Menkeu Purbaya Tolak Usulan Salurkan Balpres Ilegal ke Korban Bencana Sumatera

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan tidak akan membuka peluang penggunaan barang garmen ilegal sitaan sering disebut balpres sebagai bantuan bagi para korban bencana di Sumatera. Saat ditemui di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (12/12/2025), Purbaya menekankan bahwa seluruh barang ilegal harus dikelola secara ketat sesuai aturan agar tidak menimbulkan celah penyalahgunaan.

“Jangan sampai nanti gara-gara itu, banyak lagi balpres masuk dengan alasan kan bagus buat bencana,” ujarnya.

Menurut Purbaya, bila pemerintah ingin menyalurkan bantuan, mekanisme yang tepat adalah menyiapkan anggaran baru untuk membeli barang yang layak pakai. Bantuan tersebut nantinya akan diprioritaskan untuk produk UMKM dalam negeri agar sekaligus menggerakkan ekonomi lokal.

“Lebih baik kita beli barang-barang dalam negeri, produk UMKM, dikirim ke bencana yang (barang) baru. Saya lebih baik mengeluarkan uang ke situ kalau terpaksa, dibanding pakai barang-barang balpres itu,” imbuhnya.

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan menyatakan terbuka terhadap opsi menghibahkan pakaian ilegal sitaan untuk kebutuhan darurat para korban bencana di Sumatera. Wacana itu muncul setelah adanya penindakan terhadap sejumlah kontainer dan truk bermuatan garmen ilegal.

Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa DJBC, Nirwala Dwi Heryanto, menjelaskan bahwa barang sitaan otomatis berstatus sebagai barang milik negara, dan penanganannya tidak terbatas pada pemusnahan.

“Dihancurkan itu salah satu opsi. Kalau barang melanggar, tentu akan menjadi barang milik negara. Itu bisa dimusnahkan atau untuk tujuan lain,” katanya, Kamis (11/12/2025).

Nirwala memaparkan bahwa ada tiga opsi penanganan barang ilegal: dimusnahkan, dihibahkan, atau dilelang. Melihat masih berlangsungnya proses pemulihan bencana di Sumatera, DJBC mempertimbangkan opsi hibah agar barang tersebut dapat dimanfaatkan masyarakat yang membutuhkan.

“Siapa tahu saudara-saudara kita bisa memanfaatkan dan menggunakan. Sementara yang di Aceh membutuhkan,” ujarnya. (alf)

Menkeu Purbaya Ungkap Uji Coba TradeAI Tambah Penerimaan Negara Rp1,2 Miliar

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan capaian awal teknologi TradeAI, sistem kecerdasan artifisial yang dikembangkan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), telah menunjukkan hasil konkret bagi penerimaan negara. Dari uji coba terbatas terhadap 145 Pemberitahuan Impor Barang (PIB), sistem tersebut berhasil mengidentifikasi potensi kekurangan bayar yang menghasilkan tambahan pemasukan sebesar Rp1,2 miliar.

“Dicek di lapangan, kita dapat Rp1,2 miliar tambahan. Lumayan, meski masih kecil. Yang penting pada putaran pertama saja sudah bisa menghasilkan penerimaan seperti itu. Ke depan, proyek ini akan sangat membantu,” ujar Purbaya saat konferensi pers di Tanjung Priok, Jakarta, Jumat, (12/12/2025).

Pengembangan Awal Tanpa Investasi Baru

Menurut Purbaya, pengembangan TradeAI sejauh ini hanya memanfaatkan kemampuan sumber daya internal—baik perangkat keras, perangkat lunak, maupun sumber daya manusia. Artinya, hingga tahap uji coba ini pemerintah belum menggelontorkan anggaran baru.

Namun, untuk membawa TradeAI ke tahap yang lebih matang dan presisi lebih tinggi, ia memperkirakan diperlukan investasi sekitar Rp45 miliar.

“Sampai sekarang kami pakai sumber daya yang ada. Tapi untuk mengembangkan lebih dalam lagi, kami perlu investasi sekitar Rp45 miliar,” jelasnya.

Belum Sempurna, Tapi Terus Belajar

Purbaya menilai wajar apabila teknologi AI belum bisa memberi akurasi penuh. Namun ia menegaskan bahwa TradeAI akan terus belajar dari pola historis data perdagangan yang dimasukkan ke dalam sistem.

“Perkiraan awalnya akan terlihat. Jika nanti realisasinya berbeda terlalu jauh, saya bisa langsung cek verifikator—dia bekerja benar atau justru AI yang salah. Ke depannya itu yang akan kita kawal,” ujarnya.

Ia bahkan optimistis tingkat akurasi TradeAI dapat mendekati 100 persen pada tahun depan seiring penyempurnaan algoritma dan perluasan basis data.

Senjata Baru Bea Cukai Perangi Praktik Manipulasi Impor

TradeAI dirancang untuk meningkatkan ketepatan analisis terhadap transaksi impor sekaligus memperkuat pengawasan terhadap praktik:

• Under-invoicing

• Over-invoicing

• Trade-based money laundering (TBML)

Ketiga aktivitas tersebut selama ini kerap menggerus potensi penerimaan negara.

Pada tahap lanjutan, sistem ini akan diperkaya dengan analisis nilai pabean, klasifikasi barang, dan verifikasi dokumen, serta akan terintegrasi dengan CEISA 4.0, platform layanan kepabeanan generasi terbaru. (alf)

Aturan Baru AS Buka Jalan Raksasa Teknologi Nikmati Lagi Potongan Pajak R&D

IKPI, Jakarta: Departemen Keuangan Amerika Serikat (AS) tengah merampungkan pedoman pajak baru yang berpotensi menghidupkan kembali akses penuh perusahaan besar terhadap potongan penelitian dan pengembangan (research and development/R&D). Kebijakan ini menjadi sinyal positif bagi raksasa teknologi seperti Salesforce dan Qualcomm, serta perusahaan berbasis inovasi lainnya, yang selama ini terhambat oleh penerapan pajak minimum 15% era Presiden Joe Biden.

Sumber Bloomberg yang mengetahui proses penyusunannya menyebutkan pedoman tersebut dapat dipublikasikan paling cepat pekan depan. Jika dirilis, aturan ini akan menghapus hambatan yang membuat pelaku usaha tidak dapat memaksimalkan insentif R&D dalam paket pajak “One Big Beautiful” yang digagas Presiden Donald Trump. Selama berbulan-bulan, korporasi dan pelobi bisnis di Washington mengeluhkan bahwa insentif R&D justru memicu kewajiban pajak minimum, sehingga mengurangi manfaat yang seharusnya mereka terima.

Penerapan pajak minimum 15% sejak 2022 menargetkan perusahaan berpendapatan lebih dari US$1 miliar. Namun dalam praktiknya, skema tersebut membuat potongan R&D dalam jumlah besar memicu perhitungan pajak minimum, bahkan menghalangi klaim kredit pajak dari tahun-tahun sebelumnya. Pedoman baru disebutkan akan mencabut hambatan tersebut dan memungkinkan perusahaan tetap memanfaatkan potongan secara penuh tanpa terkena konsekuensi pajak tambahan.

UU pajak Trump sebelumnya memberi ruang bagi perusahaan untuk mengklaim potongan R&D secara retroaktif dengan nilai yang diperkirakan mencapai US$67 miliar. Namun besarnya insentif itu membuat sejumlah perusahaan seperti Airbnb, Broadcom, dan Applied Materials melaporkan potensi kewajiban pajak minimum yang menggerus manfaat R&D mereka. Pedoman baru yang tengah diselesaikan diperkirakan akan memperluas keuntungan yang telah diterima korporasi melalui UU pajak Trump yang disahkan pada Juli lalu, termasuk pemulihan potongan penuh atas investasi R&D yang kedaluwarsa pada 2022, serta permanenisasi insentif pajak lain seperti pengurangan bunga pinjaman, perluasan penghapusan biaya peralatan, dan peningkatan batas potongan pajak negara bagian dan lokal (SALT deduction).

Pedoman yang akan diterbitkan ini disebut menjadi rangkaian pelonggaran terbaru Treasury terhadap aturan pajak minimum. Selama tahun ini, pemerintah AS telah memberikan sejumlah pengecualian, termasuk untuk perusahaan asuransi, pelayaran, utilitas, serta mengecualikan keuntungan kripto yang belum direalisasi dari perhitungan pajak minimum. Para pakar menilai langkah tersebut dimungkinkan karena undang-undang pajak minimum memberikan keleluasaan luas bagi Treasury dalam menetapkan aturan teknis.

Meski demikian, masih ada ketidakpastian soal satu isu besar yang juga dikeluhkan korporasi: interaksi insentif R&D dengan aturan pajak internasional era Trump yang bertujuan membatasi pengalihan keuntungan ke negara bertarif rendah. Belum jelas apakah pedoman baru dapat menjangkau persoalan tersebut atau apakah Departemen Keuangan memiliki dasar hukum untuk menanganinya.

Rencana penerbitan pedoman ini diprediksi memicu perlawanan dari kubu Demokrat progresif. Senator Elizabeth Warren diperkirakan menjadi salah satu tokoh yang paling keras menentang langkah ini, mengingat upaya mempersempit cakupan pajak minimum dianggap melemahkan kebijakan yang dirancang untuk memastikan perusahaan besar membayar pajak secara lebih adil. (alf)

Menkeu Buka Peluang Kenaikan PTKP, Pemerintah Mulai Hitung Dampaknya ke Penerimaan Negara

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memberi sinyal bahwa batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk wajib pajak orang pribadi kemungkinan akan dinaikkan. Meski begitu, ia menegaskan bahwa wacana tersebut masih berada pada tahap pembahasan internal pemerintah.

Saat ini, PTKP ditetapkan sebesar Rp 4,5 juta per bulan atau Rp 54 juta per tahun. Angka tersebut sudah bertahun-tahun tidak berubah dan kini kembali menjadi sorotan setelah Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, meminta pemerintah menaikkan batasannya menjadi Rp 7,5 juta per bulan.

Purbaya tidak memerinci titik diskusi ataupun simulasi yang sedang dibahas, namun memastikan bahwa opsi itu ada di meja kebijakan. “Kita diskusikan,” ujarnya dalam Dialog Interaktif Pemerintah Pusat dan Daerah: DPRD Kuat, Daerah Berdaya, Kamis (11/12/2025).

Sebelumnya, pada 10 September 2025, Purbaya mengaku belum menerima laporan lengkap terkait usulan kenaikan PTKP. Namun ia tidak menutup kemungkinan bahwa penyesuaian dapat dilakukan apabila analisis kementerian menunjukkan dampak yang positif. “Kami belum bicarakan masalah itu. Kalau ada masukan ke tim kami di Kemenkeu mungkin bisa didiskusikan. Cuma karena saya baru, belum semua laporan masuk ke saya,” ungkapnya kala ditemui di Istana Negara.

Menurut berbagai kajian, kenaikan PTKP dapat berfungsi sebagai bantalan bagi masyarakat berpenghasilan rendah sekaligus mendorong konsumsi—faktor penting dalam memperkuat pemulihan ekonomi. Namun, pemerintah perlu berhati-hati karena ruang fiskal sedang terbatas. Setiap kenaikan PTKP berpotensi mengurangi penerimaan pajak, sementara kebutuhan belanja negara masih tinggi. (alf)

Pengusaha Penunggak Rp 21 Miliar Disandera, DJP Tegaskan Penegakan Hukum Tegas dan Profesional

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jawa Barat II mengambil langkah tegas terhadap seorang pengusaha asal Jakarta Utara berinisial MW, yang tercatat memiliki tunggakan pajak hingga Rp 21,15 miliar. Tindakan penyanderaan atau gijzeling dilakukan oleh KPP Pratama Cikarang Selatan sebagai upaya terakhir setelah seluruh proses penagihan ditempuh namun tidak juga membuahkan hasil.

MW, yang diketahui merupakan komisaris sekaligus pemegang saham PT SI, dijemput petugas pajak langsung di kediamannya di kawasan Ancol, Jakarta Utara, pada Kamis (11/12/2025). Ia kemudian menjalani rangkaian proses penyanderaan sesuai prosedur, termasuk pemeriksaan kesehatan dan serah terima dengan lembaga pemasyarakatan.

Kepala Kanwil DJP Jawa Barat II, Dasto Ledyanto, menegaskan bahwa penyanderaan dilakukan secara hati-hati, profesional, dan sepenuhnya berlandaskan ketentuan hukum yang berlaku.

“Gijzeling selalu menjadi langkah terakhir setelah seluruh proses penagihan ditempuh. Kami menjunjung tinggi kepastian hukum, kehati-hatian, dan profesionalisme dalam setiap tindakan penegakan hukum,” ujar Dasto, dalam keterangannya dikutip, Jumat (12/12/2025).

Sebelum langkah ekstrem ini diterapkan, petugas KPP Pratama Cikarang Selatan telah menjalankan seluruh mekanisme penagihan mulai dari Surat Teguran, imbauan, pemanggilan, hingga Surat Paksa. Berbagai tindakan penagihan aktif juga telah dilakukan, seperti pemblokiran dan penyitaan rekening, pemindahbukuan saldo, serta pencegahan ke luar negeri sejak 2023–2024.

Data administrasi DJP menunjukkan bahwa tunggakan MW telah muncul sejak 2021, lalu bertambah seiring terbitnya surat ketetapan pajak untuk tahun 2022 dan 2023. Dengan total kewajiban yang tidak dilunasi mencapai Rp 21.158.307.240, MW dinilai tidak beriktikad baik dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Tindakan gijzeling dilakukan setelah Juru Sita Pajak menerima izin resmi dari Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, serta berkoordinasi dengan Bareskrim Polri dan Kanwil Pemasyarakatan DKI Jakarta.

Dalam prosesnya, MW dijemput di rumahnya, dibacakan Surat Perintah Penyanderaan, kemudian dibawa ke RS Harum Sisma Medika untuk memastikan kondisi kesehatannya layak menjalani masa penyanderaan. Setelah dinyatakan sehat, MW dipindahkan ke Lapas Perempuan Kelas IIA Pondok Bambu.

Serah terima dengan pihak lapas dilakukan tertib pada pukul 02.00 WIB. Sesuai PP No. 137 Tahun 2000, masa penyanderaan dapat berlangsung maksimal enam bulan dan dapat diperpanjang enam bulan lagi bila utang belum diselesaikan.

DJP menegaskan bahwa tujuan gijzeling bukan semata-mata memberikan efek jera, tetapi juga memastikan bahwa utang pajak yang sangat besar tersebut dapat segera dilunasi.

Harapannya, melalui tindakan penegakan hukum ini, kewajiban MW sebesar Rp 21,15 miliar beserta biaya penagihan dapat segera dipenuhi sehingga penerimaan negara dapat kembali optimal. (alf)

Gilman Pradana Klaim IPO Perkuat Transparansi Fiskal dan Kepatuhan Pajak

IKPI, Jakarta: Dalam webinar kolaborasi IKPI–AEI yang dihadiri ratusan peserta, Direktur Eksekutif Asosiasi Emiten Indonesia, Gilman Pradana Nugraha, menyampaikan klaim kuat bahwa langkah perusahaan melakukan Initial Public Offering (IPO) bukan hanya memperluas akses pendanaan, tetapi juga mendorong transparansi fiskal dan memperketat kepatuhan pajak secara signifikan.

Gilman menegaskan bahwa menjadi perusahaan terbuka mengharuskan entitas usaha membangun tata kelola yang jauh lebih disiplin dibandingkan saat masih tertutup. Audit laporan keuangan, pengawasan publik, pengaturan free float, hingga kewajiban pengungkapan informasi berkala membuat perusahaan tidak memiliki ruang untuk mengelola pajak secara longgar. “Begitu perusahaan menjadi Tbk, setiap angka harus bisa dipertanggungjawabkan. Laporan keuangan dan laporan pajak harus selaras,” tegasnya.

Menurut Gilman, salah satu dampak terbesar IPO adalah munculnya transparansi fiskal yang tidak hanya melindungi investor, namun juga memperkuat basis pemajakan nasional. Perusahaan terbuka harus menyajikan laporan keuangan yang audited, mematuhi PSAK, menjalani review ketat dari auditor, OJK, dan Bursa, hingga memastikan rekonsiliasi fiskal tidak menimbulkan potensi sengketa di masa depan. “IPO memaksa perusahaan membangun budaya kepatuhan. Pajak adalah bagian paling fundamental dari itu,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa dalam proses pra-IPO, konsultan pajak memainkan peran sentral. Mulai dari tax diagnostic, pemeriksaan kepatuhan historis, analisis risiko pajak, hingga pembersihan potensi eksposur yang dapat menggagalkan pendaftaran emiten. “Tidak ada investor yang mau membeli saham perusahaan dengan masalah pajak yang belum diselesaikan. Perpajakan menjadi parameter awal due diligence,” kata Gilman.

Menurutnya, perusahaan yang lolos IPO adalah perusahaan yang memenuhi standar tertinggi dari sisi governance dan fiskal. Hal ini pada akhirnya menciptakan dampak sistemik: meningkatnya penerimaan negara dari PPh transaksi saham, PPh dividen, dan PPh Badan perusahaan Tbk yang tata kelolanya semakin baik. “Pasar modal yang kuat memperkuat fiskal negara. IPO memperbaiki perilaku pajak perusahaan,” ucapnya.

Gilman menilai bahwa kenaikan jumlah investor dari 1,2 juta menjadi 19 juta dalam satu dekade terakhir membawa perubahan besar pada ekosistem fiskal Indonesia. Aktivitas pasar modal menjadi jalur baru bagi penerimaan pajak yang sebelumnya tidak tersedia ketika perusahaan masih tertutup. Transparansi yang semakin luas menciptakan disiplin fiskal tidak hanya pada perusahaan, tetapi juga pada investor.

Meski tahun 2025 disebut sebagai tahun penuh ketidakpastian akibat perubahan kebijakan dan transisi pemerintahan, Gilman tetap optimistis bahwa tahun 2026 akan menjadi momentum percepatan IPO yang lebih berkualitas—lebih transparan, lebih patuh pajak, dan lebih siap bersaing dalam pasar global. “IPO bukan hanya mekanisme pendanaan. IPO adalah mekanisme penegakan disiplin fiskal perusahaan,” tegasnya. (bl)

Webinar IKPI–EAI Ungkap Tantangan Pajak Menuju IPO: Michael Paparkan Risiko, Insentif, dan Kewajiban Pembukuan Perusahaan

IKPI, Jakarta: Ratusan peserta mengikuti webinar kolaborasi Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) dan Asosiasi Emiten Indonesia (EAI) dengan antusias. Michael, anggota IKPI Cabang Tangerang Selatan, yang menjadi salah satu narasumber pada kegiatan tersebut memaparkan secara rinci hubungan erat antara kesiapan perpajakan dan keberhasilan Initial Public Offering (IPO). 

Ia menegaskan bahwa banyak perusahaan cenderung fokus pada pencarian pendanaan, padahal aspek perpajakan sering menjadi faktor penentu bagi auditor, underwriter, dan regulator pasar modal.

Dalam penjelasannya, Michael menggambarkan bahwa proses go public harus dimulai dari kesadaran bahwa perusahaan akan memasuki lingkungan bisnis dengan standar transparansi yang sangat tinggi. Penilaian nilai perusahaan oleh appraisal, kesiapan struktur organisasi, SOP, hingga kejelasan alur transaksi seluruhnya menjadi bagian dari rangkaian due diligence. 

“IPO bukan sekadar melepas saham. Semua aktivitas perusahaan dari sepuluh tahun ke belakang akan dibuka dan diperiksa,” ujarnya.

Michael juga menguraikan berbagai ketentuan perpajakan yang berlaku bagi perusahaan publik. Tarif PPh Badan sebesar 22% dapat diturunkan 3% apabila perusahaan memenuhi persyaratan jumlah dan penyebaran kepemilikan saham publik. Ia menjelaskan bahwa tarif pajak atas transaksi saham di Bursa Efek Indonesia ditetapkan 0,1% dari nilai bruto penjualan, sementara penawaran perdana dikenai tambahan 0,5%. Perbedaan perlakuan pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan luar negeri juga menjadi perhatian karena investor pasar modal tidak selalu berasal dari domestik.

Pemaparan Michael berlanjut pada isu pembukuan sebagai aspek paling rawan. Ia menegaskan bahwa Pasal 28 UU KUP mewajibkan perusahaan menyimpan catatan, dokumen, dan pembukuan selama 10 tahun. Kesalahan kecil seperti penamaan akun, penggolongan biaya yang tidak dapat dikurangkan, serta ketidaksesuaian antara laporan keuangan dan SPT dapat menjadi temuan dalam proses tax due diligence. Menurutnya, konsultan pajak memegang peran penting untuk memastikan laporan komersial dan laporan fiskal dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Michael juga menyinggung penerapan Coretax yang meningkatkan keterbukaan data. Sistem baru ini memungkinkan DJP mengakses rangkaian informasi yang sebelumnya tidak terintegrasi, termasuk data keuangan perbankan. “Dengan Coretax, perusahaan harus benar-benar disiplin. Semua ketidaktepatan bisa langsung terlihat,” tegasnya.

Menutup paparannya, Michael menekankan bahwa IPO adalah proses strategis yang membutuhkan kesiapan panjang, bukan keputusan sesaat. Ia menilai bahwa kerja sama dan edukasi antara IKPI dan EAI sangat penting untuk memastikan perusahaan yang ingin go public memahami kewajiban fiskal, risiko yang mungkin muncul, dan manfaat yang bisa diperoleh dari keterbukaan pada pasar modal. 

“Ketika tata kelola dan pajak beres, perusahaan bukan hanya siap masuk bursa, tetapi juga mampu tumbuh lebih sehat dan berkelanjutan,” pungkasnya. (bl)

AEI Sebut Insentif Pajak Jadi Magnet Baru IPO

IKPI, Jakarta: Direktur Eksekutif AEI, Gilman Pradana Nugraha, mengungkapkan betapa strategisnya peran insentif pajak dalam mendorong perusahaan melantai di bursa. Menurutnya, insentif fiskal yang diberikan pemerintah kini menjadi “magnet baru” yang mampu menarik minat perusahaan untuk melakukan Initial Public Offering (IPO). Hal itu dikatakannya dalam webinar kolaborasi Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) dan Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) yang dihadiri ratusan peserta, baru-baru ini.

Dalam paparannya, Gilman menjelaskan bahwa salah satu keuntungan terbesar bagi perusahaan yang resmi berstatus Tbk adalah kesempatan memperoleh penurunan tarif PPh Badan sebesar 3%. Insentif ini diberikan kepada perusahaan yang mampu memenuhi syarat free float minimal 40 persen angka yang disebut Gilman cukup menantang namun memberikan manfaat fiskal yang sangat nyata. “Insentif ini menghemat biaya perusahaan secara langsung. Dan penghematan itu bisa dikonversi menjadi kapasitas ekspansi,” ujarnya.

Gilman menegaskan bahwa di tengah biaya permodalan yang tinggi dan tingkat suku bunga yang fluktuatif, perusahaan kini semakin melihat IPO sebagai opsi pendanaan yang lebih efisien. Tidak hanya karena potensi dana besar dari publik, tetapi juga karena adanya fasilitas perpajakan yang memperkecil beban keuangan perusahaan secara struktural. “IPO bukan sekadar membuka kepemilikan. IPO hari ini adalah strategi fiskal,” katanya.

Ia juga mengungkapkan bahwa insentif pajak tak hanya berlaku bagi perusahaan, tetapi juga bagi pendiri atau pemegang saham individu. Setelah perusahaan menjadi Tbk, founder yang menjual sahamnya dikenakan tarif pajak final hanya 0,5%. Menurut Gilman, hal ini membuat banyak perusahaan keluarga yang sebelumnya enggan membuka struktur kepemilikan kini mulai melirik pasar modal. “Banyak perusahaan besar yang masih privat karena tidak merasa perlu pendanaan. Tapi insentif pajak memberi alasan baru untuk mempertimbangkan IPO,” jelasnya.

Gilman kemudian menggambarkan besarnya potensi pasar modal saat ini. Nilai transaksi harian yang mencapai hampir Rp17 triliun, jumlah investor yang melonjak menjadi 19 juta, serta indeks yang terus mencetak rekor baru menjadi bukti bahwa minat publik terhadap pasar modal berada pada titik tertinggi. Fenomena ini menciptakan peluang besar bagi perusahaan yang ingin mengakses dana publik sekaligus menikmati insentif perpajakan.

Namun, ia mengingatkan bahwa setiap perusahaan yang ingin memperoleh manfaat fiskal harus mempersiapkan struktur tata kelola dan kepatuhan pajak dengan serius. Mulai dari kesiapan laporan keuangan yang audit-ready hingga rekonsiliasi fiskal yang tidak menyimpan risiko. “Insentif pajak hanya berlaku bagi yang siap. Perusahaan harus bersih, teratur, dan transparan,” tegasnya.

Gilman menilai bahwa setelah melewati tahun politik dan berbagai penyesuaian regulasi, tahun 2026 akan menjadi momentum bagi perusahaan yang ingin memanfaatkan insentif perpajakan dalam kerangka IPO. “Magnet IPO hari ini bukan hanya kapitalisasi pasar, tetapi juga efisiensi pajak yang semakin atraktif,” pungkasnya. (bl)

Kolaborasi IKPI–EAI Kupas Proses IPO: Michael Tekankan Kesiapan Pajak sebagai Penentu Kelancaran Go Public

IKPI, Jakarta: Webinar kolaborasi Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) dan Asosiasi Emiten Indonesia (EAI) yang diikuti ratusan peserta menghadirkan penjelasan komprehensif mengenai proses Initial Public Offering (IPO). Michael, anggota IKPI Cabang Tangerang Selatan yang menjadi salah satu pembicara, menyampaikan bahwa keputusan untuk menjadi perusahaan terbuka harus disertai persiapan menyeluruh, mulai dari nilai perusahaan, tata kelola, hingga kepatuhan perpajakan.

Dalam paparannya, Michael menjelaskan lima alasan utama mengapa perusahaan memilih untuk go public, yaitu akses pendanaan yang lebih mudah, peningkatan nilai perusahaan, penguatan citra korporasi, keberlanjutan usaha, serta insentif perpajakan bagi emiten. Ia menekankan bahwa kesuksesan IPO tidak hanya ditentukan oleh prospek bisnis, tetapi juga oleh ketertiban administrasi internal perusahaan. Penilaian bisnis dan aset oleh lembaga appraisal menjadi fondasi untuk menentukan valuasi awal sebelum saham dilepas kepada publik. 

“Appraisal akan menentukan nilai bisnis dan aset. Semakin baik nilainya, semakin kuat posisi perusahaan saat memasuki pasar,” ujar Michael.

Pada aspek perpajakan, Michael menilai bahwa banyak perusahaan belum memahami bahwa setiap ketidaksesuaian pada pembukuan dan SPT masa lalu bisa menjadi hambatan besar dalam proses go public. Ia mengingatkan bahwa fasilitas penurunan tarif PPh Badan sebesar 3% bukan diberikan secara otomatis, tetapi harus memenuhi syarat kepemilikan publik minimum 40% dan dimiliki setidaknya 300 pihak yang masing-masing tidak menguasai lebih dari 5% saham. 

Selain itu, perusahaan publik memiliki mekanisme khusus dalam perhitungan angsuran PPh Pasal 25 yang harus berbasis laporan triwulanan. Michael menyoroti pentingnya pembukuan yang akurat selama 10 tahun karena seluruh dokumen tersebut akan diuji melalui proses tax due diligence. Kesalahan dasar seperti chart of accounts yang tidak konsisten, jurnal yang tidak sinkron dengan laporan keuangan, atau ketidaktepatan pemisahan penghasilan final dan non-final kerap menjadi temuan utama yang dapat menghambat proses IPO. 

Ia menegaskan bahwa perpajakan bersifat rule based, sehingga setiap unsur dalam laporan keuangan harus dapat dipertanggungjawabkan ketika dihubungkan dengan ketentuan Undang-Undang PPh maupun KUP.

Dalam penjelasannya, Michael juga memaparkan dampak implementasi sistem inti administrasi perpajakan Coretax yang membuat seluruh data perusahaan semakin transparan, termasuk keterhubungan dengan perbankan. “Sekarang tidak ada lagi ruang untuk inkonsistensi data. Laporan keuangan, transaksi, hingga pembukuan semuanya terhubung dalam satu ekosistem,” tegasnya. 

Selain itu, transaksi saham di bursa, baik oleh badan maupun orang pribadi, dikenai pajak 0,1% dari nilai bruto penjualan dan tambahan 0,5% khusus saat IPO perdana.

Michael mengingatkan bahwa IPO bukan hanya aksi korporasi, tetapi juga ujian kepatuhan total. Ia berharap edukasi yang diberikan IKPI dan EAI mampu membantu perusahaan bersiap lebih matang sebelum melangkah ke Bursa Efek Indonesia. 

“IPO itu proses panjang. Jika fondasi pajaknya kuat, perusahaan akan jauh lebih percaya diri di mata investor,” ujarnya. (bl)

Pengaruh Dinamika Penurunan Suku Bunga Acuan THE FED terhadap Perekonomian Indonesia (Perspektif Inflasi, Pasar Modal, Suku Bunga BI, dan Kinerja Perpajakan)

Pada hari Rabu, 10 Desember 2025 waktu Amerika Serikat, Federal Reserve (The Fed) kembali memangkas suku bunga acuan (federal funds rate) sebesar 25 basis poin (bps), sehingga suku bunga acuan berada pada rentang 3,5%–3,75%. Keputusan ini menandai fase baru pelonggaran kebijakan moneter Amerika Serikat setelah periode pengetatan agresif pada 2022–2023 yang ditujukan untuk meredam lonjakan inflasi pasca pandemi dan guncangan harga komoditas global.

Dalam proyeksi berbagai analis, The Fed diperkirakan masih memiliki ruang untuk kembali memangkas suku bunga secara bertahap pada tahun 2026, dengan kelipatan 25 bps, sepanjang data inflasi dan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat bergerak sejalan dengan target dan ekspektasi. Dengan posisi Amerika Serikat sebagai ekonomi terbesar dunia dan dolar AS sebagai mata uang cadangan utama global, setiap perubahan kebijakan suku bunga The Fed tidak hanya berdampak pada perekonomian domestik AS, tetapi juga menimbulkan gelombang (spillover) ke berbagai negara, termasuk Indonesia.

Artikel ini membahas dampak penurunan suku bunga The Fed terhadap perekonomian Indonesia dari empat perspektif utama, yaitu: (1) inflasi, (2) pasar modal, (3) suku bunga acuan Bank Indonesia, dan (4) kinerja perpajakan. Di samping itu, akan diulas secara singkat sejarah peran The Fed dalam membentuk dinamika ekonomi global, sehingga memberikan konteks akademis dan praktis bagi pembaca, baik untuk tujuan publikasi maupun pengajaran.

Sekilas Sejarah The Fed dan Pengaruhnya terhadap Ekonomi Dunia

The Fed dibentuk pada tahun 1913 melalui Federal Reserve Act sebagai respon terhadap serangkaian krisis perbankan yang mengguncang Amerika Serikat pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Tujuan awalnya adalah menciptakan bank sentral yang mampu menyediakan likuiditas darurat (lender of last resort) dan menstabilkan sistem keuangan.

Pada era Depresi Besar (Great Depression) tahun 1930-an, kebijakan moneter The Fed yang cenderung terlambat dan terlalu ketat dinilai oleh banyak ekonom sebagai salah satu faktor yang memperdalam kontraksi ekonomi, tidak hanya di Amerika Serikat tetapi juga di berbagai belahan dunia. Episode ini menjadi pelajaran penting mengenai peran bank sentral dalam menjaga stabilitas sistemik.

Pada akhir 1970-an hingga awal 1980-an, di bawah kepemimpinan Paul Volcker, The Fed menaikkan suku bunga hingga di atas 15% untuk menghancurkan inflasi tinggi yang mengakar di perekonomian AS. Kebijakan yang kemudian dikenal sebagai Volcker Shock ini berhasil meredam inflasi, tetapi juga mendorong lonjakan biaya pinjaman global dan memicu krisis utang di berbagai negara berkembang, terutama di Amerika Latin.

Pada dekade 1990-an dan awal 2000-an, di bawah Alan Greenspan, The Fed mengelola suku bunga di tengah gelombang globalisasi keuangan dan liberalisasi pasar modal. Beberapa siklus kenaikan dan penurunan suku bunga AS, termasuk periode menjelang krisis finansial Asia 1997–1998, berkontribusi pada dinamika arus modal yang sangat besar ke dan dari negara-negara emerging markets, termasuk Indonesia, sehingga membuat perekonomian negara-negara tersebut semakin sensitif terhadap kebijakan moneter AS.

Krisis finansial global 2008 menjadi tonggak penting lain. Menyusul kejatuhan Lehman Brothers dan disfungsi pasar keuangan global, The Fed memangkas suku bunga mendekati nol dan meluncurkan program pelonggaran kuantitatif (quantitative easing/QE) dalam skala besar. Likuiditas global yang melimpah mengalir ke berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia, mendorong penguatan nilai tukar, penurunan yield obligasi, dan kenaikan harga aset finansial.

Pada tahun 2013, ketika The Fed mulai memberi sinyal akan mengurangi skala QE (tapering), pasar global bereaksi keras dalam peristiwa yang dikenal sebagai taper tantrum. Negara-negara emerging markets mengalami arus keluar modal (capital outflows), pelemahan tajam nilai tukar, serta kenaikan yield obligasi. Indonesia merasakan dampak tersebut melalui depresiasi rupiah dan peningkatan biaya pendanaan pemerintah maupun swasta.

Setelah pandemi COVID-19 dan berbagai paket stimulus fiskal-moneter yang sangat besar, The Fed kembali menormalisasi kebijakan dengan menaikkan suku bunga secara agresif pada 2022–2023 untuk meredam inflasi yang melonjak. Siklus pengetatan ini kembali menekan mata uang negara berkembang dan memicu penyesuaian suku bunga domestik di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Dengan konteks historis tersebut, jelas bahwa The Fed bukan sekadar bank sentral nasional, melainkan salah satu aktor kunci yang membentuk lanskap ekonomi dan keuangan global. Setiap perubahan kebijakan suku bunga The Fed berpotensi membawa konsekuensi luas bagi negara-negara lain, baik melalui kanal nilai tukar, arrus modal, harga komoditas, maupun sentimen pasar.

Mekanisme Transmisi Kebijakan The Fed ke Perekonomian Indonesia

Dampak kebijakan The Fed terhadap Indonesia terjadi melalui beberapa jalur utama. Pertama, kanal suku bunga global dan yield spread. Penurunan suku bunga acuan The Fed cenderung menurunkan imbal hasil (yield) surat utang pemerintah AS, sehingga selisih imbal hasil (spread) antara aset berdenominasi rupiah dengan aset berdenominasi dolar AS dapat melebar. Hal ini membuat aset keuangan Indonesia tampak relatif lebih menarik bagi investor global.

Kedua, kanal nilai tukar dan arus modal portofolio. Suku bunga AS yang lebih rendah cenderung menurunkan daya tarik dolar AS sebagai instrumen investasi jangka pendek dan mendorong investor global mencari imbal hasil yang lebih tinggi di negara berkembang. Kondisi ini dapat mendorong arus modal masuk (capital inflows) ke pasar obligasi dan saham Indonesia, yang pada gilirannya mendukung penguatan atau setidaknya stabilitas nilai tukar rupiah.

Ketiga, kanal harga komoditas dan permintaan global. Sebagai bagian dari upaya mendorong pertumbuhan ekonomi, suku bunga yang lebih rendah di Amerika Serikat berpotensi mendukung aktivitas ekonomi global. Bila pertumbuhan global menguat, permintaan terhadap komoditas ekspor Indonesia seperti batubara, CPO, nikel, dan lain-lain dapat meningkat, memberikan dukungan tambahan bagi kinerja ekspor dan penerimaan negara dari sektor sumber daya alam.

Keempat, kanal ekspektasi dan sentimen pasar. Pernyataan resmi The Fed, proyeksi suku bunga (dot plot), dan komunikasi kebijakan lainnya membentuk ekspektasi pelaku pasar global. Jika pasar meyakini bahwa penurunan suku bunga The Fed akan berlanjut, harga aset keuangan global akan menyesuaikan (re-pricing) sejak dini, termasuk di pasar keuangan Indonesia.

Dampak Penurunan Suku Bunga The Fed terhadap Perekonomian Indonesia

Perspektif Inflasi

Dalam beberapa tahun terakhir, inflasi Indonesia relatif terjaga dalam kisaran sasaran Bank Indonesia. Penurunan suku bunga The Fed berpotensi memberikan dukungan tambahan bagi stabilitas inflasi Indonesia, terutama melalui kanal nilai tukar. Dengan tekanan terhadap dolar AS yang mereda dan kemungkinan menguatnya rupiah, tekanan imported inflation dari barang-barang impor seperti BBM, pangan, dan bahan baku industri dapat berkurang.

Namun demikian, dampak positif tersebut bukan berarti tanpa risiko. Apabila penurunan suku bunga The Fed mendorong pemulihan ekonomi global yang kuat, harga komoditas energi dan pangan dunia bisa mengalami kenaikan, yang kemudian menekan inflasi domestik melalui jalur harga pangan bergejolak (volatile foods) dan harga yang diatur pemerintah (administered prices). Dalam situasi ini, kebijakan koordinasi antara pemerintah dan Bank Indonesia menjadi sangat penting untuk mengendalikan ekspektasi inflasi.

Secara keseluruhan, dalam konteks penurunan suku bunga The Fed pada akhir 2025, peluang stabilitas inflasi Indonesia cenderung lebih besar daripada risikonya, selama faktor-faktor domestik seperti pasokan pangan, kebijakan harga energi, dan koordinasi kebijakan fiskal–moneter tetap terjaga dengan baik.

Perspektif Pasar Modal

Penurunan suku bunga The Fed secara historis cenderung bersifat positif bagi pasar keuangan negara berkembang, termasuk pasar modal Indonesia. Dari sisi pasar saham, penurunan suku bunga global menurunkan cost of equity dan meningkatkan valuasi teoritis saham melalui penurunan tingkat diskonto (discount rate). Sektor-sektor yang peka terhadap suku bunga seperti perbankan, properti, dan konsumsi berpotensi memperoleh sentimen positif, terutama jika didukung oleh fundamental domestik yang kuat.

Di pasar obligasi, penurunan suku bunga The Fed dan yield US Treasury akan membuat imbal hasil surat berharga negara (SBN) Indonesia semakin menarik secara relatif. Hal ini dapat mendorong permintaan SBN oleh investor global dan domestik, sehingga menurunkan yield SBN dan pada akhirnya menurunkan biaya pinjaman pemerintah. Penurunan yield SBN juga berpotensi menurunkan biaya pendanaan korporasi melalui pasar obligasi korporasi.

Meski demikian, volatilitas tetap perlu diwaspadai. Perubahan ekspektasi pasar terhadap jalur suku bunga The Fed, data ekonomi AS yang berbeda dari perkiraan, atau eskalasi risiko geopolitik dapat memicu pembalikan arus modal secara cepat. Oleh karena itu, penguatan fundamental domestik, kedalaman pasar keuangan, dan komunikasi kebijakan yang kredibel dari otoritas moneter dan otoritas pasar modal menjadi prasyarat penting untuk mengoptimalkan manfaat penurunan suku bunga The Fed bagi pasar modal Indonesia.

Perspektif Suku Bunga Acuan Bank Indonesia

Penurunan suku bunga The Fed mengurangi tekanan eksternal terhadap perekonomian Indonesia, terutama yang terkait dengan stabilitas nilai tukar rupiah dan arus modal. Dalam kondisi ini, ruang kebijakan Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga acuan (BI-Rate) secara selektif dan bertahap menjadi lebih terbuka dibandingkan ketika The Fed berada pada fase pengetatan agresif.

Namun demikian, keputusan Bank Indonesia tidak hanya bergantung pada kebijakan The Fed. BI harus mempertimbangkan berbagai faktor lain, seperti proyeksi inflasi domestik, kesenjangan output (output gap), kondisi sektor keuangan, serta risiko eksternal lain yang mungkin timbul dari perlambatan ekonomi global atau dinamika harga komoditas. Dengan kata lain, penurunan suku bunga The Fed memberikan ruang gerak tambahan, tetapi tidak boleh mendorong BI untuk mengambil kebijakan pelonggaran yang berlebihan.

Pendekatan yang paling realistis adalah kebijakan pelonggaran yang hati-hati (cautious easing), di mana BI menurunkan suku bunga secara terbatas dan bertahap, sambil tetap mengandalkan instrumen lain seperti kebijakan makroprudensial, intervensi nilai tukar, dan pengelolaan likuiditas untuk menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan.

Perspektif Kinerja Perpajakan Indonesia

Kinerja perpajakan Indonesia, yang tercermin dari rasio pajak (tax ratio) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), masih relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara peers di kawasan maupun negara anggota OECD. Penurunan suku bunga The Fed tidak secara langsung mengubah struktur perpajakan Indonesia, tetapi dapat mempengaruhi basis pajak melalui dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi, nilai tukar, dan profitabilitas dunia usaha.

Apabila penurunan suku bunga The Fed berhasil menciptakan lingkungan keuangan global yang lebih kondusif, maka biaya pendanaan investasi dapat menurun dan aktivitas ekonomi domestik berpotensi meningkat. Pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat akan memperluas basis pajak, baik dari sisi Pajak Penghasilan (PPh) Badan, PPh Orang Pribadi, maupun Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari konsumsi dan investasi.

Di sisi lain, stabilitas nilai tukar rupiah dan inflasi yang terkendali juga membantu dunia usaha dalam melakukan perencanaan keuangan dan investasi, sehingga mengurangi risiko kebangkrutan dan tunggakan pajak. Bagi pemerintah, kondisi ini bisa dimanfaatkan untuk mendorong reformasi perpajakan yang berorientasi pada perluasan basis pajak, peningkatan kepatuhan sukarela, dan penguatan administrasi perpajakan, termasuk melalui pemanfaatan teknologi informasi dan data yang lebih komprehensif.

Namun, perlu diingat bahwa jika penurunan suku bunga The Fed mencerminkan pelemahan ekonomi global yang lebih dalam, maka kinerja sektor ekspor dan komoditas Indonesia bisa tertekan, yang pada gilirannya melemahkan penerimaan pajak dari sektor tersebut. Oleh karena itu, strategi perpajakan Indonesia harus adaptif, memanfaatkan peluang ketika siklus global menguntungkan, dan memperkuat basis pajak domestik ketika siklus global berada dalam fase melemah.

Prospek 2026 dan Implikasi Kebijakan

Dengan asumsi The Fed kembali memangkas suku bunga beberapa kali pada tahun 2026, peta kebijakan moneter global akan bergerak menuju rezim suku bunga yang lebih rendah setelah periode “higher for longer”. Bagi Indonesia, skenario ini menghadirkan kombinasi peluang dan tantangan. Di satu sisi, lingkungan suku bunga global yang rendah dapat mendukung pembiayaan pembangunan melalui penurunan biaya pinjaman pemerintah dan swasta, serta mendorong arus modal masuk ke pasar keuangan domestik.

Di sisi lain, ketidakpastian tetap akan membayangi, baik dari sisi geopolitik, dinamika perdagangan internasional, maupun prospek pertumbuhan ekonomi negara-negara utama seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Uni Eropa. Dalam konteks ini, Indonesia perlu terus memperkuat fondasi domestik, termasuk menjaga disiplin fiskal, stabilitas sistem keuangan, iklim investasi, dan kualitas kelembagaan perpajakan.

Bagi pembuat kebijakan, penting untuk melihat penurunan suku bunga The Fed bukan sebagai tujuan akhir, tetapi sebagai jendela peluang untuk mempercepat reformasi struktural di dalam negeri. Bagi akademisi dan pendidik, episode ini dapat dijadikan studi kasus aktual tentang interaksi kebijakan moneter global dan perekonomian domestik, serta hubungan antara kebijakan suku bunga, pasar keuangan, dan penerimaan negara.

Ringkasan

Penurunan suku bunga acuan The Fed pada Desember 2025 ke kisaran 3,5%–3,75% merupakan bagian dari siklus pelonggaran kebijakan moneter Amerika Serikat setelah fase pengetatan yang cukup agresif. Bagi Indonesia, kebijakan ini memberikan angin segar melalui berkurangnya tekanan eksternal, stabilitas nilai tukar, dan potensi peningkatan aliran modal ke pasar keuangan domestik.

Dari perspektif inflasi, penurunan suku bunga The Fed cenderung mendukung stabilitas harga melalui kanal nilai tukar, meskipun risiko kenaikan harga komoditas global tetap perlu diwaspadai. Dari sisi pasar modal, lingkungan suku bunga global yang lebih rendah berpotensi meningkatkan valuasi aset dan menurunkan biaya pendanaan pemerintah dan sektor swasta. Bagi Bank Indonesia, kebijakan The Fed membuka ruang pelonggaran tambahan, tetapi tetap menuntut kehati-hatian demi menjaga kredibilitas dan stabilitas makroekonomi.

Sementara itu, dari perspektif perpajakan, peluang untuk meningkatkan kinerja penerimaan negara melalui perluasan basis pajak dan pemanfaatan momentum pertumbuhan ekonomi harus diimbangi dengan kebijakan yang terukur dan tidak kontraproduktif terhadap iklim usaha. Pada akhirnya, kualitas respons kebijakan domestik—baik di bidang moneter, fiskal, maupun regulasi sektor keuangan—akan menentukan sejauh mana Indonesia dapat mengonversi perubahan kebijakan The Fed menjadi manfaat nyata bagi pembangunan nasional.

Penulis adalah Anggota Departemen Humas PP-IKPI

Donny Danardono

Email: donnydanardono@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

id_ID