Gagasan Pembentukan BPN Tak Jamin Naikkan Rasio Pajak, INDEF: Tergantung Arah Kebijakan

IKPI, Jakarta: Gagasan Presiden Terpilih Prabowo Subianto untuk membentuk Badan Penerimaan Negara sebagai upaya mendongkrak rasio penerimaan hingga 23 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menuai catatan kritis dari kalangan ekonom. Salah satunya datang dari Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Berly Martawardaya.

Dalam diskusi panel bertajuk “Membedah Stagnasi Tax Ratio Indonesia: Masalah Struktural, Teknis, atau Ekonomi?” yang digelar Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) pada 19 Mei 2025, Berly menyatakan bahwa pendirian lembaga baru belum tentu berdampak langsung terhadap peningkatan rasio pajak.

“Di beberapa negara, pengubahan struktur kelembagaan dari Direktorat Jenderal Pajak menjadi badan semi otonom seperti SARA [Semi-Autonomous Revenue Authority] tidak selalu berhasil menaikkan rasio penerimaan. Semua tergantung pada arah kebijakan, wewenang yang jelas, serta pelaksanaan yang konsisten,” ujar Berly.

Menurut Berly, pembentukan badan khusus seperti Badan Penerimaan Negara hanyalah salah satu opsi dalam kerangka reformasi perpajakan. Ia justru mendorong pendekatan yang lebih holistik dengan mengoptimalkan mesin pertumbuhan ekonomi nasional seperti konsumsi rumah tangga, investasi, belanja pemerintah, dan ekspor.

“Kalau mau meningkatkan pajak, kita harus melihat ke sektor riil. Misalnya sektor pertanian yang kontribusinya ke PDB cukup besar lebih dari 12 persen namun minim dalam penerimaan pajak karena sifatnya masih sangat informal,” jelasnya.

Berly menyoroti bahwa struktur ekonomi Indonesia yang masih didominasi sektor informal menjadi tantangan utama dalam memperluas basis pajak. Ia juga menilai sektor-sektor potensial seperti transportasi, logistik, dan teknologi informasi belum sepenuhnya tergarap optimal dari sisi perpajakan.

Lebih jauh, ia mengungkapkan kekhawatirannya atas tren penurunan konsumsi rumah tangga di kuartal I-2025, yang kini berada di bawah lima persen. Padahal, konsumsi rumah tangga selama ini menyumbang lebih dari separuh PDB nasional.

“Jika konsumsi dan investasi terus melambat, maka wajar bila penerimaan negara ikut tertekan. Pemerintah harus merancang kebijakan yang mampu memulihkan daya beli masyarakat,” tegasnya.

Dengan demikian, Berly menilai bahwa memperkuat basis ekonomi produktif dan memberantas sektor informal yang tidak tersentuh pajak menjadi kunci, bukan semata-mata membentuk institusi baru. (bl)

 

 

 

IKPI Dorong Penguatan Kemitraan Strategis dan Ekosistem Perpajakan yang Lebih Modern dengan DJP

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menyambut baik keputusan Presiden Prabowo Subianto yang menunjuk Bimo Wijayanto sebagai Direktur Jenderal Pajak yang baru menggantikan Suryo Utomo. Penunjukan ini dinilai menjadi momentum penting untuk memperkuat fondasi perpajakan nasional sekaligus membuka ruang dialog dan kemitraan strategis yang lebih luas antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan pemangku kepentingan, khususnya profesi konsultan pajak.

Ketua Departemen Humas IKPI, Jemmi Sutiono, menyampaikan bahwa tantangan fiskal saat ini tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga strategis yakni bagaimana membangun hubungan yang lebih elastis, responsif, dan berbasis kepercayaan antara otoritas pajak dan masyarakat, termasuk pelaku profesi perpajakan.

“Penunjukan Pak Bimo menjadi sinyal positif untuk masa depan perpajakan Indonesia. IKPI berharap kepemimpinan baru ini membuka ruang kemitraan yang lebih strategis, di mana Direktorat Jenderal Pajak tidak hanya menjadi regulator, tetapi juga mitra transformasi yang mampu memberdayakan profesi konsultan pajak dalam menghadapi tantangan digital, memperluas basis kepatuhan sukarela, dan memperkuat literasi perpajakan masyarakat,” ujar Jemmi, Kamis (22/5/2025).

Lebih lanjut, Jemmi menekankan bahwa IKPI siap berperan aktif dalam menciptakan sistem perpajakan yang lebih elastis, praktis, dan ekonomis, sesuai dengan arah reformasi yang terus digaungkan pemerintah.

Dalam pandangan IKPI, kata Jemmi, digitalisasi perpajakan dan agenda modernisasi hanya dapat berhasil bila disertai dengan penguatan dialog antara DJP dan profesi konsultan pajak, yang selama ini menjadi jembatan penting antara negara dan wajib pajak.

“Konsultan pajak bukan hanya mitra teknis, tetapi juga mitra strategis. Di era modernisasi fiskal, kami berharap DJP dapat lebih terbuka terhadap masukan-masukan profesional dan menjadikan kolaborasi ini sebagai bagian dari strategi nasional dalam meningkatkan rasio pajak, kepatuhan, dan efisiensi sistem,” ujarnya.

Menurut Jemmi, dengan ekosistem perpajakan yang lebih kuat dan kolaboratif, maka arah menuju sektor keuangan yang kokoh, mandiri, dan modern bisa lebih cepat terwujud. Ia menegaskan bahwa IKPI siap mendukung penuh agenda Dirjen Pajak baru melalui program edukasi, asistensi teknis, dan penguatan tata kelola profesi yang akuntabel.

“Sudah waktunya kita menempatkan kemitraan DJP dan IKPI pada level yang lebih strategis—bukan hanya sebagai pelengkap, tetapi sebagai pilar penting dalam mendesain kebijakan yang tepat sasaran, implementatif, dan berkelanjutan,” kata Jemmi.

Penunjukan Bimo Wijayanto diharapkan tidak hanya membawa angin segar dalam manajemen DJP, tetapi juga menjadi titik tolak bagi transformasi hubungan antara negara dan para pelaku sektor perpajakan. IKPI menegaskan komitmennya untuk terus hadir sebagai mitra kritis sekaligus konstruktif dalam membangun sistem perpajakan Indonesia yang berintegritas dan adaptif terhadap perubahan zaman. (bl)

Guru Besar UI Desak Presiden Segera Bentuk Badan Penerimaan Negara

IKPI, Jakarta: Stagnasi rasio pajak Indonesia kembali menjadi perbincangan hangat di tengah publik. Dalam Diskusi Panel yang diselenggarakan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) bertajuk “Membedah Stagnasi Tax Ratio Indonesia: Masalah Struktural, Teknis, atau Ekonomi?”, Senin (19/5/2025), Guru Besar Kebijakan Publik Perpajakan FIA UI, Prof. Haula Rosdiana, menyampaikan desakan kepada Presiden Prabowo Subianto agar segera merealisasikan pembentukan Badan Penerimaan Negara.

“Sudah saatnya kita jujur melihat persoalan tata kelola perpajakan. Teman-teman di Direktorat Jenderal Pajak terus didorong berada di garis depan, padahal secara struktural dan kelembagaan mereka belum diberi ruang gerak yang cukup. Kita butuh lembaga yang benar-benar agile, mampu beradaptasi dengan cepat di tengah perubahan,” ujar Haula dalam paparannya.

Haula menekankan bahwa pembentukan Badan Penerimaan Negara bukan sekadar janji kampanye, melainkan kebutuhan strategis untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan pendapatan negara.

Menurutnya, lembaga ini tidak hanya menyatukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), melainkan menjadi bagian dari transformasi kelembagaan secara menyeluruh.

Ia menyoroti bahwa reformasi perpajakan yang sudah berjalan sejak 1983 dan proyek modernisasi sistem seperti Coretax belum menunjukkan hasil signifikan terhadap peningkatan tax ratio. “IT itu hanya komponen kecil. Transformasi kelembagaan jauh lebih mendasar,” tegasnya.

Lebih lanjut, Haula menjelaskan bahwa Badan Penerimaan Negara nantinya akan mengintegrasikan seluruh sumber penerimaan, termasuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang selama ini berada di bawah kendali Direktorat Jenderal Anggaran. (bl)

 

Ketua Umum IKPI: Dirjen Pajak Baru Hadapi Tantangan Berat namun Punya Bekal Strategis

IKPI, Jakarta: Isu pergantian Direktur Jenderal Pajak di Kementerian Keuangan semakin menguat, dengan nama Bimo Wijayanto disebut-sebut sebagai kandidat kuat pengganti Suryo Utomo. Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, menilai jika pergantian itu benar terjadi, maka tantangan yang menanti Dirjen Pajak baru sangat kompleks dan strategis.

“Kalau benar Pak Bimo yang akan menjabat, tantangan beliau berbeda dari Pak Suryo. Ini bukan hanya melanjutkan capaian, tapi juga membuktikan mampu menghadapi tantangan baru,” ujar Vaudy, Rabu (21/5/2025).

Ia menyebut setidaknya ada empat tantangan besar yang akan langsung dihadapi oleh Dirjen Pajak baru:

1. Implementasi Penuh Core Tax Administration System (CTAS)

“Core Tax atau Korteks harus segera diimplementasikan secara penuh. Harapan publik tinggi dan layanan pajak harus optimal,” jelasnya.

2. Mempertahankan Target Penerimaan Pajak

Di bawah kepemimpinan Suryo Utomo, penerimaan pajak tercapai selama empat tahun berturut-turut. Menurut Vaudy, hal ini menciptakan ekspektasi tinggi terhadap penerusnya.

3. Peningkatan Tax Ratio ke 15% PDB

Target peningkatan rasio pajak menjadi 15% dari Produk Domestik Bruto dipandang cukup ambisius. “Ini bukan tugas DJP saja, tapi DJP tetap akan jadi sorotan utama,” tambahnya.

4. Pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN)

Isu pembentukan BPN kembali mengemuka sejak awal masa pemerintahan Presiden Prabowo. “Sinkronisasi peran DJP dalam transisi menuju BPN akan jadi ujian tersendiri,” kata Vaudy.

Vaudy mengakui bahwa Bimo Wijayanto memiliki latar belakang kuat di bidang perpajakan. Pernah menjabat di Direktorat Jenderal Pajak pada 2003–2010, serta berperan dalam lahirnya UU Pengampunan Pajak dan UU Akses Informasi Keuangan.

“Pengalaman beliau di Kantor Staf Presiden dan Kemenkomarves memperlihatkan kemampuannya di level strategis. Namun, tantangannya kini lebih berat, karena seluruh mata publik akan menilai apakah reformasi perpajakan benar-benar berlanjut,” ujarnya.

IKPI juga menyoroti perlunya kesetaraan regulasi bagi kuasa wajib pajak. “Jalur kuasa wajib pajak non-konsultan tidak diatur, padahal dalam UU HPP dan PPSK posisi konsultan pajak sangat jelas sebagai profesi penunjang sektor keuangan. Ini harus segera ditata agar ada level playing field,” tegas Vaudy.

Ia juga berharap pembahasan RUU Pengampunan Pajak yang sudah masuk Prolegnas Prioritas bisa diselesaikan dengan matang di bawah kepemimpinan Dirjen Pajak yang baru. “RUU ini harus selesai tahun ini, dan tentu akan jadi PR besar yang harus diantar oleh Dirjen Pajak berikutnya,” ujarnya. (bl)

Strategi Penagihan Pajak Daerah Menjadi Penghambat Pertumbuhan Ekonomi

Beberapa waktu lalu, klien saya melakukan pembelian sebuah Bangunan melalui laman yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) atas Bangunan sitaan salah satu Bank di Jakarta. Pada saat proses pelelangan tersebut menimbulkan hak dan kewajiban perpajakan yang harus diselesaikan masing-masing pihak, antara lain Pajak Penjualan (PPh Final 2,5%) yang harus dilunasi oleh Penjual dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB 5%) yang harus dilunasi oleh Pembeli.

Namun, kewajiban BPHTB yang hendak dilunasi oleh Pembeli terhambat oleh salah satu syarat yaitu atas tunggakan yang belum dibayar selama lima tahun terakhir atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang merupakan kewajiban dari yang memanfaatkan dan/atau menguasai bangunan tersebut pada saat terutang.

Hambatan tersebut tertuang dalam Pasal 3 Ayat (1) Peraturan Gubernur (Per-Gub) Provinsi DKI Jakarta No. 34 Tahun 2022 yang menyatakan sebagai berikut:
“Wajib Pajak atau Kuasa Wajib Pajak yang sudah melunasi ketetapan PBB-P2 atas objek perolehan untuk 5 (tahun) pajak terakhir membuat akun pajak online dan melakukan pengisian data SSPD BPHTB secara elektronik, dst…”

Sementara dalam Pasal 2 Per-Gub yang sama juga disebutkan:
“Wajib Pajak wajib membayar dan melaporkan sendiri BPHTB yang terutang melalui sistem e-BPHTB”.

Dua pasal ini menimbulkan kontradiksi: Siapa yang seharusnya dianggap sebagai Wajib Pajak dalam konteks pelunasan tunggakan PBB? Penjual sebagai pihak yang sebelumnya menguasai aset, atau Pembeli yang akan mencatat perolehan hak?
Definisi dalam Pasal 1 Angka 1 Per-Gub menegaskan bahwa Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang memiliki hak dan kewajiban sesuai peraturan perpajakan.

Maka jelas, dalam konteks BPHTB, Pembeli adalah Wajib Pajak. Namun dalam konteks pelunasan PBB lima tahun ke belakang, seharusnya yang bertanggung jawab adalah Penjual. Inilah yang menunjukkan bagaimana strategi penagihan pajak daerah, khususnya lewat syarat administratif yang tidak fleksibel, justru dapat menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi.

Pembeli yang telah siap menginvestasikan dana dan mengaktifkan kembali aset yang dibeli nya, terkendala karena harus menanggung kewajiban yang bukan menjadi tanggung jawabnya.

Dampaknya? Aset tidak dapat segera dimanfaatkan. Jika bangunan tersebut hendak dijadikan hotel, maka hilanglah kesempatan untuk menyerap tenaga kerja lokal, menghasilkan Pajak Hotel 10%, Pajak Restoran 10%, PPh pusat 22%, PPh Pasal 21 atas penghasilan karyawan, dan berbagai retribusi lainnya. Potensi Pendapatan Asli Daerah pun melayang.

Pemerintah daerah perlu menyadari bahwa penagihan pajak seharusnya tidak mematikan potensi ekonomi. Ketika peraturan daerah justru menempatkan investor baru dalam posisi serba salah, maka strategi fiskal yang dimaksudkan untuk mendorong pendapatan daerah malah menjadi kontra-produktif.

Revisi kebijakan diperlukan. Idealnya, penetapan subjek pajak harus jelas dan tidak membebani pihak yang tidak semestinya. Selain itu, perlunya mekanisme khusus untuk objek hasil sitaan atau lelang DJKN, agar proses transaksinya tidak tersandera masalah historis perpajakan yang tidak relevan dengan pihak baru.

Tanpa pembenahan semacam ini, strategi penagihan pajak daerah hanya akan menjadi lingkaran birokrasi yang mengorbankan momentum investasi dan memupus harapan terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi, baik di tingkat lokal maupun nasional.

Penulis adalah Anggota Departemen Pengembangan Organisasi, IKPI

Muhammad Fadhil, S.Ak., S.AP., Ak., BKP

Email: fadhilalhinduan@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

IKPI Sebut Suryo Utomo Berhasil Pimpin DJP: Bawa Banyak Perubahan Positif

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, menyampaikan apresiasi atas kepemimpinan Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo yang dinilai berhasil membawa berbagai perubahan positif selama menjabat. Dari capaian penerimaan hingga reformasi sistem, Suryo dianggap sukses memimpin Ditjen Pajak (DJP) di masa penuh tantangan.

“Pak Suryo Utomo mencatat sejarah dengan empat tahun berturut-turut berhasil melampaui target penerimaan pajak nasional, dari 2020 sampai 2024. Ini yang kami sebut sebagai ‘quadtrick’ dan sangat jarang terjadi,” ujar Vaudy dalam pernyataannya, Rabu (21/5/2025).

Vaudy juga menyoroti masa awal jabatan Suryo yang dimulai , pada 1 November 2019 menggantikan Robert Pakpahan. Meski pada tahun 2020 Indonesia dan dunia berada dalam situasi pandemi Covid-19, penerimaan negara dari sektor pajak tetap tercapai bahkan selama empat tahun berturut .

Menurutnya, hal itu menunjukkan strategi adaptif yang diterapkan oleh Suryo cukup efektif dalam menjaga stabilitas fiskal.

Tak hanya soal capaian penerimaan, Vaudy menggarisbawahi keberhasilan Suryo dalam mendorong integrasi dan modernisasi sistem administrasi perpajakan melalui peluncuran Coretax Administration System. “Meskipun implementasinya masih berproses, ini langkah besar menuju efisiensi dan transparansi yang lebih baik,” jelasnya.

Suryo Utomo juga membidani lahirnya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada tahun 2021. “UU HPP adalah upaya besar untuk menyatukan berbagai aturan perpajakan dalam satu kerangka hukum yang lebih jelas dan konsisten,” katanya.

Menurut Vaudy, Suryo juga aktif dalam memperluas basis pajak, termasuk dengan menyasar sektor digital yang semakin dominan dalam perekonomian. Upaya ini dinilai sebagai bagian dari strategi jangka panjang untuk keberlanjutan penerimaan negara.

Lebih jauh, IKPI menilai hubungan antara DJP dan konsultan pajak selama masa kepemimpinan Suryo berlangsung baik. “DJP sangat terbuka terhadap dialog, dan bahkan menghadiri pelantikan-pelantikan pengurus IKPI di berbagai daerah.

Hubungan yang erat ini perlu dipertahankan,” ungkap Vaudy.

Menutup pernyataannya, Vaudy berharap jika benar ada pergantian Dirjen Pajak diharapkan hubungan IKPI yang sudah terjalin sangat baik dengan DJP dapat terus dilanjutkan bahkan dengan semangat kolaboratif dan agenda reformasi yang sudah dirintis.

“Tantangannya tidak kecil, tapi fondasi yang dibangun Pak Suryo sudah kuat,” pungkasnya. (bl)

IKPI Jakarta Utara Tekankan Pentingnya Adaptasi Konsultan Pajak terhadap PMK 15/2025 dan Coretax

IKPI, Jakarta: Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Utara, Franky Foreson, mengajak seluruh konsultan pajak untuk terus meningkatkan kompetensi dan kepekaan terhadap dinamika regulasi perpajakan dalam sambutannya pada acara Pendidikan Profesional Berkelanjutan (PPL) yang digelar di El-Hotel, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Selasa (20/5/2025).

Mengangkat tema “Konsultan Pajak Kudu Paham Neh: PMK 15/2025 & Update Aturan Coretax”, kegiatan ini dihadiri oleh 90 peserta yang terdiri dari anggota IKPI se-Jabodetabek dan peserta umum.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Dalam sambutannya, Franky menegaskan bahwa konsultan pajak saat ini dihadapkan pada tantangan besar, tidak hanya dalam memahami aturan teknis seperti PMK 15/2025, tetapi juga dalam beradaptasi dengan sistem digitalisasi pajak yang terus berkembang, salah satunya melalui platform Coretax.

“Kita tidak bisa lagi bekerja dengan pendekatan lama. Dunia perpajakan sudah sangat dinamis. PMK 15/2025 menjadi penanda penting perubahan paradigma, dan Coretax adalah masa depan. Konsultan pajak wajib siap dan paham,” ujar Franky.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Acara ini juga menjadi momen mempererat solidaritas antaranggota IKPI, di samping memperkaya wawasan teknis. Panitia menekankan pentingnya peran konsultan pajak dalam memberikan kontribusi nyata kepada masyarakat melalui pelayanan profesional yang akuntabel dan berbasis regulasi terkini.

Dengan antusiasme peserta dan relevansi tema, PPL kali ini menjadi bukti nyata komitmen IKPI dalam mencetak konsultan pajak yang adaptif, kompeten, dan siap menjawab tantangan zaman.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

(bl)

PMK 81/2025 Ubah Cara Hitung Pajak BUMN dan BUMD

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 melakukan reformulasi penghitungan angsuran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Ketentuan yang tertuang dalam Pasal 229 PMK tersebut bertujuan mendorong transparansi dan akurasi pembayaran pajak sepanjang tahun berjalan.

Dalam pasal tersebut, penghitungan angsuran PPh 25 bagi BUMN dan BUMD selain yang berstatus bank, perusahaan terbuka, atau Wajib Pajak tertentu lainnya tidak lagi mengacu hanya pada perhitungan tahun sebelumnya. Kini, dasar penghitungan menggunakan proyeksi penghasilan neto fiskal berdasarkan Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) yang telah disahkan Rapat Umum Pemegang Saham.

Besarnya angsuran dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh terhadap penghasilan neto fiskal tersebut, lalu dikurangi dengan pajak-pajak yang telah dipotong atau dipungut di dalam maupun luar negeri, dan dibagi 12 bulan.

Kementerian Keuangan mewajibkan RKAP disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar sebelum batas waktu pembayaran angsuran PPh 25 Masa Pajak pertama. Jika batas waktu terlewati, penghitungan angsuran tidak dapat mengacu pada RKAP.

Langkah ini diyakini akan mengurangi potensi overpayment atau underpayment pajak, serta mendorong perencanaan keuangan korporasi negara yang lebih disiplin dan terukur.

Kebijakan baru ini menjadi salah satu strategi besar reformasi perpajakan nasional yang tengah digalakkan hingga 2027. (alf)

 

IKPI dan UPH Tandatangani Kerja Sama, Anggota hingga Keluarga Bisa Dapatkan Harga Kuliah Khusus

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) dan Universitas Pelita Harapan (UPH) resmi menjalin kemitraan strategis di bidang pendidikan tinggi. Nota kesepahaman ditandatangani oleh Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld dan Dekan Fakultas Hukum UPH, Dr. Velliana Tanaya, dalam sebuah seremoni yang berlangsung di Gedung IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, Senin (19/5/2025)

Kerja sama ini mencakup pemberian biaya studi khusus bagi anggota IKPI, keluarga inti, serta karyawan dari kantor praktik anggota. Program ini berlaku untuk jenjang Strata-1 (S1) kelas karyawan, Strata-2 (S2), hingga Strata-3 (S3), baik melalui skema beasiswa maupun pembayaran mandiri sesuai kesepakatan para pihak.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

“Ini bukan sekadar MoU, tapi langkah konkret dalam menciptakan ekosistem pembelajaran yang mendukung pengembangan profesi konsultan pajak di Indonesia,” ujar Vaudy Starworld. Ia menambahkan bahwa IKPI juga diberi ruang oleh UPH untuk turut serta dalam menjaring calon mahasiswa dari komunitas konsultan pajak melalui kegiatan yang sesuai norma dan hukum yang berlaku.

Dekan Fakultas Hukum UPH, Dr. Velliana Tanaya, turut menyampaikan apresiasinya atas kepercayaan yang diberikan IKPI. Ia berharap kerja sama ini dapat berkembang tidak hanya di bidang pendidikan, tetapi juga penelitian, kewirausahaan, hingga pengabdian kepada masyarakat.

“Kami ingin memberikan kesempatan kepada anggota IKPI dan bahkan keluarga mereka—termasuk anak-anak anggota—untuk bisa mengakses pendidikan di UPH dengan harga khusus yang telah disepakati,” kata Velliana. Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi dalam bidang akademik, khususnya dalam hukum pajak.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

“Kalau kami memerlukan tenaga pengajar untuk hukum pajak, kami mohon bantuan dari Bapak-Ibu di IKPI. Karena hukum pajak ini sangat spesifik, dan hanya bisa diajarkan oleh mereka yang benar-benar memahami perpajakan,” tambahnya.

Kerja sama ini diharapkan memberi manfaat timbal balik bagi kedua institusi, sekaligus menjadi kontribusi nyata dalam membentuk generasi profesional pajak yang lebih kompeten di masa depan.(bl)

Ketum Vaudy Starworld Lantik Pengurus IKPI Cabang Buleleng, Tegaskan Komitmen Ekspansi Organisasi

IKPI, Buleleng: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, secara resmi melantik Pengurus Cabang IKPI Buleleng di New Sunari Lovina Beach Resort, Kamis (15/5/2025). Dalam sambutannya, Vaudy menekankan bahwa pembentukan cabang baru seperti Buleleng merupakan bagian dari strategi ekspansi dan penguatan organisasi di tingkat daerah.

Vaudy menegaskan bahwa kehadiran cabang baru membawa manfaat besar, tidak hanya memperluas jangkauan organisasi, tetapi juga meningkatkan aktivitas dan partisipasi anggota.

“Dengan adanya cabang baru, kegiatan IKPI di daerah akan semakin banyak dan variatif. Ini juga meringankan beban pengurus cabang lama dan mendorong anggota di wilayah baru lebih aktif serta dekat secara geografis untuk menghadiri kegiatan tatap muka,” ujar Vaudy.

Ia juga menyoroti kehadiran luar biasa dalam pelantikan Pengcab Buleleng, yang diikuti hampir 120 peserta 30% di antaranya berasal dari kalangan umum. “Ini baru langkah pertama. Kami berharap ke depan Pengcab Buleleng bisa menyelenggarakan kegiatan pelatihan, bahkan program brevet perpajakan,” lanjutnya.

 

(Foto: Istimewa)

Menurutnya, pelantikan ini juga menandai dimulainya kembali rangkaian pelantikan cabang-cabang baru oleh Pengurus Pusat. Setelah Buleleng, pelantikan akan berlanjut di Bitung pada 30 Mei dan menyusul Cabang Kabupaten Bekasi yang akan menggelar pemilihan ketua cabang pada 26 Mei.

Pemegang sertifikasi Ahli Kepabeanan dan Kuasa Hukum di Pengadilan Pajak ini juga mengungkapkan rencana besar ke depan, seperti mengusulkan perubahan AD/ART agar satu provinsi dapat memiliki lebih dari satu Pengurus Daerah (Pengda).

“Misalnya, Jawa Barat dapat memiliki Pengda Jabar 1 hingga 3, menyesuaikan dengan wilayah kerja Kanwil DJP. Karena, sejauh ini IKPI telah melantik 13 Pengda dan 42 Pengcab. Terakhir, pada 10 April lalu, IKPI resmi melantik Pengda DIY sebagai Pengda ke-13,” kata Vaudy.

Ia berharap lahirnya Pengda baru seperti Sulawesi Utara, Tengah, Gorontalo, dan Maluku Utara (Suluttenggo), serta Papua.

Vaudy juga mengapresiasi kinerja Pengcab Padang yang berhasil menyelenggarakan kegiatan PPL (Pendidikan Profesional Berkelanjutan) dengan peserta mencapai 150 orang, meski anggota resminya hanya 23 orang. Hal ini menjadi bukti semangat dan antusiasme anggota yang perlu dicontoh oleh cabang lain.

Lebih lanjut ia mengatakan, IKPI pun terus menjalin kerja sama internasional. Baru-baru ini, mereka menandatangani MoU dengan Korea Association of Certified Tax Attorneys by Examination (KACTAE) dan mengadakan sesi berbagi pengetahuan perpajakan dari Korea Selatan.

Untuk memperkuat edukasi publik, IKPI juga telah menyiapkan serangkaian diskusi panel nasional, termasuk yang akan diselenggarakan pada 19 Mei 2025 bertajuk “Membedah Stagnasi Tax Ratio Indonesia”, yang menghadirkan akademisi, praktisi dan ekonon seperti Ken Dwijugiasteadi, Prof. Haula Rosdiana, Berly Martawardaya, dan Agustina Mappadang.

Hadir pada kegiatan tersebut:

1. Kepala Kanwil DJP Bali, diwakili oleh Kepala Bidang P2 Humas, Waskito Eko Nugraha

2. Kepala KPP Pratama Singaraja, diwakili oleh Kepala Seksi Pengawasan III, I Made Nesa Widiada, bersama Bapak I Made Suryantara

3. Kepala BPKPD Kabupaten Buleleng, diwakili oleh Ida Bagus Perang Wibawa

4. Dekan Undiksha, diwakili oleh Wakil Dekan, Ni Made Suci

5. Perwakilan asosiasi profesi dan mitra kerja IKPI

6. Pengurus Pusat IKPI:
Ketua Umum, Vaudy Starworld

Wakil Sekretaris Umum (Plh Sekum) Novalina Magdalena

Ketua Departemen Hubungan Masyarakat, Jemmi Sutiono

Anggota Departemen Tugas Khusus, Budianto Wijaya

Ketua Bidang PPL – Departemen PPL dan SDA, Rindi Elina

7. Dewan Kehormatan, I Kadek Sumadi

8. Pengawas, Ketut Alit Adi Krisna

9. Ketua Pengurus Daerah Bali NUSRA, I Kadek Agus Ardika dan jajarannya

10. Ketua Pengurus Cabang Denpasar: I Made Sujana dan jajarannya

11. Ketua Pengurus Cabang Mataram, Bagus Suadmaya dan jajarannya

12. Ketua Pengurus Cabang Buleleng, I Made Susila Darma dan jajarannya

Vaudy menutup sambutannya dengan harapan besar: “Semoga kehadiran Pengcab Buleleng menjadi contoh sukses bagi cabang-cabang baru lainnya, demi memajukan dunia perpajakan dan profesi konsultan pajak di Indonesia,” ujarnya. (bl)

en_US