IKPI Jakarta Pusat Terima Piagam Wajib Pajak (Taxpayer’s Charter), Bukti Sinergi Asosiasi dan DJP

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Pusat menerima Piagam Wajib Pajak dari Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Pusat. Penghargaan tersebut diserahkan langsung Kepala Kanwil DJP Jakarta Pusat, Eddi Wahyudi, kepada Ketua IKPI Jakarta Pusat, Suryani, dalam acara Forum Konsultasi Publik di Jakarta, Rabu (20/8/2025).

Selain IKPI, sebanyak 17 wajib pajak terpilih juga memperoleh penghargaan, sehingga total penerima piagam berjumlah 18 pihak.

Diketahui, Forum Konsultasi Publik tersebut membahas pendaftaran akun dan sertifikat elektronik pada sistem CoreTax, pembangunan Zona Integritas menuju Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat, serta sesi tanya jawab dengan peserta.

(Foto: DOK IKPI Cabang Jakarta Pusat)

Ketua IKPI Jakarta Pusat, Suryani, mengapresiasi penghargaan yang diberikan tersebut. “Kami sangat bersyukur dan berterima kasih atas penghargaan yang diberikan Kanwil DJP Jakarta Pusat. Piagam ini menjadi bukti nyata bahwa peran konsultan pajak dipandang penting dalam mendukung terciptanya kepatuhan pajak yang sehat dan berkesinambungan,” kata Suryani, Jumat (22/8/2025).

Ia menegaskan, bagi IKPI, penghargaan ini bukan hanya pengakuan melainkan juga amanah agar asosiasi cabang yang ia pimpin semakin meningkatkan profesionalisme, integritas, dan pelayanan kepada wajib pajak.

“Kami percaya, kepatuhan pajak akan lebih mudah tercapai bila ada komunikasi yang baik, edukasi yang terus-menerus, serta pendampingan yang tepat bagi masyarakat,” ujarnya.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Jakarta Pusat)

Penghargaan ini juga ia persembahkan untuk seluruh anggota IKPI Jakarta Pusat yang tanpa lelah memberikan kontribusi positif bagi dunia perpajakan. Ke depan, kami ingin terus bersinergi dengan DJP dalam menciptakan sistem perpajakan yang lebih transparan, adil, dan modern.

Suryani berharap, kerja sama yang sudah terjalin lama dengan Kanwil DJP Jakarta Pusat dapat memberikan manfaat nyata, tidak hanya bagi wajib pajak, tetapi juga bagi pembangunan ekonomi nasional. (bl)

Minyak Murah Rusia Jadi Senjata India Lawan Tekanan Tarif Trump

IKPI, Jakarta: India menjadikan minyak Rusia sebagai strategi utama untuk meredam tekanan ekonomi dari Amerika Serikat. Di tengah ancaman tarif baru yang digulirkan Presiden AS Donald Trump, New Delhi justru semakin memperkuat hubungan dagang dengan Moskow.

Menteri Luar Negeri India Subrahmanyam Jaishankar dalam kunjungannya ke Moskow, Kamis (21/8/2025), menegaskan bahwa India dan Rusia menargetkan perdagangan bilateral hingga US$100 miliar dalam lima tahun. Ia menyebut kedua negara akan memangkas hambatan tarif dan non-tarif, serta memperluas diversifikasi perdagangan, termasuk sektor energi.

“Di tengah ketidakpastian global, memiliki mitra yang stabil dan konsisten menjadi kebutuhan strategis,” ujar Jaishankar dalam forum bisnis India-Rusia.

Trump sebelumnya telah mengenakan tarif 25% atas produk India dan mengancam melipatgandakannya menjadi 50% pada 27 Agustus mendatang. Kebijakan tersebut berpotensi membuat ekspor tahunan India ke AS senilai US$85 miliar kehilangan daya saing. New Delhi menilai kebijakan tarif itu tidak rasional, sekaligus menegaskan haknya membeli energi dari sumber termurah.

Minyak Rusia yang ditawarkan dengan harga diskon dinilai krusial bagi India untuk menjaga inflasi domestik tetap terkendali. Tidak hanya itu, energi murah juga dianggap sebagai “perisai” bagi perekonomian India dalam menghadapi gejolak tarif AS.

Hubungan erat India-Rusia semakin ditunjukkan lewat komunikasi intensif antara Perdana Menteri Narendra Modi dan Presiden Vladimir Putin. Putin bahkan dijadwalkan berkunjung ke India pada akhir tahun ini. Selain itu, Modi juga tengah memperluas jaringan diplomasi dengan Tiongkok dan akan bertemu Presiden Xi Jinping di Beijing akhir Agustus. (alf)

 

 

 

 

 

Belanja Pajak Manufaktur Naik jadi Rp141,7 Triliun, Efektivitas Masih Dipertanyakan

IKPI, Jakarta: Pemerintah kembali mengalokasikan belanja perpajakan dalam jumlah jumbo bagi sektor industri pengolahan pada 2026. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, nilai belanja perpajakan untuk sektor manufaktur dipatok Rp141,7 triliun atau naik 3,3% dibandingkan proyeksi 2025 sebesar Rp137,2 triliun.

Sektor manufaktur konsisten menjadi penerima manfaat terbesar belanja perpajakan dalam lima tahun terakhir. Pada 2024 misalnya, industri ini menerima insentif senilai Rp98,8 triliun, setara 24,7% dari total belanja perpajakan tahun tersebut. Tahun depan, porsinya bahkan diperkirakan naik menjadi 25,1% dari total belanja perpajakan Rp563,6 triliun.

Meski demikian, kinerja manufaktur belum menunjukkan akselerasi yang sebanding dengan insentif yang digelontorkan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat industri pengolahan nonmigas tumbuh 5,60% (year-on-year/yoy) pada kuartal II/2025, lebih tinggi dari kuartal sebelumnya (4,31% yoy) maupun periode sama tahun lalu (4,63% yoy). Namun, laju pertumbuhan ini relatif stagnan dalam satu dekade terakhir, tidak jauh dari capaian kuartal II/2015 yang sebesar 5,22%.

Kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB juga cenderung datar. Pada kuartal II/2025, kontribusi tercatat 18,67% yoy, naik tipis dibandingkan 18,52% di periode sama 2024. Angka ini masih jauh dari capaian 10 tahun lalu yang mampu menembus 20,91%.

Insentif Hanya Jadi “Pemanis”

Peneliti Indef, Ariyo Irhamna, menilai insentif fiskal yang diberikan pemerintah selama ini belum efektif mendorong transformasi industri. “Insentif pajak itu seperti icing on the cake. Kalau persoalan fundamental seperti kepastian hukum, persaingan usaha, hingga penguatan riset dan teknologi tidak dibenahi, maka dampaknya tetap minim,” ujarnya (20/8/2025).

Ariyo menekankan perlunya evaluasi menyeluruh terkait efektivitas belanja perpajakan, karena berpotensi menjadi salah satu sumber kebocoran APBN.

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perindustrian, Saleh Husin, mengingatkan penurunan kontribusi manufaktur terhadap PDB harus menjadi alarm serius. “Dengan kebijakan yang pro-manufaktur, kontribusi sektor ini berpeluang kembali tembus di atas 19% dalam beberapa kuartal ke depan,” katanya.

Saleh menilai strategi yang bisa ditempuh antara lain realisasi insentif fiskal yang lebih tepat sasaran, percepatan implementasi TKDN, penguatan ekosistem industri hulu-hilir di sektor prioritas, serta kolaborasi dunia usaha dengan pendidikan vokasi.

Sementara itu, Ketua Himki, Abdul Sobur, menilai porsi insentif lebih banyak dinikmati sektor padat modal, sementara industri padat karya seperti furnitur masih menghadapi margin tipis dan volatilitas permintaan. Selain itu, restitusi PPN yang lambat kerap menekan arus kas eksportir.

“Insentif juga tidak otomatis menjadi investasi baru. Sebagian hanya menarik proyek besar tertentu, sementara manfaatnya belum merata,” ujarnya.

Menurut Sobur, insentif tahun depan sebaiknya lebih presisi, antara lain percepatan restitusi PPN untuk eksportir, PPh 21 DTP yang terarah untuk padat karya, super deduction untuk R&D, serta skema investasi berbasis kinerja dengan indikator ekspor, TKDN, dan produktivitas.

“Intinya bukan sekadar lebih besar, tapi lebih tajam, sederhana, dan likuid agar benar-benar terasa bagi pelaku industri,” pungkasnya. (alf)

 

 

Finlandia Jadi Negara Paling Bahagia di Dunia Meski Tarif Pajak Capai 60%

IKPI, Jakarta: Finlandia dikenal sebagai salah satu negara dengan beban pajak tertinggi di dunia. Dengan sistem progresif, sebagian warganya bisa dikenai tarif hingga 60% dari penghasilan. Angka yang bagi banyak negara mungkin memicu protes, justru diterima dengan lapang dada oleh masyarakat Finlandia.

Laporan World Happiness Report menobatkan Finlandia sebagai negara paling bahagia di dunia selama bertahun-tahun. Fenomena ini kerap menimbulkan tanda tanya: bagaimana mungkin masyarakat bisa tetap merasa bahagia meski membayar pajak begitu tinggi?

Pajak yang Terlihat Manfaatnya

Kunci dari penerimaan publik terhadap pajak adalah kepercayaan. Warga Finlandia yakin bahwa uang yang mereka setorkan kembali dalam bentuk layanan publik nyata. Pajak dianggap bukan beban, melainkan investasi bersama untuk menciptakan kualitas hidup yang lebih baik.

Profesor hukum pajak dari Aalto University, Timo Viherkenttä, menyebut ada konsensus di masyarakat: meski harus membayar pajak tinggi, mereka mendapat timbal balik jelas. “Program sosial yang didanai negara membantu meningkatkan kesehatan, kebahagiaan, dan kualitas hidup, tersedia bagi semua orang tanpa memandang status ekonomi,” jelasnya.

Pendidikan dan Kesehatan

Dua sektor yang paling dirasakan manfaatnya adalah pendidikan dan kesehatan.

• Pendidikan: Finlandia memiliki salah satu sistem pendidikan terbaik di dunia. Dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, hampir seluruhnya gratis dan dibiayai negara.

• Kesehatan: Layanan kesehatan bersifat universal. Warga bisa mengakses fasilitas medis berkualitas tanpa biaya besar. Sebagian layanan khusus berbayar, namun mayoritas layanan dasar ditanggung negara.

Kedua sektor ini menjadi fondasi kebahagiaan masyarakat, sekaligus alasan kuat mengapa mereka rela membayar pajak tinggi.

Selain pendidikan dan kesehatan, pajak juga membiayai jaminan pensiun, infrastruktur, hingga program kesejahteraan lain yang membuat standar hidup masyarakat tetap terjaga.

Transparansi dalam pengelolaan serta tingginya kepercayaan publik menjadi pembeda utama Finlandia dibanding banyak negara lain yang masih menghadapi masalah korupsi dan lemahnya layanan publik.

Hasilnya, Finlandia bukan hanya berhasil membangun sistem perpajakan yang efektif, tetapi juga menunjukkan bahwa pajak dapat menjadi sumber kebahagiaan bila dikelola secara adil dan dikembalikan sepenuhnya kepada rakyat. (alf)

 

KPP Singaraja Gandeng Dinas Koperasi Edukasi Pajak untuk Pelaku UMKM

IKPI, Jalarta: Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Singaraja terus memperkuat sinergi dengan pemerintah daerah dalam mendukung kepatuhan perpajakan pelaku usaha kecil. Kali ini, KPP Singaraja bekerja sama dengan Dinas Koperasi Kabupaten Buleleng memberikan edukasi pajak kepada para anggota Pusat Layanan Usaha Terpadu (PLUT).

Acara yang berlangsung di Aula Kantor Camat Sukasada, Kabupaten Buleleng, pada Kamis (24/7/2025), diikuti oleh 22 pelaku UMKM dari berbagai sektor, mulai dari pengrajin perak, pengrajin anyaman lidi janur, pengusaha kopi, hingga pembuat gula aren.

Penyuluh KPP Pratama Singaraja, I Gusti Made Setyawan, menjelaskan bahwa kegiatan ini bertujuan memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai kewajiban perpajakan setelah wajib pajak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Ia menekankan bahwa UMKM memiliki perlakuan khusus sebagaimana diatur dalam PP Nomor 23 Tahun 2018 dan PP Nomor 55 Tahun 2022.

“Pelaku UMKM wajib menyetor PPh Final 0,5% setiap bulan apabila omzet usahanya dalam setahun sudah melebihi Rp500 juta. Selain itu, kewajiban pelaporan SPT Tahunan juga harus dipenuhi sebagai bentuk tanggung jawab sesuai undang-undang,” kata Gusti.

Ia menambahkan, kepatuhan dalam menyampaikan laporan pajak secara lengkap, jelas, dan benar akan membantu wajib pajak terhindar dari sanksi. Lebih jauh, ia menekankan bahwa pajak yang dibayarkan masyarakat memiliki peran penting dalam mendukung pembangunan nasional dan pelayanan publik.

Kegiatan ini mendapat sambutan positif dari para peserta yang menilai edukasi langsung dari KPP sangat membantu mereka memahami prosedur pajak secara lebih sederhana. (alf)

 

 

IKPI Surabaya dan OCBC Kolaborasi Tingkatkan Literasi Pajak Nasabah Prioritas

IKPI, Surabaya: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Surabaya kembali menunjukkan komitmennya dalam mendorong literasi perpajakan melalui kerja sama strategis dengan Bank OCBC. Bertempat di Ruang Menyala, Ciputra World Surabaya, Kamis (14/8/2025), seminar bertema “Beyond Compliance: Smart Strategies for Managing Assets in the Era of Global Tax Transparency” sukses digelar dan mendapat sambutan meriah dari peserta.

Kegiatan yang dihadiri sekitar 50 nasabah prioritas OCBC, dengan menghadirkan dua narasumber berpengalaman, yakni Tjokro Oentariono Lumintu,  dan Ferry Vincentius Budi. Keduanya mengupas sejumlah isu krusial yang tengah menjadi sorotan di dunia perpajakan.

Beberapa topik yang dibahas antara lain implementasi Automatic Exchange of Information (AEOI) atau keterbukaan data keuangan lintas negara, tren meningkatnya permintaan klarifikasi melalui SP2DK dan pemeriksaan pajak, hingga kebijakan pemungutan PPh pada transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).

Diskusi berlangsung interaktif. Banyaknya pertanyaan dari peserta membuat acara yang semula dijadwalkan selesai lebih cepat justru berlanjut hingga sore hari. Bahkan, selepas acara resmi berakhir, sejumlah nasabah masih berdiskusi langsung dengan tim IKPI Surabaya untuk mendapatkan pemahaman lebih dalam terkait persoalan teknis perpajakan yang mereka hadapi.

Ketua IKPI Cabang Surabaya, Enggan, menilai kolaborasi ini sangat penting dalam menjembatani kebutuhan masyarakat akan literasi pajak.

“Kami mengapresiasi langkah Bank OCBC yang membuka ruang dialog dengan nasabah terkait isu perpajakan. Tingginya antusiasme peserta membuktikan bahwa literasi pajak menjadi kebutuhan nyata di era keterbukaan informasi global. IKPI Surabaya siap mendampingi dunia usaha agar tidak hanya patuh secara administrasi, tetapi juga cerdas dalam mengelola aset,” ujarnya.

Dikatakan Enggan, pihak OCBC sendiri menyambut baik keberhasilan kegiatan ini dan berharap kolaborasi dengan IKPI dapat terus berlanjut. Bagi OCBC, seminar ini bukan sekadar layanan tambahan, tetapi juga bentuk tanggung jawab dalam memberikan edukasi bernilai bagi nasabah prioritasnya.

Dengan terbangunnya sinergi antara sektor perbankan dan profesi konsultan pajak, diharapkan literasi perpajakan di kalangan masyarakat, khususnya pelaku usaha dan investor, semakin menguat. Pada akhirnya, peningkatan pemahaman pajak diharapkan dapat mendukung terciptanya kepatuhan yang sehat, adil, dan berkelanjutan. (bl)

 

Gubernur Sulsel Tegaskan Pajak Harus Berkeadilan dan Jangan Bebankan Masyarakat Kecil

IKPI, Jakarta: Gubernur Sulawesi Selatan, Andi Sudirman Sulaiman, mengingatkan para kepala daerah agar lebih berhati-hati dalam merumuskan kebijakan pajak, khususnya terkait Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2). Ia menegaskan bahwa pajak seharusnya menjadi instrumen pembangunan yang berkeadilan, bukan justru menambah beban masyarakat kecil.

“Jangan sampai kebijakan pajak hanya mengejar peningkatan pendapatan daerah, tetapi mengorbankan masyarakat menengah ke bawah. Prinsipnya, pajak harus tetap adil,” kata Andi Sudirman saat memimpin Rapat Forum Koordinasi Forkopimda Sulsel melalui zoom meeting di Makassar, Rabu (20/8/2025).

Ia juga meminta kepala daerah yang berniat menaikkan PBB P2 untuk menunda kebijakan tersebut dan terlebih dahulu melakukan pemetaan objek pajak. Selain itu, pemberian relaksasi dan keringanan bagi warga kurang mampu juga dinilai penting agar kebijakan fiskal tidak bersifat eksploitatif.

Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Luwu Timur memastikan tidak ada kebijakan menaikkan PBB. Sekretaris Daerah Luwu Timur, Bahri Suli, menjelaskan penyesuaian tarif di wilayahnya hanya sebatas pengalihan dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dengan persentase yang sangat kecil, sekitar 0,02 persen.

“PBB tidak menjadi masalah di Luwu Timur karena kenaikannya minim dan sudah kami sesuaikan agar tidak menimbulkan beban tambahan bagi masyarakat,” ujarnya.

Bupati Luwu Timur, Irwan Bachri Syam, juga menegaskan bahwa fokus pemerintahannya adalah menjaga stabilitas ekonomi daerah serta meningkatkan kualitas pelayanan publik, bukan menaikkan pajak.

“Tidak ada kebijakan menaikkan PBB. Justru kami ingin memastikan masyarakat tetap tenang dan pelayanan pemerintah semakin baik,” ucapnya.

Dengan penekanan tersebut, Gubernur Sulsel menegaskan bahwa arah kebijakan fiskal daerah ke depan harus lebih berpihak pada prinsip keadilan dan keberlanjutan pembangunan tanpa mengorbankan rakyat kecil. (alf)

 

Menggali Potensi Pajak Kekayaan Bersih di Indonesia

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dalam kesempatan konferensi pers 15 Agustus 2025, menyampaikan postur Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 dan juga sekaligus memaparkan fokus kebijakan fiskal pada 8 (delapan) strategi yakni mewujudkan (i) ketahanan pangan; (ii) ketahanan energi;  (iii) Makan Bergizi Gratis; (iv) program pendidikan; (v) program kesehatan; (vi) pembangunan desa, koperasi, dan UMKM; (vii) pertahanan semesta, dan (viii) akselerasi investasi dan perdagangan global. Dalam mendukung seluruh fokus kebijakan fiskal tersebut, penerimaan pajak menjadi tumpuan utama sebagaimana terlihat pada Tabel 1, bahwa kontribusi sektor perpajakan masih terus bertumbuh dan diharapkan tetap tumbuh positif di 2026.

Tabel 1

Berdasarkan tabel diatas, target penerimaan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 adalah sebesar Rp2.189,3 triliun dan naik menjadi Rp2.357,7 triliun dalam RAPBN 2026. Tentunya angka ini tidak mudah untuk dicapai, apalagi pada semester 1-2025 angka penerimaan pajak masih di angka Rp837,8 triliun (shortfall 38% dari target APBN). Oleh karena itu, supaya tetap menjaga kinerja APBN, diperlukan kebijakan collecting more, dan ini perlu didukung oleh perluasan basis pajak dan sistem perpajakan yang kompatibel dengan kebijakan perpajakan global. Perluasan basis pajak mutlak dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) apabila menolak dikatakan pajak berburu di kebun binatang. Majas “berburu di kebun binatang” dipopulerkan oleh Bapak Gibran Rakabuming saat debat Calon Wakil Presiden (Cawapres) pada 22 Desember 2023 lalu, dikatakan “Kita ini tidak ingin berburu dalam kebun binatang. Kita ingin memperluas kebun binatangnya, kita tanami binatangnya, kita gemukkan.”

Bisa dikatakan bahwa DJP telah berusaha menggali potensi pemajakan High Net Worth Individuals (HNWI) melalui skema pajak progresif yakni lapisan Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) ditambahkan dengan tarif tertinggi 35%. Namun, perluasan basis pada dasarnya bukan pada peningkatan tarif pajak, melainkan pada penambahan jenis pajak baru, dan yang paling memungkinkan diterapkan DJP adalah Pajak Kekayaaan.

Indonesia pernah menerapkan Ordonansi Pajak Kekayaan 1932 sebagaimana telah diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1967 (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 18), yang bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, Undang-Undang ini dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang beserta penjelasannya.

Konsep dan Teori Wealth-Based Taxation

Pasal 4 ayat (1) huruf p Undang Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) menyatakan bahwa : “yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.”

Tambahan kekayaan neto dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf p UU PPh menyatakan bahwa “pada hakekatnya merupakan akumulasi penghasilan baik yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak serta yang belum dikenakan pajak. Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut merupakan penghasilan.”

Metode pendekatan kekayaan bersih telah digunakan Pemeriksa Pajak dengan cara menghitung selisih kekayaan bersih wajib pajak orang pribadi awal dan akhir tahun yang terdapat dalam SE-65/PJ/2013 tentang Pedoman Penggunaan Metode dan Teknik Pemeriksaan, yang dilakukan sebagai berikut:

Selanjutnya, Dr. Joko Ismuhadi dalam bukunya yang berjudul Tax Accounting Equation, menjabarkan persamaan Akuntansi Pajak (Tax Accounting Equation/TAE) yang dirumuskan sebagai berikut:

Pendekatan ini digunakan untuk menguji sumber dan penggunaan dana, yaitu aset yang nantinya akan digunakan untuk menghasilkan pendapatan yang dibiayai oleh kewajiban/utang dan modal.

Dr. Joko Ismuhadi menjelaskan TAE berfungsi untuk memperhatikan arus kegiatan ekonomi (pendapatan dan biaya) dan dampak langsungnya terhadap kekayaan (aset dan kewajiban/utang). TAE ini adalah metode langsung bagi otoritas pajak menguji kemampuan wajib pajak dalam menghasilkan pendapatan dan laba kena pajak, alih-alih hanya menilai situasi keuangan wajib pajak. TAE ini memungkinkan pemeriksaan silang antara pendapatan/biaya wajib pajak yang dilaporkan dengan perubahan aset/kewajiban wajib pajak.

Perbandingan Penerapan Pajak Kekayaan di Beberapa Negara Anggota Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD)

Pada tahun 2018, OECD merilis laporan dengan judul “The Role and Design of Net Wealth Taxes in OECD” dimana OECD menjabarkan teori pajak kekayaan dikenakan atas dasar akrual dan dilakukan penilaian aset setiap tahun.  Dan, penentuan tarif Pajak Kekayaan juga harus dipertimbangkan otoritas pajak mengingat kondisi incovenient wajib pajak terkait ability to pay cash.

Berikut ini adalah tarif Pajak Kekayaan di beberapa negara anggota OECD:

Tabel 2

Permasalahan dan Konsep Usulan Pajak Kekayaan di Indonesia

Pajak memiliki 2 (dua) fungsi utama yaitu fungsi anggaran (budgetair) dan fungsi mengatur (regulerend). Dalam menjalankan fungsinya sebagai pengisi kas negara (fungsi budgetair), pajak bertugas untuk menghimpun dana dari masyarakat untuk pembiayaan pembangunan dan juga pembiayaan rutin antara lain belanja pegawai, belanja subsidi untuk daerah otonom, belanja barang pemerintahan, dan belanja cicilan utang dan bunga. Penerimaan Negara setelah dikurangi pembiayaan rutin adalah merupakan tabungan negara yang digunakan untuk pembiayaan pembangunan. Sebagai fungsi mengatur (regulerend), pemerintah dapat menggunakan pajak sebagi alat untuk mengatur kebijakan ekonomi antara lain mendorong ekspor produk Indonesia (tarif 0%) dan melindungi produsen dalam negeri (bea masuk yang tinggi).

Selain menjalankan kedua fungsi diatas, pajak juga dapat menjalankan fungsi redistribusi kekayaan untuk meminimalisir angka ketimpangan ekonomi supaya pengentasan kemiskinan dapat tercapai.

Gini Ratio adalah instrumen yang digunakan untuk mengukur tingkat kesenjangan pembagian pendapatan di suatu wilayah, dan penilaian Gini Ratio berada di interval dari 0 (nol) sampai dengan 1 (satu), dimana nilai 0 (nol) menunjukkan semua orang memiliki pendapatan yang sama dan nilai 1 (satu) menunjukkan 1 (satu) orang memiliki selluruh pendapatan sementara yang lain tidak memiliki apapun. Berikut ini adalah kriteria yang digunakan dalam menilai ketimpangan Gini Ratio (Hera Susanti dkk, Indikator-Indikator Makroekonomi, LPEM-FEUI,1995):

  • Gini Ratio < 0,4 dikategorikan sebagai ketimpangan rendah.
  • 0,4 ≤ Gini Ratio ≤ 0,5 dikategorikan sebagai ketimpangan sedang (moderat).
  • Gini Ratio > 0.5 dikategorikan sebagai ketimpangan tinggi.

Biro Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa gini ratio di Indonesia pada Maret 2025 adalah sebesar 0,375 yang artinya Gini Ratio Indonesia dikategorikan sebagai ketimpangan rendah.

Selanjutnya, Bank Dunia mengukur ketimpangan pendapatan dengan menggunakan persentase jumlah pendapatan penduduk dan kelompok yang berpendapatan 40% terendah dibandingkan total pendapatan seluruh penduduk dikategorikan sebagai berikut:

  • Jika rasio pendapatan 40% penduduk berpenghasilan terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk kurang dari 12%, maka distribusi pendapatan tergolong memiliki ketimpangan pendapatan tinggi.
  • Jika rasio pendapatan 40% penduduk berpenghasilan terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk berada di antara 12 dan 17%, maka distribusi pendapatan tergolong memiliki ketimpangan pendapatan sedang.
  • Jika rasio pendapatan 40% penduduk berpenghasilan terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk lebih besar dari 17%, maka distribusi pendapatan tergolong memiliki ketimpangan pendapatan rendah.

Berdasarkan ukuran ketimpangan Bank Dunia, BPS melaporkan pada Maret 2025, kategori 40 persen terendah adalah sebesar 18,65%, dengan rincian di daerah perkotaan tercatat 17,64% dan di daerah pedesaan tercatat 21,75%.  Angka ini menunjukkan lemahnya daya beli masyarakat kelas bawah, yang artinya pertumbuhan ekonomi tidak merata, hanya dirasakan oleh masyarakat kelas atas.

Sementara, BPS mencatat, pada Maret 2025, Produk Domestik Regional Bruto per Kapita Jakarta mencapai Rp344.350.000 mengungguli provinsi lainnya dikarenakan sebagian besar orang terkaya di Indonesia berkumpul di Jakarta.

Berangkat dari permasalahan di atas, pemungutan Pajak Kekayaan selain dapat menjadi salah satu sumber penerimaan baru, juga dapat menjadi alat redistribusi untuk pengentasan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi. Mengenai pemungutan Pajak Kekayaan, terdapat beberapa elemen yang perlu didiskusikan untuk diterapkan di Indonesia, antara lain sebagai berikut:

Tabel 3

HNWI berada pada kelas pemodal sehingga pengenaan Pajak Kekayaan ini tidak mempengaruhi pertumbuhan kekayaan HNWI ini menjadi negatif. DJP telah memperlihatkan upaya-upaya untuk mempermudah penerapan pemungutan Pajak Kekayaan dengan membangun sistem Coretax dan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang Automatic Exchange of Information (AEoI). Peran aktif Indonesia dalam G20 dan OECD merupakan juga langkah DJP kedepannya menerapkan Global Asset Registry (GAR) untuk mendata informasi kepemilikan aset lintas yurisdiksi. Tantangan DJP adalah resiko capital outflow apabila diterapkan Pajak Kekayaan ini.

Penulis adalah anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Timur

Yolanda Ferida, S.Sos.,M.Ak

Email: ferida.yolanda@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis 

Ketua IKPI Jakarta Pusat Imbau Pemilik Aset Kripto yang Belum Lapor, Segera Pembetulan SPT

IKPI, Jakarta: Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Pusat, Suryani, menegaskan pentingnya kesadaran dan kepatuhan para pemilik aset kripto dalam melaporkan kepemilikan maupun transaksi mereka kepada otoritas pajak.

“Bagi pemilik aset kripto yang belum mencantumkan asetnya dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan, sebaiknya segera melakukan pembetulan. Jangan menunggu sampai ada pemeriksaan. Langkah ini penting agar tidak terkesan ada yang disembunyikan,” ujar Suryani dalam acara Ngobrol Tentang Perpajakan (NGOTAK) episode ke-6 di Jakarta, Jumat (15/8/2025), yang dihadiri puluhan anggota IKPI Jakarta Pusat.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Jakarta Pusat)

Menurut Suryani, aturan perpajakan atas aset kripto sudah jelas diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025. Regulasi ini menghapus Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penyerahan aset kripto karena kini aset kripto dikategorikan sebagai aset keuangan digital, bukan lagi komoditas.

Namun, setiap transaksi kripto tetap dikenakan PPh Pasal 22 final dengan tarif 0,21 persen untuk transaksi melalui platform dalam negeri, dan 1 persen untuk transaksi melalui platform luar negeri yang pembayarannya harus dilakukan sendiri oleh wajib pajak.

Ia menekankan, dengan adanya ketentuan yang lebih sederhana dan tarif pajak yang sudah ditetapkan secara final, tidak ada alasan bagi pemilik aset kripto untuk menunda pelaporan.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Jakarta Pusat)

“Kepatuhan itu investasi. Semakin cepat kita membereskan administrasi pajak, semakin tenang kita di kemudian hari. Apalagi sekarang semua sudah ada dasar hukumnya, tinggal dijalankan,” kata Suryani.

Suryani juga mengingatkan bahwa tren kepemilikan aset kripto di Indonesia terus meningkat, sehingga transparansi pelaporan menjadi semakin penting. “Jangan berpikir bahwa aset kripto itu aman disembunyikan hanya karena berbasis digital. Pemerintah sudah memiliki mekanisme pengawasan dan pertukaran data. Justru dengan melaporkannya secara benar, kita membangun citra positif di mata fiskus,” ujarnya.

Dalam kesempatan itu, ia mendorong para konsultan pajak anggota IKPI untuk turut berperan aktif memberikan edukasi kepada klien mereka. Menurutnya, sosialisasi yang tepat akan membantu wajib pajak memahami bahwa pelaporan aset kripto bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga bagian dari praktik keuangan yang sehat.

Kegiatan ini juga dihadiri Ketua IKPI Pengda DKJ, Tan Alim dan Ketua Bidang Penunjang Teknologi dan Informasi. Departemen IT, IKPI, Yulia Yanto Anang. (bl)

Tarif Pajak Alat Berat di Jakarta Berlaku, Begini Cara Penghitungannya

IKPI, Jakarta: Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta resmi memberlakukan Pajak Alat Berat (PAB) sebagai bagian dari strategi meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sekaligus memperkuat kemandirian fiskal ibu kota. Kebijakan ini mengacu pada Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD).

PAB merupakan pajak daerah baru yang dipisahkan dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). Sesuai ketentuan, pajak ini dikenakan atas kepemilikan maupun penguasaan alat berat bermesin, dengan atau tanpa roda, yang tidak melekat secara permanen.

Alat berat tersebut lazim digunakan dalam pekerjaan konstruksi, teknik sipil, perkebunan, kehutanan, hingga pertambangan. Beberapa yang termasuk dalam kategori ini antara lain bulldozer, excavator, wheel loader, dan crane.

Namun, terdapat pengecualian. Pihak yang tidak dikenai pajak antara lain:

• Pemerintah Pusat, Pemprov DKI, pemerintah daerah lain, serta TNI/Polri.

• Kedutaan besar, konsulat, perwakilan negara asing, maupun lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak berdasarkan asas timbal balik.

Tarif dan Cara Perhitungan

Dasar pengenaan PAB adalah Nilai Jual Alat Berat (NJAB) dengan tarif pajak 0,2 persen dari NJAB. Pajak ini dibayarkan di muka setiap tahun, sejak wajib pajak secara sah memiliki atau menguasai alat berat.

Contoh perhitungan sederhana:

Jika sebuah excavator memiliki NJAB senilai Rp100 juta, maka kewajiban pajaknya adalah:

Rp100 juta × 0,2% = Rp200 ribu per tahun.

Proses pendaftaran dan pelaporan PAB dapat dilakukan dengan mudah melalui kanal digital resmi Pemprov DKI di pajakonline.jakarta.go.id.

Seluruh penerimaan dari Pajak Alat Berat akan dikelola untuk mendukung program pembangunan daerah, mulai dari peningkatan infrastruktur, layanan publik, hingga kesejahteraan masyarakat.

Pemprov DKI menegaskan, kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban PAB tidak hanya merupakan bentuk tanggung jawab hukum, tetapi juga kontribusi nyata dalam membangun Jakarta sebagai kota modern dan berdaya saing global. (alf)

 

 

en_US