Politisi PKS Ingatkan Bahaya Mafia Pajak Saat Uji Calon Hakim Agung

IKPI, Jakarta: Anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil, mengingatkan soal bahaya mafia pajak dalam uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) calon Hakim Agung di Senayan, Selasa (9/9/2025). Ia menegaskan pentingnya independensi hakim dalam menangani perkara perpajakan yang menyangkut kepentingan bangsa.

Nasir menyoroti salah satu calon yang baru enam tahun bertugas di Pengadilan Pajak. Menurutnya, masa pengabdian itu masih terlalu singkat sehingga rawan dipengaruhi oleh Kementerian Keuangan.

“Dibutuhkan independensi, supaya hakim tidak mudah diintervensi dalam perkara pajak. Pajak itu jiwa bangsa, dan mafia pajak bisa membunuh jiwa bangsa,” tegasnya.

Politikus PKS tersebut juga mengaitkan fenomena mafia pajak dengan teori kontrak sosial. Menurutnya, praktik manipulasi pajak justru merusak legitimasi negara di mata rakyat. Ia mengingatkan kembali kasus besar seperti Gayus Tambunan dan Rafael Alun Trisambodo yang mencederai kepercayaan publik.

“Masyarakat pernah dikejutkan oleh Gayus, lalu muncul Rafael Alun. Jangan-jangan masih banyak ‘Gayus’ lain, hanya saja belum ketahuan,” ujarnya.

Lebih lanjut, Nasir mempertanyakan realisasi penerimaan pajak yang tidak sebanding dengan potensi sesungguhnya. Ia menduga sebagian potensi tersebut justru tergerus praktik mafia.

“Jangan-jangan potensi kita 10, tapi hanya tercatat 3 atau 5, sisanya jadi bancakan,” katanya.

Ia juga menyinggung kebijakan tax amnesty yang menurutnya menunjukkan kelemahan pemerintah dalam menggali potensi pajak, serta praktik penghindaran pajak lewat penyimpanan dana di luar negeri seperti dalam Panama Papers.

Tak hanya di pusat, masalah di daerah pun ikut disorot. Nasir mencontohkan banyak daerah kaya tambang tidak menikmati hasil pajaknya karena NPWP perusahaan tercatat di Jakarta.

“Daerah hanya dapat ampasnya saja. Ini tidak adil bagi fiskal daerah,” ucapnya.

Di akhir pernyataannya, Nasir menekankan peran moral calon Hakim Agung. “Keputusan harus berdasar hukum dan keadilan, bukan semata aturan tertulis. Pajak bukan untuk bikin bingung atau bikin bangkrut, tapi untuk menyejahterakan rakyat,” katanya. (alf)

 

Ekonom Celios Dorong Menkeu Purbaya Tuntaskan Beban Pajak Masyarakat Menengah dan Bawah

IKPI, Jakarta: Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa, perlu bergerak cepat menuntaskan persoalan yang membebani masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah.

Menurut Bhima, langkah awal yang penting bagi Purbaya adalah meringankan tekanan pajak maupun pungutan lain agar daya beli rumah tangga bisa kembali meningkat. “Semua beban berat, khususnya bagi kelas menengah ke bawah, harus segera diselesaikan. Kita butuh konsumsi rumah tangga naik,” ujarnya, Selasa (9/9/2025).

Ia juga menyoroti efektivitas belanja perpajakan yang mencapai sekitar Rp530 triliun per tahun. Menurutnya, insentif fiskal seperti pembebasan pajak hingga 20 tahun perlu dievaluasi ulang. “Apakah benar insentif itu tepat sasaran? Sudahkah mendorong investasi dan penyerapan tenaga kerja sesuai harapan?” kata Bhima.

Lebih jauh, Bhima mendorong Menkeu untuk melakukan audit atas perusahaan yang menerima keringanan pajak, memastikan laporan keuangan mereka akurat, serta kontribusi terhadap penciptaan lapangan kerja jelas. Selain itu, ia menekankan pentingnya inovasi dalam pengelolaan utang negara.

“Kita membayar bunga utang Rp800 triliun per tahun. Ke depan akan lebih berat, jadi perlu ada renegosiasi atau restrukturisasi yang memberi manfaat langsung bagi masyarakat,” tuturnya.

Bhima juga menyinggung soal tata kelola internal di Kementerian Keuangan. Ia meminta Purbaya bersikap tegas terhadap praktik rangkap jabatan, khususnya di level wakil menteri. “Pejabat Kemenkeu yang masih menerima gaji dari BUMN lewat posisi rangkap tidak boleh dibiarkan. Itu masalah profesionalitas dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan,” tegasnya.

Dengan langkah-langkah tersebut, Bhima berharap kepercayaan pasar terhadap kepemimpinan baru di Kementerian Keuangan bisa segera terbangun, sekaligus membawa arah kebijakan fiskal lebih berpihak pada masyarakat luas. (alf)

 

Menkeu Purbaya: Fokus Sistem Pajak yang Ada untuk Dorong Ekonomi Tumbuh 8%

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan dirinya tidak akan menambah jenis pajak baru untuk meningkatkan penerimaan negara. Menurutnya, strategi yang lebih efektif adalah mengoptimalkan sistem perpajakan yang sudah berjalan.

“Menurut saya pribadi selama ini nggak usah (pajak baru). Dengan sistem yang ada pun kalau pertumbuhannya bagus, tax-to-GDP ratio tetap bisa naik,” ujar Purbaya di Istana Kepresidenan, Senin (8/9/2025).

Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, target penerimaan pajak ditetapkan sebesar Rp2.357,71 triliun. Angka ini naik 13,51% dibandingkan target 2025 senilai Rp2.076,9 triliun.

Kontribusi terbesar masih berasal dari Pajak Penghasilan (PPh) yang dipatok Rp1.209,36 triliun, meningkat dari target tahun ini Rp1.051,65 triliun. Selanjutnya, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) ditargetkan Rp995,27 triliun, naik dari Rp890,94 triliun.

Namun, target Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) justru turun dari Rp30,08 triliun menjadi Rp26,13 triliun. Sementara itu, pos pajak lainnya melonjak menjadi Rp126,93 triliun dari Rp104,23 triliun. Pertumbuhan terbesar terlihat sejak 2023 yang hanya Rp9,72 triliun, lalu 2024 Rp8,74 triliun.

Lebih jauh, Purbaya menegaskan kunci peningkatan penerimaan negara bukan dengan menambah beban masyarakat, melainkan lewat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Ia menargetkan ekonomi Indonesia mampu tumbuh hingga 8% agar bisa sejajar dengan negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok.

“Pada era Pak Jokowi, pertumbuhan ekonomi memang cukup tinggi, tapi sektor swasta kurang berkembang. Kredit rata-rata hanya tumbuh 7%. Ke depan, kita akan hidupkan pemerintah sekaligus swasta agar bisa tembus 6-7%, bahkan menuju 8%,” jelasnya.

Untuk mencapai hal tersebut, Purbaya akan mengoptimalkan peran APBN sekaligus menciptakan iklim kondusif bagi sektor swasta agar lebih agresif dalam berinvestasi. (alf)

 

Politisi PDIP Desak Pemerintah Naikkan Pajak bagi 60 Keluarga Penguasa Lahan

IKPI, Jakarta: Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Deddy Sitorus, mendesak Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Nusron Wahid, untuk mengambil langkah konkret terkait penguasaan lahan oleh segelintir keluarga di Indonesia. Salah satunya dengan memberlakukan pajak lebih besar kepada 60 keluarga yang disebut menguasai hampir separuh lahan bersertifikat nasional.

Desakan itu disampaikan Deddy dalam rapat kerja Komisi II DPR dengan Kementerian ATR/BPN di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (8/9/2025). Ia mengapresiasi keberanian Nusron yang mengungkapkan data soal konsentrasi kepemilikan tanah, namun menekankan perlunya tindak lanjut yang nyata dari pemerintah.

“Pak Menteri, saya senang sekali mendengar pernyataan Bapak bahwa tanah di Indonesia dikuasai 60 keluarga. Itu artinya negara mulai jujur kepada rakyat. Tapi kalau hanya berhenti di pernyataan, justru bisa memunculkan rasa ketidakadilan di masyarakat bawah,” ujar Deddy.

Menurutnya, keadilan agraria tidak cukup hanya dijawab dengan program reforma agraria. Beban pajak yang lebih tinggi harus dikenakan kepada para pemilik lahan superbesar tersebut. “Saya kira pajaknya harus dinaikkan betul, Pak. Mereka sudah kaya untuk 70 turunan. Saatnya negara mengambil sebagian untuk kepentingan rakyat,” tegasnya.

Deddy menyinggung pengalaman di daerah, ketika pemerintah daerah menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) masyarakat kecil demi menutup kebutuhan anggaran. Padahal, katanya, kelompok pemilik lahan raksasa jarang disentuh kewajiban pajaknya secara proporsional.

Sebelumnya, Nusron Wahid mengungkapkan bahwa 48 persen dari 55,9 juta hektare lahan bersertifikat di Indonesia ternyata hanya dikuasai oleh 60 keluarga. Menurutnya, jika ditelusuri kepemilikan perusahaannya, pola penguasaan tersebut bermuara pada beneficial ownership yang sama.

“Inilah problem di Indonesia yang menyebabkan kemiskinan struktural. Bukan karena rakyat tidak mampu, tapi karena ada kesalahan kebijakan masa lalu yang membuat distribusi tanah tidak adil,” jelas Nusron dalam kesempatan berbeda di Jakarta, Juli lalu.

Ia menyebut Presiden Prabowo Subianto telah memerintahkan agar prinsip keadilan, pemerataan, dan keberlanjutan menjadi dasar kebijakan pertanahan ke depan. Meski demikian, Nusron enggan membeberkan identitas 60 keluarga yang dimaksud. (alf)

 

 

Presiden Prabowo Minta Menkeu Belajar ke Dirjen Pajak 

IKPI, Jakarta: Presiden Prabowo Subianto memberi arahan khusus kepada Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa. Ia diminta banyak belajar dari Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, yang dinilai memahami seluk-beluk penerimaan negara.

Hal tersebut diungkapkan Purbaya usai menghadiri konferensi pers di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, Senin (8/9/2025).

“Presiden meminta saya belajar langsung kepada Dirjen Pajak,” kata Purbaya.

Dalam kesempatan itu, ia juga menyoroti stagnasi rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB). Menurutnya, jika dalam waktu dekat penerimaan pajak sulit terdongkrak, maka strategi yang bisa dipilih adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi. “Kalau tax ratio sulit naik, jalan lain adalah dorong ekonominya lebih cepat,” ujarnya.

Isu pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) juga tak luput ditanyakan. Purbaya menegaskan, sampai sekarang belum ada instruksi dari Presiden mengenai rencana tersebut. Ia bahkan menilai, lembaga sejenis BPN nyaris tidak ditemukan di negara lain. “Kalau kita bikin, malah jadi unik sendiri. Lebih baik maksimalkan sistem yang ada,” jelasnya.

Lebih jauh, Purbaya menekankan dirinya tidak akan mengikuti pola umum pejabat baru yang gemar melakukan bongkar-pasang birokrasi. Ia memilih memperbaiki mekanisme yang sudah berjalan.

“Mesin yang ada akan kita rawat, yang terhenti kita hidupkan lagi, dan yang sudah bergerak akan kita percepat,” tutur mantan Ketua Dewan Komisioner LPS itu.

Purbaya resmi dilantik Presiden Prabowo sebagai Menteri Keuangan pada Senin sore di Istana Negara melalui Keputusan Presiden Nomor 86 Tahun 2025. Ia menggantikan Sri Mulyani Indrawati, meski serah terima jabatan secara resmi belum dilakukan. (alf)

 

Purbaya Yudhi Sadewa Resmi Gantikan Menkeu Sri Mulyani, Simak Rekam Jejaknya

IKPI, Jakarta: Nama Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa resmi menggantikan Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan. Hal itu dipastikan setelah Presiden Prabowo Subianto melantiknya pada Senin (8/9/2025) sore di Istana Negara.

Menurut keterangan Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, reshuffle kali ini mencakup lima menteri. Mereka adalah:

• Budi Gunawan (Menko Polhukam)

• Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan)

• Abdul Kadir Karding (Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia)

• Budi Arie Setiadi (Menteri Koperasi)

• Dito Ariotedjo (Menteri Pemuda dan Olahraga)

Selain itu, Presiden juga melantik pejabat untuk Kementerian Haji dan Umrah, sebuah kementerian baru hasil transformasi dari Badan Pengelola Haji.

Rekam Jejak Panjang

Purbaya Yudhi Sadewa bukan sosok asing di dunia ekonomi maupun pemerintahan. Lulusan Teknik Elektro ITB yang meraih gelar Master dan Doktor di Purdue University, Amerika Serikat, ini pernah menduduki berbagai posisi penting, mulai dari Deputi di Kemenko Marves, Staf Khusus bidang ekonomi di beberapa kementerian, hingga Deputi Kantor Staf Presiden. Pada 2020, ia dipercaya menjadi Ketua Dewan Komisioner LPS.

Di sektor swasta, Purbaya dikenal lewat kiprahnya di Danareksa, baik sebagai ekonom utama, Direktur Utama Danareksa Securities, hingga anggota dewan direksi PT Danareksa (Persero).

Purbaya saat ini resmi menggantikan Sri Mulyani yang sudah menjabat sebagai Menteri Keuangan sejak era Presiden Joko Widodo. Pergantian ini dipandang sebagai titik krusial bagi arah kebijakan ekonomi Indonesia, terutama dalam menjaga stabilitas fiskal, dan keberlanjutan agenda pemerintahan Prabowo.

Publik kini menanti apakah reshuffle besar ini akan membawa energi baru dalam tata kelola pemerintahan, khususnya di bidang keuangan negara yang strategis. (bl)

 

Ekonom: Kenaikan PTKP Rp7,5 Juta Bisa Pangkas Basis Pajak

IKPI, Jakarta: Usulan serikat buruh agar ambang batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dinaikkan dari Rp4,5 juta menjadi Rp7,5 juta per bulan memicu perhatian kalangan ekonom. Kenaikan ambang batas pajak tersebut diyakini dapat meringankan beban pekerja, namun di sisi lain berpotensi mempersempit basis pajak formal.

Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai langkah menaikkan PTKP terlalu tinggi justru berisiko menekan penerimaan negara. “Jika PTKP dinaikkan menjadi Rp7,5 juta, itu artinya kenaikan sekitar 70%. Dampaknya, basis pajak orang pribadi bisa menyusut drastis,” ujar Yusuf, Senin (8/9/2025).

Yusuf mengingatkan pengalaman pada 2013 ketika pemerintah menaikkan PTKP sebesar 53%. Saat itu, penerimaan negara dari Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi turun hingga Rp13 triliun. “Dengan usulan yang lebih besar kali ini, potensi kehilangan penerimaan jelas jauh lebih besar,” tambahnya.

Di tengah belanja pemerintah yang meningkat untuk subsidi energi, bantuan sosial, kesehatan, hingga pendidikan, penurunan penerimaan pajak bisa memperlebar defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Yusuf menilai, jika celah itu tidak ditutup dengan efisiensi belanja, negara berpotensi menambah utang atau menaikkan tarif pajak lain seperti PPN maupun cukai.

Meski begitu, Yusuf menekankan bahwa dampak negatif dari kenaikan PTKP tidak berlangsung permanen. Ia merujuk pada kajian Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan yang menunjukkan penurunan penerimaan hanya terjadi dalam 1–2 tahun setelah kenaikan. Setelah ekonomi pulih, penerimaan pajak kembali normal, bahkan konsumsi dan investasi meningkat.

“Kenaikan PTKP memang bisa jadi stimulus daya beli masyarakat, tapi di sisi fiskal jangka pendek, basis pajak akan menyempit. Jadi pemerintah perlu berhitung cermat sebelum mengambil keputusan,” tutup Yusuf. (alf)

 

 

 

 

 

Yunani Reformasi Pajak Besar, Fokus Ringankan Beban Kelas Menengah

IKPI, Jakarta: Perdana Menteri Yunani Kyriakos Mitsotakis mengumumkan reformasi pajak penghasilan berskala besar sebagai upaya meredakan tekanan biaya hidup dan menopang pemulihan kelas menengah dari krisis utang berkepanjangan. Kebijakan tersebut dipaparkannya dalam pidato tahunan di Thessaloniki International Fair, Sabtu (6/9/2025).

Mengutip Bloomberg, Minggu (7/9/2025), Mitsotakis menekankan bahwa tingginya harga kebutuhan pokok masih menjadi persoalan utama warga. “Saya tahu betul harga tinggi adalah masalah terbesar. Reformasi pajak ini dirancang untuk menjawab itu,” ujarnya.

Salah satu langkah paling menonjol adalah penghapusan pajak penghasilan bagi keluarga dengan empat anak atau lebih untuk penghasilan hingga 20.000 euro (sekitar Rp384 juta) per tahun. Kebijakan ini sekaligus ditujukan untuk mendorong kenaikan angka kelahiran di Yunani yang terus menurun.

Selain itu, pemerintah juga menawarkan lima keringanan pajak tambahan:

1. Penurunan tarif untuk kelompok berpenghasilan 40.000—60.000 euro per tahun (Rp768 juta—Rp1,15 miliar).

2. Pembebasan pajak bagi pekerja di bawah usia 25 tahun dengan pendapatan hingga 20.000 euro.

3. Penurunan tarif pajak atas penghasilan dari sewa properti.

4. Diskon 50% pajak properti di desa berpenduduk kurang dari 1.500 orang pada 2026, yang akan dihapus sepenuhnya mulai 2027.

5. Pemangkasan PPN sebesar 30% di pulau-pulau kecil dengan populasi di bawah 20.000 jiwa.

Mitsotakis, yang kini memasuki tahun keenam masa jabatannya, disebut tengah berupaya memperbaiki citra politiknya jelang rencana maju kembali dalam pemilu 2027. Reformasi ini dianggap sebagai wujud nyata janji peningkatan pendapatan masyarakat.

Pemerintah Yunani mampu melaksanakan reformasi ini berkat performa fiskal yang lebih baik dari perkiraan. Penerimaan negara dari upaya pemberantasan penghindaran pajak pada 2024 meningkat tajam dan diprediksi berlanjut sepanjang 2025. “Cara terbaik mengembalikan dividen pertumbuhan kepada rakyat bukan lewat subsidi, melainkan lewat pemotongan pajak,” kata Mitsotakis menutup pidatonya. (alf)

 

 

 

 

DJP Sempurnakan Aturan Restitusi Pajak, SPC dan KIK Masuk Daftar PKP Risiko Rendah

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2025 yang berlaku sejak 13 Agustus 2025. Regulasi ini menyempurnakan ketentuan sebelumnya dalam PER-6/PJ/2025 mengenai pelaksanaan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak (restitusi) bagi Wajib Pajak tertentu, Wajib Pajak dengan persyaratan tertentu, serta Pengusaha Kena Pajak (PKP) berisiko rendah.

Perubahan terbaru ini memperluas cakupan hingga mencakup special purpose company (SPC) dan Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang ditetapkan sebagai PKP berisiko rendah. Menurut Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto, langkah ini diambil untuk memperkuat kepastian hukum dan mempercepat layanan restitusi pajak.

“Penyempurnaan aturan ini dimaksudkan agar pelaksanaan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak lebih jelas, termasuk bagi SPC maupun KIK yang berstatus PKP berisiko rendah,” ujar Bimo dalam keterangan resmi, dikutip Minggu (7/9/2025).

Poin Penting dalam PER-16/PJ/2025

Salah satu perubahan signifikan adalah penambahan ayat (2a) pada Pasal 6 yang mengatur lebih rinci mengenai dokumen Pajak Masukan. Kini, hanya Pajak Masukan yang tercatat dalam faktur atau dokumen sah, dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT), dan tervalidasi di sistem DJP yang dapat dikreditkan dalam permohonan restitusi.

Selain itu, DJP menegaskan bahwa sebelum menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan, dilakukan penelitian mendalam terhadap status PKP berisiko rendah, keabsahan Pajak Masukan, serta kebenaran pembayaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Bila tidak ditemukan kelebihan bayar atau permohonan tidak memenuhi syarat, DJP akan menerbitkan surat pemberitahuan tanpa melanjutkan ke tahap Pasal 17B UU KUP.

Peraturan baru ini juga memberikan penekanan khusus pada permohonan restitusi yang bersumber dari SPT Tahunan PPh 2024. Jika terdapat kesalahan pencantuman PPh Pasal 21, maka permohonan dianggap tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak. Dalam kondisi tersebut, tidak akan diterbitkan surat keputusan restitusi, melainkan hanya pemberitahuan kepada Wajib Pajak pemohon.

DJP turut memperjelas kategori Wajib Pajak orang pribadi tertentu yang bisa mengajukan restitusi. Mereka adalah individu yang:

• bukan PNS, anggota TNI/Polri, pejabat negara, maupun pensiunan;

• hanya memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja atau dana pensiun;

• tidak memiliki pengurang penghasilan berupa zakat atau sumbangan keagamaan di luar pemberi kerja;

• mengalami kelebihan bayar karena perhitungan PPh terutang lebih kecil dari PPh Pasal 21 yang dipotong pemberi kerja.

“Dalam hal ini, permohonan dianggap tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak dan tidak ditindaklanjuti berdasarkan Pasal 17B UU KUP” . (alf)

 

 

 

 

 

 

Ribuan Warga Yunani Demo Tolak Reformasi Pajak Mitsotakis

IKPI, Jakarta: Ribuan demonstran memadati jalanan Kota Thessaloniki, Sabtu (6/9/2025), saat Perdana Menteri Yunani Kyriakos Mitsotakis menyampaikan pidato ekonomi tahunannya di Pameran Dagang Internasional. Aksi protes yang dipimpin serikat pekerja itu menuduh pemerintah lebih memihak pengusaha melalui kebijakan keringanan pajak, sementara layanan publik terus mengalami kemunduran.

“Mereka sudah merusak pendidikan, layanan kesehatan, dan pendapatan kami. Pemerintah ini harus digulingkan,” teriak seorang pengunjuk rasa yang ikut dalam barisan aksi, dikutip dari Reuters, Senin (8/9/2025).

Unjuk rasa tersebut menjadi penanda kuatnya ketidakpuasan publik terhadap arah kebijakan ekonomi Yunani. Serikat pekerja menilai langkah pemerintah justru memperlebar jurang sosial, dengan memberi keuntungan bagi kalangan bisnis dan mengabaikan kebutuhan dasar masyarakat.

Dalam pidatonya, Mitsotakis mengumumkan paket reformasi pajak senilai 1,6 miliar euro (setara US$1,87 miliar). Program itu mencakup pemotongan pajak penghasilan untuk keluarga dengan anak serta penghapusan pajak properti di kawasan terpencil guna menarik generasi muda kembali tinggal di wilayah tersebut. Kebijakan baru ini direncanakan mulai berlaku pada 2026.

Mitsotakis menegaskan bahwa pembiayaan program akan bersumber dari pertumbuhan ekonomi yang solid dan peningkatan penerimaan negara. Ia menyatakan, tujuan pemerintah adalah menjaga stabilitas fiskal sekaligus memberi dukungan bagi keluarga dan daerah yang tengah mengalami penurunan populasi.

Namun, pengumuman tersebut datang di tengah menurunnya kepercayaan publik terhadap partai berkuasa, Demokrasi Baru. Survei terbaru menunjukkan elektabilitas partai hanya berada di kisaran 22–25%, merosot tajam dari raihan 41% pada pemilu 2019.

Gelombang protes di Thessaloniki menjadi cerminan jurang yang kian lebar antara visi ekonomi pemerintah dan keresahan masyarakat. Tantangan menjaga legitimasi politik diperkirakan bakal semakin berat bagi Mitsotakis apabila ketidakpuasan publik terhadap layanan sosial tidak segera teratasi. (alf)

 

id_ID