Oman Berlakukan Pajak Penghasilan Pribadi Mulai 2028, Pertama di Kawasan Teluk

IKPI, Jakarta: Pemerintah Oman resmi mengumumkan rencana pemberlakuan pajak penghasilan pribadi mulai tahun 2028. Kebijakan ini tercantum dalam dekrit kerajaan yang disampaikan pada Minggu (23/6/2025) dan dilaporkan oleh Kantor Berita Resmi Oman.

Pajak ini akan dikenakan sebesar 5 persen dan hanya berlaku bagi individu dengan penghasilan tahunan di atas USD 109.000 atau sekitar Rp1,76 miliar. Jumlah tersebut mewakili sekitar 1 persen populasi dengan penghasilan tertinggi di negara tersebut.

Langkah ini menjadikan Oman sebagai negara pertama di antara enam anggota Dewan Kerja Sama Teluk (Gulf Cooperation Council/GCC) yang akan memungut pajak penghasilan pribadi. Negara-negara kaya minyak ini selama ini dikenal karena tidak mengenakan pajak penghasilan, sehingga menjadi magnet bagi para ekspatriat dan pekerja asing.

“Pengenaan pajak ini akan memperkuat stabilitas fiskal dan mengurangi ketergantungan terhadap pasar energi global yang fluktuatif,” kata Menteri Ekonomi Oman Said bin Mohammed Al-Saqri, seperti dikutip dari Associated Press (AP), Rabu (25/6/2025).

Al-Saqri mengungkapkan bahwa pendapatan negara dari minyak dan gas saat ini bisa mencapai hingga 85 persen dari total penerimaan publik, tergantung harga pasar. Maka dari itu, pajak penghasilan pribadi dinilai sebagai salah satu strategi diversifikasi sumber pemasukan negara.

Rencana ini merupakan bagian dari transformasi ekonomi jangka panjang Oman yang terangkum dalam Visi 2040. Sejak 2020, negara tersebut telah meluncurkan program reformasi fiskal guna menekan utang publik dan mendorong pembangunan sektor non-migas.

Meski belum jelas apakah negara GCC lainnya seperti Arab Saudi, UEA, atau Qatar akan mengikuti langkah Oman, Dana Moneter Internasional (IMF) telah menyatakan bahwa negara-negara di kawasan ini perlu mulai mengevaluasi skema pendapatan mereka, termasuk potensi pemungutan pajak baru.

Kebijakan pajak ini, menurut AP, sekaligus menjadi penanda pergeseran besar dalam kebijakan fiskal kawasan yang selama ini mengandalkan daya tarik bebas pajak sebagai strategi pertumbuhan ekonomi. (alf)

 

Kanwil DJP: Penerimaan Pajak NTB Tembus Rp1,07 Triliun per Mei 2025

IKPI, Jakarta: Kinerja penerimaan pajak di Nusa Tenggara Barat (NTB) menunjukkan tren positif. Hingga akhir Mei 2025, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) NTB mencatat pendapatan pajak mencapai Rp1,07 triliun atau 29,15 persen dari total target APBN sebesar Rp3,68 triliun.

Kepala Kanwil DJP NTB, Samon Jaya, mengungkapkan bahwa peningkatan signifikan terjadi dalam waktu satu bulan terakhir. “Pertumbuhan penerimaan dari April ke Mei 2025 melonjak 43,2 persen. Ini sinyal positif bahwa penerimaan tetap terjaga di tengah gejolak ekonomi nasional dan regional,” ujar Samon dalam konferensi pers di Mataram, Selasa (24/6).

Ia merinci bahwa pada April 2025, realisasi penerimaan pajak sebesar Rp747,27 miliar. Angka ini kemudian melonjak Rp323,9 miliar dalam sebulan, hingga menembus angka Rp1,07 triliun di akhir Mei.

Dua jenis pajak utama menjadi penopang capaian tersebut. Pajak penghasilan (PPh) menyumbang Rp598,31 miliar atau 30,38 persen dari targetnya, sementara pajak pertambahan nilai (PPN) mencapai Rp244,83 miliar atau 15,47 persen dari target.

“Dominasi PPh dan PPN menunjukkan bahwa sektor-sektor produktif tetap menjadi tulang punggung ekonomi NTB dan berperan penting dalam menopang penerimaan negara,” jelas Samon, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (25/6/2025).

Selain itu, jenis pajak lainnya mencatatkan kontribusi sebesar Rp181,52 miliar. Adapun sektor kepabeanan dan cukai juga turut menyumbang: bea masuk sebesar Rp23,06 miliar, bea keluar Rp17,23 miliar, cukai Rp8,19 miliar, dan pajak bumi dan bangunan (PBB) sebesar Rp40 juta.

Sementara itu, dari sisi penerimaan negara bukan pajak (PNBP), NTB mencatatkan realisasi sebesar Rp331,71 miliar atau 53,46 persen dari target tahunan Rp620,53 miliar. PNBP paling dominan berasal dari jasa pelayanan pendidikan sebesar Rp139,42 miliar, diikuti pendapatan dari paspor (Rp13,51 miliar) dan penerbitan BPKB (Rp13,07 miliar).

Jika digabungkan, total realisasi pendapatan negara di wilayah NTB hingga 31 Mei 2025 mencapai Rp1,4 triliun atau setara 32,65 persen dari target keseluruhan APBN sebesar Rp4,3 triliun.

“Tren ini harus kita jaga bersama. Kolaborasi dan kepatuhan semua pihak sangat dibutuhkan untuk mengawal pemulihan ekonomi nasional, khususnya di NTB,” kata Samon. (alf)

 

 

DJP Kini Bisa Tetapkan Besaran Angsuran PPh Pasal 25, Ini Syarat dan Ketentuannya

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kini memiliki wewenang penuh untuk menetapkan besarnya angsuran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 bagi Wajib Pajak yang dianggap tidak melakukan penghitungan sesuai ketentuan. Kewenangan tersebut diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025, khususnya dalam Pasal 121 ayat (1).

“Apabila Wajib Pajak tidak melakukan penghitungan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sesuai dengan ketentuan, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan keputusan penetapan besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk masa pajak yang bersangkutan,” demikian bunyi pasal tersebut.

Langkah ini merupakan bagian dari upaya otoritas pajak dalam memperkuat pengawasan serta memastikan kepatuhan perpajakan, terutama dalam penghitungan angsuran bulanan yang menjadi dasar penerimaan PPh.

65 Kondisi Khusus Dapat Diintervensi

Tak sembarang diterbitkan, keputusan penetapan tersebut hanya dapat dikeluarkan dalam kondisi tertentu. PER-11/PJ/2025 mengidentifikasi sebanyak 65 kondisi khusus yang dapat menjadi dasar intervensi DJP dalam penghitungan angsuran.

Beberapa di antaranya adalah:

• Wajib Pajak memiliki kompensasi kerugian.

• Penghasilan yang diterima bersifat tidak teratur.

• SPT Tahunan disampaikan melewati batas waktu yang ditentukan.

• Wajib Pajak mendapat perpanjangan penyampaian SPT.

• Terjadi pembetulan SPT Tahunan yang menyebabkan angsuran bertambah.

• Ada perubahan signifikan dalam kondisi usaha.

Ketentuan lebih rinci mengenai skema penghitungan dalam kondisi-kondisi tersebut telah diatur dalam Pasal 114 hingga Pasal 120 PER-11/PJ/2025.

Pelimpahan Wewenang ke KPP

Menariknya, DJP juga menetapkan pelimpahan kewenangan untuk menerbitkan keputusan ini kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar. Hal ini tertuang dalam Pasal 121 ayat (3) peraturan yang sama, sebagai bentuk desentralisasi pelaksanaan administrasi perpajakan.

Untuk mendukung implementasi di lapangan, PER-11/PJ/2025 juga menyediakan format keputusan penetapan dalam lampiran resminya, agar tidak terjadi kebingungan dalam penerbitan dokumen.

Penegakan dan Kepatuhan

Kebijakan ini memberi sinyal bahwa DJP semakin proaktif dalam menjaga kedisiplinan perpajakan. Wajib Pajak diimbau agar melakukan penghitungan angsuran PPh Pasal 25 secara benar, terutama dalam menghadapi kondisi-kondisi khusus yang mempengaruhi kewajiban perpajakan mereka. (alf)

 

Flat Tax Vs Progressive Tax Mana Lebih Adil?

Dalam kunjungannya ke Indonesia baru-baru ini Arthur Laffer, seorang ekonom asal Amerika bertemu dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Ia terkenal dengan Kurva Laffer-nya di era tahun 1970-an yaitu konsep bahwa ada batas maksimal besaran tarif Pajak Penghasilan dalam upaya memperoleh penerimaan negara yang optimal. Laffer melontarkan usulan agar pemerintah Indonesia mempertimbangkan penerapan Flat Tax dalam kebijakan penetapan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak Orang Pribadi.

Kemudian pada saat acara Economy Update 2025 yang diselenggarakan oleh CNBC Indonesia, Laffer menyampaikan bahwa ia yakin Indonesia mampu mencapai pertumbuhan ekonomi 8%. Salah satu langkah penting yang dapat dilakukan dari sisi pajak adalah dengan menerapkan struktur pajak “Low Rate, Broad-Based, and Flat Tax”. Dengan struktur ini diharapkan bahwa tarif pajak rendah (low rate) akan memberi stimulus bagi individu serta badan usaha untuk lebih giat melakukan aktivitas ekonomi dan investasi.

Kemudian dengan basis pemajakan yang luas (broad based) yang dibarengi dengan pengurangan sejumlah pengecualian penghasilan yang tidak dikenakan pajak PPh, dan kebijakan lainnya yang mereduksi dasar pengenaan pajak, serta selektif dalam pemberian berbagai insentif pajak, maka pemerintah akan lebih leluasa menurunkan tarif pajak tanpa berdampak pada menurunnya penerimaan negara secara signifikan. Selain itu dengan tarif pajak tunggal (flat tax), perhitungan pajak akan lebih sederhana (simplicity).

Sementara itu Menteri Keuangan Sri Mulyani yang dikutip oleh berbagai media menyatakan penolakannya dengan usulan Laffer untuk penerapan Flat Tax. Selain tidak selaras dengan kebutuhan dan kondisi di Indonesia, menurutnya Flat Tax kurang mencerminkan keadilan karena tidak memperhitungkan kemampuan membayar. Sistim tarif atau progresif untuk PPh Orang Pribadi dari 5% hingga 35% atas jenjang atau lapisan penghasilan kena pajak dinilai lebih adil.

Flat Tax Vs Progressive Tax

Secara singkat Flat Tax adalah tarif pajak tunggal yang dikenakan terhadap penghasilan tanpa memperhatikan jumlahnya. Misalnya dua orang masing-masing memperoleh penghasilan kena pajak setahun yaitu Ary sebesar Rp. 120 juta setahun dan Sony Rp.24 miliar. Apabila dikenakan misalnya dengan tarif tunggal 20% PPh untuk orang pribadi, maka Ary akan membayar PPh pajak sebesar Rp. 24 juta dan Sony membayar PPh Rp. 4.8 miliar. Saat ini tarif tunggal PPh diberlakukan di Indonesia hanya untuk Wajib Pajak Badan yaitu 22%, tidak untuk Wajib Pajak Orang Pribadi.

Sementara itu Progressive Tax merupakan konsep tarif pajak yang memperhatikan besarnya penghasilan kena pajak. Tarifnya akan semakin tinggi seiring dengan jenjang lapisan penghasilan.

Contohnya, berdasarkan UU PPh yang berlaku saat ini di Indonesia, terdapat 5 (lima) lapisan tarif untuk PPh Orang Pribadi, yaitu mulai dari tarif terendah 5% untuk lapisan penghasilan kena pajak Rp. 0 sampai dengan Rp.60 juta, 15% untuk lapisan di atas Rp.60 juta sd Rp.250 juta, 25% untuk lapisan di atas Rp. 250 juta sd Rp. 500 juta, 30% untuk lapisan diatas Rp. 500 juta sd Rp. 5 miliar dan tarif tertinggi sebesar 35% untuk penghasilan kena pajak di atas Rp. 5 miliar rupiah.

Dengan menerapkan tarif progresif tersebut, maka Ary akan membayar PPh sebesar Rp. 12 juta dan Sony membayar Rp. 8.094.000.000. Tarif pajak efektif yang dibayar oleh Ary adalah 10% (Rp.12 juta/ Rp.120 juta) sedangkan tarif pajak efektif yang dibayar oleh Sony adalah 33% (Rp.8.094.000.000/Rp.24 miliar).

Keadilan Dalam Pajak Penghasilan

Richard A. Musgrave dan Peggy B. Musgrave (1989) mengemukakan adanya 2 (dua) macam prinsip keadilan. Pertama, Benefit Principle yaitu setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak sesuai dengan manfaat yang dinikmatinya dari pemerintah. Dalam praktiknya prinsip ini sulit diterapkan karena tidak mudah mengukur manfaat yang dinikmati seorang Wajib Pajak atas pelayanan publik. Prinsip ini lebih tepat untuk pemungutan retribusi (non pajak) yang manfaatnya dirasakan langsung oleh pembayarnya. Prinsip yang kedua adalah Ability to Pay Principle yang menekankan bahwa pembebanan pajak kepada para Wajib Pajak didasarkan pada kemampuan masing-masing dalam membayar pajak. Prinsip ini dikenal sebagai Teori Daya Pikul.

Selanjutnya Musgrave membedakan keadilan pemungutan pajak berdasarkan kemampuan membayar (ability to pay) menjadi dua, yaitu keadilan horizontal (horizontal equity) dan keadilan vertikal (vertical equity). Keadilan horizontal terpenuhi apabila orang-orang yang mempunyai penghasilan kena pajak yang sama dibebani pajak dalam jumlah yang sama, sedangkan keadilan vertikal mengandung makna bahwa besaran pajak yang akan dikenakan terhadap Wajib Pajak adalah sebanding dengan penghasilannya. Semakin besar penghasilan seseorang maka semakin besar pula pajak yang akan dibayar.

Mana Lebih Adil?

Merujuk kembali pada ilustrasi sebelumnya, dengan Flat Tax, Sony membayar PPh lebih besar dari Ary. Dengan asumsi tarif tunggal (flat tax rate) yang berlaku sama untuk Ary dan Sony, secara nominal jumlah PPh yang dibayar oleh Sony (Rp. 4.8 miliar) adalah 200 kali lipat lebih besar dari pajak yang dibayarkan oleh Ary (Rp. 24 juta). Beban pajak tersebut proporsional dengan penghasilan Sony (Rp. 24 miliar) yang jumlahnya juga 200 kali lebih besar dibandingkan dengan penghasilan Ary (Rp.120 juta).

Ditinjau dari prinsip keadilan dalam Pajak Penghasilan, penerapan Flat Tax memenuhi prinsip Vertical Equity karena orang yang memperoleh penghasilan lebih besar membayar pajak lebih besar. Namun demikian Vertical Equity dalam hal ini sifatnya proporsional karena tarifnya flat atau tunggal dan dampaknya terhadap kedua Wajib Pajak sangat berbeda.

Bagi Ary, membayar PPh sebesar Rp. 24 juta dari penghasilannya sejumlah Rp. 120 juta mungkin cukup terasa terbebani dan akan mengurangi kemampuannya untuk membiayai kebutuhan dasarnya, misalnya biaya sewa kontrakan atau cicilan rumah dan biaya sekolah anak.

Namun sebaliknya bagi Sony, membayar pajak sejumlah Rp. 4.8 miliar dari penghasilannya sebesar Rp. 24 miliar tidak berdampak pada kebutuhan dasarnya yang sudah jelas dapat terpenuhi, bahkan masih tersisa banyak.

Selanjutnya dengan Progressive Tax, mengambil contoh tarif progresif yang berlaku saat ini di Indonesia, Sony membayar PPh dengan tarif pajak efektif 33% yaitu 3.3 kali lipat lebih tinggi dari tarif pajak efektif 10% yang dibayarkan oleh Ary. Kondisi ini tampak lebih memenuhi prinsip Vertical Equity dan selaras dengan Ability to Pay Principle karena tarif PPh berjenjang naik sesuai dengan lapisan penghasilan kena pajak (brackets).

Progressive Tax menjadi pilihan bagi negara yang membutuhkan keadilan distributif dalam mengalokasikan beban pajak sebagaimana disampaikan oleh Sri Mulyani.

Sementara itu, meskipun dipandang kurang adil, Flat Tax (tarif tunggal) yang rendah akan menjadi insentif bagi orang atau perusahaan untuk lebih produktif berusaha dan ujungnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebagaimana menurut Arthur Laffer. Jadi, ini sebuah pilihan, tergantung dari kondisi dan tujuan ekonomi, serta prioritas pemerintah suatu negara.

Penulis adalah Presiden Asia Oceania Tax Consultants’ Association (AOTCA)

Ruston Tambunan

Email: ruston@citasco.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

 

Jejak Tegas Mantan Direktur Pemeriksaan DJP yang Kini Menjembatani Fiskus dan Konsultan

IKPI, Jakarta: Dalam arsitektur perpajakan Indonesia, nama Dodik Samsu Hidayat tercatat sebagai salah satu tokoh yang telah mewarnai transformasi besar dalam proses pemeriksaan dan penagihan pajak. Selama menjabat sebagai Direktur Pemeriksaan dan Penagihan di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), ia dikenal luas sebagai sosok yang konsisten memperjuangkan prinsip keadilan fiskal, integritas penegakan hukum, dan transformasi digital sistem pemeriksaan.

Kini, meskipun telah purna dari jabatannya di DJP, Dodik tetap berada di tengah denyut nadi perpajakan Indonesia. Ia baru saja diangkat sebagai anggota kehormatan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), satu langkah simbolik sekaligus strategis yang menegaskan komitmennya untuk terus berkontribusi, khususnya dalam memperkuat sinergi antara otoritas pajak dan kalangan profesional perpajakan.

Perjalanan karier Dodik dimulai dari berbagai posisi teknis hingga strategis dalam struktur DJP. Ia pernah menjabat sebagai Kepala Subdirektorat Peraturan KUP & PPSP, kemudian sebagai Kepala Kanwil DJP Sulawesi Utara, Tengah, Gorontalo, dan Maluku Utara (Suluttenggomalut), sebelum akhirnya dipercaya menjadi Direktur Pemeriksaan dan Penagihan.

Selama menjabat di pusat, Dodik memimpin berbagai inisiatif reformasi, termasuk perancangan ulang indikator kinerja pemeriksa pajak, penguatan fungsi pengawasan berbasis risiko, dan pembenahan sistem penagihan piutang pajak negara. Di bawah kepemimpinannya, DJP mengintensifkan implementasi sistem Coretax serta mendorong pemanfaatan big data untuk profiling wajib pajak secara lebih cerdas dan akurat.

Menjadi Anggota Kehormatan IKPI

Setelah tidak lagi menjabat sebagai direktur, Dodik tidak lantas meninggalkan dunia perpajakan. Ia justru mengambil posisi strategis baru sebagai anggota kehormatan di Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), asosiasi profesi yang selama ini menjadi mitra sekaligus pengkritik kebijakan fiskus.

Kehadiran Dodik di dalam IKPI membawa harapan akan terciptanya jembatan komunikasi yang lebih kuat antara otoritas dan konsultan. Sebagai mantan direktur yang pernah berada di “kursi regulator”, ia dinilai mampu menjadi suara penengah yang memahami tantangan dari dua sisi, pemerintah dan praktisi.

Fokus dan Gagasan untuk Masa Depan Pajak Indonesia

Di masa kini, Dodik terus menyuarakan pentingnya transformasi budaya fiskal, tidak hanya reformasi sistem. Ia percaya bahwa digitalisasi harus dibarengi dengan peningkatan literasi, transparansi proses, dan kesetaraan perlakuan bagi semua jenis wajib pajak.

Beberapa fokus pemikiran Dodik yang kini mulai digaungkan di kalangan profesional antara lain:

• Penguatan pemeriksaan berbasis risiko untuk menghindari pemeriksaan yang tidak efisien dan mengganggu iklim usaha.

• Penagihan berbasis pendekatan preventif, di mana edukasi lebih diutamakan sebelum sanksi diterapkan.

• Keadilan vertikal dan horizontal, yaitu memastikan wajib pajak besar dan kecil mendapat perlakuan proporsional sesuai kontribusinya.

• Kemitraan strategis antara otoritas dan profesi, untuk menjamin keberlangsungan sistem perpajakan yang adaptif dan inklusif.

Dari Regulasi ke Refleksi

Meski tak lagi menjabat dalam struktur birokrasi, Dodik Samsu Hidayat tetap menjadi salah satu sosok berpengaruh dalam lanskap perpajakan nasional. Pengalaman panjang, rekam jejak bersih, dan komitmennya terhadap integritas menjadikannya referensi bagi generasi baru aparatur pajak dan praktisi perpajakan.

Kini sebagai anggota kehormatan IKPI, Dodik tidak hanya memperluas kiprahnya, tapi juga memperdalam kontribusinya dari sekadar penegak kebijakan menjadi pemersatu visi antara fiskus dan konsultan. Ia adalah contoh bahwa reformasi perpajakan bukan hanya soal angka dan target, tetapi juga soal integritas, inklusivitas, dan kepercayaan. (bl)

DJP Siapkan Regulasi Pajak Digital

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan tengah merampungkan regulasi baru yang akan mengatur secara komprehensif pajak atas transaksi digital. Langkah ini merupakan respons strategis terhadap pertumbuhan pesat ekonomi digital serta bagian dari upaya pemerintah untuk memperluas basis pajak dan meningkatkan rasio perpajakan nasional.

“Perlu kami sampaikan bahwa saat ini Direktorat Jenderal Pajak tengah menyiapkan regulasi terkait pajak digital,” ungkap Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, Senin (23/6/2025).

Regulasi yang sedang disusun ini akan mencakup sejumlah ketentuan krusial, termasuk pengenaan pajak atas berbagai jenis transaksi dan layanan digital, skema pemungutan, serta jenis dokumen dan informasi yang wajib disampaikan oleh pelaku usaha digital.

Kebijakan ini diharapkan memberikan kepastian hukum sekaligus memperkuat pengawasan terhadap aktivitas digital yang selama ini berkembang sangat dinamis.

Pemerintah sebelumnya telah menunjuk pelaku usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) luar negeri sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penjualan produk dan layanan digital kepada konsumen di Indonesia. Hingga 31 Maret 2025, penerimaan dari sektor ekonomi digital mencapai Rp34,91 triliun.

Rinciannya, PPN dari transaksi PMSE menyumbang Rp27,48 triliun, diikuti oleh pajak aset kripto sebesar Rp1,2 triliun, pajak dari penyelenggara financial technology (fintech) seperti P2P lending sebesar Rp3,28 triliun, serta pajak SIPP dari transaksi pengadaan barang dan jasa pemerintah yang tercatat sebesar Rp2,94 triliun.

Jumlah pelaku usaha digital luar negeri yang ditunjuk sebagai pemungut PPN juga terus bertambah. Hingga Maret 2025, tercatat 211 entitas telah ditunjuk, dengan 190 di antaranya aktif memungut dan menyetorkan PPN.

Salah satu pemungut, Zoom Communications, Inc., mengalami pembaruan data administratif dalam sistem DJP.

Regulasi baru yang tengah disiapkan ini diharapkan tidak hanya meningkatkan kepatuhan para pelaku usaha digital, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia dalam menghadapi tantangan globalisasi ekonomi digital. (alf)

 

IKPI dan DJP Jatim II Sepakat Perkuat Edukasi Perpajakan untuk Konsultan dan Masyarakat

IKPI, Surabaya: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) terus memperkuat sinergi dengan otoritas pajak. Kali ini, Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld bersama jajaran pengurus pusat, pengda, dan pengcab IKPI melakukan audiensi dan silaturahmi dengan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Timur II, Agustin Vita Avantin, di Surabaya, Selasa (24/6/2025).

Dalam pertemuan tersebut, Vaudy menyampaikan apresiasi atas keterbukaan DJP Jatim II terhadap kolaborasi yang konstruktif dengan para konsultan pajak. Ia juga memperkenalkan struktur dan posisi strategis IKPI saat ini, yang telah memiliki 13 Pengurus Daerah (Pengda), 45 Pengurus Cabang (Pengcab), serta lebih dari 7.200 anggota aktif di seluruh Indonesia.

“IKPI juga aktif menambah anggota kehormatan dari kalangan tokoh-tokoh perpajakan, sebagai bentuk penghargaan atas kontribusi mereka dalam pengembangan profesi dan sistem perpajakan nasional,” ujar Vaudy.

Salah satu agenda penting yang dibahas adalah rencana pelaksanaan program edukasi bersama antara IKPI dengan Kanwil DJP Jatim II. Kegiatan ini akan digelar dengan dukungan penuh dari Pengda IKPI Jawa Timur dan Pengcab Sidoarjo. Narasumber utama akan melibatkan pejabat dari lingkungan DJP Jatim II, sehingga edukasi yang diberikan benar-benar sejalan dengan kebijakan dan praktik terkini di lapangan.

Sekadar informasi, dari IKPI, turut hadir Ketua Departemen Advokasi dan Bantuan Hukum Anggota, Andreas Budiman, Ketua Pengda Jatim Zeti Ariana, Wakil Ketua Pengcab Surabaya Ali Yus Isman, dan Wakil Ketua Pengcab Sidoarjo Tonny Poernomo.

Sementara dari DJP Jatim II, mendampingi Kakanwil Agustin Vita Avantin antara lain Kepala Bidang P2Humas, Heru Susilo dan Kasi Kerja Sama, Karsita.

Kegiatan ini menandai komitmen berkelanjutan antara IKPI dan DJP untuk menghadirkan edukasi pajak yang bermanfaat, tidak hanya bagi para konsultan pajak sebagai mitra strategis DJP, tetapi juga untuk mendukung pemahaman masyarakat terhadap hak dan kewajiban perpajakannya.

“Kolaborasi seperti ini menjadi salah satu kunci untuk memperkuat sistem perpajakan yang lebih adil, inklusif, dan profesional,” kata Vaudy. (bl)

DJP Keluhkan Minimnya Partisipasi Wajib Pajak Dalam Kegiatan Edukasi

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali menghadapi tantangan klasik: minimnya partisipasi Wajib Pajak dalam kegiatan edukasi perpajakan, meskipun topik yang diangkat menyangkut langsung insentif yang dapat meringankan beban usaha mereka.

Kepala Bidang Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Kanwil DJP Jawa Tengah II, Herlin Sulismiyarti, mengungkapkan bahwa upaya edukasi telah dilakukan secara konsisten dan menyasar berbagai kalangan. Sayangnya, tingkat keterlibatan peserta masih jauh dari ideal.

“Undangan kami sebar ke 100 Wajib Pajak, tapi yang hadir di Zoom atau nonton lewat YouTube bisa dihitung jari,” ujarnya, dikutip, Selasa (24/6/2025).

Ironisnya, materi yang dibahas sering kali mencakup insentif fiskal dan regulasi baru yang bisa memberikan manfaat besar bagi pelaku usaha, mulai dari pedagang emas, pemilik toko bangunan, hingga profesi dokter.

Beragam kanal komunikasi sudah dibuka, mulai dari media sosial seperti Instagram dan Facebook, hingga program interaktif seperti Sapa Warga (Swarga) dan Belajar Asik Soal Perpajakan (Balapan). Namun, tanpa antusiasme dari para penerima manfaat, edukasi menjadi kurang efektif.

“Edukasi itu dua arah. Kami sudah konsisten memberikan materi, tapi Wajib Pajak juga perlu meluangkan waktu dan menyadari pentingnya informasi ini bagi kelangsungan usahanya,” tambah Herlin.

Kondisi ini dikhawatirkan berdampak pada efektivitas penyaluran insentif perpajakan yang sebenarnya dirancang untuk membantu sektor usaha tetap bertahan dan tumbuh. DJP pun berharap pelaku usaha dapat lebih proaktif dalam mencari tahu informasi yang berkaitan langsung dengan kewajiban dan hak perpajakannya. (alf)

 

DJP Kejar Kepatuhan dan Perluas Basis Pajak

IKPI, Jakarta: Penerimaan pajak hingga Mei 2025 tercatat sebesar Rp683,3 triliun, mengalami penurunan 10,14 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Tekanan tersebut memaksa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mempercepat langkah-langkah optimalisasi potensi perpajakan.

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Pengawasan Pajak, Nufransa Wira Sakti, menyampaikan bahwa DJP kini mengedepankan dua strategi utama, eksplorasi data dan penguatan pemeriksaan.

Pernyataan ini disampaikan dalam forum Taxcussion 2025 yang digelar Kelompok Studi Ilmu Administrasi Fiskal (KOSTAF) FIA UI bersama Pajak.com di Jakarta Selatan, 21 Juni 2025.

“Langkah pertama adalah penggalian potensi yang sudah ada. Kita padukan laporan keuangan dari Kantor Akuntan Publik dengan data Surat Pemberitahuan (SPT) Wajib Pajak. Bahkan, data PNBP seperti royalti batu bara kami sandingkan dengan SPT yang disampaikan,” ujar Nufransa.

Analisis data tersebut tidak hanya ditujukan untuk mengejar penerimaan semata, namun juga untuk menciptakan ekosistem perpajakan yang lebih adil. Menurutnya, DJP aktif memantau kesesuaian antara laporan internal perusahaan dan transaksi pihak ketiga, termasuk potensi data dari sektor yang belum sepenuhnya tersentuh sistem perpajakan.

“Jika ada lawan transaksi yang belum punya NPWP, itu bisa menjadi tambahan basis pajak baru,” tambahnya.

Lebih lanjut, DJP juga tengah membangun ekosistem transaksi non-tunai guna mempersempit ruang gerak shadow economy. Salah satu upayanya adalah pemanfaatan data crawling untuk melacak penghasilan dari selebritas digital seperti youtuber dan selebgram.

“Dengan teknologi itu, kita bisa tahu dari mana sumber penghasilan mereka. Ini menjadi salah satu pintu masuk untuk memperluas basis pajak kita,” jelas Nufransa.

Selain pengolahan data, strategi kedua yang diterapkan adalah intensifikasi pemeriksaan. Tujuannya bukan semata-mata mengejar penerimaan, tetapi memastikan tingkat kepatuhan perpajakan berjalan sebagaimana mestinya.

“Kami membuka kembali rekrutmen auditor pajak di tahun ini. Pemeriksaan bukan hanya soal uang masuk, tapi juga memberi efek jera bagi yang tidak patuh,” tegasnya.

Melalui kombinasi penguatan analitik data dan pengawasan langsung, DJP berharap mampu menahan laju penurunan penerimaan sembari meningkatkan tax ratio secara berkelanjutan. Pendekatan ini diharapkan menjadi fondasi menuju sistem perpajakan yang lebih inklusif, transparan, dan berkeadilan. (alf)

 

Senator AS Desak Reformasi Pajak Kripto, Sebut Aturan Saat Ini Tak Adil 

IKPI, Jakarta: Senator Amerika Serikat (AS) Cynthia Lummis kembali menjadi sorotan setelah melontarkan kritik tajam terhadap kerangka pajak aset kripto yang berlaku saat ini. Dalam pernyataan publiknya pada Selasa (24/6/2025), Lummis menyebut bahwa regulasi perpajakan yang ada saat ini tidak hanya ketinggalan zaman, tetapi juga membebani pelaku industri kripto secara tidak proporsional.

Mengutip laporan Coinmarketcap, Senator dari Partai Republik itu menyoroti potensi pajak berganda yang harus ditanggung oleh para penambang Bitcoin serta pelaku usaha di ekosistem kripto. Ia menyebut sistem saat ini menciptakan beban kepatuhan yang tinggi dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang menghambat ekspansi industri digital berbasis blockchain.

“Regulasi perpajakan kripto yang ada saat ini justru menciptakan disinsentif bagi inovator dan investor,” ujar Lummis.

Ia juga menegaskan bahwa sistem pajak berganda sangat merugikan, terutama bagi para penambang aset digital yang menghadapi tekanan biaya operasional dan kepatuhan yang terus meningkat.

Lummis menyerukan reformasi menyeluruh terhadap undang-undang perpajakan kripto, termasuk penyederhanaan aturan serta penghapusan pajak ganda. Menurutnya, pendekatan baru yang lebih adil dan sejalan dengan perkembangan teknologi sangat dibutuhkan untuk memastikan Amerika Serikat tetap kompetitif dalam industri aset digital global.

Ketidakkonsistenan antarnegara bagian juga menjadi sorotan. Beragamnya interpretasi hukum dan kebijakan perpajakan di tiap wilayah memperumit langkah pelaku usaha yang beroperasi lintas negara bagian. Hal ini dinilai menambah beban administratif dan menghambat pertumbuhan sektor kripto secara nasional.

Para analis memandang pernyataan Lummis sebagai momentum penting menuju reformasi pajak kripto di Amerika Serikat. Dengan makin besarnya peran aset digital dalam sistem keuangan global, banyak pihak menilai bahwa pendekatan pajak yang transparan, adaptif, dan pro-inovasi akan menjadi kunci untuk menarik investor serta menjaga daya saing negara di tengah persaingan global yang ketat.

Diskusi lintas partai dan kolaborasi antara regulator serta pelaku industri diprediksi akan menjadi jalan menuju terciptanya kerangka hukum yang lebih modern dan mendukung pertumbuhan ekosistem kripto yang inklusif. (alf)

 

en_US