Kakanwil DJP Jakarta Timur: IKPI Harus Jadi Penggerak Kepatuhan Pajak, Bukan Sekadar Konsultan!

IKPI, Jakarta: Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jakarta Timur Achmad Djamhari menegaskan bahwa konsultan pajak harus berperan aktif sebagai penggerak kepatuhan pajak, bukan hanya sekadar penyedia jasa perhitungan dan pelaporan pajak.

Hal itu disampaikan pak Achmad Djamhari saat menerima kunjungan silaturahmi pengurus Pengda dan Pengcab Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) se-DKI Jakarta, di Kanwil DJP Jakarta Timur, Rabu (12/11/2025) pagi.

Pertemuan tersebut turut dihadiri oleh Kabid P2 Humas Ismail, Kabid Pemeriksaan dan Penyidikan Saefudin, sejumlah kepala seksi, serta para fungsional penyuluh dan pelaksana Kanwil Jakarta Timur.

“Konsultan pajak jangan hanya jadi perantara formalitas laporan. Jadilah penggerak kepatuhan pajak. Kalau ada kekurangan pembayaran dari wajib pajak, bantu mereka untuk melunasi tepat waktu. Jangan ada mark up omzet,” tegas Achmad Djamhari.

Ia juga menekankan pentingnya peran IKPI dalam mendukung program strategis DJP, terutama terkait aktivasi Coretax, sistem administrasi pajak terpadu yang akan menjadi tulang punggung pelayanan DJP di era digital.

“Kami butuh dukungan teman-teman IKPI untuk turun langsung ke masyarakat. Sosialisasikan dan bantu wajib pajak agar segera aktivasi Coretax. Targetnya, tahun ini semua wajib pajak sudah teraktivasi di sistem baru tersebut,” ujarnya.

Selain itu, pak Achmad Djamhari juga mengajak IKPI memperkuat sinergi dengan DJP dalam mendukung peningkatan penerimaan negara dan memberikan edukasi perpajakan yang konstruktif kepada wajib pajak.

Terkait SP2DK (Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan), pak Achmad Djamhari mengingatkan agar tidak dianggap sebagai ancaman.

“SP2DK jangan jadi momok. Datangi KPP, pahami permintaannya, dan bantu wajib pajak menindaklanjuti dengan baik,” pesannya.

Dalam kesempatan tersebut, Ketua Pengda IKPI Daerah Khusus Jakarta (DKJ) Tan Alim memperkenalkan struktur organisasi IKPI, mulai dari kepengurusan pusat hingga cabang-cabang di bawah naungan Pengda DKI. Ia juga menampilkan dokumentasi kegiatan Rakorda IKPI 2025 serta kunjungan silaturahmi ke sejumlah KPP di lingkungan Kanwil Wajib Pajak Besar (LTO) dan Kanwil Khusus.

“Kami berterima kasih atas sambutan hangat dari Kanwil DJP Jakarta Timur. Harapan kami, sinergi ini terus terjaga dan makin solid demi kepatuhan dan penerimaan pajak yang lebih baik,” ujar Tan Alim.

Kegiatan silaturahmi yang berlangsung akrab dan penuh semangat ini diakhiri dengan sesi foto bersama antara pengurus IKPI dan jajaran Kanwil DJP Jakarta Timur.

Hadir dalam kunjungan tersebut:

Dari Pengda IKPI DKI Jakarta:

• Tan Alim (Ketua)

• Hery Juwana (Humas)

• Reno Kentdrinan (Humas)

• Kosasih (Humas)

• Onny Ritonga (PPL)

Dari Pengurus Cabang IKPI:

• Agus Windu Atmojo (Ketua IKPI Cabang Jakarta Timur)

• Franky Foreson (Ketua IKPI Cabang Jakarta Utara)

• Sustiwi (Jakarta Timur)

• Tio Carlos (Jakarta Timur)

• Hanry Soegiharto (Jakarta Barat)

• Suly (Jakarta Barat)

• Tri Muryani (Jakarta Pusat)

• Tara Kartika (Jakarta Pusat)

Purbaya Sidak Bea Cukai Tanjung Perak, Kaget Barang Impor Rp50 Juta Dilaporkan Hanya Rp100 Ribu

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Tipe Madya Pabean Tanjung Perak, Rabu (13/11/2025). Dalam kunjungan tersebut, Purbaya menyoroti langsung proses pemeriksaan sejumlah barang impor yang terpantau janggal.

Salah satu temuan yang membuatnya heran adalah barang elektronik berteknologi tinggi yang dilaporkan hanya seharga US$7 atau sekitar Rp117 ribu, padahal harga pasarnya bisa mencapai puluhan juta rupiah.

“Harganya Rp100 ribu, gila murah banget. Ini di pasar bisa Rp50 jutaan, berarti mereka ambil untung gede, ya,” ujar Purbaya dengan nada heran, seperti terekam dalam video yang diunggah di akun TikTok resminya, @purbayayudhis.

Melihat kejanggalan itu, Purbaya langsung memerintahkan Balai Laboratorium Bea dan Cukai (KBLBC) Kelas II Surabaya untuk melakukan pengecekan ulang terhadap dokumen dan fisik barang. Ia menilai, fasilitas laboratorium Bea Cukai di Surabaya sudah cukup memadai, namun tetap siap memberikan tambahan dukungan jika dibutuhkan.

“Saya bilang ke teman-teman lab, kalau kurang peralatan, kasih tahu. Nanti kita lengkapi. Saya juga lihat container scanner, baru dua minggu sudah banyak dipasang,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Purbaya menegaskan komitmennya untuk memperkuat pengawasan berbasis teknologi di lingkungan Bea dan Cukai. Ia ingin agar seluruh proses pemeriksaan dapat dipantau langsung dari pusat oleh Kementerian Keuangan.

“Semua harus berbasis IT. Saya mau nanti sistemnya bisa ditarik ke Jakarta, sehingga orang pusat bisa melihat langsung apa yang terjadi di lapangan,” tegasnya.

Langkah tegas ini disebut sebagai bagian dari upaya pembersihan praktik undervaluation—atau pelaporan nilai barang impor di bawah harga sebenarnya—yang kerap merugikan negara dari sisi penerimaan pajak dan bea masuk.

Purbaya memastikan, sidak seperti ini akan terus dilakukan secara acak di berbagai pelabuhan utama untuk memastikan integritas petugas dan akurasi data impor tetap terjaga. (alf)

UNUSA Resmikan Tax Center Bersama DJP Jatim I, Siap Jadi Pusat Literasi Pajak dan Akuntansi Global

IKPI, Jakarta: Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (UNUSA) resmi memiliki tax center baru yang diresmikan bersama Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Timur (Kanwil DJP Jatim) I. Peresmian yang berlangsung di Auditorium Kampus B UNUSA itu disatukan dengan gelaran seminar internasional The 2nd Accounting Department International Activity (ADIA) bertema “Tax Literacy and Global Accounting”.

Kepala Kanwil DJP Jatim I Samingun menegaskan, pendirian tax center UNUSA menjadi wujud nyata pelaksanaan Tridarma Perguruan Tinggi di bidang perpajakan. Ia berharap, keberadaan pusat edukasi ini mampu memperluas wawasan masyarakat tentang pajak dan menumbuhkan kesadaran sukarela dalam melaksanakan kewajiban perpajakan.

“Tax center UNUSA kami harapkan menjadi sarana yang memperkuat kemitraan antara Direktorat Jenderal Pajak dan perguruan tinggi, serta memperluas jangkauan edukasi perpajakan di kalangan mahasiswa dan masyarakat,” ujar Samingun, Rabu (12/11/2025).

Ia menambahkan, Kanwil DJP Jatim I dan UNUSA sejatinya telah lama menjalin kerja sama di bidang edukasi perpajakan. Kini, dengan berdirinya tax center, kolaborasi tersebut memiliki wadah permanen untuk melaksanakan berbagai kegiatan seperti sosialisasi, konsultasi, pelatihan, hingga penelitian bersama. Tujuannya: membangun literasi pajak yang adaptif terhadap perkembangan teknologi digital.

Sementara itu, Wakil Rektor II UNUSA Mohamad Yusak Anshori menilai kehadiran tax center bukan sekadar tempat belajar pajak, melainkan ruang kolaborasi antara akademisi dan praktisi untuk mengembangkan kompetensi serta riset di bidang akuntansi dan perpajakan.

“Akuntansi dan perpajakan memiliki hubungan yang sangat erat dalam tata kelola keuangan yang transparan. Melalui tax center, UNUSA ingin mencetak akuntan dan profesional muda yang tidak hanya pandai menghitung, tetapi juga kritis, inovatif, dan berdampak bagi masyarakat,” ujar Yusak.

Ia menegaskan, akuntansi bukan hanya kegiatan mencatat angka, tetapi juga bahasa pengambilan keputusan yang mampu mendorong inovasi dan kesadaran pajak. “Dengan adanya tax center, kami siap menjadi mitra strategis DJP dalam meningkatkan literasi dan kepatuhan pajak di kalangan akademisi,” tambahnya.

Penyuluh Pajak Ahli Madya Kanwil DJP Jatim I Ifatir Badra turut menyoroti pentingnya kerja sama ini. Menurutnya, perguruan tinggi memiliki peran vital dalam membangun budaya sadar pajak sejak dini di kalangan generasi muda.

“Pajak bukan sekadar kewajiban, tetapi bentuk kontribusi nyata terhadap kemandirian bangsa. Kolaborasi seperti ini akan memperluas pemahaman masyarakat terhadap sistem perpajakan yang berkeadilan,” jelas Ifatir.

Setelah prosesi peresmian, kegiatan dilanjutkan dengan seminar internasional ADIA yang menghadirkan narasumber dari dalam dan luar negeri. Seminar tersebut membekali mahasiswa dengan literasi pajak dan praktik akuntansi modern, sekaligus membuka wawasan global tentang riset, inovasi teknologi, dan peluang karier internasional di bidang keuangan. (alf)

Ribuan Pegawai DJP Serentak Lakukan Stress Test Coretax Nasional

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tengah melakukan langkah besar dalam memastikan kesiapan sistem Coretax sebagai tulang punggung baru administrasi perpajakan nasional. Sepanjang Oktober hingga November 2025, ribuan pegawai DJP di seluruh Indonesia serentak melakukan stress test Coretax nasional, sebagai bagian dari persiapan pelaporan SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) tahun pajak 2025 yang akan berlangsung pada awal 2026.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) DJP, Rosmauli, menjelaskan bahwa stress test dilakukan untuk menguji stabilitas, kapasitas, dan keandalan sistem Coretax di bawah beban kerja tinggi, sembari melatih pegawai agar siap memberikan pelayanan terbaik kepada Wajib Pajak.

“Dapat kami sampaikan bahwa stress test telah dilakukan dan akan dilakukan lagi secara serentak di seluruh Indonesia. Kegiatan saat ini merupakan bagian dari pelatihan internal untuk memperkuat pemahaman pegawai terhadap sistem Coretax, sekaligus persiapan pelaporan SPT Tahunan tahun pajak 2025 yang akan dilakukan di Coretax,” ujar Rosmauli seperti dikutip dari Pajak.com, Kamis (13/11/2025).

Rosmauli menegaskan, pelatihan ini tidak sekadar uji coba teknis, tetapi juga simulasi menyeluruh proses pelaporan SPT Tahunan agar seluruh pegawai memahami alur kerja dan fitur dalam Coretax. Dengan demikian, ketika sistem diterapkan secara nasional pada Januari 2026, pelayanan kepada Wajib Pajak dapat berjalan lancar dan bebas gangguan.

“Dengan begitu, saat diterapkan kepada Wajib Pajak mulai Januari 2026 nanti, layanan pelaporan SPT dapat berjalan sukses dan lancar,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menyampaikan bahwa Coretax saat ini sedang dalam tahap akhir pengujian dan penyempurnaan. Ia menegaskan, sistem baru ini tidak hanya menggantikan Sistem Informasi DJP (SIDJP), tetapi juga menjadi fondasi utama transformasi digital perpajakan nasional.

“Perbaikan Coretax yang sedang diakselerasi bersama Pak Menteri [Keuangan] Purbaya adalah untuk memperkuat security system. Namun untuk sistem inti, pemerintah belum bisa mengintervensi langsung karena masih dalam masa garansi dari service provider. Target serah terima penuh kami tetapkan pada 15 Desember 2025,” ungkap Bimo di sela Forum Konsultasi Publik dan Peluncuran Piagam Wajib Pajak (Taxpayers Charters) di Kantor Wilayah DJP Jakarta Barat, (16/10/2025).

Sebelum serah terima dilakukan, DJP juga menggelar audit sistem informasi dan evaluasi deliverables kontrak bersama penyedia layanan. Sekitar 20 ribu pegawai DJP ambil bagian dalam stress test nasional ini untuk mengukur kapasitas dan kesiapan sistem sebelum diluncurkan resmi.

“Setelah semuanya clear and clean, tanggal 15 Desember 2025 kami targetkan sistem diserahterimakan sepenuhnya dan siap digunakan,” pungkas Bimo. (alf)

DJP Sampaikan Duka Mendalam atas Tragedi di Manokwari, Pastikan Pendampingan Penuh bagi Keluarga Korban

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyampaikan duka cita yang mendalam atas meninggalnya Aresty Gunar Tinarga (38), istri dari Amri Hidayat, Kepala Seksi Penjaminan Kualitas Data (Kasi PKD) Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Manokwari. Aresty menjadi korban dugaan tindak pidana yang terjadi di Manokwari, Papua Barat, pada awal pekan ini.

Dalam keterangan resminya, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) DJP, Rosmauli, menyatakan seluruh keluarga besar otoritas pajak berduka atas peristiwa tragis tersebut dan memastikan dukungan penuh bagi keluarga yang ditinggalkan.

“Kami memahami peristiwa ini sangat mengejutkan dan meninggalkan duka mendalam, tidak hanya bagi keluarga almarhumah, tetapi juga bagi seluruh insan Kementerian Keuangan,” ujar Rosmauli dalam pernyataan tertulis, Kamis (13/11/2025).

Rosmauli menjelaskan, berdasarkan laporan dari Kepala Perwakilan Kementerian Keuangan Provinsi Papua Barat, kepolisian telah bergerak cepat menangani kasus tersebut. Terduga pelaku berhasil diamankan oleh Polres Manokwari, sementara sejumlah barang milik korban yang sempat hilang telah ditemukan di lokasi persembunyian pelaku.

“Saat ini proses identifikasi jenazah dan autopsi dilakukan oleh tim forensik dengan pengawalan langsung dari Kapolres Manokwari dan Kapolda Papua Barat,” tambahnya.

Rencananya, jenazah almarhumah akan dipulangkan ke kampung halaman di Blitar, Jawa Timur, untuk dimakamkan secara layak. Rosmauli memastikan, koordinasi antar-kanwil DJP di Papua Barat, Maluku, dan Jawa Timur II berjalan baik agar proses pemulangan jenazah berlangsung tertib dan penuh penghormatan.

Selain bantuan logistik, DJP juga memberikan dukungan psikologis dan pendampingan langsung bagi keluarga korban, bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Bea Cukai).

“Koordinasi terus dilakukan secara berjenjang dengan pimpinan pusat Kementerian Keuangan dan DJP untuk memastikan setiap langkah dijalankan sesuai protokol dan dengan penuh empati,” ujar Rosmauli.

Dalam kesempatan yang sama, DJP menyampaikan apresiasi kepada Kepolisian Daerah Papua Barat dan Polres Manokwari atas respons cepat dalam mengungkap kasus ini. Menurut Rosmauli, langkah sigap aparat menunjukkan kehadiran negara yang nyata di tengah musibah yang menimpa aparatur sipil negara yang sedang mengabdi di daerah.

Tragedi ini menggugah rasa kemanusiaan dan solidaritas di lingkungan Kementerian Keuangan. Di balik pekerjaan yang penuh tanggung jawab, para pegawai diingatkan kembali bahwa mereka adalah manusia yang juga menghadapi duka dan kehilangan.

“Atas nama keluarga besar Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak, kami turut berbelasungkawa yang sedalam-dalamnya. Semoga almarhumah mendapatkan tempat terbaik di sisi Tuhan Yang Maha Esa, dan keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan serta ketabahan,” tutur Rosmauli.

Ia juga mengimbau masyarakat untuk menahan diri dari menyebarkan spekulasi atau narasi yang belum terverifikasi, guna menjaga ketenangan keluarga korban dan memastikan penyelidikan berjalan dengan baik.

“Kami mengajak seluruh pihak menunggu informasi resmi dari kepolisian, demi menghormati pihak yang berduka dan menjaga kelancaran proses hukum,” pungkasnya. (alf)

Sulteng Raih Dana Insentif Fiskal Rp5,6 Miliar Berkat Keberhasilan Tekan Stunting

IKPI, Jakarta: Upaya Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) dalam menurunkan angka stunting akhirnya berbuah manis. Pemerintah pusat memberikan Dana Insentif Fiskal (DIF) sebesar Rp5,6 miliar sebagai bentuk apresiasi atas capaian signifikan daerah ini dalam memperbaiki kualitas gizi anak.

“Penghargaan ini menjadi bukti bahwa kerja keras semua pihak di Sulteng membuahkan hasil nyata. Namun perjuangan belum selesai. Kita harus memastikan anak-anak Sulteng tumbuh sehat, kuat, dan cerdas agar siap bersaing di masa depan,” ujar Wakil Gubernur Sulteng, Reny A. Lamadjido, dalam keterangan tertulis di Palu, Rabu (12/11/2025).

Penghargaan tersebut diserahkan dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) dan Rapat Koordinasi Teknis (Rakortek) Percepatan Penurunan Stunting 2025 yang digelar Kementerian Kesehatan di Jakarta.

Reny menyampaikan rasa syukur dan apresiasi atas penghargaan itu, sekaligus menegaskan bahwa keberhasilan Sulteng adalah hasil kerja kolektif lintas sektor—mulai dari tenaga kesehatan, perangkat daerah, hingga peran aktif masyarakat desa.

Pemerintah Provinsi Sulteng berkomitmen untuk terus memperkuat program intervensi gizi, edukasi keluarga, serta sinergi lintas sektor hingga pelosok, agar penurunan stunting bisa berkelanjutan.

“Penurunan stunting bukan semata isu kesehatan, tapi juga investasi jangka panjang bagi kualitas sumber daya manusia Sulawesi Tengah,” kata Reny.

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 330 Tahun 2025, pemerintah menetapkan total alokasi Dana Insentif Fiskal sebesar Rp300 miliar bagi daerah-daerah yang berhasil menurunkan prevalensi stunting. Dari jumlah tersebut, Sulawesi Tengah menjadi salah satu provinsi penerima berkat capaian penurunan yang signifikan di berbagai kabupaten/kota.

Pemerintah pusat, melalui Sekretariat Wakil Presiden RI, menargetkan prevalensi stunting nasional turun hingga 14,2 persen pada 2029 dan 5 persen pada 2045, sebagaimana tertuang dalam RPJMN 2025–2029 dan RPJP 2025–2045. Capaian Sulteng menjadi bukti nyata bahwa kolaborasi daerah mampu mendukung target nasional tersebut.

Reny menegaskan bahwa penghargaan ini bukan hanya simbol prestasi, tetapi juga tanggung jawab moral bagi seluruh jajaran pemerintah daerah dan tenaga kesehatan.

“Kami akan terus bekerja dengan hati, memastikan setiap anak di Sulawesi Tengah mendapatkan hak tumbuh kembang yang layak. Karena sehatnya anak hari ini adalah cerminan kuatnya masa depan daerah,” pungkasnya.

Ia juga menyampaikan apresiasi kepada seluruh Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS), termasuk Bappeda, Dinas Kesehatan, dan para kader posyandu yang telah berjuang tanpa lelah di lapangan, menjadi garda terdepan dalam memastikan generasi Sulteng tumbuh sehat dan berkualitas. (alf)

IKPI Jakarta Utara Tutup Rangkaian PPL 2025 dengan Seminar Coretax dan Rapat Anggota

IKPI, Jakarta Utara: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Utara kembali menggelar kegiatan Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) di Jakarta. Seminar ini menjadi penutup rangkaian kegiatan PPL tahun 2025 yang diselenggarakan oleh IKPI Cabang Jakarta Utara.

Kegiatan tersebut diikuti oleh 138 peserta, terdiri atas anggota IKPI Jakarta Utara dan peserta umum. Seminar menghadirkan Anwar Hidayat sebagai narasumber dengan tema “Manajemen Coretax: PER-11 Tahun 2025, SPT Badan, dan Dinamisasi PPh 25.”

Ketua IKPI Jakarta Utara Franky Foreson menyampaikan apresiasi atas antusiasme para peserta yang aktif berdiskusi sepanjang acara.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Jakarta Utara)

“Peserta sangat antusias membahas studi kasus lapangan terkait Coretax. Tahun 2026 menjadi tahun pertama pelaporan SPT Tahunan menggunakan Coretax, sehingga penting bagi anggota untuk memahami berbagai kasus teknis di lapangan bersama narasumber yang kompeten,” ujar Franky, Kamis (13/11/2025).

Kegiatan ini turut dihadiri oleh dua perwakilan Pengurus Daerah Daerah Khusus Jakarta, yakni Hery Juwana dan Daniel Mulia, serta Pengurus Pusat IKPI, Donny Eduardus Rindorindo, yang menjabat sebagai Ketua Departemen Sistem Pengembangan Bisnis Anggota (SPPBA).

Selain itu, Wakil Ketua Umum IKPI Nuryadin Rahman, yang hadir mewakili Ketua Umum Vaudy Starworld, menyampaikan bahwa IKPI terus berupaya mempererat komunikasi antaranggota melalui pembentukan berbagai komunitas olahraga.

Ia juga menambahkan bahwa IKPI telah bekerja sama dengan sejumlah hotel, universitas, dan merchant untuk memberikan diskon atau harga khusus bagi anggota yang menunjukkan kartu keanggotaan IKPI.

“Kami ingin anggota IKPI merasakan lebih banyak manfaat, tidak hanya dari sisi profesional, tetapi juga dari sisi keseharian,” tutur Nuryadin.

Usai seminar, kegiatan dilanjutkan dengan Rapat Umum Anggota khusus bagi anggota IKPI Jakarta Utara. Dalam rapat tersebut, Bendahara Cabang Lisayanti Lie memaparkan laporan keuangan cabang tahun berjalan.

Kemudian, Ketua Departemen PPL IKPI Jakarta Utara, Petrus Kho, menyampaikan presentasi mengenai jadwal seminar tahun 2026, menandai dimulainya persiapan kegiatan PPL untuk tahun mendatang. (bl)

Between Competitiveness and Compliance: Tantangan Implementasi Refundable Tax Credit dalam Rezim Pajak Minimum Global

Situasi dan Tantangan

Dalam era globalisasi ekonomi yang semakin kompleks, persaingan antarnegara dalam menarik investasi asing langsung atau Foreign direct investment (FDI) dan membangun iklim usaha yang kompetitif menjadi faktor utama bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Bagi Indonesia, strategi fiskal seperti pemberian insentif berupa tax holiday, super tax deduction, dan tax allowance telah diterapkan sejak lama untuk menarik investasi di sektor manufaktur, energi dan industri pengolahan. Akan tetapi, rezim insentif tersebut semakin menghadapi tantangan substansial, terutama dengan adanya perubahan dalam arsitektur perpajakan internasional yang diprakarsai oleh negara-negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan G20 (Saragih, 2023).

Tercatat bahwa struktur perekonomian Indonesia masih bergantung pada kontribusi investasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2024), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2024 mencapai 5,03%, di mana sebesar 1,43 persen poin berasal dari pembentukan modal tetap bruto (PMTB) sebagai komponen utama investasi. Peran investasi asing langsung juga tetap signifikan dalam menopang aktivitas produksi, penciptaan lapangan kerja, serta peningkatan kapasitas ekspor. Oleh sebab itu, setiap perubahan kebijakan global yang berpotensi mempengaruhi arus modal masuk perlu diantisipasi secara cermat agar tidak mengurangi daya tarik investasi Indonesia.

Lebih jauh, aspek daya saing nasional turut menjadi fokus perhatian. Berdasarkan laporan International Institute for Management Development (IMD) World Competitiveness Ranking 2024, Indonesia naik ke peringkat 27 dari sebelumnya peringkat 34, dengan skor 71,52 yang merupakan capaian tertinggi sepanjang sejarah (AEI, 2025). Capaian ini menunjukkan adanya peningkatan iklim usaha dan kapasitas daya saing nasional, terutama pada aspek efisiensi pemerintahan dan kinerja ekonomi. Namun, peningkatan tersebut juga menimbulkan pertanyaan strategis: sejauh mana daya saing ini dapat dipertahankan ketika sistem perpajakan global bergeser menuju rezim minimum 15%?

Aspek yang tidak kalah penting adalah compliance (kepatuhan), yang dalam konteks kebijakan perpajakan memiliki dua dimensi. Pertama, kepatuhan internal wajib pajak domestik terhadap sistem perpajakan nasional, yang tercermin dalam tingkat tax ratio Indonesia yang masih berkisar pada 10%–11%, jauh di bawah rata-rata negara G20 sebesar 22,85% (Arizal, 2023). Kedua, kepatuhan eksternal Indonesia terhadap standar internasional seperti rezim Global Minimum Tax (GMT) atau BEPS Pillar 2 OECD (Limono, 2025). Tingginya tingkat kepatuhan internal menjadi penting karena mempengaruhi kapasitas fiskal untuk mempertahankan insentif yang berkelanjutan, sementara kepatuhan eksternal menentukan posisi Indonesia dalam sistem pajak global.

Secara spesifik, OECD melalui proyek Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Pillar 2 memperkenalkan ketentuan Global Minimum Tax (GMT) yang menetapkan Effective Tax Rate (ETR) sebesar 15 % bagi grup perusahaan multinasional dengan pendapatan konsolidasi di atas EUR 750 juta atau setara dengan Rp14.477.902.500.000 Berdasarkan Kurs KMK Tahun 2025 (1 EUR = Rp19.303,87). Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi praktik penghindaran pajak lintas yurisdiksi serta mencegah negara-negara terlibat dalam race to the bottom melalui pemberian insentif pajak berlebihan (Remonda, 2025). Implikasinya, strategi fiskal konvensional yang menurunkan tarif pajak korporasi secara signifikan menjadi tidak lagi relevan karena potensi manfaatnya akan dikompensasi melalui mekanisme top-up tax di negara asal induk perusahaan.

Dalam konteks ini, skema insentif konvensional seperti tax holiday mulai menghadapi persoalan dalam hal efektivitas. Perusahaan yang memperoleh fasilitas tersebut umumnya menikmati tarif pajak efektif yang lebih rendah dari 15%. Kondisi ini berpotensi memicu penerapan top-up tax oleh negara asal investor melalui mekanisme Income Inclusion Rule (IIR) atau Undertaxed Payment Rule (UTPR) sebagaimana diatur dalam Pilar 2 OECD. Akibatnya, manfaat fiskal yang seharusnya diperoleh di Indonesia dapat berpindah ke yurisdiksi lain, sehingga tujuan awal dari insentif tersebut, yaitu menarik investasi, berisiko kehilangan relevansinya.

Sebagai respons atas tantangan tersebut, Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136 Tahun 2024 memperkenalkan skema Qualified Refundable Tax Credit (QRTC) sebagai alternatif insentif fiskal yang tetap kompatibel dengan rezim Global Minimum Tax (GMT). Skema ini memungkinkan pemberian insentif berbasis kinerja dan kontribusi ekonomi, seperti kegiatan Research and Development (R&D), penyerapan tenaga kerja, serta penggunaan komponen lokal. Meskipun demikian, efektivitas QRTC masih menyisakan pertanyaan: apakah kebijakan ini memiliki potensi untuk meningkatkan daya saing investasi, atau sekadar dirancang untuk menjaga effective tax rate (ETR) perusahaan agar tidak berada di bawah ambang 15%? Tantangan implementasi dari sisi regulasi, administrasi, dan kesiapan sistem pelaporan menunjukkan bahwa keberhasilan QRTC akan sangat bergantung pada sejauh mana mekanisme ini dapat memberikan kepastian dan manfaat ekonomi nyata bagi investor maupun negara.

Kerangka Konseptual

Dalam konteks perpajakan modern, isu kepatuhan pajak internasional menjadi salah satu fokus utama kebijakan fiskal di Indonesia. Upaya untuk meningkatkan kepatuhan pajak tidak hanya bertujuan meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga mempertahankan reputasi fiskal di tengah kompetisi global yang semakin terbuka. OECD memperkenalkan inisiatif Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) untuk mengatasi praktik penghindaran pajak lintas yurisdiksi yang dilakukan oleh perusahaan multinasional atau bisa juga disebut Multinational Enterprises (MNEs) (Saragih, 2023).

Salah satu langkah kunci dari inisiatif ini adalah BEPS Pillar 2, yang menetapkan kebijakan Global Minimum Tax (GMT) dengan Effective Tax Rate (ETR) minimum sebesar 15%. Ketentuan ini dituangkan dalam Global Anti-Base Erosion (GloBE) Rules, yang terdiri atas tiga pilar utama:

Income Inclusion Rule (IIR), peraturan penggabungan pendapatan yang memberikan negara tempat induk entitas berada berhak untuk memungut top-up tax atas laba entitas anak di luar negeri apabila ETR di negara tempat anak usaha beroperasi lebih rendah dari 15%.

Undertaxed Payment Rule (UTPR), memberikan kewenangan kepada negara tempat entitas lain dalam grup berada untuk memungut top-up tax apabila IIR tidak diterapkan oleh negara induk.

Qualified Domestic Minimum Top-up Tax (QDMTT), memungkinkan negara tempat entitas beroperasi (seperti Indonesia), untuk mempertahankan hak pemajakannya dengan memungut top-up tax secara domestik.

Selain itu, OECD juga memperkenalkan konsep Qualified Refundable Tax Credit (QRTC) sebagai bentuk insentif fiskal yang kompatibel dengan ketentuan Global Minimum Tax (GMT) dalam Pilar 2. QRTC merupakan kredit pajak yang refundable (dapat dikembalikan) dalam jangka waktu tertentu atau transferable (dapat dialihkan), dan dalam kerangka Global Anti-Base Erosion (GloBE) Rules diperlakukan sebagai income (pendapatan), bukan sebagai covered tax (pajak yang ditanggung) (OECD, 2023). Perlakuan tersebut menjadikan QRTC berbeda dari insentif pajak konvensional seperti tax holiday atau tax allowance yang menurunkan Effective Tax Rate (ETR) dan berpotensi menimbulkan risiko top-up tax oleh negara lain.

Dengan QRTC, suatu negara tetap dapat memberikan dukungan fiskal bagi dunia usaha tanpa mengurangi kepatuhan terhadap ketentuan GMT. Secara umum, QRTC memiliki dua karakteristik utama menurut OECD:

Bersifat refundable dalam jangka waktu maksimum empat tahun sejak tahun pengajuan; dan

Dapat diberikan dalam bentuk cash refund (tunai) atau offset against other tax liabilities (dikompensasikan dengan kewajiban pajak lain).

Dua karakteristik tersebut menjadi dasar agar suatu kredit pajak dapat diperlakukan sebagai “qualified” menurut standar OECD. Namun, kriteria dan desain implementasinya ditetapkan oleh masing-masing negara yang mengadopsinya, menyesuaikan dengan kebijakan fiskal dan kapasitas anggaran domestik. Oleh karena itu, meskipun prinsip umumnya bersifat seragam, mekanisme pelaksanaan QRTC dapat berbeda antar yurisdiksi.

Dalam konteks Indonesia, skema tax holiday diatur dalam PMK Nomor 130 Tahun 2020 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan. Fasilitas ini diberikan kepada industri pionir dengan nilai investasi minimal Rp500 miliar hingga lebih dari Rp1 trilun dengan masa pengurangan PPh badan antara 5 hingga 20 tahun. Meskipun efektif dalam menarik investasi besar, pendekatan ini berpotensi menurunkan ETR di bawah 15%, sehingga manfaat fiskalnya dapat berpindah ke negara asal investor. Oleh karena itu, ketentuan mengenai nilai investasi minimum dan penyerapan tenaga kerja dalam skema tax holiday dapat dijadikan acuan dalam merancang tiered incentive system pada QRTC agar tetap kompetitif namun selaras dengan rezim GMT.

Selain itu, prinsip local content juga menjadi pertimbangan penting dalam desain performance-based incentive (insentif fiskal berbasis hasil). Dalam PMK Nomor 237 Tahun 2020 tentang Fasilitas Pajak di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), salah satu syarat pemberian fasilitas adalah penggunaan domestic content (kandungan lokal) minimal 40%. Ketentuan ini menunjukkan komitmen pemerintah terhadap penciptaan nilai tambah domestik dan penguatan rantai pasok nasional. Prinsip serupa dapat diintegrasikan ke dalam QRTC sebagai dasar pemberian insentif berbasis kontribusi ekonomi nyata, seperti penggunaan komponen dalam negeri, peningkatan kapasitas riset domestik, dan penyerapan tenaga kerja berkelanjutan.

Kehadiran Pilar 2 menjadi relevan bagi Indonesia karena berdampak langsung terhadap efektivitas berbagai skema insentif fiskal domestik, seperti tax holiday dan tax allowance. Dalam konteks ini, perusahaan yang menerima fasilitas tax holiday berpotensi memiliki ETR di bawah ambang 15%, sehingga negara asal investor dapat mengenakan top-up tax melalui mekanisme IIR atau UTPR. Risiko ini diperkuat oleh fakta bahwa insentif pajak yang menciptakan perbedaan permanen antara laba komersial dan fiskal, seperti pemberian tarif pajak lebih rendah, terdampak oleh ketentuan GloBE, karena secara langsung berpotensi menurunkan nilai ETR (Remonda, 2025). Akibatnya, manfaat fiskal yang semula diberikan oleh pemerintah Indonesia dapat berpindah ke yurisdiksi lain, mengurangi daya saing kebijakan insentif nasional.

Dalam sistem perpajakan Indonesia, perbedaan antara Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) dan Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) menjadi penting dalam menentukan hak pemajakan antarnegara. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) , SPDN dikenai pajak atas seluruh penghasilannya, baik dari dalam maupun luar negeri (worldwide income), sedangkan SPLN hanya atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia (source-based taxation). Melalui Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), Indonesia membagi hak pemajakan dengan negara lain untuk mencegah pajak berganda atas penghasilan lintas batas (Lubis, 2023).

Dalam konteks ini, BUT menjadi representasi kehadiran ekonomi SPLN di Indonesia dalam menjamin keadilan fiskal bagi source country (negara sumber) seperti Indonesia, karena melalui BUT, negara memiliki dasar hukum untuk memajaki penghasilan yang diperoleh SPLN dari aktivitas ekonomi nyata di wilayahnya. Namun, dalam rezim Global Minimum Tax (GMT), BUT yang memperoleh fasilitas insentif fiskal seperti tax holiday berisiko memiliki tarif pajak efektif (ETR) di bawah ambang batas 15%, sehingga potensi pemungutan top-up tax oleh negara asal investor meningkat. Kondisi ini menunjukkan perlunya kebijakan insentif seperti Qualified Refundable Tax Credit (QRTC) yang tidak hanya menjaga kepatuhan terhadap ketentuan global, tetapi juga memastikan manfaat ekonomi yang nyata bagi Indonesia.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2024), penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) mencapai Rp1.139,78 triliun. Diperkirakan terdapat pengaruh signifikan dari entitas asing termasuk BUT dan SPLN, khususnya di sektor manufaktur, pertambangan, migas, dan jasa. Temuan ini sejalan dengan penelitian Muhammad Iqbal et al., (2023), yang menunjukkan bahwa perusahaan multinasional memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian nasional melalui peningkatan ekspor, transfer teknologi, dan penciptaan lapangan kerja.

Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, dalam rezim Global Minimum Tax, BUT penerima fasilitas insentif fiskal seperti tax holiday berisiko memiliki ETR di bawah 15%, sehingga dapat dikenai top-up tax oleh negara asal perusahaan induk. Hal ini menimbulkan tantangan baru bagi Indonesia: di satu sisi, pemerintah perlu mempertahankan daya saing fiskal untuk menarik investasi; di sisi lain, kepatuhan terhadap standar pajak internasional harus dijaga agar Indonesia tidak dianggap sebagai low-tax jurisdiction (yurisdiksi berisiko rendah).

Oleh karena itu, pengenalan Qualified Refundable Tax Credit (QRTC) melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136 Tahun 2024 menjadi langkah strategis. Skema ini dirancang agar insentif pajak tetap diakui secara global sesuai ketentuan GloBE, sekaligus mendorong kontribusi ekonomi nyata dari investor asing. Dengan perancangan yang tepat, QRTC berpotensi menjadi jembatan antara kepatuhan internasional dan keberlanjutan daya saing nasional.

Analisis Kebijakan QRTC di Indonesia dan Penerapannya di Negara Lain

Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024 telah menetapkan kerangka kebijakan GMT sebagai tindak lanjut dari implementasi OECD/G20 BEPS Pilar 2. Kebijakan ini mengatur beberapa instrumen utama, yaitu IIR, UTPR, QDMTT, serta pengenalan QRTC sebagai bentuk insentif fiskal baru yang tetap diakui dalam perhitungan ETR minimal 15% (Limono, 2025). Namun, hingga saat ini, pelaksanaan QRTC di Indonesia belum dapat berjalan secara efektif karena belum adanya aturan teknis yang mengatur secara rinci kriteria wajib pajak penerima, formula dan besaran kredit pajak, mekanisme pengajuan serta prosedur refund (pengembalian).

Di sisi lain, sistem administrasi dan infrastruktur pelaporan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga dirasa belum sepenuhnya siap untuk melakukan verifikasi ETR berbasis GloBE Information. Kekosongan ini menimbulkan ketidakpastian fiskal bagi investor, terutama bagi perusahaan yang sebelumnya menikmati fasilitas tax holiday. Dalam konteks GMT, insentif yang menurunkan ETR di bawah 15% berisiko memicu top-up tax di negara asal investor, sehingga manfaat fiskal bisa berpindah dari Indonesia ke yurisdiksi lain (OECD, 2022).

Sebagai pembanding, sejumlah negara telah lebih dahulu mengadaptasi kebijakan insentif fiskal yang kompatibel dengan standar GMT. Singapura memperkenalkan Refundable Investment Credit (RIC), Vietnam menerapkan cash grant melalui Investment Support Fund, sedangkan Polandia dan Hungaria dalam tahap penyesuaian agar sistem kredit pajaknya memenuhi kriteria Qualified Refundable Tax Credit. Inti dari seluruh kebijakan tersebut adalah pergeseran dari bentuk insentif konvensional seperti tax holiday atau tax allowance menuju skema yang bersifat refundable atau transferable, yang tetap diakui sebagai covered tax dalam perhitungan GMT (PWC STUDIO, 2024). Rincian mengenai desain dan implementasi skema Qualified Refundable Tax Credit (QRTC) di beberapa negara, seperti Singapura, Vietnam, Polandia, dan Hungaria disajikan secara rinci pada Tabel Lampiran 1.

 

Singapura melalui Refundable Investment Credit (RIC) mensyaratkan investasi minimal sebesar SGD 3 juta hingga SGD 7 juta dengan penyerapan 8 hingga 18 tenaga kerja lokal, tergantung pada tier proyek yang diajukan sesuai kebijakan RIC. Skema ini menerapkan tiered incentive (pendekatan bertingkat), di mana tingkat dukungan (10%, 30%, atau 50% dari pengeluaran investasi yang memenuhi syarat) ditetapkan berdasarkan skala proyek, tingkat inovasi, dan dampak ekonominya terhadap sektor strategis seperti manufaktur hijau dan digitalisasi.

Berdasarkan data Department of Statistics Singapore (2024), arus Foreign Direct Investment (FDI) ke Singapura mencapai USD 192 miliar pada 2024, meningkat 5,6% dibanding tahun sebelumnya. Peningkatan ini Sebagian besar disebabkan oleh kenaikan equity capital (modal ekuitas) dan retained earnings (laba ditahan), yang bertepatan dengan implementasi skema Refundable Investment Credit (RIC) dalam Budget 2024. Meskipun peningkatan tersebut tidak sepenuhnya dapat dikaitkan langsung dengan RIC, data ini mengindikasikan bahwa insentif fiskal yang dirancang sesuai standar Pilar 2 dapat tetap menjaga daya tarik investasi tanpa menurunkan ETR.

Vietnam, melalui Decree No. 182/2024/NĐ-CP, memperkenalkan Investment Support Fund (ISF) yang berlaku sejak 31 Desember 2024 sebagai skema cash grant yang selaras dengan Pillar 2 OECD. Dukungan ini tidak menurunkan ETR karena diberikan dalam bentuk tunai dan dicatat sebagai pendapatan (PwC, 2025). Investment Support Fund mencakup dua bentuk dukungan yaitu biaya operasional dan biaya investasi awal, ditujukan bagi sektor teknologi tinggi, semikonduktor, R&D, dan kecerdasan buatan (AI). Untuk memperoleh dukungan, perusahaan wajib memiliki investasi minimal VND 12.000 miliar (±USD 470 juta) atau pendapatan tahunan VND 20.000 miliar (±USD 790 juta). Bagi industri chip dan pusat data AI, batasnya diturunkan menjadi VND 6.000 miliar, sementara proyek desain microchip harus mempekerjakan ≥300 insinyur lokal dan melatih 30 teknisi per tahun.

Dukungan diberikan secara progresif, antara lain hingga 50% untuk pelatihan tenaga kerja, 25% untuk infrastruktur sosial, dan 20–30% untuk kegiatan R&D. Untuk proyek R&D di bidang semikonduktor dan AI, pemerintah menanggung hingga 50% dari total biaya investasi awal dengan nilai investasi minimal VND 3.000 miliar dan realisasi VND 1.000 miliar dalam tiga tahun pertama. Pendekatan ini menekankan hasil ekonomi dan transfer teknologi, bukan pengurangan pajak, serta memastikan kepatuhan terhadap Pilar 2 melalui skema QRTC.

Selain itu, pengalaman Polandia dan Hungaria menunjukkan pentingnya desain transisi dan fokus tematik dalam penerapan Qualified Refundable Tax Credit (QRTC). Polandia melakukan reformasi bertahap untuk menyesuaikan sistem tax credit dan insentif kawasan ekonomi khusus atau Special Economic Zone (SEZ) agar memenuhi standar OECD, sedangkan Hungaria sudah lebih maju dengan New R&D Tax Credit yang bersifat qualified refundable dan memberikan pengembalian hingga 10% dari biaya riset dalam jangka waktu empat tahun. Kedua pendekatan ini dapat menjadi acuan bagi Indonesia untuk merancang QRTC yang tidak hanya selaras dengan ketentuan Pillar 2 OECD, tetapi juga mendukung inovasi dan riset industri domestik secara berkelanjutan.

Dapat disimpulkan bahwa negara-negara seperti Singapura dan Vietnam telah menunjukkan contoh keberhasilan dalam menyesuaikan kebijakan insentif fiskal dengan kerangka Pajak Minimum Global. Melalui mekanisme seperti refundable tax credit atau cash grant, insentif fiskal tetap memberikan manfaat ekonomi nyata bagi investor dan negara, seperti peningkatan investasi strategis, penciptaan lapangan kerja, dan penguatan kapasitas riset tanpa menurunkan ETR di bawah batas minimum 15%. Pembelajaran ini relevan bagi Indonesia, di mana arah kebijakan QRTC ke depan perlu menyeimbangkan kepatuhan terhadap ketentuan global dengan daya saing investasi nasional, serta memastikan implementasi yang efektif melalui kejelasan regulasi, kesiapan sistem administrasi, dan fokus pada sektor-sektor bernilai tambah tinggi yang meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi.

Perbandingan ETR dengan Tax Holiday dan Qualified Refundable Tax Credit (QRTC)

Perbandingan berikut menggambarkan perbedaan dampak antara skema tax holiday dan Qualified Refundable Tax Credit (QRTC) terhadap Effective Tax Rate (ETR) berdasarkan ilustrasi perhitungan dalam Lampiran PMK Nomor 136 Tahun 2024, dengan penyesuaian asumsi untuk skema tax holiday.

A. Dengan QRTC

Diasumsikan A Co merupakan Entitas Induk Utama yang berlokasi di Negara A yang memiliki Tarif Nominal sebesar 20%. A Co memiliki laba setelah pajak sebesar EUR 1000,00 dan PPh terutangnya sebesar EUR 200,00. A Co mendapatkan QRTC sebesar 20% dari biaya gaji EUR 600,00 (QRTC = 20% x EUR 600,00 = EUR 120,00). Maka penyesuaian atas QRTC dan besaran ETR nya adalah sebagai berikut.

Hasil perbandingan sederhana menunjukkan bahwa skema tax holiday, meskipun efektif menarik investasi melalui pembebasan pajak, secara substansial menurunkan bahkan meniadakan beban pajak perusahaan. Akibatnya, Effective Tax Rate (ETR) entitas penerima tax holiday dapat berada jauh di bawah ambang batas 15%, sehingga tidak diakui sebagai covered tax dalam kerangka OECD Global Anti-Base Erosion (GloBE). Kondisi ini berpotensi menimbulkan pemungutan top-up tax oleh negara asal dan mengalihkan manfaat fiskal dari Indonesia ke yurisdiksi lain.

Sebaliknya, Qualified Refundable Tax Credit (QRTC) menawarkan bentuk insentif yang lebih kompatibel dengan Pilar 2 OECD karena diberikan dalam bentuk kredit pajak yang refundable (dapat dikembalikan) tanpa mengurangi pajak terutang secara langsung. QRTC dicatat sebagai pendapatan perusahaan, sehingga tidak menurunkan ETR dan tetap menjaga kepatuhan terhadap ambang batas minimum 15%. Namun demikian, urgensi penerapan QRTC tidak semata-mata untuk menjaga agar ETR tidak berada di bawah 15% atau menghindari top-up tax, melainkan juga untuk memastikan bahwa kebijakan ini memberikan manfaat ekonomi nyata bagi Indonesia.

Oleh karena itu, perumusan standar yang jelas dan selektif diperlukan untuk menentukan jenis QRTC yang dapat dikategorikan sebagai refundable, dengan prioritas pada kegiatan yang memiliki efek pengganda terhadap perekonomian nasional. Seperti peningkatan riset dan pengembangan (R&D), penyerapan tenaga kerja, serta penggunaan komponen lokal. Melalui pendekatan ini, QRTC tidak hanya berfungsi sebagai instrumen kepatuhan terhadap standar pajak internasional, tetapi juga sebagai kebijakan fiskal strategis yang memiliki kemampuan untuk mendukung laju pertumbuhan ekonomi dan memperkuat daya saing investasi Indonesia.

Kesimpulan, Rekomendasi Kebijakan dan Limitasi

Kesimpulan

Penerapan Global Minimum Tax (GMT) menandai perubahan paradigma dalam arsitektur perpajakan internasional yang menuntut adaptasi kebijakan insentif fiskal di tingkat nasional. Skema konvensional seperti tax holiday terbukti kurang efektif dalam konteks rezim pajak global baru, karena berpotensi menurunkan Effective Tax Rate (ETR) di bawah ambang batas 15% dan mengalihkan manfaat fiskal ke negara asal melalui mekanisme top-up tax. Sebagai respons, Qualified Refundable Tax Credit (QRTC) muncul sebagai instrumen yang lebih kompatibel dengan ketentuan OECD Pillar 2, karena memberikan insentif dalam bentuk kredit pajak yang refundable (dapat dikembalikan) tanpa menurunkan ETR.

Secara konseptual, QRTC menawarkan keseimbangan antara compliance (kepatuhan) terhadap ketentuan pajak global dan upaya mempertahankan competitiveness (daya saing) fiskal nasional, sekaligus membuka ruang bagi kebijakan berbasis kinerja yang lebih terukur. Kendati demikian, efektivitas QRTC dalam mendorong peningkatan daya saing investasi belum dapat dibuktikan secara empiris. Data Department of Statistics Singapore (2024) mencatat kenaikan Foreign Direct Investment (FDI) sebesar 5,6% setelah diperkenalkannya Refundable Investment Credit (RIC). Indikasi ini menunjukkan bahwa penerapan insentif fiskal yang refundable (dapat dikembalikan) dan selaras dengan Pilar 2 OECD berpotensi menjadi salah satu faktor pendukung dalam menjaga arus investasi dan persepsi stabilitas fiskal suatu negara, meskipun peningkatan ini belum dapat dipastikan sebagai akibat langsung dari kebijakan tersebut.

Rekomendasi Kebijakan

Dalam konteks implementasi di Indonesia, desain Qualified Refundable Tax Credit (QRTC) perlu diarahkan pada prinsip selektivitas dan performance-based (berbasis hasil). Pemerintah dapat menerapkan skema tiered incentive yang menyerupai struktur tax holiday, yaitu pemberian tingkat dukungan berbeda berdasarkan skala investasi dan dampak ekonominya. Rentang dukungan dapat ditetapkan antara 10% hingga 50% dari nilai investasi dengan ambang batas minimal Rp50–500 miliar hingga lebih dari Rp1 triliun, sejalan dengan praktik di Singapura dan Vietnam yang menekankan insentif berbasis kontribusi ekonomi, bukan sekadar pengurangan tarif pajak.

Selain itu, pemberian QRTC dapat mensyaratkan penggunaan local content minimal 40%, sebagaimana diterapkan dalam fasilitas Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), untuk memastikan keterlibatan rantai pasok domestik dan penciptaan nilai tambah dalam negeri. Kriteria kelayakan lainnya meliputi peningkatan kapasitas riset nasional dan penyerapan tenaga kerja berkelanjutan. Sebagai pelengkap, pemerintah perlu menyiapkan sistem pelaporan dan verifikasi berbasis jurisdictional approach melalui pembangunan GloBE Information Return (GIR) yang terintegrasi dengan data DJP dan BKPM.

Langkah ini penting mengingat ketentuan OECD Pillar 2 menuntut transparansi dan pelaporan efektif per yurisdiksi dalam penghitungan Effective Tax Rate (ETR). Lebih jauh, Indonesia dapat mengadopsi pendekatan R&D-based refundable credit sebagaimana diterapkan di Hungaria, yang menetapkan periode pengembalian tertentu untuk menjaga akuntabilitas fiskal sekaligus mendorong riset dan inovasi industri lokal. Melalui desain yang adaptif dan terukur, QRTC berpotensi menjadi instrumen strategis dalam memperkuat daya saing investasi tanpa mengorbankan kepatuhan terhadap rezim Global Minimum Tax.

Limitasi

Policy notes ini memiliki keterbatasan dalam ruang lingkup analisis empiris maupun aspek implementatif, yang mana kajian ini belum mencakup pengujian kuantitatif yang dapat menjelaskan hubungan kausal atau korelasi antara penerapan Qualified Refundable Tax Credit (QRTC) dan peningkatan daya saing investasi. Serta belum melakukan evaluasi komprehensif terhadap kesiapan sistem administrasi perpajakan nasional, khususnya terkait mekanisme pelaporan GloBE Information Return (GIR) dan verifikasi Effective Tax Rate (ETR) berbasis yurisdiksi. Selain itu, analisis ini belum mengulas secara mendalam kapasitas fiskal dan kesiapan kelembagaan pemerintah dalam menjamin keberlanjutan implementasi QRTC.

Dengan demikian, diperlukan penelitian lanjutan berbasis data mikro dan kajian evaluatif yang lebih sistematis untuk menilai dampak aktual QRTC terhadap kepatuhan pajak, arus investasi, serta daya saing fiskal Indonesia dalam kerangka rezim Global Minimum Tax.

DAFTAR PUSTAKA

AEI. (2025). Indonesia Ranked 27th in the World in Global Competitiveness. ASOSIASI EMITEN INDONESIA.

Arizal, O. R. (2023). Tax Ratio 2022 Indonesia Menjadi Salah Satu yang Paling Rendah di Antara G20 dan ASEAN.

BADAN PUSAT STATISTIK. (2024). Realisasi Pendapatan Negara (Milyar Rupiah), 2024.

Department of Statistics Singapore. (2024). Foreign Direct Investment in Singapore (Flows).

EY Global. (2023). Hungary enacts local legislation on BEPS 2.0 Pillar Two.

KPMG. (2025). Decree 182/2024/ND-CP on the establishment, management, and use of the Investment Support Fund.

Limono, H. M. (2025). Pemerintah Alihkan Skema Insentif Pajak, Tax Holiday Diganti Refundable Tax Credit. TAX CENTRE UNIVERSITAS INDONESIA.

Lubis, A. S. P. (2023). Seperempat Abad Google dan Aspek Perpajakannya sebagai BUT di Indonesia. DJP.

Muhammad Iqbal, Dhea Savitri, Lailan Nur, Risfa Dwi Andini, & Purnama Ramadani Silalahi. (2023). PERAN PERUSAHAAN MULTINASIONAL DALAM MENINGKATKAN SEKTOR PEREKONOMIAN DI INDONESIA. CEMERLANG : Jurnal Manajemen Dan Ekonomi Bisnis, 3(1), 64–76. https://doi.org/10.55606/cemerlang.v3i1.699

OECD. (n.d.). Overview of the Key Operating Provisions of the GloBE Rules.

OECD. (2022). Tax Incentives and the Global Minimum Corporate Tax.

OECD. (2023). Tax Challenges Arising from the Digitalisation of the Economy – Administrative Guidance on the Global Anti Base Erosion Model Rules (Pillar Two), July 2023.

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130 /PMK.010/2020 (20220).

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 136 TAHUN 2024 TENTANG PENGENAAN PAJAK MINIMUM GLOBAL BERDASARKAN KESEPAKATAN INTERNASIONAL, 226 (2024).

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 237/PMK.010/2020 (2020).

PwC. (2025). Decree 182/2024/ND-CP on investment support.

PWC STUDIO. (2024). Implementation of Pillar 2 – possible directions for tax credits in Poland.

Remonda, R. A. (2025). PMK 136/2024: Liminalitas Insentif Pajak. MUC CONSULTING.

Saragih, J. G. (2023). Adapting Indonesia’s Tax Incentive Strategy In The Post Pillar Two Era. Journal Of Tax Policy, Economics, And Accounting, 1(2), 136–149. https://doi.org/10.61261/muctj.v1i2.47

Singapore Income Tax Act 1947, REFUNDABLE INVESTMENT CREDIT (RIC) (2025).

UU Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan, Pub. L. No. 36 Tahun 2008, 3 (2008).

 Penulis adalah Anggota IKPI Cabang Bandung

Juan Kasma SE., SH., M.Ak., CPA., BKP., CSRS+., CSRA+ dan Tim

 Email: rachmatritax@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

BI Klaim Ekonomi Indonesia Solid Hingga Akhir 2025, Ekspor ke AS Meningkat Tajam

IKPI, Jakarta: Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memastikan kinerja ekonomi Indonesia tetap solid hingga akhir 2025. Ia menyebut lonjakan ekspor ke Amerika Serikat (AS) menjadi motor utama yang menjaga momentum pertumbuhan di tengah tekanan global.

“Pertumbuhan ekonomi nasional di triwulan III dan IV berjalan baik. Pola ekspor tumbuh lebih cepat karena adanya front loading ekspor ke AS sebelum penerapan tarif baru, dan konsumsi dalam negeri juga masih kuat,” ujar Perry dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (12/11/2025).

Perry menuturkan, percepatan ekspor tersebut terjadi setelah Presiden AS Donald Trump menaikkan tarif bea masuk terhadap barang-barang dari 77 negara, termasuk Indonesia, China, dan Meksiko. Indonesia dikenakan tarif sebesar 19%. Kondisi ini mendorong eksportir mengirimkan barang lebih cepat sebelum kebijakan tarif berlaku penuh.

Data Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal III-2025 menunjukkan ekspor tumbuh signifikan 9,91%, diikuti konsumsi rumah tangga 4,89% dan investasi 5,04%. Kombinasi tiga komponen utama tersebut menopang pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,04% pada periode tersebut.

Perry optimistis tren positif ini akan berlanjut di kuartal IV-2025 seiring dengan ekspansi stimulus fiskal, percepatan proyek strategis pemerintah, dan realisasi paket kebijakan ekonomi tahun 2025. Selain itu, pencairan bantuan sosial juga diyakini akan memperkuat daya beli masyarakat.

“Secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi 2025 kami perkirakan berada di kisaran 4,7–5,5 persen dengan titik tengah 5,1 persen, dan akan meningkat pada 2026,” kata Perry. (alf)

IKPI Dorong “Reformasi Ekosistem Perpajakan”: Bahas Serentak UU Konsultan Pajak, Tax Amnesty, dan Badan Penerimaan Negara

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) mendorong dilaksanakannya “Reformasi Ekosistem Perpajakan” melalui pembahasan serentak tiga kebijakan strategis: Undang-Undang Konsultan Pajak, Undang-Undang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty), dan pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN).

Ketua Umum IKPI, Vaudy Starworld, menyampaikan pandangan tersebut dalam rapat dengar pendapat umum bersama Komisi XI DPR, Selasa (11/11/2025). Menurutnya, pembahasan tiga kebijakan ini sebagai satu paket akan memperkuat pondasi sistem perpajakan nasional secara menyeluruh dari aspek profesi, kepatuhan, hingga kelembagaan penerimaan negara.

“Pendekatan ini menempatkan reformasi pajak bukan hanya pada level administratif, tetapi pada tingkat ekosistem. UU Konsultan Pajak, UU Pengampunan Pajak, dan BPN harus dirancang sebagai satu kesatuan yang saling menopang,” ujar Vaudy.

IKPI menilai, reformasi perpajakan di Indonesia selama ini masih bersifat parsial. Direktorat Jenderal Pajak telah melakukan modernisasi administrasi dan digitalisasi sistem, namun pembenahan sisi profesi dan kelembagaan belum diintegrasikan secara menyeluruh. Akibatnya, upaya peningkatan tax ratio belum berjalan konsisten dan sering kali hanya berdampak sementara.

Lebih lanjut ia menyatakan, reformasi perpajakan ketiga yang diusulkan pada perubahan ekosistem perpajakan secara komprehensif, di mana sistem digitalisasi melalui Coretax, kelembagaan melalui hadirnya BPN, kewajiban dan kepatuhan perpajakan dengan Tax Amnesty, serta penguatan profesi dengan berlakunya UU Konsultan Pajak di Indonesia.

Vaudy menjelaskan, pembahasan UU Konsultan Pajak akan menjadi fondasi untuk memperkuat tata kelola profesi serta memastikan standar kompetensi yang seragam. Konsultan pajak diharapkan tidak hanya menjadi pelaksana teknis, melainkan mitra strategis negara dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak.

Sementara itu, kebijakan Tax Amnesty perlu dirancang tidak sekadar sebagai program jangka pendek, tetapi sebagai mekanisme transisi menuju kepatuhan berkelanjutan dengan sistem pengawasan pasca-amnesti yang jelas. Adapun pembentukan Badan Penerimaan Negara dinilai penting untuk mewujudkan lembaga tunggal yang mengonsolidasikan seluruh penerimaan negara secara profesional dan berorientasi hasil.

“Selama ini penerimaan negara masih tersebar di berbagai direktorat, sehingga strategi pengelolaannya berjalan terpisah. Dengan BPN, Indonesia dapat memiliki mekanisme penerimaan yang terintegrasi dan akuntabel,” jelasnya.

Vaudy juga menyinggung pentingnya konsistensi arah reformasi. Sejak 2002, Indonesia telah melewati dua gelombang besar reformasi pajak: reformasi administrasi dan sistem informasi (2002–2016), serta reformasi regulasi dan basis data (2016–2024). Kini, menurutnya, saatnya memasuki gelombang ketiga: reformasi ekosistem dan tata kelola.

Dalam tahap ini, pajak harus dipandang sebagai kontrak sosial antara negara dan warga negara. Konsultan pajak berperan sebagai jembatan kepercayaan, pengampunan pajak menjadi sarana rekonsiliasi fiskal, dan BPN menjadi mesin kelembagaan modern yang menjamin keberlanjutan penerimaan negara.

IKPI meyakini bahwa “Reformasi Ekosistem Perpajakan” ini dapat meningkatkan tax ratio secara berkelanjutan, memperkuat kepercayaan publik terhadap fiskus, dan membangun sistem kepatuhan sukarela berbasis profesionalisme. Selain itu, pendekatan ini juga diyakini akan memperluas basis pajak tanpa perlu menambah beban regulasi yang kompleks bagi wajib pajak.

Dalam jangka panjang, reformasi ini diharapkan menciptakan sistem perpajakan yang sederhana, transparan, dan berkeadilan. Pemerintah memperoleh kepastian penerimaan, dunia usaha mendapatkan kepastian hukum, dan masyarakat memiliki kepercayaan yang lebih tinggi terhadap pengelolaan fiskal negara.

“Reformasi ekosistem perpajakan tidak hanya soal mengumpulkan pajak, tapi tentang membangun sistem kepercayaan yang berkelanjutan antara negara dan masyarakat,” tegas Vaudy.

IKPI berharap Komisi XI DPR dapat menempatkan usulan ini dalam agenda prioritas pembahasan legislasi. Langkah ini dinilai strategis untuk memperkuat fondasi fiskal nasional, mengurangi ketergantungan pada pembiayaan utang, dan memperkuat posisi Indonesia menuju sistem penerimaan negara yang lebih mandiri dan berkelanjutan. (bl)

id_ID