APBN 2026 Ditargetkan Capai Rp3.153 Triliun, Pemerintah Diingatkan Tidak Hanya Mengandalkan Kenaikan Pajak

IKPI, Jakarta: Target penerimaan negara dalam APBN 2026 dipatok tinggi. Pemerintah menyiapkan proyeksi pendapatan hingga Rp3.153,6 triliun, angka yang menurut Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede bukan perkara mudah untuk dicapai.

Josua menilai, postur tersebut menunjukkan ambisi besar pemerintah namun pada saat yang sama menuntut strategi yang lebih matang. Sebab, sebagian besar tambahan penerimaan masih diarahkan dari sektor perpajakan.

Berdasarkan riset Permata Institute for Economic Research (PIER), pemerintah berharap lonjakan penerimaan terutama datang dari PPN dan PPh melalui berbagai langkah optimalisasi. Hanya saja, Josua mengingatkan pengalaman pada 2025: penerimaan pajak bersih terbukti bisa melemah ketika harga komoditas menurun, restitusi meningkat, dan aturan administrasi berubah.

“Pendekatan yang lebih sehat adalah memperluas basis pajak dan memperbaiki kepatuhan, bukan sekadar menekan wajib pajak yang selama ini sudah patuh,” jelasnya.

Rencana pemerintah memperluas jangkauan perpajakan lewat Coretax, memetakan potensi dari ekonomi bayangan, hingga menggunakan AI dinilai berada di jalur yang benar. Namun, Josua menekankan bahwa keberhasilan akan sangat bergantung pada:

• kualitas dan kelengkapan data,

• integrasi antar-sistem,

• serta kemampuan menekan kebocoran penerimaan.

Ia juga mengingatkan, perubahan sistem yang besar hampir selalu menimbulkan risiko gangguan layanan pada tahap awal. Karena itu, masa transisi, pendampingan wajib pajak, serta tata kelola data lintas instansi harus disiapkan dengan serius agar kepatuhan meningkat tanpa menambah beban administrasi.

Pengawasan tak boleh tertinggal

Dalam dokumen APBN Kita, disebutkan bahwa pemanfaatan teknologi di sektor kepabeanan dapat memunculkan tantangan baru, seperti praktik undervaluasi. Bagi Josua, pelajaran ini relevan untuk pajak: jika pengawasan lambat, teknologi justru berpotensi dimanfaatkan untuk menghindari kewajiban.

Karena itu, aturan baru di bidang pajak dan cukai, menurutnya, perlu menjaga keseimbangan memperlebar basis dan menutup celah, tetapi tetap menjaga iklim usaha serta daya beli kelompok menengah.

PNBP, minerba, dan risiko rokok ilegal

Di luar pajak, penerimaan negara bukan pajak juga diproyeksikan meningkat. APBN Kita mencatat tambahan PNBP minerba seiring penyesuaian tarif lewat PP No. 19/2025. Kebijakan ini dipandang membantu fiskal, namun tetap membutuhkan konsistensi agar minat investasi, khususnya di hilirisasi, tidak tersendat.

Sementara pada sektor cukai, Josua menilai ancaman rokok ilegal perlu terus diwaspadai. Kebocoran dari peredaran produk tanpa pita cukai bukan hanya mengurangi penerimaan, tetapi juga mengacaukan tujuan kebijakan kesehatan.

“Operasi besar terhadap rokok ilegal menunjukkan bahwa penegakan hukum merupakan fondasi keberhasilan kebijakan cukai,” ujarnya. (alf)

KALEIDOSKOP IKPI 2025: Tahun Ketika Suara Profesi Mulai Didengar

Tahun 2025 datang tanpa banyak gemuruh. Namun bagi Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), tahun ini pelan-pelan berubah menjadi panggung penting: panggung untuk bersuara, memperjuangkan, dan membuktikan bahwa profesi konsultan pajak bukan sekadar pelengkap sistem perpajakan melainkan bagian inti yang perlu dihormati dan dilindungi.

Semua bermula dari kegelisahan sederhana: sebuah profesi besar, bergerak di sektor strategis, melayani jutaan wajib pajak, tetapi belum memiliki payung hukum setingkat undang-undang. Dari sinilah percakapan berkembang. Diskusi mengalir. Dokumen disusun. Argumen dirangkai.

IKPI kemudian melangkah ke berbagai ruang dialog untuk mendorong lahirnya Rancangan Undang-Undang Konsultan Pajak. Bukan untuk kepentingan segelintir orang, melainkan untuk memberi kepastian hukum, standar kompetensi yang jelas, dan perlindungan bagi masyarakat yang menggunakan jasa konsultan pajak. Saat gagasan ini disampaikan ke para pemangku kepentingan termasuk ke Komisi XI DPR sambutan yang datang tidak bernada penolakan. Justru sebaliknya: banyak pihak menilai sudah waktunya profesi ini berdiri di atas landasan hukum yang kuat.

Bertemu P2PK: Dari Diskusi Menjadi Solusi

Perjalanan tidak berhenti di sana. Di tengah upaya memperjuangkan regulasi, IKPI menyempatkan diri duduk bersama Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (P2PK). Bukan dengan nada menyalahkan, melainkan dengan semangat berdiskusi dan mencari jalan tengah.

Di ruang pertemuan itu, dibicarakan hal-hal yang mungkin tampak teknis, tetapi sesungguhnya menentukan masa depan profesi: mekanisme izin, tata kelola sertifikasi, penyelenggaraan ujian, hingga nasib para anggota yang terdampak kebijakan lama.

IKPI hadir dengan sikap yang tenang: mengkritisi bila perlu, namun tetap menawarkan solusi. Karena sejak awal, tujuan utamanya bukan memperpanjang masalah melainkan memastikan profesi ini tetap terjaga martabatnya.

PMK 111: Ketika Regulasi Menghancurkan Rekan Seprofesi

Lalu muncul satu isu yang menyentuh sisi kemanusiaan: kebijakan PMK 111. Bagi sebagian orang, regulasi hanyalah pasal dan angka. Namun bagi beberapa anggota, aturan itu berarti hilangnya kesempatan untuk berpraktik, hanya karena tidak sempat melakukan pendaftaran ulang.

Di sinilah IKPI berdiri paling depan. Organisasi ini mengetuk pintu, menjelaskan dampaknya, meminta kesempatan baru bagi mereka yang terhimpit situasi. Sebab, di balik satu izin yang hilang, ada keluarga, karyawan, reputasi, dan masa depan yang ikut terguncang.

Cuti Profesi: Bukan Privilege, Tetapi Penghargaan

Di tengah dinamika tersebut, IKPI juga mengajukan satu gagasan yang jarang dibahas: hak cuti bagi konsultan pajak. Sebuah pertanyaan mendasar diajukan: ketika seorang konsultan harus menjalankan tugas negara, memasuki jabatan publik, atau mengalami sakit berkepanjangan, apakah ia harus “menghilang” begitu saja dari profesi?

Usulan itu bukan soal privilese, tetapi bentuk penghargaan terhadap tugas, pengabdian, dan kemanusiaan. Dan gagasan itu diterima dengan cukup positif tanda bahwa perspektif profesi mulai benar-benar diperhatikan.

Kuasa Wajib Pajak: Profesional, Jelas, dan Bertanggung Jawab

Seiring waktu, pembahasan mengarah pada area yang jauh lebih sensitif: siapa yang sebenarnya boleh menjadi kuasa wajib pajak?

IKPI memandang perlu ada kejelasan. Bukan untuk membatasi orang lain, tetapi karena berbicara mengenai wajib pajak maka perlu pengaturan mengenai kompetensi. Dari sini muncul dorongan agar standar kompetensi diseragamkan baik bagi kuasa hukum di Pengadilan Pajak, konsultan pajak, maupun pihak lain yang mengaku mampu mewakili wajib pajak. Pada titik ini, dukungan dari berbagai pihak, termasuk KMA, menguatkan keyakinan bahwa sistem perpajakan membutuhkan pondasi profesionalisme yang sama-sama disepakati.

Suara yang Melangkah ke Meja Kebijakan

Di sisi lain, IKPI tidak hanya berbicara tentang urusan internal profesi. Pada beberapa kesempatan, organisasi ini juga menyampaikan catatan kepada pemerintah bahkan hingga tingkat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Ada usulan, ada masukan, dan ada pandangan yang dikirimkan agar kebijakan ekonomi dan perpajakan berjalan selaras dengan kondisi nyata di lapangan.

Tidak semuanya menjadi berita besar, tetapi perannya terasa. IKPI hadir sebagai mitra dialog, bukan sekadar pengkritik.

Menyentuh UMKM: Pajak yang Adil, Bukan Sekadar Seragam

Pada 2025, suara IKPI juga bergerak sedikit lebih jauh menyentuh kepentingan pelaku UMKM.

Dalam berbagai forum bersama otoritas pajak, IKPI menyampaikan pandangan bahwa rencana perpanjangan PPh Final UMKM penting, tetapi perlu dirancang lebih adil. UMKM tidak semuanya sama: industri memiliki risiko besar dan margin tipis, perdagangan memiliki dinamika tersendiri, sementara jasa sering menikmati margin yang lebih tinggi.

Karena itu, IKPI mendorong pendekatan yang lebih proporsional tarif yang disesuaikan dengan karakter usaha agar pelaku yang rentan tetap terlindungi, penerimaan negara tetap sehat, dan fasilitas pajak tidak disalahgunakan oleh mereka yang sebenarnya sudah “naik kelas”.

Melalui pandangan ini, IKPI menunjukkan bahwa suara organisasi bukan hanya berbicara tentang perlindungan profesi, tetapi juga tentang ekosistem perpajakan yang adil, rasional, dan manusiawi.

Tahun Ketika Suara Itu Mulai Didengar

Jika seluruh perjalanan ini disusun kembali seperti potongan kaca dalam kaleidoskop, akan tampak satu gambar utuh: gambar tentang organisasi yang pelan-pelan menemukan suaranya.

RUU diperjuangkan.

P2PK diajak berdialog.

Komisi XI didatangi.

PMK 111 : perjuangan bagi “para korban”.

Cuti profesi diusulkan.

Kuasa wajib pajak diperjelas.

Kompetensi diseragamkan.

UMKM diperjuangkan agar mendapat perlakuan pajak yang adil.

Pada akhirnya, 2025 bukan sekadar tahun penuh agenda. Ia adalah tahun ketika profesi ini memantapkan langkahnya perlahan, tenang, tetapi pasti menuju pengakuan yang lebih kuat dan peran yang lebih besar dalam sistem perpajakan nasional.

Dan mungkin, beberapa tahun ke depan, ketika kita menoleh kembali, kita akan mengingat 2025 sebagai titik awal: saat suara IKPI tidak hanya terdengar… tetapi mulai diperhitungkan.

Turki Siapkan Kenaikan Pajak Moderat demi Jaga Laju Disinflasi

IKPI, Jakarta: Pemerintah Turki tengah menyiapkan skema kenaikan pajak secara bertahap pada bahan bakar serta sejumlah barang dan jasa utama mulai 2026. Kebijakan ini dirancang sebagai bagian dari langkah fiskal untuk mendukung program disinflasi yang sedang ditempuh bank sentral.

Menurut sumber yang mengetahui pembahasan kebijakan tersebut, penyesuaian pajak akan diselaraskan dengan sasaran inflasi nasional sehingga tidak menimbulkan tekanan besar terhadap daya beli masyarakat. Pemerintah berharap pendekatan ini mampu menopang stabilitas harga sekaligus menjaga kesinambungan pemulihan ekonomi.

Penyesuaian Pajak Bahan Bakar Ikut Target Inflasi

Salah satu fokus kebijakan adalah penyesuaian tarif pajak atas bensin dan solar. Untuk 2026, kenaikan akan mengacu pada target inflasi bank sentral, yakni sekitar 16 persen pada akhir tahun.

Langkah ini berbeda dari mekanisme sebelumnya yang biasanya mengikuti perkembangan inflasi harga produsen selama enam bulan. Dengan formula baru, kenaikan pajak diperkirakan lebih rendah dibanding standar reguler sehingga dampaknya ke harga konsumen bisa ditekan.

Pendekatan serupa pernah diterapkan pada awal 2025, ketika pemerintah memilih menahan besaran kenaikan pajak bahan bakar guna meredam lonjakan harga. Komoditas energi sendiri menjadi komponen penting yang diawasi pasar karena pengaruhnya yang luas terhadap inflasi.

Mengutip pernyataan Menteri Keuangan dan Perbendaharaan Mehmet Simsek, berbagai tarif pajak dan biaya ke depan akan didasarkan pada inflasi yang ditargetkan, bukan pada tingkat penilaian ulang sebesar 25,5 persen. Kebijakan ini dinilai sejalan dengan strategi bank sentral untuk menurunkan tekanan harga secara bertahap.

Diperluas ke Sektor Energi dan Konsumsi

Rencana penyesuaian tidak hanya menyasar bahan bakar. Pemerintah juga menyiapkan kebijakan pada administered prices harga yang ditetapkan atau dipengaruhi otoritas mencakup produk tembakau, minuman beralkohol, serta sektor energi.

Langkah tersebut mencerminkan dukungan fiskal terhadap target inflasi 16 persen pada akhir 2026. Sejumlah analis memperkirakan inflasi konsumen Turki masih berada di kisaran 30 persen pada akhir tahun ini, sebelum berangsur melandai ke sekitar 25 persen dalam setahun berikutnya.

Dengan penyesuaian pajak yang lebih moderat, pemerintah berharap tekanan harga tambahan dapat dihindari. Hingga kini, pembahasan kebijakan masih berlangsung secara internal dan Kementerian Keuangan belum menyampaikan keterangan resmi.

Sinyal Positif ke Pasar

Rencana kenaikan pajak yang terkendali juga dinilai memberi sinyal positif ke pelaku pasar. Respons itu tercermin dari penguatan harga obligasi pemerintah berbasis lira setelah informasi kebijakan beredar, menandakan meningkatnya keyakinan terhadap koordinasi fiskal dan moneter.

Selama ini, pajak khusus konsumsi untuk bensin dan solar biasanya disesuaikan dua kali setahun mengikuti inflasi harga produsen kumulatif. Namun untuk 2026, pemerintah memilih kembali pada pendekatan yang lebih hati-hati seperti pada awal 2025 agar proses penurunan inflasi tetap terjaga tanpa memicu lonjakan biaya energi. (alf)

IKPI Pengda Jatim Dorong Budaya Menulis, Targetkan Rekor MURI melalui Karya Konsultan Pajak

IKPI, Jawa Timur: Pengurus Daerah IKPI Jawa Timur menggagas langkah unik dalam memperkuat peran konsultan pajak di ruang publik untuk membangun budaya menulis secara masif dan terstruktur. Inisiatif ini lahir dari kesadaran bahwa literasi perpajakan perlu disebarluaskan tidak hanya melalui seminar dan sosialisasi, tetapi juga lewat tulisan yang mudah dipahami masyarakat.

Ketua IKPI Pengda Jawa Timur, Zeti Arina, menilai bahwa konsultan pajak memiliki pengetahuan lapangan yang kaya mulai dari praktik kepatuhan, dinamika regulasi, hingga tantangan wajib pajak. Menurutnya, pengalaman tersebut akan memiliki dampak lebih besar bila dituangkan dalam bentuk artikel, opini, dan karya ilmiah populer yang bisa diakses publik.

Gagasan ini tidak berhenti pada tataran wacana. Pengda Jatim mendorong kegiatan menulis bersama lintas cabang Malang, Sidoarjo, dan Surabaya sebagai program berkelanjutan. Melalui agenda tersebut, konsultan pajak diharapkan terbiasa menyusun ide, mendokumentasikan pengalaman, dan membagikan insight secara sistematis.

Lebih jauh, Zeti mengusulkan agar gerakan menulis ini dapat melibatkan konsultan pajak dari seluruh Indonesia. Bila gerakan tersebut berkembang konsisten dan menghasilkan karya dalam jumlah signifikan, Pengda Jatim membuka peluang untuk mengajukannya sebagai rekor Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI).

Bagi IKPI, rekor bukan sekadar prestise. Zeti menegaskan, tujuan utamanya adalah memperluas edukasi pajak kepada masyarakat. Dengan semakin banyak tulisan yang beredar, literasi perpajakan diyakini akan meningkat, sehingga kepatuhan pajak tumbuh berdasarkan pemahaman, bukan semata karena kewajiban administratif.

Program menulis ini juga diharapkan menjadi sarana mempererat keakraban antar-anggota. Diskusi ide, penyuntingan bersama, hingga penerbitan karya kolektif akan mendorong kolaborasi lintas cabang. Bagi anggota muda, kegiatan ini dapat menjadi ruang belajar sekaligus panggung untuk menunjukkan kemampuan.

Selain itu, budaya menulis dinilai strategis dalam mendukung profesionalisme konsultan pajak. Dengan membiasakan diri menelaah aturan, menuliskannya kembali, dan menjelaskan dengan bahasa sederhana, kompetensi analitik anggota otomatis meningkat. Inilah yang membuat program menulis diposisikan setara pentingnya dengan Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) dan edukasi teknis lainnya.

Ke depan, Pengda Jatim akan merancang format pelaksanaan mulai dari tema tulisan, mekanisme kurasi, hingga opsi penerbitan dalam bentuk buku atau kompilasi digital. Zeti optimistis, bila dikerjakan konsisten dan melibatkan semangat kebersamaan, gerakan menulis ini bukan hanya memecahkan rekor, tetapi juga meninggalkan jejak kontribusi nyata IKPI bagi pendidikan perpajakan nasional. (bl)

IKPI Pengda Jawa Timur Mantapkan Konsolidasi, Siapkan Sinergi Pajak dan Pemberdayaan Anggota

IKPI, Jawa Timur: Pengurus Daerah Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Jawa Timur menegaskan komitmennya memperkuat konsolidasi organisasi dan memperluas peran strategis profesi konsultan pajak di tengah dinamika regulasi dan digitalisasi perpajakan. Hal itu mengemuka dalam Rapat Koordinasi Daerah (Rakorda) Pengda Jatim bersama tiga cabang—Malang, Sidoarjo, dan Surabaya, yang digelar di Surabaya, baru baru ini.

Ketua Pengda IKPI Jawa Timur, Zeti Arina, menekankan bahwa keberhasilan program kerja   dapat dicapai melalui kolaborasi yang solid semua pihak juga antar-cabang

“Konsepnya saling support. Jadwal PPL disepakati bersama supaya anggota tiap cabang bisa saling menguatkan. Kita harus berpikir untuk kemajuan IKPI, bukan ego pengurus,” ujarnya.

Untuk memperlancar koordinasi, Pengda membentuk grup pengurus inti agar komunikasi dan pelaksanaan program bisa berjalan lebih cepat dan efektif.

(Foto: DOK. IKPI Pengda Jawa Timur)

Tiga Prioritas Besar Pengda Jatim

Rakorda menyepakati tiga prioritas utama yang akan dikejar tahun mendatang:

1. Pemberdayaan anggota agar semakin kompeten dan adaptif.

2. Penguatan peran IKPI di masyarakat, khususnya edukasi pajak.

3. Peningkatan posisi IKPI sebagai mitra strategis DJP, terutama dalam mendukung kepatuhan pajak.

Zeti menegaskan, keberadaan konsultan pajak tidak hanya membantu wajib pajak, tetapi juga menjadi mitra pemerintah dalam memperluas basis pajak sekaligus menjaga kepastian hukum.

Lebih lanjut Zeti mengungkapkan, menjawab perkembangan aturan dan migrasi sistem DJP menuju coretax, Rakorda menyiapkan langkah peningkatan kompetensi.

IKPI Jatim akan mendorong Program Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) dengan topik regulasi terkini, sekaligus penguatan literasi teknologi.

“Topiknya harus up to date, termasuk pemanfaatan AI untuk membantu tugas konsultan lebih cepat dan akurat,” jelas Zeti.

Tantangan terbesar yang dihadapi cabang mulai dari perubahan aturan hingga adaptasi sistem dianggap sebagai momentum memperkuat kapasitas anggota.

Mantan Ketua IKPI Cabang Surabaya dua periode ini juga mengungkapkan bahwa Pengda bersama tiga cabang telah melakukan roadshow ke tiga Kanwil DJP di Jawa Timur.

Zeti menegaskan bahwa IKPI Jatim siap berkolaborasi dalam sosialisasi pajak, terutama menjelang pelaporan SPT, serta bekerja sama dengan asosiasi usaha, UMKM, dan berbagai komunitas wajib pajak.

“Bila diperlukan, IKPI siap terjun langsung memberikan edukasi,” tegasnya. (bl)

Pidana Penjara atau Kerja Sosial Bagi Pelanggaran Tindak Pidana Perpajakan

Menjelang tahun 2026  yang tinggal beberapa hari lagi akan tiba dan akan berlaku penuh Undang Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang telah diundangkan sejak 2 Januari 2023, khususnya Sanksi pidana Kerja Sosial bagi tindak Pidana berupa pelanggaran yang diancam dengan penjara yang singkat.

Dalam UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 7 Tahun 2021 (UU HPP), ketentuan pidana diatur dalam Bab IX, mulai dari Pasal 38 sampai Pasal 43.

Secara garis besar, tindak pidana perpajakan dibagi menjadi dua kelompok utama yang diakibatkan  karena kealpaan (kelalaian) dan karena kesengajaan. Berikut adalah rincian pasal-pasal tindak pidana tersebut:

1. Pelanggaran Karena Kealpaan (Kelalaian)

Pasal 38 Mengatur sanksi bagi Wajib Pajak yang karena kealpaannya: Tidak menyampaikan SPT; atau

Menyampaikan SPT, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar di  denda paling sedikit 1 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 kali, atau pidana kurungan paling singkat 3 bulan hingga 1 tahun.

2. Pelanggaran Karena Kesengajaan (Kejahatan)

Pasal 39 Ini adalah pasal “paling berat” yang mengatur kesengajaan untuk menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, seperti: Tidak mendaftarkan diri untuk NPWP/PKP, Menyalahgunakan NPWP/PKP, Tidak menyampaikan SPT, Menyampaikan SPT yang isinya tidak benar/tidak lengkap, Menolak untuk dilakukan pemeriksaan, Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut diPidana penjara 6 bulan hingga 6 tahun dan denda 2 kali hingga 4 kali jumlah pajak terutang.

Pasal 39A Setiap orang yang dengan sengaja: Menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). dipidana penjara 2 tahun hingga 6 tahun serta denda 2 kali hingga 6 kali jumlah pajak dalam faktur.

Ketentuan pidana dalam Pasal 39 dan Pasal 39A berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan (doen plegen), yang turut serta melakukan (medeplegen), yang menganjurkan (uitlokken), atau yang membantu (medeplichtige) melakukan tindak pidana perpajakan. (sebagaimana diatur pada pasal 43 KUP)

Jika dikaitkan dengan tindak pidana pasal 38 KUP yang karena kealpaan maka pidana karena adanya pelanggaran (sehingga dapat dikenakan pidana kurungan) , bukan karena kejahatan, sementara pasal 39 dan 39a merupakan kategori kejahatan sehingga diancam dengan pidana Penjara.

Dalam hukum Indonesia (KUHP), dikenal dengan adanya pidana penjara dan pidana kurungan yang memiliki perbedaan yang cukup mendasar. Berikut adalah poin-poin perbedaannya:

1. Berat Ringannya Tindak Pidana

Pidana Penjara: Dikenakan untuk pelaku kejahatan (tindak pidana yang lebih berat), seperti pencurian, pembunuhan, atau korupsi.

Pidana Kurungan: Dikenakan untuk pelaku pelanggaran (tindak pidana yang lebih ringan) atau sebagai akibat dari kealpaan (kurang hati-hati).

2. Durasi Hukuman

Pidana Penjara: Bisa bersifat seumur hidup atau selama waktu tertentu (minimal 1 hari, maksimal 15 tahun berturut-turut, atau 20 tahun dalam kondisi tertentu).

Pidana Kurungan: Jauh lebih singkat. Minimal 1 hari dan maksimal 1 tahun (bisa menjadi 1 tahun 4 bulan jika ada pemberatan hukuman).

3. Hak dan Fasilitas Terpidana

Ini adalah bagian yang paling membedakan perlakuan terhadap narapidana:

Pemindahan Tempat: Terpidana penjara bisa dipindahkan ke lapas mana saja tanpa perlu izin yang bersangkutan. Sebaliknya, terpidana kurungan tidak boleh dipindahkan ke daerah lain tanpa persetujuannya (Pasal 21 KUHP).

Pekerjaan: Keduanya wajib bekerja, namun pekerjaan untuk terpidana kurungan biasanya lebih ringan.

Fasilitas Mandiri: Terpidana kurungan diperbolehkan membawa peralatan sendiri (seperti tempat tidur atau makanan) atas biaya sendiri untuk meringankan nasibnya, sesuai aturan yang berlaku (Pasal 23 KUHP).

4. Pengganti Pidana Denda

Pidana Kurungan: Sering kali menjadi alternatif atau pengganti jika seseorang tidak mampu membayar denda yang dijatuhkan hakim.

Pidana Penjara: Tidak bisa dijadikan sebagai pengganti denda.

Namun dalam KUHP Nasional yang baru (UU No. 1 Tahun 2023) yang akan berlaku penuh pada tahun 2026, perbedaan pidana kurungan dan penjara ini mulai disederhanakan dan pidana kurungan tidak lagi berdiri sendiri sebagai pidana pokok utama seperti di KUHP lama.

Perbandingan Sistem Pidana: KUHP Lama vs. KUHP Baru (yang akan berlaku 2 Januari 2026)

Dalam KUHP Nasional (UU No. 1 Tahun 2023) yang akan mulai berlaku penuh pada Januari 2026, Indonesia melakukan reformasi besar-besaran terhadap jenis-jenis hukuman. Maksud dari pidana kurungan “tidak lagi berdiri sendiri sebagai pidana pokok utama” adalah sebagai berikut:

1. Penghapusan Diferensiasi Tajam

Dalam KUHP lama (warisan Belanda), kejahatan dan pelanggaran dipisahkan secara kaku. Penjara untuk kejahatan, kurungan untuk pelanggaran. Di KUHP baru, pemisahan antara “Kejahatan” dan “Pelanggaran” dihapus. Semuanya disebut sebagai Tindak Pidana.

2. Kurungan Menjadi Bagian dari Penjara

Dalam Pasal 65 KUHP baru, pidana pokok terdiri dari:  1.)Penjara ;2.)Tutupan; 3.) Pengawasan; 4.) Denda, 5.) Kerja Sosial

Pidana Kurungan kini “melebur” ke dalam kategori pidana penjara untuk jangka waktu singkat, atau digantikan dengan jenis pidana baru seperti Pidana Pengawasan atau Pidana Kerja Sosial.

Pemerintah dan DPR mengubah ini karena beberapa alasan filosofis:

Efektivitas: Pidana kurungan yang singkat (misal hanya 1 bulan) dianggap tidak efektif untuk membina pelaku, malah seringkali membuat mereka “belajar” dari narapidana yang lebih berat di dalam lapas.

Restorative Justice: Untuk tindak pidana ringan yang dulu diancam pidana kurungan, KUHP baru lebih mengutamakan Pidana Kerja Sosial (seperti membersihkan tempat umum) atau Pidana Pengawasan (tidak dipenjara tapi dipantau jaksa).

Mengurangi Overkapasitas: Dengan mengganti kurungan menjadi kerja sosial atau denda, beban penjara yang sudah terlalu penuh (overcapacity) diharapkan bisa berkurang.

Selanjutnya bagaimana dengan denda ?, jika dulu orang yang tidak bisa bayar denda langsung dihukum kurungan, di KUHP baru ada urutan yang lebih ketat:

Penyitaan harta benda untuk membayar denda.

Jika harta tidak cukup, diganti dengan Pidana Kerja Sosial.

Jika kerja sosial tidak memungkinkan, barulah diganti dengan Pidana Penjara (sebagai upaya terakhir).

Sehingga mulai tahun 2026, sanksi bagi Wajib Pajak yang karena kealpaannya: Tidak menyampaikan SPT… sebagaimana diatur pasal 38 KUP  sanksinya di  denda paling sedikit 1 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 kali, atau pidana penjara paling singkat 3 bulan hingga 1 tahun atau kerja sosial.

Singkatnya: Di tahun 2026, Anda tidak akan lagi mendengar hakim menjatuhkan “Pidana Kurungan 3 bulan”, melainkan mungkin “Pidana Kerja Sosial” atau “Pidana Penjara” dengan durasi yang disesuaikan.

Namun dalam Praktik penegakan hukum, otoritas pajak jarang sekali menerapkan sanksi sebagaimana diatur dalam pasal 38 KUP , namun lebih mengedepankan menghitung berapa kewajiban pajak terutang disertai dengan sanksi denda dan atau/bunga. Kebijakan pemerintah dapat dipahami karena fokus hukum kita bukan lagi sekadar “mengurung orang dalam sel”, tapi lebih ke “memperbaiki perilaku” wajib pajak untuk patuh.

Pidana Kerja Sosial Ini adalah “wajah baru” untuk menggantikan kurungan singkat. Pelaku tindak pidana yang ancaman penjaranya di bawah 5 tahun bisa dijatuhi sanksi membantu di panti asuhan, membersihkan fasilitas umum, atau tugas sosial lainnya tanpa dibayar.

Pidana Pengawasan: Pelaku tidak masuk penjara, tapi tetap dalam pengawasan Jaksa dan harus memenuhi syarat tertentu (misalnya wajib lapor atau tidak boleh ke tempat tertentu). Ini jauh lebih manusiawi daripada kurungan untuk kasus-kasus pelangaran (bukan kejahatan)

Filosofi “Penjara sebagai Jalan Terakhir” (Ultimum Remedium): Di KUHP baru, hakim sebisa mungkin menghindari menjatuhkan vonis penjara jika tindak pidananya ringan karena kealpaan, bertujuan agar Lapas tidak semakin sesak oleh pelanggar aturan kecil dan tentunya membantu mengurangi tahanan Lapas yang telah kelebihan kapasitas (over capacity).

Penulis adalah Ketua Departtemen FGD, IKPI

Suwardi Hasan, S.Kom., S.H., S.E., M.Ak., Ak., CA

Email: mailto:suwardih@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Airlangga Pastikan Produk Tekstil Tak Masuk Daftar Bebas Tarif AS

IKPI, Jakarta: Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan produk tekstil Indonesia tidak akan memperoleh fasilitas bebas tarif dalam skema kerja sama perdagangan dengan Amerika Serikat. Pemerintah, kata dia, hanya mengusulkan komoditas tertentu untuk dibebaskan dari bea masuk yang saat ini mencapai sekitar 19 persen.

Airlangga menjelaskan, komoditas yang diprioritaskan dalam negosiasi bukan berasal dari sektor manufaktur. “Yang difokuskan adalah produk berbasis sumber daya alam. Untuk manufaktur, dalam tanda petik, tidak termasuk,” ujar Airlangga di Jakarta, Jumat (26/12/2025).

Ia menuturkan, sebagian daftar komoditas yang mendapat keringanan tarif telah pernah tercantum dalam executive order pemerintah AS. Namun untuk Indonesia, terdapat tambahan komoditas yang dinilai strategis dan berpotensi memperkuat ekspor nasional.

Kelapa sawit menjadi salah satu produk yang diusulkan, disusul komoditas pertanian lain seperti kopi, teh, dan kakao. Pemerintah menilai komoditas tersebut memiliki rantai nilai kuat dan kontribusi signifikan terhadap devisa.

Dalam proses perundingan, pihak AS juga menyampaikan minat untuk memperoleh akses terhadap mineral kritis Indonesia. Airlangga menyebut sudah ada komunikasi antara pihak Indonesia dengan lembaga ekspor dan perusahaan AS yang bergerak di sektor mineral. “Pembicaraan sudah berlangsung, dan pemerintah menyiapkan mekanisme sesuai kebijakan yang ada,” katanya.

Akses mineral itu dipandang sebagai bagian dari tawar-menawar dalam memperdalam kerja sama, sekaligus menjaga kepastian pasokan bahan baku strategis bagi industri di kedua negara.

Pemerintah menargetkan dokumen Agreement on Reciprocal Tariff (ART) dapat ditandatangani Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Donald Trump pada akhir Januari 2026. Airlangga menyampaikan, pada prinsipnya kedua pihak sudah menyepakati substansi utama kesepakatan tersebut.

Dengan terealisasinya ART, pemerintah berharap daya saing ekspor Indonesia ke pasar Amerika Serikat meningkat, meski produk tekstil tidak termasuk dalam daftar komoditas bebas tarif. (alf)

Beban Bunga Utang Membengkak, Indef Sebut Ruang Fiskal Pemerintah Makin Terhimpit

IKPI, Jakarta: Beban bunga utang pemerintah kembali menjadi sorotan. Porsinya yang kian besar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dinilai berpotensi mempersempit ruang fiskal Indonesia dalam jangka panjang.

Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, M. Rizal Taufikurahman, menilai tren tersebut mengkhawatirkan karena pembayaran bunga kini menyerap bagian signifikan dari pendapatan negara.

Dalam APBN 2025, alokasi pembayaran bunga utang tercatat telah menembus Rp 500 triliun. Nilai itu mendekati 20 persen dari total belanja pemerintah pusat dan sekitar 15 persen dari penerimaan negara.

“Ini menunjukkan bahwa porsi ruang fiskal semakin banyak dialokasikan untuk membayar kewajiban masa lalu, bukan untuk belanja yang mendorong produktivitas seperti pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur,” ujar Rizal, Sabtu (27/12/2025).

Menurutnya, kondisi tersebut menandakan rigiditas anggaran makin tinggi, sementara kualitas belanja negara justru tergerus. Dari sisi ekonomi politik fiskal, situasi ini berisiko karena mengurangi kemampuan pemerintah merespons kebutuhan pembangunan dan gejolak ekonomi.

Rizal menekankan perlunya strategi komprehensif untuk menekan ketergantungan pada utang berbunga tinggi. Langkah pertama, kata dia, adalah memperkuat penerimaan negara secara berkelanjutan, terutama dari sektor perpajakan bukan hanya melalui intensifikasi sesaat, melainkan lewat reformasi basis pajak dan peningkatan kepatuhan.

Di sisi lain, pemerintah juga dinilai perlu mengoptimalkan manajemen utang. Ini mencakup memperpanjang tenor, menurunkan risiko pembiayaan kembali (refinancing), dan memperbesar porsi pembiayaan berbiaya lebih murah, sehingga tekanan bunga dapat menurun pada tahun-tahun berikutnya.

Tidak kalah penting, sambung Rizal, setiap penambahan utang harus dibarengi perbaikan kualitas belanja. “Utang seyogianya menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan biaya bunganya. Jika tidak, beban bunga bisa menjadi jebakan fiskal yang menghambat pembangunan jangka panjang,” tegasnya.

Pandangan serupa juga disampaikan Bank Dunia. Dalam laporan “Fondasi Digital untuk Pertumbuhan” edisi Desember 2025, lembaga tersebut mencatat bahwa pembayaran bunga masih menyerap porsi besar dari pendapatan pemerintah, meskipun biaya pinjaman secara umum berhasil ditekan. Hingga Oktober 2025, rasio pembayaran bunga terhadap pendapatan mencapai 20,5 persen.

Tekanan fiskal turut tercermin dari pelebaran defisit anggaran. Bank Dunia mencatat, defisit meningkat dari 1,4 persen terhadap PDB pada Oktober 2024 menjadi 2,0 persen terhadap PDB pada Oktober 2025.

Di tengah dinamika tersebut, para ekonom mengingatkan perlunya kombinasi kebijakan fiskal yang hati-hati, disiplin, dan konsisten agar beban bunga tidak berubah menjadi rem bagi agenda pembangunan nasional. (alf)

Realisasi Pajak di Ternate Tembus 100,76%, Wali Kota Sampaikan Apresiasi

IKPI, Jakarta: Realisasi pajak daerah Kota Ternate sepanjang 2025 berhasil menembus target. Berdasarkan data Badan Pengelolaan Pajak dan Retribusi Daerah (BPPRD), capaian penerimaan mencapai 100,76 persen, atau senilai Rp100.530.667.129. Angka itu melampaui target yang ditetapkan sebesar Rp99,768 miliar.

Wali Kota Ternate, Dr. H. M. Tauhid Soleman, menyampaikan apresiasi kepada masyarakat dan pelaku usaha yang telah disiplin menunaikan kewajiban perpajakan. Menurutnya, kepatuhan wajib pajak menjadi fondasi penting bagi kekuatan fiskal daerah.

“Terima kasih kepada seluruh wajib pajak yang telah berkontribusi. Capaian ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat semakin baik,” ujar Tauhid baru baru ini. 

Ia menjelaskan, berbagai jenis pungutan daerah mulai dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), reklame, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), hingga pajak jasa perhotelan, makanan dan minuman, parkir, hiburan, serta penerangan jalan secara umum mencatat kinerja positif dan mendukung tercapainya target.

Tauhid menegaskan, sebagai kota yang tidak memiliki sektor pertambangan, Ternate mengandalkan aktivitas perdagangan dan jasa. Karena itu, penerimaan dari pajak daerah memiliki peran strategis untuk membiayai pembangunan.

“Dana yang dihimpun kembali ke masyarakat dalam bentuk perbaikan infrastruktur, peningkatan layanan publik, pendidikan, kesehatan, dan program sosial,” tuturnya.

Wali kota dua periode itu berharap kemitraan antara pemerintah dan para wajib pajak dapat terus terjaga. Dengan penerimaan yang semakin kuat, program pembangunan diharapkan berjalan lebih optimal dan merata.

Di tengah capaian positif tersebut, Tauhid juga mengingatkan adanya tantangan pada 2026, ketika pemerintah daerah harus menghadapi potensi pengurangan dana transfer dari pusat. Kondisi ini mendorong Pemkot Ternate untuk semakin serius mengoptimalkan pajak daerah dan sumber-sumber pendapatan lain yang sah.

“Kita akan bekerja lebih kreatif agar penerimaan daerah tetap terjaga, terutama dari sektor perdagangan dan jasa,” pungkasnya. (alf)

Jelang Natal Nasional IKPI 2025, Santunan Rp10 Juta Disalurkan ke Panti Jompo Karya Kasih

IKPI, Jakarta: Menjelang Perayaan Natal Nasional Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) 2025, organisasi konsultan pajak terbesar dan tertua di Indonesia, melalui Panitia Natal Nasional IKPI 2025 menyalurkan santunan ke Panti Jompo Karya Kasih di kawasan Kwitang, Jakarta Pusat, Sabtu (27/12/2025).

Bantuan senilai Rp10 juta diberikan sebagai dukungan bagi kebutuhan operasional dan perawatan para lansia yang tinggal di panti tersebut.

(Foto: DOK. Panitia Natal Nasional IKPI 2025)

Karena lokasi kegiatan berada di Jakarta Pusat, sejumlah pengurus dan anggota dari cabang setempat turut hadir dan membantu pelaksanaan. Mereka antara lain Suryani (Ketua Cabang Jakarta Pusat), Osti (Bendahara Panitia Natal 2025), Dian (anggota Jakarta Pusat), Edwin (Humas Jakarta Pusat), Santoso (Sekretaris Jakarta Pusat), Tara (Keanggotaan Jakarta Pusat), Karina (anggota Jakarta Pusat), serta Yohanes (pengurus pusat).

Penyerahan dilakukan secara sederhana, diikuti perbincangan mengenai kebutuhan-kebutuhan prioritas yang selama ini dihadapi pengelola panti.

Suryani menyampaikan bahwa kegiatan ini menjadi bagian dari rangkaian menyambut perayaan Natal nasional.

(Foto: DOK. Panitia Natal Nasional IKPI 2025)

“Kami ingin memulai Natal dengan kepedulian yang nyata. Kehadiran kami di sini untuk memastikan para lansia merasa diperhatikan dan tidak sendirian,” ujar Suryani.

Ia menambahkan bahwa dukungan sosial seperti ini diharapkan bisa berjalan berkesinambungan.

“Bukan semata bantuan dana, tetapi bagaimana kebersamaan memberi kekuatan bagi mereka yang membutuhkannya,” katanya.

(Foto: DOK. Panitia Natal Nasional IKPI 2025)

Pengelola Panti Jompo Karya Kasih menyampaikan apresiasi atas perhatian yang diberikan. Santunan akan digunakan untuk menunjang kebutuhan sehari-hari serta perawatan penghuni panti.

Melalui kegiatan ini, IKPI menegaskan bahwa semangat Natal dimulai dari tindakan kecil yang membawa manfaat langsung bagi sesama. (bl)

en_US