Undian Berhadiah Hingga Joget Bareng Warnai Keseruan Kolaborasi IKPI Bogor-Depok

IKPI, Jakarta: Fun Walk Kolaborasi pertama antara Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Bogor dan Depok dalam penyelenggaraan Fun Walk di Kebun Raya Bogor pada Minggu (27/8/2023) telah selesai. Kegiatan ini merupakan rangkaian dari HUT IKPI ke-58 yang digelar serentak oleh seluruh cabang di Indonesia.

Ketua IKPI Bogor Pino Siddharta mengatakan, bahwa kolaborasi kedua cabang begitu menyisakan banyak kisah seperti  kekeluargaan, keceriaan, dan kekompakkan, yang ditunjukan oleh seluruh peserta.

Diceritakan Pino, usai melakukan Fun Walk semua peserta ikut bermain games seru. Dalam games tersebut, setiap grupnya diisi oleh anggota cabang Bogor dan Depok, yang kemudian setiap grup beradu kekompakan untuk menyelesaikan tantangan yang diberikan panitia.

“Keseruan serta kegembiraan dalam kegiatan ini terus berlanjut. Usai melakukan games, peserta kemudian  nyanyi dan joget bareng, menikmati hiburan organ tunggal yang memang telah disiapkan panitia,” kata Pino melalui keterangan tertulisnya, Selasa (29/8/2023). 

Lebih lanjut dia mengatakan, pada kegiatan terakhir ada pembagian doorprize dimana hadiah yang disediakan merupakan hasil dari sumbangan seluruh peserta.

(Foto: Dok. IKPI Cabang Bogor)

Pino juga menceritakan tanggapan peserta, yang merupakan anggota dan keluarga serta teman dari IKPI Depok dan Bogor. Seluruhnya merasa terhibur dengan kegiatan ini, karena kegiatan ini tidak serta merta bicara pajak saja, tapi kegiatan yang membuat sehat dan gembira.

Dia berharap, kegiatan serupa ataupun yang lebih besar misalnya mengadakan seminar atau PPL bersama bisa juga dilakukan secara kolaborasi. 

Selain itu lanjut Pino, di usia IKPI yang ke 58, sudah selayaknya seluruh cabang melakukan sosialisasikan tentang pentingnya UU Konsultan Pajak. “Peran konsultan pajak sangat strategis untuk membantu penerimaan negara. Jadi, keberadaannya perlu diatur oleh UU,” katanya.

(Foto: Dok IKPI Cabang Bogor)

Terakhir, Pino berharap agar pelaksanaan kegiatan serupa bisa dilakukan dengan persiapan yang lebih panjang, sehingga persiapannya juga bisa lebih matang lagi.

Sementara itu, Ketua IKPI Depok Nuryadin Rahman menyatakan bahwa kolaborasi ini merupakan awal yang baik antara IKPI Cabang Depok dan IKPI Cabang Bogor.

Menurut dia, dengan teritorial wilayah kedua cabang yang sangat berdekatan serta melihat sujsesnya kolaborasi penyelenggaraan Fun Walk, tidak menutup kemungkinan kedua cabang akan mengagendakan kegiatan yang lebih besar lagi.

“Terlihat sekali keseruan di acara Fun walk minggu lalu. Tidak ada perbedaan antara Cabang Depok dan Bogor semua membaur menjadi satu dalam wadah IKPI. ‘Selamat Ulang Tahun IKPI ke-58, semoga di usia yang matang ini, IKPI semakin Jaya Jaya Jaya,” ujarnya. (bl)

 

 

Perayaan HUT ke-58, IKPI Depok dan Bogor Gaungkan UU Konsultan Pajak Melalui Fun Walk

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) terus menggaungkan pentingnya Undang-Undang Konsultan Pajak. Kali ini, melalui kegiatan Fun Walk hasil kolaborasi IKPI Cabang Depok dan Bogor yang akan dilaksanakan di Kebun Raya Bogor pada 27 Agustus 2023 mereka menyuarakan kembali hal itu.

“Kami menyuarakan UU Konsultan Pajak melalui tulisan pada kaos yang dipakai peserta saat Fun Walk. ‘UU Konsultan Pajak is A Must’, kalimat itu bagian dari upaya kami terus menyuarakan pentingnya keberadaan UU tersebut,” kata Ketua IKPI Depok Nuryadin Rahman, Senin (21/8/2023).

Menurut Nuryadin UU Konsultan Pajak bukan hanya untuk melindungi profesi konsultan pajak, tetapi juga melindungi wajib pajak, serta memberikan kepastian hukum terhadap hak-hak konsultan dan wajib pajak.

Ditegaskannya, sebanyak 80 persen APBN Indonesia bersumber dari penerimaan pajak. Dengan demikian, diharapkan perlindungan terhadap konsultan dan wajib pajak bisa segera diwujudkan melalui undang-undang.

Kembali ke perayaan HUT ke-58 IKPI. Menurutnya, kolaborasi IKPI Depok dan Bogor bukan hanya sebatas pada kegiatan semata, tetapi rasa persaudaraan dan kekeluargaan keduanya memang terjalin sudah cukup lama.

Dikatakan Nuryadin, dalam Fun Walk nanti kedua cabang bukan hanya sekadar berjalan mengeliling Kebun Raya Bogor sejauh 5 Kilometer, melainkan juga ada hiburan lainnya seperti organ tunggal, fun game, dan kegiatan-kegiatan seru lainnya.

“Di lokasi acara, kami mendirikan tenda yang dikelilingi dengan spanduk-spanduk perayaan HUT IKPI. Jadi banyak hal yang dilakukan untuk lebih mengenalkan IKPI kepada masyarakat, khususnya di Bogor dan Depok,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua IKPI Bogor Pino Siddharta mengatakan bahwa gelaran Fun Walk ini akan diikuti sedikitnya 150 peserta yang terdiri dari anggota IKPI Bogor dan Depok beserta keluarga.

Untuk menjalin keakraban serta kekompakan lanjut Pino, panitia juga telah menyiapkan permainan seru untuk para peserta.

“Ada juga hadiah yang diberikan kepada peserta yang berhasil menyelesaikan permainan/tantangan yang diberikan oleh panitia,” kata Pino.

Dikatakannya, Fun Walk ini merupakan yang pertama kali diselenggarakan IKPI Bogor, tetapi sepertinya ini adalah kegiatan Fun Walk kedua untuk IKPI Depok.

Namun demikian, Pino mengungkapkan bahwa IKPI Bogor sangat senang bisa menjadi bagian dari seluruh cabang IKPI di Indonesia yang ikut merayakan HUT IKPI ke-58 ini.

“Semoga acara Fun Walk ini bisa rutin diadakan, tetapi diharapkan kedepan kegiatan seperti ini bisa dikoordinasikan dari jauh hari agar bisa dipersiapkan secara optimal,” ujarnya. (bl)

 

 

Puluhan Koperasi Mengaku Terima Manfaat Langsung Pelaksanaan Bimtek IKPI

IKPI, Jakarta: Puluhan koperasi se-Kota Bogor terlihat antusias mengikuti bimbingan teknis (Bimtek) perpajakan yang digelar Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Bogor, di Hotel Grand Pangrango, Jumat (19/5/2022). Puluhan peserta kompak menyatakan menerima manfaat dan dirasakan langsung atas kegiatan tahunan IKPI ini.

Ketua IKPI Cabang Bogor Pino Siddharta mengungkapkan, kegiatan Bimtek perpajakan ini merupakan kegiatan rutin tahunan yang digagas oleh pengurus pusat IKPI yang kemudian diimplementasikan oleh seluruh pengurus daerah dan pengurus cabang IKPI se-Indonesia.

“Sasaran kami adalah koperasi serta pelaku UMKM. Tujuannya bagaimana membuat mereka menjadi wajib pajak yang patuh, sekaligus mengajarkan mereka bagaimana membuat laporan perpajakan untuk badan usaha yang mereka miliki,” kata Pino yang ditemui IKPI.or.id dalam acara Halal Bihalal PPL IKPI, di Hotel Sahid Jaya, Jumat (19/5/2023) siang.

Selain itu lanjut Pino, diharapkan kegiatan ini dapat terus memperkuat sinergi dengan seluruh pihak khususnya bagi yang membutuhkan edukasi perpajakan. Secara khusus, IKPI Cabang Bogor berkomitmen untuk terus menjalin sinergi dengan Pemkot Bogor demi meningkatkan kepatuhan pajak yang bermuara pada kemajuan daerah.

“Koperasi maupun UMKM ini berjumlah banyak dan ke depan dapat memengaruhi penerimaan pajak. Jangan sampai koperasi mendapatkan kesalahan dalam urusan perpajakan yang justru dapat mengambat perkembangan usaha,” kata Pino.

Mulyadi, salah seorang pelaku UMKM Kota Bogor yang mengikuti kegiatan Bimtek IKPI ini mengaku sangat terbantu dan menjadi melek mengenai perpajakan. “Sebelum mengikuti kegiatan ini, saya tidak tahu kalau usaha gerabah yang dijalankannya juga harus memberikan laporan tahunan pajak kepada pemerintah. Melalui kegiatan ini saya tahu bagaimana melaporkan usaha ini, sekaligus manfaat yang didapatkan dari pajak yang diterima pemerintah,” kata dia.

Hal senada juga dikatakan Yuni seorang pengusaha kuliner di wilayah tersebut. Menurutnya, dengan pemasukan yang masih relatif kecil terhadap usahannya, menjadikan dia tidak berpikiran harus melaporkan itu kepada pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

“Sekarang, saya sudah lebih tahu apa yang harus dilakukan sebagai pelaku UMKM dan wajib pajak yang patuh. Paling tidak kita harus tertib memberikan laporan usaha tahunan kepada DJP,” ujarnya.

Lebih lanjut Pino berharap, pemerintah bisa lebih menyederhanakan lagi model pelaporan untuk para pelaku UMKM. Artinya, dengan sistem dan cara yang mudah tentunya akan membuat mereka lebih tertib dalam memberikan laporan tahunannya.

Sementara itu, dikutip dari Pajak.com, Koordinator Nasional Bimtek IKPI Hijrah Hafiduddin menuturkan, acara ini merupakan salah satu program corporate social responsibility (CSR) yang dilakukan IKPI. Organisasi yang berdiri pada 27 Agustus 1965 ini berkomitmen untuk terus memberikan edukasi perpajakan kepada UMKM maupun koperasi, mengingat keduanya merupakan bentuk sistem ekonomi kerakyatan yang terbukti tangguh di Indonesia.

“IKPI melakukan bimtek dan menyosialisasikan peraturan-peraturan perpajakan di 42 kota se-Indonesia. Dinas Koperasi dan UMKM Pemkot Bogor meminta IKPI untuk khusus melakukan bimtek intensif kepada UMKM maupun koperasi. Khusus koperasi, di (Bogor) ada 700 lebih, yang ternyata mereka masih minim (pengetahuan) perpajakan. Ada yang ingin melapor, tapi takut. Ada yang tidak tahu hak dan kewajiban koperasi, tidak tahu bagaimana menghitung PPh (Pajak Penghasilan) Pasal 21, Pasal 23, PPh final, dan bagaimana mengisi SPT tahunan badan maupun SPT Masa. Untuk itu, IKPI hadir untuk mengedukasi koperasi di sini,” kata Hijrah.

Di hadapan puluhan pelaku koperasi, Hijrah pun memberikan pemahaman mengenai aspek pemajakan hingga cara pelaporan SPT tahunan maupun SPT Masa. Ia menjelaskan, Wajib Pajak badan koperasi dibedakan menjadi tiga, yakni omzet di bawah Rp 4,8 miliar per tahun (peredaran bruto tertentu); omzet lebih besar dari Rp 4,8 miliar dan kurang dari Rp 50 miliar per tahun; serta omzet lebih dari Rp 50 miliar per tahun.

“Koperasi bisa dikenakan PPh Pasal 21 untuk karyawan. Lalu, ada PPh Pasal 23, yakni pajak yang dikenakan berdasar penghasilan, seperti bunga, royalti, sewa, dividen, atau pembayaran jasa. Biasanya pajak ini dikenakan kepada koperasi simpan pinjam karena mendapat bunga dari pinjaman. Bisa juga dikenakan PPh Masa Pasal 25 bagi koperasi yang beromzet lebih dari Rp 4,8 miliar,” jelas Hijrah.

Ia juga menekankan, regulasi pemerintah terus berpihak kepada koperasi. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker), SHU kini tidak dikenakan pajak. Sebelumnya, mengacu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 111/PMK.03/2010, SHU koperasi termasuk dalam dividen sehingga menjadikannya sebagai objek pajak. Tarif yang dikenakan sebesar 10 persen dari jumlah bruto dan bersifat final.

“Koperasi dan UMKM juga bisa mendapatkan fasilitas tidak dikenakan PPh final 0,5 persen dari omzet (bila peredaran usaha maksimal Rp 500 juta per tahun). Ini menunjukkan pula keberpihakan pemerintah. SHU pun tidak dikenakan (pajak). IKPI menilai kebijakan ini akan mendorong koperasi untuk fokus di bisnisnya,” ujar Hijrah. (bl)

 

IKPI Bogor Gandeng HIPMI Beri Bimtek Pengisian SPT Tahunan UMKM

IKPI, Bogor: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), kembali menunjukan komitmennya membantu pemerintah dalam menciptakan wajib pajak yang patuh akan peraturan perundang-undangan.

Pada kegiatan kali ini, IKPI Cabang Bogor menggandeng Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Kota Bogor untuk memberikan pendampingan gratis kepada pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) melaporkan SPT Tahunan Badan.

Bertempat di Rumah Makan Bumi AKI, Kota Bogor, Sabtu (8/4/2023), Koordinator Nasional Bimbingan Teknis (Bimtek) SPT Tahunan IKPI Nasional Hijrah Hafiduddin menuturkan, dengan pendampingan ini diharapkan bisa meningkatkan kepatuhan wajib pajak khususnya para pelaku UMKM.

Dikatakan Hijrah, melaporkan SPT tahunan merupakan bagian dari kepatuhan formal yang diwajibkan oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

“Acara ini merupakan CSR (corporate social responsibility) dan bentuk komitmen IKPI untuk hadir memberikan manfaat bagi masyarakat yang masih perlu pendampingan pelaporan SPT tahunan, khususnya pelaku UMKM,” kata Hijrah.

Diungkapkan Hijrah, selain IKPI Bogor, kegiatan serupa juga dilaksanakan oleh 42 cabang IKPI (se-Indonesia) dan 12 pengurus daerah secara serentak.

Dia berharap, upaya yang dilakukan IKPI dan HIPMI Bogor ini dapat memberikan pencerahan serta pemahaman mengenai kewajiban perpajakan kepada UMKM sebagai tulang punggung perekonomian negara.

Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, kontribusi UMKM sebesar 60,51 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) atau senilai Rp 9.580 triliun di tahun 2022.

Besarnya peran UMKM bagi perekonomian nasional, membuat Presiden Joko Widodo memberi perhatian penuh bagi para pelaku usaha di sektor tersebut untuk terus maju dan berdaya saing global. Bahkan, beberapa diantaranya diberikan kemudahan mendapatkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) serta mengakselerasi digitalisasi UMKM.

Bahkan, di tahun 2024 Jokowi menargetkan 30 juta UMKM dapat terdigitalisasi.

Lebih lanjut Hijrah mengatakan, pendampingan yang dilakukan oleh IKPI Bogor dan HIPMI Kota Bogor telah senada dengan agenda Jokowi. Secara khusus, seirama pula dengan program Direktorat Jenderal Pajak (DJP), yakni Business Development Service (BDS) yang bertujuan mendorong UMKM semakin untung dan melek pajak.

“Kita dengan DJP telah meneken MoU (memorandum of understanding) sebagai bentuk kerja sama pemberian edukasi kepada masyarakat, bimtek rutin. Sebagai (asosiasi) konsultan pajak terbesar, di IKPI terdapat 6.000 konsultan pajak dan 20 juta wajib pajak yang saling bermitra menjalankan kewajiban perpajakan sesuai peraturan yang berlaku,” katanya.

Dia juga memastikan, IKPI akan terus berupaya memupuk kepatuhan pajak bagi UMKM supaya terhindar dari beragam risiko hukum perpajakan, misalnya denda karena terlambat melaporkan SPT tahunan atau pemeriksaan yang disebabkan oleh kekeliruan data yang dilaporkan.

Sementara itu, Koordinator Bimtek SPT Tahunan IKPI Bogor Daniel De Poere, mengaku pernah menangani pelaku usaha yang keliru membuat laporan keuangan dan berujung pada pemeriksaan pajak. Kesalahan itu menyebabkan pelaku usaha mendapat tagihan pajak mencapai Rp 17,8 miliar.

“Jadi, harus hati-hati. Padahal omzetnya masih kecil tetapi tagihannya (pajak) Rp 17,8 miliar. Untuk itu, penting bagi pelaku usaha besar mapun kecil memahami pajak. Karena melek pajak itu hal yang mahal. maksudnya, kalau sudah ada risiko kesalahan itu bisa jadi mahal,” ujar Daniel.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Departemen Humas IKPI Pusat Henri PD Silalahi mengungkapkan. Ke depan, IKPI akan menjajaki sinergi dengan berbagai pihak supaya program peningkatan kepatuhan pajak UMKM semakin masif dilakukan, misalnya bekerja sama dengan dinas koperasi dan UKM daerah setempat.

Selain itu lanjut Henri, IKPI juga menginginkan UMKM tidak menjadi korban ketidaktahuan segala informasi maupun aturan perpajakan terkini.

“Sekali lagi, kenapa IKPI menyasar (untuk membina) UMKM? Jangan lupa, resesi kita tahun 1998 atau pandemi siapa yang menyelamatkan (perekonomian) kita? ya, UMKM. Itu statement menteri keuangan juga. UMKM ini jumlahnya banyak, namun belum tentu semua sudah memahami pajak,” kata Henri.

Di sisi lain kata dia, ada keterbukaan informasi dan data semakin lebar. Karenanya DJP akan mudah mengetahui seluruh aktivitas bisnis di masyarakat.

Sementara itu, Ketua Bidang UMKM sekaligus Bidang 4 Perhubungan dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Badan Pengurus Cabang HIPMI Kota Bogor M. Fauzi Hidayat mengungkapkan kebanggaannya karena bisa kolaborasi bersama IKPI Bogor. Apalagi sinergi ini seirama dengan program pembinaan UMKM yang sudah dilakukan HIPMI Bogor sejak lama.

Sebagai informasi, HIPMI Bogor telah memiliki program UMKM Connection untuk menghubungkan pelaku usaha dengan para pemangku kepentingan guna membantu peningkatan bisnis.

“Di sini masih banyak UMKM atau bahkan pengusaha lain (non-UMKM) yang belum melaporkan SPT tahunan secara on-line. Banyak dari mereka masih ke KPP (Kantor Pelayanan Pajak). Jadi kami senang bisa bekerja sama dengan IKPI Bogor untuk memberikan manfaat seluas-luasnya untuk masyarakat, apalagi lapor SPT tahunan adalah kewajiban kita semua, wajib pajak,” ujar Fauzi.

Sekadar informasi, pelaku UMKM yang hadir dalam acara ini bisa langsung berkonsultasi dengan tim penyuluh dari IKPI Bogor, yaitu Donny Danardono, Tutut Adiningsih, Hotman Auditua, Prima Diansyah, Karla Okta Minada, Sunaryo, Supono dan yohanes. (bl)

 

IKPI Bogor Bedah Plus-Minus PP 55/2022

IKPI, Jakarta: Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 (PP 55/2022) tentang Pelaksanaan Pajak Penghasilan (PPh) rupanya masih menjadi pembahasan seksi bagi para konsultan pajak. Dengan segala plus minus dari setiap pasal/poin yang tertuang dalam aturan tersebut, para konsultan yang tergabung dalam Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Bogor, membedah aturan ini melalui diskusi perpajakan yang diselenggarakan pekan lalu di Awal Mula Cafe, Bogor, Jawa Barat.

Ketua IKPI Cabang Bogor Pino Siddharta menjelaskan, tema PP 55/2022 tentang pelaksanaan Pajak Penghasilan sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, dalam peraturan tersebut diatur poin-poin :

a. Terkait dengan objek PPh dan Pengecualian dari objek PPh.

b. Biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto

c. Penyusutan harta berwujud dan amortisasi harta tak berwujud

d. Perlakuan Perpajakan atas penggantian atau imbalan dalam bentuk natura

e. Instrumen pencegahan pajak berganda

f. Bantuan atau sumbangan termasuk zakat, infak, sedekah dan sumbangan yang dikecualikan dari objek PPh

g. PPh atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh WP yang memiliki peredaran bruto tertentu

h. Penurunan tarif PPH bagi WP dalam negeri yang berbentuk Perseroan Terbuka.

Dikatakan Pino, ada beberapa poin menarik dari diskusi kali ini, seperti terkait filosofi dan latar belakang dari PP 55/2022 yang terkesan terburu-buru. Apalagi terbitnya peraturan ini juga relatif terlambat, walaupun UU HPP menyatakan terkait pajak penghasilan berlaku mulai tahun pajak 2022.

Selain itu, terkait dengan perlakukan perpajakan atas imbalan dalam bentuk natura, konsultan pajak sepakat bahwa prinsip taxable deductible untaxable undeductible merupakan suatu hal yang menjadi pedoman dalam memberikan advice kepada klien.

Dalam diskusi ini kata dia, peserta juga mengungkapkan adanya kesan diskriminasi antara wajib pajak dalam negeri (WNI) yang dikenakan world wide income sedangkan wajib pajak dalam negeri (WNA) hanya atas penghasilan yang diterima di dalam negeri (walaupun dibatasi waktu selama 4 tahun), sehingga ada perbedaan perlakukan terkait dengan penghasilan yang dipajaki.

Namun demikian kata Pino lagi, para konsultan pajak beranggapan belum diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebagai pelaksanaan PP 55/2022 akan membebani wajib pajak. Karena, nantinya saat PMK ini diterbitkan, mungkin saja wajib pajak diharuskan melakukan pembetulan SPT sehingga menambah kewajiban wajib pajak.

Lebih jauh Pino mengungkapkan. Selain membahas PP 55/2022, pada kegiatan tersebut juga dilakukan sosialisasi pemadanan atau validasi NIK untuk wajib pajak orang pribadi, karena sesuai amanah efektif 1 Januari 2024 NPWP akan digantikan dengan NIK.

“Sosialisasi dilakukan oleh tim dari Kantor Wilayah DJP Jawa Barat III. Setelah sosiliasasi kemudian dilanjutkan dengan forum tanya jawab antara peserta dan tim sosialisasi,” ujarnya.

Pernyataan senada juga disampaikan Bendahara IKPI Cabang Bogor Andi Deswanta, hal yang menarik dalam perbincangan adalah adanya ketentuan yang berlaku surut (asas retroaktif) dari salah satu ketentuan perpajakan tersebut, tepatnya adalah ketentuan PPh atas natura/kenikmatan yang berlaku mulai 1 Januari 2022.

“Ini mengikuti tahun buku pemberi naturan/kenikmatan dan kewajiban bagi wajib pajak yang menerima natura/kenikmatan yang tidak dipotong PPh, wajib di hitung dan dibayar sendiri PPh terutangnya serta dilaporkan di SPT PPh penerima,” kata Andi.

Dijelaskannya, PP 55 Tahun 2022 di tetapkan dan di undangkan pada 20 Desember 2020. Hal ini dipandang oleh sebagian konsultan pajak tidak memenuhi rasa keadilan.

Karena lanjut dia, sebagaimana diketahui bersama tujuan penerbitan peraturan itu di latar belakangi oleh prinsip kepastian hukum, kemudahan dan keadilan bagi Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Dia mengungkapkan, ada poin menarik dari hasil diskusi tersebut seperti adanya masukan dari salah satu anggota IKPI Bogor yang menyoroti masalah kesiapan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam mengaplikasikan peraturan yang telah terbit.

“Kesiapan yang dimaksud adalah, proses sosialiasi dari peraturan yang telah di terbitkan dan kesiapan penerbitan aturan pelaksananya, atau tepatnya untuk mendukung pelaksanaan dari peraturan tersebut,” kata Andi.

Lebih lanjut dia mengungkapkan, permasalahan tersebut sebenarnya hanya masalah komunikasi di mana sebagai konsultan pajak, mereka sangat memahami bahwa prinsip di bentuknya ketentuan peraturan perpajakan adalah untuk kemudahan dan keadilan bagi wajib pajak.

“Seperti ini yang disinggung di awal, contoh nya adalah keberlakuan peraturan yang bersifat surut yang di anggap tidak memenuhi unsur rasa keadilan bagi wajib pajak,” ujarnya.

Dengan demikian kata dia, jalan keluarnya adalah antisipasi ke depan saat dilakukan perencanaan, penyusunan rancangan, penetapan sampai dengan pengundangan peraturan lebih mendengarkan serta melibatkan masukan dari berbagai pihak, termasuk asosiasi konsultan pajak.

Namun demikian lanjut Andi, apa pun konsekuensi dari terbitnya peraturan tersebut, IKPI wajib mendukung karena mereka meyakini peraturan tersebut di bentuk mempunyai tujuan akhir yang mulia, yakni untuk mengisi kas negara.

Dia juga menyoroti adanya pasal yang memberatkan pada PP 55/2022 ini yakni pasal 73 mengenai perlakuan perpajakan atas penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan. Pasal ini mengatur tentang keberlakuan dari pemungutan PPh, mewajibkan pemberi kerja atau pemberi penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang menyelenggarakan pembukuan tahun buku 2022 dimulai sebelum 1 Januari 2022.

“Jadi aturan ini mulai berlaku pada 1 Januari 2022, dan bagi pemberi kerja atau pemberi penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang menyelenggarakan pembukuan tahun buku 2022 dimulai tanggal 1 Januari 2022 atau setelahnya,” katanya.

Dengan demikian berdasarkan pengalaman kata Andi, sampai saat ini dirinya belum menemui kendala yang berkaitan secara langsung, mengingat peraturan ini di tetapkan dan di undangankan pada Desember 2022.

“Kita masih perlu mempelajari aturan pelaksananya berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Seiring waktu tentunya kendala-kendala bisa saja muncul,” ujarnya.

Andi mengimbau kepada para konsultan pajak, walau pun peraturan tersebut penuh dengan warna warni, dinamika dan bahkan dapat menjadi bahan perdebatan, hendaknya dinamika tersebut jangan menjadi penghambat dari tujuan mulia diterbitkan peraturan pajak tersebut, yakni mengisi kas negara.

Tentunya sebagai praktisi perpajakan kata dia, seluruh konsultan wajib memberikan masukan dan bahkan kritik yang membangun atas peraturan perpajakan yang diterbitkan. Dengan demikian, ke depan proses pemungutan pajak dapat dilakukan dengan cara dan mekanisme yang mengusung konsep berkeadilan, kepastian hukum, kemudahan dan penyederhanaan administrasi perpajakan.

Sekadar informasi, bincang pajak ini dihadiri 50 peserta yang berasala dari IKPI Bogor, Bekasi dan masyarakat umum. Semua peserta terlihat sangat antusias mengikuti diskusi ini, dan itu bisa disaksikan dengan keaktifan peserta untuk terus melemparkan pertanyaan demi pertanyaan kepada narasumber. (bl)

 

 

Antisipasi Perselisihan, Konsultan Pajak Nantikan Aturan Turunan PP 44/2022

IKPI, Jakarta: Konsultan pajak menyatakan masih menantikan aturan pelaksanaan terkait Peraturan Pemerintah (PP) No. 44 Tahun 2022 tentang Penerapan terhadap Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dalam bentuk Peraturan Menteri Keuanggan agar menjadi terang benderang.

Hal ini juga terkait dengan adanya perubahan Pasal 4A yang mana ada beberapa barang dan jasa yang dicabut dari negative list, dan dipindahkan ke Pasal 16B dalam UU No 7 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP)
Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Bogor Pino Siddharta, mengatakan perlunya ada aturan turunan dari PP No 44 Tahun 2022 sehingga konsultan pajak sebagai salah satu stakeholder tidak salah mengartikan kebijakan itu, dan bisa menerapkan dengan baik.

“Jangan sampai salah mengartikan isi kebijakan, dan berlanjut pada kesalahan penerapan di lapangan. Karena konsultan pajak juga akan memberikan advice kepada seluruh klien,” kata Pino dalam acara bincang pajak yang diselenggarakan IKPI Bogor di Awal Mula Coffee, Jl. Bina Marga ,Bogor, Jawa Barat, Senin (14/1/2023).

Pino menjelaskan, dengan isi PP No. 44 Tahun 2022, ada beberapa point yang menurut panda ngannya sebagai konsultan pajak bisa berpotensi untuk menjadi dispute di kemudian hari.

Berikut poin kebijakan yang dimaksud:

a. Terkait dengan adanya kasus di lapangan dimana PPN Masukan atas Jasa Konsultan Pajak dikoreksi oleh Fiskus, karena dianggap PPN Masukan tersebut tidak terkait langsung dengan penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai. Dalam diskusi berkembang bagaimana menjelaskan kepada fiscus dan juga sharing pengalaman dari peserta atas koreksi yang sama oleh Pemeriksa. Prinsipnya sepanjang WP dapat menjelaskan dengan baik, mudah-mudahan koreksi atas PPN Masukan Jasa Konsultan Pajak tersebut dapat dibatalkan oleh Fiskus.

Agar kasus atas koreksi FP Masukan atas jasa Konsultan Pajak tidak dikoreksi, mungkin perlunya penyampaikan dari organisasi profesi kepada pihak DJP agar mempunyai persamaan persepsi atas Jasa Konsultan Pajak, apalagi profesi Konsultan Pajak sekarang menjadi salah satu profesi penunjang sektor keuangan sebagaimana diatur dalam Pasal 259 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2023 Tentang Pengembangan Dan Penguatan Sektor Keuangan.

b. Pasal terkait tanggung renteng, dimana dalam PP No. 44 ada perubahan dibandingkan dengan ketentuan yang lama, bahwa dalam Pasal tersebut dijelaskan sbb : “WP Pembeli bertanggung jawab secara renteng dalam hal :

a) PPN atau PPN dan PPnBM tidak dapat ditagih kepada PKP Penjual BKP atau Pemberi JKP; dan

b) Pembeli atau Penerima Jasa Tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran PPN atau PPN dan PPnBM kepada penjual BKP atau Pemberi JKP.

Bahwa persyaratan tanggung jawab renteng sekarang bersifat akumulatif, yaitu tidak dapat ditagih dan tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran, ketentuan ini berbeda dengan yang lama, bahwa WP Pembeli tidak dapat dikenakan pasal tanggung renteng jika dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran PPN kepada PKP Penjual atau PPN atau PPnBM dapat ditagih kepada PKP Penjual.

Secara filosofi keadilan dan kepastian hukum, ketentuan baru ini menganggu rasa keadilan bagi PKP Pembeli yang telah melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan benar, dan juga menimbulkan ketidakpastian hukum, karena kesalahan pihak Penjual dibebankan kepada pihak Pembeli yang telah melaksanakan kewajiban dengan benar.

c. Selain itu juga dibahas terkait dengan PPN atas BKP dan/atau JKP yang mendapatkan fasilitas baik dibebaskan maupun tidak dipungut, karena dalam UU No. 7 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, adanya BKP dan/atau JKP yang dicabut dari Pasal 4A UU PPN dan dipindahkan ke Pasal 16B.

Konsekuensi dari pencabutan dari Pasal 4A ke Pasal 16B tentunya akan menimbulkan kewajiban bagi Pengusaha tersebut untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, namun karena pembeli atau penerima manfaatnya berupa konsumen akhir, apakah dimungkinkan untuk melaporkan penjualan yang dibebaskan tersebut dalam laporan penjualan digunggung?

“Untuk menjawab hal tersebut, ada baiknya menunggu Peraturan Menteri Keuangannya (PMK) sebagai aturan pelaksananya,” kata Pino.

Namun demikian kata dia, dalam peraturan ini ada juga terobosan kebijakan positif yang dilakukan oleh pemerintah seperti memperbolehkan pihak lain untuk melakukan pungutan pajak.

Pernyataan senada juga diungkapkan Sekretaris IKPI Bogor Andry Dermawanto. Menurutnya, PP No 44 Tahun 2022 ini sangat menarik untuk dikupas, walaupun masih menunggu beberapa aturan turunan atau petunjuk pelaksanaannya karena banyak perubahan terkait dengan peraturan PPN.

Seperti pada pasal 4 yang menyatakan persyaratan tanggung renteng. Syarat ini menjadi syarat kumulatif apabila wajib pajak akan mengkreditkan faktur pajak masukan, apabila lawan transaksi tidak membayarkan PPN, maka sangat beresiko bagi wajib pajak dan pasti akan ada koreksi.

Menurut Andry, PP ini masih banyak menunggu aturan turunan / Peraturan Menteri yang belum keluar, sehingga KP merasakan bingung untuk mensosialisasikan ke WP / Klien.

Dia mencatat ada sekitar 7 pasal yang harusnya di atur oleh peraturan menteri:

• Pasal 4 ayat (5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan mekanisme pelaksanaan tanggung jawab secara renteng atas pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah diatur dengan Peraturan Menteri.

• Pasal 6 ayat (1) dan (2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai batasan dan tata cara pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas:
a. pemakaian sendiri; atau
b. pemberian cuma-cuma,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri

• Pasal 9 ayat (3)
Ketentuan mengenai tata cara pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak melalui penyelenggara lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

• Pasal 10
Ketentuan mengenai batasan penyerahan agunan yang diambil alih oleh kreditur, saat terutang, tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai terutang atas penyerahan agunan yang diambil alih oleh kreditur diatur dengan Peraturan Menteri.

• Pasal 13
Ketentuan mengenai kriteria dan/atau rincian barang dan jasa yang termasuk dalam jenis barang dan jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri

• Pasal 22
Ketentuan mengenai tata cara penentuan tempat lain selain tempat dilakukannya impor Barang Kena Pajak sebagai tempat pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

• Pasal 30
Ketentuan mengenai tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai, oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Pembeli dan/atau Penerima Jasa dengan karakteristik konsumen akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Sekadar informasi, dalam bincang pajak kali ini dihadiri oleh 34 peserta. 30 diantaranya merupakan konsultan pajak dan 4 lainnya adalah staf dari kantor konsultan pajak. Hadir sebagai pemapar dari anggota IKPI Cabang Bogor, yaitu Donny Danardono, serta pengarah diskusi yaitu Verdyanto Andrianto.

Ini juga merupakan kegiatan pembuka di awal tahun 2023 bagi IKPI Bogor. (bl)

 

Penerbitan FP atas Diskon Bisa Sebabkan Sengketa Pajak

IKPI, Bogor: Pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 2022 tentang Penerapan Terhadap Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Aturan ini ditandatangani oleh Presiden Jokowi pada tanggal 2 Desember 2022 dan diundangkan pada tanggal yang sama.

Diketahui, PP nomor 44/2022 ini merupakan aturan pelaksanaan PPN dari UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Terkait peraturan itu, khususnya PPN, rupanya banyak wajib pajak (WP) yang masih bingung dengan aturan tersebut. Pasalnya, banyak peraturan dari pasal-pasal yang ada dinilai “abu-abu” yang akhirnya merugikan mereka.

Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang timbul, rupanya hal ini menjadi pembahasan yang menarik di kalangan konsultan pajak (KP) untuk di kupas. Untuk itu, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Bogor, pada 3 Desember 2022 menggelar bincang pajak dengan tema” Serba Serbi Pajak Pertambahan Nilai”.

Ketua IKPI Bogor Pino Siddarta mengungkapkan, di lapangan banyak WP yang masih dipermasalahkan oleh kantor pelayanan pajak (KPP) terkait adanya diskon penjualan dalam faktur pajak, karena diskon yang diberikan dianggap tidak wajar, sehingga diasumsikan sebagai pemberian cuma-cuma.

Konsekuensinya lanjut Pino, tentu ada PPN yg harus dibayar atas pemberian cuma-cuma tersebut, sehingga membuat galau wajib pajak. Belum lagi penerbitan faktur pajak (FP) kepada pihak konsumen akhir dan pedagang akhir.

Dia mencontohkan, misalkan pabrik es batu yang menjual produknya kepada warung-warung, apakah atas transaksi seperti itu pelaporannya bisa digunggung atau tidak.

Berdasarkan permasalahan ini lanjut Pino, maka sebagai konsultan pajak, dirinya bersama rekan se-profesi lainnya harus memikirkan solusi atas kasus tersebut agar dapat memberikan advise terbaik kepada klien. “Jadi jangan sampai ada aturan yang bersifat “abu-abu” dan merugikan WP, sehingga KP harus membuat terang aturan tentang syarat yang harus dipenuhi oleh WP,” kata Pino, Senin (12/12/2022).

Contoh lainnya diberikan Pino, jika seseorang membeli 1 unit computer, atas pembelian computer tersebut diberikan hadiah 1 buah digital mouse seharga Rp500.000. Kemudian pihak penjual melaporkan transaksi penjualan 1 unit computer tersebut dan mencantumkan adanya diskon 100% atas 1 buah digital mouse.

” Apa atas transaksi tersebut pihak KPP mempertanyakan terkait pemberian diskon 100% atas digital mouse itu,?” ujar Pino.

Artinya kata dia, WP menerbitkan FP dengan diskon 100% namun menurut pihak account representative (AR) pemberian diskon 100% merupakan pemberian cuma-cuma yang terutang PPN, sehingga AR meminta kepada WP untuk melakukan pembetulan FP dan SPT Masa PPN, dan tentunya wajib membayar PPN atas transaksi tersebut.

Menurut Pino, padahal definisi pemberian cuma-cuma itu adalah: pemberian yang diberikan tanpa imbalan pembayaran baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, termasuk pemberian contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli.

Sedangkan seorang pengusaha saat memberikan hadiah kepada konsumennya pasti tidak cuma-cuma, namun pengusaha tersebut mempunyai hitungan bisnisnya sendiri. Hal ini kadang menimbulkan interprestasi yang berbeda atas pemberian cuma-cuma tersebut, tergantung sudut pandang yang melihatnya.

Kemudian berdasarkan surat edaran (SE-24/PJ/2018) terkait imbalan tertentu dijelaskan kondisi tertentu yang terjadi dalam transaksi jual beli merupakan keadaan atau peristiwa yang dapat mengakibatkan adanya pemberian imbalan dari Penjual kepada Pembeli sehubungan dengan transaksi jual beli berdasarkan perikatan tertulis dan/atau tidak tertulis. Kondisi tertentu dimaksud antara lain:

a. Pencapaian syarat tertentu.

b. Penyediaan ruang dan/atau peralatan tertentu.

c. Penerimaan kompensasi yang diterima sehubungan dengan transaksi jual beli.

Jika pemberian imbalan tertentu berbentuk barang kena pajak/jasa kena pajak, maka pemberian imbalan tersebut akan terutang PPN, kecuali imbalan tertentu tersebut berbentuk uang, maka imbalan tersebut tidak terutang PPN.

Sekadar informasi, bincang pajak IKPI Bogor yang diadakan tanggal 3 Desember 2022 bertempat di Awal Mula Coffee. Ini merupakan kegiatan yang ketiga kali dan dilakukan secara beruntun (chapter#3).

Acara ini dihadiri sebanyak 25 praktisi perpajakan. Mereka adalah anggota IKPI dari Cabang Bogor, dan juga beberapa dari IKPI cabang lain.

Lebih jauh Pino menyatakan, peserta pada bincang pajak ini bisa mendapatkan manfaat atas materi yang diberikan.

“Sebagai KP memang perlu sering mengadakan diskusi yg bersifat teknis, karena akan meningkatkan kapabilitas dan juga sekaligus mempererat tali silaturahmi di antara keluar besar IKPI. Mereka juga mengharapkan acara seperti ini terus diadakan,” katanya. (bl)

IKPI Bogor Salurkan Bantuan untuk Korban Gempa Cianjur

IKPI, Bogor: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Bogor menyalurkan bantuan kepada korban gempa Cianjur, Jawa Barat, Jumat (2/12/2022). Bantuan diserahkan langsung oleh perwakilan anggota IKPI Bogor, yang langsung berangkat menuju Posko Gempa Santo Yusuf, Cianjur.

Ketua IKPI Bogor Pino Siddharta mengatakan, bantuan yang mereka salurkan adalah berupa selimut, air minum botol, air minum galon dan tenda komando (uk 6x14x3) 3 buah.

“Jika diuangkan nilainya sekitar Rp 28 juta, dan semua itu adalah hasil donasi dari anggota IKPI Bogor, serta donatur lainnya,” kata Pino, Jumat (2/12/2022).

Dia berharap bantuan yang diberikan dapat meringankan kesulitan para korban. “Semoga aksi ini juga diikuti teman-teman IKPI cabang lain,” katanya.

Menurut Pino, bencana dapat terjadi di mana saja dan kepada siapa saja. Untuk itu, sebagai anak bangsa harusnya turut bersatu padu untuk saling tolong menolong.

“Jadi, walaupun IKPI ini bukan lembaga sosial, tetapi aksi-aksi kemanusiaan seperti ini harus terus ditingkatkan. Karena untuk menolong sesama, kita tidak perlu melihat profesi, lokasi, suku, maupun agama seseorang. Siapapun yang terkena musibah, mari kita ulurkan tangan untuk membantu,” kata Pino lagi. (bl)

Terkait BKP/JKP, IKPI Minta Pemerintah Segera Terbitkan Juklak UU PPN

IKPI, Bogor: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Bogor meminta pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, segera menerbitkan petunjuk pelaksanaan (Juklak) terkait dengan Pasal 4A Undang-Undang (UU) PPN yang kemudian diubah ke Pasal 16B dalam UU HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan).

Permintaan tersebut terungkap saat kegiatan diskusi bincang pajak (Talk & Tax)  dengan tema “Potensi Sengketa Pajak Paska Undang-Undang Cipta Kerja dan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan” yang diadakan IKPI Cabang Bogor, di Rumah Joglo, Bogor, Sabtu (29/10/2022).

Diketahui, diskusi yang menghadirkan 17 peserta ini juga dikuti peserta dari IKPI Cabang Jakarta Timur dan Cabang Jakarta Selatan.

Anggota IKPI Cabang Bogor, Jakarta Timur, dan Jakarta Selatan yang hadir dalam diskusi bincang pajak di Bogor, Jawa Barat, Sabtu, (29/10/2022). (Foto: IKPI Bogor)

Ketua Cabang IKPI Bogor Pino Siddharta mengatakan, kegiatan bincang pajak (Talk & Tax) rutin diadakan setiap bulan, dan bincang pajak kali ini merupakan Chapter#2.

“Bincang pajak merupakan sarana untuk menjalin silaturahmi, keakraban, dan juga menambah wawasan bagi seluruh konsultan pajak yang merupakan anggota IKPI,” kata Pino, Senin (31/10/2022).

Menurut Pino, pelaku usaha membutuhkan kepastian hukum terkait adanya perubahan peraturan yang dilakukan pemerintah. “Jadi juklaknya harus jelas dan kami mengharapkan agar segera dapat diterbitkan,” katanya.

Diskusi bincang pajak (Talk & Tax) dengan tema “Potensi Sengketa Pajak Paska Undang-Undang Cipta Kerja dan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan” yang diadakan IKPI Cabang Bogor, di Rumah Joglo, Bogor, Sabtu (29/10/2022). (Foto: IKPI Bogor)

Diketahui, dalam diskusi tersebut dibahas beberapa topik , antara lain yakni penerbitan faktur pajak (FP) atas uang muka yang diterima dari pengusaha dalam kawasan berikat. Dengan demikian, apakah atas uang muka tersebut diterbitkan FP kode 010 atau 070.

Dalam diskusi itu, peserta juga membahas perubahan atas Non BKP / Non JKP yang sebelumnya ada di Pasal 4A UU PPN, namun di UU HPP beberapa Non BKP/Non JKP tersebut dihapus dan dipindahkan ke Pasal 16B.

Jika sebelumnya sesuai Pasal 4A UU PPN pengusaha di bidang jasa, seperti pelayanan medis dan kesehatan, pendidikan, kesenian adalah pengusaha yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Non JKP, dan juga ada beberapa barang Non BKP seperti barang hasil pertambangan, penggalian, pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya.

Selain itu, ada juga barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak seperti:

  1. Beras, gabah, jagung, sagu, kedelai
  2. Garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium
  3. Daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus
  4. Telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas, dan masih banyak barang lainnya yang masuk dalam Non BKP.

Kemudian lanjut Pino, pasal itu kini berpindah menjadi Pasal 16B UU HPP, maka atas Non BKP/JKP tersebut sekarang menjadi BKP/JKP yang  mendapatkan fasilitas tidak dipungut / dibebaskan.

Walapun PPN nya tetap Nihil kata dia, terdapat konsekuensi hukum yang jauh berbeda dari peraturan sebelumnya. Karena dengan perubahan tersebut, maka pengusaha yang bergerak dalam bidang pendidikan, kesehatan, dstnya harus dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), dan tentunya mempunyai konsekuensi untuk menerbitkan faktur pajak atas setiap penghasilannya.

Jika wajib pajak (WP) tidak menerbitkan FP atas penyerahannya tersebut, tentunya akan dikenakan sanksi sebesar 1% dari dasar pengenaan pajak. “Ketentuan PPN yang baru telah berlaku sejak 1 April 2022, namun sampai saat ini aturan pelaksanaannya belum juga keluar. Sehingga membuat kebingungan bagi pelaku usaha,” ujarnya.

Dia berharap, IKPI sebagai asosiasi konsultan pajak terbesar di Indonesia bisa menjembatani apa yang menjadi kekhawatiran para pelaku usaha di sektor ini kepada pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak. (bl)

en_US