IKPI Kabupaten Tangerang dan OCBC Kolaborasi Sosialisasikan Coretax 

IKPI,Tangerang: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Kabupaten Tangerang bersama Bank OCBC Gading Serpong, Tangerang, Banten menyelenggarakan sosialisasi perpajakan bertema “Perpajakan Modern Berbasis Coretax yang Mendukung Ketahanan Pangan: Peran UMKM, Insan Tani dan Nelayan dalam Pembangunan Negara”. Acara ini berlangsung di kantor cabang Bank OCBC Gading Serpong, Tangerang, dengan dihadiri oleh sekitar 30 peserta yang sebagian besar merupakan nasabah Bank OCBC, serta masyarakat umum.

Ketua IKPI Kabupaten Tangerang Dhaniel Hutagalung, yang juga sebagai pemateri Utama pada kegiatan tersebut menyatakan, acara ini merupakan hasil kolaborasi antara Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) Tangerang Selatan, Bank OCBC, Insan Tani Nelayan Indonesia (INTANI), dan IKPI.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Kabupaten Tangerang)

Menurut Dhaniel, tujuan kegiatan ini adalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap sistem perpajakan modern, khususnya yang berbasis teknologi seperti Coretax, dan mendukung pengembangan sektor UMKM, pertanian, dan perikanan sebagai bagian penting dari pembangunan nasional.

“Dari kami, pengurus IKPI Kabupaten Tangerang, kegiatan ini juga menjadi salah satu langkah strategis untuk meningkatkan eksistensi organisasi di wilayah Tangerang,” ujar Dhaniel, Selasa (22/1/2025).

(Foto: DOK. IKPI Cabang Kabupaten Tangerang)

Menurutnya, kegiatan ini adalah statusnya sebagai program perdana IKPI Kabupaten Tangerang di tahun 2025. Ia menekankan bahwa acara ini merupakan wujud nyata pelayanan kepada masyarakat dan hasil sinergi dengan berbagai organisasi serta institusi.

“Ke depannya, kami akan terus menjalin kolaborasi dengan organisasi, institusi, maupun perusahaan lainnya untuk meningkatkan edukasi perpajakan di masyarakat,” ujarnya.

Sebagai pemateri, Dhaniel mengupas tentang sistem perpajakan berbasis teknologi seperti Coretax, termasuk aplikasinya dalam mendukung efisiensi perpajakan dan tantangan yang dihadapi. Ia menekankan pentingnya adaptasi teknologi dalam perpajakan, terutama bagi pelaku UMKM, insan tani, dan nelayan yang memiliki peran strategis dalam pembangunan negara.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Kabupaten Tangerang)

Dengan terlaksananya kegiatan ini, ia berharap dapat terus memberikan kontribusi nyata dalam mendukung pemahaman masyarakat terhadap perpajakan, sekaligus membangun sinergi lintas sektor untuk kemajuan bersama.(bl)

Penerimaan Pajak di Bali Capai Rp16,97 Triliun pada 2024, Naik 27,11 Persen

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Provinsi Bali berhasil mencatatkan penerimaan pajak sebesar Rp16,97 triliun sepanjang 2024. Angka ini naik 27,11 persen dibandingkan dengan tahun 2023 yang hanya mencapai Rp13,35 triliun.

Kepala Kantor Wilayah DJP Bali, Darmawan, mengungkapkan capaian ini melampaui target yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat sebesar Rp16,89 triliun, dengan realisasi mencapai 100,48 persen.

 

“Kami berhasil mencapai target penerimaan pajak, dan tahun ini menjadi yang keempat kalinya,” ujar Darmawan kepada media, Rabu (22/1/2025).

 

Dari sembilan kabupaten dan kota di Bali, Kabupaten Badung menyumbang penerimaan terbesar dengan Rp6,78 triliun, disusul oleh Kota Denpasar sebesar Rp6,44 triliun, dan Kabupaten Gianyar dengan Rp1,15 triliun.

Berdasarkan jenis pajak, Pajak Penghasilan (PPh) mendominasi dengan kontribusi sebesar Rp11,8 triliun, meningkat 30,90 persen dibandingkan tahun lalu yang hanya Rp9 triliun.

PPh Pasal 21 menjadi penyumbang terbesar dalam kelompok ini dengan realisasi sebesar Rp3,7 triliun.

Selain itu, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam negeri memberikan kontribusi Rp4,65 triliun, sementara PPN impor menyumbang Rp244,83 miliar.

Pertumbuhan Sektor Usaha

Penerimaan pajak pada 2024 ditopang oleh pertumbuhan signifikan di sejumlah sektor usaha. Penyediaan akomodasi dan penyediaan makan minum mencatatkan kenaikan tertinggi sebesar 57,89 persen, diikuti oleh sektor perdagangan besar dan eceran, reparasi, dan perawatan kendaraan bermotor sebesar 24,50 persen.

Adapun lima sektor utama yang menjadi penopang penerimaan pajak meliputi:

• Perdagangan besar dan eceran, reparasi, dan perawatan kendaraan sebesar Rp3,11 triliun.

• Aktivitas keuangan dan asuransi sebesar Rp2,33 triliun.

• Penyediaan akomodasi dan makan minum sebesar Rp2,32 triliun.

• Administrasi pemerintahan, pertahanan, dan jaminan sosial wajib sebesar Rp2,06 triliun.

• Industri pengolahan sebesar Rp1,16 triliun.

Tingkat kepatuhan wajib pajak di Bali menunjukkan tren positif, dengan pertumbuhan sebesar 2,74 persen dibandingkan tahun lalu. Hingga Desember 2024, sebanyak 396.502 Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh telah dilaporkan, dengan mayoritas berasal dari wajib pajak orang pribadi karyawan sebanyak 303.389 SPT.

Capaian ini menjadi bukti keberhasilan strategi pengelolaan pajak di Bali yang tetap konsisten mendukung pertumbuhan ekonomi daerah melalui optimalisasi sektor pajak. (alf)

DJP Tingkatkan Transparansi dan Good Governance dalam Pengembangan Sistem Administrasi Perpajakan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus menunjukkan komitmennya dalam meningkatkan transparansi dan tata kelola yang baik (good governance) dalam pengembangan sistem administrasi perpajakan. Langkah ini dilakukan dengan melibatkan berbagai lembaga negara, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk memastikan setiap proses berjalan sesuai prinsip akuntabilitas dan integritas.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti, menjelaskan bahwa pihaknya terus mengembangkan beberapa sistem baru, seperti Coretax, yang dirancang untuk meningkatkan efisiensi pelayanan kepada wajib pajak.

Menurutnya, sistem ini tidak hanya membutuhkan pengembangan teknologi, tetapi juga penyesuaian agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

“Kami sangat menyadari bahwa pengembangan Coretax memerlukan waktu, perhatian, dan koordinasi yang intensif. Oleh karena itu, kami melibatkan lembaga-lembaga strategis untuk memastikan bahwa prosesnya berjalan transparan dan dapat dipertanggungjawabkan,” ujar Dwi saat berbincang santai dengan Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld dan jajaran pengurusnya di kantornya, Selasa (21/1/2025).

Selain itu, Dwi juga menyoroti bahwa tantangan teknis yang muncul selama pengembangan sistem telah menjadi prioritas utama untuk segera diselesaikan. Ia memastikan bahwa tim teknis DJP terus bekerja sama secara aktif untuk mengatasi berbagai kendala dan memberikan solusi yang terbaik bagi wajib pajak.

“Kami terus berkomitmen memberikan solusi terbaik agar wajib pajak dapat menggunakan sistem ini dengan optimal. Setiap permasalahan yang ada segera kami eskalasi ke tim terkait untuk diselesaikan secepat mungkin,” tambahnya.

Ia menegaskan, langkah ini juga menjadi bagian dari upaya DJP dalam memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap institusi perpajakan. Dengan transparansi yang lebih baik, DJP berharap dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak sekaligus memperkuat penerimaan negara di sektor pajak.

Sebagai salah satu institusi yang memiliki peran vital dalam mendukung perekonomian nasional, DJP memandang teknologi sebagai alat penting untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Sistem Cortex diharapkan dapat memberikan kemudahan akses, mempercepat proses administrasi, dan mengurangi potensi kesalahan manusia dalam pengelolaan data perpajakan.

Dengan sinergi yang terjalin antara DJP, KPK, dan lembaga lainnya, pengembangan sistem administrasi perpajakan diharapkan dapat mencapai standar internasional, sehingga mendukung terciptanya ekosistem perpajakan yang modern, transparan, dan akuntabel.

Pengembangan sistem ini menjadi bukti nyata bahwa DJP terus beradaptasi dengan perkembangan zaman, sekaligus menjawab tantangan di era digitalisasi. Ke depan, DJP berkomitmen untuk terus mendengarkan masukan dari masyarakat dan memperbaiki layanannya demi mendukung keberlanjutan pembangunan ekonomi Indonesia. (bl)

KPP Sorong Maksimalkan Sosialisasi Aplikasi Coretax 

IKPI, Jakarta: Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP) Sorong terus memaksimalkan penggunaan aplikasi Coretax untuk memperlancar sistem pembayaran pajak dan memperkuat pengawasan wajib pajak. Sosialisasi kepada masyarakat gencar dilakukan sejak Agustus hingga Desember 2024, dengan harapan agar wajib pajak dapat lebih familiar dengan sistem baru tersebut, yang mulai diterapkan pada Januari 2025.

Kepala Seksi Pelayanan KPP Sorong, Yohana, menjelaskan bahwa penggunaan aplikasi Coretax bertujuan untuk mempermudah wajib pajak dalam melakukan pembayaran dan pelaporan pajak secara lebih transparan dan efisien. “Dengan aplikasi ini, diharapkan masyarakat sudah siap dan paham ketika sistem diterapkan, dan tidak kesulitan dalam menjalankan kewajiban perpajakannya,” ujar Yohana, Selasa (22/1/2025).

Aplikasi Coretax juga diklaim mampu meningkatkan pengawasan dan mempermudah pengelolaan data pajak. “Sistem ini dapat membaca lebih banyak data, yang memungkinkan pengawasan lebih efektif, serta mempermudah pelaporan, pembayaran, dan pengolahan data pajak,” tambahnya.

Namun, meskipun aplikasi ini sudah diterapkan, masih terdapat sebagian wajib pajak yang mengalami kesulitan dalam menggunakannya. Kepala Seksi Pengawasan 6 KPP Sorong, Irfan Dwisaputra, mengatakan pihaknya menyediakan layanan helpdesk untuk membantu wajib pajak yang membutuhkan panduan mengenai pelaporan SPT Tahunan atau cara menggunakan aplikasi Coretax. “Kami siap membantu agar mereka bisa lebih nyaman dalam bertransaksi dengan pajak melalui aplikasi ini,” kata Irfan.

Salah satu fitur unggulan dari aplikasi Coretax adalah kemampuan bagi wajib pajak untuk memantau dan melihat catatan pajak mereka sendiri secara online tanpa perlu datang ke kantor pajak. Hal ini diharapkan dapat mengurangi waktu dan biaya bagi wajib pajak serta meningkatkan akurasi data yang tercatat.

Pada 2024, KPP Pratama Sorong diberikan target penerimaan pajak sebesar Rp1.782,42 miliar. Hingga akhir November 2024, penerimaan pajak tercatat mencapai Rp1.276,80 miliar, atau 71,63% dari target yang ditetapkan. Penerimaan pajak ini mengalami pertumbuhan positif sebesar 9,58% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, dengan kontribusi terbesar berasal dari pertumbuhan PPh Non Migas sebesar 16,72% dan PBB yang tumbuh signifikan sebesar 58,12%.

Kepala KPP Sorong, Martiana D. Sipahutar, menyampaikan bahwa meskipun masih ada beberapa bulan tersisa hingga akhir tahun, kinerja penerimaan pajak pada 2024 menunjukkan tren yang positif. “Kami optimistis pencapaian target akan tercapai, terutama dengan adanya penerapan aplikasi Coretax yang diharapkan bisa meningkatkan efisiensi dan akurasi dalam pengelolaan pajak,” ungkap Martiana.

Dengan perkembangan ini, diharapkan penerimaan pajak di wilayah Sorong dapat terus meningkat, memberikan kontribusi signifikan bagi pembangunan daerah dan negara.(alf)

DJP Belum Tentukan Tenggat Waktu Masa Transisi Coretax

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan masih belum menetapkan tenggat waktu untuk masa transisi implementasi sistem inti administrasi pajak atau (Coretax). Sejak peluncuran sistem ini pada 1 Januari 2025, wajib pajak mengalami sejumlah kendala teknis, dan DJP memberikan pembebasan sanksi administrasi selama masa transisi untuk memberikan kelonggaran kepada wajib pajak yang mungkin menghadapi keterlambatan pelaporan pajak.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti, mengonfirmasi bahwa hingga saat ini, batas waktu masa transisi belum ditetapkan. “Kami masih memberlakukan masa transisi untuk memastikan baik DJP maupun wajib pajak dapat beradaptasi dengan sistem administrasi baru tanpa gangguan,” ujar Dwi di Jakarta, Selasa (21/1/2025).

Menurutnya, sistem Coretax yang lebih canggih diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dalam administrasi perpajakan, namun beberapa wajib pajak melaporkan adanya kesulitan dalam mengoperasikan sistem ini. Oleh karena itu, kebijakan masa transisi ini bertujuan untuk memberikan kelonggaran dan memastikan proses perpajakan tetap berjalan lancar meski ada perubahan teknologi.

Sebagai bagian dari kebijakan transisi ini, wajib pajak tidak akan dikenakan sanksi administrasi jika terjadi keterlambatan dalam penerbitan faktur pajak atau pelaporan pajak yang disebabkan oleh proses peralihan ke sistem baru tersebut. “DJP memastikan tidak ada beban tambahan bagi wajib pajak selama masa transisi,” kata Dwi.

Ia menegaskan, masa transisi ini bukanlah yang pertama kali diterapkan oleh DJP. Sebelumnya, masa transisi serupa juga diberlakukan pada kebijakan baru terkait tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk barang mewah yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025.

Dalam kebijakan ini, tarif PPN untuk barang mewah yang tergolong dalam kategori barang kena pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) dinaikkan menjadi 12%. Sementara itu, untuk barang non-mewah, tarif PPN tetap dipertahankan sebesar 11%. Masa transisi untuk kebijakan PPN ini ditetapkan selama tiga bulan, dari 1 Januari hingga 31 Maret 2025, agar pelaku usaha dapat menyesuaikan sistem dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 131/2024.

Dengan diberlakukannya masa transisi pada dua kebijakan penting ini, pemerintah berharap dapat meminimalkan dampak negatif terhadap wajib pajak dan pelaku usaha, serta memastikan kelancaran implementasi kebijakan perpajakan yang lebih modern dan efisien. (alf)

DJP Lakukan Perbaikan Signifikan, Pastikan Layanan Coretax Lebih Efisien

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan telah melakukan perbaikan signifikan pada sistem inti administrasi pajak (Coretax) yang mulai diimplementasikan pada 1 Januari 2025. Perbaikan ini dilakukan untuk mengatasi sejumlah kendala yang ditemukan oleh wajib pajak dalam penggunaan sistem tersebut.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, menjelaskan bahwa perbaikan ini mencakup berbagai aspek teknis dan operasional. “Perlu kami sampaikan bahwa atas kendala-kendala yang terjadi dalam penggunaan fitur layanan Coretax DJP, telah dilakukan perbaikan yang mencakup berbagai aspek,” ujarnya di Jakarta, Selasa (21/1/2025).

Sejak awal bulan Januari, beberapa masalah yang ditemukan oleh wajib pajak dalam penggunaan Coretax antara lain terkait dengan proses bisnis pendaftaran, pembayaran, layanan perpajakan, pelaporan SPT, hingga sistem pengelolaan dokumen (Document Management System). Beberapa isu teknis yang diperbaiki antara lain kegagalan dalam penyimpanan data pada saat pembaruan data profil, kegagalan proses validasi wajah, serta masalah dalam pembuatan kode otorisasi atau sertifikat elektronik.

Selain itu, DJP juga memperbaiki masalah dalam pengunggahan file format .xml, penandatanganan faktur pajak, serta penerimaan One Time Password (OTP) oleh wajib pajak. Dwi Astuti menegaskan bahwa DJP berkomitmen untuk terus melakukan perbaikan agar sistem perpajakan Indonesia semakin maju dan efisien. “DJP berkomitmen untuk terus melakukan upaya yang diperlukan agar Pemerintah memiliki sistem informasi perpajakan yang maju akan segera terwujud,” tambahnya.

Sebagai bagian dari upaya memperbaiki pengalaman wajib pajak, DJP juga telah menerbitkan buku panduan ringkas yang dapat diunduh melalui situs resmi pajak.go.id. Buku panduan ini bertujuan untuk memudahkan wajib pajak dalam memahami dan mengatasi berbagai kendala yang mungkin terjadi dalam penggunaan sistem Coretax.

Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) sebelumnya melaporkan adanya sejumlah kendala yang dialami oleh wajib pajak dan konsultan pajak dalam menggunakan sistem Coretax. Meskipun begitu, implementasi Coretax diharapkan akan menjadi langkah besar bagi pembaruan sistem perpajakan di Indonesia, serta peningkatan kualitas layanan bagi wajib pajak.

Dengan adanya perbaikan dan penyempurnaan berkelanjutan, DJP berharap sistem Coretax dapat berfungsi secara optimal, memberikan kemudahan bagi wajib pajak, serta memperkuat basis data perpajakan di Indonesia. (alf)

Ratusan Relawan Pajak Renjani Siap Terjun Edukasi Masyarakat

IKPI, Jakarta: Sebanyak 240 relawan Pajak untuk Negeri (Renjani) resmi dikukuhkan di Aula Lantai 7 Gedung Keuangan Negara II, Semarang, pada Senin (20/1/2025). Pengukuhan ini merupakan bagian dari persiapan bagi total 451 relawan yang tersebar di wilayah Jawa Tengah untuk mengedukasi masyarakat terkait pajak.

Acara pengukuhan tersebut dihadiri oleh 17 perwakilan Tax Center dari berbagai universitas di Semarang. Selain pengukuhan, para relawan juga menerima pembekalan sebelum mulai bertugas di Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor Penyuluhan, Pelayanan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP), serta di Tax Center masing-masing.

Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Tengah I, Nurbaeti Munawaroh, menyampaikan bahwa program Renjani merupakan sarana bagi mahasiswa untuk belajar berkontribusi pada negara. “Renjani menjadi wadah bagi mahasiswa yang ingin menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk mengedukasi masyarakat secara sukarela,” ujarnya.

Nurbaeti berharap melalui program ini, para relawan dapat mengembangkan keterampilan networking, kepemimpinan, serta pembelajaran berbasis pengalaman. “Kami ingin menginspirasi rekan-rekan mahasiswa agar menjadi wajib pajak yang patuh dan taat terhadap kewajibannya di masa depan,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Bidang P2Humas Kanwil DJP Jateng I, Bayu Setiawan, menjelaskan bahwa para relawan telah melewati proses seleksi yang ketat. “Proses dimulai dari permintaan formasi dari Tax Center atau organisasi mitra, rekrutmen, tes seleksi, hingga pengukuhan. Dengan proses ini, kami mendapatkan relawan yang siap diterjunkan langsung untuk melayani wajib pajak,” katanya.

Kanwil DJP Jawa Tengah I saat ini sedang mencanangkan program Zona Integritas Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (ZI WBBM). Bayu mengajak masyarakat untuk mendukung program ini.

“Sampaikan kritik, masukan, dan pengaduan apabila menemui dugaan pelanggaran integritas melalui kanal informasi resmi kami,” imbaunya.

Dengan program Renjani, diharapkan masyarakat semakin sadar akan pentingnya pajak dan mahasiswa dapat berkontribusi nyata untuk negeri. (alf)

Donald Trump Janjikan Tarif Pajak Baru dan Reformasi Perdagangan

IKPI, Jakarta: Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, berjanji untuk menerapkan tarif dan pajak baru pada negara lain setelah resmi dilantik sebagai Presiden AS pada Senin (20/1/2025). Dalam pidato pelantikannya, Trump menegaskan komitmennya untuk melindungi pekerja dan keluarga Amerika melalui perombakan sistem perdagangan.

“Saya akan segera memulai perombakan sistem perdagangan kita untuk melindungi pekerja dan keluarga Amerika,” kata Trump seperti dikutip AFP.

“Daripada mengenakan pajak pada warga negara kita untuk memperkaya negara lain, kita akan mengenakan tarif dan pajak pada negara asing untuk memperkaya warga negara kita,” tambahnya.

Sejak memenangkan Pemilu 2024, Trump telah mengarahkan perhatian pada sekutu dan musuh Amerika, mendorong rencana pengenaan tarif baru untuk menangani berbagai isu, termasuk imigrasi ilegal dan perdagangan obat terlarang seperti fentanil.

Trump sebelumnya berjanji akan mengenakan tarif sebesar 25 persen pada impor dari Kanada dan Meksiko, serta tambahan 10 persen untuk barang-barang dari China jika negara-negara tersebut tidak mengambil tindakan lebih tegas terkait masalah ini. Selama kampanye, ia bahkan mengusulkan tarif hingga 60 persen atau lebih pada barang impor dari China.

Namun, pada hari pelantikannya, Trump belum langsung mengumumkan penerapan tarif baru. Ia juga menegaskan rencananya untuk mendirikan Layanan Pendapatan Eksternal, sebuah badan baru yang akan bertugas mengumpulkan pendapatan dari tarif dan bea impor, yang diklaim akan memberikan keuntungan besar bagi Amerika.

“American Dream segera kembali dan berkembang pesat seperti yang belum pernah terjadi sebelumnya,” ujar Trump.

Rencana Reformasi Pemerintahan

Selain kebijakan tarif, Trump mengumumkan pembentukan Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE) yang baru, yang akan dipimpin oleh CEO Tesla, Elon Musk, dan pengusaha Vivek Ramaswamy. Departemen ini ditugaskan untuk mengurangi belanja federal hingga US$1 triliun.

Scott Bessent, calon Menteri Keuangan dalam pemerintahan Trump, menyatakan bahwa ia tidak sepakat bahwa beban biaya tarif akan sepenuhnya ditanggung oleh konsumen di dalam negeri.

Para pendukung Trump juga menyoroti kebijakan lain, seperti pemotongan pajak dan deregulasi, yang diyakini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.

Namun, beberapa analis memperingatkan bahwa kenaikan tarif berpotensi meningkatkan harga barang dan membebani pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.

Dengan berbagai janji ambisiusnya, pemerintahan Trump diperkirakan akan membawa perubahan signifikan dalam kebijakan perdagangan dan pengelolaan anggaran pemerintah federal. Warga Amerika dan dunia kini menunggu bagaimana implementasi kebijakan ini akan memengaruhi perekonomian global. (alf)

Penerimaan Pajak Digital Capai Rp 32,32 Triliun di 2024

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat penerimaan pajak dari sektor usaha ekonomi digital mencapai Rp 32,32 triliun hingga akhir 2024. Jumlah ini mencakup Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), pajak kripto, hingga pajak dari platform pinjaman online (peer to peer lending).

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti, merinci bahwa PPN PMSE menyumbang penerimaan terbesar dengan nilai Rp 25,35 triliun. Pajak kripto menyumbang Rp 1,09 triliun, sementara pajak fintech atau peer to peer (P2P) lending mencapai Rp 3,03 triliun.

“Selain itu, penerimaan pajak dari transaksi melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) mencapai Rp 2,85 triliun,” ujar Dwi dalam keterangan tertulis, Senin (20/1/2025).

Rincian Penunjukan Pemungut PPN PMSE

Hingga Desember 2024, pemerintah telah menunjuk 211 pelaku usaha PMSE sebagai pemungut PPN. Pada bulan Desember saja, terdapat 13 penunjukan baru, termasuk Pearson Education Limited, Travian Games GmbH, hingga Kajabi LLC.

Dari total pemungut yang telah ditunjuk, sebanyak 174 pelaku usaha PMSE telah memungut dan menyetor PPN dengan total penerimaan Rp 25,35 triliun. Penerimaan tersebut terdiri dari:

• Rp 731,4 miliar (2020)

• Rp 3,90 triliun (2021)

• Rp 5,51 triliun (2022)

• Rp 6,76 triliun (2023)

• Rp 8,44 triliun (2024).

Penerimaan Pajak Kripto dan Fintech

Pajak kripto menghasilkan Rp 1,09 triliun selama tiga tahun terakhir, dengan rincian:

• Rp 246,45 miliar (2022)

• Rp 220,83 miliar (2023)

• Rp 620,4 miliar (2024).

Sebagian besar penerimaan ini berasal dari PPh 22 atas transaksi penjualan kripto (Rp 510,56 miliar) dan PPN DN atas transaksi pembelian kripto (Rp 577,12 miliar).

Sementara itu, pajak dari fintech menyumbang Rp 3,03 triliun, dengan rincian:

• Rp 446,39 miliar (2022)

• Rp 1,11 triliun (2023)

• Rp 1,48 triliun (2024).

Penerimaan pajak fintech terdiri dari PPh 23 atas bunga pinjaman dalam negeri (Rp 816,85 miliar), PPh 26 atas bunga pinjaman luar negeri (Rp 647,86 miliar), dan PPN DN (Rp 1,57 triliun).

Penerimaan Pajak SIPP

Penerimaan pajak SIPP mencapai Rp 2,85 triliun hingga 2024, dengan rincian:

• Rp 402,38 miliar (2022)

• Rp 1,12 triliun (2023)

• Rp 1,33 triliun (2024).

“Untuk menciptakan keadilan antara pelaku usaha digital dan konvensional, pemerintah terus menunjuk pelaku usaha digital sebagai pemungut PPN serta menggali potensi pajak lainnya,” kata Dwi.

Langkah ini mencerminkan komitmen pemerintah dalam mengoptimalkan penerimaan pajak dari sektor digital, yang semakin menjadi pilar utama ekonomi Indonesia. (alf)

DPR Soroti Stagnasi Rasio Pajak RI

IKPI, Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyoroti stagnasi rasio pajak (tax ratio) di tengah pertumbuhan ekonomi yang konsisten setiap tahunnya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ekonomi Indonesia tumbuh 4,95% hingga kuartal III-2024, dari Rp 3.125 triliun pada kuartal III-2023 menjadi Rp 3.279,6 triliun.

Penerimaan pajak juga mengalami kenaikan sebesar 3,5% pada 2024 menjadi Rp 1.932,4 triliun, meski belum mencapai target APBN sebesar Rp 1.988,9 triliun. Namun, tax ratio Indonesia tetap stagnan di kisaran 10% dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2023, angkanya tercatat 10,21%, turun dibandingkan 2022 yang mencapai 10,38%.

Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menyebut kondisi ini sebagai sebuah anomali. “Kita mengalami situasi bahwa ekonomi kita tumbuh, tetapi tax ratio kita menurun. Ketika tax ratio menurun sementara ekonomi naik, ini menjadi tanda tanya besar,” ujar Misbakhun dikutip dari Cuap-Cuap Cuan CNBC Indonesia, Selasa (21/1/2025).

Sejarah Tax Ratio Indonesia

Indonesia pernah mencatatkan tax ratio tertinggi sebesar 13% pada 2008, saat diberlakukannya kebijakan sunset policy. Namun, sejak itu angka tersebut terus stagnan. Bahkan saat ini, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyebut tax ratio hanya mencapai 10,4%, jauh dari potensi ideal sebesar 12,2% akibat kebijakan insentif fiskal senilai 1,8% dari PDB.

Misbakhun mengingatkan, kebijakan insentif pajak bukanlah hal baru. Sejak era 1980-an, insentif dalam berbagai bentuk telah diterapkan pemerintah, namun implementasinya bervariasi.

Tax ratio menjadi indikator penting untuk mengukur efektivitas pemerintah dalam mengumpulkan pajak. Semakin tinggi angkanya, semakin baik kebijakan perpajakan dan kepatuhan wajib pajak.

“Inilah yang harus kita temukan formulasinya. Negara memiliki semua alat dan sumber daya untuk memperbaiki situasi ini,” ujar Misbakhun.

DPR berkomitmen mendorong pemerintah untuk mencari solusi yang dapat meningkatkan tax ratio sekaligus memberikan dampak positif bagi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. (alf)

id_ID