Trump Kenakan Tarif 100% Obat Impor, Kecuali Perusahaan yang Sudah Dirikan Pabrik di AS

IKPI, Jakarta: Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif baru yang mengguncang industri farmasi. Mulai 1 Oktober 2025, obat bermerek dan berpaten yang tidak diproduksi di dalam negeri akan dikenai tarif impor hingga 100%. Namun, perusahaan farmasi yang sudah membangun pabrik di AS akan dikecualikan dari aturan ini.

“Kami akan memberlakukan tarif 100% untuk setiap produk farmasi bermerek atau berpaten, kecuali perusahaan sedang membangun pabrik manufaktur farmasi di Amerika,” tulis Trump di akun Truth Social, Sabtu (27/9/2025).

Kebijakan ini diperkirakan memukul keras industri farmasi India, yang memasok lebih dari 65% pil kontrasepsi, 50% obat hipertensi dan antidepresan, serta 43% obat kolesterol di AS. Jika tarif benar-benar diterapkan, harga obat bisa melonjak hingga dua kali lipat, menekan rumah sakit, pasien, hingga program kesehatan publik.

Meski menuai kritik, Gedung Putih mengklaim ancaman tarif sebelumnya telah mendorong raksasa farmasi global seperti Johnson & Johnson, AstraZeneca, Roche, Bristol Myers Squibb, dan Eli Lilly untuk berinvestasi membangun fasilitas produksi di AS. Trump menegaskan, tarif adalah strategi untuk mengembalikan kejayaan industri manufaktur.

“Tidak ada inflasi. Amerika sedang mencatat kesuksesan luar biasa,” tegasnya. (alf)

 

 

 

IKPI Tak Boleh Jalan di Tempat, Nuryadin: Anggota Harus Rasakan Manfaat Nyata dari Kerja Sama

IKPI, Depok: Wakil Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Nuryadin Rahman, menegaskan bahwa organisasi konsultan pajak tertua dan terbesar di Indonesia itu tidak boleh jalan di tempat. Dalam sambutan saat membuka seminar Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) yang diselenggarakan IKPI Cabang Depok, Sabtu (27/9/2025), ia menekankan pentingnya program nyata yang benar-benar bisa dirasakan manfaatnya oleh anggota.

“Kalau IKPI hanya sibuk membuat program tanpa dampak langsung, itu sama saja jalan di tempat. Anggota harus merasakan manfaat nyata, baik dari sisi peningkatan kapasitas maupun dukungan fasilitas. Itu yang sedang kami jalankan sekarang,” tegas Nuryadin.

Menurutnya, periode kepengurusan di bawah Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld telah melahirkan berbagai terobosan, termasuk perluasan kerja sama strategis dengan berbagai mitra. Salah satunya adalah penandatanganan nota kesepahaman (MOU) dengan Hotel Swissbell, yang memungkinkan anggota IKPI memperoleh keuntungan khusus.

“Kerja sama ini sederhana tapi efektif. Anggota bisa merasakan langsung manfaatnya, sesuai dengan moto Pak Paudi: IKPI maju, anggota juga maju,” ujarnya.

Tak hanya Swissbell, IKPI juga sedang memperluas jejaring kerja sama dengan hotel Aston yang selama ini kerap menjadi lokasi PPL di berbagai daerah. “Kami menargetkan MOU dengan seluruh Aston di Indonesia. Jadi cabang-cabang yang rutin menggelar PPL bisa mendapatkan diskon khusus. Potongan itu lumayan meringankan kas cabang. Ini bukti nyata bahwa kehadiran IKPI memberikan nilai tambah, bukan sekadar nama besar,” jelasnya.

Selain terobosan kerja sama, Nuryadin menyoroti pentingnya penguatan kualitas konsultan pajak. IKPI, katanya, terus mengadakan pelatihan, diskusi panel, hingga program gratis yang mensosialisasikan regulasi terbaru dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Salah satu capaian besar adalah keterlibatan IKPI dalam sosialisasi sistem Coretax yang digelar bersama P2Humas DJP.

“Antusiasme anggota luar biasa. Hampir 6.000 anggota IKPI ikut serta, baik lewat YouTube maupun Zoom. Ini menegaskan posisi IKPI sebagai mitra strategis DJP dalam menyampaikan kebijakan kepada lapangan,” tambahnya.

Ke depan, Nuryadin mengungkapkan bahwa IKPI akan menggelar Rapat Koordinasi (Rakor) Januari 2026 yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Jika dulu Rakor lebih banyak membahas program baru, kali ini fokusnya pada evaluasi terhadap program yang telah berjalan. Ia meminta seluruh cabang mempersiapkan laporan dan kebutuhan agar Rakor benar-benar bisa menjadi forum refleksi dan perbaikan.

Tak kalah penting, Nuryadin menekankan misi besar IKPI untuk memperluas cabang di seluruh Indonesia. “Kalau KPP jumlahnya lebih dari 300, IKPI juga harus berani memasang target. Minimal 100 cabang bisa berdiri, dari Sabang sampai Merauke. Dengan begitu, kehadiran IKPI benar-benar bisa menjangkau seluruh konsultan pajak di tanah air,” katanya.

Sambutan Nuryadin tersebut disambut antusias para peserta PPL yang hadir. Bagi anggota, arah kebijakan pengurus pusat yang lebih menekankan pada manfaat nyata dianggap tepat untuk menjawab kebutuhan konsultan pajak di tengah perubahan regulasi yang cepat.

“Harus ada hasil konkret yang dirasakan anggota, bukan hanya wacana. Itu yang saya tekankan. IKPI tidak boleh jalan di tempat, karena tantangan perpajakan ke depan semakin besar,” tutup Nuryadin. (bl)

Silaturahmi ke Kediaman Oyong, Jajaran Pengurus IKPI Dengarkan Kisah Sejarah Organisasi

IKPI, Jakarta: Suasana hangat dan penuh kebersamaan tercipta saat jajaran Pengurus Pusat Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) yang dipimpin Ketua Umum Vaudy Starworld bersilaturahmi ke kediaman Sukiatto Oyong, Ketua Umum IKPI periode 2009-2014, di kawasan Jakarta Pusat, Sabtu (28/9/2025). Pertemuan itu tidak hanya menjadi ajang mempererat tali persaudaraan lintas generasi, tetapi juga membuka kembali lembaran sejarah perjalanan organisasi profesi konsultan pajak tertua dan terbesar di Indonesia.

Sejak awal kedatangan, nuansa keakraban langsung terlihat. Pengurus pusat yang hadir disambut hangat oleh Oyong bersama beberapa senior lainnya. Percakapan ringan penuh canda tawa menjadi pembuka sebelum suasana beralih ke obrolan lebih serius tentang kiprah IKPI dari masa ke masa.

Setelah santap siang bersama, Oyong mulai menuturkan kisah sejarah panjang organisasi yang kini berusia puluhan tahun itu. Ia menceritakan bagaimana IKPI dulu masih berjuang keras untuk eksis, dengan jumlah anggota yang terbatas, fasilitas sederhana, dan tantangan besar untuk memperjuangkan pengakuan profesi konsultan pajak di tengah dinamika peraturan perpajakan yang terus berubah.

“Dulu, situasinya jauh berbeda. Jumlah anggota tidak sebanyak sekarang, dan perjuangan untuk memperkenalkan peran konsultan pajak masih panjang. Tapi berkat kebersamaan dan kerja keras, sedikit demi sedikit IKPI dikenal dan mulai diperhitungkan,” ungkap Oyong dengan nada penuh nostalgia.

Ia juga menegaskan betapa berbeda kondisi IKPI saat ini dibandingkan masa lampau. Menurutnya, perkembangan organisasi di era sekarang jauh lebih signifikan, baik dari segi kuantitas anggota maupun dari sisi prestise di hadapan publik dan otoritas pajak.

“IKPI sekarang jauh lebih berbobot. Baik dari jumlah anggota, kegiatan, maupun pengakuan yang diterima, semuanya berkembang pesat. Ini adalah hasil perjuangan bersama lintas generasi,” tambahnya.

Cerita Oyong tersebut mendapat perhatian penuh dari para pengurus yang hadir. Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld menanggapi dengan rasa hormat dan apresiasi yang mendalam. Ia menilai, kisah perjalanan yang disampaikan para senior seperti Oyong adalah energi positif sekaligus panduan bagi pengurus saat ini untuk terus memperkuat organisasi.

“Silaturahmi ini bukan hanya menjaga hubungan baik, tetapi juga menjadi ruang belajar. Dari pengalaman para senior, kami memahami bahwa capaian yang dimiliki IKPI hari ini dibangun dari fondasi kokoh yang diletakkan generasi sebelumnya. Tugas kami adalah melanjutkan perjuangan itu agar IKPI semakin relevan dan berperan penting dalam mendukung sistem perpajakan nasional,” ujar Vaudy.

Momen silaturahmi itu pun ditutup dengan doa bersama. Para pengurus dan senior sepakat bahwa IKPI harus terus dijaga sebagai rumah besar konsultan pajak Indonesia, tempat bertumbuhnya profesionalisme, solidaritas, dan kontribusi nyata bagi negeri.

Pertemuan sederhana di rumah Oyong tersebut menjadi pengingat bahwa organisasi bukan hanya soal program dan kegiatan, melainkan juga tentang menjaga hubungan antar generasi. Dari cerita sejarah yang disampaikan Oyong, para pengurus belajar bahwa masa lalu adalah pijakan penting untuk menatap masa depan yang lebih kokoh.

Hadir pada pertemuan tersebut:

1. Ketua Umum, Vaudy Starworld

2. Wakil Ketua Umum, Nuryadin Rahman

3. Ketua Departemen Keanggotaan dan Etika, Robert Hutape

4. Ketua Departemen SSKO, Rusmadi

5. Ketua Departemen KAP2SKPK, Ivan Kanel

6. ⁠Wakil Ketua Departemen Penugasan Khusus, Budianto Wijaya

7. ⁠Ketua Pengda DKJ Tan Alim

8. ⁠Ketua IKPI Cabang Jakarta Pusat, Suryani

9. Sekretaris Umum Periode 2009 – 2014, Teddy Suryoprabowo

10. Direktur Eksekutif Asih Ariyanto

(bl)

Shadow Economy Disebut Jadi Biang Bocornya Pajak, Pemicu Utamanya Tarif Pajak

IKPI, Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Rianto Abimail, mengupas tuntas persoalan shadow economy dalam Diskusi Panel bertajuk “Tepatkah Menargetkan Shadow Economy sebagai Cara Meningkatkan Penerimaan Pajak?” yang digelar secara hybrid di Kantor Pusat IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, serta melalui Zoom Meeting pada Jumat (26/9/2025).

Dalam paparannya, Rianto menjelaskan bahwa shadow economy atau ekonomi bayangan adalah aktivitas ekonomi yang berjalan di luar pengawasan negara. Aktivitas ini tidak tercatat secara resmi, tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak, dan sulit terdeteksi oleh aparat.

“Shadow economy adalah aktivitas ekonomi yang disembunyikan. Karakteristik utamanya dilakukan secara tunai, informal, dan di luar sistem resmi negara. Karena itu, penerimaan pajak sangat berpotensi bocor,” ujar Rianto.

Mengutip hasil EY Shadow Economic Expose 2025, Rianto menjelaskan bahwa shadow economy mencakup lima kategori, aktivitas tersembunyi untuk menghindari pajak, kegiatan informal tanpa pencatatan, aktivitas ilegal seperti judi online dan narkoba, produksi rumah tangga untuk konsumsi sendiri, serta lemahnya basis data pemerintah.

Ia menambahkan, hasil penelitian Prof. Dr. Patrick Schneider dan Dr. Alban Aslan menunjukkan bahwa faktor utama tumbuhnya shadow economy adalah tarif pajak yang tinggi, regulasi berbelit, dan lemahnya institusi negara.

“Kalau sistem perpajakan sulit, tarif tinggi, dan pengawasan tidak konsisten, wajib pajak justru terdorong masuk ke shadow economy. Dampaknya bukan hanya pada penerimaan negara, tetapi juga memunculkan distorsi persaingan usaha dan menurunkan minat investasi investor asing,” tegas Rianto. (bl)

Menkeu Ingatkan Bahaya Spiral Pajak, Fokus ke Pertumbuhan Ekonomi

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa mengingatkan bahaya kebijakan menaikkan pajak secara terus-menerus di tengah perlambatan ekonomi. Menurutnya, langkah itu justru berpotensi menyeret perekonomian ke jurang spiral penurunan yang berbahaya.

“Ketika ekonomi melambat, kalau pajak ditambah di semua titik, ekonomi akan melambat lagi. Akibatnya pendapatan pajak malah turun. Kalau dipaksa naik lagi, makin turun lagi. Itu spiral ke bawah. Jadi kita sedang membunuh ekonomi,” tegas Purbaya di kanal YouTube SindoNews, Minggu (28/9/2025).

Purbaya menilai strategi fiskal yang hanya bertumpu pada penambahan beban pajak bukanlah solusi bijak. Ia menekankan bahwa pemerintah saat ini lebih mengutamakan penciptaan pertumbuhan ekonomi yang kuat dan berkelanjutan ketimbang sekadar mengejar penerimaan pajak jangka pendek.

“Yang penting saya ciptakan pertumbuhan ekonomi yang cepat supaya pajak naik secara otomatis. Kalau ekonomi tumbuh, rakyat juga lebih rela membayar pajak karena mereka punya cukup penghasilan,” jelasnya.

Menurut Menkeu, strategi ini bukan hanya memberi ruang bernapas bagi masyarakat, tetapi juga menjaga kestabilan penerimaan negara. Keseimbangan antara kebijakan fiskal dan dorongan produktivitas disebutnya sebagai kunci agar ekonomi nasional tetap sehat.

“Sekarang saya tidak lagi bicara soal menambah pajak. Fokus saya adalah bagaimana mengorkestrasi pertumbuhan ekonomi agar menciptakan rasa nyaman sekaligus meningkatkan penerimaan negara,” tambahnya.

Lebih jauh, Purbaya menyebut banyak negara menghadapi dilema serupa: di satu sisi membutuhkan dana pembangunan, di sisi lain kenaikan pajak berlebihan bisa menekan daya beli dan menghambat konsumsi domestik. Karena itu, ia menegaskan perlunya kebijakan fiskal yang adaptif dan tidak kaku.

“Pertumbuhan ekonomi yang cepat adalah kunci. Kalau ekonomi sehat, penerimaan pajak akan ikut sehat,” katanya. (alf)

 

 

Peneliti UI: Orang Indonesia Lebih Nyaman di Luar Sistem Pajak

IKPI, Jakarta: Peneliti senior LPEM FEB Universitas Indonesia (UI), Vid Adrison, menyoroti akar masalah shadow economy di Indonesia yang menurutnya lebih mendasar daripada sekadar persoalan kepatuhan. Ia menyebut, mayoritas masyarakat justru merasa lebih nyaman berada di luar sistem perpajakan ketimbang masuk ke dalamnya.

“Kalau ditanya, apakah orang membayar pajak itu terpaksa atau tidak? Jawabannya jelas: terpaksa. Tidak ada yang dengan suka rela ingin membayar pajak,” ujar Vid dalam diskusi panel bertema ‘Tepatkah Menargetkan Shadow Economy sebagai Cara Meningkatkan Penerimaan Pajak?’ yang digelar IKPI di Jakarta, Jumat (26/9/2025).

Ia memberi contoh sederhana. Seorang pedagang dengan keuntungan bersih Rp100 juta setahun, tanpa NPWP, bisa lolos tanpa setoran pajak. Sementara pekerja formal dengan gaji Rp70 juta setahun, karena memiliki NPWP, wajib membayar.

“Fair enggak? Jelas tidak. Ini bikin masyarakat merasa ketidakadilan, sehingga enggan masuk ke sistem,” tegasnya.

Lebih lanjut, Vid menyebut salah satu penyebab utamanya adalah tidak adanya konsekuensi nyata bagi warga yang tetap berada di luar sistem. Tanpa NPWP pun, mereka masih bisa mengakses layanan publik, membuat paspor, SIM, bahkan menikmati infrastruktur yang dibangun dari pajak.

“Kalau di Amerika, sejak pertama kali bekerja, orang wajib punya Social Security Number (SSN). Tanpa itu, gaji tidak bisa ditransfer. Itu memaksa orang masuk sistem. Di Indonesia? Saya baru punya NPWP tahun 2008, padahal sudah bekerja sejak lama. Artinya, insentif maupun paksaan untuk taat itu sangat lemah,” ungkapnya.

Menurut Vid, solusi kunci ada pada integrasi NPWP dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Dengan begitu, semua warga otomatis masuk sistem sejak lahir. “Kalau semua sudah tercatat, barulah pemerintah bisa memilah mana yang di atas PTKP, mana yang di bawah. Dengan begitu, shadow economy akan lebih terkendali. Kalau dibiarkan seperti sekarang, 20 tahun ke depan pun masalahnya sama,” katanya. (bl)

Munas XI MUI Siapkan Fatwa Pajak, Rekening Tidur hingga Sampah Sungai

IKPI, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Komisi Fatwa akan membahas sederet isu strategis dalam Musyawarah Nasional (Munas) XI yang digelar pada 20–23 November 2025 di Hotel Mercure Ancol, Jakarta Utara. Salah satu yang paling ditunggu publik adalah pembahasan mengenai fatwa perpajakan.

Ketua Komisi Fatwa Steering Committee (SC) Munas XI MUI, Asrorun Ni’am Sholeh, menegaskan bahwa isu pajak tidak bisa dilepaskan dari kepentingan umat. Karena itu, MUI akan menyiapkan landasan hukum keagamaan agar sistem perpajakan berjalan sesuai syariat dan prinsip keadilan.

“Pembahasan pajak akan kita matangkan lewat Forum Group Discussion (FGD) pada Oktober 2025. Kita undang Kementerian Keuangan, akademisi, praktisi pajak, pelaku usaha, hingga ahli ekonomi. Dari sana, kita tarik feed back agar fatwa yang lahir nanti benar-benar aplikatif,” ungkap Ni’am, Sabtu (27/9/2025).

Tak hanya soal pajak, MUI juga mengangkat problematika lain yang langsung bersinggungan dengan hajat hidup masyarakat. Misalnya, praktik jual-beli nomor rekening tidur (dormant account) yang dilaporkan marak terjadi. Permintaan fatwa ini datang dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) karena rawan dimanfaatkan untuk pencucian uang hingga tindak pidana lain.

“Banyak rekening lama yang tak dipakai, kemudian diperdagangkan. Itu bisa dipakai untuk hal-hal yang melanggar hukum. Maka, MUI perlu memberi panduan keumatan sekaligus mendukung upaya penegakan hukum,” jelasnya.

Selain itu, persoalan pengelolaan sampah di sungai serta pemanfaatan dana zakat untuk perlindungan pekerja rentan juga akan masuk meja Munas XI. Isu zakat ini diusulkan oleh BPJS Ketenagakerjaan agar bisa menjadi solusi bagi pekerja informal atau mandiri yang tidak mampu membayar iuran jaminan sosial.

“Negara hadir memberi jaminan sosial bagi tenaga kerja. Tapi ada pekerja yang tidak punya pemberi upah, bekerja sendiri, namun tidak mampu bayar iuran. Bagaimana posisi zakat bisa hadir di sini, ini yang perlu difatwakan,” tambah Ni’am.

MUI menegaskan, seluruh aspirasi masyarakat akan dijaring terlebih dahulu untuk dipetakan. Setelahnya, akan dilakukan konsinyering, FGD dengan pakar, hingga penyusunan draft yang kemudian disirkulasikan ke MUI provinsi. Finalisasi baru akan dilakukan dalam forum Munas XI.

“Jadi, bukan hanya pajak, tapi ada banyak problem riil umat yang akan kita jawab lewat fatwa. Hasil Munas XI ini diharapkan memberi kepastian, kejelasan, dan arah bagi umat maupun negara,” pungkas Ni’am. (alf)

Shadow Economy Bisa Jadi “Tambang Pajak Baru”, Mantan Direktur DJP: Harus Berani Out of The Box

IKPI, Jakarta: Mantan Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Dodik Samsu Hidayat, menyebut shadow economy atau ekonomi bayangan sebagai “tambang pajak baru” yang tidak boleh dibiarkan terus di luar radar negara.

Hal ini disampaikan Dodik saat menjadi panelis dalam diskusi panel bertema “Tepatkah Menargetkan Shadow Economy sebagai Cara Meningkatkan Penerimaan Pajak?” yang digelar Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) secara hybrid, di Kantor Pusat IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan serta melalui Zoom Meeting, Jumat (26/9/2025). Acara ini diikuti ratusan peserta dari kalangan anggota IKPI hingga masyarakat umum yang mengikuti secara gratis.

Menurut Dodik, selama ini terdapat gap yang sangat besar antara potensi ekonomi yang berjalan di luar sistem dan penerimaan pajak yang berhasil dikumpulkan negara. “Potensi itu luar biasa. Kalau kita mau bicara angka, ada sekitar Rp1.600 triliun nilai shadow economy. Dan ini baru sebagian yang mulai bisa kita sentuh lewat regulasi digital,” ujar Dodik.

Ia mencontohkan langkah-langkah konkret yang sudah dilakukan DJP, seperti penerapan pajak perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE), pengenaan pajak atas kripto, hingga aturan bagi platform fintech. Semua itu, menurutnya, merupakan bukti nyata bahwa digitalisasi bisa membuka pintu baru penerimaan negara.

“Bayangkan, hanya dari satu exchanger kripto saja, perputaran transaksinya pernah tembus Rp400 triliun setahun. Kalau setiap transaksi dikenai pajak sesuai aturan, berapa besar pemasukan yang bisa kita bawa ke kas negara,” tegas Dodik.

Namun ia mengingatkan, menggarap shadow economy tidak bisa dilakukan dengan cara-cara biasa. “Kalau kita memakai cara yang sama, hasilnya juga akan sama. Tapi kalau kita ingin hasil luar biasa, maka cara kita juga harus out of the box. Harus ada keberanian untuk masuk ke wilayah yang selama ini dianggap sulit disentuh,” kata Dodik.

Ia menambahkan, dengan dukungan teknologi, data yang semakin komprehensif, serta kolaborasi lintas lembaga, DJP bisa menjadikan shadow economy sebagai sumber penerimaan baru yang nyata.

“Ini bukan sekadar potensi di atas kertas. Kalau DJP serius, ini bisa jadi tambang pajak yang baru,” ujarnya. (bl)

Diskusi Panel IKPI, Vaudy: Shadow Economy Jangan Dibiarkan Jadi Potensi Pajak Hilang

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, mengingatkan bahwa shadow economy atau ekonomi bayangan tidak boleh terus dibiarkan menjadi potensi pajak yang hilang begitu saja. Pesan itu ia sampaikan saat membuka diskusi panel bertema “Tepatkah Menargetkan Shadow Economy sebagai Cara Meningkatkan Penerimaan Pajak?” yang digelar secara hybrid di Kantor Pusat IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, serta melalui Zoom Meeting, Jumat (26/9/2025). Acara ini diikuti ratusan peserta, baik anggota IKPI maupun masyarakat umum, secara gratis.

Menurut Vaudy, topik shadow economy sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Tax ratio Indonesia masih stagnan di kisaran 10–11 persen, jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata negara lain di kawasan. Rendahnya rasio ini menunjukkan ada potensi penerimaan pajak yang hilang karena aktivitas ekonomi tidak tercatat dalam sistem formal.

“Kalau kita terus membiarkan shadow economy, artinya kita membiarkan kebocoran pajak semakin besar. Ini bukan hanya soal penegakan hukum, tapi soal menjaga kepatuhan sukarela wajib pajak dan keberlanjutan fiskal negara,” tegasnya.

Vaudy menambahkan, shadow economy harus dilihat dari berbagai sisi, mulai dari ekonomi makro, hukum, sosial dan ketenagakerjaan, hingga era digital yang kini mempercepat perputaran uang di luar radar fiskal.

Ia menegaskan, IKPI sebagai asosiasi profesi konsultan pajak, terus berkomitmen mendorong kepatuhan pajak melalui edukasi dan sosialisasi. Salah satu contohnya, IKPI telah berkolaborasi dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam menyelenggarakan sosialisasi SPT Tahunan Badan berbasis coretax yang mulai berlaku tahun 2025.

“Ini bagian dari kontribusi nyata IKPI untuk membantu wajib pajak memahami regulasi baru. Kami ingin menjadi mitra pemerintah dalam memperkuat sistem perpajakan yang modern, transparan, dan dipercaya publik,” ungkapnya.

Lebih jauh, Vaudy berharap forum ini tidak hanya menjadi ruang diskusi akademis, tetapi juga melahirkan rekomendasi konkret bagi pemerintah. “Shadow economy itu ibarat harta karun yang terpendam. Kalau tidak digarap dengan cerdas, ya akan terus jadi potensi pajak yang hilang. Padahal, ini bisa jadi kunci memperkuat penerimaan negara,” pungkasnya.

Menurutnya, diskusi panel ini menjadi salah satu rangkaian kegiatan IKPI yang rutin digelar setiap bulan, dengan harapan semakin banyak konsultan pajak, akademisi, maupun masyarakat luas yang ikut berpartisipasi dalam memperkaya wacana kebijakan perpajakan di Indonesia.

Sekadar informasi, diskusi panel ini menghadirkan tiga panelis yakni:

1. Dodik Samsu Hidayat, Kepala Kanwil DJP 2021–2023 dan Direktur Pemeriksaan dan Penagihan DJP 2023–2025.

2. Vid Adrison, peneliti dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB Universitas Indonesia.

3. Rianto Abimail, Pengurus Pusat IKPI.

4. Novalina Magdalena, (moderator) Pengurus Pusat IKPI. (bl)

DJP Terapkan Peta Risiko Pajak, Wajib Pajak Bandel Siap Diawasi Ketat

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan kian agresif memperkuat reformasi administrasi perpajakan. Salah satu jurus terbarunya adalah penerapan Compliance Risk Management (CRM) yang dijalankan melalui Compliance Improvement Plan. Sistem ini dirancang untuk memetakan risiko kepatuhan wajib pajak, mulai dari kategori rendah (low risk), menengah (medium risk), hingga tinggi (high risk).

Direktur Perpajakan Internasional DJP, Mekar Satria Utama, menegaskan bahwa pemetaan risiko tersebut bukan sekadar formalitas, melainkan strategi jangka panjang untuk membangun budaya patuh pajak.

“Wajib pajak kita petakan satu per satu, dan targetnya setiap tahun tingkat kepatuhan bisa terus naik,” ujar Mekar dalam acara Asia Pacific Contribution on International Tax System, Kamis (25/9/2025).

Mekar menjelaskan, perlakuan terhadap wajib pajak akan berbeda sesuai kategori risikonya. Wajib pajak berstatus high risk bakal berada di radar pengawasan ketat, lengkap dengan potensi pemeriksaan dan tindakan penegakan hukum.

Sebaliknya, mereka yang termasuk low risk akan mendapat pendekatan yang lebih persuasif, seperti edukasi dan konsultasi untuk menjaga kepatuhan.

“Beberapa sektor ekonomi memang masuk kategori high risk. Di situlah kami perlu melakukan pendekatan yang lebih intensif, agar celah pelanggaran bisa ditekan,” tambah Mekar.

Dengan sistem CRM ini, DJP berharap ekosistem perpajakan di Indonesia kian transparan dan adil: yang patuh mendapat kemudahan, sementara yang abai siap berhadapan dengan pengawasan ekstra ketat. (alf)

 

id_ID