Trump Usulkan Kenaikan Pajak Orang Super Kaya jadi 39,6%

IKPI, Jakarta: Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengusulkan kenaikan tarif Pajak Penghasilan (PPh) untuk individu dan pasangan suami-istri super kaya, dalam langkah yang mengejutkan banyak pihak dan memicu perdebatan tajam di internal Partai Republik.

Dalam rencana yang diungkapkan akhir pekan ini, Trump mengusulkan agar tarif tertinggi PPh naik dari 37% menjadi 39,6%. Kenaikan ini akan berlaku bagi individu yang memiliki penghasilan minimal 2,5 juta dolar AS (sekitar Rp41,28 miliar) per tahun dan pasangan dengan penghasilan 5 juta dolar AS (sekitar Rp82,57 miliar).

Langkah ini dinilai kontradiktif dengan garis ideologis Partai Republik yang selama ini cenderung menolak kenaikan pajak, terutama bagi kalangan berpenghasilan tinggi. Namun Trump menilai kebijakan tersebut dibutuhkan untuk mendanai pemotongan pajak yang lebih besar bagi kelas menengah dan pekerja.

“Saya sebenarnya menyukai konsepnya. Tapi saya tidak ingin itu digunakan melawan saya secara politis. Banyak orang kalah pemilu karena isu pajak, bahkan yang lebih kecil dari ini,” ujar Trump seperti dikutip dari Time, Sabtu (10/5/2025).

Usulan ini muncul di tengah pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) besar dengan Kongres, yang bertujuan memperpanjang masa berlaku Tax Cuts and Jobs Act 2017 yang akan kedaluwarsa tahun depan.

Selain menaikkan tarif pajak untuk orang kaya, Trump juga mengusulkan penghapusan celah pajak yang dikenal sebagai carried interest loophole. Skema ini selama ini dimanfaatkan manajer hedge fund, private equity, dan modal ventura untuk membayar pajak lebih rendah, hanya sekitar 20%.

Rencana ini juga dilatarbelakangi tekanan fiskal yang dihadapi pemerintah. The Federal Reserve diperkirakan harus membiayai ulang utang sebesar 7 triliun dolar AS (sekitar Rp115,60 kuadriliun) tahun ini. Banyak ekonom menilai bahwa peningkatan pajak untuk kelompok super kaya dapat menjadi sumber penerimaan baru yang signifikan.

Namun, tidak semua pihak di Partai Republik sejalan dengan usulan ini. Ketua DPR Mike Johnson dan kelompok konservatif seperti Americans for Tax Reform menentang keras. “Menaikkan tarif pajak menjadi 39,6% adalah ide Kamala Harris. Dia kalah dari Trump. Tidak perlu mengadopsi kebijakannya,” ujar pernyataan kelompok tersebut.

Sebaliknya, tokoh-tokoh yang dekat dengan basis pendukung Trump seperti Wakil Presiden JD Vance, Direktur Anggaran Russell Vought, dan mantan penasihat strategis Steve Bannon, menyatakan dukungan terhadap usulan tersebut.

Trump juga disebut mengajukan kenaikan batas pengurangan pajak negara bagian dan lokal (SALT cap) dari 10.000 dolar AS menjadi 30.000 dolar AS. Kebijakan ini diyakini akan menguntungkan pemilik properti di wilayah-wilayah kaya seperti New York dan California.

Meskipun Trump sebelumnya sempat khawatir bahwa pajak tinggi dapat mendorong pelarian modal dan migrasi jutawan, ia kini menilai usulan ini sebagai upaya menyeimbangkan persepsi bahwa Partai Republik hanya berpihak pada kaum elit.

Jika disetujui, rencana ini dapat menjadi pergeseran besar dalam arah kebijakan fiskal Partai Republik menjelang pemilu 2026, yang diprediksi akan kembali mempertemukan Trump dan Presiden Joe Biden. (alf)

 

PPN dan PPh 21 Rebound: Sinyal Kuat Pemulihan Ekonomi di Kuartal I 2025

IKPI, Jakarta: Kinerja penerimaan pajak pada Maret 2025 menunjukkan sinyal positif bagi pemulihan ekonomi nasional. Dua jenis pajak yang sangat terkait dengan aktivitas konsumsi dan tenaga kerja, yakni Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dalam Negeri dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, sama-sama mencatatkan pertumbuhan yang signifikan setelah dua bulan sebelumnya mengalami kontraksi.

Pada pemaparannya di Rapat Dengan Pendapat (RDP) Ditjen Pajak dengan Komisi XI DPR baru-baru ini, Dirjen Pajak Suryo Utomo, menyatakan, penerimaan PPN Dalam Negeri tumbuh sebesar 8,0% pada bulan Maret, mencapai rerata Rp60,9 triliun dalam periode Desember 2024 hingga Maret 2025. Angka ini sedikit lebih tinggi dari periode yang sama tahun sebelumnya dan menandai rebound dari pelemahan yang terjadi di Januari dan Februari.

Menurutnya, kenaikan ini dipicu oleh menguatnya konsumsi rumah tangga dan pemulihan kegiatan usaha, terutama di sektor industri pengolahan dan perdagangan besar.

Sementara itu, PPh 21 juga menunjukkan perbaikan, dengan pertumbuhan 3,3% pada Maret 2025. Peningkatan ini disebabkan oleh membaiknya penghasilan pegawai serta berkurangnya jumlah wajib pajak yang mengkompensasikan kelebihan bayar PPh 21 tahun 2024 pada masa pajak Maret.

Diungkapkan Suryo, pada dua bulan sebelumnya, penerimaan PPh 21 sempat menurun karena dampak implementasi sistem Tarif Efektif Rata-rata (TER) dan peningkatan restitusi.

Selain itu, tren musiman juga menjadi faktor penting dalam pola penerimaan pajak. Setiap tahun, penerimaan cenderung lebih rendah pada Januari dan Februari karena efek pergantian tahun anggaran dan penyesuaian administrasi wajib pajak.

“Maret menjadi bulan pemulihan karena berbagai pelaporan dan pembayaran mulai dilakukan, khususnya dari dunia usaha yang telah menyelesaikan laporan keuangan tahun sebelumnya. Hal ini tercermin dari pola penerimaan tahun-tahun sebelumnya yang konsisten,” ujarnya.

Dirjen Pajak juga menegaskan bahwa reformasi sistem pemotongan dan pelaporan pajak melalui implementasi TER telah memberikan dampak jangka pendek terhadap penurunan setoran, tetapi ke depannya diharapkan meningkatkan transparansi dan kemudahan administrasi bagi wajib pajak.

Dengan rebound yang terjadi di Maret, pemerintah kini lebih percaya diri bahwa adaptasi terhadap sistem baru akan berlanjut dengan tren yang stabil, bahkan meningkat, seiring makin membaiknya kepercayaan dan partisipasi wajib pajak. (bl)

Jokowi Rilis Kebijakan Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan

IKPI, Jakarta: Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya merilis keputusan presiden terkait dengan penetapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan.

Titah Presiden ini dituangkan dalam Keputusan Presiden (Kepres) No.25 Tahun 2022. Kepres ini diteken pada 23 Desember 2022. Ada empat hal yang ditetapkan Jokowi. Pertama, pengenaan tarif pemotongan pajak penghasilan (PPh) pasal 21 atas penghasilan pekerjaan, jasa dan kegiatan. Kedua, pengenaan tarif pemotongan pajak penghasilan (PPh) pasal 21 atas penghasilan pekerjaan, jasa dan kegiatan yang menjadi beban negara, dalam APBN dan APBD.

Ketiga, pemberlakukan dan penerapan tarif efektif pemotongan pajak PPh pasal 21. Terakhir, pencabutan PP No.80 tahun 2010 tentang tarif pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang menjadi beban APBN dan APBD.

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah mengumumkan bahwa pemerintah telah menyesuaikan pengaturan di bidang Pajak Penghasilan (PPh) sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dalam satu Peraturan Pemerintah (PP) yang komprehensif dan konsolidatif.

“Dalam beleid ini, beberapa ketentuan bersifat meneruskan amanah Pasal 32C UU HPP untuk selanjutnya diatur di Peraturan Menteri Keuangan, seperti Bab II tentang Objek PPh, Bab III tentang Pengecualian dari Objek PPh, dan Bab IV tentang Biaya yang dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Neilmaldrin Noor, seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Senin (26/12/2022).

Sementara itu ketentuan lainnya, untuk penyusutan harta berwujud berupa bangunan permanen dan/atau amortisasi harta tak berwujud yang memiliki masa manfaat lebih dari 20 tahun, Wajib Pajak dapat memilih menggunakan masa manfaat 20 tahun berdasarkan UU PPh atau masa
manfaat sebenarnya sesuai pembukuan Wajib Pajak dengan syarat taat asas.

“Khusus untuk harta yang dimiliki sebelum tahun pajak 2022 dan telah disusutkan/diamortisasi sesuai masa manfaat dalam UU PPh, Wajib Pajak masih dapat memilih menggunakan masa manfaat sebenarnya sesuai pembukuan Wajib Pajak dengan menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak,” paparnya.

Untuk ketentuan pemberian natura dan/atau kenikmatan, yang mana sebelumnya bukan merupakan objek pajak bagi pihak penerima dan tidak dapat dibebankan bagi pihak pemberi, saat ini menjadi objek pajak bagi pihak penerima dan dapat dibebankan bagi pihak pemberi
(taxable and deductable).

Dikecualikan dari pengenaan pajak (nontaxable) adalah natura dan/atau kenikmatan yang meliputi:

1) makanan, bahan makanan, bahan minuman, dan/atau minuman bagi seluruh pegawai;
2) natura dan/atau kenikmatan yang disediakan di daerah tertentu;
3) natura dan/atau kenikmatan yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan
pekerjaan;
4) natura dan/atau kenikmatan yang bersumber atau dibiayai APBN/APBD/APBDesa; atau
5) natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan/atau batasan tertentu.

Ketentuan ini berlaku sejak tahun pajak 2022. Namun, kewajiban pemotongan PPh atas natura dan/atau kenikmatan oleh pemberi kerja mulai berlaku untuk penghasilan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang diterima atau diperoleh sejak tanggal 1 Januari 2023. Natura dan/atau kenikmatan yang diterima pada tahun pajak 2022 dan belum dilakukan pemotongan PPh, makan PPh atas penghasilan tersebut wajib dihitung dan dibayar sendiri serta dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2022 oleh penerimanya.(bl)

Realisasi Restitusi Pajak Tahunan Meningkat

IKPI, Jakarta: Sampai dengan akhir Oktober 2022, realisasi pengembalian pajak atau restitusi pajak tercatat Rp 190,14 triliun. Restitusi pajak naik 7,90% secara tahunan atau year on year (YoY) dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak) Kementerian Keuangan menyebut, realisasi restitusi pada periode laporan didominasi oleh restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dalam Negeri sebesar Rp 145,07 triliun atau meningkat 24,83% secara tahunan.

Selain PPN Dalam Negeri, restitusi pada periode laporan juga didominasi oleh restitusi Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 sebesar Rp 38,06 triliun. Namun realisasi ini tumbuh negatif 25,05% secara tahunan.

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengatakan, realisasi restitusi yang didominasi oleh restitusi PPN Dalam Negeri yang dipercepat dikarenakan pemerintah melalui Ditjen Pajak ingin membentuk pengusaha kena pajak (PKP) menjaga likuiditas keuangan di masa pandemi.

“Tujuannya adalah agar PKP masih tetap memiliki dana untuk tetap bertahan di masa pandemi atau bahkan melakukan pemulihan kegiatan usaha,” ujar Prianto dikutip dari Kontan.co.id, Kamis (17/11/2022).

Selain restitusi PPN Dalam Negeri, ada juga restitusi PPh Pasal 25/29. Prianto bilang, restitusi ini disebabkan biasanya oleh kondisi bisnis yang mengalami penurunan sehingga PPh yang telah dibayar lebih besar dari PPh badan terutang. Menurutnya, restitusi seperti ini diperoleh setelah ada pemeriksaan pajak atau bahkan harus melalui proses sengketa pajak hingga ke pengadilan pajak.

Untuk di tahun depan, Prianto melihat gambaran restitusi masih akan memiliki pola yang sama. Perkiraannya, restitusi PPh Pasal 25/29 sepertinya akan menurun karena dunia usaha semakin pulih sehingga ada PPh Badan kurang bayar.

“Untuk PPN, restitusi dulu sebelum pemeriksaan masih tetap ada. Pasalnya, pemerintah secara rutin di setiap tahun menetapkan PKP berisiko rendah dan PKP patuh. Kedua kelompok PKP tersebut berhak mendapatkan restitusi pendahuluan sebelum ada pemeriksaan,” katanya.

Sebagai gambaran, Prianto menyampaikan, ada dua mekanisme restitusi PPN, yaitu (1) pemeriksaan dulu kemudian restitusi, dan (2) restitusi terlebih dahulu, kemudian baru pemeriksaan. Untuk restitusi PPN yang pertama tersebut menggunakan prosedur normal dan bisa melalui sengketa pajak dulu hingga ke Pengadilan Pajak agar PKP mendapatkan restitusi sementara.

Sementara, restitusi PPN yang kedua, berlaku untuk PKP Patuh atau memiliki risiko rendah sehingga diberi fasilitas kemudahan oleh pemerintah.

Berdasarkan data Ditjan Pajak, rincian realisasi restitusi menurut sumbernya didominasi oleh restitusi dipercepat, yaitu sebesar Rp 79,62 triliun atau terpantau tumbuh 62,60% secara tahunan.

Sedangkan restitusi dari upaya hukum tercatat sebesar Rp 27,49 triliun atau menurun 3,02% secara tahunan dari periode yang sama tahun sebelumnya. Kemudian restitusi normal tercatat Rp 83,03 triliun atau turun 16,05% secara tahunan dari periode yang sama pada tahun lalu.(bl)

id_ID