Ribuan Wajib Pajak Ajukan Keringanan PPh 25, Sektor Perdagangan Paling Dominan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat lonjakan permohonan pengurangan angsuran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 sepanjang tahun 2024. Hingga saat ini, sebanyak 3.794 wajib pajak telah mengajukan permohonan tersebut, dengan sektor perdagangan besar dan eceran menjadi kontributor terbanyak.

“Permohonan paling banyak berasal dari sektor perdagangan, baik besar maupun eceran,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti dalam keterangannya baru-baru ini.

Menurutnya, pengajuan pengurangan angsuran ini merupakan opsi legal bagi wajib pajak yang mengalami penurunan pendapatan atau kesulitan likuiditas, sehingga kesulitan memenuhi kewajiban angsuran PPh 25. Langkah ini diatur dalam Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-537/PJ/2000, yang memungkinkan pengurangan diberikan apabila estimasi pajak terutang tahun berjalan tidak melebihi 75% dari PPh terutang tahun sebelumnya.

Wajib pajak dapat mengajukan permohonan tersebut setelah melewati tiga bulan pertama tahun pajak, dengan menyertakan proyeksi pendapatan serta perhitungan ulang kewajiban pajaknya untuk sisa tahun berjalan. Permohonan diajukan ke Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat mereka terdaftar.

Langkah ini menjadi salah satu bentuk respons fiskal yang memberi ruang napas bagi dunia usaha, terutama di tengah dinamika ekonomi yang masih fluktuatif. DJP pun mengimbau para pelaku usaha yang memenuhi syarat untuk memanfaatkan fasilitas ini secara bijak dan sesuai ketentuan yang berlaku.(alf)

 

Komisi XI DPR Dorong DJP Perluas Basis Pajak: Jangkau UMKM dan Ekonomi Digital

IKPI ,Jakarta: Anggota Komisi XI DPR RI, Andreas Eddy Susetyo, mendorong Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menghadirkan strategi yang lebih inovatif dan menyentuh akar persoalan dalam perluasan basis pajak nasional.

Dalam rapat dengar pendapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (7/5/2025), Andreas menyampaikan harapannya agar DJP tidak lagi terpaku pada pola-pola lama yang belum menunjukkan hasil signifikan.

“Langkah-langkah yang disampaikan selama ini masih cenderung repetitif. Kita perlu melihat pendekatan baru yang benar-benar menyasar potensi pajak yang selama ini belum tergarap,” ujar Andreas.

Ia menilai perlu adanya program-program konkret yang dapat menjangkau kelompok masyarakat dan pelaku usaha di sektor-sektor yang selama ini belum terintegrasi dalam sistem perpajakan, seperti sektor informal, pelaku UMKM, dan ekonomi digital.

“Yang ditunggu publik adalah terobosan yang nyata dan terukur. DJP perlu menunjukkan program yang memperluas jangkauan penerimaan pajak secara menyeluruh dan berkelanjutan,” tambahnya.

Data Kementerian Keuangan mencatat, dari sekitar 210 juta penduduk usia kerja di Indonesia, hanya sekitar 19 juta yang tercatat aktif membayar pajak pada 2023. Angka tax ratio Indonesia juga masih relatif rendah, yakni 8,75% dari Produk Domestik Bruto (PDB), dibandingkan dengan rata-rata negara ASEAN yang mencapai lebih dari 14%.

Ia menekankan, perluasan basis pajak bukan hanya menyangkut jumlah wajib pajak, tetapi juga soal membangun kesadaran, kepercayaan, dan rasa keadilan dalam sistem perpajakan. (alf)

 

DPR Minta DJP Lakukan Terobosan Atasi Stagnasi Rasio Pajak

IKPI, Jakarta: Anggota Komisi XI DPR RI, Galih Kartasasmita, mengkritisi stagnasi rasio pajak nasional yang terus berada di bawah angka 10 persen. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Kompleks DPR RI, Rabu (7/5/2025), Galih menegaskan perlunya langkah konkret dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) agar Indonesia bisa keluar dari jebakan rasio pajak rendah.

“Coba lihat datanya dari tahun ke tahun, target penerimaan pajaknya tidak jauh berbeda. Ini menunjukkan kurangnya komitmen untuk mendorong rasio pajak ke level yang lebih ideal,” ujar Galih.

Data Kementerian Keuangan mencatat, rasio pajak Indonesia pada 2023 hanya mencapai 8,75% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Meski ada sedikit peningkatan dari tahun sebelumnya, angka tersebut masih tertinggal jauh dibandingkan negara-negara tetangga seperti Thailand yang mencatat sekitar 17%, serta Filipina dan Vietnam di kisaran 14%–15%.

Galih menekankan bahwa stagnasi ini menjadi ancaman serius bagi kemandirian fiskal nasional. Pajak merupakan sumber utama pembiayaan negara, termasuk pembangunan infrastruktur dan program sosial. Karena itu, menurutnya, pemerintah tidak boleh merasa puas dengan capaian yang ada saat ini.

Ia pun mendorong adanya evaluasi menyeluruh terhadap strategi perpajakan yang berjalan, termasuk penyusunan target yang lebih ambisius namun tetap realistis. Apalagi, pemerintah tengah menjalankan sejumlah agenda reformasi perpajakan seperti integrasi NIK dengan NPWP, perbaikan administrasi perpajakan, dan upaya merangkul pelaku ekonomi digital.

“Reformasi yang sedang berlangsung ini seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat sistem perpajakan nasional dan mendorong rasio pajak menuju level yang lebih sehat dalam jangka menengah,” ujarnya. (alf)

 

 

 

Quattrick! IKPI Apresiasi Kinerja DJP di Bawah Kepemimpinan Suryo Utomo

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) memberikan apresiasi tinggi kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) atas pencapaian luar biasa dalam kinerja penerimaan pajak selama empat tahun berturut-turut, dari tahun 2021 hingga 2024.

Menurut Ketua Umum IKPI, Vaudy Starworld, di bawah komando Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo, DJP berhasil mencatatkan “quattrick” atau empat kali berturut-turut melampaui target penerimaan sebuah prestasi yang sangat jarang terjadi dalam sejarah perpajakan Indonesia.

Vaudy menyatakan bahwa keberhasilan ini layak diapresiasi sebagai bentuk sinergi yang baik antara DJP, konsultan pajak, serta para wajib pajak yang semakin sadar akan pentingnya kontribusi mereka terhadap negara.

“Empat kali berturut-turut mencapai dan bahkan melampaui target adalah pencapaian luar biasa. Ini bukan hanya soal angka, tapi juga cerminan dari kepercayaan dan kepatuhan yang terus tumbuh di masyarakat,” ujar Vaudy, Kamis (8/5/2025).

(Sumber: Direktorat Jenderal Pajak)

Berdasarkan data yang dirilis oleh Direktorat Jenderal Pajak, penerimaan pajak pada tahun 2020 sempat mengalami kontraksi sebesar -19,6% akibat dampak pandemi COVID-19, hanya mencapai Rp1.072,1 triliun dengan capaian 89,4% dari target. Namun, pemulihan mulai terlihat pada 2021, di mana penerimaan tumbuh 19,3% menjadi Rp1.278,7 triliun dan melampaui target dengan capaian 104,0%.

Tren positif berlanjut di tahun 2022, dengan pertumbuhan spektakuler sebesar 34,3% menjadi Rp1.716,8 triliun, didorong oleh commodity boom, implementasi UU HPP, dan program pengungkapan sukarela (PPS). Tahun itu, capaian penerimaan bahkan menyentuh 115,6% dari target.

Meskipun pada 2023 pertumbuhan sedikit melambat menjadi 8,8% akibat penurunan harga komoditas dan nilai impor, DJP tetap berhasil mengumpulkan Rp1.867,9 triliun atau 102,7% dari target.

Tahun 2024 pun tidak kalah impresif. Meski tantangan ekonomi global dan moderasi harga komoditas membuat target penerimaan lebih konservatif, DJP tetap mampu mencapainya dengan pertumbuhan 3,5% dan capaian 100,5%, yaitu sebesar Rp1.932,4 triliun. Untuk tahun 2025, pemerintah melalui APBN telah menetapkan target sebesar Rp2.189,3 triliun, dengan asumsi pertumbuhan 13,3% yang akan didukung oleh kelanjutan reformasi perpajakan.

Menurut Vaudy, keberhasilan ini tak lepas dari kontribusi para konsultan pajak yang berperan aktif mendampingi wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan secara benar dan tepat waktu.

“IKPI sebagai organisasi profesi terus berkomitmen untuk meningkatkan literasi dan kepatuhan pajak melalui berbagai kegiatan edukasi di seluruh Indonesia, baik oleh Pengurus Pusat, Pengda, maupun Pengcab,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa IKPI saat ini tengah merancang program edukasi terpadu yang menyasar pelaku UMKM dan anggota asosiasi bisnis. “Kami ingin menjangkau lebih luas kalangan dunia usaha, khususnya UMKM, agar semakin paham hak dan kewajiban perpajakan mereka. Dengan pendekatan yang tepat, kami yakin basis pajak akan semakin kuat dan penerimaan negara pun lebih berkelanjutan,” kata Vaudy. (bl)

Sebanyak 1.979 Peserta Lolos Verifikasi USKP 2025, Panitia Berikan Waktu Sanggah Hingga 8 Mei

IKPI, Jakarta: Komite Pelaksana Panitia Penyelenggara Sertifikasi Konsultan Pajak (KP3SKP) secara resmi mengumumkan sebanyak 1.979 peserta dinyatakan lolos verifikasi administrasi untuk mengikuti Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak (USKP) Periode I Tahun 2025. Jumlah ini terdiri atas 1.409 peserta Tingkat A dan 570 peserta Tingkat B, sesuai dengan Pengumuman Nomor: PENG-3/KP3SKP/V/2025 yang diterbitkan pada Selasa (7/5/2025).

Ujian yang menjadi salah satu tahapan krusial untuk memperoleh sertifikasi sebagai konsultan pajak ini akan diselenggarakan secara serentak di 24 lokasi di seluruh Indonesia, mulai tanggal 26 hingga 28 Mei 2025. Lokasi pelaksanaan meliputi berbagai Balai Diklat Keuangan (BDK) di sejumlah kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Medan, hingga Makassar.

USKP sendiri terdiri dari tiga tingkat A, B, dan C dengan peserta yang lolos verifikasi kali ini terbagi ke dalam dua kategori, yaitu peserta mengulang untuk Tingkat A dan Tingkat B.

Tingkat A diperuntukkan bagi calon konsultan pajak pemula, sementara Tingkat B ditujukan untuk peserta yang telah memiliki sertifikat A dan ingin naik ke jenjang berikutnya.

Panitia menegaskan bahwa hanya peserta yang namanya tercantum dalam lampiran pengumuman yang dinyatakan lolos dan berhak mengikuti ujian. Bagi peserta yang merasa telah mendaftar tetapi namanya tidak tercantum, diberikan kesempatan untuk mengajukan sanggahan paling lambat 8 Mei 2025 pukul 16.00 WIB. Sanggahan dikirimkan melalui email resmi panitia dengan menyertakan dokumen pendukung yang diperlukan.

Persiapan teknis ujian juga diperketat, dengan diwajibkannya peserta untuk mengikuti briefing online pada 21 Mei 2025, melalui tautan yang akan dikirimkan oleh panitia. Briefing ini bersifat wajib dan merupakan bagian dari pengenalan sistem serta tata tertib pelaksanaan ujian.

Selain itu, Panitia kembali mengingatkan bahwa ketidakhadiran peserta tanpa keterangan akan berakibat serius. Peserta yang absen tanpa alasan yang sah akan dikenakan penalti tidak diperkenankan mengikuti USKP selama tiga periode berturut-turut. Hal ini diberlakukan guna menjamin komitmen dan kedisiplinan calon konsultan pajak.

Sebagai bentuk dukungan terhadap peserta, Panitia telah menyediakan materi pembelajaran mandiri berupa video dan e-learning yang dapat diakses melalui laman resmi Kementerian Keuangan. Namun, materi ini bersifat suplemen dan bukan merupakan satu-satunya acuan belajar. Peserta tetap diharapkan mempelajari literatur perpajakan yang relevan dan terkini.

Ujian SKP mencakup berbagai topik penting di bidang perpajakan, mulai dari Pajak Penghasilan Orang Pribadi dan Badan, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Akuntansi Pajak, hingga Kode Etik Profesi.

Ujian berlangsung selama tiga hari berturut-turut dan dilakukan secara tertulis maupun berbasis komputer di beberapa lokasi tertentu.

Sekadar informasi, sertifikasi konsultan pajak merupakan syarat legalitas penting bagi siapa pun yang ingin menjalankan praktik sebagai konsultan pajak di Indonesia. Dengan tingginya jumlah peserta yang lolos verifikasi pada periode ini, persaingan dipastikan akan sangat ketat. (bl)

Pemerintah Genjot Deregulasi Fiskal, Restitusi Pajak Bakal Lebih Cepat dan Sederhana

IKPI, Jakarta: Pemerintah kembali menegaskan komitmennya dalam mempercepat reformasi regulasi, khususnya di sektor fiskal. Kementerian Keuangan menyatakan akan menyederhanakan proses restitusi atau pengembalian kelebihan pembayaran pajak, serta memangkas prosedur pemeriksaan pajak.

Langkah ini merupakan bagian dari strategi deregulasi yang tengah digalakkan guna memperkuat daya tahan ekonomi nasional, baik dari sisi dalam negeri maupun hubungan dagang internasional.

Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menegaskan bahwa tujuan deregulasi bukan hanya merespons tekanan dari luar negeri, tetapi didorong kebutuhan internal untuk meningkatkan efisiensi ekonomi nasional.

“Kami menderegulasi hambatan non-tarif bukan semata karena dorongan Amerika Serikat, tetapi karena kebutuhan kita sendiri untuk bergerak lebih efisien,” kata Anggito dalam konferensi tahunan Fitch Ratings di Jakarta, Rabu (7/5/2025).

Di sektor perpajakan, Anggito menyebut pihaknya terus berkomunikasi dengan para wajib pajak demi mempercepat penyelesaian administrasi fiskal. “Kami sedang mempercepat penghapusan kredit pajak dan mempercepat proses pemeriksaan agar pelaku usaha tidak terbebani birokrasi yang rumit,” ujarnya.

Pemerintah juga menyiapkan berbagai insentif fiskal lainnya. Mulai dari penghapusan bea masuk untuk barang tertentu, hingga deregulasi di sektor perdagangan, kepabeanan, dan cukai. Kebijakan ini diharapkan bisa menekan defisit perdagangan yang telah menembus angka 80 miliar dolar AS.

“Kami tengah mencari titik keseimbangan, baik melalui pengendalian impor maupun mendorong investasi dari Amerika Serikat dan negara lainnya,” tambah Anggito.

Senada dengan itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya juga telah menyampaikan rencana deregulasi fiskal. Menurutnya, penyederhanaan aturan sangat krusial dalam menjaga stabilitas ekonomi di tengah dinamika global.

“Kementerian Keuangan berkomitmen menjaga keuangan negara tetap sehat dan kredibel, sambil terus melakukan reformasi deregulasi dan debirokratisasi,” ucap Sri Mulyani dalam pernyataan pada April lalu.

Komitmen ini merupakan tindak lanjut dari arahan Presiden Prabowo Subianto kepada jajaran ekonomi Kabinet Merah Putih. Prabowo meminta agar regulasi yang menghambat dunia usaha segera dievaluasi dan disederhanakan, sebagai bagian dari strategi nasional untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan tangguh menghadapi tantangan global.

Dengan langkah-langkah ini, pemerintah berharap iklim usaha di Indonesia semakin kondusif, efisien, dan adaptif terhadap perubahan ekonomi dunia. Restitusi pajak yang lebih cepat hanyalah satu dari sekian banyak reformasi yang sedang digerakkan demi Indonesia yang lebih kompetitif. (alf)

 

Indonesia Terapkan Pajak Minimum Global, Tetapi SPT GloBe Masih Tunggu Aturan Teknis

IKPI. Jakarta: Pemerintah Indonesia mengambil langkah penting dalam reformasi perpajakan global dengan mulai menerapkan pajak minimum global. Hal ini ditandai dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024, yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025.

Regulasi ini mewajibkan perusahaan multinasional untuk menyerahkan Surat Pemberitahuan (SPT) Global Anti-Base Erosion (GloBe), sebagai bagian dari upaya mencegah praktik penghindaran pajak lintas negara.

Meski regulasi induk sudah resmi diluncurkan, aturan teknis pelaporan SPT GloBe masih dalam proses finalisasi. “Aturan turunan pajak minimum global sesuai PMK Nomor 136 Tahun 2024, termasuk teknis pelaporan SPT [GloBe] masih dalam pembahasan kami,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Dwi Astuti, Rabu (7/5/2025).

Mengacu pada ketentuan dalam PMK tersebut, kebijakan ini menyasar Wajib Pajak Badan yang menjadi bagian dari grup usaha multinasional dengan pendapatan konsolidasi global minimal 750 juta euro. Pemerintah menetapkan tarif pajak minimum sebesar 15 persen.

Bila tarif efektif suatu entitas di bawah ambang tersebut, maka entitas tersebut wajib membayar top up tax untuk menutupi selisihnya paling lambat pada akhir tahun pajak berikutnya. Misalnya, kewajiban tambahan untuk tahun pajak 2025 harus dilunasi sebelum 31 Desember 2026.

Sementara itu, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan menegaskan bahwa pelaporan SPT GloBe wajib disampaikan dalam waktu 15 bulan setelah tahun pajak berakhir.

Sebagai bentuk adaptasi, pemerintah memberikan masa transisi lebih longgar pada tahun pertama implementasi, yakni pelaporan tahun pajak 2025 diberi batas waktu hingga 30 Juni 2027.

Adapun detail teknis seperti format formulir, mekanisme pengisian, tata cara pelaporan, dan prosedur pembayaran SPT GloBe akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pajak melalui regulasi lanjutan. (alf)

 

 

DPR Apresiasi Kinerja DJP: Penerimaan Pajak 2024 Tembus Rp1.932 Triliun

IKPI, Jakarta: Komisi XI DPR RI memberikan apresiasi kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) atas kinerja impresif dalam menghimpun penerimaan negara sepanjang 2024. Hal ini disampaikan dalam rapat dengar pendapat (RDP) yang digelar di kompleks parlemen, Jakarta, Rabu (7/5/2025), dan dipimpin langsung oleh Ketua Komisi XI, Mukhamad Misbakhun.

Dalam rapat yang dihadiri oleh 17 anggota legislatif dari enam fraksi tersebut, Misbakhun menekankan pentingnya peran pajak sebagai tulang punggung pembiayaan negara. Ia menggarisbawahi bahwa meski belum menyentuh target, capaian penerimaan pajak sebesar Rp1.932,4 triliun atau 97,2% dari target APBN Rp1.988,9 triliun adalah prestasi yang patut dihargai. Capaian tersebut tumbuh 3,5% dibandingkan tahun sebelumnya.

“Penerimaan pajak adalah fondasi utama keberlangsungan program pemerintah. Kinerja DJP yang berhasil menghimpun hampir seluruh target patut kita apresiasi,” ujar Misbakhun.

Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa kontributor utama penerimaan pajak berasal dari PPh nonmigas yang mencapai Rp997,6 triliun, setara dengan 51,6% dari total. PPh Pasal 21 menunjukkan pertumbuhan signifikan sebesar 21,1% dengan total Rp243,8 triliun. Sebaliknya, PPh Badan mengalami penurunan cukup tajam sebesar 18,1% dan hanya menyumbang Rp335,8 triliun.

Sementara itu, PPh migas menyumbang Rp65,1 triliun, turun 5,3% dibanding tahun sebelumnya. Di sisi lain, PPN dan PPnBM mencatatkan pertumbuhan kuat 8,6% dengan total Rp828,5 triliun atau hampir 43% dari keseluruhan penerimaan.

Rapat ini juga membahas perkembangan sistem inti perpajakan (core tax system) yang diharapkan dapat mendongkrak efisiensi dan transparansi dalam pengelolaan perpajakan nasional di masa mendatang.

Dengan pencapaian ini, Komisi XI mendorong DJP untuk terus berinovasi dan memperkuat strategi pemungutan pajak guna mendukung agenda pembangunan nasional secara berkelanjutan. (alf)

 

 

Jumlah Pelapor SPT Merosot, DJP Cari “Biang Kerok” 154 Ribu WP Mangkir

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tengah menyelidiki penyebab berkurangnya jumlah pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak pada tahun ini. Hingga akhir April 2025, hanya 14,053 juta wajib pajak (WP) yang tercatat telah menyampaikan SPT, menurun dibandingkan tahun lalu yang mencapai 14,207 juta.

Dirjen Pajak Suryo Utomo menyampaikan bahwa penurunan ini menjadi perhatian serius pihaknya. “Ada selisih sekitar 154 ribu SPT dibandingkan tahun sebelumnya, dan ini sedang kami telaah lebih lanjut,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi XI DPR RI di Jakarta Pusat, Rabu (7/5/2025).

Penurunan paling mencolok terjadi pada WP Orang Pribadi, yang tahun ini hanya mencapai 12,99 juta pelapor. Jumlah tersebut lebih rendah dibandingkan tahun 2024 yang tercatat sebanyak 13,15 juta WP, atau mengalami kontraksi 1,21 persen.

Menurut Suryo, penyebabnya masih belum pasti, namun salah satunya diduga karena pergeseran jadwal pelaporan akibat libur panjang Lebaran.

Sementara itu, WP Badan justru menunjukkan tren positif. Tercatat sebanyak 1,05 juta WP Badan telah melaporkan SPT, sedikit meningkat dibanding tahun lalu yang sebesar 1,04 juta. Dengan demikian, hanya WP Badan yang mencatatkan pertumbuhan sekitar 0,49 persen.

Ia menyebut total wajib pajak yang seharusnya melaporkan SPT di 2025 mencapai 19,78 juta, terdiri atas 17,68 juta WP Orang Pribadi dan 2,09 juta WP Badan. Namun, tingkat kepatuhan pelaporan belum memenuhi target yang diharapkan.

“Angka ini penting sebagai tolok ukur kepatuhan dan kesadaran pajak. Kami akan mendalami apakah faktor teknis, sosialisasi, atau motivasi lain yang membuat sejumlah WP tidak melaporkan SPT tahun ini,” kata Suryo. (alf)

 

Coretax Dibenahi Total, DJP Targetkan Rampung Sebelum Juli 2025

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus menggeber perbaikan besar-besaran pada Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax). Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo memastikan, seluruh proses pemulihan dan peningkatan sistem ini ditargetkan rampung paling lambat pada Juli 2025.

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi XI DPR RI pada Rabu (7/5/2025), Suryo mengungkapkan bahwa 21 proses bisnis terdampak error atau bugs sedang dibenahi. Tiga di antaranya—yakni Business Intelligence, Knowledge Management, dan Data Pihak Ketiga telah sukses diperbaiki. Sisanya, sebanyak 18 proses bisnis, tengah dikebut agar selesai maksimal sebelum akhir Juli.

“Ekspektasinya sebelum Juli selesai. Bahkan ada yang bisa lebih cepat, mungkin Mei atau Juni,” kata Suryo.

Tak hanya memperbaiki error, DJP juga menyempurnakan performa Coretax lewat penyelarasan logika aplikasi, penyesuaian konfigurasi infrastruktur, serta peningkatan kapasitas jaringan, database, dan penyimpanan data.

Sejumlah kendala yang sebelumnya dikeluhkan pengguna telah menunjukkan perbaikan signifikan. Misalnya, proses login yang sebelumnya lamban, kini dipercepat hingga hanya 0,011 detik. Masalah update profil yang dulu menimbulkan ratusan laporan error, kini hanya tersisa 18 kasus dalam rentang 1-6 Mei 2025 turun drastis dari 397 kasus pada awal tahun.

Perbaikan juga dilakukan terhadap kode otorisasi untuk tanda tangan elektronik, pengiriman OTP, hingga impersonate akun wajib pajak badan. Kasus impersonate, misalnya, anjlok dari 3.281 kasus (sampai 10 Februari) menjadi hanya 41 kasus di awal Mei.

“Alhamdulillah, progresnya luar biasa. Sistem jauh lebih stabil dan responsif dibandingkan awal tahun,” ujar Suryo.

Kapasitas bandwidth yang ditingkatkan dua kali lipat dari 9 Gbps ke 18 Gbps turut menyumbang kecepatan layanan. Contohnya, pembuatan faktur pajak kini hanya butuh 0,3 detik dari sebelumnya 9,8 detik. Pembuatan e-Bupot pun dipersingkat dari 16 detik menjadi hanya 0,434 detik.

Dengan tren perbaikan yang konsisten dan peningkatan infrastruktur yang terus dilakukan, DJP optimistis Coretax akan beroperasi optimal sesuai target. (alf)

en_US