Ekonom Sebut Tarif PPN 12% Dapat Berdampak pada Kenaikan Harga Barang Sehari-hari

IKPI, Jakarta: Penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% yang mulai berlaku pada tahun 2025 menuai kekhawatiran dari berbagai kalangan. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira. Ia mengungkapkan, kebijakan menaikkan PPN berpotensi memperburuk daya beli masyarakat, terutama barang-barang yang selama ini dianggap terjangkau.

Menurut Bhima, barang-barang seperti peralatan elektronik, suku cadang kendaraan bermotor, hingga produk-produk sehari-hari seperti deterjen dan sabun mandi kemungkinan akan terpengaruh oleh tarif PPN yang lebih tinggi.

“Dengan tarif PPN 12%, barang-barang yang semula terjangkau bagi masyarakat kini bisa jadi lebih mahal. Bahkan barang-barang pokok seperti deterjen dan sabun mandi bisa terkena dampak. Ini bertentangan dengan narasi bahwa pajak hanya dikenakan pada barang orang mampu,” kata Bhima dalam siaran pers yang diterima Kamis, (19/12/2024).

Meskipun demikian, pemerintah menjelaskan bahwa beberapa komoditas tertentu, seperti minyak goreng curah bermerek Minyakita, tepung terigu, dan gula industri, akan diberikan tarif PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 1%, yang memungkinkan harga barang-barang tersebut tetap dikenakan tarif PPN 11% sepanjang tahun 2025. Namun, kebijakan tarif PPN 12% akan tetap berlaku untuk barang dan jasa lainnya.

Diberitakan sebelumnya, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono, menegaskan bahwa kebijakan PPN berlaku secara umum untuk semua barang dan jasa yang menjadi objek pajak, kecuali yang telah dikecualikan secara eksplisit oleh pemerintah.

“Pengelompokan barang dan jasa yang terkena tarif PPN sudah jelas. Mana yang terkena PPN 1%, mana yang DTP, mana yang dibebaskan. Semua barang dan jasa lainnya akan dikenakan tarif PPN 12%, kecuali yang sudah disebutkan dalam regulasi,” kata Susiwijono.

Terkait dengan isu barang mewah, yang sebelumnya disinggung oleh Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Susiwijono menegaskan bahwa tarif PPN 12% tetap akan berlaku untuk barang dan jasa secara umum, dengan pengecualian untuk barang dan jasa tertentu yang memenuhi kriteria mewah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022.

Meskipun kebijakan PPN 12% diharapkan dapat memberikan tambahan pendapatan bagi negara, berbagai kalangan, terutama masyarakat berpendapatan menengah ke bawah, masih meragukan dampak sosial dan ekonominya. Banyak yang khawatir akan dampak kenaikan harga barang sehari-hari, yang dapat membebani daya beli masyarakat, terlebih bagi mereka yang sudah menghadapi kesulitan ekonomi.

Penerapan tarif PPN 12% ini juga menuai kritik dari sejumlah ekonom yang menilai kebijakan tersebut tidak konsisten dengan tujuan awal pemerintah yang semula ingin mengenakan PPN hanya pada barang mewah. Kini, rencana tersebut berubah menjadi kebijakan yang mencakup hampir semua barang dan jasa yang dikenakan pajak, dengan beberapa pengecualian.

Pemerintah telah menegaskan bahwa barang-barang tertentu seperti bahan pangan sembako, jasa pendidikan dan kesehatan, serta transportasi akan tetap dikecualikan dari tarif PPN 12%. Namun, pengecualian tersebut diperkirakan akan semakin terbatas, mengingat bahan pangan premium dan jasa pendidikan serta kesehatan mewah akan segera dikeluarkan dari daftar pengecualian tersebut. (alf)

IKPI Hargai Kebijakan PPN 12%: Dukungan Menuju Kemandirian Bangsa Melalui Pajak yang Berkeadilan

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menyikapi rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025. Kenaikan itu dinilai sebagai perubahan dan langkah penting dalam memperkuat sistem perpajakan Indonesia ke depan, untuk Menuju Kemandirian Bangsa Melalui Kebijakan Pajak yg berkeadilan.

Ketua Departemen Penelitian Dan Pengkajian Kebijakan Fiskal, IKPI, Pino Siddharta, dalam konferensi persnya di Hotel Aston Kartika, Grogol, Jakarta Barat, Kamis (19/12/2024) menyampaikan, kenaikan PPN ini adalah bagian dari upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara, yang sangat penting untuk mendukung pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Sebagai asosiasi konsultan pajak terbesar dan tertua di Indonesia, IKPI menghargai keputusan kebijakan Pemerintah ini, dengan catatan bahwa pelaksanaannya harus memperhatikan keseimbangan antara kewajiban pajak dan kemudahan bagi wajib pajak, serta program penyanggah ekonomi berupa stimulus ekonomi/fiskal dijalankan dengan baik dan tepat.

Pino juga menggarisbawahi pentingnya transparansi dan komunikasi yang baik antara pemerintah dan pelaku usaha dalam menghadapi perubahan tersebut. Menurutnya, sosialisasi yang lebih intensif akan sangat membantu masyarakat dan dunia usaha dalam mempersiapkan diri menghadapi perubahan tarif PPN.

“Sebagai asosiasi yang memiliki peran strategis dalam pendampingan pajak, kami akan terus mendukung implementasi kebijakan ini dengan memberikan edukasi dan bimbingan kepada wajib pajak, agar mereka dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada,” kata Pino.

Ia juga menekankan bahwa kenaikan PPN ini diharapkan dapat mendorong perbaikan struktur perpajakan di Indonesia, menciptakan iklim usaha yang lebih adil, serta memberikan kesempatan untuk memajukan sistem pelayanan publik melalui pendapatan negara yang lebih optimal.

Dengan adanya peningkatan tarif PPN, IKPI berkomitmen untuk mendampingi pemerintah dalam proses transisi ini, serta terus berperan aktif dalam memastikan bahwa kebijakan perpajakan berjalan dengan lancar dan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan transparansi.

Kenaikan PPN yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2025 ini diharapkan dapat menjadi tonggak baru dalam memperkuat fondasi ekonomi Indonesia, mengingat potensi peningkatan penerimaan negara yang lebih besar.

IKPI sebagai organisasi yang memiliki jaringan luas di kalangan konsultan pajak, akan tetap mendukung penuh implementasi kebijakan ini dengan memberikan konsultasi dan edukasi yang diperlukan kepada masyarakat dan dunia usaha. (bl)

 

 

 

 

 

 

 

 

Wimboh Santoso Soroti Pentingnya Peningkatan Jumlah Pekerja untuk Meningkatkan Rasio Pajak Indonesia

IKPI, Jakarta: Mantan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengingatkan bahwa ambisi Indonesia untuk meningkatkan rasio pajak (tax ratio) tidak akan tercapai tanpa adanya peningkatan jumlah pekerja di negara ini. Dalam acara Economic and Financial Report 2014-2024 yang digelar di Jakarta, Wimboh menekankan pentingnya peran pekerja dalam mendorong pendapatan negara melalui pajak.

Menurut Wimboh, pajak yang diterima negara sebagian besar berasal dari mereka yang bekerja. Semakin banyak pekerja, semakin tinggi pula kontribusi pajak yang dapat diperoleh negara. “Orang bekerja itu bayar pajak, demand menjadi tinggi,” ungkapnya.

Namun, Wimboh juga menegaskan bahwa rasio pajak yang lebih tinggi sulit tercapai jika angka pengangguran tetap stagnan atau bahkan meningkat. “Kalau kita mengatakan tax ratio, tax ratio, kalau penganggurannya stagnan atau naik, emang mungkin? Enggak mungkin,” tegasnya.

Pentingnya penciptaan lapangan kerja juga berkaitan erat dengan daya beli masyarakat. Menurutnya, tanpa peningkatan jumlah pekerja, daya beli akan tetap rendah, yang pada gilirannya mempengaruhi aktivitas ekonomi, termasuk penjualan barang dan jasa.

“Orang kalau enggak (bekerja), belanjanya enggak akan nambah. Orang jual barang-barang, enggak laku,” jelasnya.

Wimboh menambahkan bahwa pembangunan ekonomi harus memperhatikan dampak berganda atau multiplier effect, yang salah satunya adalah penciptaan lapangan kerja. “Apapun yang kita lakukan itu, multiplier, penciptaan tenaga kerja, ada enggak? Itu yang harus selalu dicek, apapun,” katanya.

Dengan demikian, bagi Indonesia untuk meningkatkan rasio pajak dan memperkuat daya beli masyarakat, penciptaan lapangan kerja yang signifikan menjadi kunci utama dalam upaya memperbaiki kondisi ekonomi negara. (alf)

Pemerintah Rencanakan Penurunan Ambang Batas UMKM untuk Perluas Basis Pajak

IKPI, Jakarta: Pemerintah menurunkan ambang batas (threshold) Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dari Rp 4,8 miliar menjadi Rp 3,6 miliar per tahun. Langkah ini diambil sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak dan memperluas basis pajak yang lebih adil di tanah air.

Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, membenarkan rencana penurunan ambang batas tersebut. Menurutnya, kebijakan ini juga merupakan salah satu rekomendasi dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Susiwijono menjelaskan bahwa penurunan ambang batas bertujuan untuk menciptakan kesetaraan dalam sistem pajak, serta menyelaraskan praktik pajak Indonesia dengan negara-negara lain.

“Penurunan ini memang sudah disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menko Airlangga Hartarto dalam beberapa kesempatan. Rekomendasi dari OECD juga menjadi dasar pertimbangan pemerintah,” ujar Susiwijono di Jakarta, Selasa (17/12/2024).

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa kebijakan ini akan memperluas basis pajak secara lebih adil dan memastikan bahwa sistem pajak lebih inklusif. “Ini supaya threshold-nya disesuaikan dengan best practice di beberapa negara. Ini juga untuk masalah keadilan dan perluasan tax base-nya,” katanya.

Meski demikian, Susiwijono menekankan bahwa fokus utama pemerintah saat ini adalah menyiapkan kebijakan terkait perpanjangan skema PPh Final 0,5% yang berlaku hingga 2025. Setelah itu, pembahasan mengenai penurunan ambang batas UMKM akan dilanjutkan.

Jika disepakati, perubahan ambang batas UMKM ini akan dituangkan dalam regulasi baru yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). “Pembahasan masih berlangsung, namun jika kebijakan ini disepakati, perubahan ambang batas akan dituangkan dalam regulasi yang perlu diubah,” katanya. (alf)

PT Indonesia Morowali Industrial Park Setor Pajak 1,16 Miliar Dolar AS di 2023, Investasi Tembus 34,3 Miliar Dolar AS

IKPI, Jakarta: PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), yang terletak di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, mencatatkan kontribusi signifikan terhadap negara dengan menyetorkan pajak dan royalti sebesar 1,16 miliar dolar AS atau setara dengan Rp18,68 triliun pada tahun 2023. Direktur Komunikasi PT IMIP, Emilia Bassar, mengungkapkan pencapaian ini dalam jumpa pers yang digelar di Jakarta pada Rabu, 18 Desember 2024.

Angka tersebut meskipun menurun dibandingkan dengan tahun 2022 yang tercatat sebesar 1,32 miliar dolar AS, namun tetap mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2021 yang hanya mencapai 655 juta dolar AS. “Kami terus berkomitmen untuk memberikan kontribusi yang besar kepada negara melalui pembayaran pajak,” ujar Emilia.

Lebih lanjut, Emilia juga mengungkapkan bahwa PT IMIP telah mencatatkan total investasi sebesar 34,3 miliar dolar AS selama periode 2015 hingga 2024. Nilai investasi ini setara dengan Rp552,23 triliun, berdasarkan kurs dolar AS sebesar Rp16.100. Investasi ini mencakup berbagai sektor, tidak hanya ekonomi, tetapi juga dalam aspek sosial dan lingkungan.

“Sejak 2013, kami terus meningkatkan nilai investasi, yang sebelumnya tercatat sebesar 29,6 miliar dolar AS pada periode 2015-2022 dan mencapai 30,14 miliar dolar AS pada tahun 2023,” jelas Emilia.

Selain itu, PT IMIP juga tercatat menyumbang devisa ekspor sebesar 14,45 miliar dolar AS atau setara dengan Rp232,65 triliun hingga November 2024. Meskipun angka ini turun dibandingkan dengan tahun 2023 yang mencapai 15,03 miliar dolar AS, kontribusi ekspor perusahaan terhadap perekonomian Indonesia tetap signifikan.

Dalam hal penyerapan tenaga kerja, PT IMIP terus memberikan dampak positif bagi perekonomian lokal dengan mempekerjakan 84.859 tenaga kerja hingga tahun 2024.

Dengan pencapaian ini, PT IMIP membuktikan komitmennya dalam mendukung perekonomian Indonesia melalui kontribusi pajak, investasi, devisa ekspor, serta penyerapan tenaga kerja yang signifikan. (alf)

Ekonom: Penerapan Tarif PPN 12% Harus Disertai Perbaikan Tata Kelola Pajak

IKPI, Jakarta: Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai bahwa penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen yang akan berlaku pada 1 Januari 2025 perlu diimbangi dengan perbaikan tata kelola pemerintahan, khususnya di sektor perpajakan. Menurutnya, meskipun kenaikan tarif ini dapat dimengerti dalam konteks fiskal yang berat, langkah tersebut sebenarnya kurang ideal.

Ia menjelaskan bahwa rendahnya tax ratio Indonesia lebih disebabkan oleh sempitnya tax base, tingginya tingkat korupsi di sektor pajak, serta rendahnya tingkat kepatuhan membayar pajak. “Kenaikan tarif PPN ini saya lihat murni untuk mengamankan fiskal kita, terutama untuk menghadapi situasi yang sulit pada 2025 dan 2026,” ujarnya di Jakarta, Rabu (18/12/2024).

Di tengah langkah ini, Wijayanto mengingatkan pentingnya pemberian insentif untuk mencegah penurunan daya beli masyarakat. Namun, ia menegaskan bahwa implementasi insentif di lapangan harus dilakukan dengan hati-hati. Semakin kompleks insentif yang diberikan, semakin rumit pula penerapannya.

Selain itu, ia mengingatkan agar pemerintah lebih intens dalam mengkomunikasikan kebijakan insentif kepada pengusaha dan masyarakat. “Insentif tidak akan berjalan dengan baik jika penerima manfaat tidak memahami cara kerjanya,” jelasnya, seraya menambahkan bahwa komunikasi terkait kebijakan ini masih kurang optimal.

Mengenai perbandingan dengan situasi ekonomi pada 2022, Wijayanto menilai bahwa kondisi saat ini berbeda jauh. Pada 2022, Indonesia dan dunia baru pulih dari pandemi COVID-19, sehingga terjadi lonjakan belanja masyarakat. Namun, saat ini, ekonomi dunia sedang mengalami pelambatan, dan daya beli masyarakat Indonesia cenderung melemah.

“Insentif sangat diperlukan untuk menghadapi tantangan ini, terutama di tengah potensi dampak dari efek kemenangan Donald Trump dalam Pilpres AS yang akan datang,” katanya.

Ia juga mengingatkan prinsip keadilan dalam kebijakan pemerintah. Menurutnya, kebijakan terkait kenaikan PPN dan Upah Minimum Provinsi (UMP) mungkin menguntungkan pemerintah dan pekerja, tetapi memberatkan pengusaha. Berbagai stimulus yang baru diluncurkan juga belum memberikan manfaat langsung bagi sektor usaha.

Ia pun menyarankan agar pemerintah mengeluarkan kebijakan yang lebih pro-pengusaha, mengingat kondisi yang sulit saat ini. “Pengusaha sedang mengalami kesulitan, dan jangan sampai mereka kehilangan semangat untuk berinvestasi atau bahkan melakukan divestasi,” tegasnya.

Menurutnya, jika pengusaha dalam negeri enggan berinvestasi, hal ini akan sangat mempengaruhi iklim investasi di Indonesia, baik domestik maupun internasional.

“Jika pengusaha dalam negeri saja enggan berinvestasi, bagaimana kita bisa meyakinkan investor luar negeri untuk berinvestasi di Indonesia?,” ujarnya.

Dengan tantangan yang ada, pemerintah diharapkan dapat menciptakan kebijakan yang seimbang antara kepentingan fiskal negara dan keberlangsungan sektor usaha, demi menjaga stabilitas ekonomi Indonesia ke depan. (alf)

Indonesia Peringkat Dua Global dalam Transparansi Belanja Perpajakan

IKPI, Jakarta: Indonesia berhasil meraih peringkat kedua dunia dalam indeks transparansi belanja perpajakan, yang diumumkan dalam Global Tax Expenditures Transparency Index (GTETI) pada 3 Desember 2024. Peringkat ini melibatkan evaluasi terhadap 105 negara, dan menjadi bukti komitmen Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam meningkatkan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan insentif perpajakan.

Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara dalam peluncuran Laporan Belanja Perpajakan 2023 di Jakarta pada Senin (16/12/2024) menyatakan bahwa laporan ini penting sebagai dasar komunikasi dengan publik dan dunia internasional. “Laporan belanja perpajakan ini menjadi penting karena pajak merupakan instrumen untuk kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.

Menurut Wamenkeu, pajak bekerja dalam dua cara penting bagi perekonomian negara, yaitu sebagai sumber penerimaan negara dan melalui berbagai insentif yang dapat membantu sektor-sektor tertentu dalam perekonomian. Kedua hal tersebut harus dicatat dengan cermat dalam laporan belanja perpajakan, termasuk berapa yang dikumpulkan dan berapa yang tidak terkumpul karena kebijakan insentif.

Laporan belanja perpajakan ini berfungsi sebagai dasar evaluasi efektivitas insentif perpajakan yang diberikan pemerintah. Selain itu, laporan tersebut juga membantu dalam merumuskan kebijakan perpajakan yang lebih tepat sasaran, guna mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Wamenkeu juga mengapresiasi perkembangan yang dilakukan oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF), unit yang menyusun laporan belanja perpajakan, yang kini dapat melakukan estimasi proyeksi untuk tahun depan. “Dengan proyeksi yang lebih baik, kita akan mampu menyusun kebijakan yang lebih efektif,” katanya.

Pencapaian Indonesia dalam indeks transparansi belanja perpajakan ini menegaskan pentingnya prinsip transparansi dalam pengelolaan anggaran negara, serta menjadi langkah maju dalam meningkatkan kualitas kebijakan fiskal yang lebih akuntabel. (alf)

Sri Mulyani Tegaskan Paket Stimulus Ekonomi untuk Tingkatkan Kesejahteraan Masyarakat

IKPI, Jakarta: Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mendukung pemulihan ekonomi, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati baru-baru ini mengumumkan paket stimulus ekonomi yang mencakup berbagai sektor, dari rumah tangga, pekerja, UMKM, hingga industri padat karya dan sektor perumahan. Paket stimulus ini dirancang untuk memberikan bantuan langsung kepada masyarakat, serta mendukung sektor-sektor yang berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional.

Bantuan untuk Rumah Tangga Sri Mulyani menjelaskan, sebagai bagian dari paket stimulus, pemerintah akan memberikan bantuan pangan berupa beras selama dua bulan (Januari dan Februari 2025) kepada 16 juta penerima Bantuan Pangan (PBP), dengan setiap penerima mendapatkan 10 kg beras per bulan. “Ini adalah langkah konkret untuk membantu rumah tangga yang membutuhkan. Kami juga memberikan insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Ditanggung Pemerintah (DTP) 1% untuk beberapa bahan pokok, seperti tepung terigu, gula industri, dan minyak goreng,” ujar Sri Mulyani.

Selain itu, bendahara negara ini mengungkapkan bahwa pelanggan listrik dengan daya 2200 VA atau lebih rendah akan mendapatkan diskon listrik sebesar 50% selama dua bulan pertama tahun 2025.

Menteri Keuangan menambahkan, bagi pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), pemerintah akan memberikan kemudahan akses ke Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). “Kami juga memberikan insentif untuk pekerja dengan penghasilan hingga Rp10 juta per bulan, berupa PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP),” ujarnya.

Stimulus untuk UMKM Pemerintah juga memberikan perpanjangan masa berlaku pajak penghasilan (PPh) final 0,5% dari omzet untuk UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun. “UMKM adalah tulang punggung perekonomian Indonesia, oleh karena itu kami memberikan dukungan dengan membebaskan UMKM dari PPh final hingga tahun 2025,” katanya.

Insentif untuk Industri Padat Karya Untuk mendukung sektor industri padat karya, pemerintah memberikan subsidi bunga sebesar 59% untuk pembiayaan revitalisasi mesin industri. “Ini akan meningkatkan produktivitas sektor industri padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja. Selain itu, jaminan kecelakaan kerja juga akan diberikan selama 6 bulan bagi pekerja di sektor ini,” jelasnya.

Pada kesempatan itu, ia juga mengumumkan insentif bagi kendaraan ramah lingkungan, seperti kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) dan kendaraan bermotor hybrid. PPN DTP sebesar 10% akan diberikan untuk KBLBB CKD, serta PPnBM DTP 15% untuk KBLBB impor CBU dan CKD. “Kami juga memberikan pembebasan Bea Masuk untuk KBLBB CBU, dan PPN DTP 3% untuk kendaraan hybrid,” imbuh Sri Mulyani.

Pemerintah juga memberikan insentif bagi sektor perumahan, dengan memberikan PPN DTP untuk pembelian rumah dengan harga jual hingga Rp5 miliar. “Diskon PPN 100% akan diberikan untuk rumah dengan harga hingga Rp2 miliar pada Januari hingga Juni 2025, dan 50% untuk periode Juli hingga Desember 2025,” ungkap Menteri Keuangan.

Sri Mulyani menegaskan bahwa paket stimulus ini bertujuan untuk memberikan dorongan signifikan terhadap pemulihan ekonomi, membantu meringankan beban masyarakat, serta mempercepat pemulihan ekonomi di berbagai sektor. “Pemerintah berkomitmen untuk terus mendukung masyarakat dan sektor-sektor ekonomi yang penting bagi pertumbuhan nasional,” pungkasnya. (alf)

Menkeu: Program Pemerintah 2025 Capai Rp827 Triliun untuk Kesejahteraan Masyarakat Termasuk Insentif PPN

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa pemerintah telah menyiapkan anggaran besar sebesar Rp827 triliun untuk berbagai program yang ditujukan bagi seluruh lapisan masyarakat pada tahun 2025. Dalam pernyataan resmi yang disampaikannya, ia menegaskan bahwa anggaran ini akan digunakan untuk mendanai sejumlah program bantuan sosial, insentif pajak, subsidi energi, serta dukungan terhadap sektor UMKM.

“Anggaran besar yang kami alokasikan pada 2025 ini mencakup berbagai program strategis yang bertujuan untuk memperkuat daya beli masyarakat dan mendorong pemulihan ekonomi nasional. Kami ingin memastikan bahwa manfaat program ini dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, baik yang berada di kelas bawah, menengah, maupun atas,” kata Sri Mulyani, baru-baru ini.

Bansos dan Dukungan untuk Masyarakat Rentan

Sebagian besar anggaran, yaitu sekitar Rp129 triliun, akan dialokasikan untuk program bantuan sosial (bansos) seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Sembako, Program Indonesia Pintar (PIP), serta PBI JKN.

Bendahara negara ini menekankan bahwa program-program tersebut bertujuan untuk membantu masyarakat miskin dan rentan, serta mendorong pemerataan kesejahteraan.

Selain itu, pemerintah juga menargetkan Rp38 triliun untuk program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang akan dilengkapi dengan subsidi bunga. Menurut Sri Mulyani, program ini akan mendukung UMKM agar dapat mengakses pembiayaan dengan bunga yang terjangkau, yang diharapkan dapat meningkatkan kapasitas produksi dan mempercepat pemulihan ekonomi.

Subsidi Energi dan Kompensasi BBM

Pemerintah juga akan mengalokasikan sekitar Rp394 triliun untuk subsidi energi, mencakup BBM, listrik, dan LPG. Ia menegaskan, subsidi energi merupakan bagian dari komitmen pemerintah untuk menjaga stabilitas harga energi dan melindungi daya beli masyarakat, khususnya kelompok yang lebih rentan.

Insentif PPN untuk Berbagai Sektor

Lebih lanjut, Sri Mulyani menyampaikan bahwa anggaran sebesar Rp265,61 triliun akan dialokasikan untuk insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di berbagai sektor, termasuk bahan makanan, kesehatan, pendidikan, transportasi, serta properti dan otomotif.

Insentif ini bertujuan untuk mendorong konsumsi dan investasi, serta memberikan stimulus bagi pertumbuhan ekonomi.

Menurutnya, pemerintah juga akan menerapkan prinsip keadilan dengan mengenakan PPN sebesar 12% untuk barang dan jasa mewah yang dikonsumsi oleh masyarakat mampu, seperti beras premium, daging wagyu, dan layanan kesehatan atau pendidikan premium. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa beban pajak dapat dibagi secara adil, sesuai dengan kapasitas ekonomi masing-masing lapisan masyarakat.

“Melalui berbagai program ini, kami ingin mewujudkan ekonomi yang inklusif, dimana manfaat dari pertumbuhan ekonomi dapat dinikmati oleh semua kalangan masyarakat. Ini adalah wujud dari semangat gotong royong dan keadilan sosial yang menjadi dasar dari kebijakan fiskal kita,” ujarnya. (alf)

Pemerintah Tanggung PPh 21 Sektor Padat Karya, Jaga Daya Beli Masyarakat pada 2025

IKPI, Jakarta: Pemerintah Indonesia mengumumkan kebijakan untuk menanggung Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 bagi pekerja di sektor padat karya mulai tahun 2025. Kebijakan ini berlaku bagi pekerja dengan gaji hingga Rp 10 juta, sebagai upaya untuk mendongkrak daya beli masyarakat, terutama kelas menengah yang mengalami penurunan daya beli dalam beberapa waktu terakhir.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, menyampaikan bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari stimulus ekonomi yang akan diterapkan untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional pada 2025. Dalam keterangannya, Airlangga menjelaskan bahwa insentif ini khusus ditujukan untuk pegawai dengan gaji antara Rp 4,8 juta hingga Rp 10 juta per bulan.

“Memperhatikan juga masyarakat kelas menengah, di sektor padat karya pemerintah memberikan insentif PPh Pasal 21 ditanggung oleh pemerintah, yaitu yang gajinya sampai Rp 10 juta,” ujar Airlangga dalam konferensi pers Paket Kebijakan Ekonomi untuk Kesejahteraan pada Senin (16/12/2024).

Selain itu, pemerintah juga akan mengoptimalkan jaminan kehilangan pekerjaan dari BPJS Ketenagakerjaan. Airlangga menyebutkan, perubahan dalam mekanisme jaminan ini akan memberikan perpanjangan masa klaim hingga 6 bulan dengan manfaat sebesar 60% dari gaji selama periode tersebut.

Bagi industri padat karya, pemerintah juga memberikan insentif dalam bentuk diskon 50% untuk jaminan kecelakaan kerja selama 6 bulan. Kebijakan ini diharapkan dapat meringankan beban pengusaha di sektor-sektor seperti tekstil, furnitur, dan alas kaki, yang membutuhkan perlindungan sosial untuk para pekerjanya.

Di sisi lain, bagi dunia usaha, khususnya pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), pemerintah juga memperpanjang kebijakan PPh final sebesar 0,5% hingga 2025. Kebijakan ini sebelumnya hanya berlaku hingga akhir tahun 2024.

Pemerintah juga akan memberikan fasilitas kredit investasi bagi pelaku industri padat karya, untuk mendukung revitalisasi permesinan di sektor tersebut. Dalam hal ini, pemerintah akan memberikan subsidi 5% bagi pelaku usaha yang melakukan investasi untuk memperbarui peralatan dan mesin produksinya. Kredit ini menjadi bagian dari program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing industri padat karya di Indonesia.

Kebijakan ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam mendorong pemulihan ekonomi dan memperkuat daya beli masyarakat, terutama di sektor-sektor yang berpotensi menyerap banyak tenaga kerja. (alf)

id_ID