IKPI Dorong Penguatan Kemitraan Strategis dan Ekosistem Perpajakan yang Lebih Modern dengan DJP

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menyambut baik keputusan Presiden Prabowo Subianto yang menunjuk Bimo Wijayanto sebagai Direktur Jenderal Pajak yang baru menggantikan Suryo Utomo. Penunjukan ini dinilai menjadi momentum penting untuk memperkuat fondasi perpajakan nasional sekaligus membuka ruang dialog dan kemitraan strategis yang lebih luas antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan pemangku kepentingan, khususnya profesi konsultan pajak.

Ketua Departemen Humas IKPI, Jemmi Sutiono, menyampaikan bahwa tantangan fiskal saat ini tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga strategis yakni bagaimana membangun hubungan yang lebih elastis, responsif, dan berbasis kepercayaan antara otoritas pajak dan masyarakat, termasuk pelaku profesi perpajakan.

“Penunjukan Pak Bimo menjadi sinyal positif untuk masa depan perpajakan Indonesia. IKPI berharap kepemimpinan baru ini membuka ruang kemitraan yang lebih strategis, di mana Direktorat Jenderal Pajak tidak hanya menjadi regulator, tetapi juga mitra transformasi yang mampu memberdayakan profesi konsultan pajak dalam menghadapi tantangan digital, memperluas basis kepatuhan sukarela, dan memperkuat literasi perpajakan masyarakat,” ujar Jemmi, Kamis (22/5/2025).

Lebih lanjut, Jemmi menekankan bahwa IKPI siap berperan aktif dalam menciptakan sistem perpajakan yang lebih elastis, praktis, dan ekonomis, sesuai dengan arah reformasi yang terus digaungkan pemerintah.

Dalam pandangan IKPI, kata Jemmi, digitalisasi perpajakan dan agenda modernisasi hanya dapat berhasil bila disertai dengan penguatan dialog antara DJP dan profesi konsultan pajak, yang selama ini menjadi jembatan penting antara negara dan wajib pajak.

“Konsultan pajak bukan hanya mitra teknis, tetapi juga mitra strategis. Di era modernisasi fiskal, kami berharap DJP dapat lebih terbuka terhadap masukan-masukan profesional dan menjadikan kolaborasi ini sebagai bagian dari strategi nasional dalam meningkatkan rasio pajak, kepatuhan, dan efisiensi sistem,” ujarnya.

Menurut Jemmi, dengan ekosistem perpajakan yang lebih kuat dan kolaboratif, maka arah menuju sektor keuangan yang kokoh, mandiri, dan modern bisa lebih cepat terwujud. Ia menegaskan bahwa IKPI siap mendukung penuh agenda Dirjen Pajak baru melalui program edukasi, asistensi teknis, dan penguatan tata kelola profesi yang akuntabel.

“Sudah waktunya kita menempatkan kemitraan DJP dan IKPI pada level yang lebih strategis—bukan hanya sebagai pelengkap, tetapi sebagai pilar penting dalam mendesain kebijakan yang tepat sasaran, implementatif, dan berkelanjutan,” kata Jemmi.

Penunjukan Bimo Wijayanto diharapkan tidak hanya membawa angin segar dalam manajemen DJP, tetapi juga menjadi titik tolak bagi transformasi hubungan antara negara dan para pelaku sektor perpajakan. IKPI menegaskan komitmennya untuk terus hadir sebagai mitra kritis sekaligus konstruktif dalam membangun sistem perpajakan Indonesia yang berintegritas dan adaptif terhadap perubahan zaman. (bl)

Kanwil DJP Jakarta Pusat Raih Bronze Winner di Makaravox UI PR Awards 2025

IKPI. Jakarta: Inovasi Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Pusat kembali menuai pengakuan. Program pemberdayaan UMKM bertajuk Meet the Market (MTM) berhasil meraih Bronze Winner dalam ajang Makaravox UI PR Awards 2025, yang digelar oleh Program Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia pada Selasa (20/5/2025).

Dikutip dari Instagram @pajakjakartapusat, program MTM merupakan kolaborasi strategis antara Kanwil DJP Jakarta Pusat dan PKN STAN yang menyasar pelaku UMKM binaan melalui pelatihan intensif sekaligus fasilitasi akses nyata ke pasar. Inisiatif ini dinilai sukses menghadirkan dampak konkret bagi pengembangan ekonomi lokal.

Ajang Makaravox UI PR Awards dikenal sebagai barometer prestisius di dunia kehumasan, dengan dewan juri yang terdiri dari tokoh-tokoh terkemuka seperti Sari Soegondo (Ketua Umum APPRI), Gus Ipang Wahid (Ipang Wahid Stratejik), dan Arif Mujahidin (Corporate Communications Director Danone Indonesia). MTM mencuri perhatian dalam kategori “PR Program” karena pendekatannya yang kolaboratif dan berbasis solusi.

Penghargaan ini menegaskan posisi DJP tidak hanya sebagai institusi fiskal, tetapi juga agen perubahan sosial melalui program kehumasan dan pemberdayaan yang berdampak nyata. (alf)

 

 

Guru Besar UI Desak Presiden Segera Bentuk Badan Penerimaan Negara

IKPI, Jakarta: Stagnasi rasio pajak Indonesia kembali menjadi perbincangan hangat di tengah publik. Dalam Diskusi Panel yang diselenggarakan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) bertajuk “Membedah Stagnasi Tax Ratio Indonesia: Masalah Struktural, Teknis, atau Ekonomi?”, Senin (19/5/2025), Guru Besar Kebijakan Publik Perpajakan FIA UI, Prof. Haula Rosdiana, menyampaikan desakan kepada Presiden Prabowo Subianto agar segera merealisasikan pembentukan Badan Penerimaan Negara.

“Sudah saatnya kita jujur melihat persoalan tata kelola perpajakan. Teman-teman di Direktorat Jenderal Pajak terus didorong berada di garis depan, padahal secara struktural dan kelembagaan mereka belum diberi ruang gerak yang cukup. Kita butuh lembaga yang benar-benar agile, mampu beradaptasi dengan cepat di tengah perubahan,” ujar Haula dalam paparannya.

Haula menekankan bahwa pembentukan Badan Penerimaan Negara bukan sekadar janji kampanye, melainkan kebutuhan strategis untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan pendapatan negara.

Menurutnya, lembaga ini tidak hanya menyatukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), melainkan menjadi bagian dari transformasi kelembagaan secara menyeluruh.

Ia menyoroti bahwa reformasi perpajakan yang sudah berjalan sejak 1983 dan proyek modernisasi sistem seperti Coretax belum menunjukkan hasil signifikan terhadap peningkatan tax ratio. “IT itu hanya komponen kecil. Transformasi kelembagaan jauh lebih mendasar,” tegasnya.

Lebih lanjut, Haula menjelaskan bahwa Badan Penerimaan Negara nantinya akan mengintegrasikan seluruh sumber penerimaan, termasuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang selama ini berada di bawah kendali Direktorat Jenderal Anggaran. (bl)

 

RUU Pemotongan Pajak Trump Lolos Komite, DPR AS Bersiap Gelar Pemungutan Suara Penuh

IKPI, Jakarta: Rancangan Undang-Undang (RUU) pemotongan pajak yang didorong oleh mantan Presiden Donald Trump berhasil melewati tahap penting setelah disetujui oleh komite anggaran utama di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Amerika Serikat. Keputusan ini membuka jalan bagi pembahasan dan pemungutan suara di tingkat majelis penuh.

RUU tersebut disahkan melalui pemungutan suara tipis 17-16, dengan dukungan mayoritas dari Partai Republik. Menariknya, empat anggota konservatif dari Partai Republik yang sebelumnya menolak RUU tersebut kini mengubah haluan dan memilih untuk meloloskannya dalam tahap “voice vote” atau penyampaian pendapat secara lisan.

Mengutip laporan Xinhua, Kamis (21/5/2025) RUU ini memuat sejumlah kebijakan yang kontroversial. Di antaranya adalah peningkatan anggaran besar-besaran untuk penegakan hukum imigrasi dan belanja pertahanan, serta perpanjangan pemotongan pajak yang pertama kali diberlakukan pada era Trump tahun 2017 dan akan segera berakhir pada akhir tahun ini.

Namun, tidak semua pihak menyambut positif isi RUU tersebut. Dokumen ini juga mencakup pemangkasan dana untuk program Medicaid, bantuan pangan, serta pengurangan dukungan terhadap energi bersih langkah yang diperkirakan akan memicu perdebatan sengit di Kongres.

Sejumlah analis memperkirakan RUU ini masih harus mengalami revisi signifikan untuk mendapatkan restu dari seluruh anggota DPR. Senat yang dikuasai oleh Partai Republik bahkan telah memberi sinyal bahwa mereka tidak akan menyetujui versi saat ini tanpa perubahan besar.

Langkah berikutnya menjadi krusial, karena hasil akhir RUU ini berpotensi memengaruhi kebijakan fiskal, sosial, dan lingkungan Amerika Serikat untuk beberapa tahun ke depan. (alf)

 

 

BI Revisi Turun Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi 2025 jadi 4,6% hingga 5,4%

IKPI, Jakarta: Bank Indonesia (BI) menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional untuk tahun 2025. Dalam konferensi pers yang digelar Kamis (21/5/2025), Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan bahwa proyeksi terbaru kini berada pada kisaran 4,6% hingga 5,4%, lebih rendah dari perkiraan sebelumnya yang berada di rentang 4,7% hingga 5,5%.

Penyesuaian ini dilakukan setelah melihat data pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2025 yang hanya mencapai 4,87%, lebih rendah dibandingkan kuartal IV-2024 yang mencatat angka 5,02%. Perry menilai dinamika global, termasuk ketidakpastian akibat negosiasi tarif impor Amerika Serikat, menjadi tantangan yang harus diantisipasi.

“Perkembangan indikator ekonomi di kuartal II-2025 menunjukkan pentingnya memperkuat upaya untuk mendorong aktivitas ekonomi domestik,” ujar Perry dalam konferensi pengumuman BI Rate di Jakarta.

Ia menyampaikan bahwa pemulihan diprediksi akan mulai menguat pada paruh kedua 2025, seiring dengan meningkatnya permintaan dalam negeri dan belanja pemerintah. Namun, untuk mengakselerasi pertumbuhan tersebut, Perry menekankan perlunya sinergi lintas sektor.

“Kebijakan harus diperkuat, mulai dari peningkatan konsumsi domestik hingga pemanfaatan peluang ekspor. Dalam hal ini, bauran kebijakan moneter dan makroprudensial BI akan didukung oleh digitalisasi sistem pembayaran, stimulus fiskal pemerintah, serta program prioritas nasional seperti Asta Cita,” jelasnya.

Dengan kondisi global yang masih dibayangi ketidakpastian, BI menegaskan pentingnya konsistensi dan kolaborasi dalam menjaga momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2025. (alf)

 

 

 

 

Tegas! Prabowo Perintahkan Bimo Wijayanto Jadikan Sistem Pajak Lebih Akuntabel dan Independen

IKPI, Jakarta: Presiden Prabowo Subianto memberikan sinyal tegas bahwa reformasi perpajakan akan menjadi prioritas utama pemerintahannya. Dalam pertemuan tertutup di Istana Negara, Selasa (20/5/2025), Prabowo memanggil dua sosok kunci: Bimo Wijayanto dan Letjen Djaka Budi Utama, yang disebut-sebut bakal menempati posisi strategis sebagai Dirjen Pajak dan Dirjen Bea Cukai.

Pertemuan yang berlangsung selama tiga jam itu berisi arahan langsung dari Presiden. Usai pertemuan, hanya Bimo yang menemui awak media, membagikan pesan penting dari Prabowo.

“Bapak Presiden menegaskan agar sistem perpajakan ke depan lebih akuntabel, lebih berintegritas, dan lebih independen. Tujuannya jelas mengamankan pendanaan program-program strategis nasional,” kata Bimo.

Meski belum mengonfirmasi secara resmi penunjukannya sebagai Direktur Jenderal Pajak, Bimo menyiratkan bahwa ia sedang bersiap untuk tanggung jawab besar itu. Salah satu langkah awalnya adalah mempercepat perbaikan sistem Coretax yang hingga kini masih menyimpan banyak persoalan.

“Masih ada 18 isu teknis dalam Coretax yang harus segera kami benahi. Tiga sudah selesai, dan sisanya kami target rampung dalam tiga bulan,” ungkapnya.

Masalah pada Coretax bukan hal sepele. Sistem ini sempat mengganggu arus likuiditas pelaku usaha karena hambatan dalam penerbitan faktur pajak. Menurut data Apindo, sebelum Coretax, sistem e-faktur bisa menerbitkan hingga 60 juta faktur per bulan. Namun setelah Coretax diberlakukan, angka itu anjlok menjadi hanya 30–40 juta.

Ajib Hamdani dari Apindo menyebut kondisi ini telah memperlambat aktivitas ekonomi nasional. “Cash flow pengusaha terganggu karena penerbitan invoice tersendat. Ini membuat perputaran ekonomi melambat di kuartal pertama 2025,” jelasnya.

Di sisi lain, kinerja penerimaan pajak juga masih jauh dari target. Hingga akhir Maret 2025, total penerimaan baru mencapai Rp 322,6 triliun atau 14,7% dari target tahunan. Hal ini turut dipengaruhi implementasi kebijakan Tarif Efektif Rata-Rata (TER) untuk PPh 21 sejak Januari 2024, yang disebut masih menyisakan tantangan adaptasi.

Dengan sorotan yang tajam dari Presiden, reformasi di tubuh Direktorat Jenderal Pajak tampaknya tak lagi bisa ditunda. Jika resmi menjabat, Bimo diharapkan mampu menghadirkan transformasi yang membawa sistem pajak Indonesia menuju era baru: transparan, tangguh, dan berwibawa. (alf)

 

 

Ketua Umum IKPI: Dirjen Pajak Baru Hadapi Tantangan Berat namun Punya Bekal Strategis

IKPI, Jakarta: Isu pergantian Direktur Jenderal Pajak di Kementerian Keuangan semakin menguat, dengan nama Bimo Wijayanto disebut-sebut sebagai kandidat kuat pengganti Suryo Utomo. Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, menilai jika pergantian itu benar terjadi, maka tantangan yang menanti Dirjen Pajak baru sangat kompleks dan strategis.

“Kalau benar Pak Bimo yang akan menjabat, tantangan beliau berbeda dari Pak Suryo. Ini bukan hanya melanjutkan capaian, tapi juga membuktikan mampu menghadapi tantangan baru,” ujar Vaudy, Rabu (21/5/2025).

Ia menyebut setidaknya ada empat tantangan besar yang akan langsung dihadapi oleh Dirjen Pajak baru:

1. Implementasi Penuh Core Tax Administration System (CTAS)

“Core Tax atau Korteks harus segera diimplementasikan secara penuh. Harapan publik tinggi dan layanan pajak harus optimal,” jelasnya.

2. Mempertahankan Target Penerimaan Pajak

Di bawah kepemimpinan Suryo Utomo, penerimaan pajak tercapai selama empat tahun berturut-turut. Menurut Vaudy, hal ini menciptakan ekspektasi tinggi terhadap penerusnya.

3. Peningkatan Tax Ratio ke 15% PDB

Target peningkatan rasio pajak menjadi 15% dari Produk Domestik Bruto dipandang cukup ambisius. “Ini bukan tugas DJP saja, tapi DJP tetap akan jadi sorotan utama,” tambahnya.

4. Pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN)

Isu pembentukan BPN kembali mengemuka sejak awal masa pemerintahan Presiden Prabowo. “Sinkronisasi peran DJP dalam transisi menuju BPN akan jadi ujian tersendiri,” kata Vaudy.

Vaudy mengakui bahwa Bimo Wijayanto memiliki latar belakang kuat di bidang perpajakan. Pernah menjabat di Direktorat Jenderal Pajak pada 2003–2010, serta berperan dalam lahirnya UU Pengampunan Pajak dan UU Akses Informasi Keuangan.

“Pengalaman beliau di Kantor Staf Presiden dan Kemenkomarves memperlihatkan kemampuannya di level strategis. Namun, tantangannya kini lebih berat, karena seluruh mata publik akan menilai apakah reformasi perpajakan benar-benar berlanjut,” ujarnya.

IKPI juga menyoroti perlunya kesetaraan regulasi bagi kuasa wajib pajak. “Jalur kuasa wajib pajak non-konsultan tidak diatur, padahal dalam UU HPP dan PPSK posisi konsultan pajak sangat jelas sebagai profesi penunjang sektor keuangan. Ini harus segera ditata agar ada level playing field,” tegas Vaudy.

Ia juga berharap pembahasan RUU Pengampunan Pajak yang sudah masuk Prolegnas Prioritas bisa diselesaikan dengan matang di bawah kepemimpinan Dirjen Pajak yang baru. “RUU ini harus selesai tahun ini, dan tentu akan jadi PR besar yang harus diantar oleh Dirjen Pajak berikutnya,” ujarnya. (bl)

Bimo Wijayanto, Teknokrat Reformis yang Disiapkan Prabowo Pimpin Direktorat Jenderal Pajak

IKPI, Jakarta: Di tengah dinamika politik dan ekonomi nasional, satu nama mencuat sebagai calon pemimpin baru Direktorat Jenderal Pajak: Bimo Wijayanto. Figur teknokrat muda yang dikenal cerdas, bersih, dan strategis ini dikabarkan telah mendapat restu dari Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk mengemban jabatan Dirjen Pajak periode mendatang.

Bimo bukan sosok baru di lingkaran pengambil kebijakan. Lahir di Ngada, Nusa Tenggara Timur, 5 Juli 1977, ia tumbuh sebagai anak bangsa yang menapaki karier dari bawah, bermodal disiplin dan kecintaan terhadap ilmu. Alumni SMA Taruna Nusantara ini melanjutkan studinya di Universitas Gadjah Mada jurusan Akuntansi sebelum meraih gelar MBA di University of Queensland, Australia, dan menyelesaikan program doktoral di University of Canberra.

Namanya mulai diperhitungkan saat menerima Hadi Soesastro Australia Award pada 2014 sebuah penghargaan prestisius bagi peneliti muda dengan kontribusi besar di bidang reformasi kebijakan ekonomi dan perpajakan. Tidak hanya akademisi, Bimo dikenal sebagai eksekutor kebijakan.

Ia pernah menjabat sebagai tenaga ahli di Kantor Staf Presiden, lalu menduduki posisi strategis di Kemenko Maritim dan Investasi, dan kini sebagai Sekretaris Deputi Bidang Investasi di Kemenko Perekonomian.

Dalam bidang perpajakan, Bimo memiliki rekam jejak panjang. Ia pernah bertugas sebagai analis senior di Direktorat Jenderal Pajak dan terlibat dalam desain awal sistem digitalisasi perpajakan. Visi Bimo tentang pajak bukan hanya soal mengejar penerimaan, tetapi membangun kepercayaan publik lewat transparansi dan kemudahan.

Tak hanya itu, laporan LHKPN 2021 menunjukkan Bimo sebagai pejabat yang hidup sederhana dengan total kekayaan sekitar Rp6,6 miliar angka yang relatif rendah dibanding banyak pejabat negara. Ini menjadi catatan positif di tengah upaya membangun integritas dan kepercayaan publik terhadap DJP.

Restu dari Presiden Prabowo kepada Bimo menjadi sinyal bahwa pemerintahan baru ingin menempatkan sosok profesional dan bebas kepentingan politik untuk memimpin lembaga vital ini. Dalam beberapa kesempatan, Bimo menegaskan bahwa pajak harus menjadi alat pembangunan, bukan sekadar alat pemaksaan.

Jika resmi diangkat, Bimo Wijayanto akan menjadi Dirjen Pajak dengan latar belakang akademik dan reformis yang kuat, sekaligus harapan baru dalam membangun sistem perpajakan yang adil, modern, dan dipercaya rakyat. (bl)

Penerimaan Pajak Merosot, Sri Mulyani Optimistis APBN 2025 Tetap Jadi Penyangga Ekonomi

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan melaporkan bahwa realisasi penerimaan pajak hingga 30 April 2025 mencapai Rp557,1 triliun. Angka tersebut mencatat penurunan 10,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yang mencapai Rp624,2 triliun. Meski begitu, capaian ini menunjukkan tren pemulihan dibandingkan realisasi Maret 2025 yang hanya sebesar Rp322,6 triliun.

Dengan capaian tersebut, penerimaan pajak baru mencapai 25,4% dari target tahun ini yang dipatok dalam APBN sebesar Rp2.189,3 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam paparannya menyebutkan bahwa total pendapatan negara hingga akhir April 2025 adalah Rp810,5 triliun, turun 12,4% secara tahunan dari Rp925,2 triliun tahun sebelumnya.

“Penerimaan negara, khususnya dari sektor perpajakan, memang mengalami tekanan. Namun, kita tetap melihat adanya sinyal pemulihan ekonomi yang mulai menguat,” ungkap Sri Mulyani dalam rapat paripurna DPR, Rabu (21/5/2025).

Secara lebih rinci, penerimaan perpajakan tercatat sebesar Rp657 triliun termasuk di dalamnya penerimaan pajak sebesar Rp557,1 triliun dan kepabeanan serta cukai sebesar Rp100 triliun. Menariknya, sektor kepabeanan dan cukai justru tumbuh 4,4% dibandingkan tahun lalu yang sebesar Rp95,7 triliun.

Sementara itu, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mengalami penurunan tajam sebesar 24,7% menjadi Rp153,3 triliun, dibandingkan dengan Rp203,6 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Dari sisi pengeluaran, belanja negara hingga April 2025 mencapai Rp806,2 triliun terkontraksi 5,1% secara tahunan. Angka ini terdiri atas belanja pemerintah pusat sebesar Rp546,8 triliun, turun 7,6%, dan transfer ke daerah sebesar Rp259,4 triliun yang tumbuh tipis 0,7%.

Kendati demikian, APBN 2025 mencatatkan kejutan positif. Setelah tiga bulan berturut-turut defisit, kini APBN mencatatkan surplus sebesar Rp4,3 triliun per April. Bahkan, keseimbangan primer mencatatkan surplus Rp173,9 triliun, dan posisi kas negara menguat dengan SILPA sebesar Rp283,6 triliun.

“Ini menandakan APBN tetap menjadi instrumen yang efektif sebagai shock absorber. Ia menjaga stabilitas ekonomi, melindungi rakyat, dan mendukung dunia usaha dalam menghadapi tekanan global,” tegas Sri Mulyani.

Kinerja APBN yang menunjukkan ketahanan fiskal di tengah tekanan global ini menjadi sinyal positif bahwa pemerintah masih memiliki ruang gerak untuk menjalankan program prioritas nasional tanpa mengorbankan stabilitas makroekonomi. (alf)

 

Strategi Penagihan Pajak Daerah Menjadi Penghambat Pertumbuhan Ekonomi

Beberapa waktu lalu, klien saya melakukan pembelian sebuah Bangunan melalui laman yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) atas Bangunan sitaan salah satu Bank di Jakarta. Pada saat proses pelelangan tersebut menimbulkan hak dan kewajiban perpajakan yang harus diselesaikan masing-masing pihak, antara lain Pajak Penjualan (PPh Final 2,5%) yang harus dilunasi oleh Penjual dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB 5%) yang harus dilunasi oleh Pembeli.

Namun, kewajiban BPHTB yang hendak dilunasi oleh Pembeli terhambat oleh salah satu syarat yaitu atas tunggakan yang belum dibayar selama lima tahun terakhir atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang merupakan kewajiban dari yang memanfaatkan dan/atau menguasai bangunan tersebut pada saat terutang.

Hambatan tersebut tertuang dalam Pasal 3 Ayat (1) Peraturan Gubernur (Per-Gub) Provinsi DKI Jakarta No. 34 Tahun 2022 yang menyatakan sebagai berikut:
“Wajib Pajak atau Kuasa Wajib Pajak yang sudah melunasi ketetapan PBB-P2 atas objek perolehan untuk 5 (tahun) pajak terakhir membuat akun pajak online dan melakukan pengisian data SSPD BPHTB secara elektronik, dst…”

Sementara dalam Pasal 2 Per-Gub yang sama juga disebutkan:
“Wajib Pajak wajib membayar dan melaporkan sendiri BPHTB yang terutang melalui sistem e-BPHTB”.

Dua pasal ini menimbulkan kontradiksi: Siapa yang seharusnya dianggap sebagai Wajib Pajak dalam konteks pelunasan tunggakan PBB? Penjual sebagai pihak yang sebelumnya menguasai aset, atau Pembeli yang akan mencatat perolehan hak?
Definisi dalam Pasal 1 Angka 1 Per-Gub menegaskan bahwa Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang memiliki hak dan kewajiban sesuai peraturan perpajakan.

Maka jelas, dalam konteks BPHTB, Pembeli adalah Wajib Pajak. Namun dalam konteks pelunasan PBB lima tahun ke belakang, seharusnya yang bertanggung jawab adalah Penjual. Inilah yang menunjukkan bagaimana strategi penagihan pajak daerah, khususnya lewat syarat administratif yang tidak fleksibel, justru dapat menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi.

Pembeli yang telah siap menginvestasikan dana dan mengaktifkan kembali aset yang dibeli nya, terkendala karena harus menanggung kewajiban yang bukan menjadi tanggung jawabnya.

Dampaknya? Aset tidak dapat segera dimanfaatkan. Jika bangunan tersebut hendak dijadikan hotel, maka hilanglah kesempatan untuk menyerap tenaga kerja lokal, menghasilkan Pajak Hotel 10%, Pajak Restoran 10%, PPh pusat 22%, PPh Pasal 21 atas penghasilan karyawan, dan berbagai retribusi lainnya. Potensi Pendapatan Asli Daerah pun melayang.

Pemerintah daerah perlu menyadari bahwa penagihan pajak seharusnya tidak mematikan potensi ekonomi. Ketika peraturan daerah justru menempatkan investor baru dalam posisi serba salah, maka strategi fiskal yang dimaksudkan untuk mendorong pendapatan daerah malah menjadi kontra-produktif.

Revisi kebijakan diperlukan. Idealnya, penetapan subjek pajak harus jelas dan tidak membebani pihak yang tidak semestinya. Selain itu, perlunya mekanisme khusus untuk objek hasil sitaan atau lelang DJKN, agar proses transaksinya tidak tersandera masalah historis perpajakan yang tidak relevan dengan pihak baru.

Tanpa pembenahan semacam ini, strategi penagihan pajak daerah hanya akan menjadi lingkaran birokrasi yang mengorbankan momentum investasi dan memupus harapan terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi, baik di tingkat lokal maupun nasional.

Penulis adalah Anggota Departemen Pengembangan Organisasi, IKPI

Muhammad Fadhil, S.Ak., S.AP., Ak., BKP

Email: fadhilalhinduan@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

en_US