Aturan Baru Pengkreditan Pajak Masukan pada Coretax

Sistem PPN di Indonesia mengenal metode pengkreditan pajak. Ketika Pengusaha Kena Pajak (PKP) melakukan pembelian Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) akan dikenakan (dipungut) PPN oleh pihak PKP Penjual, ini yang dinamakan sebagai Pajak Masukan. Ketika melakukan penjualan PKP ini akan memungut PPN atas tagihan penjualan yang diterbitkan kepada pihak pembeli (konsumen). PPN yang dipungut ini yang dinamakan sebagai Pajak Keluaran. Pada setiap masanya, PKP ini memiliki kewajiban untuk menyetorkan PPN yang telah dipungutnya dari konsumen dengan terlebih dahulu memperhitungkan (mengurangkan) Pajak Masukan yang berhubungan dengan Pajak Keluaran dan memenuhi syarat untuk dapat dikreditkan. Proses ini yang disebut sebagai proses pengkreditan Pajak Masukan.

Ketentuan yang berlaku selama ini (sesuai Pasal 9 ayat (2) dan ayat (9) UU PPN) Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya atau belum dilakukan pemeriksaan. Petunjuk pelaksanaan dari Pasal 9 ayat (2) dan ayat (9) UU PPN ini diatur lebih lanjut pada Pasal 62 ayat (1) PMK 18/PMK.03/2021 dan Pasal 63 ayat (1) PMK 18/PMK.03/2021.

Artinya bahwa Pajak Masukan yang diperoleh dalam suatu Masa Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama atau dapat dikreditkan pada pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah Masa Pajak diterbitkannya Faktur Pajak Masukan tersebut. Sebagai contoh (seperti yang dicontohkan pada Lampiran XV PMK 18/PMK.03/2021), untuk Faktur Pajak Masukan yang diterbitkan oleh PKP Penjual pada tanggal 8 Agustus 2021 dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak Agustus 2021, atau Masa Pajak September 2021, Masa Pajak Oktober 2021, dan paling lambat Masa Pajak November 2021.

Ketentuan Baru Mengenai Jangka Waktu Pengkreditan Pajak Masukan

Sejak 1 Januari 2025, PKP yang akan mengkreditkan Faktur Pajak Masukan, hanya dapat mengkreditkan Faktur Pajak Masukan dalam Masa Pajak yang sama dengan Masa Pajak diterbitkannya Faktur Pajak Masukan oleh pihak PKP Penjual. Prosedur pengkreditan Pajak Masukan yang baru ini diatur dalam Pasal 375 ayat (1) PMK 81 Tahun 2024 bahwa Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama.

Kemudian pada Pasal 376 ayat (1) PMK 81 Tahun 2024 yang menegaskan bahwa Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 375 ayat (1), yang tercantum dalam dokumen tertentu yang kedudukanya dipersamakan dengan Faktur Pajak, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) Masa Pajak setelah berakhirnya Masa Pajak saat dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak dibuat.

Dari Pasal 376 ayat (1) PMK 81 Tahun 2024 ini dapat kita lihat perbedaan pengaturan dengan ketentuan yang selam ini berlaku (PMK 18/PMK.03/2021 dan PMK 18/PMK.03/2021) yaitu untuk Pajak Masukan yang dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya untuk paling lama 3 (tiga) Masa Pajak adalah hanya dibatasi untuk Pajak Masukan yang berupa dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.

Pada Pasal 470 PMK 81 Tahun 2024 menegaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pengkreditan Pajak Masukan pada Masa Pajak yang tidak sama yang dicontohkan pada Lampiran huruf WWW (halaman 547) PMK 81 Tahun 2024 ini.

Artinya bahwa mulai 1 Januari 2025, Pajak Masukan yang tercantum dalam Faktur Pajak (selain dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak) hanya dapat dikreditkan pada Masa Pajak sesuai dengan Masa Pajak Faktur Pajak Masukan tersebut diterbitkan.

Dan perlu menjadi perhatian bagi Para Pembaca bahwa ketentuan ini berlaku mulai 1 Januari 2025, artinya semua Faktur Pajak yang diterbitkan di tahun pajak 2024, hanya dapat dikreditkan pada masa pajak berikutnya untuk paling lama 3 (tiga) Masa Pajak, paling lambat hanya dapat dilakukan untuk Masa Pajak Desember 2024.

Jadi misalkan Faktur Pajak Masukan yang terbit di Masa Pajak November 2024, hanya dapat dikreditkan di Masa Pajak November 2024 dan Masa Pajak Desember 2024. Untuk Faktur Pajak Masukan yang terbit di Masa Pajak Desember 2024, hanya dapat dikreditkan di Masa Pajak Desember 2024 saja.

Penulis Anggota Departemen Pengembangan Organisasi, PP-Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)

Syafrianto

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

 

 

Menkeu: Pajak Minimum Global Dorong Iklim Investasi yang Kompetitif dan Sehat

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa penerapan Pajak Minimum Global (Global Minimum Tax/GMT) bertujuan menciptakan iklim investasi yang lebih kompetitif dan sehat. Hal ini dilakukan melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024.

“Kami terus memperbaiki iklim investasi agar lebih kompetitif dan sehat, salah satunya dengan menerbitkan PMK 136/2024 tentang Pajak Minimum Global,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Jakarta, kemarin.

PMK tersebut menetapkan tarif minimum pajak sebesar 15 persen bagi wajib pajak badan yang merupakan bagian dari grup perusahaan multinasional dengan omzet konsolidasi global minimal 750 juta euro. Kebijakan ini mulai diberlakukan pada tahun pajak 2025.

Penguatan Pilar 2 G20

GMT adalah bagian dari Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GLoBE), kesepakatan yang dicapai oleh negara-negara G20 dan dikoordinasikan oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).

Saat ini, lebih dari 40 negara telah mengimplementasikan aturan serupa, sebagian besar mulai berlaku pada 2025.

“Perusahaan yang memanfaatkan fasilitas tax holiday tetap akan dikenakan pajak tambahan minimum domestik sesuai PMK 69/2024,” kata Sri Mulyani.

Untuk wajib pajak yang memenuhi kriteria, jika tarif pajak efektif mereka kurang dari 15 persen, maka mereka diwajibkan membayar pajak tambahan (top up tax) paling lambat akhir tahun pajak berikutnya.

Sebagai contoh, wajib pajak untuk tahun pajak 2025 harus melunasi pajak tambahan paling lambat 31 Desember 2026.

Pelaporan pajak minimum global wajib dilakukan maksimal 15 bulan setelah tahun pajak berakhir.

Namun, khusus tahun pertama penerapan GMT, pemerintah memberikan kelonggaran waktu hingga 18 bulan. Artinya, wajib pajak tahun 2025 dapat melaporkan kewajibannya paling lambat 30 Juni 2027, sementara tahun pajak 2026 dilaporkan maksimal 31 Maret 2028.

Menkeu menambahkan, pemerintah akan memberikan insentif kepada sektor-sektor strategis yang menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi untuk menjaga daya saing.

“Kami berharap kebijakan ini dapat mendorong terciptanya kompetisi yang sehat sekaligus memastikan kontribusi perpajakan yang adil dari perusahaan multinasional,” ujarnya. (alf)

IKPI Kabupaten Tangerang Bahas Implementasi Coretax dengan Kepala KPP Madya 2 Tangerang dan Tigaraksa

IKPI, Jakarta: Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Kabupaten Tangerang, Dhaniel Hutagalung, bersama Wakil Ketua Indri Dhandria Alwi, mengadakan pertemuan dengan Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Tigaraksa Widie Widayani, dan Kepala KPP Madya 2 Tangerang dan Tigaraksa, Liza Khoironi. Pertemuan tersebut membahas implementasi sistem Coretax, fasilitas masa transisi, dan pelayanan wajib pajak (WP) di wilayah Kabupaten Tangerang.

Dalam pertemuan itu, dibahas sejumlah keunggulan sistem Coretax yang memungkinkan pelayanan terpadu dalam satu aplikasi. Namun, para pihak juga mencatat beberapa kendala teknis yang masih memerlukan perbaikan.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Kabuptaen Tangerang)

“Hal ini wajar dalam penerapan sistem baru, dan kami yakin penyempurnaan akan segera dilakukan,” ujar Dhaniel.

Fasilitas pembebasan sanksi pada masa transisi turut menjadi perhatian. Kebijakan ini diberikan untuk mendukung WP yang masih beradaptasi dengan sistem baru.

Selain itu kata Dhaniel, disampaikan bahwa WP dapat dilayani langsung di KPP maupun melalui grup WhatsApp yang disediakan untuk mempermudah komunikasi.
“Kami melihat WP besar di Kabupaten Tangerang, yang mayoritas merupakan industri seperti besi dan sepatu, menunjukkan pertumbuhan yang stabil,” kata Liza Khoironi.

(Foto: IKPI Cabang Kabupaten Tangerang)

Dhaniel mengungkapkan, ada hal menarik dalam pertemuan tersebut, yakni kedekatan Widie dengan anggota IKPI. “Ibu Widie sudah mengenal banyak teman-teman IKPI sejak bertugas di Jakarta Barat. Ke depan, kami akan mempererat kolaborasi dengan IKPI Kabupaten Tangerang, dengan KPP ” ujarnya.

Pertemuan ini diharapkan dapat meningkatkan sinergi antara IKPI dan KPP dalam mendukung pelayanan pajak yang lebih baik.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Kabupaten Tangerang)

Lebih lanjut Dhaniel mengungkapkan, kedatangannya ke KPP sekaligus mengundang kepala kantor untum hadir pada pelatikan pengurus IKPI se-Banten pada 7 Februari 2025.
(bl)

Pemerintah Tegaskan Pemangkasan APBN 2025 Bukan Karena Penerimaan Pajak Menurun

IKPI, Jakarta: Pemerintah memutuskan memangkas belanja negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 sebesar Rp306 triliun. Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa kebijakan ini dilakukan untuk memperbaiki kualitas belanja, bukan karena menurunnya penerimaan pajak.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, pemangkasan anggaran dilakukan sebagai bagian dari upaya meningkatkan efisiensi belanja negara, baik di tingkat pusat maupun daerah.

“Itu fokus memperbaiki kualitas spending. Kita bilang better spending, quality spending dilakukan karena APBN disampaikan akan terus menjadi instrumen penting, maka kualitas belanja kementerian/lembaga dan daerah itu perlu diperbaiki,” ungkap Sri Mulyani dalam konferensi pers, Jumat (24/1/2025).

Menurut Sri Mulyani, pemangkasan anggaran akan menyasar belanja yang dinilai kurang produktif atau bisa dilaksanakan dengan anggaran yang lebih kecil. Beberapa di antaranya adalah perjalanan dinas, acara seremonial, rapat di hotel, seminar, serta percetakan suvenir yang kurang relevan di era digital.

“Percetakan souvenir di era digital ini masih dianggarkan. Itu harus dievaluasi,” ujarnya.

Lebih lanjut, Sri Mulyani menambahkan bahwa pemangkasan anggaran ini akan diarahkan untuk mendukung program prioritas, seperti program makan bergizi gratis (MBG), yang diyakini memiliki dampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Dengan langkah ini, pemerintah berharap APBN dapat digunakan secara lebih efektif dan efisien, sekaligus mendorong pembangunan yang berkelanjutan. (alf)

Pererat Kemitraan, IKPI Bersama Sejumlah KPP di Jakbar Tanding Tenis

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) bersama beberapa karyawan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di bawah Kanwil Jakarta Barat menggelar kegiatan tenis bersama di Lapangan Tosiga, Tomang, Jumat (23/1/2025). Kegiatan ini bertujuan untuk mempererat kemitraan antara IKPI dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Ketua Bidang Olahraga IKPI Wisnu Sambhoro, menyampaikan bahwa pertandingan ini berlangsung dalam suasana penuh keakraban dengan hasil pertandingan berimbang, melibatkan masing-masing enam pemain dari IKPI dan KPP.

(Foto: DOK. Pribadi)

“Kegiatan tenis bersama ini menjadi salah satu bentuk upaya mempererat hubungan antara IKPI dan DJP. Selain itu, ini juga bagian dari rencana kerja bidang olahraga yang telah dirumuskan dalam Rakornas IKPI,” ujar Wisnu Sambhoro, Sabtu (25/1/2025).

Sekadar informasi, peserta dari IKPI yang terlibat antara lain Wisnu Sambhoro (Depok), Hendrik Saputra (Jakarta Pusat), Dicky (Jakarta Barat), dan Santoso (Jakarta Barat).

Sementara, dari KPP hadir sejumlah karyawan yang turut memeriahkan acara.

Menurut Wisnu, selain menjadi ajang olahraga, kegiatan ini juga menjadi momen reuni bagi Wisnu Sambhoro, yang bertemu kembali dengan teman semasa SMA-nya, yang kini menjabat sebagai Kepala Kantor Pajak Pratama Kebon Jeruk 1.
“Kami berencana menjadikan kegiatan ini rutin diadakan setiap bulan. Ke depannya, kami akan mencari lapangan indoor di wilayah Jakarta Barat untuk mendukung kelangsungan program ini,” kata Wisnu.

Melalui kegiatan ini, diharapkan hubungan kerja sama yang baik antara IKPI dan DJP dapat terus terjalin, sejalan dengan visi IKPI dalam mendukung pengelolaan perpajakan yang lebih baik di Indonesia. (bl)

Indonesia Tegaskan Komitmen pada Pajak Minimum Global Meski AS Mundur

IKPI, Jakarta: Keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk menarik negaranya dari kesepakatan pajak minimum global tidak akan memengaruhi kebijakan Indonesia. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa Indonesia tetap berkomitmen pada penerapan pajak minimum global untuk memperkuat ketahanan ekonomi domestik.

Langkah Trump tersebut, menurut Sri Mulyani, sesuai dengan janji kampanyenya selama Pilpres 2024. “Sebagai negara terbesar dunia, kebijakan AS pasti berdampak global. Namun, kita akan terus memperbaiki dan memperkuat resiliensi perekonomian domestik,” ujar Sri Mulyani di Jakarta, Jumat (24/1/2025).

Sekadar informasi, Indonesia resmi menerapkan pajak minimum global sebesar 15% pada tahun 2025. Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024 yang diterbitkan pada 31 Desember 2024. Aturan ini akan menyasar perusahaan multinasional dengan omzet konsolidasi global minimal 750 juta Euro, termasuk raksasa teknologi seperti Google dan Microsoft.

Komitmen pada Kesepakatan Internasional

Pajak minimum global merupakan bagian dari kesepakatan Pilar Dua yang digagas oleh G20 dan dikoordinasikan oleh OECD. Lebih dari 140 negara mendukung inisiatif ini, dan lebih dari 40 negara telah mengimplementasikan kebijakan tersebut pada 2025.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Febrio Kacaribu, menjelaskan bahwa inisiatif ini bertujuan untuk mencegah praktik penghindaran pajak, seperti penggunaan tax haven. “Kesepakatan ini menciptakan sistem perpajakan global yang lebih adil dengan meminimalkan kompetisi tarif pajak yang tidak sehat,” jelas Febrio, Jumat (17/1/2025).

Manfaat bagi Indonesia

Dengan menerapkan pajak minimum global, Indonesia dapat mengoptimalkan penerimaan pajak dari perusahaan multinasional yang beroperasi di dalam negeri. Kebijakan ini tidak berdampak pada wajib pajak orang pribadi maupun UMKM.

“Upaya ini mencerminkan komitmen Indonesia untuk mendukung sistem perpajakan internasional yang lebih adil dan memastikan perusahaan besar berkontribusi secara adil di negara tempat mereka beroperasi,” kata Febrio.

Meskipun keputusan AS dapat memengaruhi dinamika global, Indonesia tetap optimis bahwa kebijakan ini akan memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional. (alf)

Sri Mulyani Sebut Kebijakan HGBT Tingkatkan Kinerja Ekonomi dan Industri Indonesia

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) yang diterapkan sejak 2020 berdasarkan Peraturan Presiden No. 121 Tahun 2020 memberikan dampak positif bagi perekonomian dan industri Indonesia. Kebijakan tersebut terbukti mampu meningkatkan kinerja sektor-sektor yang menerima harga gas lebih rendah, seperti PLN, Pupuk, Keramik, dan Petrokimia, dengan kontribusi signifikan terhadap net profit margin (NPM).

Menurut Sri Mulyani, sektor-sektor yang mendapatkan HGBT mencatatkan peningkatan NPM yang bervariasi, yakni PLN sebesar 49%, Pupuk 37%, Keramik 5,4%, dan Petrokimia 5%. Secara keseluruhan, perbaikan kinerja korporasi tercermin dari peningkatan NPM dari 6,21% pada tahun 2020 menjadi 7,53% pada tahun 2023. Pada tahun 2023, sektor pupuk, sarung tangan karet, dan kaca tercatat sebagai kontributor terbesar dengan NPM masing-masing 12,73%, 11,36%, dan 11,24%.

Kinerja positif tersebut juga berdampak pada penerimaan pajak yang meningkat signifikan. Penerimaan pajak dari sektor penerima HGBT naik dari Rp 37,16 triliun pada tahun 2020 menjadi Rp 65,06 triliun pada tahun 2023. Sektor ketenagalistrikan, pupuk, baja, dan petrokimia menjadi penyumbang pajak terbesar, meskipun Sri Mulyani tidak merinci secara detail jumlah kontribusi masing-masing sektor.

Namun, Sri Mulyani juga menyoroti adanya dampak negatif dari kebijakan ini, yaitu beban fiskal yang timbul akibat pendapatan negara (PNBP) yang tidak diterima. Meski demikian, ia menegaskan bahwa pemerintah akan terus mendukung penguatan industri nasional agar tetap kompetitif dan efisien, serta memperkuat ketahanan perekonomian Indonesia.

Pernyataan ini disampaikan oleh Sri Mulyani melalui akun Instagram pribadinya pada Jumat, 24 Januari 2025. (alf)

Presiden Prabowo Inginkan PPN 12% untuk Barang dan Jasa Mewah Tak Bebani Rakyat Kecil

IKPI, Jakarta: Presiden Prabowo Subianto memutuskan bahwa kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang sebelumnya diatur untuk semua barang dan jasa akan diterapkan secara terbatas, hanya pada barang dan jasa mewah. Keputusan ini diambil sehari sebelum tarif PPN dari 11% menjadi 12% sesuai dengan amanat UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang berlaku mulai 1 Januari 2025.

Menurut ketentuan terbaru, tarif PPN 12% akan dikenakan pada barang dan jasa mewah, sementara untuk barang dan jasa lainnya tetap dikenakan tarif PPN sebesar 11%. Langkah ini diambil setelah mempertimbangkan kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat yang dinilai melemah sejak pertama kali aturan ini dirancang dua tahun lalu.

Ketua Komisi XI DPR RI, Misbakhun, menyampaikan apresiasi terhadap keputusan Presiden Prabowo. Ia menilai bahwa langkah ini menunjukkan kepedulian Presiden untuk tidak membebani rakyat. “Keputusan ini merupakan langkah moderasi yang diambil Presiden, mengingat kondisi ekonomi saat ini berbeda dengan saat kebijakan PPN 12% pertama kali diputuskan,” kata Misbakhun, Selasa (21/1/2025).

Misbakhun juga menegaskan bahwa meskipun tarif PPN 12% tetap harus diterapkan sesuai dengan UU HPP, Presiden Prabowo memilih untuk menargetkan hanya barang-barang mewah seperti mobil, rumah, tas, kosmetik, hingga daging mahal, baik yang diimpor maupun yang diproduksi di dalam negeri.

Keputusan ini, menurut Misbakhun, merupakan bukti konsistensi Presiden dalam menjalankan janjinya untuk menjadi pemimpin yang dekat dengan rakyat. “Presiden ingin menjadi pemimpin yang tidak membebani rakyat, dan keputusan ini merupakan bagian dari cita-cita beliau untuk memimpin dengan bijaksana,” tegas Misbakhun.

Dengan langkah ini, diharapkan beban yang ditanggung oleh masyarakat akan lebih terjaga, terutama bagi kalangan menengah ke bawah, sementara sektor barang mewah tetap dikenakan PPN yang lebih tinggi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.(alf)

Menteri Airlangga Ungkap Penyebab Orang Super Kaya Indonesia Gemar Belanja di Luar Negeri

IKPI, Jakarta:  Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan alasan mengapa orang super kaya di Indonesia lebih memilih berbelanja di luar negeri ketimbang di dalam negeri. Menurut Airlangga, harga barang-barang mewah yang menjadi objek konsumsi orang kaya di Indonesia lebih mahal akibat berbagai pungutan yang dikenakan, seperti bea masuk, Pajak Penghasilan (PPh), dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

“Barang-barang yang masuk di mal di Indonesia, misalnya, dikenakan bea masuk 25%. Belum lagi ditambah PPh dan PPN, membuat harga barang tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan di negara lain seperti Singapura, yang tidak memiliki pungutan serupa,” ujar Airlangga di kantornya, baru-baru ini.

Airlangga menambahkan, perbedaan harga ini membuat orang super kaya cenderung lebih memilih untuk berbelanja di luar negeri, di mana harga barang-barang mewah lebih terjangkau. Ia juga menyebutkan bahwa potensi transaksi belanja orang super kaya yang sering melakukan pembelian di luar negeri bisa mencapai sekitar USD 2.000 per orang, atau setara dengan Rp 32,79 juta.

“Jika ada sekitar 10 juta orang kaya yang sering berbelanja dengan total pengeluaran tersebut, maka potensi transaksi yang hilang di dalam negeri bisa mencapai lebih dari Rp 324 triliun,” jelas Airlangga.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), diperkirakan sekitar 10 juta orang Indonesia sering bepergian ke luar negeri, yang berkontribusi pada hilangnya potensi transaksi ekonomi domestik.

Pernyataan Airlangga ini menunjukkan pentingnya memperhatikan kebijakan perpajakan dan bea masuk dalam upaya mendukung pertumbuhan ekonomi domestik dan daya saing pasar Indonesia.(akf)

Pemerintah Proyeksi Tambah Penerimaan Negara Rp8,8 Triliun dari Pajak Minimum Global

IKPI, Jakarta: Pemerintah Indonesia secara resmi memberlakukan pajak minimum global dengan tarif efektif sebesar 15 persen, melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024. Keputusan ini diharapkan dapat menambah penerimaan negara hingga Rp8,8 triliun, sesuai dengan proyeksi yang disampaikan oleh Analis Pajak Internasional Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Melani Dwi Astuti.

Melani menyampaikan proyeksi potensi penerimaan negara dari kebijakan ini berkisar antara Rp3,8 triliun hingga Rp8,8 triliun. “Proyeksi potensinya, Rp3,8-Rp8,8 triliun,” ungkap Melani baru-baru ini.

Pengenaan pajak minimum global ini diyakini akan memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Melani dalam acara ’The 12th IFA Indonesia Annual International Tax Seminar’, yang diadakan oleh International Fiscal Association (IFA) pada 10 Desember 2024. Melani juga menjelaskan bahwa regulasi yang mendasari kebijakan ini telah termaktub dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan. Sebelumnya, pada 31 Desember 2024, pemerintah juga menerbitkan PMK Nomor 136 Tahun 2024 untuk mengatur penerapan pajak minimum global ini sesuai dengan kesepakatan internasional.

Ketentuan Pajak Minimum Global

PMK Nomor 136 Tahun 2024 berlaku bagi Wajib Pajak badan yang merupakan bagian dari grup Perusahaan Multinasional (PMN) dengan omzet konsolidasi global sekurang-kurangnya 750 juta euro. Wajib Pajak tersebut akan dikenakan pajak minimum global dengan tarif 15 persen mulai tahun pajak 2025.

Dalam ketentuan tersebut, tarif pajak minimum global yang dikenakan akan bergantung pada tiga mekanisme utama, yaitu income inclusion rule (IIR), domestic minimum top-up tax (DMTT), dan undertaxed payment rule (UTPR).

Melani menjelaskan, IIR adalah ketentuan yang mengharuskan induk dari grup multinasional untuk membayar pajak tambahan atas anak usahanya yang dikenakan pajak efektif kurang dari 15 persen. Sementara itu, DMTT adalah skema yang memungkinkan yurisdiksi sumber untuk mengenakan pajak atas penghasilan yang kurang dipajaki, sebelum yurisdiksi domisili anak perusahaan mengenakan pajak tambahan. Sedangkan, UTPR akan berlaku jika IIR tidak dapat diterapkan, misalnya jika entitas induk berada di yurisdiksi dengan pajak rendah atau tidak menerapkan IIR dalam regulasi domestiknya.

Dengan implementasi pajak minimum global ini, pemerintah Indonesia berharap dapat memperkuat sistem perpajakan internasional dan memastikan bahwa perusahaan multinasional membayar pajak yang adil sesuai dengan penghasilannya di seluruh dunia.(alf)

id_ID