DJP Tanggapi Pemotongan Pajak Penghasilan bagi Pegawai Magang

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menanggapi perdebatan yang muncul di media sosial terkait pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) terhadap pegawai magang. DJP menegaskan bahwa pengenaan PPh tidak bergantung pada jenis pekerjaan, status pekerja, atau perubahan sistem administrasi perpajakan Coretax.

“Perlu kami sampaikan bahwa pengenaan PPh tidak berdasar pada jenis pekerjaan, status pekerja, atau karena adanya penyesuaian sistem administrasi perpajakan Coretax DJP,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP  Dwi Astuti, Kamis (6/3/2025).

Dwi menjelaskan bahwa seseorang menjadi wajib pajak jika telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai ketentuan perundang-undangan perpajakan. Persyaratan subjektif mencakup keberadaan subjek pajak, misalnya orang pribadi yang tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam 12 bulan atau memiliki niat bertempat tinggal tetap di Indonesia. Sementara itu, persyaratan objektif berkaitan dengan penerimaan penghasilan.

“Secara khusus, Pasal 8 Ayat (4) UU PPh menyebutkan bahwa penghasilan anak yang belum dewasa digabungkan dengan penghasilan orang tua. Anak yang belum dewasa adalah yang berusia di bawah 18 tahun dan belum pernah menikah,” kata Dwi.

DJP menegaskan bahwa pengenaan pajak dilakukan jika seseorang menerima penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), yang saat ini ditetapkan sebesar Rp 54 juta per tahun untuk wajib pajak orang pribadi.

Ramai di Media Sosial

Perdebatan mengenai pajak bagi pegawai magang bermula dari unggahan di media sosial Twitter atau X. Salah satu pengguna dengan akun @risouhtele mengeluhkan pemotongan pajak sebesar 5% pada gajinya sebagai pegawai magang.

“Lu bayangin ya gaji intern yang nggak seberapa itu sekarang kena potong pajak 5%??? Peraturan baru apa lagi ni di bawah rezim sontoloyo ini,” cuitnya, Kamis (6/3/2025).

Unggahan tersebut mendapat banyak respons dari warganet, beberapa di antaranya juga mengungkapkan pengalaman serupa. Akun lain menambahkan bahwa dalam sistem Coretax kini terdapat kode pajak “imbalan kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan magang” yang dikenakan tarif berdasarkan Pasal 17.

DJP kembali menegaskan bahwa pengenaan PPh bagi pegawai tidak memandang status pegawai dan didasarkan pada perhitungan berikut:

• Jumlah penghasilan neto

• Dikurangi PTKP

• Dihitung berdasarkan tarif progresif Pasal 17

Dengan klarifikasi ini, DJP mengimbau masyarakat untuk memahami ketentuan perpajakan dengan merujuk pada regulasi yang berlaku serta menghubungi DJP jika membutuhkan informasi lebih lanjut. (alf)

 

Penerimaan Pajak di Sejumlah Wilayah Indonesia per Januari 2025: Papua Alami Penurunan Terdalam

IKPI, Jakarta: Sejumlah wilayah di Indonesia telah mempublikasikan realisasi penerimaan pajak per 31 Januari 2025, meskipun Kementerian Keuangan belum mengumumkan secara menyeluruh kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk periode Januari atau Februari 2025. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang dirilis pada Rabu (5/3/2025), beberapa daerah mengalami kontraksi penerimaan pajak, sementara lainnya mencatatkan pertumbuhan positif.

Papua, Papua Barat, dan Maluku Alami Penurunan Terdalam

Papua, Papua Barat, dan Maluku mencatatkan penurunan penerimaan pajak paling dalam, yakni 41,27% secara tahunan (year-on-year/yoy). Kantor Wilayah DJP Papua, Papua Barat, dan Maluku mencatat realisasi penerimaan pajak Januari 2025 sebesar Rp485,59 miliar.

Penurunan ini terutama disebabkan oleh kontraksi setoran Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 71,17% (yoy), yang dipengaruhi oleh implementasi sistem perpajakan baru, Coretax. Sistem ini menyebabkan pemusatan setoran Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) cabang ke pusat, terutama dari sektor pertambangan. Di sisi lain, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mencatat pertumbuhan positif 18,67% (yoy) didorong oleh peningkatan belanja pemerintah atas barang dan jasa.

“Meskipun mengalami kontraksi 41,27% (yoy), penerimaan pajak tetap menunjukkan tren yang stabil di tengah proses transisi sistem perpajakan yang sedang berlangsung,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti.

Lampung Catat Kontraksi 21,42%

Lampung menempati posisi kedua dalam daftar wilayah dengan penurunan penerimaan pajak tertinggi, yakni 21,42% (yoy) menjadi Rp377,08 miliar hingga 31 Januari 2025. PPN tetap menjadi kontributor utama dengan nilai Rp225,9 miliar atau tumbuh positif 6,14% (yoy). Sementara itu, PPh mengalami penurunan signifikan sebesar 48% dengan total penerimaan Rp135,4 miliar.

Kepala Seksi Data dan Potensi Kanwil DJP Bengkulu dan Lampung, Novidar, menyebutkan bahwa meskipun terjadi penurunan, kinerja penerimaan pajak masih sesuai dengan target awal tahun.

Jawa Timur Alami Penurunan 2,7%

Penerimaan pajak di Jawa Timur hingga 31 Januari 2025 mencapai Rp19,05 triliun, turun 2,7% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Ditjen Pajak menyebutkan bahwa faktor utama penurunan ini adalah implementasi sistem perpajakan baru (Coretax) yang mempengaruhi kelancaran administrasi perpajakan.

Penerimaan PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) tetap mendominasi dengan kontribusi 66,32%, sementara PPh nonmigas berkontribusi sebesar 32,95%. Di sisi lain, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) mengalami pertumbuhan signifikan masing-masing 693,01% dan 311,23%.

Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara Catat Pertumbuhan Positif

Berbeda dengan daerah lainnya, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara mencatat pertumbuhan penerimaan pajak sebesar 23,4% (yoy) menjadi Rp2,01 triliun. PPh nonmigas menjadi penyumbang utama dengan kontribusi Rp1,06 triliun atau tumbuh 25,01% dibandingkan periode yang sama pada 2024. Penerimaan PBB juga meningkat sebesar 99,51% menjadi Rp0,05 triliun, sementara pajak lainnya tumbuh 89,3% menjadi Rp0,03 triliun.

Bengkulu Tunjukkan Pertumbuhan 11%

Realisasi penerimaan pajak di Bengkulu mencapai Rp149,07 miliar, tumbuh 11% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Namun, Kepala Seksi Penjaminan Kualitas Data DJP Bengkulu, Nimang Duwi Renggani, menyatakan bahwa masih ada tantangan dalam aktivitas ekonomi yang sedang dalam pemulihan.

Berdasarkan jenis pajak, PPN tumbuh signifikan sebesar 118,11% menjadi Rp95,04 miliar, didorong oleh stabilnya harga komoditas sawit dan kopi. PPh berkontribusi sebesar Rp52,4 miliar, sementara penerimaan PBB mencapai Rp548,9 juta.

Sumatra Utara Capai Rp1,43 Triliun

Di Sumatra Utara, realisasi penerimaan pajak hingga 31 Januari 2025 tercatat sebesar Rp1,43 triliun. Kontribusi terbesar berasal dari PPN Impor yang mencapai Rp359,33 miliar, tumbuh 17% (yoy). PPh Pasal 21 juga mencatat penerimaan signifikan sebesar Rp243 miliar.

“Penerimaan pajak awal tahun didominasi oleh PPN Impor sebesar Rp359,33 miliar yang tumbuh 17% (yoy), serta PPh Pasal 21 sebesar Rp243 miliar,” ujar Kepala Kanwil DJP Sumatra Utara I, Arridel Mindra.

Dengan beragam kondisi di berbagai wilayah, realisasi penerimaan pajak awal tahun 2025 mencerminkan tantangan dan peluang dalam sistem perpajakan nasional di tengah transisi administrasi dan perubahan kebijakan fiskal. (alf)

 

 

Kanwil DJP Jatim III Perkenalkan Fitur Taxpayer Ledger untuk Cegah Sengketa Pajak

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Timur (Kanwil DJP Jatim) III memperkenalkan fitur Taxpayer Ledger (Buku Besar Wajib Pajak) dalam aplikasi Coretax kepada Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) Malang. Fitur ini dihadirkan untuk meningkatkan transparansi dan mencegah potensi sengketa pajak.

Kepala Seksi Bimbingan Penyuluhan dan Pengelolaan Dokumen Kanwil DJP Jatim III, Erna Irawati, dalam keterangan resminya yang diterima, Rabu (6/3/2025) menjelaskan bahwa Taxpayer Ledger merupakan fitur yang mencatat seluruh transaksi perpajakan Wajib Pajak, baik dari sisi kewajiban maupun hak yang telah dilakukan.

“Buku Besar Wajib Pajak memberikan informasi lengkap tentang posisi perpajakan seseorang atau badan, sehingga Wajib Pajak bisa lebih mudah melakukan rekonsiliasi data serta memastikan kepatuhan mereka,” ujar Erna.

Fitur ini memiliki dua menu utama. Pertama, menu Debit yang mencatat kepatuhan kewajiban Wajib Pajak, seperti Surat Pemberitahuan Kurang Bayar (SPTKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Tagihan Pajak (STP), hingga putusan hukum yang menyebabkan adanya kekurangan pembayaran pajak. Kedua, menu Kredit yang mencerminkan hak Wajib Pajak, seperti pembayaran pajak yang telah dilakukan, deposito pajak, restitusi yang diterima dalam SPT Lebih Bayar (SPTLB) atau SKP Lebih Bayar (SKPLB), serta kompensasi atau pengurangan pajak tertentu.

Dengan adanya Buku Besar Wajib Pajak di Coretax, Wajib Pajak, khususnya di sektor properti, dapat lebih mudah memonitor status pajaknya secara real-time. Hal ini diharapkan mampu mencegah potensi sengketa akibat perbedaan pencatatan serta memastikan perhitungan pajak yang lebih akurat.

Lebih lanjut, Erna berharap fitur ini dapat mendorong kepatuhan sukarela yang lebih tinggi karena dapat mengurangi risiko denda atau sanksi akibat kesalahan administrasi perpajakan. Implementasi fitur ini diyakini dapat membantu meningkatkan rasio pajak yang saat ini masih berkisar antara 10,09 persen hingga 10,29 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Ke depan, Direktorat Jenderal Pajak terus berupaya mengedukasi Wajib Pajak mengenai pemanfaatan teknologi dalam sistem perpajakan. Digitalisasi dan transparansi yang semakin meningkat diharapkan dapat memberikan manfaat besar bagi Wajib Pajak serta membantu pemerintah dalam mengoptimalkan penerimaan negara. (alf)

 

Wajib Pajak Harus Laporkan SPT Tahunan Sesuai Ketentuan, Ini Jadwal dan Caranya!

IKPI, Jakarta: Setiap Wajib Pajak (WP), baik individu maupun badan usaha, wajib melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan sebagai bentuk kepatuhan pajak. Pelaporan ini dilakukan untuk melaporkan penghitungan pajak, pembayaran, serta informasi terkait harta dan kewajiban dalam satu tahun pajak.

Batas Waktu Pelaporan SPT Tahunan 2025

Dikutip dari laman resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP), batas waktu pelaporan SPT Tahunan Tahun Pajak 2024 adalah:

– Wajib Pajak Orang Pribadi: Paling lambat 31 Maret 2025.

– Wajib Pajak Badan: Paling lambat 30 April 2025.

WP badan yang menggunakan pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika tetap wajib melaporkan SPT dalam bahasa Indonesia.

Pelaporan Masih Menggunakan DJP Online

Banyak WP bertanya apakah pelaporan SPT Tahunan PPh tahun 2025 masih menggunakan DJP Online atau sudah beralih ke Coretax DJP. Berdasarkan aturan DJP, pelaporan untuk Tahun Pajak 2024 tetap dilakukan melalui DJP Online. Coretax DJP baru akan diterapkan sepenuhnya pada pelaporan SPT Tahun Pajak 2025 di tahun 2026.

Untuk pelaporan di DJP Online, EFIN masih diperlukan jika WP lupa kata sandi dan perlu mereset akun. Namun, mulai tahun 2026, sistem autentikasi baru akan menggantikan penggunaan EFIN.

Cara Lapor SPT Tahunan dengan e-Filing

Berdasarkan publikasi DJP, berikut adalah langkah-langkah pelaporan SPT melalui e-Filing:

1. Akses https://djponline.pajak.go.id/account/login.

2. Masukkan NIK/NPWP/NITKU, kata sandi, dan kode keamanan.

3. Klik ‘Login’.

4. Pilih menu ‘Lapor’ dan klik ‘e-Filing’.

5. Klik ‘Buat SPT’ dan jawab pertanyaan terkait jenis formulir SPT.

6. Pilih metode pengisian SPT: ‘Dengan Formulir’, ‘Dengan Panduan’, atau ‘Dengan Upload SPT’.

7. Isi data pajak sesuai bukti potong yang diterima.

8. Periksa kembali semua data sebelum mengirimkan.

9. Dapatkan kode verifikasi melalui email atau nomor HP.

10. Masukkan kode verifikasi dan kirim SPT.

11. Terima Bukti Penerimaan Elektronik (BPE) sebagai tanda pelaporan berhasil.

Sanksi Jika Tidak Melaporkan SPT

Wajib Pajak yang tidak melaporkan SPT tepat waktu dapat dikenakan sanksi administratif, antara lain:

– Denda Rp 100.000 untuk WP Orang Pribadi.

– Denda Rp 1.000.000 untuk WP Badan.

– Denda Rp 500.000 untuk keterlambatan pelaporan SPT Masa PPN.

Selain denda, DJP juga dapat menerbitkan Surat Teguran, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), serta denda bunga sebesar 2% per bulan jika pajak tidak segera dibayarkan.

Untuk menghindari sanksi ini, WP sebaiknya segera melaporkan SPT Tahunan sebelum batas waktu yang ditentukan. (alf)

 

 

Hakim MK Beri 14 Hari Waktu Perbaikan Kepada Pemohon Uji Materiil UU PPh dan PPN

IKPI, Jakarta: Permohonan uji materiil Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) dan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) yang diajukan oleh PT Gemilang Prima Semesta dan CV Belilas Permai mendapat tanggapan dari Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam sidang yang berlangsung pada Selasa (4/3/2025), Hakim Konstitusi Arief Hidayat memberikan catatan agar pemohon menguraikan lebih jelas kerugian konstitusional yang dialami.

Arief menekankan bahwa permohonan harus menjelaskan dampak pasal yang diuji tidak hanya kepada pemohon, tetapi juga kepada badan hukum lain yang berpotensi mengalami kerugian serupa.

“Uraian dalam permohonan masih cenderung menitikberatkan pada kerugian ekonomi yang dialami dua perusahaan pemohon. Padahal, pengujian undang-undang berlaku untuk semua badan hukum karena bersifat universal. Jika permohonan ini dikabulkan, maka akan berdampak luas bagi banyak badan hukum lainnya,” jelas Arief dikutip dari website resmi MK.

Selain itu, Hakim Konstitusi Arsul Sani memberikan masukan terkait penyusunan permohonan. Ia menyarankan agar pemohon menyesuaikan struktur permohonan dengan memindahkan bagian kedudukan hukum ke dalam alasan permohonan. “Penyusunan permohonan perlu lebih sistematis. Kedudukan hukum cukup disinggung secara singkat, sementara uraian lebih lengkap sebaiknya ditempatkan di bagian alasan permohonan,” ujar Arsul.

Majelis Hakim Konstitusi memberikan waktu 14 hari kepada para pemohon untuk melakukan perbaikan terhadap permohonannya. Batas waktu pengajuan perbaikan tersebut adalah Senin, 17 Maret 2025. Dengan adanya perbaikan ini, diharapkan permohonan dapat lebih kuat dalam menjelaskan aspek hukum dan konstitusionalitas yang dipermasalahkan. (alf)

 

MK Uji Materiil UU PPh dan UU PPN, Kuasa Hukum Tegaskan Aturan Tersebut Beratkan Pengusaha Distribusi

IKPI, Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan terkait uji materiil Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN). Perkara dengan Nomor 188/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh PT Gemilang Prima Semesta dan CV Belilas Permai yang merasa dirugikan oleh ketentuan dalam kedua undang-undang tersebut.

Sidang ini berlangsung pada Selasa (4/3/2025) di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arsul Sani.

Dikutip dari website resmi MK, kuasa hukum para pemohon, Cuaca, menyampaikan bahwa kliennya mengalami kerugian konstitusional akibat ketidakpastian hukum yang ditimbulkan oleh Pasal 4 ayat (1) UU PPh dan Pasal 4 ayat (1) UU PPN. Ia berpendapat bahwa ketentuan ini bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945, yang mengatur bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa harus didasarkan pada undang-undang.

Menurut Cuaca, ketidakjelasan aturan tersebut telah mengakibatkan pemungutan pajak yang tidak memiliki kepastian hukum, terutama terkait pajak yang dikenakan atas biaya transportasi. Pajak ini dinilai memberatkan wajib pajak yang bergerak di bidang distribusi, khususnya bagi mereka yang mengangkut gas LPG 3 kg dari agen ke pangkalan.

Oleh karena itu, para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan bahwa frasa dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh dan Pasal 4 ayat (1) UU PPN bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana yang mereka ajukan dalam permohonannya. (alf)

Kanwil DJP Jakarta Barat Hadirkan Pojok Pajak di Mal Central Park

IKPI, Jakarta: Menjelang batas waktu pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Tahun Pajak 2024, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jakarta Barat mengajak seluruh wajib pajak untuk memanfaatkan layanan Pojok Pajak yang dihadirkan di Mal Central Park Lantai 3. Layanan ini dibuka pada Senin, 3 Maret 2025, dan akan berlangsung selama tiga minggu penuh hingga 21 Maret 2025.

Dalam penyelenggaraannya, Kanwil DJP Jakarta Barat bekerja sama dengan seluruh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) se-Jakarta Barat untuk memberikan berbagai layanan perpajakan, di antaranya:

• Asistensi pelaporan SPT Tahunan,

• Konsultasi perpajakan,

• Layanan Coretax, dan

• Penerbitan EFIN.

Layanan ini tersedia setiap hari kerja pada pukul 11.00 WIB hingga 15.00 WIB guna memudahkan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya tepat waktu.

Dorongan untuk Melapor Lebih Awal

Kepala Bidang Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Kanwil DJP Jakarta Barat, Herry Setyawan, menegaskan pentingnya melaporkan SPT lebih awal untuk menghindari kendala teknis, seperti perlambatan sistem akibat lonjakan akses di akhir periode pelaporan.

“Keberadaan Pojok Pajak ini diharapkan dapat membantu wajib pajak dalam melaporkan SPT Tahunan dan memberikan konsultasi terkait implementasi Coretax,” ujar Herry.

Ia juga mengingatkan bahwa batas waktu pelaporan SPT Tahunan adalah 31 Maret 2025 bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dan 30 April 2025 bagi Wajib Pajak Badan.

Selain menghindari kendala teknis, pelaporan SPT lebih awal juga berkontribusi pada kelancaran administrasi perpajakan serta pembangunan negara.

Layanan Pojok Pajak mendapatkan respons positif dari masyarakat. Immanuel, salah satu wajib pajak yang mengurus kode EFIN, mengungkapkan kepuasannya terhadap pelayanan yang diberikan.

“Prosesnya cepat, langsung diarahkan ke petugas, dan tidak sampai lima menit sudah selesai,” ujarnya.

Hal senada disampaikan oleh Fahri, wajib pajak lain yang juga memanfaatkan layanan ini. “Sangat baik, sangat cepat, sangat mudah juga prosesnya, kemudian dibantu dengan sangat baik oleh tim dari DJP,” katanya.

Untuk menghindari antrean panjang, Kanwil DJP Jakarta Barat mengimbau wajib pajak untuk segera melaporkan SPT-nya melalui djponline.pajak.go.id atau datang langsung ke Pojok Pajak yang telah disediakan. (alf)

 

DJP Kembali Ingatkan Wajib Pajak Lapor SPT Tepat Waktu, Begini Caranya

IKPI, Jakarta; Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali mengingatkan wajib pajak untuk segera melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak 2024 sebelum batas waktu yang ditentukan. Hingga 3 Maret 2025, DJP mencatat 6,03 juta wajib pajak telah melaporkan SPT, terdiri dari 5,85 juta wajib pajak orang pribadi dan 184 ribu wajib pajak badan.

Dwi Astuti, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, menjelaskan bahwa sebagian besar pelaporan dilakukan secara elektronik melalui layanan DJP Online.

“Kami mengimbau wajib pajak untuk memanfaatkan layanan e-Filing yang lebih praktis dan efisien. Wajib pajak dapat mengisi dan mengirimkan SPT secara online tanpa perlu datang ke kantor pajak,” ujarnya.

Untuk wajib pajak orang pribadi yang berstatus pegawai, terdapat dua jenis formulir yang harus dipilih berdasarkan penghasilan tahunan, yakni:

• Formulir 1770 untuk penghasilan di bawah Rp 60 juta per tahun.

• Formulir 1770 S untuk penghasilan di atas Rp 60 juta per tahun.

Berikut langkah-langkah mengisi SPT Tahunan secara online:

• Akses laman resmi DJP Online di www.pajak.go.id melalui perangkat yang tersedia.

• Login dengan NIK/NPWP dan password, serta masukkan kode keamanan.

• Pilih menu Lapor, lalu klik e-Filing dan pilih Buat SPT.

• Pilih formulir yang sesuai dengan penghasilan tahunan.

• Isi formulir berdasarkan tahun pajak dan status SPT, lalu lanjutkan ke tahap berikutnya.

• Lengkapi 18 tahap pengisian, termasuk data penghasilan, harta, dan utang.

• Sistem akan menampilkan status SPT: nihil, kurang bayar, atau lebih bayar.

• Jika telah selesai, klik Setuju, lalu masukkan kode verifikasi yang dikirimkan melalui email atau SMS.

• Klik Kirim SPT, dan wajib pajak akan mendapatkan tanda terima elektronik melalui email.

DJP menegaskan bahwa pelaporan SPT tepat waktu dapat menghindarkan wajib pajak dari sanksi denda serta memperlancar administrasi perpajakan nasional. Oleh karena itu, DJP mengajak seluruh wajib pajak untuk segera melaporkan SPT sebelum tenggat waktu yang ditentukan.(alf)

 

Update 3 Maret! Pelaporan SPT Tahunan 2024 Capai 6,03 Juta Wajib Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melaporkan bahwa jumlah wajib pajak yang telah melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak 2024 mencapai 6,03 juta. Data ini dihimpun hingga 3 Maret 2025 dan mencerminkan partisipasi aktif masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakan.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kementerian Keuangan, Dwi Astuti menyatakan bahwa dari jumlah tersebut, sebanyak 5,85 juta pelaporan berasal dari wajib pajak orang pribadi yang memiliki tenggat waktu hingga akhir Maret 2025. Sementara itu, untuk wajib pajak badan yang memiliki tenggat waktu hingga April 2025, jumlah pelapor telah mencapai 184 ribu.

“Dari angka tersebut sebanyak 5,89 juta SPT disampaikan secara elektronik dan 141 ribu SPT disampaikan secara manual,” kata Dwi pada Kamis (27/2/2025).

DJP juga mengungkapkan bahwa pengisian SPT Pajak Penghasilan (PPh) untuk tahun 2024 yang disampaikan pada awal 2025 masih menggunakan sistem lama melalui DJP Online. Wajib pajak dapat mengakses layanan ini melalui laman https://djponline.pajak.go.id/. Tersedia fitur e-Form dan e-Filing yang memudahkan wajib pajak dalam mengisi dan mengirimkan SPT Tahunan secara efisien.

Ia mengimbau seluruh wajib pajak untuk segera melaporkan SPT Tahunan sebelum batas waktu yang telah ditentukan guna menghindari sanksi administratif. (alf)

DJP Lakukan Pembaruan Converter XML Versi 1.5 untuk Tingkatkan Akurasi Pelaporan Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan terus melakukan peningkatan terhadap sistem inti perpajakan atau coretax sejak diluncurkan pada 1 Januari 2025. Salah satu pembaruan terbaru yang dilakukan adalah peluncuran Converter format XML versi 1.5 yang menghadirkan berbagai peningkatan dan perbaikan guna memastikan keakuratan dan kompatibilitas data dalam pelaporan pajak.

Melansir unggahan akun X resmi @DitjenPajakRI, pembaruan ini bertujuan untuk meningkatkan performa dalam pelaporan pajak oleh wajib pajak yang menggunakan format XML. Beberapa peningkatan yang hadir dalam versi terbaru ini meliputi:

• Perbaikan Format Tanggal pada Retur Masukan

Pembaruan ini memastikan kompatibilitas dan akurasi data dengan format tanggal yang telah disempurnakan pada retur masukan.

• Penambahan Parameter Baru dalam Faktur Pajak Keluaran

Fitur ini menyediakan parameter tambahan guna mengakomodasi proses impor XML terhadap transaksi dengan kode 07 yang memiliki keterangan tambahan 02.

• Pembaruan Template Excel

Format template Excel pada Faktur Pajak Keluaran telah diperbarui agar lebih sesuai dengan kebutuhan impor XML, terutama untuk transaksi dengan kode 07 yang memiliki keterangan tambahan 02.

• Perbaikan CustomRefDoc

Penyempurnaan dalam pengisian kolom geser di bagian CustomRefDoc dilakukan untuk memastikan data dapat diinput dengan lebih akurat dan efisien.

Wajib pajak yang menggunakan sistem XML untuk pelaporan pajaknya disarankan segera mengunduh pembaruan Converter XML versi 1.5 guna mengoptimalkan proses pelaporan mereka.

Pembaruan ini dapat diakses melalui laman resmi DJP di pajak.go.id/id/reformdjp/coretax.

Dengan adanya pembaruan ini, DJP berharap sistem pelaporan pajak berbasis XML dapat semakin andal serta memberikan kemudahan dan efisiensi bagi wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. (alf)

 

id_ID