasi/Sertifikat Elektronik sebagai prasyarat utama kepatuhan pelaporan.

Pada level desain formulir, DJP juga memperkenalkan konsep formulir dinamis dan pemanfaatan data terprepopulasi pada SPT Tahunan Orang Pribadi di Coretax. Konsep ini secara prinsip meningkatkan akurasi dan efisiensi, tetapi juga menuntut validitas data master (identitas, keluarga, harta, bukti potong, pembayaran) agar tidak menimbulkan salah isi yang berujung pada pembetulan berulang.

Pada saat yang sama, arah kebijakan Kementerian Keuangan menguat ke integrasi sistem penerimaan negara. Menurut pemberitaan DDTCNews, Kemenkeu berencana mengintegrasikan Coretax dengan CEISA (sistem kepabeanan dan cukai) dan SIMPONI (PNBP) untuk menciptakan pengawasan yang konsisten, andal, dan akurat, sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan. Jika integrasi ini berjalan bertahap pada 2026, maka konsistensi data lintas rezim (pajak, bea-cukai, PNBP) akan menjadi fokus baru.

Dalam konteks CEISA, DJBC juga terus mendorong implementasi CEISA 4.0. Salah satu penanda penting adalah terbitnya Keputusan Dirjen Bea dan Cukai KEP-231/BC/2025 tentang penerapan secara penuh (mandatory) CEISA 4.0 tahap tertentu, dengan mulai berlaku pada 8 Desember 2025. Secara praktis, hal ini menunjukkan bahwa pada 2026 semakin banyak proses kepabeanan-cukai yang terdigitalisasi dan distandarkan, sehingga jejak data transaksi lintas batas (impor/ekspor, fasilitas, kepatuhan dokumen) lebih mudah direkonsiliasi dengan pelaporan pajak.

Tantangan bagi Wajib Pajak di Era Law Enforcement 2026 dan Persiapan yang Harus Dilakukan

Jika 2025 adalah tahun adaptasi sistem, maka 2026 berpotensi menjadi tahun penguatan law enforcement berbasis data. Dengan Coretax sebagai pusat administrasi pajak dan arah integrasi ke CEISA, profil risiko wajib pajak akan semakin dibangun dari konsistensi data: kecocokan antara arus barang dan dokumen kepabeanan dengan pencatatan persediaan/COGS, kecocokan PPN masukan-keluaran dengan faktur dan pelaporan, serta kecocokan bukti potong/pungut dengan kredit pajak. Pada lingkungan seperti ini, deviasi kecil pun dapat lebih cepat muncul sebagai alert, dan proses klarifikasi cenderung menuntut respon yang cepat dan berbasis dokumen.

Untuk menghadapi 2026 secara aman, wajib pajak perlu menyiapkan empat lapisan kesiapan. Pertama, kesiapan akses dan otorisasi: pastikan akun Coretax aktif, role dan PIC jelas, serta Kode Otorisasi/Sertifikat Elektronik siap digunakan. Kedua, kesiapan data master: rapikan identitas (NIK-NPWP), alamat, email/HP, data keluarga, dan profil usaha, karena banyak fitur Coretax bergantung pada validitas data ini. Ketiga, kesiapan rekonsiliasi: buat SOP bulanan untuk rekonsiliasi PPN (e-Faktur Desktop/Coretax/PJAP), rekonsiliasi bukti potong/pungut, dan bila relevan rekonsiliasi CEISA dengan pembukuan. Keempat, kesiapan dokumen dan audit trail: tetapkan kebijakan arsip digital (kontrak, invoice, shipping documents, bukti bayar, bukti potong) yang mudah ditelusuri untuk kebutuhan klarifikasi, SP2DK, pemeriksaan, maupun keberatan/banding.

Pada akhirnya, era law enforcement modern tidak semata-mata ‘lebih keras’, tetapi ‘lebih presisi’. Wajib pajak yang menata data, proses, dan dokumen sejak hulu akan lebih siap menghadapi pengawasan yang makin cepat, sementara wajib pajak yang mengandalkan perbaikan di hilir berisiko menghadapi koreksi berulang, sanksi, dan biaya kepatuhan yang lebih tinggi.

Selamat tinggal 2025 , terima kasih sudah memberi banyak hikmah dan pelajaran.

Selamat datang 2026 yang akan jauh lebih baik.

Penulis adalah Anggota Departemen Humas IKPI

Donny Danardono

Email: donnydanardono@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Tarif Resiprokal Tetap, Indonesia Amankan Keuntungan Perdagangan dengan AS

IKPI, Jakarta: Pemerintah Indonesia memastikan hasil perundingan perdagangan terbaru dengan Amerika Serikat (AS) tidak mengubah skema tarif resiprokal yang selama ini telah disepakati kedua negara.

Tarif ekspor Indonesia ke pasar AS tetap berada di kisaran 19 persen, disertai pengecualian tarif untuk sejumlah komoditas unggulan nasional.

Kepastian ini disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, seusai bertemu dengan perwakilan United States Trade Representative (USTR), Ambassador Jameson Greer, di Washington DC, baru baru ini. Pertemuan tersebut membahas kelanjutan dokumen Agreement on Reciprocal Tariff (ART) antara Indonesia dan AS.

Menurut Airlangga, seluruh isu strategis maupun teknis yang tercantum dalam ART telah dibahas tuntas dan memperoleh kesepahaman. Tahap berikutnya memasuki proses penyelarasan bahasa hukum atau legal drafting sebelum ditandatangani secara resmi.

“Substansi sudah selesai. Tinggal dirapikan dalam legal drafting dan proses teknis lanjutan,” ujar Airlangga dalam konferensi pers daring dari Washington DC.

Lanjutan Kesepakatan Juli

Ia menjelaskan, dokumen ART ini merupakan tindak lanjut dari kesepakatan yang dicapai pada 22 Juli lalu, ketika Indonesia berhasil menurunkan tarif dari 32 persen menjadi 19 persen.

Selain penurunan tarif, Indonesia juga memperoleh fasilitas pengecualian untuk beberapa produk utama ekspor. Komoditas seperti minyak kelapa sawit, kopi, kakao, teh, dan sejumlah produk lain mendapatkan ruang tarif yang lebih kompetitif di pasar AS.

“Amerika Serikat memberikan pengecualian untuk beberapa produk unggulan kita, termasuk minyak sawit, kopi, dan teh,” kata Airlangga.

Airlangga menegaskan, hasil negosiasi ini tidak hanya memperkuat posisi dagang Indonesia, tetapi juga memberi dampak langsung ke sektor industri dalam negeri khususnya industri padat karya.

Sektor-sektor tersebut menyerap sekitar 5 juta pekerja, sehingga keberlanjutan akses pasar dan kepastian tarif dinilai penting untuk menjaga produksi, ekspor, dan stabilitas lapangan kerja. (alf)

id_ID