DJP: Realisasi Pajak April 2025 di Sulsel Terkoreksi 10%

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Sulawesi Selatan, Barat, dan Tenggara (Sulselbarta) mencatat capaian penerimaan pajak di Sulawesi Selatan hingga April 2025 sebesar Rp2,85 triliun. Jumlah tersebut baru mencapai 21,50% dari target tahunan yang ditetapkan sebesar Rp13,27 triliun.

Kepala Kanwil DJP Sulselbarta, Heri Kuswanto, menyebutkan bahwa meskipun penerimaan sudah mencapai triliunan rupiah, secara tahunan atau year-on-year (yoy), terjadi penurunan kinerja sebesar 10,03% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang mencatatkan Rp4,02 triliun.

“Kontraksi ini sebagian dipengaruhi oleh kebijakan efisiensi belanja di awal tahun serta belum terdistribusinya sejumlah deposit pajak ke jenis-jenis pajak tertentu,” ungkap Heri dikutip, Minggu (1/6/2025).

Lebih lanjut, Heri memaparkan kontribusi masing-masing jenis pajak terhadap total penerimaan. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dalam Negeri masih menjadi penyumbang terbesar dengan kontribusi 24,25% atau senilai Rp931,8 miliar. Namun, jenis pajak ini mengalami penurunan tajam 29,6% dari periode sebelumnya sebesar Rp1,32 triliun.

Sementara itu, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 Badan mencatat kontribusi sebesar 15,13% atau Rp581,1 miliar dan tumbuh positif sebesar 3,3%. PPh Pasal 21 tercatat sebesar Rp328,7 miliar, menyumbang 8,56% dari total, namun mengalami kontraksi cukup dalam sebesar 38,5%.

Jenis pajak lainnya, seperti PPh Final tercatat sebesar Rp227,5 miliar (5,92%), PPN Impor sebesar Rp189,9 miliar (4,94%) dengan pertumbuhan 18,9%, dan PPh Pasal 23 sebesar Rp72,3 miliar (1,88%). PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi menyumbang Rp147,6 miliar (3,84%), sedangkan PPh Pasal 22 Impor mencatat Rp45,3 miliar (1,18%).

Heri juga menambahkan bahwa implementasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 turut memengaruhi pola penyetoran pajak. “Aturan ini menyebabkan beberapa setoran dari non-instansi pemerintah, seperti BUMN, tercatat atas nama pemungut, bukan wajib pajak akhir,” jelasnya.

Meski demikian, DJP Sulselbarta tetap optimistis mampu menggenjot kinerja hingga akhir tahun melalui berbagai strategi intensifikasi dan ekstensifikasi pajak. (alf)

 

 

Pemkot Semarang Revisi Aturan Pajak dan Retribusi, Siapkan Transformasi Digital

IKPI, Jakarta: Pemerintah Kota Semarang mulai membahas revisi Peraturan Daerah (Perda) tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai langkah adaptif terhadap dinamika kebijakan fiskal nasional. Wakil Wali Kota Semarang Iswar Aminuddin mengungkapkan, pembahasan tingkat I perubahan Perda Nomor 10 Tahun 2023 sudah bergulir di DPRD Kota Semarang.

“Revisi ini merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Tujuannya agar regulasi kita tetap sinkron dengan kebijakan fiskal nasional dan tidak ketinggalan zaman,” ujar Iswar, dikutip  Minggu (1/6/2025).

Ia menekankan bahwa Perda tentang pajak dan retribusi memiliki posisi strategis dalam struktur keuangan daerah. “Ini bukan sekadar aturan, tapi juga wujud partisipasi masyarakat dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik,” jelasnya.

Dalam pembahasan tersebut, sejumlah fraksi DPRD turut memberikan catatan kritis. Mulai dari penguatan pengawasan, peningkatan kualitas layanan, kemudahan akses bagi wajib pajak, hingga langkah tegas terhadap praktik pungutan liar.

Iswar menyambut baik masukan tersebut dan memastikan bahwa pihak eksekutif akan menindaklanjutinya secara konkret. “Kami berkomitmen untuk menyesuaikan arah kebijakan dan pelayanan, demi menciptakan sistem yang lebih adil, efisien, dan akuntabel,” tambahnya.

Sebagai bagian dari transformasi, Pemkot Semarang juga tengah mempercepat digitalisasi layanan perpajakan daerah. Proses ini mencakup penyediaan infrastruktur teknologi dan penguatan kapasitas sumber daya manusia.

“Kami ingin pengelolaan pajak tidak hanya transparan, tetapi juga mudah diakses masyarakat. Ini bagian dari upaya reformasi birokrasi di tingkat daerah,” tegas Iswar.

Langkah revisi dan digitalisasi ini diharapkan mampu memperkuat kemandirian fiskal Kota Semarang sekaligus memberikan pengalaman layanan publik yang lebih baik bagi warga. (alf)

 

 

 

Ini Negara-Negara dengan Tarif Pajak Tertinggi di Dunia dan Digunakan Untuk Apa Uangnya?

IKPI, Jakarta: Tak semua negara menerapkan tarif pajak yang ramah dompet. Beberapa justru mengenakan pajak penghasilan (PPh) sangat tinggi kepada individu maupun perusahaan. Namun, tarif tinggi ini biasanya dibarengi dengan pelayanan publik yang mumpuni dari pendidikan gratis hingga jaminan kesehatan universal.

Dikutip dari The Economic Times, berikut negara-negara yang memberlakukan tarif pajak penghasilan tertinggi di dunia per 2024–2025:

1. Pantai Gading – 60%

Pantai Gading menduduki posisi teratas dengan tarif pajak penghasilan tertinggi di dunia, yakni 60%. Meski mencengangkan, pungutan ini digunakan untuk membiayai berbagai layanan publik yang langsung dirasakan masyarakat.

2. Finlandia – 56,95%

Negeri di utara Eropa ini dikenal sebagai salah satu negara dengan sistem jaminan sosial terbaik. Pada 2024, tarif PPh mencapai 56,95%. Warga Finlandia mendapat akses gratis ke layanan kesehatan, pendidikan, dan fasilitas sosial lainnya.

3. Jepang – 55,95%

Sebagai negara berteknologi tinggi dengan populasi lansia yang besar, Jepang mengenakan tarif pajak tinggi untuk mendanai program pensiun dan layanan kesehatan. PPh individu mencapai 55,95%, sementara PPh badan 30,62%, serta PPN 10%.

4. Denmark – 55,9%

Denmark menyeimbangkan pajak tinggi dengan kualitas hidup yang tinggi. Warganya mendapat akses merata ke pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial. Tarif PPh individu pada 2024 mencapai 55,9%, PPh badan 22%, dan PPN 25%.

5. Austria – 55%

Austria menerapkan sistem pajak progresif. Semakin besar penghasilan, semakin besar pula pungutan. Tahun 2024, tarif tertinggi PPh individu mencapai 55%. Sementara itu, tarif PPh badan dan PPN masing-masing sebesar 24% dan 20%.

6. Belgia – 53,7%

Di Belgia, tarif pajak tinggi dialihkan menjadi layanan publik unggulan seperti transportasi umum, jaminan kesehatan, dan perlindungan sosial. PPh di negara ini sebesar 53,7%.

7. Swedia – 52%

Swedia pernah menetapkan PPh individu tertinggi hampir menyentuh 62% pada 1996. Kini, tarifnya berada di angka 52%. Sistem pajaknya membiayai layanan pendidikan dan kesehatan gratis, serta tunjangan keluarga.

8. Belanda – 49%

Negara Kincir Angin ini mengenakan PPh individu sebesar 49%. Hasilnya digunakan untuk membiayai infrastruktur publik seperti transportasi, layanan kesehatan, dan pendidikan.

Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia menganut sistem pajak progresif dengan tarif PPh pribadi berkisar antara 5% hingga 30%, tergantung pada jumlah penghasilan. Tarif ini tergolong lebih rendah dibanding negara-negara Eropa dan Asia Timur.

Per April 2025, Kementerian Keuangan mencatat penerimaan pajak sebesar Rp 557,1 triliun. Meski menunjukkan tren positif, angka tersebut masih lebih rendah 10,8% dibanding periode yang sama tahun lalu.

Sebagai langkah strategis untuk mendorong kinerja perpajakan, Menteri Keuangan Sri Mulyani menunjuk Bimo Wijayanto sebagai Direktur Jenderal Pajak yang baru pada 23 Mei 2025.

Pemerintah berharap perubahan ini bisa mengoptimalkan penerimaan negara di tengah tantangan ekonomi global.

Pajak Tinggi, Layanan Publik Unggul

Tarif pajak yang tinggi memang kerap menjadi sorotan. Namun, pengalaman dari negara-negara dengan PPh besar menunjukkan bahwa pungutan tersebut bisa berbuah manis jika dikelola dengan baik memberikan layanan publik unggul, menekan ketimpangan, dan menciptakan jaring pengaman sosial yang kuat. (alf)

 

 

IKPI Surabaya Gaungkan “AKSI” sebagai Simbol Kebersamaan

IKPI, Surabaya: Suasana hangat dan penuh energi malam itu terasa berbeda di lingkungan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Surabaya. Dalam balutan semangat kekeluargaan, pada Jumat (23/5/2025) sebanyak 15 anggota IKPI berkumpul mengikuti kegiatan bertajuk “AKSI” (Ayo Kita Sehat bareng IKPI), sebuah program baru yang digagas untuk menyatukan semangat hidup sehat dengan kebersamaan antaranggota.

Ketua IKPI Cabang Surabaya, Enggan Nursanti, menyebut AKSI sebagai lebih dari sekadar kegiatan olahraga. “Ini bukan hanya soal gerak badan. AKSI adalah ruang temu yang menyenangkan, tempat kita merawat kesehatan sambil mempererat silaturahmi,” kata Enggan Minggu (1/6/2025).

Kegiatan yang diprakarsai oleh Seksi Kepemudaan dan Olahraga dalam kepengurusan periode 2024–2029 ini mencerminkan upaya nyata organisasi dalam membangun relasi personal antaranggota di luar ruang formal.

Acara dimulai dengan Pemanasan dan dilanjutkan dengan permainan kelompok. Setiap agenda dirancang untuk memantik interaksi dan memperkuat solidaritas di antara para konsultan pajak yang tergabung di IKPI.

Diungkapkan Enggan, antusiasme peserta terlihat sejak awal. Salah satu peserta, Utomo, bahkan menyatakan harapannya agar kegiatan seperti ini bisa menjadi agenda rutin.

“Senang sekali bisa berkumpul seperti ini, rasanya lebih dari sekadar olahraga. Ada rasa dekat yang tumbuh,” katanya.

Tidak hanya sukses secara pelaksanaan, AKSI juga dinilai sebagai cikal bakal program kolaboratif lintas cabang.

Enggan mengungkapkan bahwa pihaknya tengah menjajaki kemungkinan membawa AKSI ke tingkat regional bahkan nasional. “Kalau kita bisa sehat dan kompak bersama di Surabaya, kenapa tidak kita sebarkan semangat ini ke seluruh Indonesia?” katanya optimistis.

Menurutnya, dengan landasan semangat kebersamaan dan gaya hidup sehat, AKSI kini bukan hanya jadi program olahraga, tetapi telah menjelma sebagai simbol kekuatan komunitas profesi yang hidup dan saling mendukung.

IKPI Surabaya pun berkomitmen untuk menjadikan AKSI sebagai tradisi baru, tradisi sehat, akrab, dan penuh makna. (bl)

Pecahkan Rekor Kehadiran, IKPI Cabang Manado Sukses Gelar Seminar PPL Perdana dengan Mayoritas Peserta Umum

IKPI, Manado: Seminar Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) bertajuk “Bukti Pemotongan Pemungutan PPh, Faktur Pajak dan SPT PPN di Coretax Sistem” yang diselenggarakan oleh IKPI Cabang Manado sukses besar dan mencetak sejarah baru dalam pelaksanaan PPL di wilayah tersebut. Kegiatan ini digelar secara hybrid (online dan offline) pada Sabtu, (31/5/2025), di Luwansa Hotel & Convention Center, kawasan Teling, Kota Manado.

Ketua Panitia Roy Wantah menyampaikan rasa syukur dan terima kasih atas dukungan penuh dari Ketua Umum IKPI yang menjadi motivasi utama dalam terselenggaranya seminar ini. “PPL kali ini sungguh luar biasa. Kami mencatat kehadiran 108 peserta secara langsung di lokasi dan 7 peserta online dari luar daerah seperti Ternate dan Tobelo. Ini menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah pelaksanaan PPL di cabang Manado, yang sebelumnya belum pernah melampaui angka 50 peserta,” ujarnya, Minggu (1/6/2025).

(Foto: Istimewa)

Yang lebih membanggakan juga, lanjut Roy, dari total peserta tersebut, 10 orang merupakan anggota IKPI Cabang Manado, sedangkan 105 sisanya adalah peserta umum dari berbagai latar belakang usaha, termasuk badan usaha milik daerah.

Antusiasme peserta begitu tinggi hingga panitia harus menutup pendaftaran lebih awal karena keterbatasan waktu dalam mencetak modul dan menyiapkan perlengkapan seminar. Yang menarik, peserta tidak hanya berasal dari kalangan anggota IKPI, tetapi juga dari berbagai bidang usaha, termasuk perwakilan badan usaha milik daerah.

“Dukungan ketua cabang Pak Tenie Londah dan kerja sama antar sesama pengurus cabang juga menjadi motor utama keberhasilan acara ini,” ujarnya.

(Foto: Istimewa)

Seminar ini menghadirkan narasumber nasional, Lukman Nul Hakim, dengan moderator Oktofianus Franszeblum Kotta, SE., MSA., BKP. Materi yang disampaikan sangat relevan dan aktual, seiring dengan baru dirilisnya sistem Coretax per 11/2025, yang menjadi perbincangan hangat di kalangan profesional pajak.

Diskusi yang intens membuat seminar berlangsung hingga pukul 18.00 WITA, melampaui jadwal yang direncanakan.

“Ini bukti nyata bahwa sinergi antara pengurus, panitia, narasumber, dan dukungan dari pengurus pusat dapat menghasilkan kegiatan yang bermakna dan berdampak langsung bagi para praktisi perpajakan di daerah,” kata Roy.

Seminar ini sekaligus menjadi penanda awal yang kuat bagi masa kepengurusan IKPI Cabang Manado periode 2024–2029 dalam mendorong profesionalisme dan pembaruan pengetahuan anggotanya. (bl)

Format Baru NSFP Era Coretax Kini 17 Digit dan Diberikan Otomatis

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi menegaskan perubahan besar dalam format kode dan Nomor Seri Faktur Pajak (NSFP) di era sistem administrasi perpajakan Coretax. Aturan baru ini tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-11/PJ/2025, khususnya pada Pasal 37.

Dalam ketentuan terbaru, struktur NSFP mengalami perubahan signifikan, dari yang sebelumnya terdiri atas 16 digit menjadi 17 digit. Format baru ini terdiri atas tiga bagian: 2 digit kode transaksi, 2 digit kode status, dan 13 digit nomor seri faktur pajak.

“Kode dan nomor seri faktur pajak terdiri atas 17 digit, yaitu: a. 2 digit kode transaksi; b. 2 digit kode status; dan c. 13 digit nomor seri faktur pajak yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak,” bunyi Pasal 37 ayat (1).

Lebih rinci, 13 digit terakhir terbagi menjadi dua bagian, yakni 2 digit pertama menunjukkan tahun pembuatan e-Faktur, dan 11 digit berikutnya merupakan nomor urut yang ditentukan oleh sistem DJP. Tidak seperti sistem sebelumnya, kini NSFP diberikan secara otomatis saat e-Faktur diunggah melalui sistem Coretax dan mendapat persetujuan dari DJP.

Panduan Penggunaan Kode Transaksi Faktur Pajak

PER-11/PJ/2025 juga merinci penggunaan kode transaksi faktur pajak yang berlaku dalam sistem Coretax. Berikut adalah daftar dan fungsi masing-masing kode:

• Kode 01: Untuk transaksi biasa di mana PPN atau PPnBM dipungut langsung oleh PKP.

• Kode 02: Penyerahan kepada instansi pemerintah yang bertindak sebagai pemungut PPN.

• Kode 03: Untuk transaksi kepada pemungut PPN selain instansi pemerintah atau pihak ketiga yang ditunjuk DJP.

• Kode 04: Transaksi dengan dasar pengenaan pajak nilai lain, sesuai Pasal 8A UU PPN.

• Kode 05: Penyerahan dengan PPN besaran tertentu atau pemberian cuma-cuma, termasuk yang nilai pajaknya bisa Rp0,00.

• Kode 06: Penjualan kepada turis asing lewat toko retail peserta skema VAT refund.

• Kode 07: Untuk penyerahan dengan fasilitas PPN tidak dipungut atau ditanggung pemerintah (misalnya proyek hibah luar negeri, kawasan berikat, migas, dll.).

• Kode 08: Transaksi yang dibebaskan dari pengenaan PPN/PPnBM, seperti jasa bandara untuk luar negeri atau perwakilan asing.

• Kode 09: Penyerahan aktiva tetap yang awalnya tidak diperuntukkan untuk dijual.

• Kode 10: Kode baru untuk transaksi khusus yang tidak masuk kategori kode 01–09, termasuk penyerahan dengan tarif PPN berbeda dari tarif umum 12%.

Langkah Strategis Transformasi Digital Pajak

Dengan diberlakukannya aturan ini, DJP semakin memperkuat transformasi digital melalui sistem Coretax. Format NSFP yang lebih panjang dan pemberian otomatis bertujuan untuk meningkatkan akurasi, transparansi, dan efisiensi dalam penerbitan faktur pajak.

Aturan ini juga mendorong wajib pajak, khususnya Pengusaha Kena Pajak (PKP), untuk beradaptasi dengan sistem digitalisasi perpajakan yang lebih ketat namun juga memberikan kepastian hukum yang lebih jelas. (alf)

 

 

Jangan Jadikan BPN Cuma “Ganti Baju”, Reformasi Fiskal Harus Menyentuh Akar Masalah

IKPI Jakarta: Wacana pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) kembali mencuat ke permukaan dalam diskusi panel nasional yang diselenggarakan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) di Jakarta Selatan. Mantan Dirjen Pajak 2000–2001, Machfud Sidik, memberi peringatan keras agar rencana tersebut tak sekadar menjadi kosmetik kelembagaan tanpa menyentuh persoalan struktural penerimaan negara.

“Saya ingin memberikan insight yang objektif. Jangan sampai BPN ini hanya sekadar rebranding, tapi tidak menjawab masalah mendasarnya,” tegas Machfud di hadapan akademisi dan praktisi perpajakan.

Machfud menekankan, persoalan penerimaan negara lebih kompleks dari sekadar institusi. Menurutnya, struktur ekonomi Indonesia yang masih bergantung pada konsumsi domestik dan kontribusi net ekspor yang minim (±3% dari PDB) merupakan hambatan utama. Sebagai perbandingan, Singapura mencatatkan net ekspor hingga 90% dari PDB.

Ia juga menyoroti rendahnya rasio pajak Indonesia yang stagnan di bawah 10%. Bahkan jika digabung dengan pajak daerah, totalnya hanya sekitar 10,3%—jauh dari standar negara-negara OECD yang umumnya berada di atas 15%.

Tak kalah penting, Machfud menyorot kebijakan tax expenditure atau insentif pajak pemerintah yang menurutnya sudah membengkak hingga 20% dari total penerimaan.

“Ini harus kita audit secara objektif. Jangan sampai insentif pajak justru jadi alat untuk melayani tekanan oligarki,” tegasnya.

SARA & BPN Tak Boleh Jadi Obat Palsu

Terkait wacana semi-autonomous revenue authority (SARA) dan pembentukan BPN, Machfud mengingatkan bahwa solusi institusional bukan jaminan perbaikan fiskal.

“Jangan terlalu dikultuskan. Banyak negara gagal karena tidak ada political will yang memadai,” ujarnya mengutip ekonom seperti Joseph Stiglitz dan Richard Bird.

Menurutnya, desain kelembagaan harus mempertimbangkan konteks Indonesia baik dari sisi politik, teknokrasi, maupun tata kelola.

Ia juga memberikan sejumlah catatan penting:

• Dukungan bersyarat terhadap pembentukan BPN: dengan syarat adanya independensi dan akuntabilitas yang kuat.

• Audit menyeluruh terhadap tax expenditure, agar tidak menjadi alat elite tertentu.

• Prioritaskan digitalisasi seperti Cortex sebelum mengganti lembaga.

• Fokus pada kualitas belanja negara, terutama di wilayah timur Indonesia, bukan semata mengejar angka penerimaan. (bl)

Ketua Umum IKPI Dorong PPL Sebagai Strategi Baru Kenalkan Organisasi dan Jaringan Klien

IKPI, Depok: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, mendorong agar kegiatan Pendidikan Profesional Berkelanjutan (PPL) tidak hanya menjadi sarana peningkatan kompetensi anggota, tetapi juga dimanfaatkan sebagai strategi memperkenalkan IKPI ke masyarakat luas dan membuka peluang jejaring klien baru.

Hal ini disampaikan Vaudy saat memberikan sambutan pada acara PPL yang diselenggarakan oleh IKPI Cabang Depok pada Sabtu (31/5/2025). Kegiatan tersebut diikuti oleh 75 peserta, di mana sekitar 40 persen berasal dari kalangan umum.

“PPL jangan hanya menjadi ruang internal. Ketika dibuka untuk umum bahkan berbayar ini justru membuka pintu bagi masyarakat mengenal IKPI dan berpotensi menjadi klien anggota,” ujarnya di hadapan peserta.

Menurut Vaudy, partisipasi peserta umum dalam jumlah signifikan menjadi sinyal positif bahwa edukasi perpajakan memiliki daya tarik tinggi di luar lingkup konsultan pajak. Ia mendorong pengurus daerah (Pengda) dan pengurus cabang (Pengcab) di seluruh Indonesia untuk menjadikan model ini sebagai pola baru dalam penyelenggaraan PPL.

Acara yang menghadirkan narasumber Nur Hidayat ini mengangkat topik baru yang sangat relevan dengan kebutuhan Wajib Pajak. Antusiasme peserta terlihat tinggi karena materi yang dibawakan merupakan “ketemuan baru” yang belum banyak dibahas dalam forum-forum sebelumnya.

Dengan pendekatan ini, IKPI tidak hanya memperkuat peran strategisnya dalam peningkatan kualitas profesi, tetapi juga tampil lebih terbuka, adaptif, dan dekat dengan masyarakat. (bl)

Mulai 6 Juni, Barang Impor dari Luar Negeri Bisa Dilaporkan Secara Lisan

IKPI, Jakarta: Pemerintah kembali memperbarui aturan kepabeanan lewat terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 34 Tahun 2025. Salah satu poin penting dalam beleid ini adalah penegasan siapa saja yang diperbolehkan menyampaikan pemberitahuan pabean atas barang bawaan dari luar negeri secara lisan.

Pasal 9 PMK 34/2025 menyatakan bahwa barang impor yang dibawa oleh penumpang atau awak sarana pengangkut wajib dilaporkan kepada petugas bea dan cukai di kantor pabean.

Berbeda dari aturan sebelumnya, kini pemerintah memberikan rincian lima kategori penumpang yang dapat menyampaikan pemberitahuan tersebut secara lisan.

“Pemberitahuan pabean dapat dilakukan secara lisan atau disampaikan secara tertulis,” demikian bunyi Pasal 9 ayat (2) PMK 34/2025.

Kelima kategori tersebut meliputi:

• Penumpang berusia di atas 60 tahun;

• Penumpang dengan disabilitas;

• Jemaah haji reguler yang terdaftar resmi untuk musim haji berjalan sesuai ketentuan perundang-undangan;

• Tamu negara berkategori very very important person (VVIP);

• Penumpang atau awak sarana pengangkut yang berada di lokasi tertentu yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Sekadar informasi, beleid anyar ini merevisi PMK 203/2017. Dalam regulasi sebelumnya, pemberitahuan pabean secara lisan memang telah diakomodasi, namun belum dijelaskan secara spesifik siapa saja yang berhak melakukannya.

Selama ini, mayoritas pemberitahuan pabean disampaikan secara tertulis, baik melalui Customs Declaration (CD) maupun Pemberitahuan Impor Barang Khusus (PIBK).

PMK 34/2025 resmi berlaku mulai 6 Juni 2025. Dengan aturan baru ini, pemerintah berharap proses kepabeanan dapat lebih akomodatif, terutama bagi kelompok penumpang tertentu yang memerlukan kemudahan layanan. (alf)

 

 

PER-11/PJ/2025 Wajibkan Usaha Milik Orang Pribadi Potong PPh

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi memperluas cakupan kewajiban pemotongan pajak bagi wajib pajak orang pribadi dalam negeri melalui terbitnya Peraturan Dirjen Pajak (Perdirjen) Nomor PER-11/PJ/2025. Aturan ini menetapkan bahwa individu yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas kini diwajibkan memotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 dan PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari sewa, termasuk sewa tanah dan bangunan.

 

Mengacu pada Pasal 16 ayat (2) peraturan tersebut, yang dimaksud dengan wajib pajak orang pribadi adalah mereka yang memiliki kegiatan usaha dan menyelenggarakan pembukuan, serta para profesional seperti dokter, arsitek, notaris, akuntan, dan lainnya yang menjalankan pekerjaan bebas.

 

Kewajiban ini bukan hal baru, namun cakupan subjek yang ditunjuk sebagai pemotong pajak mengalami perluasan signifikan dibandingkan ketentuan sebelumnya dalam KEP-50/PJ/1994 dan KEP-50/PJ/1996. Dalam dua keputusan terdahulu itu, hanya profesi tertentu dan pelaku usaha tertentu yang diwajibkan memotong pajak atas sewa.

 

Kini, dengan berlakunya PER-11/PJ/2025 per tanggal 22 Mei 2025, kedua keputusan lama tersebut resmi dicabut. Artinya, ketentuan yang mengatur siapa saja orang pribadi yang harus memotong PPh atas sewa telah diperbarui secara menyeluruh.

 

Sebagai catatan, pemotongan pajak yang dilakukan wajib pajak orang pribadi ini harus disertai dengan bukti potong unifikasi, sesuai prosedur perpajakan terbaru. Besaran tarif PPh Pasal 23 atas penghasilan sewa adalah 2% dari jumlah bruto, sementara untuk sewa tanah dan bangunan, PPh Pasal 4 ayat (2) dikenakan secara final sebesar 10%.

Langkah ini sejalan dengan upaya DJP memperkuat basis pemajakan dan meningkatkan kepatuhan perpajakan, khususnya dari sektor usaha dan profesional perorangan yang sebelumnya belum sepenuhnya tercakup dalam kewajiban pemotongan pajak atas sewa. (alf)

 

id_ID