PBB Peringatkan Gagalnya Pajak Minimum Global akibat Penolakan Trump

IKPI, Jakarta: Upaya global untuk mewujudkan keadilan perpajakan internasional menghadapi tantangan serius setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, secara resmi menarik dukungan dari kesepakatan pajak minimum global. Dalam World Investment Report 2025 yang dirilis pada Kamis (19/6), badan PBB untuk perdagangan dan pembangunan (UNCTAD) mengungkapkan keprihatinan atas arah baru kebijakan AS yang berpotensi menggagalkan implementasi Pilar Dua OECD kerangka perpajakan global yang telah diadopsi oleh puluhan negara.

UNCTAD menyebut bahwa hingga saat ini, sedikitnya 49 negara, mayoritas negara-negara maju di Eropa, telah memasukkan ketentuan pajak minimum global ke dalam hukum nasional mereka. Pilar Dua, lebih dikenal dengan skema Global Anti-Base Erosion (GloBE), mewajibkan perusahaan multinasional dengan pendapatan di atas €750 juta untuk membayar tarif pajak efektif minimum sebesar 15% atas keuntungan di setiap yurisdiksi tempat mereka beroperasi.

Namun, hasil pemilihan presiden AS tahun ini membawa dinamika baru. Kemenangan Trump dan kebijakannya untuk menghentikan partisipasi AS dalam Pilar Dua dinilai UNCTAD sebagai ancaman langsung terhadap stabilitas dan keberlangsungan reformasi perpajakan internasional.

“Penarikan AS dari pembahasan Pilar Dua dan ancaman tindakan balasan terhadap negara-negara yang menerapkannya berpotensi mengubah arah reformasi perpajakan global yang tengah berlangsung,” tulis UNCTAD dalam laporannya dikutip, Jumat (20/6/2025).

Indonesia Tetap Jalan Terus

Di tengah gejolak global, Indonesia termasuk negara yang telah berkomitmen penuh terhadap penerapan pajak minimum global. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 136/2024, pemerintah Indonesia mengadopsi Pilar Dua dengan tiga instrumen utama: Domestic Minimum Top-up Tax (DMTT), Income Inclusion Rule (IIR), dan Undertaxed Payment Rule (UTPR).

DMTT dan IIR telah berlaku sejak 1 Januari 2025, sementara UTPR akan mulai diterapkan pada 1 Januari 2026. Langkah ini diambil untuk menutup celah penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional dan mencegah pengalihan laba ke negara-negara tax haven yang menawarkan tarif pajak sangat rendah atau bahkan nihil.

Trump: “Kesepakatan Ini Hambat Kepentingan Amerika”

Satu hari setelah resmi menjabat untuk periode 2025–2029, Presiden Trump menerbitkan memorandum yang menegaskan penarikan Amerika Serikat dari Kesepakatan Pajak Global. Ia menyatakan bahwa komitmen pemerintah sebelumnya tidak sah tanpa pengesahan dari Kongres AS.

“Setiap komitmen yang dibuat oleh pemerintahan sebelumnya atas nama Amerika Serikat tidak memiliki kekuatan hukum tanpa tindakan legislatif oleh Kongres,” tegas Trump dalam keterangan di laman resmi Gedung Putih.

Lebih lanjut, ia memandang bahwa kesepakatan pajak global OECD membuka celah bagi negara lain untuk “memajaki penghasilan Amerika secara ekstrateritorial,” yang menurutnya merugikan kepentingan nasional dan menggerus daya saing ekonomi Negeri Paman Sam.

Sebagai respons, Trump memerintahkan Menteri Keuangan AS dan Perwakilan Dagang AS (USTR) untuk melakukan investigasi terhadap kebijakan pajak di negara lain yang dianggap mendiskriminasi perusahaan asal AS. Ia juga meminta daftar tindakan balasan yang bisa diambil guna melindungi kepentingan korporasi dan pekerja AS dari “aturan pajak tidak adil.”

“Menteri Keuangan akan menyampaikan rekomendasi kepada Presiden dalam 60 hari,” tulis memorandum tersebut.

Penolakan Amerika Serikat, sebagai ekonomi terbesar dunia, tentu menjadi pukulan bagi koalisi negara-negara yang selama ini mendorong sistem perpajakan internasional yang lebih adil. Meski demikian, UNCTAD menilai bahwa implementasi Pilar Dua tetap memiliki prospek cerah jika komunitas global tetap bersatu dan mengedepankan prinsip keadilan pajak lintas batas. (alf)

 

 

Cegah Penghindar Pajak, Filipina Siap Terapkan Standar Global Pelaporan Kripto CARF pada 2028

IKPI, Jakarta: Pemerintah Filipina bersiap menerapkan langkah strategis untuk memperkuat pengawasan terhadap transaksi aset digital. Menteri Keuangan Ralph Recto mengumumkan bahwa Filipina akan sepenuhnya mengadopsi Crypto-Asset Reporting Framework (CARF) milik OECD pada tahun 2028, sebagai bagian dari upaya mencegah penghindaran pajak lintas negara dan membendung aliran dana gelap melalui aset kripto.

Dalam pernyataannya yang dikutip Inquirer, Recto menekankan pentingnya langkah ini di tengah makin meluasnya penggunaan mata uang digital dalam berbagai aktivitas ekonomi.

“Kita membutuhkan sistem yang lebih cepat dan lebih kuat untuk kolaborasi jika ingin mengalahkan penghindaran pajak dan transaksi gelap,” ujar Recto, Jumat (20/6/2025).

Lebih lanjut, Recto menegaskan komitmen pemerintah untuk memastikan seluruh transaksi kripto dikenai pajak secara adil. Ia menekankan bahwa tidak boleh ada aktivitas keuangan yang luput dari pengawasan hanya karena bersifat digital atau lintas batas.

Adopsi CARF akan menjadi tonggak penting bagi Filipina dalam menyelaraskan diri dengan standar internasional. Framework ini dirancang oleh OECD bersama negara-negara anggota G20, bertujuan meningkatkan transparansi transaksi kripto yang selama ini dikenal sulit dilacak karena tidak bergantung pada sistem keuangan konvensional.

Dengan CARF, negara-negara peserta akan secara otomatis bertukar data perpajakan setiap tahun, termasuk informasi pemilik aset, nilai transaksi, serta platform yang digunakan. Mekanisme ini diharapkan bisa mengungkap praktik penghindaran pajak yang memanfaatkan kerahasiaan dan fleksibilitas aset digital.

Filipina bergabung bersama gelombang negara-negara yang mulai serius membenahi regulasi kripto, tidak hanya sebagai instrumen ekonomi, tetapi juga sebagai potensi risiko fiskal jika tidak diawasi secara ketat. (alf)

Wamenkeu: Penerimaan Pajak Bruto Mei 2025 Tetap Tumbuh Positif, Capai Rp895,77 Triliun

IKPI, Jakarta: Meskipun sedikit melambat dibandingkan bulan sebelumnya, realisasi penerimaan pajak bruto hingga akhir Mei 2025 tetap menunjukkan tren positif. Kinerja penerimaan pajak bruto berhasil menembus angka Rp895,77 triliun, sementara pajak neto tercatat sebesar Rp683,26 triliun atau setara 31,2% dari target APBN tahun ini.

Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Anggito Abimanyu dalam Konferensi Pers APBN KiTA yang digelar di Jakarta, Selasa (17/6/2025). Ia menekankan bahwa penerimaan bruto mencerminkan dinamika ekonomi secara menyeluruh, sedangkan penerimaan neto telah dikurangi dengan restitusi yang merupakan kewajiban pemerintah.

“Kami selalu sajikan data bruto dan netto. Namun, untuk mengukur kondisi ekonomi, indikator yang lebih tepat adalah bruto karena netto sudah dipotong restitusi,” ujar Anggito.

Pada Mei 2025, penerimaan pajak bruto tercatat Rp162,5 triliun, tumbuh tipis dibandingkan Mei 2024 yang sebesar Rp162,2 triliun. Pertumbuhan ini mencerminkan kinerja pajak yang tetap positif secara tahunan, meskipun secara bulanan mengalami penyesuaian seiring pola musiman.

Menurut Anggito, tren ini konsisten dengan pola penerimaan pajak sejak 2022, di mana puncak realisasi terjadi pada Maret dan April sebelum sedikit menurun di bulan Mei.

“Secara siklus, memang tren penerimaan bulanan menunjukkan puncak pada Maret-April dan melandai di Mei. Tapi secara keseluruhan, bruto masih tumbuh 5,2% dibanding tahun lalu,” ungkapnya.

Pertumbuhan penerimaan bulan Mei didorong oleh sejumlah faktor, seperti meningkatnya setoran angsuran PPh Badan dan lonjakan penerimaan PPh Pasal 26 dari dividen luar negeri, yang tahun ini lebih banyak dibayarkan pada akhir Mei dibanding April tahun lalu.

Selain itu, beberapa sektor ekonomi menjadi penyumbang utama pertumbuhan penerimaan pajak bruto, di antaranya sektor perbankan, ketenagalistrikan, pertambangan bijih logam, industri sawit, serta pengolahan tembakau.

Secara kumulatif, penerimaan pajak bruto periode Maret–Mei 2025 tercatat sebesar Rp596,8 triliun, naik 5,2% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp567,2 triliun.

Di tengah ketidakpastian global akibat gejolak geopolitik dan fluktuasi harga komoditas, pemerintah berharap capaian ini dapat memperkuat fondasi penerimaan negara dan menjaga daya tahan fiskal dalam menopang berbagai program prioritas nasional. (alf)

 

 

DJP Umumkan Downtime Layanan Pajak Sabtu Ini, Wajib Pajak Diminta Bersiap

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan kembali akan melakukan pemeliharaan sistem teknologi informasi yang berdampak pada penghentian sementara seluruh layanan elektronik perpajakan. Downtime akan berlangsung pada Sabtu, 21 Juni 2025 mulai pukul 09.00 hingga 23.59 WIB.

Dalam pengumuman resminya, DJP menyatakan bahwa selama periode tersebut, wajib pajak, penyedia jasa aplikasi perpajakan (PJAP), bank atau pos persepsi, serta aplikasi instansi lain tidak dapat mengakses layanan elektronik DJP, termasuk situs pajak.go.id.

“Waktu henti (downtime) akan berdampak pada tidak dapat diaksesnya seluruh layanan elektronik DJP oleh Wajib Pajak (WP), pihak ketiga, baik PJAP, Bank/Pos Persepsi, maupun aplikasi instansi lainnya,” demikian isi pengumuman DJP seperti dikutip dari laman resminya.

Pihak DJP mengimbau masyarakat untuk mengatur ulang jadwal penggunaan layanan sebelum atau sesudah waktu yang telah ditentukan. Pemberitahuan ini, menurut DJP, bertujuan untuk memberikan waktu bagi para pengguna layanan agar tidak terdampak signifikan oleh gangguan sistem.

Pemeliharaan sistem ini disebut sebagai bagian dari upaya DJP dalam menjaga keandalan dan keamanan infrastruktur teknologi informasi yang mendukung sistem perpajakan nasional. DJP secara berkala melakukan perbaikan sistem, dan selalu memberikan informasi melalui kanal resmi seperti situs pajak.go.id serta akun media sosialnya.

Diketahui, ini bukan kali pertama DJP melakukan pembaruan sistem dalam bulan ini. Sebelumnya, pada 11 Juni 2025, DJP juga melakukan pemeliharaan yang sempat menyebabkan gangguan akses terhadap layanan elektronik perpajakan.

DJP menyampaikan permohonan maaf atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan dan berharap pembaruan ini dapat meningkatkan kualitas layanan di masa mendatang. Layanan elektronik dipastikan akan kembali normal setelah pukul 23.59 WIB pada hari yang sama. (alf)

 

 

IKPI Surabaya – ASTINDO Jatim Kolaborasi Edukasi Pajak untuk Pelaku Usaha Pariwisata

IKPI, Surabaya: Komitmen Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Surabaya untuk terus memperluas edukasi perpajakan kembali diwujudkan melalui kolaborasi inovatif bersama Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (ASTINDO) Jawa Timur. Bertempat di OCBC Booth Ciputra World I, Selasa (10/6/2025) kegiatan talkshow interaktif ini sukses digelar dan dihadiri lebih dari 40 peserta yang terdiri dari pelaku usaha dan pegiat sektor pariwisata.

Diskusi membahas berbagai aspek perpajakan yang kerap menjadi tantangan bagi industri perjalanan. Mulai dari kebijakan terbaru, pemenuhan kewajiban perpajakan bagi pelaku jasa wisata, hingga tips praktis dalam pengelolaan pajak yang efisien semuanya dikupas tuntas dan aplikatif. Interaksi antara peserta dan narasumber berlangsung hidup, menunjukkan tingginya antusiasme dan kebutuhan akan pemahaman pajak yang lebih baik di kalangan pelaku usaha.

Sekretaris IKPI Cabang Surabaya, Renny Anggraeni, dalam kesempatan tersebut, menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari strategi organisasi dalam menjalin kemitraan lintas sektor. “Sektor pariwisata merupakan bagian penting dari ekosistem ekonomi, dan sudah semestinya mendapat dukungan edukatif dalam menghadapi dinamika regulasi perpajakan yang terus berkembang,” ungkapnya.

Ia juga menambahkan bahwa kegiatan semacam ini bukan hanya memberi manfaat dari sisi pengetahuan, tetapi juga memperluas jejaring kolaboratif antara dunia usaha dan profesi pajak.

Talkshow ini tidak hanya menyentuh aspek teknis, tetapi juga membangun suasana kekeluargaan dan semangat sharing for impact di antara peserta. Banyak dari mereka yang secara langsung menyampaikan harapan agar kegiatan serupa dapat terus dilakukan secara berkala dengan tema-tema yang relevan dan mendalam.

Menanggapi antusiasme tersebut, IKPI Surabaya dan ASTINDO Jawa Timur berkomitmen untuk terus membuka ruang dialog dan pembelajaran bersama. Ke depan, tidak tertutup kemungkinan untuk memperluas cakupan kegiatan ke kota-kota lain di Jawa Timur, atau bahkan dalam skala nasional, guna memperkuat sinergi antar pelaku industri dan konsultan pajak profesional.

Dengan hadirnya program ini, IKPI Surabaya kembali menunjukkan perannya sebagai mitra strategis bagi dunia usaha tidak hanya dalam hal kepatuhan, tetapi juga dalam penguatan kapasitas usaha yang berkelanjutan. (bl)

 

 

PNBP Mei 2025 Terkoreksi 5,9 Persen, SDA Migas Tertekan

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) hingga akhir Mei 2025 mencapai Rp188,7 triliun atau 36,7 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun ini. Namun, capaian tersebut mengalami penurunan 5,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang tercatat sebesar Rp119,5 triliun.

Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Anggito Abimanyu menjelaskan, kontraksi terjadi terutama pada tiga faktor utama: pola setoran bulanan yang cenderung melandai, penurunan harga komoditas, serta turunnya volume produksi sumber daya alam (SDA).

“PNBP kita mengalami koreksi 5,9 persen. Ini karena pola setoran yang menurun secara musiman, serta tekanan harga komoditi dan produksi SDA,” ujar Anggito dalam konferensi pers APBN KiTA, Rabu (18/6/2025).

PNBP Migas Paling Tertekan

Anggito memaparkan bahwa PNBP diklasifikasikan ke dalam empat jenis utama, yaitu SDA Migas, SDA Nonmigas, PNBP lainnya, dan Badan Layanan Umum (BLU). Dari keempat kelompok tersebut, SDA Migas menunjukkan penurunan paling tajam, hanya menyumbang Rp39,8 triliun atau 32,9 persen dari target tahunan.

Penurunan itu dipicu anjloknya harga minyak mentah Indonesia (ICP), dari rata-rata USD81 per barel pada akhir April 2024 menjadi hanya USD70,3 per barel pada periode yang sama tahun 2025. Dampaknya, penerimaan dari sektor PNBP migas dan PPh migas ikut terkoreksi signifikan.

Sementara itu, PNBP dari SDA Nonmigas juga ikut melemah. Hingga Mei 2025, realisasi tercatat Rp30,0 triliun, atau menurun 6,8 persen dibandingkan tahun lalu. Anggito menyebut, penurunan terutama berasal dari sektor minerba yang produksinya anjlok dari 340,3 juta ton menjadi hanya 282,0 juta ton, turun 17,1 persen.

“Untuk sektor non-migas, penurunan didorong oleh menurunnya volume produksi, terutama dari minerba,” jelasnya.

BLU dan PNBP Lainnya Jadi Penopang 

Di tengah tekanan dari sektor SDA, penerimaan dari Badan Layanan Umum justru mencatat kinerja impresif. Realisasi BLU per Mei 2025 mencapai Rp32,3 triliun, dengan pertumbuhan 33,8 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Pertumbuhan ini didorong oleh peningkatan jasa layanan rumah sakit, pendidikan, dan telekomunikasi.

PNBP lainnya, yang mencakup pendapatan dari jasa transportasi, administrasi, penegakan hukum, dan DMO, turut mengalami pertumbuhan 5,6 persen. Total realisasi dari kategori ini mencapai Rp59,4 triliun dan menjadi penyumbang terbesar PNBP tahun berjalan.

Rincian Realisasi PNBP hingga Mei 2025:

• PNBP lainnya: Rp59,4 triliun (46,5% dari target)

• SDA Nonmigas: Rp46,3 triliun (47,7%)

• SDA Migas: Rp39,8 triliun (32,9%)

• BLU: Rp32,3 triliun (41,4%)

Tren Historis dan Tantangan Kedepan

Fluktuasi bulanan yang terjadi antara Maret hingga Mei disebut sejalan dengan pola historis PNBP dalam beberapa tahun terakhir. Namun, Anggito menegaskan pentingnya antisipasi terhadap dinamika global, terutama volatilitas harga komoditas dan potensi penurunan permintaan pasar internasional.

“Meski saat ini beberapa sektor PNBP mengalami tekanan, pemerintah tetap optimistis menjaga tren positif penerimaan negara dengan mendorong sektor-sektor yang resilien,” pungkasnya. (alf)

 

Dirjen Pajak Pastikan Aturan Sedang Diproses, UMKM Masih Bisa Nikmati PPh Final 0,5 Persen 

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, memastikan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), khususnya Wajib Pajak Orang Pribadi, masih bisa menikmati tarif Pajak Penghasilan (PPh) final sebesar 0,5 persen pada 2025, meskipun masa berlaku resmi insentif tersebut telah berakhir pada 2024.

Bimo mengungkapkan bahwa saat ini pemerintah tengah menggodok revisi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 yang menjadi dasar hukum penerapan tarif PPh final untuk UMKM. “Perubahan PP 55 tahun 2022 untuk mengatur jangka waktu PPh final UMKM sedang dalam proses penyusunan,” ujar Bimo dalam konferensi pers APBN KiTA, Kamis (19/6/2025).

Bimo menegaskan, pelaku UMKM tetap diperbolehkan memanfaatkan tarif PPh final 0,5 persen selama masa transisi ini. “UMKM orang pribadi memang sudah habis 7 tahun untuk memanfaatkan PPh final 0,5 persen per 2024. Tetapi masih tetap dapat membayar PPh final 0,5 persen tersebut di tahun 2025,” katanya.

Namun, ia mengakui bahwa perubahan regulasi tersebut belum rampung karena masih menunggu pembahasan lintas kementerian. “Status PP-nya saat ini masih menunggu jadwal pembahasan antarkementerian dari Kementerian Sekretariat Negara,” tambahnya.

Desakan IKPI

Sebelumnya, Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, menyampaikan keprihatinan terhadap situasi yang menyebabkan dilema bagi Wajib Pajak orang pribadi. Menurutnya, tanpa dasar hukum yang jelas, pelaporan dan pembayaran PPh masa Januari–Februari 2025 bisa menimbulkan risiko pajak.

“Kami mengharapkan pemerintah segera mengambil langkah untuk menerbitkan ketentuan terkait perpanjangan PPh final 0,5 persen. Jika aturan tersebut diterbitkan sejak awal tahun, maka Wajib Pajak bisa langsung memanfaatkannya mulai Januari 2025,” tegas Vaudy dalam pernyataan tertulis pada 17 Maret 2025.

Ia mengingatkan bahwa wacana perpanjangan insentif ini bukan hal baru. Pemerintah, melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, telah mengumumkan rencana perpanjangan fasilitas ini dalam paket stimulus ekonomi akhir tahun lalu.

Pasalanya, perpanjangan tersebut idealnya juga mengubah ketentuan dalam PP Nomor 23 Tahun 2018 yang membatasi masa berlaku PPh final 0,5 persen selama tujuh tahun.

Ia menegaskan, ketiadaan aturan hingga Maret 2025 telah menciptakan ketidakpastian yang cukup pelik. Wajib Pajak orang pribadi dengan omzet tahunan di bawah Rp500 juta yang sebelumnya dikecualikan dari kewajiban PPh berdasarkan UU HPP dan PP 55/2022, kini kebingungan menentukan kewajiban pajaknya: tetap menggunakan PPh final, beralih ke Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN), atau menyelenggarakan pembukuan?

Ia juga menyoroti tenggat penyampaian pilihan penggunaan NPPN yang jatuh pada akhir Maret 2025, membuat situasi semakin kompleks.

“Kebingungan ini bisa berdampak pada kepatuhan dan penerimaan pajak negara,” kata Vaudy. (alf/bl)

 

 

Inflasi Terkendali, Mekeu Sebut Karena ada Penurunan Harga Pangan 

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa inflasi Indonesia saat ini berada dalam kondisi yang cukup terkendali, bahkan menunjukkan tren penurunan. Penjelasan ini disampaikan dalam konferensi pers rutin “APBN Kita” edisi Juni 2025 pada Selasa (17/6/2025).

Menurut Sri Mulyani, salah satu faktor utama di balik meredanya inflasi adalah turunnya harga bahan pangan, terutama yang masuk kategori volatile food atau harga pangan yang rentan bergejolak.

“Rendahnya inflasi kita disebabkan karena harga-harga yang biasanya bergejolak, yaitu makanan, mengalami deflasi karena adanya panen,” jelasnya.

Tak hanya itu, ia menekankan bahwa pemerintah aktif menjaga keseimbangan harga agar penurunan ini tidak berdampak negatif terhadap petani. “Harga beberapa pangan memang turun, dan itu berdampak langsung pada inflasi. Namun kami juga menyiapkan dukungan anggaran agar stabilitas harga, terutama beras dan gabah, tetap terjaga,” tegasnya.

Lebih jauh, ia menyebut bahwa inflasi ke depan diperkirakan akan tetap terkendali, berkat sejumlah kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk menekan harga-harga yang diatur negara (administered prices). Salah satunya melalui subsidi dan diskon untuk moda transportasi seperti tiket pesawat dan kereta api.

“Kita sudah menyiapkan kebijakan diskon untuk transportasi umum. Ini secara langsung akan menurunkan inflasi administered prices,” ujarnya.

Sri Mulyani juga memastikan bahwa inflasi inti, yang mencerminkan permintaan domestik, masih tumbuh sehat di level 2,4%. “Ini menandakan permintaan masih ada. Inflasi inti yang tumbuh 2,4% menunjukkan ada pertumbuhan natural. Sementara itu, inflasi secara keseluruhan (headline) berada di angka 1,6%,” katanya.

Ia pun menegaskan bahwa penurunan inflasi tidak serta-merta berarti daya beli masyarakat sedang melemah. “Jangan langsung disimpulkan inflasi turun karena daya beli yang lemah. Ini lebih karena dampak langsung dari kebijakan pemerintah dalam mengatur harga,” tutupnya. (alf)

 

RPMK Syaratkan Kuasa Hukum Pengadilan Pajak Miliki SKK atau Izin KP 

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah menyusun aturan baru yang bakal memperketat syarat menjadi kuasa hukum di Pengadilan Pajak. Ketentuan tersebut tertuang dalam Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) tentang Persyaratan, Permohonan, Perpanjangan, dan Pencabutan Sebagai Kuasa Hukum pada Pengadilan Pajak, yang akan menggantikan PMK 184/2017.

Langkah ini diambil untuk meningkatkan kualitas perwakilan hukum di Pengadilan Pajak sekaligus memberi perlindungan lebih bagi pencari keadilan. “Penyempurnaan ini dimaksudkan agar penyelesaian sengketa perpajakan bisa berjalan lebih efektif dan cepat,” ujar Sekretaris Pengganti Sekretariat Pengadilan Pajak, Roni Ziyardi Yasmi dalam forum meaningful participation RPMK, Kamis (19/6/2025).

Dua Syarat Tambahan Penentu Kompetensi

RPMK ini menegaskan bahwa pengetahuan dan keahlian perpajakan seorang kuasa hukum harus dibuktikan melalui salah satu dari dua cara: memiliki Surat Keterangan Kompetensi (SKK) atau izin praktik konsultan pajak (KP).

“SKK dan izin praktik itu sifatnya pilihan. Keduanya bisa menjadi dasar untuk menjadi kuasa hukum,” jelas Roni.

Untuk kuasa hukum di bidang kepabeanan dan cukai, dibutuhkan tambahan sertifikat keahlian khusus. Baik SKK maupun sertifikat keahlian kepabeanan akan diterbitkan oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) Kemenkeu.

Selain itu, pengalaman kerja juga menjadi indikator penting. Seorang kuasa hukum harus pernah bekerja di bidang perpajakan, akuntansi, atau hukum selama dua tahun dalam lima tahun terakhir. Untuk bidang kepabeanan dan cukai, pengalaman di sektor tersebut juga wajib dibuktikan.

“Pengalaman itu harus didukung surat resmi dari instansi atau lembaga terkait. Harapannya, profesionalisme kuasa hukum makin terjamin,” ucap Roni.

Syarat Lain dan Pembagian Izin Bertingkat

RPMK ini juga memuat sejumlah persyaratan tambahan bagi calon kuasa hukum, di antaranya:

• Bukan anggota keluarga dekat, pegawai, atau pengampu pihak terkait;

• Lulusan sarjana atau diploma IV dari perguruan tinggi terakreditasi;

• Terdaftar sebagai wajib pajak dan taat pajak;

• Berperilaku baik dan tidak pernah dihukum pidana berat;

• Bukan ASN atau pejabat negara;

• Menjunjung kejujuran, integritas, dan keadilan;

• Bersedia membuat akun dan menggunakan sistem e-Tax Court.

Menariknya, RPMK ini juga memperkenalkan sistem leveling untuk kuasa hukum pajak, yakni tingkat A, B, dan C, yang didasarkan pada tingkat keahlian. Namun untuk kuasa hukum kepabeanan dan cukai, tidak ada pembagian tingkatan.

“Izin tingkat A itu semacam representasi brevet A. Jadi akan lebih terukur siapa menangani perkara di level apa,” kata Roni.

Izin Lama Masih Berlaku

Bagi kuasa hukum yang sudah mengajukan permohonan sebelum RPMK baru berlaku, pengajuan tetap akan diproses berdasarkan ketentuan lama, yakni PMK 184/2017. Izin yang sudah terbit pun dinyatakan masih sah hingga masa berlakunya habis.

Pada masa transisi, seluruh izin kuasa hukum pajak yang sudah terbit dianggap sebagai tingkat tertinggi, yakni level C. “Jadi semua kuasa hukum yang sudah berizin tetap bisa menangani seluruh jenis sengketa pajak,” tambah Roni.

RPMK juga memberikan kelonggaran jika SKK belum bisa diterbitkan BPPK. Dalam hal ini, pengetahuan dan keahlian perpajakan dapat dibuktikan melalui ijazah bidang fiskal, akuntansi, atau perpajakan, sertifikat brevet, atau pengalaman kerja di instansi pemerintah terkait.

Namun ada konsekuensi baru: jika dalam waktu 30 hari sejak PMK berlaku kuasa hukum belum membuat akun e-Tax Court, maka izin bisa dicabut.

Menuju Sistem Peradilan Pajak yang Lebih Modern

Dengan revisi aturan ini, Kemenkeu berharap ekosistem hukum di Pengadilan Pajak semakin profesional, terukur, dan akuntabel. Transformasi ini juga dianggap sejalan dengan digitalisasi sistem peradilan melalui e-Tax Court.

“Semangatnya bukan membatasi, tapi justru memperkuat perlindungan dan kepastian hukum bagi seluruh pihak dalam sengketa pajak,” pungkas Roni. (alf)

 

YFR Hermiyana Resmi Pimpin DJP Sulselbartra, Fokus Perkuat Sinergi dan Inovasi Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melakukan penyegaran kepemimpinan di Kantor Wilayah Sulawesi Selatan, Barat, dan Tenggara (Sulselbartra). Per Selasa (17/6), tongkat estafet jabatan Kepala Kanwil DJP Sulselbartra resmi beralih dari Heri Kuswanto kepada YFR Hermiyana.

Dalam seremoni serah terima jabatan yang berlangsung di Kantor DJP Sulselbartra, Hermiyana menegaskan komitmennya untuk memperkuat peran strategis DJP dalam menopang penerimaan negara dari sektor pajak. Ia menyadari, tantangan dalam menghimpun penerimaan di tengah dinamika ekonomi saat ini membutuhkan pendekatan yang kolaboratif dan adaptif.

“Kita perlu memperkuat sinergi dengan semua pemangku kepentingan dan memberikan pelayanan yang maksimal. DJP terbuka terhadap masukan dan harus mampu memberikan solusi atas setiap dinamika yang ada,” ujar Hermiyana, dikutip, Rabu (18/6/2025).

Menurutnya, optimalisasi hubungan dengan konsultan pajak akan menjadi salah satu strategi utama. Ia menilai, peran konsultan pajak sangat vital sebagai penghubung antara wajib pajak dan otoritas pajak dalam membangun sistem perpajakan yang sehat dan berkeadilan.

Selain itu, Hermiyana menyatakan akan mendorong terobosan dalam layanan dan pengawasan. Inovasi dan efektivitas dalam penggalian potensi pajak akan menjadi kunci untuk mengejar target penerimaan negara.

Data DJP Sulselbartra mencatat, hingga April 2025 penerimaan pajak dari tiga wilayah yang menjadi cakupan kerja Kanwil tersebut tercatat sebesar Rp3,84 triliun mengalami penurunan 10,29% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Rinciannya, Sulawesi Selatan menyumbang kontribusi terbesar sebesar Rp2,85 triliun, diikuti Sulawesi Tenggara Rp892 miliar, dan Sulawesi Barat Rp95,73 miliar.

Dengan tantangan yang ada, Hermiyana berharap seluruh jajaran DJP di wilayahnya dapat bekerja secara solid, menjalin kemitraan yang kuat dengan pemangku kepentingan, dan menghadirkan reformasi layanan pajak yang semakin profesional dan modern. (alf)

 

id_ID