Hadiri Promosi Gelar Doktor Penyuluh Madya DJP, IKPI Berikan Apresiasi

IKPI, Jakarta: Ketua Departemen Humas, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Jemmi Sutiono mewakili Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld, menghadiri acara promosi gelar doktor yang didapatkan oleh penyuluh madya dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di Kampus Universitas Trisakti, Jakarta, pada Selasa (12/11/2024).

Acara tersebut merupakan bagian dari upacara akademik (Sidang Terbuka) untuk mengakui pencapaian Eko Ariyanto, yang berhasil menyelesaikan studi doktoralnya pada konsentrasi kebijakan publik, dengan disertasi yang berjudul “Analisis Dampak Kebijakan Pembebasan Pajak Penghasilan dan Dividen terhadap Investasi Korporasi (Studi Kasus Perusahaan Terbuka di Indonesia).”

(Foto: Istimewa)

 

Menanggapi disertasi tersebut, sebagai konsultan pajak profesional yang juga merupakan jajaran pengurus pusat IKPI, Jemmi mengatakan bahwa judul penelitian dalam disertasi ini sangat menarik pasca undang-undang cipta kerja berlaku, karena mengangkat topik yang sangat relevan bagi dunia perpajakan dan ekonomi di Indonesia, khususnya terkait dengan kebijakan perpajakan yang dapat mempengaruhi iklim investasi korporasi di tanah air.

Hal itu merujuk melalui studi kasus pada perusahaan-perusahaan terbuka di Indonesia. Jemmi melihat, sebagai pegawai DJP, Eko Ariyanto meneliti dan menganalisis dengan mendalam pada sejauh-mana kebijakan pembebasan pajak penghasilan atas dividen dapat mendorong atau menghambat investasi, baik di sektor domestik maupun global.

Menurutnya, pencapaian Eko dalam meraih gelar doktor ini dengan didampingi oleh tim promotor dan co-promotor yang terdiri dari para akademisi dan pakar dibidang perpajakan. Prof. Muhammad Zilal Hamzah, Ph.D., bertindak sebagai promotor utama, sementara Prof. Dr. Eleonora Sofilda, M.Si dan Dr. Dra. Haiyani Rumondang, MA, menjabat sebagai co-promotor pertama dan kedua. Para promotor tersebut memberikan bimbingan dan arahan yang sangat berharga dalam proses penelitian hingga mencapai tahap disertasi.

(Foto: Istimewa)

Lebih lanjut ia mengatakan, kebijakan pajak yang berpihak pada pengurangan beban pajak, seperti pembebasan pajak penghasilan atas dividen, menjadi topik yang terus berkembang seiring dengan dinamika ekonomi global dan nasional. Dalam disertasinya, Eko terlihat menyajikan temuan-temuan yang memberikan wawasan baru tentang bagaimana kebijakan pajak dapat dirancang untuk mendorong perusahaan-perusahaan terbuka untuk melakukan reinvestasi, yang pada akhirnya dapat meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia.

IKPI Menyambut Baik Inisiatif Akademik dalam Dunia Pajak

Keberhasilan Eko meraih gelar doktor ini juga mendapat sambutan positif dari IKPI, yang berkomitmen untuk mendukung pengembangan pengetahuan dan profesionalisme dibidang perpajakan.

Jemmi Sutiono, selaku Ketua Departemen Humas IKPI, menyatakan bahwa kegiatan ini adalah bagian dari upaya IKPI untuk terus mengedepankan kontribusi yang nyata bagi perkembangan kebijakan perpajakan di Indonesia melalui jalur akademik dan penelitian.

(Foto: Istimewa)

“Sebagai bagian dari komunitas pajak, kami bangga dapat mendukung para profesional dan akademisi yang berkontribusi pada penelitian yang penting seperti ini. Penelitian semacam ini memiliki potensi untuk memperkaya kebijakan perpajakan di Indonesia dan memberikan solusi yang relevan bagi dunia usaha,” ujar Jemmi di Jakarta, Rabu (13/11/2024).

Jemmi berharap, pencapaian Eko tidak hanya menjadi kebanggaan bagi dunia akademik, tetapi juga memberikan dampak positif terhadap pemikiran dalam proses penyusunan kebijakan publik khususnya sektor perpajakan yang lebih efisien dan mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan semakin banyaknya penelitian terkait pajak, diharapkan dapat tercipta kebijakan publik yang lebih adaptif, responsif, dan implementatif terhadap kebutuhan pasar dan investasi, sehingga dapat mempercepat pemulihan ekonomi pasca-pandemi dan menciptakan iklim bisnis yang lebih kondusif.

Dengan hadirnya para pegawai pajak dan profesional perpajakan yang berkompeten, harapannya bisa untuk menciptakan kebijakan yang lebih inklusif dan inovatif di Indonesia semakin besar.

“Tentu IKPI pun berharap agar penelitian semacam ini dapat terus berkembang dan memberikan manfaat yang lebih luas bagi masyarakat dan dunia usaha Indonesia,” kata Jemmi. (bl)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

IKPI Bentuk Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum di Seluruh Pengda 

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) segera membentuk Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum. Divisi ini nantinya akan menempel dengan 13 Pengurus Daerah IKPI di seluruh Indonesia.

Ketua Departemen Advokasi dan Bantuan Hukum, IKPI Andreas Budiman mengatakan, keputusan pembentukan tersebut berdasarkan hasil Rapat Pleno Pengurus Pusat dan Pengawas di Kantor Sekretariat Pusat IKPI pada Selasa 12 November 2024 yang dipimpin langsung oleh Ketua Umum Vaudy Starworld dan dihadiri oleh jajaran pengurus harian lainnya.

“Sekarang, Ketua Pengda sudah terpilih, para pengurus pusat berharap dengan terpilihnya ke 13 ketua ini roda organisasi di daerah dapat berjalan lebih dinamis dan efektif,” kata Andreas, di lokasi acara, Selasa (12/11/2024)

Ditegaskannya, sesuai dengan arahan dari Ketua Umum Vaudy Starworld, nantinya di setiap Pengda akan ada satu orang yang diangkat untuk mengisi posisi di divisi tersebut. Ia mengungkapkan, bahwa calon untuk posisi ini harus memiliki latar belakang sebagai advokat. Hal ini penting agar mereka memiliki kompetensi dan kapasitas dalam memberikan bantuan hukum serta melakukan advokasi yang tepat bagi anggota di wilayah masing-masing.

Andreas menambahkan, bahwa divisi ini nantinya akan berada di bawah supervisi langsung dari Departemen Advokasi dan Bantuan Hukum yang akan memastikan kualitas dan efektivitas sosialisasi terkait pencegahan masalah hukum.

Harapan besar dari pembentukan divisi ini adalah agar anggota IKPI di seluruh Indonesia akan mendapatkan perlindungan hukum yang lebih baik, serta memahami lebih dalam tentang langkah-langkah pencegahan yang perlu dilakukan untuk menghindari masalah hukum.

“Selama lima tahun kedepan, kami menargetkan tidak ada kasus hukum yang terjadi di antara anggota kami. Ini adalah komitmen kami untuk menciptakan lingkungan yang kondusif dan aman bagi seluruh anggota IKPI,” ujar Andreas.

Menurutnya, sosialisasi dan penguatan fungsi advokasi serta bantuan hukum di tingkat daerah akan sangat membantu dalam meminimalisir risiko hukum yang bisa saja terjadi di masa depan.

Dengan adanya penguatan organisasi dan pembentukan divisi khusus ini, diharapkan seluruh anggota IKPI di Indonesia dapat lebih mudah mengakses bantuan hukum, serta lebih memahami hak dan kewajiban mereka dalam konteks profesionalisme sebagai konsultan pajak. Hal ini sejalan dengan visi besar organisasi untuk membangun iklim profesionalisme yang kuat di dunia konsultan pajak, yang tidak hanya berbasis pada pengetahuan teknis, tetapi juga pada kepatuhan hukum yang tinggi.

Para pengurus pusat juga menyatakan bahwa selain pembentukan divisi advokasi, mereka akan terus memperkuat jaringan komunikasi antara cabang, daerah, dan pengurus pusat untuk memastikan bahwa seluruh kebijakan yang diambil dapat diterima dengan baik oleh seluruh lapisan anggota.

Dengan agenda yang jelas dan komitmen yang kuat dari pengurus pusat, diharapkan organisasi ini semakin berkembang dan mampu memberikan kontribusi positif dan kuat yang lebih besar bagi dunia konsultan pajak di Indonesia, serta memberikan perlindungan hukum yang lebih baik kepada anggotanya.(bl)

Rapat Pleno IKPI Sahkan Pembentukan Satu Pengda dan Dua Cabang Baru di Indonesia

IKPI, Jakarta: Dalam rapat pleno yang digelar Selasa 12 November 2024 di Kantor Sekretariat Pusat Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld mengesahkan adanya pembentukan satu Pengda dan dua Pengurus Cabang baru di seluruh Indonesia. Keputusan itu diambil setelah mendengarkan pertimbangan dan masukan dari Pengawas dan sejumlah Pengurus Pusat IKPI yang hadir pada rapat tersebut.

Rapat pleno tersebut memutuskan mengesahkan berdirinya pengurus daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta dan langsung dibuatkan surat keputusan, sedangkan khusus untuk pembentukan cabang baru Buleleng dan Bitung akan diterbitkan surat keputusan setelah Pengurus Pusat meninjau lokasi calon cabang tersebut. Peninjauan calon cabang sekaligus untuk berdiskusi dengan anggota IKPI yang ada di wilayah tersebut serta memastikan kelayakan pendirian cabang.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Vaudy menyampaikan, pada kesempatan ini, pembahasan difokuskan pada tiga permohonan utama. Pertama, permohonan pembentukan Pengurus Daerah (Pengda) di Daerah Istimewa Yogyakarta yang telah diajukan beberapa waktu lalu dan baru saat ini mendapat perhatian serius.

Kedua, permohonan pembentukan cabang baru di Bitung, Sulawesi Utara, yang terletak di dekat Manado. Ketiga, permintaan dari cabang Buleleng, Bali, yang juga telah disampaikan pada 5 November lalu.

“Namun, ada juga surat permohonan dari anggota IKPI yang berdomisili Kabupaten Bekasi dan sekitarnya untuk membentuk cabang baru dimana surat permohonan tersebut baru diterima kemarin sehingga belum dibahas dalam rapat kali ini, tetap pasti akan dibahas pada kesempatan selanjutnya setelah surat tersebut diverifikasi dan mengikuti tahapan sebagaimana diatur pada Anggaran Rumah Tangga IKPI,” ujar Vaudy di lokasi acara.

Dalam rapat pleno ini, juga dibahas tentang tahapan-tahapan prosedural dalam pembentukan pengurus cabang dan pengurus daerah, yang sesuai dengan ketentuan dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga organisasi. Salah satunya adalah penyusunan rapat pleno yang melibatkan pengurus pusat dan pengawas, serta keputusan yang diambil melalui musyawarah mufakat.

Ia menjelaskan pentingnya pembentukan cabang baru untuk memperluas jaringan organisasi, serta menyatakan harapan agar dalam waktu dekat, pengurus pusat dapat menerima surat permohonan dari Kabupaten Bekasi untuk segera diplenokan.

“Rapat pleno ini diharapkan dapat menjadi langkah awal yang baik untuk kemajuan organisasi di seluruh Indonesia,” kata Vaudy.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Pada kesempatan yang sama, Ketua Departemen Pengembangan Organisasi IKPI Nuryadin Rahman mengatakan, proses pembentukan cabang baru IKPI,

telah diatur dalam Pasal 17 Ayat 2 dalam Anggaran Rumah Tangga (ART) IKPI, yang mengharuskan adanya minimal lima orang anggota yang berstatus tetap dan berdomisili di wilayah yang akan dibentuk cabang. Pembentukan cabang baru ini, yang mencakup wilayah kota atau kabupaten, sudah memenuhi ketentuan tersebut.

Menurut Nuryadin, keputusan pembentukan cabang ini diambil setelah mempertimbangkan berbagai faktor, khususnya dalam memasyarakatkan IKPI di seluruh Indonesia.

“Dengan semakin bertambahnya cabang dan anggota IKPI di seluruh Indonesia, harapannya organisasi konsultan pajak terbesar dan tertua ini bukan hanya bermanfaat bagi anggotanya, tetapi manfaatnya juga dirasakan Wajib Pajak dan pemerintah khususnya dalam membantu pencapaian target penerimaan pajak,” kata Nuryadin.

Selain itu, alasan lain yang mendasari pembentukan cabang baru ini adalah untuk mengenalkan IKPI kepada lebih banyak dunia usaha. Diharapkan, banyak pelaku usaha di Indonesia yang belum mengetahui tentang keberadaan IKPI, yang dapat memberikan banyak manfaat dalam hal konsultasi dan kepatuhan perpajakan.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

“Proses pembentukan cabang baru ini juga telah disampaikan kepada pengurus cabang dan daerah untuk memperoleh masukan, serta telah memenuhi syarat administratif yang diperlukan, termasuk usulan tertulis yang diajukan kepada pengurus pusat untuk diproses dan diterbitkan surat keputusan,” kata Nuryadin.

“Kami yakin bahwa langkah ini akan membawa dampak positif, baik bagi anggota maupun untuk perkembangan dunia usaha di Indonesia,” ujar Nuryadin.

Lebih lanjut Ia mengungkapkan, pembentukan cabang baru ini juga merupakan bagian dari strategi organisasi untuk menyesuaikan dengan perkembangan daerah.

Menurutnya, pengurus pusat juga telah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) untuk mengganti nama cabang-cabang agar lebih spesifik sesuai dengan kota atau kabupaten setempat, seperti cabang Bali, kini berganti nama menjadi Cabang Denpasar yang kini akan lebih fokus pada wilayah tersebut.

Terakhir, Ia menegaskan bahwa jangan pernah ada stigma negatif yang disematkan pada kebijakan ini. Karena, menurut Nuryadin semua itu sudah sesuai dengan peraturan organisasi yang berlaku.

Sementara itu, Ketua Pengawas IKPI Prianto Budi Saptono mengingatkan agar pembentukan cabang baru ini adalah wujud semangat anggota untuk terus membesarkan IKPI di wilayah mereka.

“Setelah pembentukan cabang baru, pengurus pusat harus terus mengawal hingga roda organisasi di cabang tersebut bisa berjalan dengan baik. Jadi, habis dibentuk jangan langsung ditinggal, tetapi dikawal sampai mereka bisa berjalan,” ujar Prianto.

Namun, sebagai Ketua Pengawas, berharap pembentukan ini sebagai upaya untuk mengakomodasi pertumbuhan anggota yang semakin banyak dan memastikan IKPI tetap relevan di masa depan.

“Pembentukan ini harus didasarkan pada kajian yang matang dan pertimbangan cost and benefit, dan tentunya sudah sesuai aturan yang berlaku,” ujarnya.

Dalam kesempatan ini, Prianto juga menyinggung kelengkapan syarat administratif dalam pengajuan pembentukan cabang baru juga, dengan perhatian khusus pada keberadaan subjek yang harus jelas dalam setiap dokumen yang diajukan.

Rapat ini kata Prianto, hendaknya menjadi ajang untuk mempertegas pentingnya proses yang transparan dan berbasis pada kebutuhan organisasi, bukan kepentingan individu atau kelompok tertentu. Diharapkan, langkah-langkah yang diambil ke depan akan semakin memperkuat struktur IKPI dan memberikan manfaat lebih besar bagi anggota. (bl)

IKPI Siap Kolaborasi dan Edukasi Sistem Coretax, Bantu Pemerintah Sosialisasi ke Wajib Pajak

IKPI, Jakarta: Dalam rangka mempersiapkan pemberlakuan sistem perpajakan berbasis digital (Coretax) yang dijadwalkan berlaku mulai Januari 2025 oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) mengimbau kepada seluruh anggotanya dan Wajib Pajak untuk lebih siap dalam menghadapi perubahan besar dalam sistem administrasi perpajakan ini.

Sebagai bagian dari langkah proaktif, IKPI telah melakukan berbagai upaya untuk memastikan bahwa para Konsultan Pajak, khususnya anggota IKPI dapat menjalankan tugasnya dengan efektif dalam era digital yang baru ini.

Ketua Departemen Humas IKPI Jemmi Sutiono mengatakan, bahwa organisasi telah melakukan berbagai langkah untuk menghadapi kebijakan tersebut diantaranya:

1. Sosialisasi

IKPI secara rutin mengadakan pelatihan dan seminar yang fokus pada pemahaman dan adaptasi terhadap Sistem Coretax, baik secara teknis maupun operasional. Hal ini bertujuan agar Konsultan Pajak memiliki pemahaman yang mendalam mengenai fitur-fitur baru dalam Sistem Coretax yang akan menggantikan sistem administrasi perpajakan lama.

2. Kolaborasi dengan Pemerintah dan Instansi Terkait

IKPI aktif berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan instansi terkait lainnya untuk memastikan bahwa implementasi Sistem Coretax berjalan lancar dan sesuai dengan regulasi yang ada. IKPI juga berperan dalam memberikan masukan konstruktif terkait desain sistem dan proses transisi yang akan dilakukan.

“Pemberlakuan Coretax adalah langkah besar dalam transformasi sistem perpajakan Indonesia yang lebih modern, mudah, dan transparan. IKPI berkomitmen untuk memastikan bahwa para konsultan pajak siap dan dapat berperan secara maksimal dalam membantu Wajib Pajak mematuhi ketentuan perpajakan dengan sistem yang baru,” ujar Jemmi di Jakarta, Senin (11/11/2024).

Jemmi mengungkapkan, adapun beberapa manfaat utama dari penerapan Sistem Coretax, baik bagi wajib pajak maupun konsultan pajak, antara lain:

Bagi Wajib Pajak:

1. Kemudahan dan Kecepatan Proses Administrasi,

Coretax memungkinkan Wajib Pajak untuk melaksanakan seluruh proses perpajakan secara lebih cepat dan efisien melalui platform digital. Dari pendaftaran, pembayaran pajak, hingga pelaporan SPT, semua dapat dilakukan secara online dengan lebih mudah dan transparan.

2. Transparansi dan Akurasi Data,

Dengan sistem yang lebih terintegrasi, Coretax memberikan kepastian bahwa data pajak yang dilaporkan lebih akurat dan tidak mudah dimanipulasi. Hal ini meningkatkan kepercayaan wajib pajak terhadap sistem perpajakan Indonesia.

3. Pengurangan Kesalahan Manusia (Human Error),

Sistem otomasi yang diterapkan dalam Coretax membantu mengurangi potensi kesalahan yang disebabkan oleh faktor manusia, seperti kesalahan dalam pengisian formulir atau perhitungan pajak. Ini mengurangi risiko denda atau sanksi akibat kesalahan pelaporan.

4. Layanan yang Lebih Cepat dan Responsif,

Coretax memungkinkan komunikasi yang lebih cepat antara wajib pajak dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Pengajuan permohonan, verifikasi, klarifikasi, atau permintaan bantuan dapat dilakukan secara real-time, mempercepat penyelesaian permasalahan perpajakan. Tanpa perlu beranjak dari meja kerja.

Bagi Konsultan Pajak:

1. Efisiensi dalam Pelaporan dan Pemrosesan Pajak,

Bagi Konsultan Pajak, Coretax menawarkan kemudahan dalam mengelola dan memproses laporan pajak klien. Dengan integrasi data yang lebih baik dan sistem yang lebih ramah pengguna, Konsultan Pajak dapat melakukan pekerjaan mereka dengan lebih efisien dan mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas-tugas administratif.

2. Akses Data yang Lebih Terstruktur dan Terkendali,

Konsultan Pajak dapat lebih mudah mengakses data Wajib Pajak yang terstruktur dengan baik. Dengan fitur integrasi, dan penyimpanan data yang lebih aman (akses berjenjang), konsultan pajak bisa melakukan analisis lebih mendalam dan memberikan nasihat yang lebih tepat kepada klien.

3. Pengurangan Beban Administratif,

Proses manual yang selama ini membebani Konsultan Pajak dapat diminimalisir dengan adanya sistem otomasi. Hal ini memungkinkan konsultan pajak untuk fokus pada tugas-tugas strategis, seperti perencanaan pajak dan penghematan pajak yang lebih optimal untuk klien mereka.

4. Peningkatan Profesionalisme,

Coretax mendukung profesionalisme Konsultan Pajak dengan menyediakan platform yang lebih terorganisir dan mudah dipelajari. Hal ini juga membuka peluang bagi Konsultan Pajak untuk lebih meningkatkan kualitas layanan mereka, serta memperkuat hubungan dengan klien.

Ia nenegaskan, IKPI juga mengimbau agar anggotanya segera melakukan penyesuaian terhadap pengetahuan dan keterampilan mereka untuk dapat mendampingi Wajib Pajak dalam menjalani proses pelaporan dan pembayaran pajak melalui Sistem Coretax dengan efektif. Oleh karena itu, Konsultan Pajak harus aktif mengikuti perkembangan terbaru yang terkait dengan implementasi Coretax.

Menurutnya, melalui persiapan yang matang dan kerjasama yang erat antara semua pihak terkait, IKPI yakin bahwa pemberlakuan Coretax akan membawa dampak positif yang signifikan terhadap sistem perpajakan Indonesia dan penerimaan negara ke depannya. (bl)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pengenaan dan Keberpihakkan Pajak UMKM

Belum genap 1 bulan setelah pelantikan sebagai Presiden Republik Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2024, Presiden Prabowo Subianto telah membuat banyak gebrakan, mulai dari dimulainya pemberantasan korupsi, pemberantasan judi online, pencanangan Gerakan Solidaritas Nasional untuk mempersatukan kekuatan bangsa, dan yang terakhir ialah penghapusan utang UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah) sebagai simbol keberpihakan pemerintah kepada para masyarakat kecil sebagai pelaku UMKM yang bergerak di sektor pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan kelautan, serta UMKM lainnya, dengan dihapusnya piutang macet maka pelaku UMKM mempunyai akses lagi ke dunia perbankan.

Tentunya gebrakan-gebrakan yang dibuat oleh Presiden Prabowo membawa angin segar dan harapan yang sangat besar bagi masyarakat, khususnya bagi masyarakat marginal untuk keluar dari kesulitan yang mereka alami, sehingga gebrakan Presiden Prabowo patut diacungi jempol.

Setiap kebijakan yang berpihak kepada masyarakat marginal dan pelaku usaha UMKM merupakan salah satu cara untuk mewujudkan salah satu butir Pancasila, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Bicara mengenai UMKM, menjelang akhir tahun 2024 para pelaku usaha UMKM yang jumlahnya relatif banyak menunggu dengan cemas terkait dengan berakhirnya masa berlaku penerapan tarif pajak PPh Final Bruto tertentu sebesar 0,5% atau yang lebih dikenal tarif pph final UMKM, ditambah terkait rencana kenaikan tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dari 11% menjadi 12%.

Berdasarkan data dari Kementerian Koperasi dan UMKM, jumlah UMKM di Indonesia pada tahun 2024 mencapai lebih dari 65 juta unit, UMKM ini tersebar di berbagai sektor, termasuk kuliner, fashion, kerajinan tangan, hingga teknologi digital[1]. Jumlah 65 juta unit tersebut bukanlah jumlah yang sedikit, apalagi para pelaku usaha UMKM tersebut juga sebagai penyerap tenaga kerja informal yang tidak sedikit.

Kecemasan para pelaku usaha UMKM tersebut dapat dimaklumi, karena berakhirnya peraturan terkait PPh Final Bruto Tertentu nantinya mempunyai efek yang  besar bagi mereka, akan terjadi lonjakan pembayaran pajak yang harus mereka tanggung dengan menggunakan skema perhitungan yang baru. Sebagai informasi untuk menghitung berapa pajak yang harus dibayar, maka Wajib Pajak dapat memilih cara perhitungannya, di antaranya : 1) Memilih melakukan pembukuan dalam menghitung berapa keuntungan / kerugiannya, dengan mengetahui keuntungan baru akan dapat dihitung berapa pajak yang terutang, kelebihan dari metode pembukuan ini lebih fair / adil karena benar-benar menghitung secara riil, apakah usaha yang dilakukan Wajib Pajak tersebut untung atau rugi, namun kesulitannya bagi pelaku usaha yang kurang paham adalah terasa rumit dan ribet.

Selain itu, membutuhkan keahlian dalam membuat laporan keuangan sesuai dengan prinsip standar akuntansi di Indonesia, tidak mudah bagi orang awam untuk dapat membuat pembukuan; 2) Memilih menggunakan norma perhitungan penghasilan neto (NPPN), arti  norma perhitungan ialah suatu tarif tertentu yang telah ditentukan oleh Pemerintah untuk menentukan berapa persentase keuntungan dari setiap bidang usaha, kelebihannya sederhana dalam menghitung, kekurangannya beban pajak yang besar dan tidak menunjukkan kondisi riil dari wajib pajak; 3) Menggunakan tarif PPh Final Bruto Tertentu untuk UMKM tertentu (untuk umkm yang memiliki omzet sampai dengan Rp. 4,8 Milyar setahun). Berikut tabel kelebihan dan kekurangan dari ketiga cara menghitung pajak tersebut.

Keistimewaan dari tarif pajak final bruto tertentu (Pajak UMKM) selain sederhana, juga tarif pajak yang relatif rendah, pada awalnya berdasarkan PP No 46 Tahun 2013 Tarif PPh Final Bruto Tertentu adalah sebesar 1%, namun kemudian diubah menjadi yaitu sebesar 0,5% berdasarkan PP 23 Tahun 2018, dan kemudian mendapatkan fasilitas tambahan untuk omzet sampai dengan 500 juta tidak dikenakan pajak. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Perpajakan, Pasal 59 disebutkan sbb :

Pasal 59

(1)      Jangka waktu tertentu pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) paling lama:

  1. 7 (tujuh) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi;
  2. 4 (empat) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, badan usaha milik desa/badan usaha milik desa bersama, atau perseroan perorangan

                     yang didirikan oleh 1 (satu) orang; dan

  1. 3 (tiga) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk perseroan terbatas.

Perhitungan jangka waktu 7 tahun untuk orang pribadi sebagai mana huruf a, dihitung sejak Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2018, sehingga bagi Wajib Pajak yang telah memiliki NPWP sebelum tahun 2018, jangka waktu 7 tahun akan berakhir di tahun 2024. Sedangkan jangka waktu wajib pajak badan (huruf b dan c) dihitung sejak berdirinya wajib pajak badan tersebut.

Jika tidak ada perubahan atas Peraturan Pemerintah No 55 tersebut, maka pada tahun 2025, Wajib Pajak Orang Pribadi yang sudah menggunakan tarif tersebut harus memilih metode perhitungan dalam menghitung laba dan membayar pajaknya. Metode tersebut ialah menggunakan pembukuan, atau menggunakan norma perhitungan penghasilan neto (NPPN). Sebagai perbandingan dapat dilihat berapa jumlah pajak yang harus dibayar pada tahun 2025 dengan asumsi omzetnya sama,  berdasarkan ketiga metode tersebut.

Contoh penggunaan metode dapat dijelaskan sebagai berikut :

A. Tuan Amir status K/3 (Kawin memiliki 3 tanggungan) memulai usaha sebagai pemilik toko bahan bangunan di Jakarta Selatan sejak tahun 2017, pada tahun 2024 memiliki omzet peredaran usaha sebesar Rp. 3.600.000.000,- (Tiga Milyar Enam Ratus Juta Rupiah), dengan perincian sebagai berikut :

Jumlah pajak yang harus dibayar oleh Tuan Amir pada tahun 2024 sebesar Rp. 15.500.000,-. Namun pada tahun 2025 Tuan Amir tidak boleh menggunakan tarif final UMKM 0,5%, karena Tuan Amir sudah menggunakan tarif final UMKM 7 tahun lamanya yaitu sejak 2018 sd 2024.

Tahun 2025 dan seterusnya Tuan Amir harus menghitung labanya dengan memilih menggunakan pembukuan atau menggunakan norma perhitungan penghasilan neto (NPPN), dan menggunakan tarif pajak Pasal 17 UU PPh yaitu tarif pajak progresif dengan skema sbb :

Lalu jika kita simulasikan pada tahun 2025 seandainya Tuan Amir memilki omzet yang sama dengan tahun 2024 yaitu sebesar Rp. 3.600.000.000,-

B. Jika Tuan Amir menggunakan pembukuan, dengan asumsi omzet sebesar Rp. 3.600.000.000,- setahun, harga pokok penjualan sebesar Rp. 3.000.000.000,-, biaya operasional yang boleh dibiayakan sebesar Rp. 360.000.000,-. Maka perhitungan laba dan jumlah pajak yang harus dibayar adalah sbb :

C. Jika Tuan Amir memilih menggunakan norma perhitungan penghasilan neto (NPPN), dengan bidang usaha toko eceran bahan bangunan (KLU 47528), dan lokasi usaha Tuan Amir di daerah Jakarta Selatan, berdasarkan peraturan dirjen pajak no. 17 tahun 2015 tentang norma perhitungan penghasilan neto, nya adalah sebesar 30%.

Berdasarkan simulasi contoh kasus di atas, jika diperbandingan maka terlihat jumlah pajak yang berbeda dari ketiga metode perhitungan pajaknya, yaitu sbb :

Tentu dengan perbedaan jumlah pajak yang relatif besar akan membebani wajib pajak UMKM, yang dalam kondisi sekarang belum sepenuhnya pulih pasca pandemi covid-19, dan kondisi perekonomian yang tidak baik-baik saja.

Lalu yang menjadi pertanyaan, apakah penerapan pajak final umkm ini hanya berlaku di Indonesia saja ? ternyata berdasarkan data OECD ada banyak negara yang juga memberlakukan tarif pajak final dengan tujuan untuk mengurangi biaya kepatuhan bagi pelaku usaha kecil dan mikro sebagaimana dikutif dalam artikel OECD yang berjudul “The Design of Presumtive Tax Regimes in Selected Countries”. Karena untuk menghitung berapa pajak yang harus dibayar, dibutuhkan biaya kepatuhan yang relatif tinggi sehingga menimbang hal tersebut, dikeluarkanlah kebijakan pajak yang lebih sederhana sehingga wajib pajak dapat mudah membayar pajaknya.

Jika dilihat alasan penerapan pajak final bruto tertentu (berdasarkan PP 23 Tahun 2018) di Indonesia dengan pertimbangan “untuk mendorong masyarakat berperan serta dalam kegiatan ekonomi formal, dengan memberikan kemudahan dan lebih berkeadilan kepada Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu untuk jangka waktu tertentu, perlu mengganti Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu;

Melihat kondisi masyarakat Indonesia khususnya pelaku usaha UMKM yang masih minim pengetahuan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan, maka perlu dipikirkan kembali untuk memperpanjang ketentuan mengenai penerapan PPh Final UMKM, malah kalau bisa aturan PPh Final UMKM tersebut berlaku selamanya, namun mengingat negara juga memerlukan dana dari pajak, dan agar kebijakan PPh Final UMKM tersebut tidak disalahgunakan oleh mereka yang memang memiliki peredaran usaha yang relative besar, ada baiknya batas peredaran usaha yang dapat diklasifikasikan sebagai pelaku usaha UMKM ditinjau ulang, sekarang ini batas omzet yang masih dapat dikategorikan sebagai pelaku UMKM adalah sebesar Rp4.800.000.000,- / tahun. Jika kita bandingkan batas peredaran usaha yang masuk klasifikasi penghasilan umkm, maka batas peredaran omzet UMKM di Indonesia termasuk yang paling tinggi, berikut publikasi IMF yang berjudul How to Design a Presumtive Income Tax for Micro and Small Enterprises.

Penulis adalah  Ketua Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)

Pino Siddharta, S.E, S.H, M.Si

Disclaimer : Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Pemberian Insentif Pajak Sektor Padat Karya Dialihkan ke BKPM, Ini Komponennya

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan mengalihkan wewenang pemberian insentif pajak untuk sektor padat karya seperti tekstil kepada Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Dengan adanya aturan ini, maka wewenang pemberian fasilitas diskon pajak penghasilan tersebut bukan lagi di Menteri Keuangan, melainkan Menteri Investasi.

Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan.

Pasal 423 PMK 81/2024 itu menyebutkan wajib pajak yang melakukan penanaman modal pada industri padat karya dapat diberikan fasilitas PPh berupa pengurangan penghasilan neto sampai tingkat dan waktu tertentu. Ayat (2) pasal yang sama menyebutkan pengurangan penghasilan neto itu sebesar 60% dari jumlah penanaman modal berupa aktiva tetap hingga jangka waktu 6 tahun.

“Pengurangan penghasilan neto… sebesar 60% dari jumlah Penanaman Modal berupa aktiva tetap berwujud termasuk tanah, yang digunakan untuk Kegiatan Usaha Utama, dibebankan selama 6 tahun sejak Tahun Pajak Saat Mulai Berproduksi Komersial masing-masing sebesar 10% per tahun,” seperti dikutip dari salinan PMK tersebut pada Senin, (11/11/2024).

Selanjutnya Pasal 423 Ayat (3) PMK 81/2024 menyatakan industri padat karya yang bisa mendapatkan fasilitas tersebut harus memenuhi sejumlah persyaratan. Di antaranya, mempekerjakan tenaga kerja Indonesia paling sedikit 300 orang.

Semua ketentuan pemberian fasilitas PPh tersebut sebenarnya masih sama dengan aturan lama, yakni PMK 16/2020 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Penghasilan Neto Atas Penanaman Modal Baru atau Perluasan Usaha pada Bidang Usaha Tertentu yang merupakan Industri Padat Karya.

Namun perbedaannya, pada PMK 81/2024 pemberian fasilitas tersebut menjadi wewenang Menteri Investasi bukan lagi Menteri Keuangan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 426 Ayat (1).

“Pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 423 ayat (1) dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal.”

Perlu pula dicatat, bahwa ketentuan yang diatur dalam PMK 81/2024 belum berlaku saat ini. Sebab, PMK 81/2024 yang diterbitkan Sri Mulyani pada Oktober lalu baru resmi berlaku pada 1 Januari 2025, termasuk ketentuan mengenai pemberian fasilitas terkait PPh industri padat karya ini.

Kemenkeu Catat Kenaikan Penerimaan Pajak Karyawan

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat kenaikan realisasi penerimaan dari jenis Pajak Penghasilan (PPh) 21 pada Oktober 2024. Kenaikan penerimaan dari pajak gaji karyawan ini mengindikasikan banyak pegawai di RI yang gajinya naik.

“PPh 21 itu tumbuh konsisten double digit,” kata Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu dalam konferensi pers APBN Kita edisi Oktober, seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Senin, (11/11/2024).

Dikutip dari paparan Kemenkeu, realisasi penerimaan dari PPh 21 pada 31 Oktober 2024 mencapai Rp 206,99 triliun. Angka ini berkontribusi 13,6% dari seluruh penerimaan pajak yang berhasil dikumpulkan Kemenkeu.

Adapun, Kemenkeu mencatat penerimaan dari PPh 21 hingga Oktober ini mengalami pertumbuhan neto maupun bruto mencapai 23,1% year-on-year. Pada Oktober 2023, penerimaan pajak jenis PPh 21 juga mengalami pertumbuhan bruto sebesar 16,8% yoy.

Anggito menjelaskan pertumbuhan penerimaan dari PPh 21 ini mengindikasikan terjadinya kenaikan gaji para pegawai di Indonesia dibandingkan tahun lalu. Dia mengatakan kenaikan setoran PPh 21 ini juga menunjukan penyerapan tenaga kerja di Indonesia masih terjaga baik.

“Ini sebetulnya menunjukan pembayaran gaji secara nominal itu meningkat dibandingkan bulan yang sama tahun lalu, jadi ada peningkatan dari sisi pendapatan yang diterima karyawan atau mungkin ada utilisasi tenaga kerja dan upah yang masih terjaga baik,” kata dia.

 

 

DPR Apresiasi Rencana Peluncuran Coretax

IKPI, Jakarta: Anggota Komisi XI DPR RI, H. Fathi, apresiasi inisiatif pemerintah mempermudah masyarakat dalam melaporkan pajak. Melalui Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan berencana meluncurkan sistem baru bernama Coretax pada Januari 2025.

Inovasi ini diharapkan dapat mengurangi beban administrasi wajib pajak. Dengan begitu diharapkan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak.

“Sebetulnya, banyak masyarakat yang masih kesulitan melaporkan pajaknya karena proses pengisian SPT yang dianggap rumit. Saya berharap dengan adanya kemudahan ini membuat masyarakat lebih tergerak untuk taat pajak dan berkontribusi bagi negara,” ujar Fahi, Minggu, (10/11/2024).

Sebelumnya dijelaskan Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo, bahwa sistem Coretax akan menyajikan data secara otomatis melalui fitur pre-populated data. Artinya pengisian SPT wajib pajak badan akan dilakukan sistem berdasarkan data yang sudah ada.

Hal ini memungkinkan wajib pajak hanya perlu memverifikasi kebenaran data yang tercatat di dalam sistem. Cara itu dinilai sangat-sangat memudahkan buat wajib pajak dalam melaporkannya.

Suryo menambahkan dengan adanya pre-populated data, wajib pajak badan yang memiliki bukti potong atau bukti pungut pajak dari pihak lain, tinggal melihat data potongan dan pungutan pajaknya yang tersaji di dalam SPT-nya. Sebab, data otomatis disiapkan melalui sistem e-filing, sehingga mempercepat dan menyederhanakan proses pelaporan.

Direktorat Jenderal Pajak juga berencana menerbitkan aturan baru mengenai kriteria wajib pajak yang tidak perlu lagi melaporkan SPT Tahunan. Itu jika mereka memenuhi persyaratan tertentu.

Aturan ini telah dimuat dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2025 sebagai bagian dari penerapan sistem Coretax. Beberapa kriteria yang dibebaskan dari kewajiban pelaporan SPT antara lain wajib pajak yang tidak lagi memiliki penghasilan, pensiunan, serta pengusaha yang berhenti menjalankan usaha.

Dengan peraturan ini, masyarakat berpenghasilan di bawah Rp 4,5 juta per bulan atau Rp 54 juta per tahun dapat mengajukan status sebagai wajib pajak non-efektif (NE). Dengan begitu mereka tidak lagi diwajibkan melaporkan SPT tahunan.

Bagi banyak orang, ini akan menjadi kemudahan yang sangat signifikan. Khususnya bagi mereka yang secara finansial berada di bawah ambang Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Beberapa daftar wajib pajak yang biasanya bisa mengubah status menjadi wajib pajak NE adalah yang penghasilannya turun menjadi di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Kemudian pengusaha yang sudah berhenti melakukan kegiatan usaha, pekerja yang sudah tidak bekerja dan tidak memiliki penghasilan, serta pensiunan yang tidak lagi memiliki penghasilan

Fathi menilai langkah ini menjadi bukti upaya pemerintah menciptakan sistem perpajakan yang inklusif dan efisien. “Saya mengapresiasi kebijakan ini,” ucapnya.

Sekarang Tak Semua Wajib Pajak Harus Lapor SPT Tahunan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan akan membuat peraturan baru mengenai kriteria Wajib Pajak (WP) yang tak perlu melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan pajak saat sistem inti administrasi perpajakan atau core tax system dirilis. Hal tersebut termuat dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2025 tentang Ketentuan Perpajakan Dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan.

PMK 81/2024 tersebut menyatakan sebagai tindak lanjut terbitnya aturan ini, maka perlu dibuat sejumlah aturan teknis mengenai pelaksanaannya. Salah satunya adalah mengenai kriteria WP yang tak wajib melaporkan SPT.

“Kriteria Wajib Pajak Pajak Penghasilan tertentu yang dikecualikan dari kewajiban pelaporan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 ayat (2),” seperti dikutip dari Pasal 465 huruf s PMK 81/2024, Jumat, (8/11/2024).

Sebelumnya, pengecualian bagi WP yang tidak perlu membuat SPT diatur dalam PMK-147/PMK.03/2017 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ/2020.

Aturan tersebut mengatur bahwa wajib pajak yang masuk kategori Non-Efektif (NE), maka ia tak wajib lapor SPT Tahunan dan juga tak akan diberikan surat teguran meski tidak menyampaikan SPT nya.

Berikut ini daftar wajib pajak yang biasanya bisa mengubah status menjadi wajib pajak NE adalah:

– Yang penghasilannya turun menjadi di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

– Pengusaha yang sudah berhenti melakukan kegiatan usaha

– Pekerja yang sudah tidak bekerja dan tidak memiliki penghasilan

– Pensiunan yang tidak lagi memiliki penghasilan

Mengenai penghasilan di bawah PTKP, hal ini diatur dalam dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan. Aturan tersebut mengatur batas PTKP yang berlaku saat ini yakni Rp 4,5 juta per bulan atau Rp 54 juta per tahun.

Dengan perhitungan ini, maka masyarakat yang gajinya di bawah Rp 4,5 juta per bulan dibolehkan untuk tidak melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Tetapi, ada syarat yang harus dipenuhi. Adapun syarat untuk bisa bebas dari lapor SPT Tahunan adalah mengajukan permohonan Non-Efektif (NE). Dengan masuk kategori NE, maka wajib pajak tak perlu lapor SPT setiap tahunnya.

 

 

Menkeu Ubah Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran Pajak

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani mengubah tanggal jatuh tempo untuk penyetoran beragam jenis pajak pada saat Sistem Inti Administrasi Perpajakan atau Coretax System. Hal tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan Dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan.

Pasal 94 Ayat (2) PMK 81/2024 menyebutkan pembayaran dan penyetoran pajak terutang, dilakukan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya. Aturan dalam PMK ini mulai berlaku pada 1 Januari 2025.

“Pembayaran dan penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak,” dukutip dari salinan PMK tersebut pada Jumat, (8/11/2024).

Lebih lanjut, PMK tersebut menyebutkan beberapa jenis pajak yang memiliki jatuh tempo pada tanggal 15. Berikut ini merupakan daftarnya:

a. Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2)

b. Pajak Penghasilan Pasal 15

c. Pajak Penghasilan Pasal 21

d. Pajak Penghasilan Pasal 22

e. Pajak Penghasilan Pasal 23

f. Pajak Penghasilan Pasal 25

g. Pajak Penghasilan Pasal 26

h. Pajak Penghasilan minyak bumi dan/atau gas bumi dari kegiatan usaha hulu minyak bumi dan/ atau gas bumi yang dibayarkan setiap Masa Pajak

i. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean

j. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas

kegiatan membangun sendiri

k. Bea Meterai yang dipungut oleh pemungut Bea Meterai

l. Pajak Penjualan

m. Pajak Karbon yang dipungut oleh pemungut Pajak Karbon.

Dalam aturan yang sama, ketentuan mengenai jatuh tempo ini tidak berlaku untuk beberapa jenis pajak. Pasal 94 Ayat (3) menyebutkan beberapa jenis pajak itu di antaranya Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas impor; Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu; dan beberapa jenis pajak lainnya.

 

 

en_US