Mulai 1 Juli Pengusaha Wajib Pusatkan PPN

IKPI, Jakarta: Dunia usaha perlu bersiap menghadapi transformasi besar dalam sistem administrasi perpajakan. Mulai 1 Juli 2024, pengusaha kena pajak (PKP) wajib melakukan pemusatan tempat Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terutang. Ketentuan ini merupakan bagian dari implementasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2023 yang sekaligus menghapus penggunaan NPWP cabang.

Dalam aturan tersebut, setiap transaksi penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) antarunit usaha, baik dari pusat ke cabang maupun antarcabang secara resmi diakui sebagai penyerahan BKP sebagaimana tertuang dalam Pasal 1A ayat (1) huruf f UU PPN. Artinya, jika tidak dilakukan pemusatan, masing-masing cabang dapat dikenai PPN secara terpisah.

Namun, dengan berlakunya PMK 136/2023 yang merevisi PMK 112/2022, pemerintah menegaskan bahwa pemusatan bukan lagi bersifat opsional, melainkan kewajiban administratif. Seluruh kegiatan usaha harus dilaporkan secara terintegrasi, terlepas dari lokasi cabang.

Selain menekan potensi penghindaran pajak, pemusatan juga memberikan manfaat efisiensi, khususnya bagi perusahaan yang beroperasi di wilayah terpencil. Pengumpulan data dan pelaporan SPT Masa PPN yang sebelumnya memakan biaya dan waktu, kini dapat dilakukan secara lebih ringkas melalui satu titik pusat.

Dengan sistem baru ini, transaksi internal antarunit usaha tidak lagi dianggap sebagai penyerahan kena pajak. Konsekuensinya, PKP tidak perlu menerbitkan faktur pajak untuk transaksi antarcabang, yang secara signifikan mengurangi beban administrasi.

Sebagai langkah antisipasi, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah mengeluarkan ketentuan PENG-4/PJ.09/2024, yang menyatakan bahwa bila PKP tidak menyampaikan pemberitahuan pemusatan hingga 30 April 2024, DJP akan menetapkannya secara jabatan berdasarkan tempat kedudukan PKP.

Di sisi lain, pemerintah kini memperkenalkan Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha (NITKU) sebagai pengganti identitas cabang. NITKU digunakan sebagai penanda lokasi usaha, namun seluruh kewajiban perpajakan tetap dipusatkan dan ditangani melalui NPWP pusat.

Seiring dengan diberlakukannya sistem Coretax sejak 1 Januari 2025, yang mewajibkan seluruh pelaporan dilakukan secara digital dan terpusat, pelaku usaha dituntut untuk menyesuaikan sistem pelaporan internal mereka. (alf)

 

IKPI Gelar Diskusi Panel Nasional: Kupas Efektivitas Tax Amnesty untuk Dorong Penerimaan Negara

IKPI, Jakarta: Dalam rangka melanjutkan kajian strategis terhadap peningkatan penerimaan pajak dan reformasi kebijakan fiskal di Indonesia, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) kembali menggelar sebuah forum diskusi panel nasional bertajuk “Tax Amnesty: Efektifkah Mengakselerasi dan Mendongkrak Penerimaan Pajak?”. Kegiatan ini menjadi bagian dari rangkaian seri diskusi yang telah dilaksanakan oleh IKPI untuk membedah isu-isu krusial dalam sistem perpajakan Indonesia, yang sebelumnya telah mengangkat topik tentang Tax Ratio dan optimalisasi peran Badan Penerimaan Negara.

Ketua Umum IKPI, Vaudy Starworld, menyampaikan bahwa penyelenggaraan forum ini merupakan bentuk komitmen IKPI untuk terus berkontribusi secara aktif dalam pembangunan sistem perpajakan yang lebih adil, transparan, dan efektif.

Menurutnya, isu tax amnesty atau pengampunan pajak kembali menjadi sorotan di tengah upaya pemerintah untuk mencari strategi baru dalam mengakselerasi penerimaan negara, terutama di tengah dinamika ekonomi global dan kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin besar.

“Tema Tax Ratio dan Badan Penerimaan Negara telah kita dalami bersama dalam dua seri diskusi sebelumnya. Kini, IKPI menghadirkan forum diskusi yang membahas efektivitas kebijakan tax amnesty sebagai salah satu instrumen untuk mendongkrak penerimaan pajak. Diskusi ini diharapkan tidak hanya menjadi ruang tukar gagasan, tetapi juga memberikan rekomendasi konkret dalam perumusan kebijakan fiskal nasional,” ungkap Vaudy, Sabtu (7/6/2025).

Diskusi panel yang akan digelar pada Jumat, 13 Juni 2025 pukul 15.00–18.00 WIB melalui platform Zoom Meeting ini, menghadirkan para narasumber yang memiliki rekam jejak dan keahlian mumpuni di bidang perpajakan dan kebijakan publik. Mereka antara lain:

• Dr. Robert Pakpahan, Ak., Direktur Jenderal Pajak RI periode 2017–2019, yang dikenal sebagai salah satu arsitek reformasi pajak digital. Saat ini merupakan Anggota Kehormatan IKPI.

• Ir. Harry Gumelar, M.Sc., Direktur dan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (2011–2024), sekaligus Ketua Umum Persatuan Ahli Digitalisasi Pajak Indonesia (2024–sekarang). Saat ini merupakan Anggota Kehormatan IKPI.

• Ajib Hamdani, S.E., analis kebijakan ekonomi dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), yang aktif mengawal isu reformasi fiskal dan investasi.

• Dr. Heru R. Hadi, Ak., S.H., M.H., C.P.A., akademisi dari Universitas Brawijaya Malang, yang juga pakar hukum perpajakan dan tata kelola fiskal. Saat ini merupakan Anggota Dewan Penasehat IKPI.

Diskusi ini akan dipandu oleh moderator berpengalaman, Hung Hung Natalya, S.E., S.H., Ms in Finance, C.Med., merupakan anggota IKPI dan pernah menjadi pengurus pada Departemen Pendidikan Pengurus Pusat IKPI periode 2019–2024.

Selain menjadi forum ilmiah, kegiatan ini juga diharapkan dapat menjadi ajang peningkatan kompetensi dan wawasan praktisi perpajakan, baik anggota IKPI maupun masyarakat luas yang berkecimpung di sektor perpajakan, hukum, ekonomi, hingga pemerintahan. Oleh karena itu, acara ini terbuka untuk umum dan tidak dipungut biaya (gratis), sebagai bagian dari kontribusi IKPI dalam mencerdaskan dan memperkuat ekosistem perpajakan nasional.

Bagi masyarakat yang ingin bergabung, dapat melakukan registrasi melalui tautan berikut: https://bit.ly/DiskusiPanelTaxAmnesty

Dengan semakin meningkatnya tantangan penerimaan negara dan kebutuhan akan reformasi kebijakan fiskal yang adaptif, Vaudy berharap diskusi ini dapat memberikan perspektif baru dalam menjawab pertanyaan kunci: apakah tax amnesty benar-benar mampu menjadi solusi jangka panjang atau sekadar tambalan sesaat bagi penerimaan negara?. (bl)

Tax Amnesty Jilid III: Pilihan Logis atau Sekadar Ilusi Kebijakan?

Ketika tahun 2025 baru saja bergulir, publik dikejutkan oleh kemunculan wacana yang cukup kontroversial: pengampunan pajak atau Tax Amnesty Jilid III. Wacana ini tidak datang dari ruang hampa. Ia mengemuka setelah Rancangan Undang-Undang (RUU) Tax Amnesty resmi masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025. Sorotan semakin tajam ketika Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Budi Gunawan, secara terbuka menyatakan bahwa pemerintah tengah menyiapkan skema pengampunan pajak terbaru tersebut.

Dalam konferensi pers Rapat Tingkat Menteri Desk Koordinasi Pencegahan Korupsi dan Tata Kelola di Kejaksaan Agung pada 2 Januari 2025, Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan RI, Budi Gunawan menegaskan bahwa program ini dirancang sebagai solusi strategis untuk menarik kembali aset dan devisa negara, terutama yang terkait dengan kasus-kasus korupsi besar. Ia menyebut bahwa saat ini Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Keuangan tengah menggodok secara serius kerangka kebijakan ini.

Kemunculan wacana ini tidak bisa dilepaskan dari realitas fiskal yang tengah dihadapi negara. Penerimaan pajak yang menjadi tulang punggung pembiayaan negara masih menunjukkan tren melemah. Berdasarkan laporan dari CNBC Indonesia, hingga April 2025 penerimaan pajak tercatat hanya mencapai Rp 557,1 triliun. Angka ini mengalami penurunan cukup tajam, yakni 10,74% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu Rp 624,19 triliun per April 2024.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui tantangan ini. Dalam konferensi pers APBN di Kantor Pusat Kementerian Keuangan, Jakarta, pada 23 Mei 2025, ia menjelaskan bahwa angka penerimaan tersebut baru mencapai 25,4% dari target APBN 2025 yang sebesar Rp 2.189,3 triliun. Dengan kata lain, pemerintah menghadapi tekanan berat untuk menutup potensi defisit yang bisa membengkak jika penerimaan pajak tidak segera diperbaiki.

Dalam konteks ini, Tax Amnesty Jilid III muncul sebagai opsi cepat untuk memperbaiki likuiditas negara. Dalam teori kebijakan fiskal, extraordinary times call for extraordinary measures. Namun, apakah pengampunan pajak masih bisa dikategorikan sebagai langkah luar biasa jika dilakukan terlalu sering?

Tarik Ulur Antara Rasionalitas Fiskal dan Keadilan Publik

Di satu sisi, para pendukung kebijakan ini menyambut positif. Mereka menilai pengampunan pajak bisa menjadi instrumen jitu untuk mempercepat penerimaan negara. Tak hanya itu, kehadiran sistem administrasi perpajakan digital terbaru, yakni coretax, yang diluncurkan pemerintah pada awal 2025, memberi harapan bahwa program ini tidak hanya mengumpulkan dana sesaat, tetapi juga memperkuat basis data dan kepatuhan pajak jangka panjang.

Mereka berargumen bahwa di tengah perlambatan ekonomi global dan ketidakpastian geopolitik yang berdampak pada perekonomian domestik, fleksibilitas fiskal adalah suatu keharusan. Tax Amnesty diyakini bisa mendorong repatriasi aset, meningkatkan likuiditas domestik, dan membuka jalan bagi reformasi struktural di bidang perpajakan. Apalagi jika program ini dibarengi dengan peningkatan kapasitas pengawasan dan penegakan hukum yang lebih tegas setelahnya.

Namun, sisi gelap dari kebijakan ini tidak bisa diabaikan. Kritik tajam datang dari kelompok yang menilai Tax Amnesty sebagai bentuk pengkhianatan terhadap prinsip keadilan pajak. Kebijakan ini dianggap menyuburkan moral hazard: memberi sinyal bahwa ketidakpatuhan bisa dimaafkan dan bahkan diuntungkan. Para wajib pajak patuh merasa dianaktirikan, karena mereka yang sengaja menyembunyikan kekayaan malah mendapat pintu masuk untuk “cuci dosa” tanpa sanksi tegas.

Yang menjadi kekhawatiran lebih besar adalah jarak waktu yang terlalu pendek dari program Tax Amnesty sebelumnya. Jika pengampunan pajak dilakukan terlalu sering, maka akan menimbulkan persepsi publik bahwa pemerintah tidak serius menegakkan aturan perpajakan. Ini justru bisa mendorong tingkat ketidakpatuhan yang lebih tinggi ke depan, karena pelaku ekonomi bisa berspekulasi bahwa akan selalu ada “pengampunan jilid selanjutnya.”

Tax Amnesty Bukan Obat Mujarab

Indonesia telah dua kali menjalankan program Tax Amnesty: pertama pada 1984 (bersamaan dengan reformasi sistem self-assessment), dan kedua pada 2016-2017 yang digagas oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo. Program Tax Amnesty 2016 berhasil menghimpun deklarasi harta hingga Rp 4.865 triliun dan penerimaan uang tebusan sebesar Rp 114 triliun. Meskipun secara nominal tergolong besar, kritik tetap muncul karena sebagian besar harta yang dideklarasikan tidak benar-benar direpatriasi, dan dampak jangka panjang terhadap kepatuhan pajak dinilai minim.

Oleh karena itu, pelajaran penting dari pengalaman tersebut adalah bahwa Tax Amnesty hanya bisa berhasil jika disertai reformasi struktural yang berkelanjutan. Tanpa itu, ia hanya menjadi tambal sulam fiskal yang bersifat sementara.

Perdebatan soal Tax Amnesty Jilid III mungkin tidak akan pernah menemukan titik temu. Masing-masing pihak membawa sudut pandang, kepentingan, dan pengalaman yang berbeda. Namun satu hal yang pasti: keputusan akhir dari wacana ini akan sangat politis. Pemerintah dan DPR tentu memiliki kalkulasi tersendiri, baik fiskal, ekonomi, maupun elektoral.

Apakah Tax Amnesty Jilid III adalah pilihan yang logis atau tidak logis? Itu bukan semata soal angka atau opini teknokrat. Pada akhirnya, logis atau tidaknya kebijakan ini akan diukur dari dampaknya terhadap keadilan sosial, kepatuhan jangka panjang, dan kepercayaan publik terhadap institusi negara.

Jika pemerintah tetap memilih untuk melanjutkan wacana ini menjadi kebijakan nyata, maka transparansi, integritas, dan ketegasan dalam menindak ketidakpatuhan pasca-program akan menjadi ujian terbesar. Tanpa itu, Tax Amnesty hanya akan menjadi ilusi kebijakan: terlihat masuk akal di atas kertas, tapi gagal dalam pelaksanaan.

Penulis adalah Ketua Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)

Pino Siddharta

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

DJP Jaksus Ajak Mahasiswa UBSI Lihat Pajak sebagai Kontribusi Bangsa

IKPI, Jakarta: Pajak bukanlah beban, melainkan bentuk kontribusi nyata untuk membangun negeri. Pesan inilah yang disampaikan oleh Kepala Bidang Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Khusus, Ani Natalia, saat memberikan pembekalan kepada 400 mahasiswa Program Studi Manajemen Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI), Selasa (6/5/2025) di Jakarta.

Di hadapan para mahasiswa, Ani mengajak generasi muda untuk menumbuhkan growth mindset, pola pikir berkembang yang dinilainya sangat penting dalam menghadapi tantangan dunia kerja. Menurutnya, pola pikir ini tak hanya menunjang kesuksesan karier, tetapi juga membentuk kesadaran akan pentingnya pajak bagi kemajuan bangsa.

“Di dunia kerja yang terus berubah, growth mindset bukan sekadar pilihan, tapi keharusan. Mereka yang mampu belajar dan beradaptasi akan melaju lebih cepat. Begitu juga dalam memandang pajak—harus dilihat sebagai kontribusi, bukan beban,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat (6/6/2025).

Ani menyayangkan masih banyak kalangan, termasuk generasi muda, yang terjebak dalam fixed mindset, yakni pola pikir tetap yang menganggap pajak sebagai sekadar kewajiban yang membebani. Padahal, menurutnya, membayar pajak adalah bentuk nyata cinta pada Tanah Air.

“Dengan growth mindset, kita dapat melihat pajak dari sudut pandang yang lebih luas, sebagai bagian dari tanggung jawab moral dan sosial,” tegas Ani.

Senada dengan itu, Rektor UBSI Mochamad Wahyudi menegaskan pentingnya membangun budaya sadar pajak di lingkungan kampus. Ia menyebut UBSI berkomitmen mendidik mahasiswa agar tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga memiliki semangat kontribusi melalui pemahaman perpajakan sejak dini.

“Mahasiswa UBSI harus siap menghadapi dunia kerja, tapi juga sadar peran sosialnya. Pajak bukan sekadar urusan administratif, tapi bentuk pengabdian untuk negeri,” tutur Wahyudi.

Dukungan UBSI terhadap literasi perpajakan telah diwujudkan lewat berbagai kerja sama strategis dengan Kanwil DJP Jaksus, termasuk pelaksanaan Bimbingan Teknis Aplikasi Core Tax di Kampus UBSI Kalimalang pada Februari lalu. Kegiatan itu diikuti puluhan pegawai UBSI yang mempelajari fitur-fitur layanan Coretax.

Melalui edukasi berkelanjutan seperti ini, diharapkan mahasiswa UBSI tumbuh menjadi generasi sadar pajak yang tidak hanya cerdas, tetapi juga bertanggung jawab terhadap masa depan bangsa. (alf)

 

Urus Balik Nama PBB Kini Lebih Mudah, Pemilik Properti di Jakarta Bisa Ajukan Secara Online

IKPI, Jakarta: Kabar baik bagi para pemilik properti di Ibu Kota! Mulai sekarang, proses pengajuan balik nama atau mutasi Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dapat dilakukan secara daring melalui situs Pajak Online Jakarta. Inovasi digital ini diharapkan mempercepat pelayanan publik dan mengurangi antrian di kantor pajak.

Mutasi PBB, atau biasa dikenal dengan balik nama, merupakan langkah penting untuk memperbarui data kepemilikan atas suatu objek pajak setelah terjadi perpindahan hak, seperti akibat jual beli, hibah, atau warisan. Dengan melakukan mutasi, Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) akan mencantumkan nama pemilik yang sah dan terbaru.

Tak perlu lagi datang langsung ke kantor pelayanan pajak. Cukup dari rumah, Anda sudah bisa mengurusnya dengan mudah. Berikut panduan praktis untuk mengajukan permohonan mutasi PBB-P2 secara online:

Panduan Singkat Mutasi PBB-P2 via Pajak Online Jakarta

1. Akses Situs Pajak Online

Buka laman resmi di https://pajakonline.jakarta.go.id

2. Login ke Akun Anda

Klik “Masuk” dan gunakan email serta password yang sudah terdaftar. Jangan lupa centang “I’m Not A Robot”.

3. Pilih Jenis Pajak PBB

Di menu utama, klik “Jenis Pajak” lalu pilih “PBB”.

4. Ajukan Layanan Mutasi

Masuk ke menu “Pelayanan”, kemudian klik “Tambah Permohonan Pelayanan”.

5. Lengkapi Formulir Digital

Pilih “Mutasi” pada kolom Jenis Pelayanan

Isi data pribadi dan data objek pajak secara lengkap

Unggah dokumen-dokumen pendukung yang diminta

6. Konfirmasi dan Simpan

Cek ulang semua informasi. Setelah yakin benar, centang pernyataan persetujuan, lalu klik “Simpan”.

7. Pantau Proses Secara Real-Time

Lihat perkembangan permohonan Anda di halaman “Pelayanan PBB”, yang akan menampilkan status terbaru, mulai dari “Proses Verifikasi” hingga “Berkas Selesai”.

8. Unduh Bukti Tanda Terima

Jika permohonan telah disetujui, Anda bisa langsung mengunduh dan mencetak Surat Tanda Terima dari sistem.

Tips Sukses Mengajukan Mutasi Online

  • Pastikan dokumen yang diunggah lengkap dan sesuai ketentuan.
  • Gunakan koneksi internet yang stabil saat mengisi data.
  • Cek secara berkala status permohonan melalui akun Anda.

Langkah digital ini merupakan bagian dari komitmen Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menghadirkan pelayanan pajak yang modern, transparan, dan mudah diakses. Dengan sistem online, pengurusan PBB kini lebih hemat waktu dan tenaga.

Untuk informasi selengkapnya, masyarakat dapat mengunjungi situs resmi Pajak Online Jakarta, atau menyimak video panduan resmi yang tersedia di platform tersebut. (alf)

 

.

 

 

SPT Tahunan Kini Wajib Cantumkan Detail Harta dalam 7 Tabel, Ini Penjelasan Lengkapnya

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak memperluas cakupan pelaporan kekayaan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan wajib pajak orang pribadi. Ketentuan tersebut tertuang dalam Peraturan Dirjen Pajak (Perdirjen) Nomor PER-11/PJ/2025.

Melalui regulasi ini, wajib pajak diwajibkan mengisi tujuh tabel harta secara rinci dalam Lampiran 1 Bagian A SPT Tahunan, yang mencakup informasi harta pada akhir tahun pajak. Ketujuh tabel tersebut mencakup: kas dan setara kas, piutang, investasi/sekuritas, harta bergerak, harta tidak bergerak, harta lainnya, dan ikhtisar harta.

Dalam dokumen lampiran peraturan, dijelaskan bahwa “harta” mencakup seluruh kekayaan yang menambah kemampuan ekonomis, baik berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, serta berada di dalam maupun luar negeri.

Rincian Isi Tabel-Tabel Harta

  1. Kas dan Setara Kas: Mencakup uang tunai, simpanan bank, deposito, uang elektronik, hingga cek dan commercial paper. Wajib pajak harus mencantumkan nomor rekening, nama lembaga keuangan, lokasi, serta nama pemilik rekening.
  2. Piutang: Meliputi piutang usaha, piutang kepada pihak afiliasi, dan lainnya. Informasi yang dilaporkan termasuk identitas dan lokasi penerima pinjaman, tahun dimulainya piutang, serta saldo terakhir.
  3. Investasi/Sekuritas: Berisi informasi investasi seperti saham, reksa dana, obligasi, kripto, hingga polis unit link. Wajib pajak melaporkan lokasi investasi, institusi terkait, harga perolehan, dan nilai terkini.
  4. Harta Bergerak: Seperti kendaraan bermotor, kapal, hingga pesawat. Detail meliputi tipe, merk, model, nomor registrasi, jenis kepemilikan, serta nilai dan harga perolehan.
  5. Harta Tidak Bergerak: Tanah dan bangunan untuk berbagai keperluan, seperti tempat tinggal atau usaha. Diperlukan rincian lokasi, ukuran, sumber kepemilikan, nomor sertifikat, tahun dan harga perolehan, serta nilai terkini.
  6. Harta Lainnya: Termasuk emas, perhiasan, NFT, hak kekayaan intelektual, barang seni, persediaan usaha, dan lainnya. Informasi yang diminta antara lain bukti kepemilikan, harga, dan nilai saat ini.
  7. Ikhtisar Harta: Berfungsi sebagai rekapitulasi seluruh harta yang sudah dilaporkan dalam tabel-tabel sebelumnya, baik harga perolehan maupun nilai saat ini.

Seluruh tabel tersebut wajib diisi oleh setiap wajib pajak orang pribadi tanpa terkecuali, terlepas dari besar kecilnya kekayaan yang dimiliki.

Perubahan Format Koreksi Fiskal

Selain ketentuan mengenai pelaporan harta, PER-11/PJ/2025 juga membawa perubahan penting dalam mekanisme pelaporan koreksi fiskal.

Kini, koreksi fiskal tidak lagi dilaporkan melalui lampiran tersendiri, tetapi langsung dimasukkan dalam laporan laba rugi pada Lampiran Rekonsiliasi Laporan Keuangan. Untuk wajib pajak orang pribadi, digunakan Lampiran 3A-1 hingga 3A-3, sedangkan untuk badan usaha digunakan Lampiran 1A hingga 1L.

Perubahan ini bertujuan untuk menyederhanakan proses pelaporan dan memperkuat integrasi antara laporan komersial dan fiskal.

Sorotan Pajak Lainnya

Selain aturan baru pelaporan harta, isu perpajakan lainnya juga mencuat hari ini. Pemerintah terus mendorong agenda keanggotaan penuh di OECD. Di sisi lain, laporan terbaru dari Asian Development Bank (ADB) menyoroti pentingnya konsistensi kebijakan pajak untuk menopang pertumbuhan ekonomi di kawasan.

Pemerintah juga dikabarkan tengah mengkaji pemberian insentif PPN untuk sektor-sektor strategis, sebagai bagian dari reformasi pajak yang lebih luas. (alf)

 

 

 

DJP Pastikan Pembelian Hewan Kurban Bebas PPN, Ini Syaratnya!

IKPI, Jakarta: Di Hari Raya Iduladha, antusiasme masyarakat dalam membeli hewan kurban terus meningkat. Pasar hewan mulai dipadati pembeli yang berburu sapi, kambing, maupun domba untuk keperluan kurban. Di tengah euforia itu, muncul pertanyaan: apakah pembelian hewan kurban dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)?

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memastikan bahwa transaksi jual beli hewan kurban tidak dikenai PPN. Kabar ini disampaikan melalui unggahan di akun resmi Instagram @ditjenpajakri pada Rabu (4/6/2025).

“Impor dan/atau penyerahan hewan ternak seperti sapi, kerbau, kambing, domba, dan sejenisnya diberikan fasilitas PPN dibebaskan,” tulis DJP dalam unggahan tersebut.

Namun, fasilitas bebas pajak ini tidak serta-merta berlaku untuk semua jenis hewan. Ada sejumlah syarat yang wajib dipenuhi agar pembelian hewan kurban benar-benar terbebas dari pungutan PPN.

Lima Syarat Hewan Kurban Bebas PPN:

1. Kondisi Sehat: Hewan harus dalam keadaan sehat, tidak menunjukkan tanda-tanda penyakit.

2. Kemampuan Reproduksi: Harus memiliki organ reproduksi yang normal dan berfungsi baik.

3. Usia: Umur hewan berada di kisaran 2 hingga 4 tahun.

4. Bebas Cacat: Tidak mengalami cacat fisik maupun kelainan genetik.

5. Sertifikat Resmi: Wajib dibuktikan dengan sertifikat kesehatan hewan dari otoritas veteriner. (alf)

 

 

Bagi hewan ternak impor, sertifikat kesehatan dan asal usul harus dikeluarkan oleh lembaga resmi di negara asal. Sedangkan untuk ternak dalam negeri, dibutuhkan sertifikat dari otoritas veteriner di kabupaten/kota atau provinsi asal hewan tersebut.

 

Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong kemudahan bagi masyarakat dalam menjalankan ibadah kurban, sekaligus menjaga standar kesehatan hewan yang beredar di pasaran. Jadi, pastikan hewan kurban Anda memenuhi syarat agar transaksi tetap sah dan bebas dari pungutan PPN! (alf)

 

 

 

 

China Perluas Jangkauan Pajak Global, Incar Warga Beraset Kelas Menengah

IKPI, Jakarta: Pemerintah China memperketat pengawasan terhadap penghasilan warga negaranya yang disimpan di luar negeri. Setelah sebelumnya menyasar kalangan miliarder, kini otoritas pajak mulai mengincar individu dengan aset yang lebih kecil tanda bahwa kampanye pajak global Negeri Tirai Bambu memasuki babak baru.

Menurut sejumlah sumber yang mengetahui kebijakan tersebut, pemerintah akan lebih aktif memeriksa berbagai jenis pendapatan luar negeri, mulai dari dividen, keuntungan investasi hingga saham kompensasi dari perusahaan asing. Langkah ini dilakukan di tengah tekanan fiskal yang meningkat, menyusul membengkaknya defisit anggaran dan menurunnya pendapatan negara.

“Fokus utama kini bergeser dari individu ultra-kaya ke kelompok beraset menengah, termasuk mereka yang memiliki investasi di saham-saham AS dan Hong Kong,” ungkap salah satu sumber seperti dikutip dari Bloomberg, Jumat (6/6/2025).

Penerapan pajak atas keuntungan investasi dapat mencapai 20%, dan kantor-kantor pajak setempat telah mencatat lonjakan permintaan konsultasi dari warga dengan aset di bawah US$1 juta sebuah lonjakan signifikan dibandingkan tahun lalu, saat fokus penegakan hukum lebih diarahkan kepada individu dengan kekayaan lebih dari US$10 juta.

Langkah ini merupakan bagian dari strategi yang lebih besar untuk menambal kekurangan kas negara. Pada empat bulan pertama tahun ini, pendapatan gabungan dua buku fiskal utama China turun 1,3% secara tahunan, sementara pengeluaran negara naik 7,2%. Hasilnya, defisit anggaran melonjak lebih dari 50% dan melampaui US$360 miliar rekor tertinggi sepanjang sejarah untuk periode tersebut.

Pemerintah daerah, yang sebelumnya banyak bergantung pada penjualan tanah dan utang untuk membiayai proyek, kini menghadapi tekanan untuk mencari sumber penerimaan baru. Dalam beberapa kasus, otoritas setempat telah mengidentifikasi wajib pajak yang tidak melaporkan penghasilan luar negeri, dengan total denda dan tunggakan yang harus dibayar kembali mencapai puluhan ribu dolar.

Upaya ini juga mendapat dorongan dari penerapan Common Reporting Standard (CRS) sejak 2018 sistem internasional yang memungkinkan pertukaran otomatis informasi finansial lintas negara. Berkat sistem ini, otoritas pajak China kini bisa mengakses data rekening warga di hampir 150 yurisdiksi.

Sementara itu, Kantor Administrasi Pajak Negara masih bungkam atas laporan ini. Namun sejumlah biro pajak daerah seperti Beijing, Shanghai, dan Zhejiang sudah mengimbau masyarakat untuk menyerahkan laporan pendapatan luar negeri sebelum tenggat 30 Juni akhir masa pelaporan pajak tahun fiskal 2024.

Di tengah gejolak ekonomi dan ketidakpastian kebijakan, arus investasi warga China ke luar negeri terus mengalir. Tahun ini saja, lebih dari US$83 miliar telah dikucurkan investor daratan ke pasar saham Hong Kong dua kali lipat dibanding periode yang sama tahun lalu.

Dengan ambisi Presiden Xi Jinping untuk menciptakan “kemakmuran bersama”, serta proyeksi bahwa aset investasi rumah tangga dapat mencapai US$80 triliun pada 2030, maka pajak atas pendapatan global kemungkinan besar akan menjadi salah satu pilar kebijakan fiskal China ke depan. (alf)

 

RUU Pajak Trump Dinilai Hambat Pertumbuhan Energi Bersih AS

IKPI, Jakarta: Masa depan energi bersih Amerika Serikat menghadapi tantangan besar. Bloomberg New Energy Finance (BNEF) memperkirakan bahwa kebijakan fiskal terbaru yang diajukan pemerintahan Presiden Donald Trump akan memangkas laju pertumbuhan energi surya, angin, dan sistem penyimpanan energi hingga 10% pada tahun 2035.

Penurunan ini terkait erat dengan isi rancangan undang-undang pajak dan belanja besar-besaran yang disebut One Big Beautiful Bill. Versi awal RUU tersebut yang telah lolos di Dewan Perwakilan Rakyat kini tengah dibahas di Senat, dan isinya memicu kekhawatiran luas di kalangan pegiat energi terbarukan.

Menurut analisis BNEF, sektor tenaga angin akan terkena pukulan terberat dengan proyeksi penyusutan kapasitas hingga 35%, bahkan tidak ada lagi proyek angin lepas pantai yang direncanakan setelah 2028. Sementara itu, sektor surya dan penyimpanan energi masing-masing diperkirakan turun 5% dan 7%.

Tak hanya itu, kebijakan ini juga berpotensi meningkatkan emisi karbon dari sektor kelistrikan AS sebesar 3,8 juta ton pada 2050. Hal ini terutama disebabkan oleh penghapusan cepat insentif pajak untuk proyek listrik bersih non-nuklir yang sebelumnya diberikan melalui Undang-Undang Pengurangan Inflasi pada masa pemerintahan Joe Biden.

“RUU ini membatasi akses terhadap kredit pajak hanya untuk proyek yang memulai pembangunan dalam waktu 60 hari setelah undang-undang berlaku, dan harus mulai beroperasi sebelum akhir 2028,” jelas Derrick Flakoll, analis kebijakan senior di BNEF seperti dikutip dari Bloomberg, Jumat (6/6/2025)

Ia menambahkan bahwa kredit 30% untuk sistem surya perumahan juga akan berakhir pada akhir tahun ini, menimbulkan risiko penurunan adopsi energi surya oleh rumah tangga.

Flakoll menekankan bahwa energi terbarukan sejatinya lebih cepat diintegrasikan ke jaringan listrik dibandingkan pembangkit baru berbasis gas, yang saat ini menghadapi kelangkaan turbin dan hambatan investasi.

“Tanpa keringanan pajak, biaya modal untuk proyek energi bersih naik signifikan. Dan itu berarti konsumen akan menanggung harga listrik yang lebih tinggi, baik rumah tangga maupun pelaku bisnis,” tambahnya.

Namun, di balik pesimisme jangka pendek, BNEF melihat harapan jangka panjang. Menjelang 2050, permintaan listrik diprediksi melonjak karena pertumbuhan pusat data dan kendaraan listrik, yang pada akhirnya mendorong kembali investasi di energi terbarukan. Penurunan kapasitas pada tahun tersebut hanya diperkirakan sebesar 1%.

Meski demikian, nasib industri energi bersih AS kini sangat bergantung pada pembahasan lanjutan di Senat. Banyak pihak berharap versi final RUU akan mengembalikan insentif penting bagi transisi energi yang berkelanjutan. (alf)

 

 

 

 

 

Tarif Bunga Sanksi Pajak Juni 2025 Diperbarui, Pengusaha Wajib Waspada!

IKPI, Jakarta: Transformasi digital di sektor perpajakan tak hanya mempercepat proses pelaporan, namun juga membawa pembaruan signifikan pada aspek penegakan kepatuhan. Salah satu yang krusial dan perlu dicermati oleh pelaku usaha adalah penyesuaian tarif bunga sanksi pajak yang ditetapkan secara berkala oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Per 1 Juni 2025, DJP kembali menetapkan tarif bunga administrasi untuk berbagai pelanggaran kewajiban perpajakan. Ketentuan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No. 27/KM.10/2025 dan berlaku hingga 30 Juni 2025.

Apa Itu Bunga Sanksi Pajak?

Bunga sanksi pajak adalah denda administratif berupa bunga yang dikenakan kepada Wajib Pajak atas pelanggaran seperti keterlambatan pembayaran, penyampaian SPT, hingga hasil koreksi fiskal DJP. Selain itu, bunga juga dikenakan bila permohonan pengembalian pajak ditolak, atau dalam proses keberatan dan banding yang tidak dikabulkan.

Uniknya, tarif bunga ini bersifat variabel—dihitung per bulan dan ditetapkan berdasarkan suku bunga acuan Bank Indonesia ditambah margin tertentu sesuai peraturan Menteri Keuangan. Artinya, tarif bisa berubah setiap bulan.

Rincian Tarif Bunga Pajak Juni 2025

Berikut ini adalah daftar tarif bunga sanksi administrasi yang berlaku sepanjang Juni 2025:

Dasar Aturan dan Mekanisme Penghitungan

Ketentuan ini bersandar pada:

  • UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP)
  • PMK No. 18/PMK.03/2021
  • KMK No. 27/KM.10/2025

Tarif dihitung berdasarkan bulan kalender, bukan hari kerja. Bila keterlambatan tidak genap sebulan, maka pengenaan bunga dilakukan secara proporsional.

Dampaknya bagi Dunia Usaha

Bagi perusahaan, pemahaman terhadap tarif bunga ini penting untuk:

  • Mengantisipasi beban bunga dari tunggakan atau keterlambatan pembayaran
  • Mengelola proses keberatan atau banding secara cermat
  • Merancang arus kas yang lebih akurat agar tidak terganggu oleh denda administratif

Dengan kata lain, update ini bukan sekadar regulasi teknis, tapi bagian dari strategi pengelolaan risiko finansial perusahaan.

Pantau Secara Berkala, Hindari Risiko Tak Perlu

Karena tarif bunga bisa berubah tiap awal bulan, DJP menganjurkan para Wajib Pajak untuk rutin mengecek informasi resmi melalui kanal digital DJP. Kesadaran dan kesiapan menghadapi fluktuasi tarif akan membantu pengusaha menjaga likuiditas dan menghindari kerugian yang seharusnya bisa dicegah. (alf)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

en_US