IKPI Jambi Gelar Pelatihan Kursus Brevet Pajak

IKPI, Jambi: Sebanyak 33 peserta, yang terdiri dari karyawan swasta dan mahasiswa mengikuti pelatihan Kursus Sertifikasi Konsultan Pajak (Brevet) Pajak A dan B Terpadu yang diselenggarakan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jambi pada awal September 2022. Puluhan peserta tersebut mengikuti kelas secara online dan offline.

Ketua IKPI Cabang Jambi Nurlena mengungkapkan, kegiatan kursus brevet pajak ini rutin dilakukan pihaknya setiap tahun. Meskipun kursus ini diberikan secara berbayar, antusias masyarakat untuk mengikutinya sangat tinggi.

“Biaya kursus brevet ini tidak murah loh, untuk Kelas Offline tiap hari Sabtu Rp2.750.000 dan Kelas Online Senin s.d. Jumat sore Rp 2.500.000. Tapi minat mereka untuk mendapatkan brevet pajak sangat tinggi, sehingga mengikuti kelas yang kita selenggarakan,” kata Nurlena, Jumat (28/10/2022).

(kiri ke kanan) Wakil Rektor Universitas Jambi (UNJA) Bidang Umum dan Perencanaan, Kerja Sama, dan Sistem Informasi, Prof. Dr. rer.nat. Rayandra Asyhar, M.Si., Rektor Universitas Jambi, Prof. Drs. H. Sutrisno, M.Sc., Ph. D., Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia, Dr. Ruston Tambunan, Ak., CA., S.H., M.Si., M.Int.Tax, Ketua IKPI Cabang Jambi, Nurlena, SE. Ak. MH, CPA, CA. (Foto: IKPI Cabang Jambi)

Selain itu, Nurlena juga berterima kasih atas dukungan berbagai pihak seperti Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jambi maupun KPP Pratama di Provinsi Jambi dan sejumlah kampus terhadap pennyelenggaraan kursus brevet pajak ini.

“Universitas Jambi (UNJA) dan Universitas Adiwangsa Jambi (UNAJA) khususnya Fakultas Ekonomi dan Bisnis sangat mendukung kegiatan IKPI Jambi. Lanjutan dari dukungan tersebut bahkan sudah direalisasikan melalui Memorandum of Understanding (MoU) antara IKPI dengan UNJA dan IKPI dengan UNAJA yang telah ditandatangani Ketua Umum IKPI Ruston Tambunan beberapa waktu lalu,” kata dia.

(kiri ke kanan) Ketua IKPI Cabang Jambi Nurlena, SE. Ak. MH, CPA, CA, Dekan Fakultas Hukum dan Ekonomi Bisnis (FHEB) Universitas Adiwangsa Jambi (UNAJA) Efandri Agustian, S.E., M.M., Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia, Dr. Ruston Tambunan, Ak., CA., S.H., M.Si., M.Int.Tax, dan Rektor Universitas Adiwangsa Jambi (UNAJA), Seno Aji,S.Pd., M,Eng. Prac. melakukan penandatanganan MoU antara IKPI dengan Universitas Adiwangsa Jambi UNAJA (Foto: IKPI Cabang Jambi)

Namun demikian, Nurlena mengungkapkan ada beberapa kendala dalam menyelenggarakan kursus brevet pajak ini, diantaranya kesibukan pribadi masing-masing anggota IKPI Jambi selaku tenaga pengajar. “Untuk masalah yang ini, kita benar-benar harus atur jadwal yang disesuaikan dengan waktu luang pengajarnya. Jadi jadwal peserta dan pengajar harus benar-benar klop,” katanya.

Lebih lanjut dia mengungkapkan, untuk biaya kursus ini IKPI memberikan keringanan biaya kepada mahasiswa untuk potongan biayanya sebesar Rp 250.000. “Jadi mahasiswa hanya cukup membayar Rp 2.250.000 untuk kelas Online dan Rp2.500.000 untuk kelas Offline,” ujarnya.

Dijelaskannya, dari biaya pendaftaraan tersebut peserta mendapatkan sertifikat pelatihan brevet pajak dari IKPI, dan e-Modul berisi materi-materi pelatihan. (bl)

Pemerintah Terima Rp 130,09 Miliar Pajak Fintech

IKPI, Jakarta: Meskipun baru tiga bulan berjalan, pemungutan pajak finasial teknologi (fintech) menunjukan hasil cukup memuaskan. Berdasarkan informasi di akun instagram resmi Kementerian Keuangan (Kemenkeu), angka penerimaannya mencapai Rp 130,09 miliar.

Reformasi perpajakan, melalui perluasan pengenaan pajak terhadap berbagai transaksi memberikan kontribusi penerimaan. Hal itu mencakup penerimaan pajak dari fintech.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69/PMK.03/2022 tentang PPh dan PPN atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial, pemerintah mulai mengenakan pajak terhadap transaksi di fintech peer-to-peer (P2P) lending dan sejumlah jenis fintech lainnya.

“Penerimaan pajak fintech – P2P lending Rp0,13 triliun [per 30 September 2022],” tertulis dalam unggahan Kemenkeu, dikutip pada Rabu (26/10/2022).

Secara rinci, penerimaan itu terdiri atas dua jenis, yakni pajak penghasilan (PPh) 23 atas bunga pinjaman yang diterima wajib pajak dalam negeri (WPDN) dan bentuk usaha tetap (BUT), serta PPh 26 atas bunga pinjaman yang diterima wajib pajak luar negeri (WPLN).

Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak mencatat bahwa hingga September 2022, penerimaan PPh 23 dari fintech mencapai Rp90,05 miliar. Adapun, penerimaan PPh 26 dari fintech mencapai Rp40,04 miliar.

Sesuai amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Pajak (UU HPP), pengenaan pajak terhadap fintech berlaku mulai 1 Mei 2022. Namun, pembayaran dan pelaporan pajaknya mulai berlangsung pada Juni 2022. Dalam poin pertimbangan PMK 69/2022 aturan tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatur pengenaan pajak untuk layanan pinjam meminjam (P2P lending) dan sejumlah jenis fintech lainnya, seperti jasa pembayaran (payment), penghimpunan modal (crwodfunding), pengelolaan investasi, penyediaan asuransi online, dan layanan pendukung keuangan digital.

Dalam layanan fintech P2P lending, pengenaan PPh berlaku terhadap pemberi pinjaman yang memperoleh penghasilan berupa bunga pinjaman atau imbal hasil berdasarkan prinsip syariah. Penghasilan itu wajib dilaporkan dalam surat pemberitahuan (SPT) tahunan.

Pengenaan PPN berlaku atas penyerahan jasa penyelenggaraan fintech oleh pengusaha. Penyelenggara fintech itu berupa penyedia jasa pembayaran (payment), penyelenggara penyelesaian transaksi investasi, penghimpunan modal (crowdfunding), layanan pinjam meminjam, pengelolaan investasi, penyediaan produk asuransi online, pendukung pasar, serta layanan pendukung keuangan digital dan aktivitas jasa keuangan lainnya.

Penyedia jasa pembayaran paling sedikit berupa uang elektronik (e-money), dompet elektronik (e-wallet), gerbang pembayaran (payment gateway), layanan switching, kliring, penyelesaian akhir, dan transfer dana. Adapun, jasa keuangan lainnya misalnya e-wakaf, e-zakat, robo advise, dan produk berbasis aplikasi blockchain. (bl)

Pajak Pluit Gandeng IKPI Jakut Adakan Diskusi PPS

IKPI, Jakarta: Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Jakarta Pluit bersama Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Jakarta Utara mengadakan diskusi dan tanya jawab mengenai Program Pengungkapan Sukarela (PPS) bertempat di Aula Pluit Raya KPP Pratama Jakarta Pluit, Rabu (8/6/2022).

Kegiatan dilakukan secara hybrid diikuti 178 peserta secara daring serta 18 peserta secara luring. Peserta berasal dari konsultan yang terdaftar sebagai anggota IKPI cabang Jakarta Utara dan wajib pajak yang menjadi klien IKPI.

Kegiatan dibuka dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, mars DJP serta mars IKPI dilanjutkan kata sambutan Franky Foreson Ketua IKPI cabang Jakarta Utara dan Rizaldi Kepala KPP Pratama Jakarta Pluit.

Dalam sambutannya, Rizaldi dan Franky Foreson menyebutkan mengenai kesadaran Wajib Pajak Pluit yang sudah meningkat mengingat penerimaan PPS KPP Pratama Jakarta Pluit sangat memuaskan. “Semoga kegiatan diskusi yang dilakukan memberikan manfaat bagi para peserta, tidak hanya untuk kelurahan atau wajib pajak terdaftar di KPP Pratama Jakarta Pluit tetapi juga wajib pajak terdaftar di KPP lain”, ujar Rizaldi sebagai penutup sambutan.

Setelah sambutan dilanjutkan pemaparan materi serta diberi kesempatan tanya jawab bagi peserta yang diikuti antusias peserta yang mengikuti secara luring maupun secara daring, terlihat banyaknya pertanyaan yang diajukan.

Diskusi dan tanya jawab diakhiri pemberian plakat sebagai ucapan terima kasih kepada pihak IKPI yang telah berpartisipasi dalam kegiatan serta foto bersama peserta.

KPP Pajak Pluit serta IKPI cabang Jakarta Utara berharap diskusi ini memberikan pengetahuan tentang PPS bagi wajib pajak serta menumbuhkan kesadaran berpartisipasi dalam penerimaan negara. (Sumber berita: https://www.pajak.go.id/index.php/id/berita/pajak-pluit-gandeng-ikpi-jakut-adakan-diskusi-pps)

Kolaborasi DJP dan IKPI Cirebon Semarakkan Program Pengungkapan Sukarela

IKPI, Jakarta: Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Cirebon Dua menyelenggarakan Sosialisasi dan Diskusi Program Pengungkapan Sukarela (PPS) bersama Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Cirebon secara luring di Hotel Cordela Cirebon, Jumat (14/6/2022).

PPS diselenggarakan oleh DJP sebagai salah satu langkah untuk memperkuat perekonomian nasional dan menyejahterakan masyarakat. “Kerja sama telah terjalin baik antara IKPI dan KPP Pratama Cirebon Dua. Semoga melalui sinergi ini, senantiasa mendorong masyarakat khususnya di wilayah Kabupaten Cirebon untuk mengikuti PPS. Hal ini tidak terlepas dari kontribusi IKPI dalam membantu mengedukasi masyarakat terkait program PPS,” ujar Abdon Budianto Situmurang, Kepala KPP Pratama Cirebon Dua.

Materi sosialisasi dan diskusi PPS disampaikan oleh Fungsional Penyuluh Pajak Taslani. Hal-hal yang disampaikan adalah mengenai dasar hukum PPS, kriteria peserta PPS, dan tata cara pengisian formulir pemanfaatan PPS. Sesi diskusi menjadi tempat bagi anggota IKPI untuk memperjelas pemahaman atas materi PPS dan menggali informasi sesuai peraturan yang berlaku.

KPP Pratama Cirebon Dua berharap selalu dapat menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat dan membantu merangsang pertumbuhan ekonomi nasional. Dan kedua pihak pun berharap jalinan kerja sama antara KPP Pratama Cirebon Dua dengan Pengurus IKPI Cabang Cirebon terus meningkat dan berjalan dengan baik. (Sumber berita: https://www.pajak.go.id/id/berita/kolaborasi-djp-dan-ikpi-cirebon-semarakkan-program-pengungkapan-sukarela)

IKPI Cabang Bali Lakukan Audiensi ke Kanwil DJP Bali

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak  Indonesia (IKPI) cabang Bali melakukan audiensi ke Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Bali di ruang rapat besar Kanwil, Jumat (12/8/2022). Audiensi ini dilaksanakan sebagai ajang untuk memperkenalkan para anggota pengurus IKPI cabang Bali serta menjelaskan berbagai visi dan misi IKPI kepada Kepala Kanwil DJP Bali, Anggrah Warsono.

“IKPI telah melaksanakan berbagai program rutin di antaranya gerai pajak dan Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak (USKP). Kita membutuhkan dukungan Kanwil DJP Bali untuk melaksanakan kegiatan perpajakan di wilayah Provinsi Bali, ” ungkap I Made Sujana, Ketua IKPI cabang Bali.

Anggrah Warsono menyampaikan bahwa IKPI merupakan lembaga perpajakan yang sangat membantu Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. “Konsultan pajak sangat membantu wajib pajak apabila kesulitan dalam mengurusi administrasi perpajakan. Namun, kami mohon jaga integritasnya agar saat mengawal dan membimbing wajib pajak benar-benar sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku,” ungkap Anggrah. (Sumber berita: https://www.pajak.go.id/id/berita/ikpi-cabang-bali-lakukan-audiensi-ke-kanwil-djp-bali)

IKPI dan Kanwil DJP Jaktim Gelar Audiensi

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jakarta Timur menyelenggarakan kegiatan audiensi dengan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) cabang Jakarta Timur di Aula Lantai 9 Gedung Pulomas Office, Jakarta, Selasa (13/9/2022). Kegiatan ini dihadiri oleh Ketua IKPI Jakarta Timur Sundara Ichsan beserta jajaran.

Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Timur Muhammad Ismiransyah M. Zain membuka kegiatan dengan sambutan dan apresiasi atas kerja sama yang telah terjalin dengan IKPI cabang Jakarta Timur. Dalam sambutannya, Ismiransyah menyampaikan kerja sama yang terjalin diharapkan lebih intensif dalam memberikan edukasi kepada wajib pajak, tidak hanya insidental saja saat penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.

Ketua IKPI Jakarta Timur Sundara Ichsan menyambut baik ajakan untuk lebih meningkatkan kerja sama dengan Kanwil DJP Jakarta Timur dalam mengedukasi wajib pajak terutama apabila terdapat aturan-aturan terbaru tentang perpajakan. Selain itu, kegiatan audiensi ini diisi dengan diskusi terkait profesi Konsultan Pajak dan ditutup dengan foto bersama. (Sumber berita: https://www.pajak.go.id/id/berita/jalin-kerja-sama-kanwil-jaktim-gelar-audiensi-dengan-ikpi)

 

Edukasi Perpajakan LPG Tertentu Bagi IKPI Cabang Jambi

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Barat dan Jambi melaksanakan edukasi perpajakan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 62/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Penyerahan Liquified Petroleum Gas (LPG) Tertentu bagi Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) cabang Jambi di Aula Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Jambi Telanaipura, Kamis (8/9/2022).

Adapun acara dihadiri langsung oleh Ketua IKPI Jambi Nurlena beserta jajaran anggota IKPI Jambi. Turut hadir pula Kepala KPP Pratama Jambi Telanaipura Sri Mulyono dan Kepala KPP Pratama Jambi Pelayangan Subandiyono.

Ada dua komponen harga pada LPG tertentu yaitu yang bersubsidi dan tidak bersubsidi. Adapun PPN yang terutang atas penyerahan LPG tertentu yang bagian harganya tidak disubsidi, pada titik serah Badan Usaha dihitung dengan nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak, sedangkan pada titik serah agen atau pangkalan PPN terutang dipungut dan disetor dengan besaran tertentu di mana tarif PPN sudah mengikuti ketentuan tarif baru yang berlaku mulai tanggal 1 April 2022 sebesar 11%.

Terdapat dua ketentuan harga eceran LPG tertentu di mana Harga Jual Eceran (HJE) ditetapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Harga Eceran Tertinggi (HET) ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.

Adapun harga eceran yang diterima masyarakat adalah HET (dalam HET tersebut terdapat unsur HJE sebagai pembentuk HET), namun atas HJE telah dipungut PPN satu kali oleh Pertamina. Dalam hal ini, tidak ada ketentuan perpajakan yang mengatur pemungutan PPN atas HJE yang dilakukan oleh Pertamina.

Para peserta aktif berdiskusi mengenai permasalahan yang ditemui konsultan pajak dalam penerapan peraturan serta perbedaan pemahaman-pemahaman terkait ketentuan yang dibahas. (sumber: pajak.go.id/https://www.pajak.go.id/id/berita/edukasi-perpajakan-lpg-tertentu-bagi-ikpi-cabang-jambi)

IKPI Sebut Konsultan Pajak di Indonesia Butuh Payung Hukum Kuat untuk Berikan Sumbangsih

IKPI, Jakarta: Ketua Umum IKPI Ruston Tambunan menyatakan, peran konsultan pajak di Indonesia belum semaksimal di negara lain seperti Jepang. Penyebabnya, keberadaan dan peran konsultan pajak di negara ini belum diwadahi undang-undang.

Menurutnya, profesi konsultan pajak di Jepang sudah dipayungi undang-undang tersendiri sejak tahun 1942. Oleh karena itu IKPI terus memperjuangkan hadirnya UU Konsultan Pajak.

Selain itu lanjut Ruston, IKPI juga melakukan hubungan dan kerja sama dengan organisasi profesi konsultan pajak dari negara-negara anggota Asia Oceania Tax Consultant Asociation (AOTCA) khususnya Jepang dan Korea Selatan yang profesi konsultan pajaknya sudah tertib.

“Kami secara proaktif senantiasa memberikan masukan kepada DPR yang telah berinisiatif menyampaikan usulan RUU Konsultan Pajak. Sayangnya, kini usulan itu hilang bagai ditelan bumi, padahal di tahun 2014, RUU Konsultan Pajak sempat masuk dalam Prolegnas Prioritas. Tapi kami akan berjuang lagi agar RUU itu bisa kembali dibahas di DPR,” kata Ruston dalam acara Webinar yang diselenggarakan IKPI Cabang Depok dengan tema ‘Mimpi dan Realita UU Konsulatan Pajak’, Kamis (13/10/2022).

Dikatakannya, dengan UU Konsultan Pajak maka impian konsultan pajak menjadi profesi yang terhormat (officium nobile) akan terwujud dan memberikan sumbangsih kepada masyarakat dan bangsa Indonesia.

Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof Hikmahanto Juwana menyatakan sangat mendukung untuk terciptanya UU Konsultan Pajak.

Dukungan nyata tersebut akan diberikan Hikmahanto, salah satunya dengan bersama-sama menyusun naskah akademik dengan rekan-rekan di Fakultas Hukum UI.

“Biasanya jika naskah akademik disusun oleh akademisi dan asosiasi, ini akan menjadi nilai plus untuk pertimbangan DPR dan pemerintah untuk dilakukan pembahasan di DPR,” kata Hikmahanto.

Namun demikian kata dia, sebenarnya ada kabar baik dari draft RUU yang sudah pernah masuk dalam jadwal Prolegnas Prioritas di DPR.

Artinya, tidak ada pihak terutama dari pemerintah dan DPR yang menolak kehadiran naskah akademik dan RUU tentang Konsultan Pajak ini.

“Karena kalau misalnya ada penolakan, nah itu yang agak repot. Karena ketika kita membuat RUU berikut naskah akademiknya, itu hanya diperbolehkan lewat tangan pemerintah atau DPR,” kata dia.

Ketua IKPI Cabang Depok Nuryadin Ramhman, menyatakan terima kasih atas dukungan akademisi dan politisi untuk terbentuknya UU Konsultan Pajak tersebut.

Dengan dukungan itu, IKPI menyatakan kembali bersemangat dan akan kembali menyusun ulang naskah akademik untuk kemudian disosialisasikan kepada para stakeholder.

“Kami (IKPI) akan membuka diri untuk mewujudkan terciptanya UU Konsultan Pajak yang sudah bertahun-tahun hilang dari daftar Prolegnas DPR. Untuk itu, kami akan merangkul berbagai kalangan untuk menyusun atau membahas kembali naskah akademik tersebut,” katanya.

Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014–2019 Fahri Hamzah, menyatakan dukungannya untuk mewujudkan terciptanya Undang-Undang Konsultan Pajak di Indonesia.

Dengan adanya regulasi yang baik tentang konsultan pajak, nantinya profesi/organisasi yang menaungi profesi ini bisa berkembang yang kemudian bisa mendampingi kegiatan di masyarakat secara lebih luas.

Maka, itu akan mempunyai efek langsung kepada pendapatan negara secara lebih luas.

“Prinsipnya saya menyambut baik ikhtiar dari Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Konsultan Pajak yang memang sangat dibutuhkan secara nasional,” kata Fahri.

Lebih lanjut Fahri mengatakan, saat ini pendapatan negara terbesar atau sekitar 70 persen berasala dari pajak.

Tahun ini, pendapatan negara dari sektor pajak tercatat lebih dari Rp 2.000 triliun dan itu adalah angka yang sangat besar.

Dengan demikian lanjut Fahri, jika pendapatan pajak sebegitu penting bagi perekonomian Indonesia dan khususnya bagi Angaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), maka sudah seharusnya penataan sistem yang memungkinkan negara bisa mengambil untung dari kegiatan ekonomi masyarakat melalui pajak itu harus difasilitasi.

“Selama ini dengan sistem peradilan pajak yang agak monolitik dan posisi masyarakat dalam hal ini swasta yang kurang didamping oleh konsutan pajak, itu pasti mencipatakan ketimpangan pada penerimaan negara. Jadi kalau negara bisa memfasilitasi dengan adanya perlindungan atau regulasi yang baik tentang konsultan pajak, dan nanti konsultan pajaknya berkembang, maka nanti mereka (konsultan) akan mendampingi kegiatan di masyarakat secara lebih luas, dan itu mempunyai efek langsung kepada pendapatan negara juga secara lebih luas,” tutur Fahri. (Sumber berita: https://wartakota.tribunnews.com/2022/10/13/ikpi-sebut-konsultan-pajak-di-indonesia-butuh-payung-hukum-kuat-untuk-berikan-sumbangsih)

Fahri Hamzah Dukung Terciptanya UU Konsultan Pajak

IKPI, Jakarta: Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014–2019 Fahri Hamzah, menyatakan dukungannya untuk mewujudkan terciptanya Undang-Undang Konsultan Pajak di Indonesia. Dengan adanya regulasi yang baik tentang konsultan pajak, nantinya profesi/organisasi yang menaungi profesi ini bisa berkembang yang kemudian bisa mendampingi kegiatan di masyarakat secara lebih luas. Maka, itu akan mempunyai efek langsung kepada pendapatan negara secara lebih luas.

“Prinsipnya saya menyambut baik ikhtiar dari Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Konsultan Pajak yang memang sangat dibutuhkan secara nasional,” kata Fahri dalam acara Webinar yang diselenggarakan IKPI Cabang Depok dengan tema ‘Mimpi dan Realita UU Konsulatan Pajak’, Kamis (13/10/2022).

Lebih lanjut Fahri mengatakan, saat ini pendapatan negara terbesar atau sekitar 70% berasala dari pajak. Tahun ini, pendapatan negara dari sektor pajak tercatat lebih dari Rp 2.000 triliun dan itu adalah angka yang sangat besar.

Dengan demikian lanjut Fahri, jika pendapatan pajak sebegitu penting bagi perekonomian Indonesia dan khususnya bagi Angaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), maka sudah seharusnya penataan sistem yang memungkinkan negara bisa mengambil untung dari kegiatan ekonomi masyarakat melalui pajak itu harus difasilitasi.

“Selama ini dengan sistem peradilan pajak yang agak monolitik dan posisi masyarakat dalam hal ini swasta yang kurang didamping oleh konsutan pajak, itu pasti mencipatakan ketimpangan pada penerimaan negara. Jadi kalau negara bisa memfasilitasi dengan adanya perlindungan atau regulasi yang baik tentang konsultan pajak, dan nanti konsultan pajaknya berkembang, maka nanti mereka (konsultan) akan mendampingi kegiatan di masyarakat secara lebih luas, dan itu mempunyai efek langsung kepada pendapatan negara juga secara lebih luas,” kata Fahri.

Hal senada dikatakan Ketua Umum IKPI Ruston Tambunan. Menurutnya, peran konsultan pajak di Indonesia belum semaksimal di negara lain seperti Jepang. Penyebabnya, keberadaan dan peran konsultan pajak di Indonesia belum diwadahi undang-undang.

Menurutnya, profesi konsultan pajak di Jepang sudah dipayungi undang-undang tersendiri sejak tahun 1942. Oleh karena itu IKPI terus memperjuangkan hadirnya UU Konsultan Pajak.

Selain itu lanjut Ruston, IKPI juga melakukan hubungan dan kerja sama dengan organisasi profesi konsultan pajak dari negara-negara anggota Asia Oceania Tax Consultant Asociation (AOTCA) khususnya Jepang dan Korea Selatan yang profesi konsultan pajaknya sudah tertib.

“Kami secara proaktif senantiasa memberikan masukan kepada DPR yang telah berinisiatif menyampaikan usulan RUU Konsultan Pajak. Sayangnya, kini usulan itu hilang bagai ditelan bumi, padahal di tahun 2014, RUU Konsultan Pajak sempat masuk dalam Prolegnas Prioritas. Tapi kami akan berjuang lagi agar RUU itu bisa kembali dibahas di DPR,” kata Ruston.

Dikatakannya, dengan UU Konsultan Pajak maka impian konsultan pajak menjadi profesi yang terhormat (officium nobile) akan terwujud dan memberikan sumbangsih kepada masyarakat dan bangsa Indonesia.

Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof Hikmahanto Juwana menyatakan sangat mendukung untuk terciptanya UU Konsultan Pajak. Dukungan nyata tersebut akan diberikan Hikmahanto, salah satunya dengan bersama-sama menyusun naskah akademik dengan rekan-rekan di Fakultas Hukum UI.

“Biasanya jika naskah akademik disusun oleh akademisi dan asosiasi, ini akan menjadi nilai plus untuk pertimbangan DPR dan pemerintah untuk dilakukan pembahasan di DPR,” kata Hikmahanto.

Namun demikian kata dia, sebenarnya ada kabar baik dari draft RUU yang sudah pernah masuk dalam jadwal Prolegnas Prioritas di DPR. Artinya, tidak ada pihak terutama dari pemerintah dan DPR yang menolak kehadiran naskah akademik dan RUU tentang Konsultan Pajak ini.

“Karena kalau misalnya ada penolakan, nah itu yang agak repot. Karena ketika kita membuat RUU berikut naskah akademiknya, itu hanya diperbolehkan lewat tangan pemerintah atau DPR,” kata dia.

Ketua IKPI Cabang Depok Nuryadin Rahman, menyatakan terima kasih atas dukungan akademisi dan politisi untuk terbentuknya UU Konsultan Pajak tersebut. Dengan dukungan itu, IKPI menyatakan kembali bersemangat dan akan kembali menyusun ulang naskah akademik untuk kemudian disosialisasikan kepada para stakeholder.

“Kami (IKPI) akan membuka diri untuk mewujudkan terciptanya UU Konsultan Pajak yang sudah bertahun-tahun hilang dari daftar Prolegnas DPR. Untuk itu, kami akan merangkul berbagai kalangan untuk menyusun atau membahas kembali naskah akademik tersebut,” katanya. (Sumber berita: https://rri.co.id/jakarta/nasional/59110/fahri-hamzah-dukung-terciptanya-uu-konsultan-pajak)

PERSOALAN-PERSOALAN HUKUM DALAM PENGENAAN PPN ATAS PEMAKAIAN SENDIRI

3x4 (2)

Berita Cabang

Bambang Pratiknyo, NRA: 3244

A. Pendahuluan

Pemakaian sendiri atau private use pada umumnya diklasifikasikan sebagai penyerahan yang dikenakan PPN dalam mekanisme pemungutan PPN. Alan Tait juga mendefinisikan penyerahan yang salah satunya adalah pemakaian sendiri. Diklasifikasikannya pemakaian sendiri sebagai penyerahan sesungguhnya suatu hal yang logis dalam rangka memelihara tercapainya tujuan PPN sebagai pemajakan atas konsumsi yang menggunakan mekanisme kredit pajak. Dengan diperkenankannya PPN yang dibayar kepada Pemasok sebagai kredit pajak atau Pajak Masukan (selanjutnya disingkat dengan PM), maka pemakaian sendiri mau tidak mau harus dikenakan PPN. Jika tidak dikenakan PPN, terjadilah konsumsi barang/jasa tanpa membayar PPN yang mana hal tersebut diakibatkan oleh terjadinya PM-nya sudah dikreditkan (atau bahkan sudah direstitusi) namun tidak ada Pajak Keluarannya.

Meskipun pencegahan konsumsi (berupa pemakaian sendiri) tanpa membayar PPN dapat juga ditempuh dengan cara tidak boleh dikredirkannya PM terkait dengan pemakaian sendiri, namun dalam prakteknya alternatif memilah PM yang terkait dan yang tidak terkait dengan pemakaian sendiri lebih sulit ketimbang alternatif mengenakan PPN atas pemakaian sendiri.. Demikianlah, negara-negara yang menerapkan PPN sebagai Pajak Konsumsinya pada umumnya menjadikan pemakaian sendiri sebagai salah satu obyek PPN, seperti juga Indonesia. Sejak awal (sejak UU No. 8 Tahun 1983) sampai dengan UU terbaru (UU No. 11 Tahun 2020) pemakaian sendiri merupakan salah satu hal yang dianggap sebagai penyerahan, sehingga pemakaian sendiri atas Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan (merupakan obyek) PPN.

Isu PPN atas pemakaian sendiri meliputi definisi pemakaian sendiri, Dasar Pengenaan Pajaknya (DPP) dan tentang Faktur Pajaknya . Isu-isu tersebut akan diuraikan dalam tulisan di bawah ini dengan mengacu kepada ketentuan peraturan perundang-undangan PPN di Indonesia. Di samping itu tentu akan diuraikan persoalan-persoalan yang terkandung pada isu-isu tersebut. Penulis berharap sedikitnya tulisan ini akan memperkaya  pengetahuan Pembaca tentang perlakuan PPN atas pemakaian sendiri dan persoalan-persoalannya.

B. Isi

Definisi pemakaian sendiri menurut UU PPN yang pertama dan kedua (UU No. 8 Tahun 1983 dan UU No. 11 Tahun 1994) adalah pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawan. Selanjutnya menurut UU PPN ketiga sampai UU kelima (UU No. 11 Tahun 2020) definisi pemakaian sendiri menjadi pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawan baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri. Kedua definisi tersebut pada hakekatnya tidak berbeda, yang mana yang terakhir hanya lebih mempertegas bahwa walaupun bukan hasil produk sendiri, ,tetap atas pemakaian sendirinya merupakan obyek PPN. Pemakaian sendiri pada kegiatan usaha yang berbentuk perdagangan barang akan mudah

menjustifikasi telah terjadinya konsumsi barang. Sebaliknya, pada kegiatan usaha berbentuk produksi yang terdiri lebih dari satu tahapan akan dijumpai kemungkinan terjadinya pemakaian sendiri atas hasil dari kegiatan pada suatu tahap untuk kegiatan tahap berikutnya. Atas pemakaian sendiri seperti ini memunculkan pertanyaan, apakah sudah harus dikenakan PPN atau belum?

Pada awal berlakunya UU PPN pernah diterbitkan SE-09/1985 yang menegaskan bahwa pemakaian sendiri terutang PPN dengan DPP Harga Jual, namun diperkenankan untuk mengurangkan bagian labanya. Selain itu, atas pemakaian sendiri tidak perlu dibuat Faktur Pajak dan sebagai gantinya cukup dibuatkan catatan “pemakaian sendiri” pada Buku Penjualannya. Selanjutnya pada tahun 1990 diterbitkan SE-12/1990 yang menegaskan bahwa pemakaian sendiri untuk keperluan tahapan produksi berikutnya tidak perlu dipungut PPN. Akhirnya pada tahun 1991 diterbitkanlah SE-01/1991 yang secara tegas membuat pembedaan pemakaian sendiri menjadi pemakaian sendiri untuk tujuan konsumtif (contoh: Pabrikan Minuman menggunakan minuman hasil produksinya untuk karyawannya) dan pemakaian sendiri untuk tujuan produktif (contoh: Pabrikan Truck menggunakan Truck hasil produksinya untuk mengangkut spare part dari suatu tempat ke pabriknya atau ke tempat pembeli).  Atas pemakaian sendiri untuk tujuan konsumtif dikenakan PPN (dibayar Pajak keluaran) namun tidak dapat dikreditkan. Sebaliknya, atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif dibayar Pajak Keluaran, namun sekaligus dapat dikreditkan.

Pada era UU PPN yang kedua (UU PPN Tahun 1994) dan ketiga (UU PPN Tahun 2000) diterbitkan Kep. Dirjen. No.87/2002 yang diedarkan dengan SE-04/2002 yang mempertegas definisi pemakaian sendiri untuk tujuan produktif, DPP-nya serta tentang Faktur Pajaknya. Menurut Kep. Dirjen. tersebut, definisi pemakaian sendiri untuk tujuan produktif adalah pemakaian Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pengusaha yang bersangkutan. Atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif belum merupakan penyerahan sehingga tidak terutang PPN. DPP-nya adalah Harga Jual/Nilai Penggantian dikurangi Laba Kotor. Faktur Pajaknya tetap harus dibuat, tanpa membedakan pemakaian sendiri untuk tujuan produktif atau bukan.


 1. Alan A. Tait, Value Added Tax: International Practice and Problems (Washington DC: International Monetary Fund, 1988), 87.

 2. OECD Report, Taxing Consumption (Paris: OECD, 1988), 170

 3. Definisi Pemakaian Sendiri dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 1A pada semua UU PPN

Pada era UU PPN yang keempat (UU PPN tahun 2009) ketentuan tentang PPN atas pemakaian sendiri diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Merujuk kepada Pasal 19 UU PPN tahun 2009, hal ini nampaknya lebih tertib hukum dibanding sebelumnya yang langsung diatur oleh Kep. Dirjen Pajak atau Surat Edaran Dirjen Pajak. Ketentuannya diatur dalam PP No. 1 Tahun 2012 Pasal 5 ayat (1), (2), (3) dan (4) dan Pasal 19 ayat (2) beserta penjelasannya. Aturannya dinyatakan serta diberikan contoh secara jelas, dan kusus untuk pemakaian sendiri untuk tujuan produktif lebih dirinci perlakuannya sebagai berikut:

Contoh Pemakaian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pengusaha yang bersangkutan:

1)

Pabrikan truk mempergunakan sendiri truk yang diproduksinya untuk kegiatan usaha mengangkut suku cadang.

2)

Pabrikan minyak kelapa sawit menggunakan limbahnya berupa kulit dari inti sawit sebagai pengeras jalan di lingkungan pabrik.

3)

Perusahaan telekomunikasi menggunakan saluran teleponnya untuk kegiatan operasional perusahaan dalam berkomunikasi dengan mitra bisnisnya.

Contoh Pemakaian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya:

1)

Pabrikan minyak kelapa sawit menggunakan limbahnya berupa kulit dari inti sawit sebagai bahan pembakaran boiler dalam proses pabrikasi.

2)

Pabrikan kayu lapis (plywood) menggunakan hasil produksinya berupa kayu lapis (plywood) untuk membungkus kayu lapis (plywood) yang akan dipasarkan agar tidak rusak.

3)

Perusahaan telekomunikasi menggunakan sambungan saluran teleponnya untuk melakukan penyerahan jasa provider internet kepada konsumennya.

Contoh Pemakaiaan sendiri untuk tujuan produktif namun untuk penyerahan yang tidak terutang PPN adalah Pabrikan ban menggunakan produksi ban sendiri untuk kendaraan angkutan umumnya atau untuk kendaraan ambulance klinik di perusahaan.

Ketentuan tentang tidak diperlukannya pembuatan Faktur Pajak atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang diperuntukan pada kegiatan terutang PPN diatur dalam Pasal 19 ayat (2). Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa maksud ketentuan tersebut adalah untuk memberikan kemudahan administrasi Pengusaha yang bersangkutan, mengingat sekiranya dipungut PPN,  tetap saja menjadi Pajak Masukan (PM) yang dapat dikreditkan. Secara teori dan administrasi pemungutan pajak, ketentuan tersebut patut diapresiasi, karena teori pengkreditan PPN tetap dilaksanakan dengan benar dan ketentuan administrasinya memenuhi asas kesederhanaan yang memberikan kenyamanan Pengusaha (convenience dan ease administration).

Sungguhpun demikian, ditinjau dari segi tertib hukum, ternyata ketentuan pemakaian sendiri sebagaimana diatur dalam PP No. 1 Tahun 2012 (yang pada dasarnya hanya merupakan penegasan dan perincian dari ketentuan Kep. Dirjen No. 87/2002 yang “bibit”-nya adalah SE-12/1990) mengandung persoalan-persoalan.

Persoalan hukum dari perlakuan PPN atas pemakaian sendiri sebagaimana diatur dalam PP No. 1 Tahun 2012 adalah sebagaimana diuraikan dalam Uji Materiil oleh KADIN kepada Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2013 yang dikabulkan oleh MA dengan Putusan Nomor 64 P/HUM/2013. Secara ringkas Uji Materiil KADIN dapat diuraikan bahwa persoalan hukum yang pertama adalah bahwa pembedaan pemakaian sendiri untuk tujuan konsumtif dan produktif tidak diatur dalam Pasal 1A UU PPN. Pembedaan tersebut dianggap menyimpang dari materi yang diatur dalam UU PPN, sehingga tidak sesuai dengan kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU No.12 Tahun 2011 dan karenanya ketentuan PPN atas pemakaian sendiri dalam PP No. 1 Tahun 2012 cacat hukum. Persoalan Hukum yang kedua adalah bahwa alasan tidak dipungutnya PPN atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang terkait dengan kegiatan proses produksi atau kegiatan produksi selanjutnya tidak sesuai dengan ketentuan fasilitas PPN yang diatur dalam Pasal 16B UU PPN. Dinyatakan oleh KADIN bahwa alasan kemudahan administrasi Pengusaha pada ketentuan tersebut tidak disebutkan dalam Pasal 16B UU PPN. Persoalan hukum yang ketiga adalah tidak diharuskannya membuat Faktur Pajak atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang terkait dengan kegiatan proses produksi atau kegiatan produksi selanjutnya sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (2) PP No. 1 Tahun 2012. Menurut KADIN ketentuan ini tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 13 UU PPN yang mengharuskan atas setiap penyerahan BKP/JKP dibuatkan Faktur Pajak. Putusan MA atas Uji Materiil oleh KADIN tentang persoalan-persoalan tersebut dikabulkan dengan pernyataan bahwa ketentuan PPN atas pemakaian sendiri yang diatur dalam PP No. 1 Tahun 2012 tidak berlaku umum.

Dengan adanya Putusan MA tersebut seharusnya ketentuan PPN atas pemakaian sendiri yang diatur dalam PP No. 1 Tahun 2012 menjadi tidak berlaku. Biasanya apabila ada Putusan MA yang membatalkan Peraturan yang diterbitkan Pemerintah, Pemerintah menerbitkan aturan yang menyesuaikan dengan Putusan tersebut. Faktanya sampai saat ini aturan PPN atas pemakaian sendiri yang diatur dalam PP No. 1 Tahun 2012 tetap belum diubah, bahkan dengan terbitnya PP No. 9 Tahun 2021 (yang sebagian mengubah PP No. 1 Tahun 2012) ada satu hal yang menarik, yaitu ketentuan Pasal 19 ayat (2) PP No. 1 Tahun 2012 dihapuskan. Dengan dihapuskannya ketentuan tersebut (tentang tidak perlu dibuatnya faktur pajak atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang terkait dengan kegiatan proses produksi atau kegiatan produksi selanjutnya), berarti walaupun tidak dipungut PPN, PKP yang melakukan pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang terkait dengan kegiatan proses produksi atau kegiatan produksi selanjutnya tetap harus buat Faktur Pajak. Akibatnya kemudahan administrasi yang sebelumnya dituju, menjadi tidak tercapai.

Satu persoalan hukum lainnya terkait dengan PPN atas pemakaian sendiri adalah ketentuan belum dianggapnya pemakaian sendiri sebagai penyerahan oleh Peraturan Menteri Keuangan No. 18 Tahun 2021 mengenai ketentuan PKP yang belum melakukan penyerahan dalam hubungannya dengan kewajiban membayar Kembali PPN yang telah dikreditkan/dikembalikan.  Ketentuan ini menimbulkan persoalan, karena pemakaian sendiri menurut UU PPN terutang PPN sehingga harus dibayar Pajak Keluarannya (kecuali atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang terkait dengan kegiatan proses produksi atau kegiatan produksi selanjutnya sebagaimana diatur dalam PP No. 1 Tahun 2012 jo PP No. 9 Tahun 2021). Dengan belum dianggapnya sebagai penyerahan, maka dalam hal terjadi pemakaian sendiri dan PKP tersebut tidak melakukan penyerahan sampai batas waktu yang ditentukan, maka terjadilah konsumsi yang dibayar PPN-nya dua kali, yaitu pertama dari Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan, dan kedua dari Pajak Keluaran yang harus diperhitungkan/dibayar.

C. Simpulan dan Saran

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peraturan perundang-undangan PPN memberlakukan PPN atas pemakaian sendiri secara hati-hati dan terukur, meskipun pada awalnya belum terpola.  Hal ini ditunjukan dengan adaanya pembedaan perlakuan atas pemakaian sendiri untuk tujuan konsumtif dan produktif, bahkan untuk yang bertujuan produktifpun dibedakan lagi dari sifat penyerahannya (terutang PPN atau tidak). Walaupun demikian perlakuan PPN atas kegiatan pemakaian sendiri ternyata masih menyisakan persoalan-persoalan hukum sebagaimana dikemukakan oleh KADIN dan Uji Materiil ke MA.

Untuk itu dengan ini disarankan Pemerintah dan DPR segera membuat aturan baru yang lebih memenuhi kaidah hukum tanpa terlepas dari pemenuhan teori PPN yang tepat, serta pemenuhan asas kemudahan administrasi. Sesungguhnya saat ini ada satu kesempatan terbuka luas untuk melakukan hal tersebut yaitu pada saat pembentukan UU KUP baru dalam waktu dekat nanti. Caranya adalah memindahkan ketentuan PPN atas pemakaian sendiri sesuai dengan ketentuan PP No. 1 Tahun 2012 ke Undang-Undang. Dengan cara itulah maka persoalan-persoalan hukum seperti yang diuraikan di atas menjadi sirna.

Khusus tentang ketentuan belum diakuinya pemakaian sendiri sebagai penyerahan pada kasus PKP belum melakukan penyerahan yang diatur dalam PMK No.18 Tahun 2021, kiranya dapat diubah PMK-nya dengan tidak diwajibkannya membayar kembali Pajak Masukan terkait dengan pemakaian sendiri.


 

3x4 (2)

Nama                                    :    Bambang Pratiknyo

NRA                                    :   003244

Anggota IKPI Cabang         :    Bekasi

Sekilas tentang Penulis       :    Tax Manager DSH Tax Consulting

 

Bagikan Berita Ini
en_US